Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Ruang dan Waktu oleh Irwan Apriansyah

author = Irwan Apriansyah
lahir di Malingping, Lebak, Banten, 17 April 1989. Telah merampungkan studi di Fakultas Bahasa dan Seni – Universitas Negeri Yogyakarta. Beberapa karyanya termuat di Jurnal Sajak dan media cyber. Bergiat di Sindikat Rawarawa dan Susastra.

PENEGASAN

Ia terbangun
Dengan seribu kecemasan
Di matanya

Kegelapan merambat di wajah langit
Gemintang seolah redup
Bulan tak lagi tembaga
Dunia kehilangan warna
Kata-kata menjauh dari lidah

Sang kekasih bangkit, berjalan, terhuyung
Mencari tempat paling sunyi
Di mana hanya ada dirinya
Dan bayang mimpi

Barangkali
Mimpi tak perlu ditafsir
Sebagai wahyu
Barangkali
Tuhan tak memberi perintah apa-apa
Barangkali cinta tak perlu diuji
Tapi kenapa ia menuntut pengorbanan

Ibrahim termenung dalam tanya
“O Tuhanku,
inikah cinta
atau petaka?”

Ibrahim terjaga
Merenung serupa patung di kuil-kuil
Antara takut dan harap
Tangan langit mengusap putih nasibnya
Usia yang senja
Sebilah pisau di urat leher sang putra
Sebilah pisau menagih penegasan
Dari kemurnian cinta
yang menyala dan menyulut
selubung jiwa.

 

RUANG DAN WAKTU

Kau bertanya
Apa itu ruang?
Apa itu waktu?
Dan kujawab:
Ruang adalah dirimu
Sebuah dunia yang menampung
degup jantungku,
yang menjaga darahku tetap mengalir.

Dan waktu adalah aku
Dalam diriku kenangan dan harapan
Berjalan beriringan
Darimu dan menujumu
Kulihat wajahmu
menyusun dirinya sendiri di masa depan
Sebagaimana kulihat wajahmu
Membentuk dirinya sendiri di masa silam.

Tanpaku, kau hanya kekosongan yang dalam
Ruang hampa yang sia-sia.
Sedang aku, tanpamu,
dunia mana yang dicipta
tanpa adanya waktu?

 

KASATMATA

Aku gelombang
Yang merambat di udara
Mengantar suara dan cahaya

Kau tak akan mampu mengejarku
Dengan kecepatan benda-benda
Yang kau cipta

Aku gelombang
Berkarib dengan materi
Merambat di segala ruang
Mengantar suara dan cahaya
Hanya agar keduanya sampai kepadamu

Bersamaku
Kau dapat mendengar
Sejarah menjerit dan meminta uluran tanganmu
Untuk membebaskannya
Dari belenggu penguasa
Kau juga akan mendengar
Sayup-sayup suara masa depan
Yang tak jelas wujudnya
Yang memanggil dan menagih jiwamu
Untuk menjadi bagian dari dirinya.
Bersamaku
Kau dapat melihat dunia penuh warna
Kelamnya dukacita, terangnya sukacita
Sebab akulah yang mengantar cahaya
Yang mengangkat kegelapan dari pangkuanmu
Menepis segenap mimpi
Agar kau berlapang dada menerima segala yang nyata
Buka sepasang matamu dan terbangunlah dari mimpi
Sebab nasib telah menghamparkan dua jalan,
Jalan menuju hari kemarin
Dan jalan menuju hari esok
Keduanya ada, hanya kemurnian jiwa
Kuasa memilih satu di antara yang dua.

Aku gelombang yang setia kepadamu
Ada di sekitarmu, tak tersentuh oleh jemarimu,
Yang selalu ada dan senantiasa kasatmata.

 

RISALAH

Kuletakkan dunia lama ke pundakmu
Hidup yang fana ke telapak tanganmu
Beri aku makna
Hidupkan lagi segala yang lama mati.

Yang kau lihat dalam diriku
Ada dalam dirimu
Yang kau baca dari kata-kataku
Tertulis dalam lembar nasibmu
Yang kau kenang dariku
Hanya bagian dari waktu
Sebab aku pernah jadi tawanannya

Kini aku melayang seperti kapas
Menuju negeri azali
Sebuah pesta yang tak dihiasi ledakkan
Ataupun api
Sebuah pesta yang penuh wangian mawar
Dan kekasih abadi
Maka usap mataku
Karena dengannya telah kusaksikan
Kelahiran dan kematian dunia
Kecup bibirku,
Dengannya kuwariskan senyum dan tawa
Kepadamu.

 

Catatan Redaksi:

Puisi-puisi Irwan Apriansyah nampaknya memperlihatkan relasi kuasa antara Tuhan dan manusia. Meskipun akhirnya Tuhan telah memberikan (mewariskan) kekuasaan kepada manusia untuk mengurusi dirinya sendiri dan juga dunia, namun Tuhan tetap tak serta merta melepaskan dirinya dari ikatan kuasa itu. Saat manusia diuji dan membutuhkan pertolongan, Tuhan akan kembali hadir untuk memberi pertolongan.

Dalam puisi-puisinya, Irwan Apriansyah nampak mencoba untuk menghadirkan sisi eksistensi manusia, bahkan mencoba menghadirkan relasi yang setara. Namun pada akhirnya, Tuhan tetaplah menjadi awal dan akhir segalanya, menjadi pusat yang selalu dominan.

Dalam narasi tentang pengorbanan, Tuhan juga dihadirkan dengan kuasa penuh melalui tuntutan kepada manusia untuk membuktikan cinta kepada diriNya, yakni dengan meminta pengorbanan berupa hal duniawi yang paling dicintai manusia. Dalam titik ini, manusia sekali lagi tak memiliki pilihan. Hal ini kembali menunjukkan bahwa di hadapan Tuhan, manusia tak memiliki kuasa apa-apa.

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi