Category: opini

  • Yogyakarta sebagai Sumber Inspirasi Kreatif: Ketika Para Kreator Memosisikan Diri

    author = Redaksi Kibul

    Dipaparkan oleh Prof. Suminto A. Sayuti dalam Ceramah Literasi & Seminar Sastra pada hari Sabtu, 28 September 2019 di Hotel Melia Purosani Yogyakarta sebagai rangkaian acara Joglitfest.

    I
    bukan sanak bukan sahaya
    bila mati aku, ikut berduka

    kau menuding aku, aku menuding kau
    kau dan aku menjadi satu
    kerna dindingku, kerna dindingmu
    dari mana kita, dunia bersatu

    aku bukan aku, kau bukan kau
    kau dan aku mendinding batu
    kerna batuku, kerna batumu
    dari mana kita, tak pernah tahu

    II
    bukan sanak bukan sahaya
    bila mati aku, berlalu jua

    kau menuding aku, aku menuding kau
    kau dan aku menjadi seteru
    kerna dindingku, kerna dindingmu
    dari mana kita, dunia beradu

    kau bukan aku, aku bukan kau
    kau dan aku menuding batu
    kerna batuku, kerna batumu
    dari mana kita tak saling tahu

    III
    bukan sanak bukan sahaya
    bila mati aku, hilang jua

    kau menuding aku, aku menuding kau
    kau dan aku menjadi tugu
    kerna batuku, kerna batumu
    dari mana kita dunia beku

    kau tanya aku, aku tanya kau
    kau dan aku mendinding batu
    kerna batuku, kerna batumu
    dari mana kita, tak bakal tahu

    (puisi “Dinding-dinding Kota Yogya” 1974, dari: Langit Kelabu, Jakarta: Balai Pustaka, 1980: 52-53)

    1/

    Yogyakarta, dari kamar kos-kosan, rumah tinggal, kampung, desa, kota, hingga jalan, terminal, dan stasiunnya, berikut “suara-suara” yang tersimpan di dalamnya adalah sebuah lokus, lokalitas. Secara sederhana, lokalitas merupakan lingkungan, yakni apapun yang berada di
    sekeliling kita,[1]
    baik dalam sifatnya yang mitis, fisis, maupun psikologis; baik yang sifatnya
    natural, sosial, maupun kultural. Karenanya, tatkala
    kita menatapnya, kita
    pun menatap “tempat” kita hidup. Lalu, kita pun membuat jarak ontologis,
    membuat pembagian antara kita dengannya. Jarak ini penting dalam rangka pemahaman- dan realisasi-diri.

    Dengan jarak yang ukuran dan rentangnya
    kita tentukan sendiri, kita pun diharapkan tidak hanya mampu menatap“tempat”
    kita hidup dengan saksama, baik melalui tatapan visual maupun dengan tatapan
    emosional dan intelektual, tetapi juga mampu mendengarkan “suara-suara” yang tersimpan dan berasal darinya. Tanpa jarak ini, kita cenderung sudah merasa memahami “tempat/lingkungan” kita hidup dengan baik, dan bersamaan
    dengannya,
    sebenarnya, kita pun
    kehilangan kepekaan yang disebut sadar-tempat.
    Akibatnya lebih jauh, makna-tempat tercerabut dan terkeluarkan dari “bahasa-hidup” kita. Oleh karena itu, kemampuan mulat-salira dapat diperhitungkan
    sebagai upaya pemahaman-diri sekaligus sebagai modal  untuk manjing-kahanan: mencelupkan diri secara total ke dalam
    semesta lingkungan, ke dalam “tempat” kita hidup.
    Tercapainya pemahaman-diri secara baik membuat kita angrasawani
    merealisasikan diri dengan sikap penuh greget
    dan oramingkuh.[2]

    Apapun yang berada di sekeliling kita, atau apapun yang kita pilih menjadi
    tatapan kita, saling
    mencipta antara satu dan lainnya; kita saling menjadi bagian dengannya. Semua
    yang hidup menjadi tetangga. Manusia, tumbuhan, binatang, dan juga benda-benda, saling menjadi bagian: suket godhong dadi rowang, tidak dapat
    hidup sendiri-sendiri. Karena itu, perilaku budaya kita pun menjadi respons yang bertanggung jawab
    terhadap “tempat” kita hidup: perilaku budaya dan tempat kita merupakan loro-loroning atunggal yang tak
    terpisahkan antara satu dan lainnya, yang satu tidak dapat menjadi lebih baik
    tanpa kehadiran yang lain.

    Itulah gambaran ideal ketika manusia dan
    lingkungannya hidup secara harmonis: suatu keadaan yang dalam kehidupan yang
    makin industrial, robotik, dan konsumeristik sulit sekali ditemui kini. Dalam
    kaitan ini, pemahaman terhadap “tempat/lingkungan”
    kita hidup mampu membantu kita dalam pemahaman dan realisasi diri kita
    masing-masing, seperti dipertanyakan secara retoris oleh Gary Snyder (1995,
    seperti dikutip Dreese, 2002:1) dalam A
    Place in Space
    [3]:  bukankah tujuan semua hal dalam hidup adalah
    mencapai pemahaman-diri, mencapai realisasi-diri? Atau seperti dinyatakan
    Wendell Berry[4]:
    “untuk mengetahui siapa dirimu, ketahuilah pertama kali, di manakah kamu
    berada.”  Dari titik inilah, proses
    kreatif diberangkatkan.

    2/

    Disadari atau tidak, lingkungan tempat
    tinggal memang merupakan faktor yang memainkan peranan penting dalam
    mengkonfigurasi secara fisik, emosional, bahkan spiritual: siapakah kita.
    Kesadaran kita berkembang dalam, dengan,
    dan melalui “tempat/lingkungan” kita hidup, atau yang kita pilih menjadi
    lingkungan kita. Seseorang bisa saja sangat mencintai lingkungan
    tertentu, atau sebaliknya, merasakan terasing dalam kebersamaan dengan yang
    lain. Partikularitas tempat/lingkungan
    tertentu boleh jadi sangat berpengaruh terhadap situasi jiwani seseorang atau
    sekelompok orang.[5]

    Mungkin kita semua sering mengalami
    bagaimana partikularitas tempat/lingkungan tertentu membuat kita selalu krasan, selalu betah, selalu merasa at home.
    Bisa saja karena tempat itu memang selalu memberikan dan menyediakan ruang
    tertentu sehingga penghuninya selalu merasa “tercahayai.” Di antara kita mungkin merasakan hal
    semacam itu sebagai sesuatu yang misterius karena “perasaan betah di rumah”
    merupakan sesuatu yang kompleks dan memiliki banyak kaitan dengan faset-faset
    kehidupan lainnya. Sebagian dari kita tidak menyadari bahwa “suara-suara” lingkungan
    telah merasuk ke dalam jiwa, bahwa kita telah dipengaruhi oleh lingkungan dalam
    sejumlah cara, sementara sebagian yang lain sungguh-sungguh menyadarinya. Seorang kreator, sudah seharusnya selalu
    berupaya agar keberjagaan batin dalam bertegur-sapa dengan lingkungan dirinya hidup tetap terpelihara dengan baik. Jika hal
    ini mampu dilakukan, niscaya teks-teks kreatif ciptaannya akan mampu memberikan kontribusinya
    dalam merawat kehidupan.

    Kurangnya sikap “sadar-tempat” bisa saja
    disebabkan oleh kurangnya pengalaman tualang atau kembara ke luar sebagai
    tempat pembanding, di samping karena seseorang itu lahir dan dibesarkan tidak di tempat tinggalnya yang sekarang. Sebagian orang bisa saja belum memperoleh kesempatan untuk
    mengalami kehidupan di tempat yang tidak nyaman, atau tidak seperti rumah yang membuat penghuninya krasan. Oleh karena itu, pemahaman diri
    akan tercapai apabila pemahaman terhadap apa yang bukan-diri juga terjadi.
    Eksplorasi terhadap “wilayah-diri” dan “yang-bukan-diri” penting bagi
    pemahaman-diri secara lebih dalam. Ketika tempat tertentu telah mempengaruhi
    seseorang, ia pun akan merespons dalam kesesuaiannya dengan pengaruh itu,
    bahkan ketika hal itu tidak disadari.

    Ketika makna tempat terasakan dan
    tersadari sebagai faktor yang mempengaruhi setiap denyut keseharian hidup,  seluruh indera pun terlibat di dalamnya:
    melihat, mencecap, mendengar, atau merasakan berbagai hal di dalam tempat yang lazim disebut sebagai “rumah tinggal.” Oleh karena itu, “rumah
    tinggal”  tidak selalu berhenti pada
    makna fisikal, tetapi mungkin juga menjangkau makna yang bersifat mental,
    emosional, dan spiritual. Hanya saja, dalam
    hubungan ini lokalitas tertentu berikut budayanya bisa saja merupakan sesuatu
    yang terberi, sehingga perasaan at home
    menjadi susah tercapai. Pendek kata,  tempat/lingkungan merupakan sesuatu yang inheren dalam
    konfigurasi diri, komunitas, dan kehidupan secara holistik.

    3/

    Dalam hubungannya dengan hal yang telah
    dikemukakan, bagaimanakah “Yogyakarta” dan “ke-Yogyakarta-an” berikut varian-variannya telah, tengah, dan akan terus diperhitungkan sebagai “matriks”
    penciptaan teks-teks kreatif, sehingga melalui konversi dan ekspansi
    tertentu terhadapnya,
    sesuai dengan pilihan masing-masing kreator, ia hadir; seberapa jauh lanskap “ke-Yogyakarta-an” itu berposisi sentral demi menegaskan
    posisi kreator. Artinya, seberapa jauh para kreator telah, tengah, dan akan mengidentifikasi lanskap atau
    lingkungan “ke-Yogyakarta-an”
    sebagai elemen
    intrinsik teks-teks
    kreatif, demi
    proses konseptualisasi diri, baik melalui kanal mitis, fisik, maupun geografis-kultural. Atau, dalam pertanyaan yang lebih
    detil: bagaimana para kreator menyajikan lanskap “ke-Yogyakarta-an”; sikap seperti apakah yang
    direpresentasikan terhadap lanskap itu; adakah agenda sosio-politis atau etis
    di dalamnya; dan di atas itu semua, di manakah posisi kreator dalam relasinya dengan “ke-Yogyakarta-an”; bagaimana kreator berinteraksi dengannya, dan adakah
    konflik dalam interaksi tersebut.  Nah, puisi Linus Suryadi yang menjadi
    awal tulisan ini adalah contohnya. Hanya sebuah contoh. Karena, jauh sebelum
    era Linus, dan juga sesudahnya, banyak sekali teks-teks kreatif, baik yang
    berupa puisi, cerpen, novel, maupun naskah lakon, yang menempatkan Yogyakarta
    sebagai sumber inspirasi kreatif.

    Melalui pembacaan secara cermat
    terhadap teks-teks tersebut, kita pun memahami bahwa para kreator telah
    melakukan pemaknaan dalam proses kreatifnya, “ke-Yogyakarta-an”pun menjadi
    hadir tidak hanya dalam sifat mimesisnya, tetapi dalam sifat semiosisnya. “Ke-Yogyakarta-an” menjadi
    semacam skema atau matriks makna, yang kelengkapan maknanya dikreasi melalui
    varian-varian yang diwujudkan dalam berbagai perangkat pembangun teks
    kreatif sebagai sebuah jagat kemungkinan, dan “subjek-literer” pun berada di dan
    menjadi bagian dari lanskap dan suasana yang dihadirkan.

    Itu semua bisa
    terjadi jika dan karena para kreator telah “membaca-”nya dengan baik, membuat jarak, lalu
    membangun tegur-sapa resiprokal. Imajinasi yang baik memang sudah seharusnya
    bersandar pada realitas. Karenanya, bisa saja “ke-Yogyakarta-an” itu merupakan
    simbolisasi dari “agal-alus;
    landai-terjal” kehidupan kita semua. Ya, para
    kreator memang berkarya sendirian, berseteru dengan dirinya, dengan
    mesin tulis; tetapi hasilnya untuk orang banyak, untuk kita.

    4/

    “Ke-Yogyakarta-an” sebagai terminal keberangkatan
    perjalanan kreatif menyediakan banyak hal yang keputusan pilihannya bergantung
    kepada masing-masing
    kreator.
    Persoalannya, apakah para kreator sanggup
    hadir di dalamnya atau tidak. Mampukah para kreator membangun relasi dengan jarak tertentu. Mampukah para kreator membangun situasi tranpersonal
    dengannya. Apakah “ke-Yogyakarta-an”
    menjadi subjek utama dalam teks kreatif yang mereka ciptakan, atau menjadi semacam latar
    spiritual bagi subjek lain yang dihadirkan. Apakah subjek yang dihadirkan
    terhubung secara mitis, ontologis, ataukah fungsional dengan “keindahan”
    panoramik “ke-Yogyakarta-an”
    yang sekaligus
    mempengaruhinya. Atau sebaliknya, ketidakhadiran subjek/persona manusia secara
    eksplisit dalam teks
    kreatif
    dimaksudkan untuk menandai adanya keterpengaruhan itu, manusia lebur dalam
    semesta lingkungan, “ke-Yogyakarta-an” itu, dan pengaruh itu tidak hanya dirasakan
    dan disadari, tetapi juga dihayati. Persoalannya, benarkah keindahan “Yogyakarta” dalam teks kreatif bersifat nyata, atau ia hanya merupakan
    sesuatu yang dikehendaki untuk kembali ada, sebuah kerinduan nostalgik manusia
    ketika sebuah lingkungan yang telah mengkondisikannya selama ini telah musnah
    (telah menjadi masa lampau sejarah) karena berbagai sebab?

    Aspek-aspek “ke-Yogyakarta-an” bisa juga diperhitungkan
    secara spiritual, sebagai “gelaran” yang memancarkan kebajikan agung, dan
    mungkin, bersifat ilahiah. Bisa saja para kreator mengedepankan kepedulian yang besar
    terhadap aspek “ke-Yogyakarta-an”
    tertentu yang
    melaluinya dibangun hubungan dialektis dan resiprokal. Jika demikian, teks kreatif
    yang diciptakannya pun menjadi serupa gelaran harapan, doa, atau bahkan serupa ritual-literer dalam rangka mempertahankan keseimbangan,
    yang nilainya setara dengan ritual  seperti merti dusun, ruwat bumi, dan sejenisnya dalam
    budaya Jawa tradisional.  Itu semua tentu berangkat dari
    kesadaran bahwa, bagi para kreator, menyalahgunakan dan menyakiti “Yogyakarta” sebagai bagian dari “ibu-bumi” (ibu kita, ibu pertiwi)
    niscaya akan merusak keseimbangan: menyebabkan sakit dan derita, baik secara fisik maupun
    spiritual bentuk-bentuk kehidupan yang ada di dalamnya. Karena, keseluruhan yang hidup
    memiliki interdependensi dan keterhubungan. Maknanya lebih jauh, manusia akan mencapai kepenuhan
    eksistensinya ketika mampu memosisikan diri di dalam konteks lingkungan, “tempat” hidup kita menjadi bermakna karena kita mampu
    melakukan pemahaman- dan realisasi-diri.

    Pada sisi lain, teks-teks kreatif yang bermatriks “ke-Yogyakarta-an” menjadi terasa lebih bermakna manakala kekuatan deteritorialisasi menunjukkan dirinya dalam mendistorsi identitas, persona, dan makna dalam konstelasi kehidupan global: peminggiran dan pembiaran budaya tertentu tercerabut dan kehilangan kerangkanya sebagai bagian dari warisan kultural. Derivat makna literer sebenarnya dapat diposisikan sebagai benteng bagi datangnya kekuatan yang mendatangkan bencana kehilangan-diri, alienasi, dan ketercerabutan tradisi-tradisi kultural, sejarah, serta karakter lokal dan trans-lokal. Karena apa? Karena, teks kreatif merupakan responsi terhadap upaya pengasingan budaya yang dijajah. Ialah  dengan cara membangkitkan kembali atau memapankan kembali makna identitas kultural dalam dan lewat jagat kreatif. Dengan kata lain, teks kreatif yang berangkat dari “lokus” tertentu seperti “Yogyakarta” dapat pula dikatakan sebagai upaya reteritorialisasi, pembangkitan kembali identitas yang hilang dalam dan melalui refleksi nostalgik dan konstruksi literer: reteritorialisasi emosional dan intelektual. “Yogyakarta” sebagai lanskap bisa saja hadir secara metaforis. Kreator mengupayakan hidupnya sebuah teritori yang terletak dalam ruang liminal antara yang mitis dan yang biasa (keseharian). Mereka pun  mencoba mengintegrasikan kelampauan dan kekinian dalam teks kreatif untuk merekonsiliasikan “Yogyakarta” yang bersifat mitis/historis yang dirindukan dengan makna tempat kontemporer yang telah terdistorsikan. Semua itu dapat dimuarakan pada keyakinan bahwa “seseorang tidak akan pernah mampu kembali melalui sebuah pintu yang telah dilalui.” Tiap upaya memapankan kembali identitas historis yang diyakini merupakan sesuatu yang hakikatnya simbolik dan bukannya nyata. Merevitalisasi identitas melalui penciptaan teks kreatif sebenarnya sama dan sebangun dengan memformat basis identitas kolektif yang baru, dan hal itu sah adanya. Saya pun menulis puisi berikut ini, beberapa tahun yang lalu.

    Dari Bangsal Sri Manganti, Keraton Yogyakarta, Suatu Hari

    selesai Sembur Adas lalu Pathetan
    engkau pun ke pentas untuk sebuah peran
    hidup digelar lewat seblak sampur
    dalam irama Sampak dan kadang Tlutur

    (orang-orang berjajar sekeliling bangsal
    ada Jawa, Cina, Belanda, dan Portugal
    ada surjan, celana pendek, dan T-Shirt kumal
    ada wajah majikan, ada pula wajah gedibal)

    engkau pun memintal jarak lewat untaian gerak
    makna pun terurai dalam langkah-langkah gemulai
    cinta-birahi dan rindu-dendam kemanusiaan
    terhidang di tengah bingkai keindahan
    alun gending dan lembut tarian
    semua atas nama peradaban

    selesai Agun-agun lalu sembahan
    engkau pun turut bagi sebuah penantian
    sepotong kehidupan selesai dipanggungkan
    lalu Gangsaran

    (di ruang ganti itu engkau bertanya:
    manakah yang lebih indah
    lakon pethilan dan karawitan
    atau paha terbuka dan dada tanpa beha?)

    Yogyakarta, Mei 1995

    Catatan: Sembur Adas, Sampak, Tlutur, Agun-agun, dan Gangsaran adalah nama-nama Gendhing dalam Karawitan Jawa


    [1]Bandingkan dengan Wendell
    Berry, 1977. The Unsettling of America:
    Culture & Agriculture
    (San Francisco: Sierra Club Books) seperti selalu
    dirujuk oleh Donelle N. Dreesse, 2002. Ecocritisism
    (New York: Peter Lang Publishing, Inc.)

    [2] Dua di antara empat
    butir yang dirangkum dalam Falsafah Joget Mataram: sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh.

    [3] Washington D.C.:
    Counterpoint.

    [4] Op.cit.

    [5] Dalam kaitan ini,
    kasus-kasus yang terkait dengan “perpindahan” seseorang atau sekelompok orang
    melalui program tertentu:  transmigrasi,
    pengapartemanan penghuni bantaran sungai di kota misalnya saja, menjadi perkara
    yang tidak mudah dilaksanakan/diselesaikan. 

  • Untuk Mereka Yang Akan dan Telah Menikah

    author = William Saputra

    Apa yang pagi hari berjalan dengan empat kaki, dua kaki di siang hari, dan tiga kaki di malam hari? Ini adalah teka-teki yang Sphinx berikan untuk Oedipus saat dia ingin membebaskan Theban. Begitu populer nya teka-teki ini, dan kiranya jawaban dari teka-teki ini adalah: “manusia”.

    Begitulah kiranya proses biologis yang dilalui semua orang: lahir, tumbuh, lalu meninggal. Namun, bagaimana tiap-tiap individu menjalani kehidupannya tentu akan sangat bervariasi. Setiap satu dari kita tentu melakukan, mengalami, dan merasakan hal yang berbeda dari satu dengan yang lainya. Secara spesifik, variasi ini akan sangat sulit dijabarkan, akan tetapi, ada sebuah proses yang dialami oleh orang-orang pada umumnya.

    Lahir dan tumbuh sebagai anak adalah hal pertama yang dialami. Setelah mulai bisa berjalan dengan dua kaki, kita bersekolah. Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan lalu Sekolah Tinggi. Untuk mereka yang kurang beruntung, mereka bisa langsung lompat; mereka tidak harus sekolah, sekolah, dan sekolah. Namun semuanya sama, setelah tidak bersekolah atau bersekolah satu, dua, maupun tiga –untuk bekerja– kemudian menikah dan melahirkan dan lalu membesarkan apa yang dilahirkan agar kemudian mereka bisa melahirkan anak-anak yang lain yang juga akan mengulangi proses ini berkali-kali. Terus berulang; lahir, sekolah, bekerja, menikah, melahirkan, membesarkan, setelah yang dilahirkan besar kemudian menikah dan ikut melahirkan dan membesarkan, yang lahir dari yang dilahirkan kemudian bersekolah, bekerja, menikah dan ikut melahirkan lagi, ad infinitum.

    Pernikahan adalah poros dari apa yang seharusnya dialami manusia semasa hidupnya. Tendensi untuk tidak memilih untuk menikah akhir-akhir ini mulai populer. Adalah sebuah kecenderungan bagi segelintir individu yang menganggap bahwa setelah menikah hidup mereka selesai. Mereka  bertanya: kenapa menikah? Seks adalah proses reproduksi alami yang bisa dilakukan tanpa menikah. Prostitusi juga bisa dijadikan tempat untuk memenuhi kebutuhan seks manusia. Belum lagi risiko gagalnya pernikahan. Perselingkuhan dan perceraian adalah hal yang sangat sering kita jumpai. Bahagia dengan hanya hidup bersama satu orang saja sampai akhir hayat juga sepertinya sangat sulit sekali. Segala hal pasti akan berubah seiring waktu. Begitupun isi hati manusia, sewaktu-waktu pasti akan berubah juga.

    Jika berbicara tentang pernikahan, pembahasan tentang cinta tidak boleh dilupakan. Memang jika ada sepasang manusia yang ingin saling mengikat hidup mereka satu sama lain, tidak hanya cinta yang dibutuhkan. Tapi, apakah adanya hal selain cinta, seperti surat nikah, harta, rumah, mobil, dan persetujuan orang tua, menjadi penentu adanya persatuan dua insan dalam hidup? Itu semua –harta, persetujuan, dan surat nikah– hanya means, sebuah cara untuk mencapai sebuah tujuan tertentu, bukan syarat utama. Saya jadi ingat Alm. Soebakdi Soemanto pernah berceletuk, saat sedang membahas kuliah Romeo & Juliet, bahwa jika memang mereka –Romeo dan Juliet– ingin menyatukan cinta mereka, mereka bisa meminta bulan menjadi saksi mereka.

    Mengapa pertanyaan: “Kenapa kamu cinta padanya?” hanya bisa dijawab dengan ketidakpastian, atau bahkan kebisuan? Kenapa ketika kita mencoba menjelaskan apa itu cinta, definisi yang kita pahami selalu terasa kurang? Tepat saat mengetik bagian ini, saya melihat di Line sebuah kutipan dari Wallace Stevens, begini bunyinya: “Seorang penyair melihat dunia sama dengan cara seorang pria memandang perempuan.”

    Mungkin kutipan di atas lebih lengkap jika pembaca memiliki situasi bahwa pria yang disebutkan di atas sedang jatuh cinta dengan perempuan yang dia pandang. Saya rasa apa yang sama dari dua fenomena itu dua-duanya merupakan hal yang bersifat estetis. Ciri utama dari segala sesuatu yang bersifat estetis adalah dia tidak bisa didefinisikan secara utuh. Hal ini disebabkan karena sesuatu yang bersifat estetis tidak pernah sama, atau synonymous, dengan apa yang ada, secara harfiah, di sekitar kita. Dengan mencoba mengasosiasikan pengalaman ini dengan ide yang telah kita ketahui –misal, dengan menyebut A baik, cantik/tampan untuk menjawab pertanyaan “kenapa saya mencintai A?”–, selalu ada perasaan bahwa ada yang kurang, bahkan ragu apakah ide yang kita gunakan benar atau tidak. Keraguan ini benar adanya karena estetika hanya bisa dirasakan lewat pengalaman subyektif, tidak pernah dengan reason. Paling maksimal, hal yang bisa dilakukan dengan reason dalam mendefinisikan pengalaman estetis adalah mencoba menjelaskan dengan menyebutkan apa yang tidak.

    Karena sifatnya yang ‘tidak pernah sama’ dengan hal lainnya yang ada di dunia, sifat lain yang utama dari cinta adalah romantis, atau idealistis. Segala sesuatu yang bersifat idealistis tidak akan pernah bisa secara utuh terealisasi di dunia luar, karena eksistensi mereka terikat di dalam pikiran untuk selamanya ada sebagai ide. Adalah pernyataan yang sulit disanksikan bahwa kisah-kisah romantis yang pernah ada, hanyalah ilusi-ilusi manis bila dibandingkan dengan kenyataan.

    Wilde pernah mengatakan bahwa esensi dari sebuah ke-romantis-an adalah ketidakpastian. Dan saat seseorang melamar pasanganya, di mana seseorang akan, dan kemungkinan besar, diterima, apa yang romantis akan hilang (Kecuali yang nge-lamar ngasal doanki.e. ga pake PDKT). Pernikahan menghasilkan kepastian si dia selalu bisa berada di sekitar kita. Ke-romantis-an dalam cinta bak bumbu utama dalam masakan. Setelah adanya kepastian, cinta bisa menjadi hambar, sehingga akhirnya perlahan bisa runtuh.

    Aldous Huxley dalam berbagai karyanya berulang-ulang menyebutkan bahwa salah satu sumber dari segala kemalangan yang harus dialami manusia adalah keliru menggangap apa yang merupakan means sebagai ends, apa yang hanya proses sebagai tujuan akhir.

    Mindset umum selalu menganggap demikian: cinta ada, atau bahkan hanya bisa ada, untuk pernikahan. Tanpa pernikahan, sepasang manusia bisa dicap zina. Akan tetapi kita semua selalu paham akan anggapan bahwa cinta adalah kondisi utama agar bisa terjalin persatuan dua insan yang bukan hanya dokumen belaka. Cinta adalah sebab dari pernikahan, tapi cinta tanpa pernikahan sangat dilarang. Lalu apa yang bisa dilakukan?

    Dengan menikah, sebuah pasangan biasanya akan selalu bersama sepanjang waktu. Dengan selalu bersama, biasanya hal-hal yang buruk akan muncul ke permukaan sehingga bisa menimbulkan kebencian dalam hati pasangannya. Nietzsche pernah mengatakan bahwa pernikahan yang ideal adalah di saat pasangan suami istri tidak tinggal seatap, sehingga mereka tidak perlu tahu hal-hal buruk yang bisa menimbulkan kebencian dalam hati masing-masing pasangan. Tapi, sebagian besar dari kita memilih untuk hidup bersama pasangan kita masing-masing, bahkan menganggap bahwa hidup bersama pasangan adalah sebuah pencapaian. Maka dari itu, menanggulangi munculnya kebencian yang berasal dari bersamanya dua insan sepanjang waktu adalah hal yang harus dipikirkan.

    Dalam filsafat jika berhadapan dengan masalah apa itu cinta, akan selalu diajukan pertanyaan soal apakah seseorang hanya mencintai apa atau siapa yang seseorang cintai dari pasangannya. Dalam pertanyaan ini, seseorang bisa dikatakan tulus mencintai, jika dia mencintai pasangannya seutuhnya –mencintai seseorang karena siapa dirinya sebagaimana apa adanya dia–, bukan tentang apa-nya, atau kualitas tertentu –kecantikan, kekayaan, kepintaran, dll.– yang ada pada diri orang lain. Solusi ini klise karena sudah diulang beribu-ribu kali dibanyak tempat –di televisi, di jejaring sosial, bahkan di percakapan-percakapan kita sehari-hari. Dengan menerima seseorang apa adanya kita bisa menanggulangi munculnya kebencian yang muncul dari hidup seatap.

    Seperti biasa, berkata selalu lebih mudah daripada berbuat. Masalahnya adalah pada saat ‘menerima seseorang apa adanya’ dianggap sesuatu yang statis –setelah kita anggap kita berhasil melaksanakannya dalam suatu saat tertentu, lalu mengganggap di setiap saat ke depan kita akan selalu bisa berhasil. Mungkin bisa kalau yang kita coba cintai adalah sebuah meja, atau durian –i.e.: benda mati yang signifikan karena dia memiliki fungsi. Kita harus selalu ingat bahwa yang kita hadapi adalah manusia –makhluk hidup yang senantiasa berubah.

    Untuk benar-benar mencintai seseorang apa adanya, kita harus menyadari bahwa yang sedang kita hadapi adalah manusia. Karena manusia pasti akan terus berubah, maka perlakuan dan persepsi kita harus menyesuaikan. Persepsi dan perlakuan kita harus selalu ikut berubah –selalu sebagai sebuah proses yang tidak pernah selesai.

    Lalu apa yang akan terjadi saat seseorang berhasil menerima pasangannya sebagaimana diri adanya? Pernikahan adalah poros dari apa yang seharusnya dialami manusia semasa hidupnya. Setidaknya setelah berhasil menerima pasangannya sebagaimana dirinya, seseorang bisa memiliki keluarga yang bahagia. Setelah memiliki keluarga yang bahagia, hidup akan terasa indah dan segalanya akan mengikuti.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

  • Tren Astrologi yang Tidak Pernah Mati, dan Bisnis yang Itu-itu Saja

    author = Muhammad Lutfi

    Hayoo, sudah berapa tulisan-tulisan tentang zodiak yang kalian baca hari ini di media sosial? Sudah merasa beruntung atau tetap saja ditimpa kesialan? Sudah merasa cocok dengan pasangan, atau malah sadar kalau hubungan kalian tidak akan lama? Rezeki kapan turunnya, padahal tiap hari katanya beruntung terus. Ya, demikianlah, ternyata kita tida tidak bisa melepaskan belenggu kecemasan kita pada masa depan, dan betapa kita tidak mengenal diri kita lebih baik dari ramalan-ramalan zodiak. Ironisnya, keberuntungan ternyata malah dikeruk oleh para penjaja kata-kata zodiak, yang mengaku astrolog bahkan tanpa sertifikat dan referensi yang akurat.

    Tidak bisa dipungkiri lagi, fenomena ramalan zodiak di media sosial adalah lompatan kijang untuk mendapatkan follower yang banyak. Tidak penting seberapa tepat ramalan itu, karena berawal dari kontroversi, setiap orang akan tertarik dan kemudian mengafirmasi. Pasalnya, bisnis yang dilakukan nampak tidak ada perkembangan dan berkutat pada hal itu-itu saja: paid promote, endorsement dkk. Itulah mengapa, astrologi di Indonesia jarang sekali dibahas secara serius dan mendalam, dan melulu pada topik-topik keseharian yang mungkin relate pada beberapa orang. Sementara itu, astrologi sebagai ilmu masih jauh dari kata tuntas diketahui khalayak luas.

    Bahkan dalam penggunaan istilah, seringkali para copywriter (ya, karena kebanyakan hanya copas dari tulisan-tulisan yang sudah ada) salah kaprah. Zodiak yang ditulis mereka berdasarkan tanggal dan bulan lahir itu merupakan sun sign. Zodiak adalah 12 simbol dari mitologi Yunani, dan dalam pemaknaannya harus ditandai pada planet-planet yang melingkupinya.  Misalnya, zodiak gemini pada tanda matahari, zodiak virgo pada tanda bulan, venus, mars, merkurius dan blah, blah blaaaah. Ini perkara yang sangat elementer, dan belum berubah sampai hari ini. Itulah mengapa, di Indonesia pembahasan hanya sekadar menyangkut tanda mataharinya, tidak mengaitkan pada tanda bulan, dan planet-planet yang lainnya. Astrologi memang sangatlah rumit, namun terlihat begitu sepele ketika masuk ke budaya populer kita, karena ya memang, cuma untuk dapat follower dan cuan dari endorse-an.

    Di India, ada beberapa sekolah yang membahas tentang astrologi, sebut saja Institute of Vedic Astrology yang mempelajari, palmistry, tarot dan astrologi. Oxford juga membuat summer school di Faculty of Astrological Studies, yang akan memfasilitasi peserta untuk menjadi astrolog profesional. Di Indonesia? Ada yang mengaku ahli astrolog hanya gara-gara live di youtube dengan artis-artis dan populer di Instagram, pembahasannya tidak lebih dari sekadar kecocokan baju bagi setiap zodiak (baju endorse-an). Dari fenomena ini, kita bisa melihat bagaimana kebudayaan populer menggerus akar tradisi keilmuan. Popularisme telah menjadi nabi bagi setiap insan. Dan popularisme adalah obat sekaligus racun bagi setiap kecemasan. Hari ini kecemasan kita telah dikapitalisasi oleh astrologi populer khas Indonesia, yang selalu membuang aspek-aspek keilmuan dari akarnya, agar mudah dikunyah dan menjadi tai massa.

    Bisnis yang itu-itu saja, membuat astrologi di Indonesia jalan di tempat. Pembahasan astrologi di rubrik pun hanya sekadar pancingan untuk masuk ke halaman dan meng-klik iklan. Karena bisnis tetap berjalan, walau dengan cara yang membosankan. Di mana Ptolemy pernah dibahas? Padahal bukunya yang berjudul tetrabiblos menjadi tonggak pondasi astrologi. Di mana Carl G. Jung ditempatkan? Padahal di dalam seminarnya, Jung membahas keterkaitan astrologi dengan psikoanalisis, dan menjadi pedoman dalam konsultasi astrologi sampai hari ini. 

    Bisnis astrologi ini bisa jadi akan nampak begitu berbahaya dampaknya, jika dijadikan satu-satunya pedoman hidup karena sedikit demi sedikit telah menyerang alam bawah sadar kita. Keilmuan yang belum tuntas dalam pembahasannya, mengakibatkan diagnosa-diagnosa ngawur yang malah menambah kecemasan massa. Bukan hanya karena terkenal, seseorang bisa menjadi astrolog. Coba bayangkan, betapa banyaknya astrolog-astrolog kecil hari ini, yang bisa membaca karaktermu, walau hanya berpedoman postingan di Instagram. Lalu, bukan berarti bahwa kita harus membuang astrologi di dalam kehidupan dan mementahkannya, tapi alangkah lebih bijak para konten kreator akun-akun perzodiakan belajar secara serius tentang membuat interpretasi astrologi dari buku-buku atau kursus online. Sebagai salah satu cabang keilmuan tertua di dunia, astrologi tidak seremeh yang kita kira.Astrologi merupakan kombinasi dari filsafat, astronomi, psikologi dan seni nampak tidak pernah dibahas tuntas. Mungkin karena cabang-cabang tersebut tidak akan populer dan memiliki kerumitan luar biasa, sehingga setiap orang mencari jalan mudah dengan tulisan-tulisan ngawur tanpa landasan. Jadi jangan salahkan setiap orang yang menganggap bahwa astrologi merupakan barnum effect, karena data-data empiriknya tidak pernah dikupas mendalam. Dan yang senyatanya adalah, astrologi di Indonesia adalah makanan empuk untuk setiap konsumen yang butuh konspirasi dan cocok-cocokan, karena sebuah kepastian rasanya begitu menyesakkan. Akan tetapi, di balik itu semua, membaca ramalan zodiak di media sosial dapat membuatmu tenang dus menghiburmu dari peliknya masalah kehidupan dan politik nasional. Apalagi, di masa pandemi ini, mungkin kita memang membutuhkan sebuah harapan, meski nyalanya samar-samar.

  • Transendensi Eddie

    author = Aryo Jakti Artakusuma

    Semua bermula saat saya masih SMP, saya membeli CD mp3 bajakan di trotoar Jalan Soeprapto, pusat Kota Bengkulu seharga lima ribu, CD mp3 berisikan lagu-lagu tersohor dari band-band rock legendaris. Di dalamnya terdapat satu bagian berisi kompilasi lagu Van Halen. Saya lupa lagu apa saja yang ada dalam kompilasi tersebut, yang jelas ada Jump, Panama, Hot for Teacher, Ain’t Talkin’ Bout Love, dan Eruption. Ain’t Talkin’ Bout Love adalah lagu pertama di track itu, akan tetapi, ketika sampai pada lagu kedua, Eruption, saya dibuat kaget, tercengang kagum. Komposisi gitar berdurasi 1 menit 42 detik itu adalah kreasi dari seorang virtuoso, seorang vandalis, seorang mad scientist, seorang nabi, seorang inovator, seorang jenius; Eddie Van Halen, EVH, atau Eddie.

    Eruption adalah sebuah lagu yang mentransformasikan musik dan gitar ke sebuah dimensi baru yang belum pernah ada. Eddie adalah figur transenden yang membawa orang-orang untuk main mata lagi dengan gitar sebagai inti musik rock. Rock dan gitar yang tadinya tersapu oleh disko menyeruak kembali, ketika Eddie memuntahkan Eruption semua orang tersentak, ingin mengikuti jejaknya; memainkan gitar dengan tapping ciamik. Silakan anda dengarkan dan tanyakan ke semua gitaris Hair Metal 80an, semuanya punya satu kesepakatan, Eddie telah membuatkan mereka jalan untuk melaju.

    *

    Edward Lodewijk Van Halen, lahir di Nijmigen, Belanda pada 26 Januari 1955 dari ayah bernama Jan Van Halen yang orang Belanda, dan ibu bernama Eugenia Van Beers seorang Indo dari Rangkasbitung. 1962 mereka bermigrasi ke Pasadena, California untuk mengejar American Dreams. “Kami hanya membawa 50 dollars dan sebuah piano. Aku hanya bisa mengucapkan beberapa kata dalam Bahasa Inggris ketika pertama kali sampai ke sini,” kata Eddie

    Awal menjejakkan kaki di tanah impian, Jan Van Halen yang memang seorang musisi profesional mengambil kerja sambilan sebagai tukang cuci piring dan Eugenia menjadi pembantu rumah tangga. Sementara Eddie dengan kakaknya Alex Van Halen, yang memang sudah mengenyam pelajaran piano klasik di negeri oranye akhirnya tumbuh, bergaul, dan tenggelam di lingkungan rock and roll West Coast akhir 60an. Eddie dan Alex kemudian bersekolah di Pasadena City College. Di sana Eddie bermain gitar dan Alex bermain drum, juga mengambil les piano. Mereka bertemu David Lee Roth, membentuk Mammoth, dan Eddie menukar drumnya dengan gitar Alex. Teisco Del Rey adalah gitar pertamanya, dibeli seharga 110 dollars. Mammoth melengkapi formasinya dengan merekrut seorang bassis bernama Michael Anthony dari band lokal bernama Snake. Mereka akhirnya malang melintang di skena rock Pasadena, manggung membawakan materi David Bowie, The Rolling Stones dan banyak lainnya, juga mulai menulis lagu dengan gaya mereka. Dalam masa itu Eddie juga telah memainkan gitar rakitannya sendiri, dikenal dengan nama Frankenstein, ber-body merah penuh dengan coretan garis silang hitam putih. Tiga tahun mereka bermain di gigs sekitaran Pasadena, Hollywood, Santa Barbara secara rutin sampai akhirnya membangun reputasi sebagai salah satu penampil paling populer di California Selatan.

    Suatu ketika, Gene Simmons, bassis Kiss datang dan menyaksikan mereka manggung di Starwood Club, Los Angeles. Simmons yang kepicut dengan aksi ciamik mereka pun menawari untuk rekaman beberapa lagu. Setelah selesai menerima bantuan tersebut, major label tak kunjung datang untuk meminta Van Halen menandatangi kontrak album. 1977, Ted Templeman seorang produser dari Warner Brothers menyaksikan aksi panggung Van Halen di—lagi-lagi—Starwood. Ia terkesima melihat aksi gila Roth dan eksplosifnya Eddie Van Halen dalam bermain gitar. Ted langsung memberi tahu supremo Mo Ostin untuk segera mengontak mereka, dan kesepakatan tercapai, kontrak ditandatangani, Van Halen menggarap album pertamanya dan merilis album debutnya di tahun 1978, sensasional, laku 12 juta keping dan membuat semua anak di Amerika ingin menjadi gitaris. Album pertama yang langsung melesatkan Van Halen itu menjadi tajuk hangat dalam ranah industri terutama rock yang kemudian diikuti dengan peluncuran album Van Halen II selang setahun, Women and Children First di 1980, Fair Warning pada 1981.

    Setelahnya Van Halen merilis album terbaik mereka bertajuk 1984 di tahun yang sama. Album tersebut memuat satu lagu kolosal berjudul “Jump”. Lagu ini tak hanya menjadi lagu satu-satunya dari Van Halen yang menduduki puncak Billboard 100, tapi juga berhasil mendobrak skena rock dan heavy metal saat itu. Jump keluar dari standar bagaimana lagu rock heavy metal dimainkan, Eddie sebagai pencipta lagu ini menggunakan synthesizer sebagai instrumen melodi utama alih-alih gitar yang sudah jadi karakter dan pakem utama. Lagu ini dibuat Eddie dengan piano lalu ditranskrip ke gitar, power chord yang disematkan Eddie di synthesizer tersebut adalah adaptasi ia terhadap gaya permainan gitarnya yang masif dan distorsif laiknya karakter Heavy Metal. Dari semua hal tersebut pada akhirnya lahirlah “Jump” yang intro keyboardnya sangat ikonik itu.

    Pada 1983, Eddie pernah dimintai mengisi bagian solo lagu hits besar Michael Jackson yang berjudul “Beat It”. Ia menyanggupinya, dan semua orang tahu Eddie melakukan itu dengan cuma-cuma. “Tidak ada yang perlu dipermasalahkan, rekaman itu cuman menyita 20 menit dari hidupku,” kata Eddie.

    Pada puncak karir itu, Van Halen mengalami beberapa masalah serius, yang paling tersohor tentunya adalah keluarnya vokalis mereka David Lee Roth untuk mengejar solo karir pada 1985, namun hal itu tak berlangsung lama, ketiga personel yang tersisa langsung merekrut Sammy Hagar dan langsung tancap gas menggarap album dan merilisnya pada tahun 1986 dengan tajuk “5150” diambil dari nama studio rekaman Eddie. Album itu langsung bertengger di posisi puncak Billboard 200 selama 4 minggu berturut-turut. OU812 di tahun 1988, F.U.C.K alias Far Unlawful Carnal Knowledge tahun 1991 adalah album-album multi-platinum selanjutnya dari era Van Hagar, mereka juga sempat merilis album live berjudul Right Here, Right Now tahun 1993 sebelum akhirnya band ini ribut dan Hagar cabut untuk bersolo karir juga. Mereka sempat merilis satu album dengan Gary Cherone, namun tak sukses seperti sebelumnya. Perseteruan antara Eddie dan personel lainnya adalah pemandangan lain dari kacaunya internal Van Halen, namun semua itu tak bisa menutup karir dekoratif mereka terutama Eddie sebagai identitas utama band ini. Tahun 2008 Van Halen masuk dalam Rock and Roll Hall Of Fame, merilis album baru berjudul A Different Kind of Truth di 2012 dengan formasi Eddie, Alex, Roth dan anak Eddie, Wolfgang Van Halen di posisi bass.

    *

    Eddie adalah seorang yang telah berhasil mengubah musik secara gamblang. Tak ada yang dapat menampik kejeniusannya yang sukar dilogika: Eddie adalah seorang otodidak yang dapat bermain apapun. Ia tak mampu membaca partitur namun dapat bermain piano klasik.

    “Eddie dapat menghasilkan groove terbaik dan punya bakat melodius, ia mempopulerkan gitar Kembali setelah gitar disapu oleh instrumen lain dan kalah popular. Membuat gentar gitaris lain serta juga mempengaruhi banyak orang untuk memainkan dan mencintai gitar,” kata gitaris ternama, Joe Satriani.

    Kepengaruhan dan kesuksesan Eddie akhirnya menempatkan namanya sejajar dengan Eric Clapton dan tentunya Jimi Hendrix, laiknya dua orang itu, Eddie juga mengubah seutuhnya bagaimana imajinasi di dunia musik bekerja.

  • Tiada Lagi Haji yang Berlabuh di Pantai Ini

    author = Nanda Ghaida

    Kendati telah di-Islam-kan sejak awal abad ke-16, tren haji di Lombok baru dimulai pada abad ke-18. Seiring dengan menebalnya keimanan, juga keingintahuan yang besar terhadap tanah suci, perjalanan berbulan-bulan lewat laut—lengkap dengan segala resikonya—tidak mengurungkan niat umat Islam di Lombok untuk menginjakkan kaki di Mekkah.

    Dikenal dengan sebutan Pulau 1000 Masjid, begitulah gambaran besarnya pengaruh Islam di pulau kecil ini. Tahun ini saja Bandara Internasional Lombok menerbangkan 4.476 haji yang berasal dari seluruh Nusa Tenggara Barat (NTB). Meski begitu, tidak banyak tersedia catatan mengenai perjalanan haji orang-orang Lombok lewat jalur laut.

    Umumnya, perjalanan haji pertama dari Lombok bermula dari sebuah tempat di Kabupaten Lombok Timur. Dahulu, calon jamaah haji dari Lombok dan wilayah lain di NTB berkumpul di wilayah itu. Mereka mendirikan tenda di tanah lapang, sekitar 1 km dari dermaga. Kapal-kapal yang akan membawa jamaah menuju pelabuhan embarkasi haji pemerintah, berlabuh sekitar 300 meter dari bibir pantai. Untuk mencapai kapal, perlu menggunakan alat semacam sekoci besar bernama blungku berbentuk “U”.

    Berdasarkan ordonasi haji tahun 1922, pelabuhan embarkasi yang ditetapkan pemerintah Hindia Belanda ialah Makassar, Surabaya, Tanjung Priok, Emena, Palembang, dan Sabang. Oleh karenanya, semua jemaah haji asal Lombok harus terlebih dahulu menuju ke pelabuhan-pelabuhan itu jika ingin berhaji dengan kapal yang disediakan pemerintah. Kendati bukan pelabuhan resmi untuk berhaji, seluruh calon jamaah haji Lombok dan NTB selalu berkumpul di dermaga itu. Mungkin karena itulah nama pantai dan kecamatan di daerah itu disebut Labuhan Haji.

     

    Tahun 1930an, 6 Bulan di Laut, 5 Bulan di Darat

    Walau tidak banyak keterangan mengenai Labuhan Haji, saya cukup beruntung bisa bertemu dengan Zaitunil Zarkiyah (saya memangilnya Umi), seorang hajah yang bisa memberikan gambaran tentang keberangkatan haji jalur laut. Ingatannya tumpah ruah ketika saya memintanya untuk menceritakan tentang prosesi haji kakek, ayah, dan dirinya.

    Generasi pertama yang berhaji di keluarganya adalah kakeknya yang bernama H. Lalu Abdul Wahab, seorang petani padi di Desa Ketara, Lombok Tengah. Umi tidak begitu ingat berapa biaya pastinya yang dikeluarkan kakeknya saat berhaji di tahun 1936. “Uangnya kepingan bolong-bolong, ada gambar perempuan Belanda, semua dimasukkan ke pundi-pundi, ada sekitar dua pundi. Itu setara harga 30 kerbau,” terangnya.

    Setelah terbukanya Terusan Suez, pemerintah Hindia Belanda memang mengambil keuntungan untuk mengatur transportasi dan segala tetek bengek lainnya dalam ordonasi haji sehingga biaya menjadi lebih mahal daripada saat sebelum ordonasi haji dibuat. Dalam bedevaartverslag (arsip Konsulat Belanda di Jedah), biaya minimal berhaji di tahun 1931-1939 berkisar f 570 dan biaya tertingginya mencapai f 856,50. Biaya yang diatur oleh pemerintah kala itu mencakup tiket kapal haji,  upacara pemberangkatan, serta perjalanan menuju pelabuhan embarkasi haji. Biaya itu juga termasuk pengeluaran di luar negeri, seperti ongkos transportasi di Arab yang meliputi sewa unta, sewa penginapan di Mekkah, ziarah ke Madinah, dan konsumsi selama di Mekkah untuk lima bulan.

    Menurut keterangan Umi, waktu tempuh pelayaran menuju daratan Arab dari Lombok saat itu adalah tiga bulan. Setelahnya, jemaah menunggang unta sewaan dari Jedah-Mekkah-Madinah (juga sebaliknya) yang memerlukan waktu tempuh sebulan untuk perpindahan dari satu kota ke kota lain, sehingga estimasi waktu yang dihabiskan untuk prosesi haji kala itu adalah lima bulan. 6 bulan di laut, 5 bulan di darat, adalah total waktu berhaji dari Pantai Labuhan Haji sampai kembali lagi. Nyaris setahun.

     

    Yang Hilang dari Haji Dulu: Barokahnya!

    Biaya yang tidak sedikit dan waktu yang panjang untuk berhaji membuat jamaah perlu menyiapkan proses keberangkatan haji dari jauh hari. Jumlah jamaah yang mampu pergi haji di tahun 1930-an hanya berkisar satu orang di setiap dua desa. Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan sekarang. Tapi, dalam perihal persiapan keberangkatan haji, hampir semua orang di desa terlibat untuk membantu dengan sukarela.

    Soal perbekalan, setidaknya sejak tiga bulan sebelum keberangkatan, warga desa datang nyaris setiap hari ke rumah calon jemaah haji untuk membantu memanen padi yang kemudian disimpan selama sebulan sebelum diolah menjadi nasi kering dan kue poteng, panganan sejenis uli, campuran dari beras, ketan, dan kelapa yang awet sampai setahun. Bekal-bekal itulah yang kelak akan dikonsumsi di kapal selama perjalanan.

    Resiko untuk tidak kembali ke tanah Lombok selalu ada. Itu pula yang menjadi alasan kenapa para jemaah dilepas sedemikian meriah. Sebelum berangkat, selama sembilan hari lamanya, warga mengadakan ziarah di rumah jamaah haji. Doa-doa, salawat barzanji dan sarakalan dipanjatkan. Harapannya agar haji berjalan lancar dan jamaah dapat kembali dengan selamat.

    Saat hari keberangkatan, semua keluarga jemaah lengkap dengan masyarakat di desanya ikut melepas di dermaga. “Satu orang yang berangkat, satu desa yang mengantar,” kata Umi. Tambahnya, mereka semua memakai atribut serba putih, dan satu hal yang tidak luput adalah kipas warna-warni yang dihias agar lambaian tangan mereka tetap tampak meski kapal sudah jauh melaju dari dermaga.

    Normalnya, ketika cuaca sedang baik, seorang yang pergi berhaji akan pulang di musim haji selanjutnya. “Kakek pun begitu, ketika dia pulang, orang-orang di sini sudah mau berangkat haji lagi, setahun sudah,” kenang Umi. Begitu sampai di Lombok, penyambutan haji-haji baru juga dilakukan dengan amat meriah. Uniknya, saat itu haji ‘dikarantina’ dengan ditempatkan di sebuah rumah khusus yang didesain serba putih—mirip dengan kamar pengantin—untuk haji melakukan paosan, pembacaan kitab-kitab dari lontar dalam bentuk tembang macapat untuk mendalami ilmu makrifat.

    Selain itu, di rumah haji juga kembali dilakukan sarakalan dan barzanji sembilan hari lamanya. Orang-orang berdatangan dengan membawa makanan dan mereka dijamu dengan kurma dan air zam-zam. Meski tidak ikut pergi berhaji, kedatangan haji di desa mereka membuat suasana haji ikut dirasakan warga desa yang lain. “Udah nggak kita rasakan lagi seperti itu, kalau sekarang, haji kayak nggak ada barokahnya. Semua berangkat dan pulang sendiri-sendiri,” tutup Umi.

     

    Labuhan Haji, Riwayatmu Kini

    Setidaknya hingga tahun 1974, aktivitas pengangkutan jamaah melalui dermaga Labuhan Haji berjalan sebelum akhirnya pelayaran haji laut dihentikan saat PT. Arafat dinyatakan pailit. Masyarakat Lombok pun beralih menggunakan jalur udara untuk berhaji.

    Meski begitu, rombongan tersebut tidak terbang langsung dari Lombok, tetapi lewat embarkasi haji di Bandara Juanda, Surabaya. Dari Lombok, jamaah haji termasuk ayahnya Umi, tetap berangkat dari pelabuhan, meski bukan dari Labuhan Haji, melainkan dari Pelabuhan Lembar.

    Pengalihan Labuhan Haji ke Pelabuhan Lembar bukan tanpa alasan. Meski telah menjadi pelabuhan yang memberangkatkan hingga ribuan jamaah haji Lombok dan NTB, pada akhir 60-an labuhan ini mulai ditinggalkan dan dinilai kurang cocok sebagai pelabuhan karena kurang kedalaman lautnya.

    Ali Bin Dahlan, Bupati Lombok Timur periode 2003-2008, sempat berencana mengaktifkan kembali Labuhan Haji sebagai pelabuhan untuk mengangkut sapi-sapi ke Australia, juga untuk pengangkutan pupuk dan semen. Hanya sayang, selepas periodenya berakhir, bupati penggantinya tidak meneruskan program itu. Labuhan yang pernah menjadi saksi keberangkatan ribuan haji itu kini tampak penuh karat dan tidak terawat.

    Kini, setelah Ali Bin Dahlan terpilih kembali menjadi Bupati Lotim untuk periode 2013-2018, program revitalisasi Labuhan Haji mencuat kembali. Konon anggarannya mencapai Rp. 30 milyar.

    Meskipun kelak pembangunan selesai dan  pelabuhan bisa dioperasikan, belum ada yang mewacanakan untuk mengembalikan hiruk-pikuk Labuhan Haji seperti sedia kala. Labuhan Haji, pada akhirnya, hanya menjadi sebuah kenangan yang akan diwariskan pada anak cucu tentang leluhur yang mampu menyempurnakan agama meski terbentang laut ribuan kilometer. Kini tiada lagi haji yang berlabuh di pantai ini.

     

     

    Sumber referensi:

    Historiografi Haji Indonesia. 2007. M. Shaleh Putuhena.

    Pelayaran Angkutan Jamaah Haji di Hindia Belanda (Tahun 1911-1930). 2016. Ahmad Fauzan Baihaqi

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Tentang Sulli, Bunuh Diri, dan Kesehatan Mental

    author = Dima Hana Mahsunah

    Waktu saya diminta oleh Bagus Panuntun untuk menulis di Kibul mumpung saya sedang studi S2 di Korea, sejujurnya saya bingung mau nulis apa. Hal-hal yang ada di Korea sepertinya sudah diketahui oleh banyak orang di Indonesia—terima kasih, K-drama! Tidak ada hal yang cukup menarik untuk saya tulis, sampai akhirnya penyanyi dari girl-band f(x), Sulli, ditemukan tewas bunuh diri 14 Oktober lalu. Bunuh dirinya Sulli ini tak hanya menggemparkan warga Korea Selatan saja, tapi juga orang-orang Indonesia.

    Laku bunuh diri para artis di Korea memang bukan hal baru. Kurang dari dua tahun lalu, Jonghyun SHINEE juga melakukannya. Baik Jonghyun ataupun Sulli memang sama-sama tertekan oleh profesi yang mereka jalani, namun ada perbedaan mencolok yang di-highlight oleh banyak orang terkait kematian Sulli. Sementara Jonghyun adalah artis yang dicintai banyak penggemarnya, Sulli justru selalu mendapat banyak komentar jahat dari netizen yang kemungkinan besar memperburuk keadaan mentalnya sebelum akhirnya ia mengakhiri hidupnya.

    Sampai di sini, saya kemudian berpikir, alangkah miripnya kasus Sulli ini dengan topik skripsi yang saya selesaikan Agustus tahun lalu; perihal cyberbullying. Karena itulah saya jadi punya ide untuk menulis tentang cyberbullying beserta bentuk-bentuk dan dampak negatifnya. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran akan perilaku cyberbullying, dan—semoga setelah itu—orang-orang akan lebih berhati-hati menggunakan internet supaya tidak melukai orang lain.

    Apa sih Cyberbullying itu?

    Cyberbullying atau dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai perundungan siber, sederhananya adalah bullying yang dilakukan melalui perangkat elektronik. Richard Donegan (2012: 34) mengatakan bahwa cyberbullying adalah hasil evolusi dari traditional bullying dan merupakan dampak negatif dari evolusi teknologi.

    Karena menggunakan perantara elektronik, si pelaku menyembunyikan identitasnya secara anonim dan tidak bisa melihat secara langsung reaksi korban. Hal ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan cyberbullying justru lebih berbahaya ketimbang traditional bullying, karena tidak ada efek psikologis yang dirasakan pelaku. Selain itu, si pelaku juga bisa dengan gampang lepas tangan dari apa yang diperbuatnya karena merasa identitasnya sudah terlindungi. Faktor lain adalah seseorang bisa terkena cyberbullying kapan saja dan di mana saja, tidak ada batasan waktu dan tempat. Internet telah memungkinkan kita bisa berbicara tanpa bertatap muka, dan ini malah menjadi pisau bermata dua untuk penggunanya.

    Komentar jahat hanya salah satu dari bentuk-bentuk cyberbullying yang ada. Menurut Nancy Willard dalam bukunya “Cyberbullying and Cyberthreatsâ€? (2007), ada tujuh bentuk cyberbullying:

    1. Flaming yang bisa diterjemahkan sebagai ‘memancing’. Flaming didefinisikan sebagai perbuatan memancing amarah dengan menggunakan bahasa yang agresif dan kasar. Contoh perbuatan flaming yang saya tulis dalam skripsi saya adalah player killing atau ‘현피’ (hyeonpi). Hyeonpi sendiri adalah singkatan dari ‘현실 피해ì??’ (hyeonsil pihaeja) yang bisa diterjemahkan sebagai “korban di dunia nyataâ€?. Jadi lingkupnya sudah bukan di ranah dunia maya lagi, tetapi sudah berlanjut hingga timbul korban di dunia nyata. Kasus hyeonpi ini terjadi di Korea tahun 2013, ketika seorang anak SD menusuk temannya dengan pisau setelah bertengkar lewat KakaoTalk (semacam LINE di Korea). Hal ini sungguh tragis, mengingat mereka masih berusia belasan namun sampai tega melakukan kejahatan yang biasa dilakukan orang dewasa hanya karena pertengkaran di dunia maya.
    2. Harassment (pelecehan) didefinisikan Nancy Willard sebagai pengiriman pesan yang berulang-ulang yang bersifat kasar, menyerang dan menghina. Dalam harassment, Nancy tidak menyebutkan secara spesifik bahwa penghinaan yang dimaksud harus bersifat seksual. Hal ini paling banyak dijumpai dalam bentuk malicious comment alias komentar jahat atau dalam Bahasa Korea disebut ‘악플’ (akpeul). Tidak hanya Sulli, artis-artis Korea lain juga merupakan korban dari komentar buruk ini. Salah satunya adalah Lee Hwi Jae, yang merupakan ayah dari anak kembar Lee Seo Eon dan Lee Seo Jun yang terkenal lewat reality show “The Return of Supermanâ€?. Ayah Lee mengidap Alzheimer dan hal ini sempat ditayangkan lewat reality show tersebut. Namun, netizen menganggap bahwa hal itu semua cuma bohong belaka alias settingan. Lee kemudian memutuskan untuk mengambil jalur hukum dan melaporkan 8 orang yang berkomentar jahat mengenai ayahnya. Tak hanya Lee Hwi Jae, IU, salah satu penyanyi paling terkenal di Korea juga mendapatkan banyak komentar jahat. Sepertinya artis-artis memang rentan terkena serbuan akpeul. IU bahkan pernah melaporkan 82 orang yang melayangkan komentar buruk kepadanya di tahun 2015.
    3. Denigration adalah proses mengumbar keburukan seseorang di internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang tersebut. Kasus ini dialami oleh Tablo, penyanyi dan penulis lagu asal Korea Selatan tahun 2010 silam, yang saking parahnya sampai ada satu jurnal yang khusus membahas pencemaran nama baik yang dialami oleh Tablo. Singkatnya, netizen di Korea tidak percaya bahwa Tablo pernah berkuliah di Stanford University dan membuat dua forum (semacam forum di Kaskus mungkin ya) yang khusus membahas sekaligus mencari ‘bukti-bukti’ bahwa Tablo berbohong. Bukti-bukti tersebut antara lain rekaman imigrasi, nilai SAT (nilai standarisasi masuk perguruan tinggi di Amerika Serikat), transkrip akademik, hingga foto buku tahunan. Mereka juga menuduh Tablo sengaja mempertahankan kewarganegaraan ganda agar terhindar dari wajib militer. Gara-gara ini, karir Tablo hancur dan dia harus menjalani perawatan untuk kesehatan mentalnya. Tablo mencoba membuat klarifikasi dengan menunjukkan transkrip nilai yang ia terima dari Stanford, namun tidak ada yang mempercayainya. Tablo nyaris mengakhiri nyawanya, namun ia kemudian melaporkan 22 orang dedengkot yang paling aktif mem-bully-nya. Sedihnya, baru-baru ini saya melihat fenomena yang mirip dialami oleh Tablo. Di Twitter, seorang perempuan belia yang mengaku sedang kuliah di Jerman di-bully oleh netizen karena beberapa netizen tidak percaya dia berkuliah di sana. Semua orang kemudian berlomba-lomba mencari tahu apakah perempuan itu benar berkuliah di Jerman atau tidak. Mereka mengaku jurusan yang dikatakan oleh perempuan itu tidak ada di universitas yang dimaksud, hingga si perempuan akhirnya memberikan nama jurusannya lengkap dalam Bahasa Jerman. Maksud saya, apa sih urusan mereka sampai harus tahu mbak itu sungguh-sungguh kuliah di Jerman atau tidak? Haruskah sampai segitunya? Saya kira, rasa ingin tahu netizen kita memang sudah kelewatan. Mungkin inilah salah satu bahaya paling besar dalam cyberbullying: mereka tidak sadar sedang melakukannya.
    4. Impersonation atau peniruan, adalah saat seseorang berpura-pura menjadi orang lain dan beraktivitas seolah-olah dia adalah pemilik akun yang asli. Biasanya ini berujung pada penipuan, yang saya sering lihat kasus-kasusnya di Instagram. Si pembajak akan mengirim pesan kepada teman-teman korban yang isinya minta ditransfer sejumlah uang ke rekeningnya.
    5. Outing didefinisikan sebagai tindakan membocorkan informasi pribadi seseorang (atau bisa juga sekelompok orang) seperti tanggal lahir, alamat rumah, alamat e-mail, nomor KTP, dan sebagainya tanpa persetujuan yang bersangkutan. Kasus yang mirip bentuknya seperti ini pernah diungkap pemilik akun twitter @hendralm. Dalam cuitannya, @hendralm menunjukkan bukti jual beli data KTP yang parahnya  diduga dilakukan oleh orang dalam Kemendagri. Gara-gara mengungkap sindikat ini, pemilik akun @hendralm terancam dipolisikan karena dianggap mencemarkan nama baik. Namun karena kasus ini viral dan apa yang dilakukan Kemendagri banyak mendapatkan hujatan dari masyarakat, Kemendagri kemudian menarik tuntutannya.
    6. Exclusion adalah tindakan mengucilkan seseorang secara sengaja dalam sebuah grup dalam jaringan. Di Korea sendiri, ada yang disebut sebagai ‘카카오톡 왕따’ (KakaoTalk wangtta) yaitu pengucilan di dalam grup KakaoTalk, aplikasi yang biasanya digunakan oleh anak-anak muda Korea untuk berkomunikasi. Ada satu kasus sangat menyedihkan yang terjadi pada Agustus 2012, di mana seorang siswi SMA gantung diri karena dia di-bully oleh 16 orang temannya dalam grup KakaoTalk. Yang mengerikan dari KakaoTalk wangtta ini adalah, para pelaku biasanya membuat grup kemudian meng-invite korban ke dalam grup tersebut. Jika korban menolak untuk bergabung, biasanya dia akan diancam, dipukuli, dikeroyok, dan di-invite terus-menerus sampai ia bergabung dalam grup tersebut. Karena biasanya yang melakukan ini adalah teman-teman sekolah korban sendiri, sangat mudah bagi mereka untuk mengintimidasi korban. Kalau kalian menonton drama-drama Korea yang bertema sekolah seperti Angry Mom, School 2015, Boys Over Flower, kalian pasti punya gambaran separah apa bullying di area sekolah.
    7. Cyberstalking adalah bentuk cyberbullying terakhir dari Nancy Willard. Persis seperti artinya, cyberstalking adalah penguntitan digital. Lagi-lagi, dari Twitter (frekuensi penggunaan Twitter saya sepertinya sudah dalam tahap mengkhawatirkan) saya menemukan kasus yang merupakan salah satu bentuk dari cyberstalking. Singkat cerita, mbak ini putus dengan pacarnya (sekarang statusnya jadi mantan), tapi mantannya terus-menerus meneror dia untuk mengajak bertemu, padahal si mbak sudah tidak mau. Sang mantan membuat akun baru hampir setiap hari kemudian mengirimkan DM ke akun Instagram korban. Korban kemudian menghapus akun Instagram-nya, namun tidak ada gunanya karena sang mantan kemudian meneror teman-teman korban hingga menyebarkan kabar-kabar bohong. Sang mantan juga mengancam akan menemui korban di lingkungan tempat kerjanya. Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan kejadian ini, tapi terakhir update dari teman korban yang bercerita di Twitter sepertinya sang mantan sudah nyaris kapok karena dihujat netizen. Pertanyaannya: benarkah tindakan membalas cyberbullying dengan cyberbullying bisa berakhir dengan solusi? Apakah ini menandakan bahwa penegak hukum tidak bisa diandalkan atau minimal, tidak mendapatkan kepercayaan publik dalam menangani cyberbullying?

    Bahaya Cyberbullying

    Dalam pembahasan mengenai bentuk-bentuk cyberbullying di atas, mungkin pembaca bisa mendapatkan gambaran mengenai bahaya cyberbullying. Hal-hal ini merupakan beberapa dampak negatif dari cyberbullying:

    • Mengucilkan diri dari lingkungan sosial. 

    Dampak dari cyberbullying pada korban biasanya kepercayaan diri yang rendah, merasa dirinya tidak pantas dan tidak berharga, dan cenderung menarik diri dari pergaulan.

    • Mendapat tekanan secara mental, yang tidak sering berujung pada depresi. Dalam kasus Sulli, cyberbullying merupakan salah satu faktor yang memperparah penyakit depresinya.
    • Menjadi pelaku cyberbullying.

    Dalam film yang berjudul Socialphobia (2015) yang menjadi obyek dari skripsi saya, korban berbalik menyerang pelaku yang sudah membuat reputasinya hancur lewat internet. Menurut saya, hal ini merupakan sisi paling menyedihkan dari cyberbullying, karena ia bisa mengubah korban jadi pelaku, dan dendam membuat tindakan cyberbullying tidak ada habisnya, seperti devil’s circle.

    • Timbul rasa takut dan tidak aman, karena merasa seseorang di luar sana bisa membahayakan dirinya, walaupun mungkin tidak secara langsung. Tidak terbatasnya teknologi memungkinkan siapa saja untuk melukai kita, tanpa ada batasan waktu. Bahkan cara melukainya pun beragam. Bisa saja mantan yang balas dendam dengan porn revenge, atau seseorang yang bahkan tidak diketahui identitasnya membajak akun Instagram kemudian menyalahgunakannya, atau tiba-tiba mendapat komentar yang melecehkan tanpa merasa melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.
    • Mengakibatkan bunuh diri.

    Mungkin ini adalah akibat paling mengerikan dari cyberbullying. Kata-kata yang seolah tidak berarti, yang ditemukan dalam dunia maya pula, bisa mengambil nyawa seseorang. 

    Sulli, gadis SMP yang gantung diri itu hanyalah contoh saja. Tapi seberapa banyak kehidupan yang harus terenggut untuk mengubah sikap kita terhadap orang lain, baik itu di dunia nyata maupun di internet semata? Kita tidak pernah tahu dampak perkataan kita terhadap orang lain. Kita juga tidak tahu situasi macam apa yang dia hadapi, dalam kondisi seperti ada dia sekarang. Lebih baik apabila menyaring kata-kata yang kita lontarkan (atau ketik) terlebih dahulu, dan menggunakan sosial media untuk hal-hal yang menyenangkan saja, seperti melihat video kucing digoda ondel-ondel komplek, menyaksikan Aries Susanti Rahayu memecahkan rekor dunia di speed climbing, dan jangan lupa nanti kita sambat hari ini (karena sambat itu menyenangkan!).

    Tentang Sulli, Bunuh Diri, dan Kesehatan Mental

    Sejujurnya, saya sedikit kaget saat mengetahui Sulli memutuskan untuk bunuh diri. Sebab, baru-baru ini dia muncul di drama Hotel Del Luna. Meskipun Sulli memang sudah diketahui sejak lama mengidap depresi, namun ketika dia mengambil peran di drama tersebut, saya pikir dia sudah cukup membaik dan mulai bisa merintis karirnya lagi.

    Dari channel Youtube Asian Boss, banyak orang Korea yang bersedih dan menyayangkan keputusan bunuh diri Sulli. Gadis yang begitu muda, dengan paras yang rupawan, cerdas,  punya banyak potensi, punya masa depan yang masih panjang, memutuskan untuk mengakhiri hidupnya begitu saja. Saya punya teman yang suicidal, dan dia bilang bahwa orang-orang yang suicidal itu punya rasa sakit yang terus-menerus ada, dan mereka tidak tahu bagaimana caranya agar bisa lepas dari rasa sakit itu. Satu-satunya jalan keluar yang terpikirkan adalah mati. Kalau mati, mereka akan terbebas dari rasa sakit. Mungkin ini adalah salah satu cara untuk memahami jalan pikiran Sulli. Orang-orang mungkin bisa dengan mudah menyuruh mereka bicara, tapi Sulli sudah berusaha bicara, lalu lihat apa yang ia terima. Dari yang saya baca, Sulli di-bully di segala aspek kehidupannya: mulai dari dari cara memegang anjingnya, bentuk tangannya, keluarganya, bahkan mantan-mantannya pun tidak lepas dari cacian netizen.

    Selain itu, mental health awareness di Korea juga sama saja seperti di Indonesia: buruk. Tidak mudah bagi seseorang yang punya kondisi psikologis tertentu untuk mengatakan kondisinya pada orang lain. Padahal, orang Korea punya kecenderungan yang tinggi untuk mengidap depresi. Biaya hidup di sini lebih mahal, work pace-nya cepat dan padat. Di Indonesia, orang mungkin bisa tidur di jalan kalau tidak punya rumah, tapi di sini, tidak punya rumah berarti mereka akan mati di musim dingin. Dua tahun lalu ketika saya berada di sini untuk language training, teman saya dari Palestina menyadari betapa orang Korea sering sekali menyebutkan kata ‘stress’ sehingga kita semua terbawa. 

    Buku-buku di Korea juga banyak yang menceritakan pengalaman depresi. Beberapa di antaranya berjudul “Mau Mati Tapi Mau Makan Topokki Duluâ€? karya Baek Se Hee yang merekam konsultasi si pengarang dengan psikiaternya (buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia), “Buku yang Harus Kau Baca Ketika Ingin Melarikan Diriâ€? karya Isihara Kazuk yang menekankan bahwa setiap orang perlu istirahat, dan “Ulang Tahun ke-29 dan Memutuskan Untuk Mati Satu Tahun Setelahnyaâ€? karya Hayama Amari yang berisikan esai pengarang selama 1 tahun sejak hari ulang tahunnya yang ke-29. Buku-buku ini, saya pikir, mencerminkan keadaan psikologis orang Korea, karena sastra adalah cerminan dari realita sosial masyarakatnya.

    Sampai di sini, saya harap kita semua punya kesadaran untuk selalu bertindak hati-hati di manapun dan kapanpun, di dunia nyata dan di dunia maya. Dalam naskah International Covenant on Civil and Political Rights yang diadopsi oleh PBB pada tahun 1966, hak untuk menyampaikan pendapat dan kebebasan berekspresi yang tercantum dalam Pasal 19 ditambahkan dengan catatan “… the exercise of the rights […] carries with it special duties and responsibilities.â€? Artinya, kalian punya hak untuk berpendapat dan kebebasan berekspresi, namun itu semua harus dilakukan dengan penuh pertanggungjawaban. Saya masih melihat banyak sekali yang menyepelekan permasalahan ini. 

    Orang tua saya pernah bilang, “Jangan sampai buat jejak digital yang jelek.” Bagi mereka, apa yang saya lakukan di internet ini juga menjadi portofolio yang akan dilihat entah oleh perusahaan yang saya lamar, atau sebagai pertimbangan lolos atau tidaknya beasiswa. Berbuat seenaknya di sosial media tidak hanya merugikan orang lain, namun juga diri sendiri. Ingat: saya, kalian, kita semua bisa berada di posisi sebagai orang yang di-bully. Tidak ada jaminan pelaku bullying tidak bakal diserang balik oleh netizen. Jadi sebaiknya pikir terlebih dahulu seribu kali sebelum mencaci orang lain. Kepuasan sesaat ketika kita mengata-ngatai orang lain itu sungguh tidak sebanding dengan akibat yang akan diterima.

    Lalu, untuk semua orang yang membutuhkan pertolongan, untuk mereka yang merasa perlu didengar, suarakanlah kegelisahan dan keresahan kalian. Sampaikan kalau kalian memang butuh pertolongan. Saya yakin, di suatu tempat, pasti ada yang mau mengulurkan tangan. Pasti ada yang mau mendengarkan. Kalian tidak sendirian.

  • Tentang Naik Haji, Kristianitas, dan Sentimen Perbedaan

    author = About Olav Iban
    Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.

    View all posts by Olav Iban →

    Mungkin karena saya seorang Nasrani, sehingga keanggunan naik haji begitu menarik minat saya. Seandainya saja saya terlahir Hinduis, bisa jadi pada inkarnasi sebelum ini saya adalah seorang haji. Haji mardud rasanya, karena masih hidup lagi dan berdosa lagi.

    Sebagai mantan civitas akademika yang dididik dengan paradigma positivistik, mulanya saya memahami teologi berhaji sebagai ritus dari masa lampau yang sama asingnya dengan Trinitas suci Kristen. Ada kecanggungan arkaik yang tidak masuk akal. Mungkin rasa canggung yang sama yang dialami pengikut Yesus ketika berupaya memahami reinkarnasi Hinduisme: misalnya, dari seorang gembala —karena buruk laku hidupnya, maka dia bereinkarnasi menjadi seekor domba. Atau mungkin secanggung penganut Hindu —yang memuliakan Nandi— saat menyaksikan sapi-sapi disembelih tiap-tiap Idul Adha. Atau mungkin seperti seorang Muslim yang kikuk melihat umat Kristen minum-minum anggur di gereja sementara si pendeta berkata anggur itu adalah darah.

    Sekonyol apapun itu, bagi saya aroma lampau yang menyelubungi Ka’bah dengan kabut kisah-kisah unik nan gaib sungguh memikat hati. Naik haji itu mempesona.

    Walau sekalipun belum pernah naik haji, akan tetapi kisah-kisahnya selalu mencandu seperti yang saya baca dalam tiga jilid buku Naik Haji di Masa Silam (Henri Chambert-Loir, 2013). Ada haji yang berkisah bahwa anjing biasa berkeliaran santai layaknya pelancong di Mekkah. Sebagai penjaga, katanya. Orang kafir pasti terendus dan digigit anjing sampai mati jika berani-beraninya menerobos ke Mekkah yang suci itu. Entah benar entah tidak, belum pernah saya ke Mekkah dan digigit anjing.

    Ada juga haji yang berkisah tentang isi Ka’bah yang melompong kecuali dua tiang penyangga. Dan menggelantung di langit-langitnya: perkakas rumah tangga kuno seperti kendi kuningan, baskom, dan sejenisnya, yang konon milik Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Sungguh kesederhanaan yang patut dikagumi mengingat Ka’bah adalah pusat dunia Islam.

    Dan yang paling mempesona, ada haji yang bercerita tentang seorang syekh mata duitan (sebenarnya bukan syekh tapi mutawif) yang menarik sekurangnya satu ringgit untuk mengucapkan, “Sammaituka sammakallah, bil Haji Fulan; falyaj’al hajjaka mabruran wa sa’yan mashkuran”  (Aku namai engkau, dan Allah menamai engkau Haji Anu. Moga-moga dijadikan-Nya hajimu berpahala dan sa’imu yang disyukuri) kepada jemaahnya yang linglung berharap ganti-nama dapat menghapus dosa-dosanya.

    Kalau tidak salah, ialah Buya Hamka yang bercerita begitu dengan geram tidak setuju. “Nama yang telah diberikan ayahku kepadaku tidak akan kutukar!” begitu ucap Buya seperti yang dicatat Henri Chambert-Loir.

    Bukan maksud hati berlawanan dengan Buya, namun tradisi mengganti nama setelah tuntas berhaji justru yang paling menarik minat saya. Bila mana dihendaki menukar nama di Mina pada hari kesepuluh sesudah rambut dicukur, saya tidak akan enggan dibaiat dengan nama baru: Abdul Latif “hamba yang lemah lembut.” Aduhai, sungguh nama yang Kristiani.

    Bagi sementara orang, Kristianitas dan naik haji adalah dua hal berseberangan. Bukan tanpa sebab lebaran haji disebut juga Idul Adha, hari raya kurban —suatu pengulangan kembali kisah Nabi Ibrahim mengurbankan anaknya. Bagian uniknya, umat Islam meyakini ialah Ismail anak Siti Hajar yang diminta Allah untuk direlakan Ibrahim sebagai kurban. Sedangkan dalam dogma Kristen —juga Yahudi— adalah Ishak anak Sara-lah orangnya.

    Efek kupu-kupu dari perbedaan ini meliuk-liuk sampai pada legitimasi ‘ilahiah’ tokoh terbesar dan terpenting dalam dua keyakinan itu, yakni Nabi Muhammad (keturunan Ismail) dan Yesus Kristus (keturunan Ishak). Kedua tokoh super ini memiliki banyak kemiripan, namun sayang tiap-tiap pengikutnya memandang dengan cara yang berseberangan. Mungkin bagi sementara orang hal itu dianggap selisih paham, namun kebanyakan orang Kristen tidak terlalu memperdebatkannya. Bagi mereka, terserah Ishak atau Ismail, yang pasti Allah memberi seekor domba (atau kambing, bebas saja) sebagai ganti kurban persembahan, dan itulah representasi Kristus yang mati disalib menebus dosa manusia. Sementara bagi sebagian umat Muslim, perbedaan ini juga tidak terlalu dipusingkan. Seperti celetukan Gus Dur kepada warga nahdliyin supaya tidak terlalu mempermasalahkan siapa yang dipilih antara Ismail atau Ishak, toh dua-duanya tidak jadi dikorbankan, kenapa harus ribut? Tapi sudahlah, tulisan ini bertujuan lain. Intinya, sebagian dari kita menganggap Kristianitas dan naik haji tidaklah nyambung.

    Tetapi justru dengan merenungi naik haji-lah (tanpa bermaksud mengatakan ‘dengan naik haji’, karena memang belum pernah berhaji) saya dapat melihat Kristianitas terjun dari menara gadingnya yang biasanya terlalu tinggi untuk dimengerti.

    Kendati sudah Kristen dari lahir, dan telah mengikuti ribuan kali Sekolah Minggu hingga baptis dewasa, tetap saja Kristianitas adalah hal yang rumit bagi saya. Pikir punya pikir, akhirnya saya coba teguhkan diri mengkategorikan Kritianitas sebagai satu dari sekian banyak gaya berenang.

    Ketika Kapal Van der Wijck mengalami bocor lambung, ribuan orang berlompatan ke laut, berenang menjauh menggapai-gapai segala hal yang bisa dipakainya mengapung. Ada yang memakai gaya bebas sambil dagu tetap di permukaan. Ada gaya katak yang sesekali menyelam. Ada yang memilih pakai gaya punggung supaya bisa menyaksikan raksasa Van der Wijck perlahan karam di belakangnya. Dan ada pula yang tidak bergaya karena memang tidak bisa berenang. Semuanya sama, sama-sama mencari keselamatan. Begitulah Kristianitas menurut saya.

    Tapi pendapat itu ternyata salah. Begini ceritanya.

    Dua tahun lalu, sesaat setelah serangan teror di Paris pada malam 13 November 2015, saya sangat terkejut pada dua hal. Pertama, reaksi kartunis Majalah Charlie Hebdo —yang karyanya memicu teror ini— yang men-tweet: “Friends from the whole world, thank you for #prayforparis, but we don’t need more religion. Our faith goes to Music! Kisses! Life! Champagne and Joy!” (Teman-teman dari seluruh dunia, terimakasih atas doa kalian untuk Paris, tetapi kita tidak memerlukan agama lagi. Keimanan kami tertuju pada musik, ciuman, hidup, sampanye, dan kegembiraan!).

    Yang kedua adalah kisah supir taksi di New York yang mengucapkan terimakasih sambil menangis kepada penumpang pertamanya setelah berjam-jam tidak ada yang berani memakai jasa taksinya hanya karena ia seorang Muslim.

    Dari dua kejutan itulah saya tersadar bahwa pemaknaan agama di zaman posmo ini mulai absurd. Agama bukan lagi sekadar jalan keselamatan, tapi dipakai sebagai alasan untuk menjatuhkan mereka yang liyan, yang berbeda, yang bukan mereka.

    Saya bayangkan ketika Van der Wijck tenggelam dalam gelapnya malam dan dinginnya Laut Jawa, para penumpangnya justru saling menenggelamkan. Berenang untuk bertahan hidup bukan lagi tujuan mereka, karena justru mati tenggelam adalah keselamatan (asal harus bisa membuat tenggelam penumpang yang lain). Dan pada akhirnya, tidak ada satu pun penyintas.

    Kemudian bayangkan setelah tim SAR mengumumkan bahwa tidak ada korban selamat, akan muncul dua jenis keluarga korban yang masing-masing punya respon tersendiri mengenai tenggelamnya kapal Van der Wijck.

    Keluarga korban jenis pertama adalah mereka yang marah dan menyalahkan paham keselamatan radikal di otak orang-orang yang menenggelamkan sesama penumpang itu. Saking marahnya, mereka lalu men-generalisir bahwa semua orang dari ras A pasti pandangannya radikal. Dalam dunia nyata, jenis keluarga korban yang seperti ini adalah para calon penumpang taksi di New York yang batal naik karena sopirnya seorang Muslim.

    Jenis keluarga korban yang kedua adalah mereka yang sinis dan menyalahkan konsep ‘berenang’ ketimbang menyalahkan orang-orang yang saling menenggelamkan tadi. Mereka beranggapan bahwa ‘berenang’ itu kuno. Penumpang mestinya memakai sekoci penyelamat ketika terjadi bencana —lebih rasional, modern, dan tingkat kemungkinan bertahan hidupnya tinggi. Jenis keluarga korban ini adalah Charlie Hebdo dengan pemikiran ateistiknya.

    Lalu, pikir-pikir, pada jenis manakah saya —seorang Kristen di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia?

    Saya tumbuh dan dibesarkan di Jawa Timur yang  pengikut NU-nya menganut doktrin toleransi yang kuat. Kemudian hampir 10 tahun berikutnya saya habiskan di Yogyakarta yang pengikut Muhammadiyah-nya berpendidikan cukup tinggi untuk memahami perbedaan sebagai keindahan. Dari sini saya mulai lagi merenungkan tentang makna Kristianitas dalam hidup saya lewat cermin toleransi yang saudara-saudara Muslim telah lakukan, yang memantulkan makna cinta kasih kepada kaum Kristiani yang minoritas di negara ini.

    Haruskah saya seperti Charlie Hebdo yang menyalahkan konsep Tuhan dalam wacana agama? Atau seperti kaum ultra-kanan yang radikal menyalahkan pemeluk keyakinan lain?

    Tumbuh besar di negara dengan penduduk Muslim terbesar membuat saya banyak bersahabat dengan teman-teman Muslim, dan sedikit banyak memahami bahwa sentimen perbedaan bukan hal yang patut dipermasalahkan mereka.

    Seperti naik haji di mana semua ras, suku, bahasa, adat-budaya, hingga warna rambut dari timur barat bumi berkumpul jadi satu di Mekkah dalam satu keyakinan bernama Islam, maka begitu pula hidup di dunia: apapun keyakinanmu (beragama atau pun ateis) kita sama-sama berkumpul di planet Bumi dalam satu keyakinan bernama kemanusiaan.

    Bagi sebagian orang, naik haji adalah idaman, dambaan, harapan, cita-cita yang mesti terwujud sebelum hayat berakhir. Suatu momentum ragawi akan kecintaan manusia kepada Tuhannya. Namun bagi saya (yang amatlah kecil memiliki kesempatan ke Mekkah), naik haji adalah perenungan yang sangat dalam tentang manusia. Betapa sebenarnya saya iri ingin sama seperti mayoritas penduduk negeri ini yang mengantri puluhan tahun untuk berhaji, iri menghadiri tahlilan, iri ikut keliling kampung menabuh bedug meneriakan takbir, mengucap tahmid ketika perut kekenyangan, atau membatin tasbih ketika melihat gadis ayu. Tapi siapalah saya? Hanya seorang kufur. Apalah yang saya bisa selain merenungi bahwa inilah indahnya perbedaan.

     

    Palangka Raya, Februari 2017

     

    *Foto adalah screenshot dari iklan Amazon Prime. Versi penuh dapat dilihat di sini

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    https://kibul.in/opini/tentang-naik-haji-kristianitas-dan-sentimen-perbedaan/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/02/EsaiOlav.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/02/EsaiOlav-150×150.jpgOlav IbanOpiniAgama,Budaya,Esai,Haji,kibul,Kristen,Muslim,Olav Iban,PerbedaanMungkin karena saya seorang Nasrani, sehingga keanggunan naik haji begitu menarik minat saya. Seandainya saja saya terlahir Hinduis, bisa jadi pada inkarnasi sebelum ini saya adalah seorang haji. Haji mardud rasanya, karena masih hidup lagi dan berdosa lagi.
    Sebagai mantan civitas akademika yang dididik dengan paradigma positivistik, mulanya saya memahami…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Teknologi: Kawan atau Lawan?

    author = Intan Puri Hapsari

    Berulang kali saya mencoba untuk mengosongkan pikiran dan hanya menikmati alam semesta, namun gagal lagi untuk kesekian kalinya. Entah apakah itu karena keinginan kuat saya untuk melihat ponsel saya untuk sekedar mengintip social media, chat ataupun melihat berita terhangat hari ini. Saya bingung, mengapa otak saya ini terasa penuh dengan semua pikiran dan keinginan yang bertautan tanpa henti. Tanpa disadari, kita ini hidup di era yang serba cepat, revolusi 4.0 yang sedang hits akan lebih mempercepat fungsi kerja kita. Tampaknya, waktu yang dipertaruhkan dalam teknologi ini akan menjadi lebih singkat dan efektif berkat robotisasi dan penggunaan internet. 

    Saya pernah berkecimpung di dunia pariwisata, revolusi 4.0 ini juga berkontribusi dalam mempromosikan sebuah destinasi atau tempat wisata. Bayangkan, berkat Augmented Reality (AR) kita bisa pergi ke suatu tempat tanpa harus benar-benar pergi secara fisik. Hanya melalui sebuah layar, otak kita pun dapat berkelana ke dunia tiga dimensi yang tampak nyata merasuki tubuh kita. Kalau dahulu teknologi tiga dimensi masih berjarak dan hanya melalui layar bioskop atau televisi saja. Sekarang, jarak itu ditiadakan dan kita pun terperangkap di antara dunia tiga dimensi itu. Apakah ini adalah tujuan dari teknologi dengan meniadakan jarak? Seperti otak kita tidak boleh lagi memiliki jarak untuk berpikir dan dikondisikan untuk mengadopsi teknologi sebagai bagian dari hidup kita.

    Waktu yang selalu diperbincangkan dan diolah agar lebih efektif, pada akhirnya menemui titik jenuh. Mungkin tidak untuk semua orang, namun berlaku untuk saya. Kita yang telah dikelilingi oleh berbagai macam informasi yang bisa diakses secara bebas. Ponsel yang memfasilitasi pencarian informasi tentang dunia ataupun berita seorang kawan serasa telah menjadi bagian dari anggota tubuh kita. Berbagai push notification tentang hot news, likes di social media ataupun Google Agenda menghiasi layar ponsel sehari-hari. Kalau mau jujur pada diri sendiri, apakah mungkin melewati satu hari tanpa kehadiran ponsel? Secara perlahan tapi pasti, teknologi telah memonopoli hidup kita. Saya bicara teknologi secara luas, bahwa fungsi teknologi itu adalah membantu hidup kita untuk mengerjakan hal lebih singkat. Secara logika, waktu senggang seharusnya lebih bertambah berkat kehadiran teknologi? Namun nyatanya, waktu senggang ini pun bisa dijadikan peluang bisnis! Di sela-sela waktu senggang kita, ponsel yang sudah tak asing lagi jadi teman hidup akan memanggil- manggil empunyanya melalui berbagai push notification. Dan otak pun kembali berputar-putar di sekitaran informasi tersebut. Otak ini seperti tidak ada jarak untuk berpikir, seperti layaknya turbin air pembangkit listrik yang terus berputar selama 24 jam. 

    Saya kira, manusia sekarang seperti dikondisikan untuk tergesa-gesa dan melakukan berbagai hal di waktu yang bersamaan. Kata-kata “waktu adalah uang” sudah diimplementasikan oleh banyak orang, sampai interaksi untuk bertanya jalan ketika tersesat pun akan dijawab oleh Google Maps. Sampai di titik ini saya bertanya “individualis tercipta karena teknologi atau teknologi tercipta karena manusia pada dasarnya individualis?”.

    Kalau berbicara manusia secara umum, pada zaman abad pertengahan, para filsuf seperti Socrates dan Plato menggambarkan individualitas manusia terjadi karena sebuah ketidaksengajaan. Pada dasarnya manusia saling membutuhkan satu sama lain secara natural sebagai penggambaran diri mereka yang seutuhnya. Mereka bertemu bukan hanya karena memiliki persamaan diri. Namun, teori ini pun dikaji ulang oleh filsuf teologi yang dipelopori oleh Thomas Aquinas pada abad ke-13. Doktrin kristenisasi yang menjalar di Negeri Barat pada saat itu merumuskan manusia bukan lagi dilihat sejatinya sebagai seorang individu namun ia juga dinilai sebagai individu spiritual. Kali ini, individu akan saling mencari dan membutuhkan karena adanya persamaan ideologi hidup. Ketika persamaan itu nyata terbentang, barulah terjadi interaksi dengan sesamanya. Jika saya mengambil logika ini maka dapat disimpulkan bahwa individualitas semakin menderu di era yang baru ini. Samuel Huntington dalam bukunya “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order” menyatakan dengan lantang bahwa dunia ini telah terbagi dalam delapan major civilisations : Sinic civilisation (yang berhubungan dengan Cina dan komunitas Cina di Asia Tenggara termasuk Vietnam dan Korea), Japanese civilisation, Hindu civilisation, Islamic civilisation, Western civilisation, Latin American civilisation, Africa civilisation dan Orthodox civilisation. Setelah jatuhnya tembok Berlin yang memisahkan dua ideologi, simbol persatuan ini malah melahirkan dunia yang lebih kompleks. Dunia yang sebelumnya bipolar, ibaratnya hanya ada dua kubu Amerika atau Uni Soviet, sekarang telah berubah menjadi multi polar dan multi civilisations

    Jikalau benar perbedaan hanya akan membuat manusia untuk tidak saling bertemu dan berinteraksi, maka saya hanya bisa berbelasungkawa dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat. Algoritma dan Big Data yang merupakan proyek besar dari revolusi 4.0, saya rasa dapat membuat manusia semakin terperangkap di dunianya masing-masing. Saat ini, sebagai pengguna internet, Google lebih mengenal saya dari pada keluarga saya sendiri. Melalui analisis secara algoritmik, data pribadi saya pun dapat terkuak melalui perkembangan Artificial Intelligence (AI) ini. Iklan-iklan yang mungkin akan menarik perhatian saya dengan bebas berkeliaran di layar ponsel atau komputer. Saya tidak menyalahkan cara kerja sistem algoritmik ini, tapi saya khawatir sistem ini akan membuat orang hanya terpaku di dunia yang mereka suka. Kalau semua orang hanya akan mengenal dan terjebak di dunia mereka masing-masing, bagaimana mereka bisa menghargai perbedaaan? Karena mereka tidak akan terbiasa melihat perbedaan bahkan di layar ponsel mereka sekali pun. Dan ketika perbedaan itu suatu hari akan tampak, akankah toleransi sebagai penengah dapat dipelajari melalui internet? 

    Bagaimana otak bisa berhenti berpikir dan terkontaminasi kalau di layar ponsel hanya ada informasi yang sesuai dengan kegemaran kita? Sistem algoritme bisa mengeluarkan iklan yang tepat di saat yang tepat yaitu : waktu senggang kita! Kalau sudah begini, saya bisa menyimpulkan bahwa kemajuan teknologi hanya akan membuat kita mabuk kepayang sehingga kita bergantung olehnya. Otomatis teknologi serta merta memanjakan kita untuk selalu berada di zona nyaman. Nyaman di dunia kita sendiri, di mana semua yang berputar di sekitar kita hanya tentang kita dan untuk kita. Tidakkah hal ini akan menimbulkan sikap individualisme? Alexis de Tocqueville, seorang filsuf politik menggambarkan individualisme sebagai sikap yang berasal dari sebuah pemikiran yang matang dan bukan berasal dari insting buta atau pun pengambilan keputusan yang salah. Melalui penjabaran ini, sudah sewajarnya individualitas menjadi hal yang biasa di dunia modern. Hal ini dikarenakan penduduk di dunia modern akan berusaha mengedepankan rasional dengan mengabaikan insting manusia yang sifatnya abstrak. 

    Di era yang serba instan ini, internet menawarkan solusi untuk mencari pasangan hidup atau teman yang sesuai kriteria kita. Manusia pun seperti diharuskan untuk tertarik kepada sesamanya jikalau persamaan itu ada. Dunia yang telah terkotak-kotakkan menjadi multi civilisations sekarang bermutilasi lagi menjadi multi identitas. Kelab-kelab yang mengedepankan persamaan dibungkus dengan persamaan hobi menjadi tempat mencari teman. Tampaknya sudah jarang, percakapan yang terbentuk hanya karena manusia itu sendiri berada di tempat yang sama pada waktu yang sama. Pada zaman ini, percakapan lebih dapat tercipta berkat persamaan identitas, rasa ataupun filsafat hidup.

    Saya sangat menyayangkan jika manusia sebagai pencipta teknologi pada akhirnya berbalik terkontrol oleh teknologi itu sendiri. Kasihanilah otak kita yang sudah terlalu banyak bekerja, berilah dia ruang dan jarak untuk beristirahat. Abaikan keinginan untuk selalu memanfaatkan waktu yang berlalu dengan sejuta hal secara bersamaan. Mungkin dengan begitu kita akan lebih bisa peduli akan sekitar kita, paling tidak untuk bernafas sejenak dan menikmati indahnya alam semesta. Atau bahkan untuk sekedar berinteraksi secara alamiah dengan sesama tanpa memiliki judgement bahwa manusia itu harus selalu sama.

  • Superhero Indonesia?

    author = Andreas Nova

    Apa genre film yang hampir dipastikan hadir dalam daftar film yang ditayangkan di bioskop kesayangan anda ketika liburan tengah tahun, atau menjelang liburan akhir tahun? Genre—lebih tepatnya subgenre—yang pasti ada adalah superhero. Superhero didefinisikan sebagai sosok pahlawan dalam fiksi populer yang memiliki kekuatan yang melebihi manusia, terkadang mereka menggunakan kostum tertentu untuk menutupi identitasnya. Umumnya mereka mendedikasikan hidupnya untuk memerangi kejahatan dan melindungi masyarakat.

    Superhero adalah orok yang lahir dari rahim cerita bergambar. Kekuatan super para tokohnya akan sangat mudah—dan murah—saat diekspresikan secara visual melalui gambar daripada melalui beberapa paragraf deskripsi. Apalagi Superhero memang pada awalnya adalah genre yang menyasar pangsa pasar anak-anak yang lebih menyukai cerita penuh ilustrasi daripada membaca teks yang mungkin bagi mereka membosankan. Pangsa ini memiliki penggemar yang fanatik, karena komik adalah satu-satunya hiburan pada masa itu—lagi pula saat itu politik dunia memanas jelang Perang Dunia II, maka tak heran tokoh-tokoh superhero tersebut menjadi populer.

    Adalah Stanley Martin Lieber, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Stan Lee, seorang editor Timely Publication (cikal bakal Marvel Comics) yang merevolusi genre superhero. Dari tangannya naskah-naskah superhero Marvel diolah dan ditujukan kepada pembaca yang lebih dewasa. Stan Lee menciptakan karakter superhero yang lebih manusiawi, tidak tampan, gagah, sempurna, tak terkalahkan namun rapuh di balik kekuatan super yang dimilikinya.

    Ketertarikan terhadap superhero sebagian besar berdasarkan pada ketertarikan yang sama terhadap narasi petualangan dan eskapisme yang ditawarkannya. Film-film ini dibangun berdasarkan mitologi dan busur narasi yang melibatkan pencarian akan suatu hal, dan terkadang takdir khusus yang disematkan pada tokoh utamanya-yang biasanya berpikir mereka adalah orang pada umumnya.

    Peter Parker, Steve Rogers, Luke Skywalker, Harry Potter bahkan beberapa film populer di luar subgenre superhero memiliki busur narasi serupa. Tokoh utama adalah orang biasa, namun tiba-tiba ada suatu hal yang mendorong mereka pada hal luar biasa. Mereka harus bertarung mewakili kebaikan melawan kejahatan, dimana terkadang tokoh utama harus melewati tantangan tertentu dan membuktikan bahwa mereka layak menjadi pahlawan.

    Berkali-kali elemen narasi ini diulang sejak masa mitologi Yunani hingga mitologi tersebut beralih ke dalam gedung bioskop. Ini bukan suatu hal yang baru, kita bisa melihat kemiripan antara Oedipus dan Sangkuriang yang sama-sama mencintai ibunya, atau kisah kasih tak sampai antara Romeo dan Juliet, Sam Pek dan Eng Tai, hingga Saijah dan Adinda. Narasi-narasi yang sama ditemukan di waktu dan tempat yang berbeda, namun lagi-lagi, manusia suka menikmati hal yang pernah dinikmatinya sebelumnya. Sehingga tak heran narasi-narasi ini menjadi populer dan mengendap cukup lama di kehidupan manusia.

    Adapun di Indonesia, memunculkan mitos tokoh pahlawan super sudah berkali-kali dilakukan. Mulai dari Sri Asih (1950) karya R.A Kosasih, Godam dan Aquanus (1969) ciptaan Wid NS, Gundala Putra Petir dan Pangeran Mlaar (1969) ciptaan Hasmi, hingga superhero yang muncul di masa kejayaan layar kaca seperti Saras 008, Panji Manusia Millenium dan tokoh Tokusatsu hasil kerjasama dengan Ishimori Pro —produser serial tokusatsu di Jepang seperti Kikaider dan serial Kamen Rider, Bima Satria Garuda.

    Pahlawan-pahlawan super tersebut sangat dipengaruhi tokoh superhero dari Amerika Serikat, khususnya Marvel dan DC. Sri Asih kerap dibandingkan dengan Wonder Woman, Godam dengan Superman, Aquanus dengan Aquaman, Gundala dengan Flash, Pangeran Mlaar dengan Mr. Fantastic—pimpinan Fantastic Four. Bahkan superhero lokal di era layar kaca seperti Saras 008 dan Panji Manusia Millenium juga mirip dengan Catwoman dan Robin. Kostum Panji, entah sengaja atau tidak, sangat mirip dengan Robin di film Batman Forever (1995) dan Batman & Robin (1999) yang disutradarai Joel Schumacher. Bima Satria Garuda pun tidak lepas dari pengaruh tokusatsu Jepang, terutamanya seri Kamen Rider—lebih dikenal di Indonesia dengan sebutan Ksatria Baja Hitam. Bahkan film superhero layar lebar yang terbaru, Garuda Superhero (2015), lagi-lagi kostumnya mirip dengan kostum Batman-nya Christopher Nolan. Superhero-superhero lokal tersebut menunjukkan jika kreator di Indonesia belum bisa melepaskan pengaruh komik atau superhero luar negeri di dalam karyanya.

    Genre superhero tersebut pada awalnya bersaing dengan genre cerita silat lokal, dengan tokoh pendekar yang dianugerahi daya ‘lebih’ semacam Jaka Sembung (1968) karya Djair Warni, Si Buta dari Gua Hantu (1967) karya Ganes TH, juga Panji Tengkorak (1968) karya Hans Jaladara hingga Wiro Sableng (1989 dalam bentuk novel berseri) karya Bastian Tito, yang justru lebih populer dan terasa nuansa kearifan lokalnya daripada nama-nama yang disebutkan sebelumnya.

    Kepopuleran para pendekar tersebut tentu saja tidak lepas dari pengaruh cerita silat Tiongkok yang lazim disebut wuxia. Di negeri asalnya, genre ini berakar sejak Dinasti Tang (618-907) dan berkembang hingga masa Dinasti Ming (1368-1644), yang menghasilkan Roman Tiga Kerajaan dan Tepi Air, dua dari empat karya sastra klasik tiongkok—dua lainnya adalah Perjalanan ke Barat dan Impian Paviliun Merah—keduanya ditulis pada masa Dinasti Qing. Wuxia modern dikenal di Indonesia melalui karya Louis Cha atau lebih dikenal dengan nama penanya Jin Yong (Chin Yung). Beliau dikenal dengan karyanya Trilogi Pendekar Rajawali—Pendekar Pemanah Rajawali (1957), Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali (1959) dan Golok Pembunuh Naga (1961), yang sempat populer kembali melalui adaptasi serial televisi pada tahun 1990-an di Indonesia.

    Awalnya cerita silat muncul sebagai terjemahan dari karya-karya penulis terkenal Tiongkok. Para penerjemah Indonesia keturunan Tiongkok menerjemahkan kisah-kisah ini untuk dimuat di surat kabar berbahasa tiongkok untuk WNI keturunan di Indonesia. Tetapi karena kisah-kisah ini kemudian disukai banyak kalangan, akhirnya dibuatkan cetakan tersendiri berupa buku. Kisah-kisah petualangan para pendekar dunia persilatan ini amat sangat digemari, bahkan konon mantan Presiden Soeharto juga menggemari novel silat berjudul ‘Luxiang Hudie Jian‘ karya novelis Gu Lung (Khu Lung) yang diterjemahkan dalam judul Antara Budi dan Cinta (1973).

    Karya-karya wuxia rata-rata memiliki kesamaan busur narasi. Biasanya menampilkan seorang tokoh protagonis laki-laki muda yang mengalami tragedi —seperti kehilangan orang yang dicintainya— dan terus menerima cobaan dan kesengsaraan sebelum belajar beberapa bentuk seni bela diri dari pendekar yang lebih senior atau belajar secara mandiri dari sebuah kitab kuno. Di akhir cerita, ia muncul sebagai pendekar yang kuat. Dia menggunakan kemampuannya untuk berbuat kebajikan. Busur narasi yang sama ditiru oleh cerita silat Indonesia. Panji Tengkorak, Si Buta dari Gua Hantu adalah contoh karya yang memiliki busur narasi serupa.

    Salah satu karya yang kental dengan elemen-elemen wuxia adalah karya-karya Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo. Karya-karya populer tersebut menginisiasi genre cerita silat yang kemudian membuat penulis-penulis lain seperti S.H Mintardja (terkenal dengan cerbung Api di Bukit Menoreh dan cerbung Nagasasra dan Sabukinten), Arswendo Atmowiloto (karyanya Senopati Pamungkas), S. Tidjab (Tutur Tinular), Motinggo Busye (Tujuh Manusia Harimau) menghasilkan karya dengan genre serupa.

    Mistisisme yang kental, latar sejarah nusantara, dan asimiliasi dengan legenda nusantara menjadi beberapa faktor yang membuat pendekar-pendekar tersebut populer. Ditambah dengan pemakaian istilah yang disesuaikan dengan selera lokal membuat Jurus Kunyuk Melempar Buah-nya Wiro Sableng, atau Kliwon sebagai sidekick dari Si Buta dari Gua Hantu, lebih dikenal daripada nama-nama futuristik yang terkesan dipaksakan di genre superhero Indonesia. Menjadi superhero dengan menggunakan bahan kimia (seperti Captain America), atau mengenakan zirah canggih (seperti Iron Man), atau digigit hewan yang bermutasi (seperti Spider-Man) kalah logis dibandingkan menjadi pendekar yang sakti mandraguna dengan cara bertapa, menggunakan pusaka peninggalan leluhur dan mempelajari ilmu-ilmu gaib.

    Sama halnya dengan watak sebagian orang Indonesia yang gemar dengan budaya instan, karakter-karakter tersebut tidak disemai dengan baik untuk mendapatkan popularitas lebih di kemudian hari. Pada umumnya mereka mati seiring dengan redupnya sang kreator yang sudah tak memiliki dana dan dukungan untuk menerbitkan karyanya atau bahkan dipandang buruk karena dianggap meniru superhero dari luar negeri. Dan pada titik inilah superhero Indonesia mati.

     

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Sikap Chairil di Hadapan Komunalisme

    author = Asef Saeful Anwar

    “Partai apakah yang akan dimasuki Chairil Anwar jika dirinya masih hidup di alam Demokrasi Terpimpin?” demikian pertanyaan yang banyak diajukan kepada Ajip Rosidi sehingga ia memerikan jawabannya dalam karangannya “Chairil Anwar dan Politik” yang termuat dalam buku Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia. Pada zamannya, pertanyaan serupa itu muncul seiring dengan banyaknya sastrawan dan seniman yang bergabung dalam wadah kesenian yang dimiliki partai-partai peserta pemilu 1955.

    Ajip lalu menyorot sajak saduran “Krawang-Bekasi” dan sajak “Persetujuan Dengan Bung Karno”. Munculnya nama Bung Karno dalam kedua sajak itu buru-buru ditanggapi Ajip sebagai simbol pemimpin impian masa itu. Menurutnya, kemunculan nama tersebut terjadi karena pada masa perjuangan meraih kemerdekaan Bung Karno merupakan lambang eksistensi bangsa Indonesia. Rakyat pada masa perjuangan meraih kemerdekaan butuh figur seorang pemimpin untuk menyatukan perasaannya sehingga wajar jika Chairil menyebut nama Bung Karno, selain juga nama Hatta dan Sjahrir. Dengan alasan ini, di akhir karangannya Ajip menyimpulkan bahwa Chairil pasti akan memilih kebebasan, yang tentu mengandung arti tidak bersepakat lagi dengan Bung Karno yang saat itu mulai condong ke Partai Komunis Indonesia dan dengan cara kepemimpinannya yang mulai tidak demokratis—sampai-sampai Hatta pun mematahkan ke-dwitunggal-an mereka.

    Pendapat Ajip sejajar dengan sikap hidup Chairil yang dengan tegas mengemukakan bahwa “keindahan adalah pertimbangan perpaduan dan getaran-getaran hidup” dan “…vitalitas adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan dalam mencapai keindahan,” serta lebih lanjut: “seniman adalah tanda dari hidup yang melepas-bebas”. Ya, hidup yang melepas-bebas, berkarya yang melepas-bebas, atau dalam bahasanya bebas dari segala merdeka…

    Jika Chairil masih hidup pada waktu itu sepertinya ia memang tidak akan bergabung dengan Sitor Situmorang dalam Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) bentukan Partai Nasional Indonesia, tidak juga akan masuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) untuk bergabung dengan karibnya Rivai Apin di PKI, dan tidak pula akan masuk ke dalam Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) milik Partai Nahdlatul Ulama untuk bergabung dengan Usmar Ismail dan Asrul Sani. Sebab telah jelas, lembaga-lembaga tersebut secara tak langsung akan mengikat—untuk tidak dikatakan mengekang—hasil karya para seniman sehingga karya yang muncul tidaklah murni timbul dari mata batin seniman. Lembaga kesenian dalam sebuah partai tak ubahnya sekat bagi para seniman di dalamnya yang menyebabkan karya yang mereka hasilkan bersifat komunal, tidak individual, karyanya cenderung pragmatis daripada idealis. Maka, jelas Chairil memilih bebas dengan prinsip individualisme yang dipegangnya teguh.

    Individualisme yang diperjuangkan Chairil ini bukanlah dalam arti sempit. Chairil memandang individualisme sebagai sebuah jalan keluar bagi kebekuan dan kebakuan komunalisme yang cenderung menyeragamkan. Selain itu, apa yang dibincangkan dalam ruang-ruang formal seperti rapat, diskusi, seminar, dan lain sebagainya kebanyakan adalah hasil-hasil permenungan ketika seorang manusia menyendiri sehabis bergumul dengan lingkungan sosialnya. Dalam hal berkesenian, Chairil tidak setuju dengan cara beberapa seniman sezamannya—terlebih dengan generasi sebelumnya—yang begitu mendapat inspirasi mereka langsung membuat sebuah karya lalu menganggap pekerjaan sudah selesai. Bahkan, ada banyak dari mereka yang bangga akan kerja semacam itu, yang tak segan menganggap inspirasi yang diterimanya itu sebagai “wahyu”. Cara kerja semacam ini sejatinya justru menihilkan kemampuan berpikir para seniman yang dituntun sesuatu yang tak diketahuinya merasuk begitu saja lalu “menjajahnya” dalam berkarya.

    Bagi Chairil, pekerjaan seorang seniman dalam mencipta tak sesederhana hanya mencari, menerima, dan menuangkan inspirasi dalam sebuah karya. Apa yang membedakan profesi seorang seniman dengan profesi-profesi lainnya justru terletak pada bagaimana ia dapat mengendapkan inspirasi yang didapatkannya untuk kemudian mengkaji dan merefleksikannya sebagai karya. Dan proses yang demikian panjang ini tentu akan terganggu bila ia menjadi anggota sebuah partai. Maka wajar ketika banyak kawan senimannya bergabung dalam partai-partai politik, ia memilih tetap sendiri demi elan vitalisme kerja berkeseniannya. Selain karena cara hidupnya yang demikian, kesan individualisme yang melekat pada dirinya hingga kini tak terlepas juga karena sajak “Aku”. Sajak yang menyimpan hidupnya itu ditulis tiga tahun sebelum dia wafat pada 1949. Kini, telah bertahun-tahun dirinya rutin dihidupkan dalam peringatan-peringatan yang sengaja dihadirkan pada tanggal kematiannya; 28 April.

    Menariknya, peringatan-peringatan itu dilakukan secara bersama-sama, kumpul bareng, guyub, dan seremonial, jauh dari kesan individualisme. Tentu, cara peringatan semacam itu baik, tapi tak ada salahnya juga bila memperingati hari Chairil Anwar dengan cara menyendiri, merenung, dan berkarya, sebab kita, warga negara Indonesia, terlalu banyak memiliki hari untuk diperingati, hingga lupa sejatinya kita diminta untuk mengingat, bukan sekadar merayakan.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/