Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Dima Hana Mahsunah
Waktu saya diminta oleh Bagus Panuntun untuk menulis di Kibul mumpung saya sedang studi S2 di Korea, sejujurnya saya bingung mau nulis apa. Hal-hal yang ada di Korea sepertinya sudah diketahui oleh banyak orang di Indonesiaâterima kasih, K-drama! Tidak ada hal yang cukup menarik untuk saya tulis, sampai akhirnya penyanyi dari girl-band f(x), Sulli, ditemukan tewas bunuh diri 14 Oktober lalu. Bunuh dirinya Sulli ini tak hanya menggemparkan warga Korea Selatan saja, tapi juga orang-orang Indonesia.
Laku bunuh diri para artis di Korea memang bukan hal baru. Kurang dari dua tahun lalu, Jonghyun SHINEE juga melakukannya. Baik Jonghyun ataupun Sulli memang sama-sama tertekan oleh profesi yang mereka jalani, namun ada perbedaan mencolok yang di-highlight oleh banyak orang terkait kematian Sulli. Sementara Jonghyun adalah artis yang dicintai banyak penggemarnya, Sulli justru selalu mendapat banyak komentar jahat dari netizen yang kemungkinan besar memperburuk keadaan mentalnya sebelum akhirnya ia mengakhiri hidupnya.
Sampai di sini, saya kemudian berpikir, alangkah miripnya kasus Sulli ini dengan topik skripsi yang saya selesaikan Agustus tahun lalu; perihal cyberbullying. Karena itulah saya jadi punya ide untuk menulis tentang cyberbullying beserta bentuk-bentuk dan dampak negatifnya. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran akan perilaku cyberbullying, danâsemoga setelah ituâorang-orang akan lebih berhati-hati menggunakan internet supaya tidak melukai orang lain.
Cyberbullying atau dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai perundungan siber, sederhananya adalah bullying yang dilakukan melalui perangkat elektronik. Richard Donegan (2012: 34) mengatakan bahwa cyberbullying adalah hasil evolusi dari traditional bullying dan merupakan dampak negatif dari evolusi teknologi.
Karena menggunakan perantara elektronik, si pelaku menyembunyikan identitasnya secara anonim dan tidak bisa melihat secara langsung reaksi korban. Hal ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan cyberbullying justru lebih berbahaya ketimbang traditional bullying, karena tidak ada efek psikologis yang dirasakan pelaku. Selain itu, si pelaku juga bisa dengan gampang lepas tangan dari apa yang diperbuatnya karena merasa identitasnya sudah terlindungi. Faktor lain adalah seseorang bisa terkena cyberbullying kapan saja dan di mana saja, tidak ada batasan waktu dan tempat. Internet telah memungkinkan kita bisa berbicara tanpa bertatap muka, dan ini malah menjadi pisau bermata dua untuk penggunanya.
Komentar jahat hanya salah satu dari bentuk-bentuk cyberbullying yang ada. Menurut Nancy Willard dalam bukunya âCyberbullying and Cyberthreatsâ? (2007), ada tujuh bentuk cyberbullying:
Dalam pembahasan mengenai bentuk-bentuk cyberbullying di atas, mungkin pembaca bisa mendapatkan gambaran mengenai bahaya cyberbullying. Hal-hal ini merupakan beberapa dampak negatif dari cyberbullying:
Dampak dari cyberbullying pada korban biasanya kepercayaan diri yang rendah, merasa dirinya tidak pantas dan tidak berharga, dan cenderung menarik diri dari pergaulan.
Dalam film yang berjudul Socialphobia (2015) yang menjadi obyek dari skripsi saya, korban berbalik menyerang pelaku yang sudah membuat reputasinya hancur lewat internet. Menurut saya, hal ini merupakan sisi paling menyedihkan dari cyberbullying, karena ia bisa mengubah korban jadi pelaku, dan dendam membuat tindakan cyberbullying tidak ada habisnya, seperti devilâs circle.
Mungkin ini adalah akibat paling mengerikan dari cyberbullying. Kata-kata yang seolah tidak berarti, yang ditemukan dalam dunia maya pula, bisa mengambil nyawa seseorang.
Sulli, gadis SMP yang gantung diri itu hanyalah contoh saja. Tapi seberapa banyak kehidupan yang harus terenggut untuk mengubah sikap kita terhadap orang lain, baik itu di dunia nyata maupun di internet semata? Kita tidak pernah tahu dampak perkataan kita terhadap orang lain. Kita juga tidak tahu situasi macam apa yang dia hadapi, dalam kondisi seperti ada dia sekarang. Lebih baik apabila menyaring kata-kata yang kita lontarkan (atau ketik) terlebih dahulu, dan menggunakan sosial media untuk hal-hal yang menyenangkan saja, seperti melihat video kucing digoda ondel-ondel komplek, menyaksikan Aries Susanti Rahayu memecahkan rekor dunia di speed climbing, dan jangan lupa nanti kita sambat hari ini (karena sambat itu menyenangkan!).
Sejujurnya, saya sedikit kaget saat mengetahui Sulli memutuskan untuk bunuh diri. Sebab, baru-baru ini dia muncul di drama Hotel Del Luna. Meskipun Sulli memang sudah diketahui sejak lama mengidap depresi, namun ketika dia mengambil peran di drama tersebut, saya pikir dia sudah cukup membaik dan mulai bisa merintis karirnya lagi.
Dari channel Youtube Asian Boss, banyak orang Korea yang bersedih dan menyayangkan keputusan bunuh diri Sulli. Gadis yang begitu muda, dengan paras yang rupawan, cerdas, punya banyak potensi, punya masa depan yang masih panjang, memutuskan untuk mengakhiri hidupnya begitu saja. Saya punya teman yang suicidal, dan dia bilang bahwa orang-orang yang suicidal itu punya rasa sakit yang terus-menerus ada, dan mereka tidak tahu bagaimana caranya agar bisa lepas dari rasa sakit itu. Satu-satunya jalan keluar yang terpikirkan adalah mati. Kalau mati, mereka akan terbebas dari rasa sakit. Mungkin ini adalah salah satu cara untuk memahami jalan pikiran Sulli. Orang-orang mungkin bisa dengan mudah menyuruh mereka bicara, tapi Sulli sudah berusaha bicara, lalu lihat apa yang ia terima. Dari yang saya baca, Sulli di-bully di segala aspek kehidupannya: mulai dari dari cara memegang anjingnya, bentuk tangannya, keluarganya, bahkan mantan-mantannya pun tidak lepas dari cacian netizen.
Selain itu, mental health awareness di Korea juga sama saja seperti di Indonesia: buruk. Tidak mudah bagi seseorang yang punya kondisi psikologis tertentu untuk mengatakan kondisinya pada orang lain. Padahal, orang Korea punya kecenderungan yang tinggi untuk mengidap depresi. Biaya hidup di sini lebih mahal, work pace-nya cepat dan padat. Di Indonesia, orang mungkin bisa tidur di jalan kalau tidak punya rumah, tapi di sini, tidak punya rumah berarti mereka akan mati di musim dingin. Dua tahun lalu ketika saya berada di sini untuk language training, teman saya dari Palestina menyadari betapa orang Korea sering sekali menyebutkan kata âstressâ sehingga kita semua terbawa.
Buku-buku di Korea juga banyak yang menceritakan pengalaman depresi. Beberapa di antaranya berjudul âMau Mati Tapi Mau Makan Topokki Duluâ? karya Baek Se Hee yang merekam konsultasi si pengarang dengan psikiaternya (buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia), âBuku yang Harus Kau Baca Ketika Ingin Melarikan Diriâ? karya Isihara Kazuk yang menekankan bahwa setiap orang perlu istirahat, dan âUlang Tahun ke-29 dan Memutuskan Untuk Mati Satu Tahun Setelahnyaâ? karya Hayama Amari yang berisikan esai pengarang selama 1 tahun sejak hari ulang tahunnya yang ke-29. Buku-buku ini, saya pikir, mencerminkan keadaan psikologis orang Korea, karena sastra adalah cerminan dari realita sosial masyarakatnya.
Sampai di sini, saya harap kita semua punya kesadaran untuk selalu bertindak hati-hati di manapun dan kapanpun, di dunia nyata dan di dunia maya. Dalam naskah International Covenant on Civil and Political Rights yang diadopsi oleh PBB pada tahun 1966, hak untuk menyampaikan pendapat dan kebebasan berekspresi yang tercantum dalam Pasal 19 ditambahkan dengan catatan â⦠the exercise of the rights [â¦] carries with it special duties and responsibilities.â? Artinya, kalian punya hak untuk berpendapat dan kebebasan berekspresi, namun itu semua harus dilakukan dengan penuh pertanggungjawaban. Saya masih melihat banyak sekali yang menyepelekan permasalahan ini.
Orang tua saya pernah bilang, âJangan sampai buat jejak digital yang jelek. Bagi mereka, apa yang saya lakukan di internet ini juga menjadi portofolio yang akan dilihat entah oleh perusahaan yang saya lamar, atau sebagai pertimbangan lolos atau tidaknya beasiswa. Berbuat seenaknya di sosial media tidak hanya merugikan orang lain, namun juga diri sendiri. Ingat: saya, kalian, kita semua bisa berada di posisi sebagai orang yang di-bully. Tidak ada jaminan pelaku bullying tidak bakal diserang balik oleh netizen. Jadi sebaiknya pikir terlebih dahulu seribu kali sebelum mencaci orang lain. Kepuasan sesaat ketika kita mengata-ngatai orang lain itu sungguh tidak sebanding dengan akibat yang akan diterima.
Lalu, untuk semua orang yang membutuhkan pertolongan, untuk mereka yang merasa perlu didengar, suarakanlah kegelisahan dan keresahan kalian. Sampaikan kalau kalian memang butuh pertolongan. Saya yakin, di suatu tempat, pasti ada yang mau mengulurkan tangan. Pasti ada yang mau mendengarkan. Kalian tidak sendirian.