Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Teknologi: Kawan atau Lawan?

author = Intan Puri Hapsari

Berulang kali saya mencoba untuk mengosongkan pikiran dan hanya menikmati alam semesta, namun gagal lagi untuk kesekian kalinya. Entah apakah itu karena keinginan kuat saya untuk melihat ponsel saya untuk sekedar mengintip social media, chat ataupun melihat berita terhangat hari ini. Saya bingung, mengapa otak saya ini terasa penuh dengan semua pikiran dan keinginan yang bertautan tanpa henti. Tanpa disadari, kita ini hidup di era yang serba cepat, revolusi 4.0 yang sedang hits akan lebih mempercepat fungsi kerja kita. Tampaknya, waktu yang dipertaruhkan dalam teknologi ini akan menjadi lebih singkat dan efektif berkat robotisasi dan penggunaan internet. 

Saya pernah berkecimpung di dunia pariwisata, revolusi 4.0 ini juga berkontribusi dalam mempromosikan sebuah destinasi atau tempat wisata. Bayangkan, berkat Augmented Reality (AR) kita bisa pergi ke suatu tempat tanpa harus benar-benar pergi secara fisik. Hanya melalui sebuah layar, otak kita pun dapat berkelana ke dunia tiga dimensi yang tampak nyata merasuki tubuh kita. Kalau dahulu teknologi tiga dimensi masih berjarak dan hanya melalui layar bioskop atau televisi saja. Sekarang, jarak itu ditiadakan dan kita pun terperangkap di antara dunia tiga dimensi itu. Apakah ini adalah tujuan dari teknologi dengan meniadakan jarak? Seperti otak kita tidak boleh lagi memiliki jarak untuk berpikir dan dikondisikan untuk mengadopsi teknologi sebagai bagian dari hidup kita.

Waktu yang selalu diperbincangkan dan diolah agar lebih efektif, pada akhirnya menemui titik jenuh. Mungkin tidak untuk semua orang, namun berlaku untuk saya. Kita yang telah dikelilingi oleh berbagai macam informasi yang bisa diakses secara bebas. Ponsel yang memfasilitasi pencarian informasi tentang dunia ataupun berita seorang kawan serasa telah menjadi bagian dari anggota tubuh kita. Berbagai push notification tentang hot news, likes di social media ataupun Google Agenda menghiasi layar ponsel sehari-hari. Kalau mau jujur pada diri sendiri, apakah mungkin melewati satu hari tanpa kehadiran ponsel? Secara perlahan tapi pasti, teknologi telah memonopoli hidup kita. Saya bicara teknologi secara luas, bahwa fungsi teknologi itu adalah membantu hidup kita untuk mengerjakan hal lebih singkat. Secara logika, waktu senggang seharusnya lebih bertambah berkat kehadiran teknologi? Namun nyatanya, waktu senggang ini pun bisa dijadikan peluang bisnis! Di sela-sela waktu senggang kita, ponsel yang sudah tak asing lagi jadi teman hidup akan memanggil- manggil empunyanya melalui berbagai push notification. Dan otak pun kembali berputar-putar di sekitaran informasi tersebut. Otak ini seperti tidak ada jarak untuk berpikir, seperti layaknya turbin air pembangkit listrik yang terus berputar selama 24 jam. 

Saya kira, manusia sekarang seperti dikondisikan untuk tergesa-gesa dan melakukan berbagai hal di waktu yang bersamaan. Kata-kata “waktu adalah uang” sudah diimplementasikan oleh banyak orang, sampai interaksi untuk bertanya jalan ketika tersesat pun akan dijawab oleh Google Maps. Sampai di titik ini saya bertanya “individualis tercipta karena teknologi atau teknologi tercipta karena manusia pada dasarnya individualis?”.

Kalau berbicara manusia secara umum, pada zaman abad pertengahan, para filsuf seperti Socrates dan Plato menggambarkan individualitas manusia terjadi karena sebuah ketidaksengajaan. Pada dasarnya manusia saling membutuhkan satu sama lain secara natural sebagai penggambaran diri mereka yang seutuhnya. Mereka bertemu bukan hanya karena memiliki persamaan diri. Namun, teori ini pun dikaji ulang oleh filsuf teologi yang dipelopori oleh Thomas Aquinas pada abad ke-13. Doktrin kristenisasi yang menjalar di Negeri Barat pada saat itu merumuskan manusia bukan lagi dilihat sejatinya sebagai seorang individu namun ia juga dinilai sebagai individu spiritual. Kali ini, individu akan saling mencari dan membutuhkan karena adanya persamaan ideologi hidup. Ketika persamaan itu nyata terbentang, barulah terjadi interaksi dengan sesamanya. Jika saya mengambil logika ini maka dapat disimpulkan bahwa individualitas semakin menderu di era yang baru ini. Samuel Huntington dalam bukunya “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order” menyatakan dengan lantang bahwa dunia ini telah terbagi dalam delapan major civilisations : Sinic civilisation (yang berhubungan dengan Cina dan komunitas Cina di Asia Tenggara termasuk Vietnam dan Korea), Japanese civilisation, Hindu civilisation, Islamic civilisation, Western civilisation, Latin American civilisation, Africa civilisation dan Orthodox civilisation. Setelah jatuhnya tembok Berlin yang memisahkan dua ideologi, simbol persatuan ini malah melahirkan dunia yang lebih kompleks. Dunia yang sebelumnya bipolar, ibaratnya hanya ada dua kubu Amerika atau Uni Soviet, sekarang telah berubah menjadi multi polar dan multi civilisations

Jikalau benar perbedaan hanya akan membuat manusia untuk tidak saling bertemu dan berinteraksi, maka saya hanya bisa berbelasungkawa dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat. Algoritma dan Big Data yang merupakan proyek besar dari revolusi 4.0, saya rasa dapat membuat manusia semakin terperangkap di dunianya masing-masing. Saat ini, sebagai pengguna internet, Google lebih mengenal saya dari pada keluarga saya sendiri. Melalui analisis secara algoritmik, data pribadi saya pun dapat terkuak melalui perkembangan Artificial Intelligence (AI) ini. Iklan-iklan yang mungkin akan menarik perhatian saya dengan bebas berkeliaran di layar ponsel atau komputer. Saya tidak menyalahkan cara kerja sistem algoritmik ini, tapi saya khawatir sistem ini akan membuat orang hanya terpaku di dunia yang mereka suka. Kalau semua orang hanya akan mengenal dan terjebak di dunia mereka masing-masing, bagaimana mereka bisa menghargai perbedaaan? Karena mereka tidak akan terbiasa melihat perbedaan bahkan di layar ponsel mereka sekali pun. Dan ketika perbedaan itu suatu hari akan tampak, akankah toleransi sebagai penengah dapat dipelajari melalui internet? 

Bagaimana otak bisa berhenti berpikir dan terkontaminasi kalau di layar ponsel hanya ada informasi yang sesuai dengan kegemaran kita? Sistem algoritme bisa mengeluarkan iklan yang tepat di saat yang tepat yaitu : waktu senggang kita! Kalau sudah begini, saya bisa menyimpulkan bahwa kemajuan teknologi hanya akan membuat kita mabuk kepayang sehingga kita bergantung olehnya. Otomatis teknologi serta merta memanjakan kita untuk selalu berada di zona nyaman. Nyaman di dunia kita sendiri, di mana semua yang berputar di sekitar kita hanya tentang kita dan untuk kita. Tidakkah hal ini akan menimbulkan sikap individualisme? Alexis de Tocqueville, seorang filsuf politik menggambarkan individualisme sebagai sikap yang berasal dari sebuah pemikiran yang matang dan bukan berasal dari insting buta atau pun pengambilan keputusan yang salah. Melalui penjabaran ini, sudah sewajarnya individualitas menjadi hal yang biasa di dunia modern. Hal ini dikarenakan penduduk di dunia modern akan berusaha mengedepankan rasional dengan mengabaikan insting manusia yang sifatnya abstrak. 

Di era yang serba instan ini, internet menawarkan solusi untuk mencari pasangan hidup atau teman yang sesuai kriteria kita. Manusia pun seperti diharuskan untuk tertarik kepada sesamanya jikalau persamaan itu ada. Dunia yang telah terkotak-kotakkan menjadi multi civilisations sekarang bermutilasi lagi menjadi multi identitas. Kelab-kelab yang mengedepankan persamaan dibungkus dengan persamaan hobi menjadi tempat mencari teman. Tampaknya sudah jarang, percakapan yang terbentuk hanya karena manusia itu sendiri berada di tempat yang sama pada waktu yang sama. Pada zaman ini, percakapan lebih dapat tercipta berkat persamaan identitas, rasa ataupun filsafat hidup.

Saya sangat menyayangkan jika manusia sebagai pencipta teknologi pada akhirnya berbalik terkontrol oleh teknologi itu sendiri. Kasihanilah otak kita yang sudah terlalu banyak bekerja, berilah dia ruang dan jarak untuk beristirahat. Abaikan keinginan untuk selalu memanfaatkan waktu yang berlalu dengan sejuta hal secara bersamaan. Mungkin dengan begitu kita akan lebih bisa peduli akan sekitar kita, paling tidak untuk bernafas sejenak dan menikmati indahnya alam semesta. Atau bahkan untuk sekedar berinteraksi secara alamiah dengan sesama tanpa memiliki judgement bahwa manusia itu harus selalu sama.