Category: ngibul

  • [Ngibul #94] Tidak Tahu ≠ Goblok

    author = Asef Saeful Anwar

    “…guoblok tenan!” Itu ekor kalimat yang sempat nyambar telinga Dul Kibul ketika akan duduk di bangku panjang
    warung burjo Kabita di depan kosnya.

    “Siapa
    yang goblok?” timpalnya sebelum meminta Aa Ujang mengambilkan piring.

    “Itu
    lho, mosok  wudlu dari air segayung ngono kuwi.” sela Lik Narto, menghisap rokok seven-six-nya, menghembuskan asapnya, dan memperlihatkan video yang
    barusan dilihatnya di ponsel.

    “Siapa
    itu?” tanya Dul Kibul.

     “Itu cawapres lho…” Aa Ujang menyambut
    sambil menyerahkan piring pada Dul Kibul.  

    Masak sih ada cawapres goblok?” Dul
    Kibul bertanya, tapi matanya mengarah pada nasi yang tengah dikeluarkannya dari
    kantong kresek ke atas piring.

    “Kamu
    pasti belum tahu juga tingkah lainnya ya?” Lik Narto menyela sambil mematikan
    api rokoknya di asbak.

    “Kenapa
    harus tahu?” Dul Kibul menyambar botol saus, menggoyangkannya ke arah tepi
    piringnya.

    “Kapan
    kamu bisa gemuk kalau makan cuma kitu-kitu
    wae?” sela Aa Ujang sambil
    mengambilkan air putih untuknya. Dul Kibul tak menjawab. Lik Narto
    memperhatikan betapa kurus lelaki gundul di sampingnya, seperti tulang dibalut
    kulit, tanpa daging. Dia baru sadar meskipun sering ketemu pada malam Minggu di
    pos ronda karena jadwal yang sama.

    “Gemuk
    dan tidak gemuk itu urusan Tuhan. Yang penting masih bisa makan tanpa
    minta-minta itu sudah berkah.”

    Emangnya kamu tidak minta saus?” Aa Ujang
    menaruh segelas air putih di samping piring Dul Kibul.

    “Saus
    ini kan hakku karena aku beli
    gorengan di sini,” jawabnya setelah mencomot bakwan.

    “Halah,
    modal kamu cuma seribu,” sergah Aa Ujang yang terpaksa maklum dengan kebiasaan
    Dul Kibul. Bila dalam sebulan dirata-rata, tidak sampai 3 kali makan berlauk
    telur atau sarden. Selebihnya setiap hari bawa nasi sendiri dan hanya bayar satau
    atau dua gorengan. Meski begitu Aa Ujang tidak merasa dirugikan sebab Dul Kibul
    sering menemaninya begadang dengan cerita-cerita asyik, dari yang lucu, konspiratif,
    jorok, cerita horor, sampai prediksi hasil dan analisis pertandingan sepakbola
    yang sering tepat.

    Barangkali
    uang seribu itu malah bukan modalnya, modal Dul Kibul ya lidahnya yang pintar menghibur
    itu. Termasuk ketika ia mengatakan kalau Aa Ujang mirip dengan Charlie ST12
    pada malam-malam ketika Dul Kibul memainkan gitar sementara si Aa menyanyikan
    lagu-lagu pop melayu.

    “Perkara
    makananku nggak usah dibahas. Yang
    masalah wudlu itu gimana, Lik?” tanyanya setelah menelan kunyahan nasi.

    “Kamu
    makan dulu, ngobrolnya nanti. Biar kamu benar-benar jadi mahasiswa ber-adab,tidak cuma kuliah di Fakultas Adab,”
    saran Lik Narto, yang kembali mengambil bungkus rokok dari sakunya. Tinggal
    sebatang, dan ia menyalakannya sambil menunggu Dul Kibul selesai makan.
    Sementara Aa Ujang mengaduk-aduk santan burjo yang tengah dihangatkan.

    Ketika
    piring Dul Kibul hanya menyisakan garis bekas saus dicocol, dan air di gelas
    telah diminum tiga perempat, ia kembali bertanya: “Jadi, siapa yang goblok?”

    “Iya
    orang itu, yang ada dalam video.”

    “Kenapa
    bisa begitu?”

    “Ya,
    masak masalah wudlu saja nggak ngerti.”

    “Memang
    kalau nggak ngerti itu bodoh? Kalau nggak tahu itu goblok?”

    “Ya
    nggak juga, tapi ini masalah paling
    dasar. Anak kecil aja tahu.”

    “Tapi
    nggak bisa begitu, Lik. Anak kecil
    tidak bisa dijadikan standar. Masing-masing orang kan dididik berbeda. Barangkali waktu kecil dia belum sempat
    diajari bab wudlu dengan baik.”

    “Jadi
    goblok kan?”

    “Jangan
    begitu lah… Kalau Lik Narto nggak
    tahu bahasa Sundanya “pisang”, apakah disebut goblok? Kalau Aa Ujang tidak tahu
    bahasa Jawanya “kelapa”, apakah dia goblok?”

    “Ini
    bukan masalah bahasa, Bul. Ini masalah agama.”

    “Nah
    karena masalah agama itu makanya aku berani mendebat. Tidak boleh lah menggoblok-goblokkan
    sesama.”

    “Tapi
    ini sudah keterlaluan.”

    “Memangnya
    yang bersangkutan sudah diberi tahu tentang cara wudlu yang benar?”

    “Ya
    nggak tahu, tapi kemarin pernah dia
    melangkahi makam seorang kiai.”

    “Apa
    dia juga sudah diberi tahu tentang adab ziarah kubur lalu mengulangi kesalahan?”

    “Itu
    juga aku tidak tahu.”

    “Berarti
    Lik Narto yang goblok.”

    “Lho
    kok dadi aku?”

    “Kan
    banyak nggak tahunya… Begini lho, Lik,
    keterlaluan itu kalau sudah diingatkan tapi mengulangi kesalahan berkali-kali.
    Kalau belum tahu ya wajar.”

    “Kayaknya
    kamu mendukung cawapres itu ya?”

    “Aku
    tidak mendukung siapa-siapa. Intinya siapa pun yang salah ya wajib diingatkan.
    Bukan digoblok-goblokkan. Lik Narto tahu nggak
    kenapa wudlu dalam air segayung tidak sah?”

    Nggak tahu. Yang jelas dulu diajarkan
    kalau wudlu sebaiknya menggunakan air yang mengalir atau air dalam kolah ukuran
    besar.”

    “Nah
    ini aneh. Lik Narto memang benar kalau wudlu itu nggak sah, tapi sebabnya salah. Lik Narto tahu jenis-jenis air?”

    “Air
    hujan, air mineral, air minum.”

    Mendadak
    Dul Kibul tertawa terbahak-bahak. Aa Ujang kaget dan heran, apalagi Lik Narto. Hampir
    lima menit, Dul Kibul baru berhenti tertawa dan meminta air putih lagi ke Aa
    Ujang. Sehabis menenggak beberapa tegukan, ia tidak menjelaskan mengapa
    tertawa, tapi bertanya lagi.

    “Lik
    Narto tahu air mustakmal?”

    “Apa
    itu?”

    “Ternyata
    Lik Narto juga sama nggak tahunya
    dengan cawapres tadi.”

    “Maksudnya?”

    “Bingung
    aku menjelaskannya. Pokoknya begini saja, jika muncul masalah adab ziarah kubur,
    masalah wudlu, atau masalah sekitar agama Islam lainnya barangkali itu peringatan
    agar kita kembali belajar pada dasar-dasar agama Islam. Pada dasarnya masih
    banyak orang yang mengaku tahu ajaran Islam, tapi sejatinya belum tahu. Nah
    kalau belum tahu tapi dikiranya sudah tahu itu gawat. Sebab pengetahuan itu
    beriringan dengan pengamalan. Kalau orang tahunya sholat isya 3 rokaat, pasti
    dia akan sholat 3 rokaat.”

    “Halah
    ini pasti karena kamu mendukung cawapres itu ya?”

    “Kalau
    mendukung, aku harusnya lebih dulu tahu video itu daripada Lik Narto. Lha ini aku
    aja baru tahu.”

    “Tapi
    kamu membelanya itu maksudnya apa?”

    “Aku
    tidak membela. Aku cuma mengingatkan Lik Narto.”

    “Ya
    kan benar. Harusnya cawapres itu yang diingatkan kok malah aku. Sekarang kamu
    mending jujur saja. Kamu mendukung siapa?”

    “Aku
    tidak mendukung siapa-siapa, Lik.”

    “Anak
    muda kok golput.”

    “Tidak
    mendukung kan bukan berarti tidak
    memilih, Lik.”

    “Lha
    ya nanti mau milih siapa?”

    “Ndak
    tahu, Lik. Tahu cawapres itu saja baru sekarang. Siapa capresnya saja belum
    tahu.”

    Tiba-tiba
    Aa Ujang yang menyela: “Dul Kibul itu nggak
    tahu apa-apa, Lik, apalagi tentang pilpres. Kalau ke burjo ini saja dia minta
    tipi dimatikan, kecuali bola.”

    Ya wis ah, aku tak ndisiki ya.” jawab
    Lik Narto.

    Monggo, Lik.”

    Tak
    lama setelah Lik Narto pergi, Marbakat datang.

    “Bul,
    sudah makan?” tanya Marbakat

    “Sudah.”

    “Padahal
    aku mau traktir lho.”

    “Belum
    rezekiku.”

    “Ada
    apa eh kethoke lesu tenan?”

    “Aku
    pesan soda gembira aja boleh?”

    “Boleh
    saja asal langsung gembira lho ya.”

    “Makanya
    itu aku pesan minuman itu.”

    Mbok cerita. Ada apa toh?”

    Dul
    Kibul pun bercerita tentang obrolannya dengan Lik Narto tadi sementara Aa Ujang
    meracik soda gembira.

    “Beneran
    seperti itu?” Marbakat menyangsikan.

    “Tanya
    saja Aa Ujang kalau nggak percaya.
    Dia saksinya.” Aa Ujang yang menyuguhkan soda gembira mengangguk, membenarkan.

    “Soalnya
    ada yang mengganjal dari ceritamu. Dan aku yakin itu fiktif.”

    “Soal
    apa?” tanya Dul Kibul setelah tiga tegukan soda gembira.

    “Pendapat-pendapatmu
    terlihat cerdas eh. Nggak mungkin itu
    pikiran kamu. Pasti ngarang.”

    “Bajingan.
    Kamu boleh nraktir aku, tapi tidak
    lantas boleh ngenyek gitu lho ya.”

    “Sorry,
    sorry…. Aku cuma heran kok kamu bisa lesu hanya gara-gara masalah itu. Itu
    masalah yang sudah biasa lho, Bul.”

    “Biasa
    katamu?”

    “Makanya
    jangan keluar kamar cuma di Burjo. Aktifkan juga media sosialmu biar kamu bisa
    mengikuti berita. Sudah banyak pertengkaran karena soal itu. Sudah banyak
    pertemanan, persahabatan, bahkan persaudaraan rusak karena soal pilpres.”

    “Kalau
    seperti itu terus-terusan negara ini bisa bubar.”

    “Ternyata
    benar kata Lik Narto, kamu mendukung salah satu capres.”

    “Jangan
    asal nuduh.”

    “Itu
    kata-katamu persis seperti salah satu capres.”

    “Astaga,
    yang benar? Tapi benar lho ya kalau bertengkar seperti itu terus, negara ini
    bisa punah.”

    “Benar-benar
    kamu ya.”

    “Astaghfirullah….
    masih salah lagi?”

    “Iya
    itu masih sama.”

    “Ya
    Owloh… Intinya, biar Indonesia nggak
    bubar, biar Indonesia nggak punah, make Indonesia great again!”

    “Kacau.
    Kamu memang pendukung capres itu.”

    “Sudahlah
    nggak usah dibahas lagi.”

    “Nah
    kan semakin menunjukkan karakter
    pendukung capres itu.”

    “Astaghfirullah….pertemanan
    kita juga bisa bubar ini gara-gara pilpres.”

    “Syukurlah
    kalau gitu….”

    “Kok
    malah disyukuri?”

    “Karena
    sekarang aku sudah bukan temanmu, itu soda gembira bayar sendiri ya.”

    “Oalah…
    Semprul !!!”

  • [Ngibul #93] Hikayat Jackie Chan Stuntmaster

    author = Olav Iban

    Hari ini, 18 tahun yang lalu di saat bocah-bocah ingusan menghabiskan malam tahun baru dengan kembang api dan mercon banting, kami bocah-bocah gamers amatir anggota Serikat Cah PSan Se-Indonesia menyerukan sukacita di rental Playstation terdekat.

    Butuh 277 hari penantian sejak 29 Maret 2000 ketika Midway Entertainment merilis Jackie Chan Stuntmaster sampai akhirnya keluar CD bajakannya dan dimainkan di rental-rental Playstation oleh kami-kami ini dengan membayar Rp. 2000,- per jamnya.

    Tahun 2000 adalah tahun kemuliaan Jackie Chan bagi kami bocah Indonesia. Otak mungil kami merah merona dijejali berjam-jam aksi perkelahian unik, pemanjatan dan penurunan dinding, kejar-mengejar, salto-menyalto yang belum pernah eksis di imajinasi kami sebelumnya—yang isinya melulu: kalau bukan lompatan vampir, kamehameha, ya pukulan sinar matahari-nya wiro sableng.

    Sepanjang tahun RCTI dan Indosiar seperti tidak pernah kehabisan stok menayangkan Mr. Nice Guy dengan adegan bulldozer raksasanya yang tak terlupakan. Atau duet irasional polisi kulit kuning dan kulit hitam di Rush Hour. Atau percampuran kultur Asia-Afrika dalam film Who Am I? Atau berjilid-jilid Police Story yang hendak menyaingi jumlah jilidan Tersanjung.

    Hebat sekali Jackie Chan waktu itu. Tidak seperti kemonotonan Bruce Lee atau Jet Li, ia menyuguhkan kungfu lewat humor, refleksologi, dan duel keroyokan dalam satu film sekaligus.

    Nama Jackie Chan sangat terkenal, semua orang tahu Jackie Chan. Lebih-lebih di tahun itu Hollywood merilis Shanghai Noon—film juxtapose kungfu-cowboy yang judulnya saja sudah teramat ikonik sampai hari ini apalagi isi filmnya.

    Eskalasi nama Jackie Chan di tahun itu membuat kami ternganga-nganga begitu tahu Jackie Chan—sang international stuntman, martial artist, dan filmmaker extraordinaire—itu ada versi video game-nya. Api di hati kami semakin memijar tersiram senyawa gairah menggebu ketika beredar desas-desus bahwa versi bajakannya akan segera tersedia di rental pada malam pergantian tahun. Bocah mana yang tidak gila mendengarnya?

    Video game Jackie Chan Stuntmaster bergenre beat’em up (genre pokokmen hajar kabeh). Tapi tidak seperti game beat’em up lainnya yang 2D layaknya game Contra atau Metal Slug, di Jackie Chan Stuntmaster kita diberi berbagai opsi menghajar musuh dengan memanfaatkan lingkungan dan benda-benda di sekitar pemain.

    Kamu bisa menendang tong sampah sampai menggelinding menabrak musuh; mencatok lawan dengan kuas cat roll, ikan tuna, knalpot, tongkat bilyard, balok kayu, payung, sampai alat penyedot WC. Sungguh kalau bukan Jackie Chan alat-alat ini muskil dijumpai dalam sebuah perkelahian.

    Untuk memperpanjang nyawa, kamu harus kreatif menendangi kotak kayu di sekeliling jalur arena sampai menemukan tiga hal: 1. Semangkuk mie ayam (sedikit tambahan darah di health bar); 2. Sebotol susu putih (menambah lebih banyak darah ketimbang mie ayam); 3. Rice Box ala KFC (yang mampu mengisi health bar sampai hampir penuh). Nasi selalu lebih baik ketimbang mie.

    Walau gambarnya masih kotak-kotak kasar dan tidak mulus dibanding game PS1 lainnya, kita akan langsung ngeh bahwa tokoh itu adalah Jackie Chan. Ini karena Radical Entertainment selaku developer memanfaatkan teknik motion capture untuk menciptakan ulang sosok Jackie Chan yang sangat representatif dalam model 3D yang bergerak dengan gaya khas Jackie Chan asli seperti di film-film. Alhasil, setiap gerakan badannya sangat kental dengan “nuansa Jackie Chan.”

    Untuk mengontrol tokoh Jackie, Radical Entertainment tidak memberi petunjuk khusus. Maka, setiap teknik combo sepenuhnya diserahkan pada insting dan niat pemain mengutak-atik sendiri rumus berikut:

    Silang – Lompat
    Kotak – Pukul
    Segitiga – Tendang
    Lingkaran – Menarik/Membuka Pintu/Mengambil senjata
    R1 – Berguling/Menghindari serangan
    R2 – Memberondong/Mengitari musuh
    L1 – Serang balik
    L2 – HUD on/off (head up display)

    Perpaduan teknik combo, pemanfaatan ruang, pemakaian alat bantu menyerang musuh selama bermain akan mendapat penilaian yang ditayangkan hasilnya pada akhir level dengan tiga penilaian: combo score, fight score, dan style score. Ini membuat permainan semakin seru. Belum lagi ada tugas spesial yakni menemukan kepala barongsai merah dan emas selama berlaga—hal yang gampang-gampang susah tergantung cheat dan tingkat ke-selo-an pemain.

    Video game Jackie Chan Stuntmaster berkisah tentang Jackie yang bekerja di Speedy Dragon Courier Company milik kakeknya di New York. Sang kakek meminta Jackie mengantarkan paket misterius dengan tujuan Temple of the Shaolin. Malam harinya, ketika Jackie sedang makan mie ayam di sebuah restoran, ia melihat mobil limosin berisi empat orang menculik kakeknya. Empat orang itu adalah seorang koki, seorang pria tambun, seorang kribo, dan seorang badut petinju. Keempat orang ini merupakan bos tiap level yang mesti dilalui.

    Jackie dengan cekatan mengejar mobil penculik tadi sampai berhenti di wilayah pecinan. Dari sini petualangan Jackie dimulai.

    Tahap pertama adalah Chinatown dengan bosnya seorang koki. Koki ini mampu mencengkiwing kerah baju Jackie dan menggamparnya sampai terpelanting. Ia juga punya kemampuan melompat menggetarkan bumi sehingga bisa menjatuhkan Jackie jika terlalu dekat. Di tahap ini kamu akan bertarung di berbagai area Chinatown termasuk tempat cuci mobilnya. Jumlah musuh masih tak seberapa. Sebagian besar seperti kurang aware menyambut kedatangan Jackie menyerang mereka yang sedang bersantai di balai peranginan.

    Tahap kedua adalah Waterfront yang dipimpin oleh Barney, pria tambun dengan senjata balok baja. Hati-hati melawannya kalau tidak ingin jadi bola kasti—dilempar ke atas dan jadi target pukulan homerun. Di tahap Waterfront ini petualangan Jackie bertambah seru. Ia harus melompati kotak-kotak kayu, melompati kanopi jendela, berguling menghindari ayunan balok, hingga berlari dikejar truk.

    Tahap ketiga adalah Sewer. Bosnya adalah seorang badut petinju yang dibantu anak buah seorang pemain pantomim. Ini pertarungan curang dua lawan satu. Bila lengah bisa-bisa kamu dikuncinya dari belakang, lalu digebuki dari depan oleh si badut petinju. Pada level Sewer inilah adegan legendaris melompat antar kereta untuk mendapatkan kepala barongsai bisa kamu ujicoba. Seru pol!

    Tahap keempat adalah Rooftop. Di sini kamu akan berjibaku melawan banyak musuh di atas atap, termasuk melompat-lompat di antara cerobong penyembur api. Musuh utamamu merupakan seorang pria kribo pemain disco. Bertarung melawannya agak membingungkan karena si kribo ini bergerak random mengikuti irama disco.

    Tahap kelima adalah Factory. Ini tahapan paling ramai. Di sini kamu akan banyak bergelut di atas roda berjalan melewati semburan api plus cairan hijau beracun, dengan banyak sekali pintu jebakan dan tong bahan peledak. Pada tahap Factory ini Jackie berhasil menemukan paket milik kakeknya yang rencananya akan dikirim menuju kuil Shaolin.

    Bos utama akhirnya muncul di tahap kelima ini. Namanya Dante, ia mengenakan pakaian adat Cina. Mengalahkannya sebenarnya cukup mudah. Bagian ini menjadi sesi tersulit hanya karena setiap terkena pukulan si bos besar dapat mengurangi banyak sekali darah.

    Selesai?

    Jangan salah. Jackie Chan Stuntmaster ini mempunyai satu level bonus yang baru muncul di bagian akhir credit title. Lokasinya tidak lagi di New York melainkan di kuil Shaolin. Dan jika kamu berhasil melewati level ini, akan ada reward sebuah video behind the scene pembuatan video game ini dengan memanfaatkan teknologi motion capture yang ditempel pada tubuh Jackie Chan yang asli.

    Sepertinya pihak developer punya rencana melanjutkan video game ini ke konsol Sony Playstation selanjutnya. Tapi sangat sayangkan, sampai kini (setelah lewat era PS2, PS3, dan PS4) Radical Entertainment tak pernah lagi membuat sequelnya. Mungkin ini ada hubungannya dengan sampul CDnya yang membawa kenangan duka.

    Sampul CD  video game ini memuat gambar menara kembar WTC, New York, sebelum hancur menjadi puing akibat serangan teror 9 September 2001 (setahun setelah game ini rilis). Dengan berlatar langit ungu magrib, di antara kala senja layung temaram, Jackie Chan melakukan tendangan lompat di depan skyline New York yang kini sudah tidak ada lagi.

    Video game ini seolah menjadi monumen abadi terhadap kenangan asyik semasa kecil kita sekaligus menjadi penanda bahwa pernah ada keseruan sebelum semuanya buyar.

    Amabakdu, terlepas dari apapun alasan pihak developer tidak melanjutkan lagi video game ini, sesosok Jackie Chan versi 3D yang bisa kita kontrol lewat stik getar adalah kenikmatan hakiki yang jarang ada duanya. Dan satu-satunya cara mencicip nikmat itu kembali (selain bongkar lagi PS1 mu di gudang) adalah dengan menginstal PSX Emulator, lalu berpulang ke tahun 2000, masa SD, masa asmaraloka, masa sebelum peristiwa 9/11 dan tragedi Sampit serta Poso memecah belah kerukunan kita

  • [Ngibul #92] Catatan Menjelang Pulang

    author = Fitriawan Nur Indrianto

    Hampir setiap orang memiliki kampung halaman,
    jika yang dimaksud sebagai kampung halaman adalah tanah kelahiran. Kampung
    halaman adalah rumah bagi segala peristiwa dan menjadi tempat tersimpannya
    berbagai kenangan bagi seseorang. Kampung halaman juga menyimpan hubungan
    interpersonal, antara individu dengan individu lain yang begitu dekat:
    keluarga, teman masa kecil, tetangga dan barangkali juga musuh. Begitulah,
    setiap orang pastilah memiliki kampung halaman.

    Kampung halaman pun menjadi ruang yang selalu
    dirindukan, khususnya bagi mereka yang pergi. Banyak orang harus meninggalkan
    kampung halaman karena tujuan tertentu sehingga mereka harus terpisah dari
    kampung halaman, berbagai peristiwa yang bisa dijalani di sana, orang-orang
    terdekat, dan juga kenangan. Jarak dan waktu menjadi ruang penyekat antara
    mereka yang pergi dengan kampung halaman. Berbagai istilah kemudian muncul
    seperti berhijrah, merantau, urbanisasi, transmigrasi, dan lain-lain.

    Sebagai oposisi, muncullah satu istilah yang
    kita kenal dengan kata “pulang.” Pulang berarti kembali ke tempat asal, dalam
    konteks ini adalah pulang ke kampung halaman. Dalam tradisi di Indonesia
    khususnya di Jawa misalnya, ada istilah mudik. Mudik yang berarti pulang ke
    kampung halaman dijalani oleh para perantau, khususnya mereka yang sudah pergi
    sangat lama. Kesempatan untuk mudik itu biasanya bisa dilakukan ketika hari
    libur, khususnya pada saat mendekati hari raya semisal Natal dan tahun baru.
    Akan tetapi, istilah mudik lebih dekat dengan orang-orang muslim yang melakukan
    mudik menjelang hari raya Idul Fitri. Pulang dalam konteks mudik seringkali
    adalah singgah sementara. Dalam pulang model ini, para perantau kembali ke
    kampung halaman untuk sejenak berbagi kebahagian dengan orang-orang terdekatnya
    sebelum kembali ke tempat perantauan.

    Akan tetapi, persoalan kampung halaman bisa
    menjadi rumit ketika hal-hal yang selama ini ada dalam diri individu perlahan
    hilang dan memudar. Kalaupun seseorang bisa pulang ke kampung halaman, pulang
    bisa menjadi sesuatu yang sedemikian asing. Ada hal-hal yang tidak lagi bisa
    ditemukan seperti saat dulu sebelum kepergian. Kehilangan demi kehilangan pada
    akhirnya datang bermunculan. Desa yang dahulu merupakan kampung yang indah
    permai, lengkap dengan pepohonan dan kicau burung kemudian diganti dengan
    kehadiran perumahan dan swalayan 24 jam. Teman-teman karib perlahan satu
    persatu pergi dari desa, menjajal nasib di kota atau barangkali memang
    benar-benar “pergi”. Keramahtamahan dan gotong royong ala penduduk desa
    berangsur berubah menjadi sikap individualisme dan kesibukan meraup harta
    benda. Dalam kondisi ini, kampung halaman tetap saja ada, namun kondisinya
    menjadi sangat jauh berbeda.

    Problematika ini mungkin saja dihadapi oleh
    orang-orang yang sudah meninggalkan kampung halamannya dalam waktu yang lama.
    Ketika kembali, segalanya menjadi asing. Seseorang tak dapat lagi menemukan
    sesuatu yang selama ini dia rindukan. Segalanya telah berubah, berbeda dengan
    apa yang pernah ditemuinya dahulu. Segalanya juga sudah menjadi berbeda, tak seperti
    apa yang ada dalam bayangannya.

    Dalam tradisi sastra Indonesia, sudah banyak karya sastra yang berbicara mengenai persoalan mengenai pulang. Salah satu karya paling mencolok adalah Novel Pulang karya Leila S. Chudori yang menceritakan pengalaman pulang seorang eksil. Berbeda dengan Novel Pulang karya Laila, Agam Wispi, salah seorang penulis eksil Indonesia menulis sendiri pengalaman pulangnya dalam sebuah sajak berjudul “Pulang”. Sajak tersebut ditulis oleh Agam Wispi saat pertama kalinya kembali ke Indonesia. Agam Wispi sendiri sudah meninggalkan Indonesia sejak tahun 1965 tatkala mendapatkan tugas untuk meliput perang di Vietnam. Akan tetapi persoalan politik di Indonesia ketika itu membuatnya tidak dapat kembali. Barulah pada tahun 1996, ia bisa pulang ke Indonesia dan menulis sajak tersebut.

    Pulang

    dimana
    kau pohonku hijau
    di sini aku sudah jadi batu
    hai perantau dari mana kau
    dari mana saja aku mau melekat jadi debu
    di karet, di karet katamu
    wahai chairil apa kau masih disitu
    atau lenyap dipasok batu
    atau senyap sebelum tahun 2000

    ya Banda mengena juga yang kau bilang
    tak seorang berniat pulang
    pulang? kemana harus pulang
    si burung samudera tanpa sarang
    bangga aku teringat Sujoyono berani menuding
    dan bilang untung aku bukan anjing
    ini juga modernisasi globalisasi
    kata-kata jadi kering kebudayaan baru
    dari bawah sampai atas
    tukang peras atau maling

    puisi hanya kaulah lagi tempatku pulang
    puisi hanya kaulah pacarku terbang
    puisi generasi baru yang bijak bestari menerjang
    keras bagai granit cintanya bagai laut menggelombang

    dimana kau pohonku hijau dalam puisimu wahai perantau
    dalam cintamu jauh di pulau

    Pengalaman pulang ditulis dengan begitu apik
    oleh Agam Wispi dalam sajaknya di atas. Meskipun dapat kembali ke Indonesia
    nampak dalam puisi itu Agam Wispi mempertanyakan kepulangannya tersebut.
    Pengalaman menjadi eksil nampaknya menjadikan Agam Wispi sempat pesimis
    mengenai kepulangannya ke Indonesia itu. Dalam sebuah testimoni
    (didokumentasikan oleh yayasan Lontar), Agam Wispi pun sempat beranggapan bahwa
    hubungannya dengan Indonesia nampaknya sudah putus sama sekali. Keterpisahan
    dengan kampung halaman yang sudah sangat lama menjadikan aku lirik dalam puisi
    itu menjadi seorang yang gamang apakah masih menjadi bagian dari kampung
    halaman atau bukan. Perbandingan antara pohon hijau dan batu nampak menandakan
    kampung halaman (dimasa lalu) dengan aku lirik yang sudah membatu, sesuatu yang
    statis. Kehidupan di negeri asing menjadikan aku lirik menjadi pribadi yang
    keras. Tetapi, ketika berhadapan dengan kampung halaman. Muncul harapan agar
    batu yang keras itu berubah menjadi debu, sesuatu yang bebas dan menempel
    dimana saja. Hal ini menunjukkan bahwa aku lirik dalam puisi ini memiliki
    harapan yang besar ketika hendak pulang ke kampung halaman. Akan tetapi, aku
    lirik pun nampak meragukan harapan-harapannya terhadap kampung halaman.

    Hal tersebut terlihat dalam lirik:

          kemana harus pulang
          si burung samudera tanpa sarang

    Bahkan ketika ia sempat kembali ke Indonesia,
    apa yang tergambar dalam puisi tersebut seolah nyata. Agam Wispi merasakan
    kehampaan. Hanya ada sisa-sisa kenangan yang terlukis dalam bait:

    bangga
    aku teringat Sujoyono berani menuding
    dan bilang untung aku bukan anjing

    Kenangan akan masa lalu yang gagah berani
    pupus sudah ketika ia melihat keadaan sosial di sekelilingnya. Dalam puisi itu,
    Agam Wispi nampak pula menyoroti masalah sosial tahun 2000an yang memiliki
    kebudayaan baru bernama Modernisasi dan globalisasi. Kebudayaan dalam sajak di
    atas dikatakan sebagai kering. Kehidupan tak ubahnya penuh tukang peras atau
    maling.

    Pesimisme terhadap kampung halaman nampak
    dalam puisi di atas. Bagi seorang yang mendamba kepulangan untuk mengobati
    segala kerinduan, kampung halaman bagi Agam Wispi nampaknya sudah sirna sama
    sekali. Tidak ada lagi kampung halaman sebagai tempat pulang. Pulang pada
    akhirnya hanya laksana ziarah belaka, sementara tempat yang dikunjungi sudah
    bukan lagi tempat yang sama ketika ditinggalkan. Dalam titik itulah, nampak
    kepenyairan Agam Wispi begitu terlihat. Bagi Agam Wispi kampung halaman menjadi
    hilang. . Pada akhirnya, Agam Wispi pun menemukan dan menentukan kampung
    halaman yang baru yakni tak lain adalah puisi.

    Melalui lirik:

    puisi
    hanya kaulah lagi tempatku pulang
    puisi hanya kaulah pacarku terbang

    puisi generasi baru yang bijak bestari menerjang
    keras bagai granit cintanya bagai laut menggelombang

    Dalam puisi, dalam dunia rekaan dan imajinatif, seorang penyair akhirnya melabuhkan hidupnya, menemukan kembali nuansanya kampung halaman, menemukan harapan, sebuah lanskap penuh kedamaian, sebuah utopia, ruang yang penuh kebebasan.

    Akan tetapi, apakah harapan terhadap dunia
    nyata menjadi pudar sama sekali? Apakah kampung halaman menjadi sesuatu yang
    kosong? Nampaknya tidak selalu demikian. Harapan tentang kampung halaman masih
    terlukis dalam puisi di atas. Dalam testimoninya pun, Agam Wispi nampak
    menemukan secercah harapan terhadap sesuatu yang baru, perubahan, dan
    keberadaan generasi muda yang progresif. Melalui generasi barulah kampung
    halaman yang hilang bisa ditemukan kembali. Dengan kata lain, kampung halaman
    bukan lagi sekadar rumah untuk kembali, tetapi rumah bagi memupuk hari-hari
    indah, masa depan yang sempat hilang dan rumah bagi segala sesuatu yang baru.
    Kampung halaman bagi penyair adalah tanah harapan, sesuatu yang senantiasa ada
    bagi jiwa meskipun itu hanya dalam khayalan.

    Puisi Pulang karya Agam Wispi nampak
    merepresentasikan pulang dan kampung halaman seorang penyair ataupun seorang
    perantau. Sebagai seorang yang meninggalkan kampung halaman, saya pun merasakan
    hal yang sama.

    Pulang menjadi sesuatu yang sentimental dan
    kampung halaman menjadi sebuah lanskap yang selalu ada dalam

    Bayang-bayang menuju pulang. Sesuatu yang berdiri di atas pesimisme dan optimisme. Sesuatu yang mendebarkan sebelum kaki dijejakkan di tanah pusaka. Kalaupun harapan telah sirna sama sekali, kampung halaman akan selalu ada dalam khayalan, dalam imajinasi, dalam kenangan, dan tentu dalam puisi.

  • [Ngibul #91] Catatan di Atas Kereta tentang Seperti Roda Berputar

    author = Bagus Panuntun

    1.

    Ketika menulis Ngibul kali ini, saya tengah duduk di kursi ekonomi 8D kereta api Lodaya Bandung-Jogja.

    Waktu menunjuk 00.35 namun selama satu jam terakhir, saya gelisah karena tak bisa tidur padahal sudah sengaja tak minum kopi. Mungkin karena AC yang kurang dingin atau sandaran kursi yang terlalu tegak. Tak tahu mau berbuat apa, akhirnya saya putuskan untuk menulis catatan tentang buku setipis 78 halaman yang selama 2 jam awal perjalanan tadi saya khatamkan. Buku ini berjudul Seperti Roda Berputar.

    Seperti Roda Berputar adalah catatan yang ditulis esais Rusdi Mathari, ketika ia dirawat di rumah sakit selama setahun karena kanker ganas di tulang punggung dan lehernya.

    Catatan ini mulai ditulis Cak Rusdi pada Desember 2016 ketika ia mulai menyadari ada tumor di tubuhnya. Selama setahun selanjutnya hingga menjelang akhir 2017, Cak Rusdi menulis catatan ini dengan gawai. Tangan kiri memegang gawai, jempol tangan kanan mengetik. Selain itu, ada pula dua bab buku yang ditulis menjelang akhir 2017 ketika ia tak mampu lagi mengetik dan harus meminta orang lain untuk menuliskan apa yang ia ceritakan.

    Oleh sebab merasa tertampar dengan tekad kuat sekaligus produktivitas Cak Rusdi yang masih menulis meski tubuhnya mulai tak berdaya, akhirnya saya memutuskan mencoba menulis Ngibul kali di catatan hape.

    2.

    Dalam catatan pembuka buku ini,  Cak Rusdi menulis “Tidakkah selain kelahiran, salah satu perayaan terbesar manusia adalah kematian?”.

    Bab pembuka ini membuat saya berkaca-kaca ketika membaca paragraf terakhir di mana Cak Rusdi meminta maaf pada orang-orang yg pernah ia sakiti, bahkan untuk kesalahan-kesalahan sederhana seperti tidak membalas whatsapp atau mengangkat telepon. Ia mengaku tak bisa menebus kesalahan-kesalahan yang pernah ia perbuat namun ia tetap membutuhkan maaf itu agar ia bisa tenang merayakan hidupnya untuk mengakrabkan diri dengan sahabat-sahabat baru: tumor-tumor di tubuhnya.

    Saya tak pernah membayangkan seorang selapang dada Cak Rusdi yang bisa menganggap tumor adalah sahabat: sesuatu yang harus ia kenal, dekati, bahkan anggap sebagai bagian dirinya sendiri.

    3.

    Pada bab-bab berikutnya, Cak Rusdi menulis tentang pengalamannya di rumah sakit dengan nada-nada muram. Ia menceritakan betapa repotnya jadi pasien BPJS di negeri ini. Misalnya ketika ia harus ikut antrian mengular sejak subuh namun baru bisa diperiksa bakda Dzuhur. Bedebahnya, ia hanya bertemu dokter muda yang bahkan tidak memeriksanya. Dokter ini cuma membaca hasil periksa Cak Rusdi dari rumah sakit swasta sebelumnya dan langsung memberi rujukan supaya Cak Rusdi pergi ke rumah sakit provinsi.

    Tapi itu belum seberapa dibanding apa yang Cak Rusdi alami di rumah sakit provinsi. Kala itu tulang punggung Cak Rusdi sudah mulai bengkok dan nyerinya makin parah. Namun di sana, Cak Rusdi hanya diperiksa dokter magang untuk kemudian dirujuk ke dokter ortopedi. Biadabnya, ia mendapat kabar bahwa ia baru bisa bertemu dokter ortopedi itu dua bulan kemudian karena jadwal yang padat dan antrian yang panjang.

    Lewat Seperti Roda Berputar, kita tahu bahwa menjadi pasien BPJS di negerti ini ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga, keruntuhan genteng, kaki patah, jidat bocor, dan masih dilindas truk.

    Saya kira pengalaman ini yang membuat Cak Rusdi menulis “Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal”.

    4.

    Buku pertama Cak Rusdi yang saya baca adalah Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya, sebuah kisah sufi Madura. Buku ini sampai sekarang menjadi salah satu buku kesukaan saya. Saking berkesannya, buku ini bahkan jadi buku yang paling sering saya jadikan hadiah untuk teman-teman yang ulang tahun atau wisuda. Di buku ini, ia menghadirkan Cak Dlahom, orang gila yang bisa membuat kita cekakakan sekaligus menyadarkan kita kalau peradaban yang kita tinggali seringkali jauh lebih gila dari orang paling tak waras sekalipun. Jika pernah membaca buku ini, kita tentu tahu bahwa Cak Rusdi punya selera humor sangat tinggi.

    Dalam Seperti Roda Berputar, Cak Rusdi pun tetap bisa menghadirkan kelucuan-kelucuan itu. Dan kelucuan itu ia temukan di tengah suasana yang suram, antah berantah, dan nyaris tanpa harapan. Di rumah sakit tempat ia akhirnya dirawat sampai menjelang meninggal, keadaan Cak Rusdi sudah semakin gawat. Kankernya makin menyebar, sekadar duduk sendiri saja tak bisa, bahkan ia harus dibantu orang lain ketika buang hajat. Tapi keadaan itu tak menyurutkan jiwa guyon-nya.

    Kelucuan itu hadir misalnya saat ia dengan iseng menjawab pertanyaan seorang dokter dengan “Sir, Yes, Sir!!!” untuk meniru gaya dokter-dokter junior yang entah mengapa selalu berkata begitu pada seniornya. Di salah satu tulisannya, ia juga memberi judul “Bye..bye..ICU” untuk ucapan selamat tinggal pada sebuah ruangan yang berhari-hari mempertemukannya dengan bau kematian. Ya, Cak Rusdi memang sempat mengalami pengalaman wingit di ICU ketika ia melihat pasien demi pasien menjemput takdir setiap harinya. Ketika membaca judul “Bye-bye ICU” pada bab ini, saya membayangkan Cak Rusdi sedang mengucapkan kalimat itu dengan nada ngece.”Bye..bye..ICU, dadaaaaah”.

    Ujung waktu barangkali tak jauh lagi. Tapi hidup tak pernah kehabisan bahan untuk ditertawakan, begitu Cak?

    5.

    Ada satu fragmen dalam buku yang menceritakan kemarahan Cak Rusdi pada seorang dokter yang dengan sengak berkata “Elu pingin mati?” pada Cak Rusdi.  Pertanyaan kurang ajar tersebut dilontarkan si dokter ketika Cak Rusdi bertanya mengapa tumornya tak segara diangkat saja.

    Ketika membaca bagian itu, saya merasa jengkel bukan main. Kalau saja saya di situ, saya ingin menggampar kepala dokter itu dengan tabung oksigen.

    Saya mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa dekat dengan Cak Rusdi meskipun kami belum pernah ketemu. Barangkali rasa dekat ini muncul sejak pembacaaan saya pada Aleppo, kumpulan status facebook Cak Rusdi yang dibukukan penerbit EABooks. Dari buku tersebut, saya jadi mengenal kesukaan Cak Rusdi pada musik rock, ketekunannya sebagai wartawan, juga rasa cintanya pada anaknya si Voja. Buku ini membuat saya merasa sudah mengenal Cak Rusdi dalam waktu lama.

    Kemarahan saya pada dokter bajingan tadi barangkali juga tak lepas dari perasaan dekat itu.

    Lalu ketika akhirnya Cak Rusdi menumpahkan emosinya pada si dokter dengan mengatakan “La, lu, la, lu, siapa Anda seenaknya memanggil saya ‘elu?”, saya merasa bangga bukan main. Saya merasa Cak Rusdi seolah mewakili semangat muda saya yang enggan jika harga diri kesenggol dan percaya bahwa orang keparat mesti segera diberi pelajaran.

    Namun apa yang terjadi selanjutnya justru membuat saya merenung dan sadar bahwa saya masih belum banyak belajar darinya.

    3 hari setelah marah-marah, Cak Rusdi menjulurkan tangan terlebih dahulu dan minta maaf pada Si Dokter.  Si dokter bergeming. Tapi Cak Rusdi tidak mendongkol. Ia berujar bahwa kankernya adalah bagian dari takdir yang harus ia terima. Tumor di tubuhnya adalah masalah antara ia dengan dirinya sendiri, bukan dengan orang lain. 

    Dari cerita ini saya belajar bahwa nasib terburuk pun tak seharusnya membuatmu merasa berhak mengumbar murka. Tentu ini pelajaran hidup yang sangat berharga. Meski saya tak yakin bisa menirunya.

    6.

    Sampai Cak Rusdi wafat, buku ini memang tak bisa rampung. Tapi bagaimanapun, buku ini adalah memoar dari seorang yang semangat menulisnya tak pernah padam meski harapan tinggal setipis kabut di musim kemarau.

    Bagi orang yang mengaku punya hobi menulis tapi kini ogah-ogahan dan merasa menulis adalah pekerjaan terberat dibanding menanam padi, mengaduk semen, atau mengubah tahi jadi barang ekonomi, buku ini saya kira sudah jadi motivasi—atau mungkin olok-olok—terhadap hamba yang nista ini.

    Ya setidaknya, jika menjadi seproduktif Cak Rusdi masih terlalu jauh, setidaknya Seperti Roda Berputar sudah membuat saya menulis Ngibul di layar hape untuk pertama kali.

  • [Ngibul #90] Tentang Kucing dan Ikan Asin

    author = Andreas Nova

    “Jancuk!” maki seorang teman ketika aku menemuinya di sebuah kedai kopi. Kupikir ia memakiku karena aku agak terlambat dari waktu yang dijanjikan. Sejauh yang aku tahu, dia adalah orang yang tepat waktu. Hal yang jarang ditemui di negara ini.

    Sorry, agak macet tadi jalannya?” kataku beralasan. Macet memang selalu ampuh menjadi alasan. Toh, kota ini rasanya juga terasa makin lama makin padat. Tak cuma di jalan, namun juga gedung-gedung yang memenuhinya.

    “Apa sih?” tanyanya bingung mendengar permintaan maafku yang basa-basi.

    “Lha dirimu tadi misuh gitu?” tanyaku balik.

    “Oh, ini lho, aku lagi baca berita pemerkosaan di kampus kita.”

    “Bekas kampus?” aku mencoba membenarkan.

    “Ya kalau dibilang bekas kampus kok rasanya kita seperti di DO. Nama almamater itu bukan dibuat tanpa tujuan, Cuk. Bagaimanapun kita pernah belajar dan berproses di sana?”

    “Lha kan kita sudah lulus, nggak salah dong kalau aku bilang bekas kampus?”

    “Iyo sih Cuk, maksudmu betul. Tapi tahu artinya almamater ndak?

    Aku menggelengkan kepala. Ia sudah menduganya. Kemudian ia melanjutkan dengan nada sedikit pongah.

    Dadi ngene Cuk, almamater ki secara harfiah artinya ‘ibu susuan’. Biarpun bukan ibu kandung, kampus kita itu tempat kita ‘menyusu’ ilmu. Kalau sudah menjadi ibu, itu ndak ada istilah bekas ibu. Ibu ya ibu selamanya, baik ibu kandung maupun ibu susuan,” jelasnya.

    Aku mengangguk-angguk supaya ia tak melanjutkan ceramahnya.

    “Lalu tadi misuh kenapa? Berita apa’e kok sampai geregetan gitu?”

    Ia menyorongkan ponselnya dan memperlihatkan liputan kejadian pemerkosaan dari situs web milik UKM jurnalistik di kampus kami. Aku membacanya dengan tekun. Toh tidak akan memakan waktu lama meskipun liputannya cukup panjang.

    Piye menurutmu?”

    Apik, liputane apik kok. Cukup mendalam.”

    Apik matamu!” makinya lagi. Kali ini jelas ditujukan kepadaku.

    “Kok bisa lho kejadian kayak gini terjadi di kampus yang katanya kerakyatan. Katanya terbaik senegeri ini.” sergahnya.

    “Lha sudah kejadian, mau gimana lagi?” balasku.

    Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

    “Yang paling menyebalkan itu selalu keluar omongan ‘namanya kucing dikasih ikan asin ya pasti dimakan lah’ di hampir semua pejabat yang ditanya pendapatnya tentang kasus pemerkosaan. Bukan hanya yang ini saja, Cuk. Semua kasus pemerkosaan seringnya pakai omongan yang sama. Kayak ndak ada analogi lain saja.”

    “Memangnya apa analogi yang tepat? Kucing jantan dan kucing betina?” aku mencoba menggali penjelasan darinya.

    “Yo ora lah, malah kerah”

    “Maksudku gini lho, kenapa selalu analoginya kucing dan ikan asin? Inikan namanya merendahkan laki-laki!” lanjutnya.

    Melihat raut muka bingungku, ia meneruskan.

    “Seolah-olah laki-laki itu menuruti nafsu selangkangannya saja, tanpa melalui mikir macem-macem. Misal gini, kalau kamu berduaan dengan lawan jenis yang kamu kenal atau ndak kenalpun juga boleh lah. Situasinya memungkinkan untuk icikiwir apa ya langsung mau disikat?”

    “Ya nggak tau sih. Mikir-mikir dulu sih.” Aku sendiri bingung jika ada dalam situasi seperti itu.

    “Nah itu, laki-laki itu terkenal bertindak dengan logika. Kok bisa-bisanya kehilangan logika kalau sudah masalah selangkangan!” tegasnya.

    Aku mengangkat bahuku.

    “Lagipula, pemerkosaan itu kan sudah masuk ranah kriminal. Harusnya hubungannya jadi pelaku dan korban. Dengan menganalogikan menjadi kucing dan ikan asin, ini malah kesannya menyalahkan korban dan membela pelaku. Ini sudah sering terjadi dan selalu saja itu yang menjadi analogi. Lagipula ketika sekarang kebetulan pejabatnya perempuan malah sama saja komentarnya. Seolah-olah pemerkosaan itu terjadi karena kemauan korban. Kemauan matamu kui! Semua kejahatan terjadi karena adanya niat dan kesempatan. Kalau kesempatannya ada, niatnya ndak ada, nggak bakal terjadi.”

    “Lha di kasus itu kan ada kesempatannya?”

    “Namanya kesempatan itu nggak bisa sepenuhnya kita kendalikan. Tapi namanya niat itu 100% bisa dikendalikan. Kalau terjadi pemerkosaan itu berarti pelakunya udah niat. Kan nggak mungkin gak sengaja memperkosa. Kalau udah nggak ada niat, biarpun yang perempuan telanjang bulat juga nggak bakal diperkosa.”

    “Lha tapi kan kentang kalau gitu.”

    “Kuwi bedo urusane, Cuk!” sergahnya.

    Ia terdiam sejenak, menyeruput kopi susu yang sudah sedikit mendingin yang tersaji di hadapannya.

    “Ikan asin itu kan barang mati kan?” tanyanya lagi.

    Aku mengangguk.

    “Misal, ikan itu masih hidup apakah dia akan memberi perlawanan ketika ingin dimakan kucing?”

    “Jelas lah. Sepertinya nggak ada mahluk hidup yang tidak memberi perlawanan pada kematian.” jawabku.

    “Makanya itu kan jadi tidak pas to? Nggak mungkin korban nggak memberi perlawanan.”

    “Bagaimana kalau korban diam?” tanyaku balik.

    “Diam bukan berarti mengiyakan. Diam bisa juga berarti rasa takut sudah ditanamkan pelaku sehingga korban tidak bisa berbuat apa-apa.” ketusnya.

    “Kalau korbannya memang mau?”

    “Berarti dia bukan korban dan itu bukan pemerkosaan. Tapi jelas diam bukan berarti mempersilakan lho ya”

    Aku mengangguk-angguk mendengar pendapatnya.

    “Harusnya kita tidak melihat ini cowok, ini cewek. Kita melihat keduanya sebagai manusia. Memang wajar manusia itu khilaf, tapi khilaf tidak berarti tidak bertanggung jawab atas kekhilafannya. Nek pelaku memang benar laki-laki ya harusnya dia bertanggungjawab atas perbuatannya. Apa yang diperbuatnya itu kan pilihannya to? Bukan situasi yang membuatnya harus melakukan seperti itu.” lanjutnya.

    “Tanggung jawab dengan menikahi korban gitu?”

    “Itu ndak menyelesaikan masalah, Cuk. Nikah itu cuma solusi untuk menutupi aib, tapi luka yang ditimbulkan hanya akan semakin menganga. Tanggungjawab ya berarti kalau itu harus diproses secara hukum ya harus segera diproses. Jika korban menghendaki permintaan maaf ya silakan dilakukan. Yang terpenting instansi terkait juga harus mendukung korban dan nggak boleh terkesan menutupi kasus itu hanya karena mengatasnamakan nama baik instansi. Prek wae nek ngono kui. Dengan adanya kasus itu seharusnya itu menjadi titik balik instansi terkait untuk melakukan perbaikan supaya hal serupa tidak terulang”

    Ia memberi jeda sembari menyalakan rokok.

    “Seharusnya kan instansi pendidikan bisa menjadi tempat yang nyaman untuk kegiatan belajar mengajar. Yo, kalau kasus ini membuat tidak nyaman ya harusnya ada perbaikan supaya kembali nyaman.”

    “Tapi apa bisa?” tanyaku balik.

    Yo bisa kalau niat, toh kesempatannya udah ada.”

  • [Ngibul #9] Setelah Tuhan

    author = Olav Iban

    Dalam buku The Girl Who Saved The King of Sweden karya Jonas Jonasson, terkisah seorang figuran bernama Ingmar, seorang rakyat jelata gila tapi lucu yang seluruh masa mudanya dihabiskan untuk mencari cara bersalaman dengan Raja Gustaf V. Sampai suatu hari, ia akhirnya berjumpa Sang Raja yang diidolakannya sedang berjalan sendirian di taman, yang malah memukul kepala Ingmar dengan tongkat karena sudah muak harus bersikap rendah hati di hadapan seluruh rakyatnya selama 80 tahun. 

     

    Ingmar mengalami syok. Bukan cuma karena kepalanya yang memar, tapi hatinya juga terluka. Sejak itu ia beralih haluan menjadi seorang republikan, dan mendedikasikan sisa hidupnya untuk menistakan Sang Raja—beserta seluruh bangsawan di muka bumi—sambil berusaha menggulingkan monarki, baik sebagai fenomenologi maupun ideologi, dan digantikan dengan pemimpin yang dipilih oleh rakyat dengan cara yang sebisa mungkin demokratis.

     

    Dalam satu lamunannya, Ingmar bersungut-sungut mengambinghitamkan Martin Luther karena berpikir bahwa, “Kita harus takut kepada Tuhan.” Menurut jiwa republikan Ingmar, setidaknya ada dua kesalahan dalam pemikiran Luther itu. Pertama, Tuhan tidak dipilih oleh rakyat. Dan, Dia tidak bisa bisa digulingkan. Benar, boleh-boleh saja orang pindah agama kalau mau (atau kalau tidak setuju dengan kebijakan-Nya), tapi percuma, toh semua Tuhan sama saja memiliki dua turunan sifat seperti tadi itu. 

     

    Pendapat Ingmar yang demikian—meski konyol, sepele dan humoris—menjadi dalam dan misterius bila dibawa larut pada perenungan pencarian makna tentang Tuhan. 

     

    Terlepas dari doktrin agama dengan segala wahyu dan hukum-hukumnya, setiap manusia memiliki kesadaran tentang adanya sesuatu di luar dirinya yang sangat mempengaruhi eksistensi roh, jiwa dan raganya. Ada sesuatu yang bukan-dirinya yang mengantarnya masuk ke dunia, mengawasi batinnya selama hidup, dan yang menunggunya di ambang pintu kematian. 

     

    Uniknya, kendati gejala kesadaran ini sifatnya universal terjadi pada semua umat manusia, ia memiliki sifat distingtif (unik dan berbeda) di masing-masing benak orang. Seolah-olah ada keintiman yang diberikan oleh zat ilahiah itu. Sentuhan personal dari Tuhan yang tidak sama di antara manusia satu dengan manusia lain. 

     

    Ada cerita tentang Batara Krishna yang menjelma menjadi gembala sapi. Setiap malam dia mengundang gadis-gadis pemerah susu untuk menari dengannya di padang rumput. Mereka pun datang dan menari. Semakin malam, semakin meriah. Gadis-gadis itu menari, menari, dan terus menari dengan Batara Krishna yang telah membuat dirinya berlipat ganda, sehingga bisa menari dengan setiap gadis. Tapi gadis-gadis itu mulai posesif. Setiap gadis menganggap Krishna hanya untuk dirinya sendiri, sampai kemudian sang batara pun menghilang.

     

    Ketika seseorang (atau sekelompok) mulai posesif kepada Tuhannya, maka pencapaian makna Tuhan akan menjadi sempit terbatas pada kemampuan pemahaman orangnya. Di fase ini biasanya yang terjadi adalah dua kemungkinan. Pertama, ia akan mati-matian membela Tuhannya —yang sebenarnya bukan, melainkan membela pengetahuannya tentang Tuhan. Dan kedua, menjadi kecewa karena ternyata Tuhan hanya seperti itu-itu saja —yang sebenarnya bukan, karena yang ‘hanya seperti itu’ adalah pengetahuannya tentang Tuhan.

     

    Jenis yang pertama cenderung kolot. Keras kepala pada pendiriannya. Untuk mencapai kebenaran/kemenangan absolut, mereka seperti paslon pilkada yang tidak punya program sehingga cenderung menjatuhkan lawan tandingnya. Mereka pun menyalahkan yang liyan, yang berbeda dengannya. Dan ketika yang liyan kalah, otomatis diri merekalah satu-satunya yang menang (dan yang benar). Posesivitas macam ini mengerdilkan makna Tuhan yang mulanya universal dan tak berbatas. Tuhan tidak lagi berdiri agung sendirian, tapi hanya sekadar proyeksi sifat-sifat manusia yang dilebih-lebihkan: maha ini itu. Dan pada titik ini —seperti Batara Krishna— Tuhan pun menghilang bersama makna-makna sejati-Nya.

     

    Sementara kebanyakan orang menjadi posesif dan menginginkan Tuhan yang seperti/sesuai dengan apa yang diinginkannya, Ingmar menjadi jenis yang kedua. Ingmar mengalami cobaan paling rumit di hidup ini: patah hati dikecewakan Tuhan. Maka ia pun berusaha menggulingkan-Nya, yang malah menjadi jalan pintas bagi Tuhan untuk cepat-cepat menghilang.

     

    Kekecewaan dan posesif adalah hal wajar-wajar saja yang dialami manusia. Tidak penting. Justru masalahnya adalah apa yang kemudian muncul untuk menggantikan-Nya.

     

    Jawabannya bisa banyak macam. Yang paling menarik ada pada kegelisahan Piscine Molitor Patel (atau Pi) dalam novel Life of Pi karya Yann Martel. Di umur 14 tahun, Pi memeluk tiga agama sekaligus: Hindu, Katolik, dan Islam. Suatu kali seorang pandita bersama seorang pastor, dan seorang guru TPA mengadu kepada ayah Pi, kata mereka, “Pi tidak bisa menjadi penganut Hindu, Katolik, dan Islam sekaligus. Itu tidak mungkin. Dia harus memilih.” Ayah Pi menanggapi diplomatis, “Menurut saya, apa yang dia lakukan tidaklah salah, tapi saya rasa Anda benar.”

     

    Pi sendiri kebingungan, “Aku tidak mengerti, kenapa aku tidak boleh jadi tiga-tiganya sekaligus? Mamaji punya dua paspor. India dan Perancis. Kenapa aku tidak bisa?”

     

    Keistimewaan pilihan spiritual Pi ini mendapat ujian hebat ketika kapal yang ditumpanginya bersama ayah, ibu dan kakaknya harus karam di Samudra Pasifik. Semua anggota keluarganya mati tenggelam. Dan dia pun terapung-apung di atas sekoci di tengah Samudra Pasifik selama delapan bulan, sendirian —atau setidaknya bersama Richard Parker, seekor harimau Bengal dewasa.

     

    Dalam kesulitan bertahan hidup, Pi melakukan apa yang tabu (atau malah terlarang) bagi ketiga agamanya. Ia membunuh dan memakan daging penyu setelah sekian lama hidup vegetarian sebagai penganut Hindu. Memakai dagingnya sebagai prasad dalam puja. Melaksanakan sholat tanpa memedulikan kiblat dan lupa semua bahasa Arab penuntun sholat. Melakukan misa tanpa pastor dan roti komuni.

     

    Guncangan iman ini muncul dalam diri Pi setelah Tuhan hilang dari hidupnya. Iman yang mengalami krisis akan menuntun kebijaksanaan diri. Tentu sebelumnya ia harus melewati sesi depresi, meratap, menangis, marah, dan benci karena Tuhan meninggalkannya sendirian di tengah Samudra Pasifik tanpa penjelasan. Tapi setelah emosi-emosi itu mereda, kebijaksanaan pun muncul. Para psikolog menyebut fase ini sebagai acceptance—menerima.

     

    Seberapa cepat seseorang menerima bergantung pada seberapa bijaksana ia. Yang jelas, pada hakikatnya semua manusia memiliki gen kebijaksanaan itu dalam darahnya. Manusia punya kompetensi alamiah—bukan dalam artian fundamentalis, tapi materialis filosofis—untuk mencari esensi makna Tuhan.

     

    Spesies manusia modern oleh para ilmuwan disebut Homo sapiens (manusia yang bijaksana) bukanlah tanpa sebab. Nama spesies ini sengaja dibedakan dengan pendahulunya seperti Homo erectus (manusia yang berdiri tegap), homo habilis (manusia yang memiliki keterampilan), atau Homo neanderthalensis (manusia dari Neandertal Jerman). Kata sapiens menjadi ciri manusia modern yang membuatnya berbeda dengan manusia purba, karena terdapat perbedaan tingkat kedewasaan spiritualitas berpikirnya.

     

    Kebijaksanaan (dalam artian yang paling sederhana) yang dimiliki oleh Homo sapiens memungkinkannya menjadi makhluk paling maju dalam spesies Homo, bahkan dalam ordo Primata, kelas Mamalia, maupun kingdom Animalia. Manusia modern ini bisa menjadi penguasa bumi karena telah berhasil melepaskan sifat primitif hewaninya. Dan sebaliknya, ketika tabiat primatanya muncul, manusia kembali menjadi sama seperti hewan. Fabel Animal Farm karya George Orwell dapat menjelaskan ini lebih jauh tanpa perlu digambarkan di sini.

     

    Sayangnya, manusia bukan satu-satunya makhluk superior dengan kekuatan spesial. Bumi hanyalah setitik pasir di pinggir samudra raya alam semesta. Bahkan orang Yunani kuno paling bodoh pun tahu bahwa Zeus harus berperang dulu melawan Titan sebelum menguasai dunia. Maksudnya, selalu ada kekuatan yang lebih besar. Dan kekuatan itu—karena sulit didefinisikan—mudahnya disebut sebagai Tuhan.

     

    Kebijaksanaan yang dimiliki secara alami dalam diri manusia tidak berguna apa-apa bila diramu tidak dengan bumbu langka bernama kerendah-hatian, yang hanya bisa dimiliki jika manusia dekat dengan Tuhannya. Kebijaksanaan tanpa rendah hati adalah kedunguan, seperti menghitung anak ayam sebelum telur-telur menetas.

     

    Mungkin karena begitu besar kasih Tuhan kepada manusia, maka sebelum menghilang, Dia memberi warisan berupa kerendah-hatian. Asyiknya, warisan ini tidak siap saji.

     

    Seperti Pi Patel yang mesti hancur rohani dan jasmaninya teronggok di sekoci kecil yang dengan konstan diterjang badai rasa lapar, kesepian, dan ketidak-tahuan mengapa ia harus mengalami kisah naas itu, Pi dipaksa untuk menerima itu semua. Bahwa ia hanyalah 50 kg daging bercampur lemak, tulang, dan otot-otot. Bahwa akalnya amatlah terbatas. Bahwa cara terbaik untuk bahagia di atas sekocinya adalah dengan melupakan siapa seharusnya dirinya, akan seperti apa seharusnya kapal yang ditumpanginya bila tidak tenggelam, akan sebahagia apa seharusnya Pi dan keluarganya ketika sampai di Kanada. Dan ketika Pi telah belajar membedakan mana yang seharusnya mana yang senyatanya, ia mengetahui betapa ia sangat rendah.

     

    Lalu, sampailah ia ke pulau rendah hati dengan dibawa arus bernama acceptance.

     

    Di pulau itulah semua orang kecewa dan posesif yang pernah ditinggalkan Tuhan akan bertemu kembali dengan Dia. Hanya saja kali ini berbeda. Manusia sudah menjalani proses pendewasaan sifat sapiens-nya setelah kepergian Tuhan.

     

    Palangka Raya, 2017

     

    P.S. Bayangkan jikalau Ingmar yang republikan yang menjalani kisah Pi itu, mungkin Ingmar akan menghabiskan semua cadangan makanan di sekoci pada minggu pertama sambil mengutuki Tuhan atas kesialan yang menimpanya, lalu mati kelaparan —atau mungkin Richard Parker memakannya duluan sebelum ia sendiri sempat lapar.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Olav Iban
    Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.
  • [Ngibul #89] Laba-laba Keturunan Ke-19 yang Mengilhami Puisi dalam AADC

    author = Asef Saeful Anwar

    Sungguh ini pagi yang bangsat bagi Dul Kibul. Ia dibangunkan seekor laba-laba besar hingga gagal ciumannya pada kening seorang gadis yang begitu asu dirindukannya. Kapan lagi bisa bermimpi seperti itu? Tidur saja sudah sulit, apalagi mimpi, apalagi mimpi bertemu gadis pujaan, apalagi mimpi mencium keningnya.

    Dan sekarang, Dul Kibul kembali mengumpat karena laba-laba itu mengaku-ngaku sebagai keturunan ke-19 dari nenek moyangnya; si laba-laba belang penyulam jaring di tembok keraton putih, yang kemudian dilihat dan ditulis oleh seorang sineas—yang kebetulan tengah berdarma wisata—sebagai jaring yang disulam malaikat.

    “Bayangkan,” kata laba-laba itu, “kalau moyangku yang sedang sakit taring tidak memaksakan diri membuat jaring, pasti si sineas tidak akan bisa membuat puisi itu dan tak akan ada film yang membuat kawan-kawanmu terobesi menjadi penyair.”

    “Aku menonton filmnya,” kata Dul Kibul, “dan mengidolai salah satu tokohnya hingga terobsesi menjadi dirinya.”

    “Rangga memang inspiratif.”

    “Aku tidak suka Rangga. Tidak pula ingin jadi penyair.”

    “Lalu kau suka siapa?”

    “Aku lebih suka dengan Memet yang menghibur.”

    “Duh Dewa Arthropoda… kamu bodoh memilih yang bodoh.”

    “Tidak apa-apa. Aku lebih suka menjadi bodoh bila memang yang bodoh sepertiku lebih banyak bermanfaat bagi yang lain.”

    “Bukan ‘bermanfaat’, melainkan ‘dimanfaatkan’.  Tidak ‘bagi’, tapi ‘oleh’. ”

    “Apa laba-laba belajar ilmu bahasa?”

    “Jelaslah… sekarang saja aku menggunakan bahasa primata. Tidak cuma itu, segala pengetahuan yang ada dalam buku-buku juga kami serap, makanya bangsamu menggolongkan kami sebagai hewan berbuku-buku.”

    “Bangsamu mungkin pintar, tapi bagiku yang bodoh memang lebih banyak bermanfaat untuk yang lain daripada mereka yang pintar yang lebih banyak memikirkan keuntungan hanya bagi dirinya sendiri.”

    “Jangan pukul rata begitu. Apa kamu kenal Ugthobam?”

    “Siapa itu?”

    “Kau tak mengenalnya? Padahal itu sudah ada dalam buku sejarah.”

    “Jangan ngaco.”

    “Ah ya aku lupa. Itu hanya ada dalam buku sejarah bangsa kami. Manusia belum mengenalnya. Ugthobam adalah salah satu nenek moyang kami yang pintar, penemu ‘Teknik Cepat Menjebak Banyak Serangga’. Karena kepintarannya, teknik yang ditemukannya seabad lampau itu sampai sekarang masih banyak bermanfaat bagi bangsa kami.”

    “Seperti Edison untuk manusia. Tapi itu cuma satu dibanding seribu jumlahnya, setara jumlah eksperimennya.”

    “Dan kamu lebih memilih termasuk yang 999?”

    “Ya, bila yang 1 memang pintar.”

    “Dan karena memilih jadi bodoh kamu lebih banyak memikirkan keuntungan untuk yang lain daripada untuk dirimu sendiri? Sampai kamarmu jarang kau bersihkan.”

    “Wah, itu beda kasus. Kalau kamar jarang dibersihkan itu malas, bukan bodoh.”

    “Malas adalah sumber kebodohan.”

    “Itukan bagi orang yang ber-malas-malasan, bukan malas betulan, bukan yang bermalas dengan sesungguh-sungguhnya.”

    “Maksudnya?”

    “Aku sengaja malas, sesungguh-sungguhnya, agar kamu dan bangsamu hidup tentram di kamarku. Setidaknya kamu dapat membuat jaring yang besar-besar di sini tanpa aku ganggu.”

    “Makanan di sini gemuk-gemuk. Aku suka itu.”

    “Nah kan malah bermanfaat bagi kamu. Tapi, untuk apa pagi ini kau bangunkan aku?”

    “Kau tidak memperhatkan jaring yang barusan kubuat?”

    “Iya, hasilnya lumayan beraturan…”

    “Kamu tidak sungguh-sungguh memperhatikannya. Lihatlah lebih cermat.”

    Dul Kibul mengucek-ngucek mata, dan tertawa, bahkan terbahak ketika melihat bentuknya hampir menyerupai sesuatu yang baginya belum begitu sempurna.

    “Kamu menertawakan hasil kerjaku?”

    “Sesuatu yang lucu harus dihargai dengan tertawa bukan?”

    “Tapi aku mengerjakannya dengan serius.”

    “Tapi hasilnya memang lucu.”

    “Setidaknya hargailah proses kerjaku.”

    “Tapi kan yang aku lihat hanya hasil kerjamu.”

    “Duh Dewa Arthropoda, selalu rumit ngobroldengan manusia.”

    “Kamu harus berlatih lebih tekun lagi. Aku tahu kamu sedang berusaha membuat jaring berbentuk lambang cinta.”

    Tuh kan kamu yang salah sangka… Bukan itu yang ingin aku buat, tapi…”

    “Yang benar kamu ingin membuat itu?”

    “Sumpah disambar sapu!”

    “Astagalabalaba…”

    “Minta maaflah pada ibumu, kamu telah menertawakan wujud dari mana engkau dilahirkan. Duh Dewa Arthropoda, ampunilah manusia penghuni kamar ini.”

  • [Ngibul #88] Andi dan Wati Akhirnya Berpisah untuk Menjaga Kewarasan Otaknya Masing-Masing

    author = Olav Iban

    Setelah delapan tahun berpacaran,  Andi dan Wati akhirnya berpisah untuk menjaga kewarasan otak masing-masing. Keputusan itu sudah dirancang dalam batin mereka sejak tahun kelima. Tiap kali muntap, erupsinya gagal karena bertepatan dengan Idul Fitri. Pada akhirnya, perpisahan mereka diucap juga oleh dua bibir yang saling mengumpat empat hari sekali selama tiga bulan terakhir.

    Kawan karib Andi dan Wati bersungut-sungut ketika mendengar berita muram ini. Seribu akal ditempuh selalu gagal menyatukan kembali sepasang mantan kekasih ini. Diam-diam mereka yakin bahwa di dalam sanubari Andi dan Wati rasa rugi karena waktu yang tersia-sia lebih besar dari penyesalan. Tak mungkin ada lem yang bisa menempelkan pecahnya cinta selain rasa menyesal. Tapi Andi dan Wati tidak peduli penyesalan. Maka mereka, kawan karibnya, buru-buru menyerah. Memang kalian tak berjodoh, boi.

    Menurut buku diary Wati, sepertiga windu pertama segalanya indah. Ada roti gembung dan kembang gula di tiap penghujung pekan. Terkadang, kalau dilihatnya Andi turun dari motor sambil menjinjing kresek hitam, itu pertanda Sabtu ini ada terang bulan isi kacang susu.

    Bicara tentang bulan, ada satu halaman spesial dalam diary Wati yang empat sisinya dihiasi stiker glitter bintang-bintang warna kuning.

    Ceritanya, waktu itu sedang giliran bulan purnama. Kebetulan, purnama datang bersamaan dengan periode Wati menstruasi. Andi dan Wati, yang sudah kepayahan sesorean berkeliling pasar loak mencari kamus India-Indonesia, memilih melepas lelah di plataran Masjid Muttaqien.

    Batas magrib sudah mau habis, Andi mengambil air wudhu lalu menyelinap ke dalam. Wati, yang selalu terpana melihat rambut basah Andi sehabis wudhu, agak sedih tidak bisa ikut menyelip masuk ke dalam masjid. Tapi tak apa. Malam itu langit luar biasa cerah. Sedang purnama pula. Ditambah semburan angin menepuk-nepuk ranting pohon randu, menggoyang dedaunan yang pasang surut menutup-nutupi temaram purnama membuat cahaya balan memantul kesana-kemari.

    Wati melamun. Lamunan tentang masa depan. Pikirnya, bilamana nanti mereka punya anak, akan dinamainya Nurlela, cahaya bulan. Anak yang cantik. Demikian diakhiri lembar diarynya dengan titik dua tutup kurung.

    Andi punya cara membuat senang hati Wati. Begitu tahu bahwa kekasihnya menaruh bayang-bayang indahnya masa depan mereka di langit berbulan, ia rela dua minggu sekali menculik Wati ke pantai. Satu setengah jam perjalanan dari pintu kamar kos Wati.

    Bukan laut yang mereka kejar, tapi kegelapan. Andi bersilat lidah. Ia merayu begini, “Ramainya kota adalah pelaku utama polusi cahaya. Hanya laut yang tidak punya gedung-gedung dengan semilyar lampu neon pengganggu indahnya rasi bintang. Bayangkan hanya kita berdua dalam gelap memandang langit indah itu, Ti.”

    Akalnya menggiring ide nakal: gelap-gelapan di tepi laut, tidur-tiduran di pasir pantai, tatap-tatapan dengan jutaan bintang, dan kalau beruntung cium-ciuman sambil dideru angin muson timur dari Australia sana. Paling-paling hanya lampu sorot dari menara pengawas pantai yang usil sesekali bakal ke arah mereka. Tapi biasanya pengawas pantai adalah manusia maklum dan jarang cabul.

    Berawal dari lamunan dan mimpi-mimpi itu. Andi dan Wati diancam oleh masa depannya sendiri.

    Sebenarnya penyesalan bukan tak pernah muncul dalam lubuk hati Andi dan Wati. Andi, misalnya. Bila otaknya sedang dirasuki kotoran mesum, ia kerap sangsi berpecah kongsi dengan Wati. Memang pertama-tama Andi jatuh cinta pada kejeniusan Wati yang koleksi bukunya menyerupai persewaan komik, namun ia juga terlena pada anugerah Wati yang lain. Cukup dengan mengibas rambut, perempuan ini bisa membuat macet lalu lintas di kota mana saja. Bila mengingatnya, hampir-hampir Andi berjongkok menyesal di sudut WC. Untung otaknya segera waras, penyesalan model ini bukanlah model cinta yang dianutnya.

    Wati lain lagi. Sebagaimana wanita muda pada umumnya, penyesalan Wati atas patahnya hubungan cinta mereka datang merundungnya bertubi-tubi. Ia lebih sering menangis men-scrolldown percakapan mereka di era bahagia. Semarah-marahnya Wati, tak mau ia menghapus isi pesan di gawainya.

    Andi dan Wati tetap putus. Kawan karibnya sudah lupa niat membuat rujuk.

    Kini, setelah putus sekian lama dengan luka-luka yang dikeringkan waktu, tiap kali Andi dan Wati menatap langit berpurnama, mereka mempunyai perasaan yang sama, perasaan yang sulit ditafsirkan. Perasaan ingin tahu tapi menolak rindu.

    Ini rasa ingin tahu yang sama seperti rasa penasaran waktu menonton korban kecelakaan. Andi dan Wati sama-sama berpikir, “Sedang bersama siapa ia malam minggu ini. Semoga orangnya jelek.”

    ***

    Andi dan Wati adalah kita. Sehari-hari kita yang begitu-begitu saja. Yang dimulai dan diakhiri dengan biasa-biasa saja. Tak ada twist, tak ada klimaks, tak ada plot yang mengagumkan.

    Cerita Andi dan Wati ditulis, dipublis, dan dibaca olehmu. Oleh sekian orang selo yang membuka laman ini. Orang-orang yang termakan clickbite judul yang tidak ada hubungan apa-apa dengan isi tulisannya, lalu dengan enggan meneruskan membacanya.

    Cerita Andi dan Wati niatnya menggiring pembaca kepada Andy Warhol. Sebelum kepada Andy Warhol, pembaca harus menginjakan kaki dulu pada Fountain-nya Marchel Duchamp. Apa itu?

    Fountain adalah sebuah urinoir atau tempat kencing berdiri laki-laki yang dilepas dari konteksnya, dibalik, dicoreti sedikit nama dan tahun, kemudian diniatkan oleh Duchamp untuk dipamerkan pada sebuah eksebisi karya seni di New York tahun 1917. Karya ini ditolak oleh panitia. Batal tampil.

    Setengah abad kemudian, pada tahun 1964, Andy Warhol memamerkan setumpuk kotak kardus pembersih panci merek Brillo dalam sebuah eksebisi seni rupa. Apa yang dipajangnya itu serupa persis dengan yang biasa terpampang sehari-hari di supermarket-supermarket Amerika pada tahun itu. Bedanya, Brillo Boxes-nya Andy Warhol adalah karya seni, sedangkan kardus-kardus (serupa) di supermarket bukanlah karya seni.

    Bagaimana bisa dua benda yang tampak sama, tapi satu disebut sebagai karya seni, sementara yang lain tidak.

    Kata Arthur Danto, filsuf Amerika modern, itu perkara aboutness. Kardus-kardus pembersih panci merek Brillo yang ditata di supermarket tidak bicara tentang apa pun, paling banter tumpukan kardus itu bicara tentang dirinya sendiri—tentang kegunaan membersihkan panci, tapi itupun bukan tumpukan kardus yang berbicara melainkan gambar dan tulisan di kardusnya.  

    Brillo Boxes-nya Andy Warhol—juga Andi dan Wati—lebih papar dari itu. Ia berbicara tentang dunia di mana kita hidup. Tentang konsumerisme kita, tentang kisah cinta kita.

    Tumpukan kardus yang ditata Warhol di eksebisi seni berupaya menggaet penontonnya untuk mengerti bahwa kardus-kardus itu sedang berbicara tentang diri kita sendiri, dan (tentu saja) tentang tanggapan kita atas dunia ini.

    Dan rupanya, representasi yang ditayangkan Warhol (dan Duchamp) masih aktual secara satiris sampai hari ini. Apa yang hari ini dijajar rapi di rak-rak toko buku, apa yang hari ini paling banyak diputar di radio atau ipodmu, apa yang hari ini sedang tren di galeri-galeri seni sebenarnya tidak jauh hanyalah pantulan seperti apa perkembangan ekspresi peradaban kita. Suatu upaya men-tubuh-kan gaya hidup kita, dan melegitimasinya sehingga seolah-olah itu semua kewajaran belaka.

    Seperti Andi dan Wati, kita semua pernah berpisah untuk menjaga kewarasan otak masing-masing. Wajar-wajar saja. Tuti dan Maria juga begitu.

  • [Ngibul #85] Memaknai Relasi Prancis-Afrika Hitam melalui (Pen)Dongeng

    author = Bagus Panuntun

    Abd Al Malik, seorang rapper, penulis, sekaligus sutradara Prancis keturunan Kongo, dalam bukunya Qu’Allah bénisse la France (2007) pernah berujar jika Prancis diibaratkan sebagai sebuah teater, maka orang-orang Afrika adalah figuran di dalamnya. Sebagai figuran, orang-orang Afrika bukan sekadar tak mampu menggerakkan cerita, namun sekaligus berada di kasta terendah dalam “teater kehidupan” Prancis.

    Perandaian tersebut nampaknya ia tandaskan untuk mewakili situasi sosial yang dialami warga keturunan Afrika di Prancis saat ini, terutama keturunan Afrika hitam. Dibanding pendatang lain yang  berasal dari Eropa, Asia, Amerika, atau bahkan Maghreb, orang-orang Afrika hitam adalah kelompok yang paling sering mendapat tekanan dari masyarakat Prancis. Mereka tak bisa lepas dari stereotip negatif seperti kelompok terbelakang, pelaku pencopetan-pemerkosaan, hingga penyebar berbagai paham radikal. Oleh sebab stereotip tersebut, para keturunan Afrika hitam pun hampir selalu dianggap sebagai kelompok penuh mudarat bagi si “tuan rumah”.

    Membincangkan imigran Afrika hitam di Prancis, membuat saya mengingat salah satu film dokumenter yang tahun lalu saya tonton di Festival Film Dokumenter Yogyakarya berjudul Conter Sa Vie (2015). Film berdurasi 30 menit garapan Héloïse Dériaz, mahasiswi Antropologi asal Swiss ini, berkisah tentang Catherine, seorang perempuan asal Afrika Sub-Sahara/Afrika Hitam yang berprofesi sebagai pendongeng dan tinggal di Prancis.

    Film ini bagi saya cukup berkesan karena seperti mengajak kita mempertanyakan kembali anggapan tentang imigran Afrika hitam yang melulu negatif, mala, beban bagi Prancis.

    Dalam film tersebut, Catherine dihadirkan sebagai sosok yang terbiasa diundang ke berbagai sekolah dan institusi untuk menceritakan kisah-kisah khayali dari Afrika kepada bocah-bocah Prancis. Namun, Catherine tak sekadar menganggap dongeng sebagai sumber mata pencaharian. Baginya, dongeng adalah jalan hidup. Ia percaya dongeng adalah hal yang dibutuhkan manusia karena ujarnya “la conte c’est magique, la conte c’est humaniste”. “Dongeng itu magis, dongeng itu humanis”. Berpijak dari keyakinannya tersebut, ia pun berkenan mendongeng untuk siapa saja. Termasuk di sebuah sekolah dasar yang semua muridnya bocah kulit putih.

    Conter Sa Vie seperti menghadirkan Catherine sebagai penanda simbolik yang menunjukkan bahwa Afrika hitam nyatanya masih berfaedah bagi Prancis. Melalui film ini, kita akan melihat Catherine yang  seringkali diundang ke suatu sekolah untuk mendongeng, dan dari dongeng-dongengnya lah diharapkan terbentuk karakter positif bagi generasi baru Prancis.

    Kisah Catherine sebenarnya menarik sekaligus menggelitik jika dikaitkan dengan konteks relasi Prancis-Afrika hitam hari ini. Salah satu wacana yang kerap muncul tentang mengapa Prancis kurang menyukai para imigran  adalah karena imigran mempunyai budaya berbeda yang berbanding terbalik dengan budaya mereka. Budaya Afrika hitam tak pernah bisa lepas dari sesuatu yang dianggap kuno: mitos, dongeng, sihir. Sementara Prancis justru dikenal sebagai negara yang sangat kekeuh dalam meyakini nilai-nilai modernitas. Bagi masyarakat Prancis, narasi ilmiah selalu punya tempat lebih tinggi dibanding narasi mitos. Dalam taraf yang lebih ekstrim, bahkan tak jarang orang Prancis mempercayai diktum modernitas: “percayalah hanya pada yang objektif dan empirik”.

    Akan tetapi melalui film ini, kita tahu bahwa Prancis nyatanya masih membutuhkan dongeng-dongeng untuk mendidik generasi mereka. Dongeng-dongeng Afrika. Yang tak melulu objektif apalagi empirik, namun penuh mitos dan rapalan mantra.

    Mengontruksi Identitas Afrika Hitam

    Bagi sebagian orang, Conter Sa Vie mungkin hanya film biografi tentang Catherine dan kesehariannya sebagai pendongeng. Namun, bagi saya Conter Sa Vie adalah film yang menghadirkan Catherine sebagai subjek yang tengah bersikap terhadap isu identitas. Terutama tentang isu relasi Prancis-Afrika hitam. Sikap tersebut hadir melalui detil-detil film yang mungkin kurang diperhatikan sebagian penonton.

    Dalam Conter Sa Vie, Catherine nampak selalu menggunakan atribut-atribut keafrikaan kemanapun ia pergi. Ia tak hanya nampak begitu percaya diri dengan gaya rambut kinky (keriting-mengembang) khas perempuan Afrika. Ia juga selalu memakai berbagai atribut warna terang mencolok, khususnya merah-kuning-hijau yang tentu berkorelasi dengan identitas Afrika Hitam sebagaimana sering kita lihat di warna bendera Ghana, Togo, Kamerun, Zimbabwe, dsb. Ketika mendongeng, Catherine juga menggunakan kostum mirip dukun Afrika dan tak jarang ia merapalkan mantra-mantra dengan bahasa Afrika.

    Dalam salah satu narasi yang ia bawakan di bagian pembuka film, Catherine bahkan menyebut dirinya sebagai “Perempuan dari Selatan” yang bertemu Héloise, si sutradara asal Swiss, “Perempuan dari Utara”. Narasi ini seakan menjadi cara Catherine menarik batas tegas akan identitasnya sebagai orang selatan (Afrika), bukan orang utara (Eropa).

    Melalui berbagai identitas Afrika yang ia tunjukan dengan gamblang dan berulang-ulang sepanjang film, kita dapat mengira bahwa Catherine sebenarnya adalah subjek yang secara sadar tengah mengkonstruksi identitasnya: Catherine memilih tetap menjadi seorang Afrika meski hidup di tengah masyarakat Prancis. Ia mewakili subjek yang disebut Molefi Kete Asante, seorang akademisi Afro-Amerika, sebagai Afrosentris. Dalam bukunya In my Father’s House (1992) Asente menyebut Afrosentris sebagai subjek yang percaya bahwa sejarah, mitologi, syair, cerita rakyat, dan berbagai kebudayaan Afrika memiliki semangat spiritual dan peradaban yang tinggi.

    Alternatif Tindak Resistensi

    Sampai di sini, saya kira kita dapat memaknai bahwa Conter Sa Vie bukan sekadar film biografis tentang perempuan Afrika yang mencintai dongeng saja. Conter Sa Vie sebenarnya adalah film yang menarasikan kisah seorang imigran yang tetap memilih mempertahankan identitas Afrikanya di tengah kondisi sosial yang begitu paradoksal.

    Bagaimanapun, memilih tetap menjadi Afrika mempunyai satu konsekuensi besar. Semakin seorang imigran nampak sebagai Afrika, semakin ia akan terus terikat dengan rantai stereotip negatif pada dirinya.  Kondisi paradoksal ini lah yang pada akhirnya kerap membuat para imigran melakukan tindak resistensi.

    Apakah Catherine juga melakukan resistensi?

    Ada hubungan yang rumit antara tindak resistensi dengan stereotip negatif terhadap imigran Afrika. Resistensi sebenarnya merupakan wujud pelampiasan para imigran yang selama ini selalu mendapat dampak buruk akibat cara pandang orang kulit putih—yang seringkali menganggap mereka terbelakang dan tukang bikin onar. Dampak buruk tersebut misalnya terjadi dalam proses pencarian kerja. Di Prancis, selembar curriculum vitae dengan pas foto wajah berkulit gelap seringkali akan disingkirkan sebelum track record-nya dibaca. Singkat kata, para imigran selalu menjadi korban dari kekerasan budaya.

    Pada titik seperti inilah, mereka melakukan resistensi supaya keberadaan mereka dapat diakui orang Prancis. Bentuk-bentuk resistensi tersebut bisa kita lihat misalnya dalam novel Qu’Allah benisse la France karya Abd Al Malik. Dalam salah satu sekuen novel tersebut, Abd Al Malik menceritakan gerombolan imigran Afrika di pinggiran kota Strasbourg yang memilih menjadi pencuri dengan menjadikan les blancs (orang kulit putih) sebagai target utama mereka. Di samping itu, mereka juga menjadi penjambret di tempat-tempat wisata, peminum alkohol tingkat dewa, hingga menjadi bandar narkoba, yang semua tindakan itu merupakan pelampiasan mereka terhadap snobisme orang Prancis.

    Sayangnya, berbagai tindak resistensi tersebut justru kerapkali melanggengkan stereotip negatif tentang mereka. Alih-alih mendapat pengakuan dan makin disegani, mereka justru makin ditakuti. Akibatnya, dialog antar budaya seolah menjadi hal yang begitu sulit hadir di Prancis. Di sinilah Catherine seolah memberi sebuah alternatif tentang sebuah tindak resistensi. Resistensi baginya bukanlah membalas kekerasan dengan kekerasan lain. Untuk menunjukkan harkat, dignity-nya, kekerasan budaya tak bisa dilawan dengan kekerasan fisik. Bagi seorang Afrosentris, kekerasan budaya justru harus “dilawan” dengan budaya pula. Seperti ia melawan dengan dongeng: sekeping identitas Afrika hitam yang syarat nilai kemanusiaan.

  • [Ngibul #87] Kisah Bacula dan Kawan-kawannya

    author = Fitriawan Nur Indrianto

    Matahari bersinar terik, membuat daun-daun tampak berwarna coklat layu. Angin yang berhembus terasa sangat kering. Para binatang tampak tergolek tak berdaya. Pepohonan merundukkan batangnya dan semak belukar tampak lesu. Seekor landak dengan sisa tenaganya tengah menggali tanah untuk menutupi tubuhnya dari panas matahari sementara tikus dan ular memilih berteduh di dalam lubang-lubang yang mereka gali.  Siang itu, cuaca begitu panas menyengat. Musim kemarau memang sedang melanda kawasan itu dan terasa begitu panjang. Sumber mata air mulai mengering dan membuat para binatang merasa khawatir.

    Dari arah selatan, terdengar bunyi derap langkah kaki yang suaranya terasa semakin mendekat. Para penghuni hutan lalu terbangun dari kemalasannya dan tampak mulai bersiaga dan bersiap-siap lari karena takut jika ternyata yang datang adalah seorang pemburu, sekawanan singa atau segerombolan serigala. Namun, kekhawatiran mereka sirna setelah yang muncul ternyata adalah tiga ekor kuda yang tak lain adalah kawan mereka. Bacula, seekor badak bercula satu yang merupakan pemimpin binatang di kawasan tersebut bergerak menuju barisan terdepan. Badannya besar dengan perut yang hampir menyentuh tanah. Ia memiliki ekor yang tidak terlalu panjang. Bacula memiliki sebuah cula, semacam tanduk di atas mulutnya yang tajamnya melebihi pisau yang merupakan senjata mematikan yang ia miliki. Usianya mungkin sekitar 30 tahun, menjadikannya binatang tertua di wilayah itu.  Dengan tergopoh-gopoh, Bacula mendatangi tiga ekor kuda yang memang ia perintahkan untuk mencari sumber mata air baru.

    “Berita apa yang kamu bawa wahai kuda?” tanya Bacula kepada mereka.

    “Kami membawa kabar gembira wahai Bacula. Di balik bukit itu ada sumber mata air yang airnya begitu melimpah dan jernih.” jawab salah satu kuda.

    Para binatang pun bersorak-sorai mendengar kabar baik itu, sampai-sampai para gajah melempar-lempar kelinci dan binatang kecil lainnya sebagai tanda gembira.

    “Baiklah, ayo kita lekas bergerak menuju tempat tersebut!” perintah Bacula kepada para binatang.

    Mereka pun bergegas untuk mematuhi perintah Bacula. Para gajah dan banteng kemudian mengangkut sisa perbekalan yang masih tersisa. Beberapa ekor monyet juga tampak menggendong buah-buahan yang mereka miliki. Mereka semua kemudian berbaris rapi dan bersiap-siap berangkat. Di antara rombongan itu ada banyak binatang antara lain kerbau, gajah, onta, kelinci, tikus, ular, rusa, monyet, semut, burung-burung dan masih banyak binatang yang lain. Mereka pun berangkat dengan perasaan gembira.

    Jalan yang mereka lalui terjal dan berliku. Semak-semak belukar tampak menutupi jalanan. Beberapa binatang bahkan sempat terjatuh namun kemudian bisa bangun kembali. Setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam mereka Nampak kelelahan. Bacula pun memerintahkan mereka untuk beristirahat. Tetapi, belum sempat duduk, mereka dikejutkan oleh kehadiran segerombolan serigala. Serigala-serigala itu tampak kelaparan hingga mengeluarkan air liur di mulutnya.

    “Berikan kami seekor rusa atau binatang lain yang bisa kami makan!” perintah salah satu serigala dengan bengis.

    Mendengar hal tersebut, Bacula yang merupakan pemimpin rombongan itu melangkah mendekati gerombolan serigala.

    “Tidak akan kubiarkan kalian memangsa binatang-binatang ini.” Jawab Bacula

    Bacula pun mulai menundukkan kepalanya dan menonjolkan culanya yang begitu tajam. Dengan sekali serangan, salah satu serigala berhasil terkena culanya hingga wajahnya berdarah. Melihat hal tersebut, para serigala lari tunggang langgang termasuk serigala yang terluka.

    Mereka akhirnya istirahat selama satu jam di tempat itu. Setelah lelah mereka hilang, rombongan itu bergegas melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, beberapa hewan kecil seperti semut dan para serangga tampak masih kelelahan. Para kancil dan kelinci pun menawarkan diri untuk menggendong mereka. Mereka melanjutkan perjalanan sambil menyanyikan lagu-lagu semangat.

    Malam pun tiba. Hawa yang semula panas berubah menjadi dingin seketika. Pepohonan yang tadinya meranggas kini semakin merunduk saja bak manusia yang kedinginan. Namun, hanya hawa dingin dan kegelapan malam yang menyelimuti hutan itu. Para binatang sudah sangat lelah. Bacula memerintahkan mereka untuk beristirahat. Mereka pun segera membentuk formasi. Binatang-binatang kecil berada di tengah sementara binatang yang besar mengelilingi mereka sebagai  sebuah formasi pertahanan. Pada malam hari, para binatang buas bisa saja datang dan memangsa mereka. Bacula memerintahkan kepada kucing hutan dan burung hantu untuk berjaga-jaga pada malam itu. Kedua binatang itu adalah hewan nokturnal yang memiliki penglihatan dan pendengaran yang tajam di malam hari. Kedua binatang itu jarang sekali berbicara namun hanya memberi isyarat saja dengan mengangguk. Para binatang pun akhirnya tidur dengan lelapnya.

    Malam semakin dingin, dan langit perlahan tampak mulai cerah. Bulan purnama yang tadinya tertutup awan tampak tengah bulat di langit sana. Semua binatang sudah tidur pulas. Hanya kucing hutan bernama Ricky dan burung hantu bernama Owi yang masih terus berjaga. Seeekor rusa tiba-tiba terbangun karena ingin kencing. Ia pun kemudian berjalan menuju ke semak-semak dengan mata yang masih mengantuk. Saat itu, Ricky mendengar ada suara yang berjalan mendekat menuju wilayah itu. Ia curiga ada bahaya yang akan dating. Ia pun bergerak menuju balik sebuah pohon besar dan bersembunyi di sana.

    Rusa yang terbangun itu sudah selesai membuang hajat. Tetapi, belum sampai ke barisan hewan-hewan yang berkumpul ia tiba-tiba di sergap oleh seekor macan tutul.

    “Augggghhhh” Macan tutul itu mengeluarkan suara yang menakutkan. Sang rusa kaget setengah mati. Tetapi macan tutul itu segera menyergap dan menarik kaki sang rusa. Rusa itu terjatuh dan tak bisa bergerak. Ia pun berteriak “Tolong-tolong”

    Semua hewan terbangun tetapi mereka terlambat. Sang rusa sudah ada dalam genggaman macan tutul. Binatang bergigi dan bercakar tajam itu telah mencengkram tubuh sang rusa. Semua binatang menjadi panik termasuk Bacula. Tetapi mereka kini sudah tak bisa melakukan apa-apa. Alangkah malangnya nasib sang rusa sebab sekarang nasibnya berada di ujung kematian. Sang macan tutul telah menujukkan gigi-giginya yang begitu tajam. Air liur sudah membasahi mulut dan kerongkongannya. Para binatang berteriak histeris melihat hal tersebut. Sang rusa sangat ketakutan dan hanya bisa menangis pasrah. Semua berada dalam titik ketegangan. Macan tutul semakin mendekatkan giginya yang tajam ke leher sang rusa. Dengan sekali gigitan, maka rusa itu akan mati. Bacula memperingatkan macan tutul untuk menghentikan perbuatannya. Tetapi macan tutul yang kelaparan itu tidak peduli. Ia semakin mendekatkan gigi-giginya ke leher sang rusa. Bahkan giginya kini sudah menyentuh kulit rusa yang tidak berdaya itu.

    Keadaan  semakin mencekam. Semua tampak sudah pasrah dengan kenyataan termasuk sang rusa yang sudah tak berdaya itu. Namun ketika sang macan tutul hendak menggigit si rusa tiba-tiba terdengar suara yang mengagetkan macan tutul dan binatang lainnya.

    “Berhenti!” Sebuah suara muncul dari sosok yang tidak tampak.

    “Siapa kau, berani sekali memerintahku?” Tanya macan tutul geram.

    Akan tetapi sosok itu belum juga muncul. Namun perlahan, terlihat sesosok bayangan binatang yang begitu besar mendekati macan tutul.

    “Aku adalah harimau si raja hutan” jawab sosok yang hanya terlihat bayangannya itu.

    Mendengar hal tersebut macan tutul kaget setengah mati hingga ia tak sadar melepaskan cengkramannya pada tubuh sang rusa.

    “kau tidak layak memakan rusa itu karena ia adalah mangsaku” kata sang raja hutan.

    Mendengar hal tersebut, macan tutul menjadi gentar. Ia melihat bayangan harimau yang begitu besar. Macan tutul sadar kalau ia tak akan bisa mengalahkan harimau si raja hutan.

    “Pergilah atau kau yang akan menjadi mangsaku” perintah si raja hutan.

    Macan tutul menjadi takut mendengar gertakan si raja hutan. Ia pun lari meninggalkan rusa dan binatang lainnya. Sang rusa pun selamat dari terkaman macan tutul. Tetapi, keadaan tidak jauh lebih baik. Kini, yang tengah mereka hadapi adalah harimau si raja hutan yang jauh lebih buas daripada macan tutul atau serigala. Para binatang menjadi semakin ketakutan.

    Bayangan si raja hutan semakin mendekati kawanan binatang itu. Sang rusa dengan sisa tenaganya berlari menuju ke arah rombongan. Bacula dan binatang besar yang lain telah bersiap siaga meskipun mereka sadar mereka tak akan bisa mengalahkan si raja hutan. Bayangan pun semakin mendekati mereka.

    ***

    Keadaan semakin mencekam dan jantung para binatang semakin berdetak kencang. Bayangan itu semakin mendekat saja. Tetapi alangkah terkejutnya para binatang itu sebab ternyata yang dating bukanlah si raja hutan melainkan si Ricky yang tidak lain adalah kucing hutan yang diperintahkan Bacula untuk berjaga.

    “Dimana si raja hutan?” Tanya Bacula terheran-heran.

    “Tidak ada raja hutan di sini.” Jawab si Ricky

    “Lalu” Tanya Bacula lagi

    “sebenarnya akulah yang menyamar menjadi raja hutan. Aku memanfaatkan bulan purnama untuk membuat bayanganku menjadi besar agar macan tutul mengira aku adalah harimau. Kalian tahu kan perawakanku seperti harimau tapi kecil. Oleh sebab itu, aku mencari cara agar aku terlihat seperti harimau agar si macan tutul takut. Maka aku tak menampakkan sosok diriku, tetapi menampakkan bayanganku saja.”

    Mendengar hal itu para binatang terheran-heran dan tampak tidak percaya dengan apa yang terjadi. Hanya burung hantu yang tertawa-tawa mendengar penjelasan si Ricky. Namun, mereka semua akhirnya sadar dengan kecerdikan si Ricky. Mereka pun kemudian mendatangi Ricky dan melempar-lemparkannya ke udara sebagai tanda gembira sembari mengucapkan terimakasih karena Ricky telah menyelamatkan mereka.