Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Bagus Panuntun
1.
Ketika menulis Ngibul kali ini, saya tengah duduk di kursi ekonomi 8D kereta api Lodaya Bandung-Jogja.
Waktu menunjuk 00.35 namun selama satu jam terakhir, saya gelisah karena tak bisa tidur padahal sudah sengaja tak minum kopi. Mungkin karena AC yang kurang dingin atau sandaran kursi yang terlalu tegak. Tak tahu mau berbuat apa, akhirnya saya putuskan untuk menulis catatan tentang buku setipis 78 halaman yang selama 2 jam awal perjalanan tadi saya khatamkan. Buku ini berjudul Seperti Roda Berputar.
Seperti Roda Berputar adalah catatan yang ditulis esais Rusdi Mathari, ketika ia dirawat di rumah sakit selama setahun karena kanker ganas di tulang punggung dan lehernya.
Catatan ini mulai ditulis Cak Rusdi pada Desember 2016 ketika ia mulai menyadari ada tumor di tubuhnya. Selama setahun selanjutnya hingga menjelang akhir 2017, Cak Rusdi menulis catatan ini dengan gawai. Tangan kiri memegang gawai, jempol tangan kanan mengetik. Selain itu, ada pula dua bab buku yang ditulis menjelang akhir 2017 ketika ia tak mampu lagi mengetik dan harus meminta orang lain untuk menuliskan apa yang ia ceritakan.
Oleh sebab merasa tertampar dengan tekad kuat sekaligus produktivitas Cak Rusdi yang masih menulis meski tubuhnya mulai tak berdaya, akhirnya saya memutuskan mencoba menulis Ngibul kali di catatan hape.
2.
Dalam catatan pembuka buku ini, Cak Rusdi menulis “Tidakkah selain kelahiran, salah satu perayaan terbesar manusia adalah kematian?”.
Bab pembuka ini membuat saya berkaca-kaca ketika membaca paragraf terakhir di mana Cak Rusdi meminta maaf pada orang-orang yg pernah ia sakiti, bahkan untuk kesalahan-kesalahan sederhana seperti tidak membalas whatsapp atau mengangkat telepon. Ia mengaku tak bisa menebus kesalahan-kesalahan yang pernah ia perbuat namun ia tetap membutuhkan maaf itu agar ia bisa tenang merayakan hidupnya untuk mengakrabkan diri dengan sahabat-sahabat baru: tumor-tumor di tubuhnya.
Saya tak pernah membayangkan seorang selapang dada Cak Rusdi yang bisa menganggap tumor adalah sahabat: sesuatu yang harus ia kenal, dekati, bahkan anggap sebagai bagian dirinya sendiri.
3.
Pada bab-bab berikutnya, Cak Rusdi menulis tentang pengalamannya di rumah sakit dengan nada-nada muram. Ia menceritakan betapa repotnya jadi pasien BPJS di negeri ini. Misalnya ketika ia harus ikut antrian mengular sejak subuh namun baru bisa diperiksa bakda Dzuhur. Bedebahnya, ia hanya bertemu dokter muda yang bahkan tidak memeriksanya. Dokter ini cuma membaca hasil periksa Cak Rusdi dari rumah sakit swasta sebelumnya dan langsung memberi rujukan supaya Cak Rusdi pergi ke rumah sakit provinsi.
Tapi itu belum seberapa dibanding apa yang Cak Rusdi alami di rumah sakit provinsi. Kala itu tulang punggung Cak Rusdi sudah mulai bengkok dan nyerinya makin parah. Namun di sana, Cak Rusdi hanya diperiksa dokter magang untuk kemudian dirujuk ke dokter ortopedi. Biadabnya, ia mendapat kabar bahwa ia baru bisa bertemu dokter ortopedi itu dua bulan kemudian karena jadwal yang padat dan antrian yang panjang.
Lewat Seperti Roda Berputar, kita tahu bahwa menjadi pasien BPJS di negerti ini ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga, keruntuhan genteng, kaki patah, jidat bocor, dan masih dilindas truk.
Saya kira pengalaman ini yang membuat Cak Rusdi menulis “Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal”.
4.
Buku pertama Cak Rusdi yang saya baca adalah Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya, sebuah kisah sufi Madura. Buku ini sampai sekarang menjadi salah satu buku kesukaan saya. Saking berkesannya, buku ini bahkan jadi buku yang paling sering saya jadikan hadiah untuk teman-teman yang ulang tahun atau wisuda. Di buku ini, ia menghadirkan Cak Dlahom, orang gila yang bisa membuat kita cekakakan sekaligus menyadarkan kita kalau peradaban yang kita tinggali seringkali jauh lebih gila dari orang paling tak waras sekalipun. Jika pernah membaca buku ini, kita tentu tahu bahwa Cak Rusdi punya selera humor sangat tinggi.
Dalam Seperti Roda Berputar, Cak Rusdi pun tetap bisa menghadirkan kelucuan-kelucuan itu. Dan kelucuan itu ia temukan di tengah suasana yang suram, antah berantah, dan nyaris tanpa harapan. Di rumah sakit tempat ia akhirnya dirawat sampai menjelang meninggal, keadaan Cak Rusdi sudah semakin gawat. Kankernya makin menyebar, sekadar duduk sendiri saja tak bisa, bahkan ia harus dibantu orang lain ketika buang hajat. Tapi keadaan itu tak menyurutkan jiwa guyon-nya.
Kelucuan itu hadir misalnya saat ia dengan iseng menjawab pertanyaan seorang dokter dengan “Sir, Yes, Sir!!!” untuk meniru gaya dokter-dokter junior yang entah mengapa selalu berkata begitu pada seniornya. Di salah satu tulisannya, ia juga memberi judul “Bye..bye..ICU” untuk ucapan selamat tinggal pada sebuah ruangan yang berhari-hari mempertemukannya dengan bau kematian. Ya, Cak Rusdi memang sempat mengalami pengalaman wingit di ICU ketika ia melihat pasien demi pasien menjemput takdir setiap harinya. Ketika membaca judul “Bye-bye ICU” pada bab ini, saya membayangkan Cak Rusdi sedang mengucapkan kalimat itu dengan nada ngece.”Bye..bye..ICU, dadaaaaah”.
Ujung waktu barangkali tak jauh lagi. Tapi hidup tak pernah kehabisan bahan untuk ditertawakan, begitu Cak?
5.
Ada satu fragmen dalam buku yang menceritakan kemarahan Cak Rusdi pada seorang dokter yang dengan sengak berkata “Elu pingin mati?” pada Cak Rusdi. Pertanyaan kurang ajar tersebut dilontarkan si dokter ketika Cak Rusdi bertanya mengapa tumornya tak segara diangkat saja.
Ketika membaca bagian itu, saya merasa jengkel bukan main. Kalau saja saya di situ, saya ingin menggampar kepala dokter itu dengan tabung oksigen.
Saya mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa dekat dengan Cak Rusdi meskipun kami belum pernah ketemu. Barangkali rasa dekat ini muncul sejak pembacaaan saya pada Aleppo, kumpulan status facebook Cak Rusdi yang dibukukan penerbit EABooks. Dari buku tersebut, saya jadi mengenal kesukaan Cak Rusdi pada musik rock, ketekunannya sebagai wartawan, juga rasa cintanya pada anaknya si Voja. Buku ini membuat saya merasa sudah mengenal Cak Rusdi dalam waktu lama.
Kemarahan saya pada dokter bajingan tadi barangkali juga tak lepas dari perasaan dekat itu.
Lalu ketika akhirnya Cak Rusdi menumpahkan emosinya pada si dokter dengan mengatakan “La, lu, la, lu, siapa Anda seenaknya memanggil saya ‘elu?”, saya merasa bangga bukan main. Saya merasa Cak Rusdi seolah mewakili semangat muda saya yang enggan jika harga diri kesenggol dan percaya bahwa orang keparat mesti segera diberi pelajaran.
Namun apa yang terjadi selanjutnya justru membuat saya merenung dan sadar bahwa saya masih belum banyak belajar darinya.
3 hari setelah marah-marah, Cak Rusdi menjulurkan tangan terlebih dahulu dan minta maaf pada Si Dokter. Si dokter bergeming. Tapi Cak Rusdi tidak mendongkol. Ia berujar bahwa kankernya adalah bagian dari takdir yang harus ia terima. Tumor di tubuhnya adalah masalah antara ia dengan dirinya sendiri, bukan dengan orang lain.
Dari cerita ini saya belajar bahwa nasib terburuk pun tak seharusnya membuatmu merasa berhak mengumbar murka. Tentu ini pelajaran hidup yang sangat berharga. Meski saya tak yakin bisa menirunya.
6.
Sampai Cak Rusdi wafat, buku ini memang tak bisa rampung. Tapi bagaimanapun, buku ini adalah memoar dari seorang yang semangat menulisnya tak pernah padam meski harapan tinggal setipis kabut di musim kemarau.
Bagi orang yang mengaku punya hobi menulis tapi kini ogah-ogahan dan merasa menulis adalah pekerjaan terberat dibanding menanam padi, mengaduk semen, atau mengubah tahi jadi barang ekonomi, buku ini saya kira sudah jadi motivasi—atau mungkin olok-olok—terhadap hamba yang nista ini.
Ya setidaknya, jika menjadi seproduktif Cak Rusdi masih terlalu jauh, setidaknya Seperti Roda Berputar sudah membuat saya menulis Ngibul di layar hape untuk pertama kali.