Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #92] Catatan Menjelang Pulang

author = Fitriawan Nur Indrianto

Hampir setiap orang memiliki kampung halaman,
jika yang dimaksud sebagai kampung halaman adalah tanah kelahiran. Kampung
halaman adalah rumah bagi segala peristiwa dan menjadi tempat tersimpannya
berbagai kenangan bagi seseorang. Kampung halaman juga menyimpan hubungan
interpersonal, antara individu dengan individu lain yang begitu dekat:
keluarga, teman masa kecil, tetangga dan barangkali juga musuh. Begitulah,
setiap orang pastilah memiliki kampung halaman.

Kampung halaman pun menjadi ruang yang selalu
dirindukan, khususnya bagi mereka yang pergi. Banyak orang harus meninggalkan
kampung halaman karena tujuan tertentu sehingga mereka harus terpisah dari
kampung halaman, berbagai peristiwa yang bisa dijalani di sana, orang-orang
terdekat, dan juga kenangan. Jarak dan waktu menjadi ruang penyekat antara
mereka yang pergi dengan kampung halaman. Berbagai istilah kemudian muncul
seperti berhijrah, merantau, urbanisasi, transmigrasi, dan lain-lain.

Sebagai oposisi, muncullah satu istilah yang
kita kenal dengan kata “pulang.” Pulang berarti kembali ke tempat asal, dalam
konteks ini adalah pulang ke kampung halaman. Dalam tradisi di Indonesia
khususnya di Jawa misalnya, ada istilah mudik. Mudik yang berarti pulang ke
kampung halaman dijalani oleh para perantau, khususnya mereka yang sudah pergi
sangat lama. Kesempatan untuk mudik itu biasanya bisa dilakukan ketika hari
libur, khususnya pada saat mendekati hari raya semisal Natal dan tahun baru.
Akan tetapi, istilah mudik lebih dekat dengan orang-orang muslim yang melakukan
mudik menjelang hari raya Idul Fitri. Pulang dalam konteks mudik seringkali
adalah singgah sementara. Dalam pulang model ini, para perantau kembali ke
kampung halaman untuk sejenak berbagi kebahagian dengan orang-orang terdekatnya
sebelum kembali ke tempat perantauan.

Akan tetapi, persoalan kampung halaman bisa
menjadi rumit ketika hal-hal yang selama ini ada dalam diri individu perlahan
hilang dan memudar. Kalaupun seseorang bisa pulang ke kampung halaman, pulang
bisa menjadi sesuatu yang sedemikian asing. Ada hal-hal yang tidak lagi bisa
ditemukan seperti saat dulu sebelum kepergian. Kehilangan demi kehilangan pada
akhirnya datang bermunculan. Desa yang dahulu merupakan kampung yang indah
permai, lengkap dengan pepohonan dan kicau burung kemudian diganti dengan
kehadiran perumahan dan swalayan 24 jam. Teman-teman karib perlahan satu
persatu pergi dari desa, menjajal nasib di kota atau barangkali memang
benar-benar “pergi”. Keramahtamahan dan gotong royong ala penduduk desa
berangsur berubah menjadi sikap individualisme dan kesibukan meraup harta
benda. Dalam kondisi ini, kampung halaman tetap saja ada, namun kondisinya
menjadi sangat jauh berbeda.

Problematika ini mungkin saja dihadapi oleh
orang-orang yang sudah meninggalkan kampung halamannya dalam waktu yang lama.
Ketika kembali, segalanya menjadi asing. Seseorang tak dapat lagi menemukan
sesuatu yang selama ini dia rindukan. Segalanya telah berubah, berbeda dengan
apa yang pernah ditemuinya dahulu. Segalanya juga sudah menjadi berbeda, tak seperti
apa yang ada dalam bayangannya.

Dalam tradisi sastra Indonesia, sudah banyak karya sastra yang berbicara mengenai persoalan mengenai pulang. Salah satu karya paling mencolok adalah Novel Pulang karya Leila S. Chudori yang menceritakan pengalaman pulang seorang eksil. Berbeda dengan Novel Pulang karya Laila, Agam Wispi, salah seorang penulis eksil Indonesia menulis sendiri pengalaman pulangnya dalam sebuah sajak berjudul “Pulang”. Sajak tersebut ditulis oleh Agam Wispi saat pertama kalinya kembali ke Indonesia. Agam Wispi sendiri sudah meninggalkan Indonesia sejak tahun 1965 tatkala mendapatkan tugas untuk meliput perang di Vietnam. Akan tetapi persoalan politik di Indonesia ketika itu membuatnya tidak dapat kembali. Barulah pada tahun 1996, ia bisa pulang ke Indonesia dan menulis sajak tersebut.

Pulang

dimana
kau pohonku hijau
di sini aku sudah jadi batu
hai perantau dari mana kau
dari mana saja aku mau melekat jadi debu
di karet, di karet katamu
wahai chairil apa kau masih disitu
atau lenyap dipasok batu
atau senyap sebelum tahun 2000

ya Banda mengena juga yang kau bilang
tak seorang berniat pulang
pulang? kemana harus pulang
si burung samudera tanpa sarang
bangga aku teringat Sujoyono berani menuding
dan bilang untung aku bukan anjing
ini juga modernisasi globalisasi
kata-kata jadi kering kebudayaan baru
dari bawah sampai atas
tukang peras atau maling

puisi hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi hanya kaulah pacarku terbang
puisi generasi baru yang bijak bestari menerjang
keras bagai granit cintanya bagai laut menggelombang

dimana kau pohonku hijau dalam puisimu wahai perantau
dalam cintamu jauh di pulau

Pengalaman pulang ditulis dengan begitu apik
oleh Agam Wispi dalam sajaknya di atas. Meskipun dapat kembali ke Indonesia
nampak dalam puisi itu Agam Wispi mempertanyakan kepulangannya tersebut.
Pengalaman menjadi eksil nampaknya menjadikan Agam Wispi sempat pesimis
mengenai kepulangannya ke Indonesia itu. Dalam sebuah testimoni
(didokumentasikan oleh yayasan Lontar), Agam Wispi pun sempat beranggapan bahwa
hubungannya dengan Indonesia nampaknya sudah putus sama sekali. Keterpisahan
dengan kampung halaman yang sudah sangat lama menjadikan aku lirik dalam puisi
itu menjadi seorang yang gamang apakah masih menjadi bagian dari kampung
halaman atau bukan. Perbandingan antara pohon hijau dan batu nampak menandakan
kampung halaman (dimasa lalu) dengan aku lirik yang sudah membatu, sesuatu yang
statis. Kehidupan di negeri asing menjadikan aku lirik menjadi pribadi yang
keras. Tetapi, ketika berhadapan dengan kampung halaman. Muncul harapan agar
batu yang keras itu berubah menjadi debu, sesuatu yang bebas dan menempel
dimana saja. Hal ini menunjukkan bahwa aku lirik dalam puisi ini memiliki
harapan yang besar ketika hendak pulang ke kampung halaman. Akan tetapi, aku
lirik pun nampak meragukan harapan-harapannya terhadap kampung halaman.

Hal tersebut terlihat dalam lirik:

      kemana harus pulang
      si burung samudera tanpa sarang

Bahkan ketika ia sempat kembali ke Indonesia,
apa yang tergambar dalam puisi tersebut seolah nyata. Agam Wispi merasakan
kehampaan. Hanya ada sisa-sisa kenangan yang terlukis dalam bait:

bangga
aku teringat Sujoyono berani menuding
dan bilang untung aku bukan anjing

Kenangan akan masa lalu yang gagah berani
pupus sudah ketika ia melihat keadaan sosial di sekelilingnya. Dalam puisi itu,
Agam Wispi nampak pula menyoroti masalah sosial tahun 2000an yang memiliki
kebudayaan baru bernama Modernisasi dan globalisasi. Kebudayaan dalam sajak di
atas dikatakan sebagai kering. Kehidupan tak ubahnya penuh tukang peras atau
maling.

Pesimisme terhadap kampung halaman nampak
dalam puisi di atas. Bagi seorang yang mendamba kepulangan untuk mengobati
segala kerinduan, kampung halaman bagi Agam Wispi nampaknya sudah sirna sama
sekali. Tidak ada lagi kampung halaman sebagai tempat pulang. Pulang pada
akhirnya hanya laksana ziarah belaka, sementara tempat yang dikunjungi sudah
bukan lagi tempat yang sama ketika ditinggalkan. Dalam titik itulah, nampak
kepenyairan Agam Wispi begitu terlihat. Bagi Agam Wispi kampung halaman menjadi
hilang. . Pada akhirnya, Agam Wispi pun menemukan dan menentukan kampung
halaman yang baru yakni tak lain adalah puisi.

Melalui lirik:

puisi
hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi hanya kaulah pacarku terbang

puisi generasi baru yang bijak bestari menerjang
keras bagai granit cintanya bagai laut menggelombang

Dalam puisi, dalam dunia rekaan dan imajinatif, seorang penyair akhirnya melabuhkan hidupnya, menemukan kembali nuansanya kampung halaman, menemukan harapan, sebuah lanskap penuh kedamaian, sebuah utopia, ruang yang penuh kebebasan.

Akan tetapi, apakah harapan terhadap dunia
nyata menjadi pudar sama sekali? Apakah kampung halaman menjadi sesuatu yang
kosong? Nampaknya tidak selalu demikian. Harapan tentang kampung halaman masih
terlukis dalam puisi di atas. Dalam testimoninya pun, Agam Wispi nampak
menemukan secercah harapan terhadap sesuatu yang baru, perubahan, dan
keberadaan generasi muda yang progresif. Melalui generasi barulah kampung
halaman yang hilang bisa ditemukan kembali. Dengan kata lain, kampung halaman
bukan lagi sekadar rumah untuk kembali, tetapi rumah bagi memupuk hari-hari
indah, masa depan yang sempat hilang dan rumah bagi segala sesuatu yang baru.
Kampung halaman bagi penyair adalah tanah harapan, sesuatu yang senantiasa ada
bagi jiwa meskipun itu hanya dalam khayalan.

Puisi Pulang karya Agam Wispi nampak
merepresentasikan pulang dan kampung halaman seorang penyair ataupun seorang
perantau. Sebagai seorang yang meninggalkan kampung halaman, saya pun merasakan
hal yang sama.

Pulang menjadi sesuatu yang sentimental dan
kampung halaman menjadi sebuah lanskap yang selalu ada dalam

Bayang-bayang menuju pulang. Sesuatu yang berdiri di atas pesimisme dan optimisme. Sesuatu yang mendebarkan sebelum kaki dijejakkan di tanah pusaka. Kalaupun harapan telah sirna sama sekali, kampung halaman akan selalu ada dalam khayalan, dalam imajinasi, dalam kenangan, dan tentu dalam puisi.