Category: ngibul

  • [Ngibul #0] Segera Hadir

    author = About Redaksi Kibul
    Bicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.

    View all posts by Redaksi Kibul →

    Kibul.in dibentuk oleh lima manusia yang gagal mewujudkan cita-cita menjadi Power Rangers karena terus-menerus berebut peran ranger merah dan tidak ada yang mau menjadi ranger hitam. Pada akhirnya mereka sadar kalau tidak ada perempuan di antara mereka sehingga mustahil membentuk Power Rangers.

    Oleh karena itu, mereka memutuskan membuat Kibul.in dengan tujuan yang jauh lebih baik—selain membela kebenaran, juga menyebarkan—dan lebih gentle—karena tidak memakai topeng.

    Kibul.in digagas dengan niat mewadahi keresahan pada kehidupan masa kini yang dominan mengutamakan permukaan. Gambar lebih banyak dibuat dan dilihat daripada kata-kata yang ditulis untuk dibaca. Kalaupun ada, kata-kata tersebut hanyalah kilasan perasaan dan pikiran tanpa ada permenungan sebelumnya. Selain itu, kata-kata juga banyak yang mati, hanya hidup sebagai bahan promosi produk yang posisinya menerangkan gambar, bukan hadir sebagai dirinya sendiri.

    Kibul.in diharapkan menjadi ruang bagi permenungan akan kehidupan masa kini melalui kata-kata. Apa saja boleh dituangkan di sini, syukur-syukur kamu bisa melihat sesuatu yang berbeda dari kehidupan ini.

    Jika orang lain memotret buku yang baru mereka beli—dan kita tidak tahu apakah mereka kelak membacanya atau tidak—kamu bisa menceritakan pengalamanmu membaca sebuah buku, itu jauh lebih berharga daripada memotret buku yang semua orang bisa melakukannya dan keindahannya bergantung resolusi kameranya, bukan kecanggihan otak manusianya.

    Jika kawanmu memotret kekasihnya dengan beragam gaya, atau berswafoto berduaan, dan disebarkan ke media sosial, kamu bisa mendeskripsikan kekasihmu dengan lebih baik melalui puisi atau cerpen, dan tidak hanya itu, kamu juga bisa mengungkapkan sejatuh apa hatimu, sebebal apa rindumu, selangit apa harapanmu, bahkan dapat pula kamu narasikan percintaan kalian, yang mungkin lebih syahdu daripada kisah cinta yang pernah ditulis.

    Jika kamu sakit hati melihat kantin kampusmu, kafetaria, atau warung kopi yang pengap oleh debat kusir yang kritiknya menggaruk-garuk langit, lalu kupingmu kumuh oleh orang lain yang baru ikut kuliah Pengantar Filsafat tapi bicaranya dari Habermas sampai Derrida, namun sia-sia dan dilupakan setelah satu-dua gelas es jeruk, kamu bisa lebih progresif dengan meringkasnya lewat esai santai, menyempurnakan diskusi kusir-kusir tadi. Siapa tahu ada yang jatuh cinta padamu lebih karena keabadian pemikiranmu daripada karena foto profil facebookmu.

    Kalau kamu bosan dengan cinta karena dapat mengingatkanmu pada mantanmu atau pada kemesraan kawanmu yang kamu pikir lebih bodoh dari kamu tapi punya pacar kece, tulislah puisi atau cerpen tentang lingkungan yang makin hari makin tak diperhatikan, tentang pemulung yang kehujanan, tentang budaya hedonis kawanmu yang sebenarnya kamu pengen melakukannya tapi nggak punya uang, tentang warung-warung tetangga yang mulai tutup, tentang sawah-sawah yang tak punya pewaris, tentang kondom yang satu rak dengan kembang gula, tentang waktu yang hilang dalam arloji di lengan, tentang laba-laba yang berharap jadi spider-man, tentang anak SMP yang masuk toko obat kuat, tentang rumah yang tak memiliki kalender dan jam dinding, tentang jari yang tak bisa dikendalikan otak, tentang lubang jarum dan benang kusut, tentang….tentang apa pun, tulislah dengan sedalam perasaanmu dengan sedingin pikiranmu.

    Jika kamu telah menuliskannya, Kibul.in akan turut merayakan dengan menerbitkan dan menyebarkannya. Selain itu, kami juga menerima tulisan lainnya yang masih berkitar dalam ranah sastra, seni, dan budaya. Mengapa begitu?

    Sastra, seni, dan budaya seringkali dianggap sebagai sesuatu yang serius, adiluhung, dan bahkan suci. Anggapan itu tidaklah salah sepenuhnya, tapi akan menjadi buruk apabila anggapan tersebut justru menjauhkan manusia dari penghayatan akan ketiganya. Nah, Kibul.in salah satu tujuannya adalah mengajak kamu—terutama anak muda—menghayati sastra, seni, dan budaya dengan mencairkan pendekatan kepada ketiga entitas tersebut secara asyik.

    Demikian sekadar perkenalan dari kami.

     

    Salam Ngibul

    Awak Kibul.in:

    Andreas Nova, Sarjana Sastra yang tersesat di rimba teknologi informasi. Bekerja di sebuah PTPMA di Yogyakarta, sembari menggeluti dunia desain grafis. Pernah aktif di industri konveksi.

    Ari Bagus Panuntun, semasa menjabat Presiden mahasiswa FIB UGM lebih aktif menulis rilis lembaga daripada buah pikirnya. Kini produktif menulis di blog pribadi. Salah satu tulisannya dimuat di buku Antologi Refleksi Film Cintaku di Kampus Biru (2016) dan saat ini sedang menulis buku berjudul Catatan Baraobira.

    Fitriawan Nur Indrianto, menempuh pendidikan di Jurusan Sastra Indonesia dan Program Pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM. Beberapa puisinya dimuat di surat kabar lokal Yogyakarta dan tulisannya yang lain dapat ditemukan dalam Membaca Sinema Indonesia (2010), Belati Tembaga (2013), Pada Sebuah Kamar (2014), Distopia (2014),  Angin Apa Ini Dinginnya Melebihi Rindu (2015) dan Gelombang Puisi Maritim (2016). Beberapa tahun terakhir ikut mengurus Diskusi Sastra PKKH.

    Olav Iban, kerani di Dispora Prov. Kalteng. Membantu mengajar kelas filsafat dan seni untuk STAKN Palangka Raya. Sesekali menulis opini di koran lokal. Fiksi pertamanya berjudul Indulgensia Bunda (Juxtapose 2011).

    Asef Saeful Anwar, aktif menulis cerpen dan esai yang dimuat di sejumlah media massa. Bukunya Lamsijan Memutuskan Menjadi Gila (PSK.UGM 2014) dan Persada Studi Klub dalam Arena Sastra Indonesia (UGM Press 2015). Selain menulis dan menyunting buku, ia aktif mengajar di sejumlah kampus di Yogyakarta.

     
     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     
     

    https://kibul.in/ngibul/segera-hadir/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/01/kamingsun-1024×680.jpeghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/01/kamingsun-150×150.jpegRedaksi KibulNgibulbaca,Budaya,buku,derrida,habermas,kritis,menulis,ngibul,resah,rindu,Sastra,SeniKibul.in dibentuk oleh lima manusia yang gagal mewujudkan cita-cita menjadi Power Rangers karena terus-menerus berebut peran ranger merah dan tidak ada yang mau menjadi ranger hitam. Pada akhirnya mereka sadar kalau tidak ada perempuan di antara mereka sehingga mustahil membentuk Power Rangers.
    Oleh karena itu, mereka memutuskan membuat Kibul.in dengan…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • [Ngibul #56] Puitika Yoga Sastra Ragil Suwarna Pragolapati

    author = Asef Saeful Anwar

    Ada dua penyair yang hilang hingga saat ini, yakni Wiji Thukul dan Ragil Suwarna Pragolapati. Wiji hilang saat masa reformasi, sementara Ragil hilang saat kemerdekaan Indonesia berumur 50 tahun. Wiji diperkirakan menjadi korban penculikan, sementara Ragil dipercaya moksa di laut kidul dalam sebuah laku yoga sastra. Mengingat riwayat dan karya Wiji telah banyak diulas, tulisan ini akan mengulik Ragil, itu pun sebatas pada sumbangan pemikirannya.

    Setakat ini pembicaraan mengenai Ragil Suwarna Pragolapati masih berkitar tentang (1) perannya sebagai dokumentator yang tekun sehingga kisah-kisah orang semasanya tentang kehebatan masa lalu dapat dibuktikan, apalagi bila itu berkaitan dengan Persada Studi Klub—komunitas sastra yang telah melahirkan sejumlah sastrawan, (2) kerja kerasnya bertungkus lumus dalam membina penyair/penulis muda, terutama ketika Umbu Landu Paranggi meninggalkan Yogyakarta, dan (3) peristiwa gaibnya di Pantai Selatan pada 15 Oktober 1990. Tulisan ini akan menguraikan secara singkat mengenai salah satu sumbangan pemikirannya untuk sastra Indonesia, yakni konsep puitika yoga sastra, dari maksud yang hendak disampaikannya hingga mengapa konsep ini seperti tidak diterima dalam arena sastra Indonesia.

    Dalam buku Salam Penyair (Bentang Budaya, 2002) ia menyatakan bahwa sastra Indonesia merupakan “anak durhaka” yang berkiblat pada sastra Barat yang mempertajam spesialisasi, alienasi, aliran, bahkan memisahkan sastrawan dan kritikus. Ia dengan keras dan berulang-ulang mengkritik gagasan sastra yang dibangun alam pikiran Barat. Baginya, itu tidak cocok diterapkan dalam sastra Indonesia yang memiliki sejarah dan kekhasan tersendiri. Ia berusaha menghilangkan pengkotak-kotakkan yang dilakukan ilmu sastra Barat yang dampaknya terlihat dalam sejumlah karya anak bangsa. Karya sastra Indonesia pun menjadi pengekor karya sastra Barat.

    Oleh karena itu, sastra Indonesia, menurutnya, perlu bertaubat dan diruwat. Salah satu metode pertaubatan dan peruwatan tersebut adalah melalui puitika yoga sastra. Puitika ini menggabungkan agama, yoga, dan sastra dalam konsep triloka. Dalam pandangannya puitika yoga sastra tidak kenal spesialisasi, alienasi, pemisahan aliran, dan pemisahan fungsionalisasi diri sehingga teori dan praktik disatukan, ilmu dan seni dimanunggalkan, sastrawan dan kritikus maujud dalam satu diri sekaligus. Baginya, tak ada lagi pembedaan genre sastra sehingga dalam prosa dapat saja mengandung puitika dan lirika. Sebaliknya, dalam puisi dapat saja mengandung prosa.

    Jejak gagasan tersebut dapat ditelusur dalam sejumlah sajak Ragil sebelum dia (meng-)hilang. Sajak-sajak itu tidak terlihat laiknya sajak pada umumnya dari segi diksi, rima, tipografi, enjambement, dan lain sebagainya. Bahkan, beberapa di antaranya terbaca seperti cerita pendek dengan dua sampai tiga halaman. Dengan bentuk yang plastis macam itu, ia menentang formalitas karya, yang mengarah pada bentuk, yang kerap memenjarakan gagasan seorang pengarang.

    Ketika formalitas itu telah “dirusak”, maka sajak-sajak menjadi bebas berkata tentang apa pun tanpa batasan diksi (sehingga muncul kata-kata seperti “mazzz”, “sexualita”, “sinkresi harmoni”, atau “brigade cewek”), tanpa batasan rima (sehingga sajaknya lentur tanpa ada pemaksaan bunyi yang sama), dan tanpa batasan tipografi (sehingga bentuknya mengikuti isi yang hendak disampaikan, bukan sebaliknya). Yoga sastra, dengan demikian, amat memuliakan isi daripada bentuk. Maka, isi dari sajak-sajak Ragil umumnya kritik tentang ketidakadilan sosial. Sajak-sajak tersebut kerap diberi judul nama tempat, dan isinya merupakan sebuah impresi dari perjalanan penulisnya di tempat tersebut. Dalam sajak-sajaknya, Ragil menyebut dirinya sebagai yogawan dalam sudut pandang orang kedua atau ketiga—sebuah usaha penjarakan dengan karya. Sang yogawan melihat lingkungan sekitar lalu menunjukkan permenungan atau aksi terhadap keadaaan lingkungan itu.

    Dari segi gagasan, puitika yoga sastra ini sejatinya mengandung potensi untuk turut mewarnai khazanah sastra Indonesia dekade 1980-an. Namun, gaungnya masih kalah oleh puisi mantra, puisi balada, puisi mbeling, dan puisi lirik yang telah riuh sebelumnya. Ada beberapa sebab mengapa konsep ini tampak kalah dalam bersaing di arena sastra Indonesia. Pertama, konsep puitikanya dibangun dengan semangat penentangan yang tinggi, tetapi lemah dari segi landasan gagasan. Hal ini berkaitan dengan semangatnya untuk menghilangkan formalitas karya sehingga dengan sengaja Ragil tidak merumuskan bentuk bagi karyanya. Sebagaimana diketahui, jenis-jenis puisi yang ditentangnya selalu dibangun dalam rumusan bentuk, dengan ide di baliknya, sementara puitika yoga sastra amat mengagungkan isi.

    Selain itu, dari literatur yang ada, Ragil pun tidak menjelaskan secara sederhana apakah yoga sastra itu medium untuk menulis karya sastra, atau menjadikan karya sastra sebagai medium dalam beryoga, atau kedua-duanya sekaligus. Apabila dilihat dari kredo dan sajak-sajaknya, tampaknya yoga sastra adalah salah satu medium pengarang untuk menulis karya sastra. Sebagai medium, ia tidak harus mewujud dalam tulisan. Sebab, bisa saja seseorang menggunakan yoga sebagai jalan menulis karya sastra, tetapi hasilnya tidak seperti sajak-sajak milik Ragil.

    Kedua, Ragil menulis kredo puitika yoga sastra berikut sajak-sajaknya setelah sempat menjadi pengagum sastrawan-sastrawan sebelumnya, semisal Chairil Anwar, yang justru ia kritik karena melahirkan banyak epigon. Sejatinya, hal ini merupakan bagian dari kesadaran Ragil yang patut diterima sebagai bagian dari “pertaubatannya”. Maka, kita dapat melihat dengan jelas perbedaan sajak-sajaknya yang dimuat di koran Pelopor Yogya, antologi puisi Tugu dan Tonggak dengan sajak-sajak terakhirnya dalam Salam Penyair. Namun, arena sastra Indonesia lebih menerima seseorang yang baru dengan gagasan yang baru meskipun pada akhirnya seseorang itu meninggalkan gagasannya, bukan sebaliknya. Sutardji Calzoum Bachri dapat menjadi contoh bagaimana ia hadir sebagai orang baru dengan gagasan baru dalam sastra Indonesia melalui puisi mantranya yang kemudian hari ia menulis puisi dengan tidak lagi sepenuhnya mematuhi kredonya tentang pembebasan kata dari maknanya.

    Ketiga, jaringan media massa yang ada saat itu tidak menerima dengan baik karya-karya dengan konsep jenis ini. Karya dan kredo puisi Ragil baru sampai kepada publik sastra secara luas setelah diterbitkan Bentang Pustaka jauh tahun setelahnya. Ketika sampai pada publik pun karya ini tidak mendapatkan apresiasi yang cukup baik selain dikenang sebagai peninggalan terakhirnya, selain sebagai dokumentasi karya. Meskipun gagasan yoga sastra telah diintegrasikan dalam Studiklub Yoga Sastra (SYS) yang didirikannya pada 1985, ternyata tidak banyak atau malah belum ada anggota studiklub tersebut yang meneruskan konsep puitika ini dalam berkarya. Para anak didik dan sejumlah nama yang kemudian menjadi penyair berkat kerja kerasnya pun lebih memilih untuk mengenang cara dia dalam membina kepenulisan daripada meneladani konsep puitikanya dan menyebarluaskannya.

    Kembali kepada gagasan dasar yoga sastra yang menentang segala jenis alienasi dan spesifikasi, sejatinya hal itu justru telah diamalkan oleh dua karibnya dalam Persada Studi Klub, yakni Linus Suryadi AG dan Emha Ainun Nadjib. Dengan Pengakuan Pariyem, Linus menerobos bentuk formal novel hingga kemudian muncul sebutan novel lirik atau prosa lirik—ketika saat itu lirik identik dengan puisi. Karya ini juga tidak dapat dikatakan sepenuhnya sastra Indonesia karena bangunannya disusun dalam kaidah sastra Jawa dan banyaknya kata dan struktur kalimat bahasa Jawa. Dalam buku itu, bentuk formal novel dan puisi dibenturkan, kaidah sastra Indonesia dan sastra Jawa dijalinkan. Sementara itu, Emha menentang spesifikasi dan alienasi itu dalam pekerjaan yang kini dijalaninya yang tidak dapat disebut dalam profesi tertentu sehingga banyak predikat dilekatkan oleh masyarakat kepadanya: budayawan, kiai, penyair, esais, dan lain-lain.

    Ragil setia pada konsep puitikanya hingga (meng-)hilang saat melakukan olah yoga sastra di Pantai Selatan. Konon, ketika itu ia duduk di atas batu yang kerap diduduki Panembahan Senopati ketika menghadap Ratu Kidul. Di sana ia seolah tengah memenuhi panggilan yang pernah muncul dalam salah satu sajaknya: “Istirahatlah, Santriku. Aku Parangkusuma lokasi pesantren Yogamu tanpa gedung dan wujud. Bersuakalah padaku….”.

    Adakah kini ia masih bersuaka di sana?***

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #25] Perkara Buang Air

    author = About Asef Saeful Anwar
    Penyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.

    View all posts by Asef Saeful Anwar →

    Eni marah kepada Sepat, ibunya yang sudah berusia lanjut, karena masih saja buang air besar di saluran irigasi desa meskipun di rumahnya telah dibuatkan WC. Sepat biasa buang air besar dini hari di atas jembatan pintu saluran irigasi. Tetangga sudah mafhum—tapi tak kunjung maklum—bahwa bila pagi hari ada tinja yang menempel di tebing dinding pintu saluran irigasi berarti milik Sepat. Beberapa orang menjadi saksi, Sepat-lah satu-satunya orang yang masih buang air besar di saluran irigasi, dan Eni yang menanggung malu karena bisik-bisik tetangga itu.

    Pada saat yang lain, ketika ibunya dirawat di rumah sakit, justru Eni yang kena marah pegawai rumah sakit karena ketahuan jongkok di atas kloset duduk. Barangkali kualat karena sering marah-marah kepada ibunya, ia jatuh saat jongkok hendak BAB. Ia terpeleset dari kloset dan menimbulkan gaduh hingga pegawai rumah sakit menolongnya lalu memarahinya. Ketika ditanya mengapa jongkok di atas kloset, Eni bilang: “Kalau duduk nggak keluar-keluar.” Saat itulah Eni baru sadar jawabannya mirip dengan jawaban ibunya ketika ia marah-marah: “Kalau di rumah nggak keluar-keluar.”

    Buang air besar adalah masalah personal. Masing-masing orang memiliki kebiasaan yang kadang tak bisa diterima oleh nalar orang lain. Termasuk kebiasaan Sepat dan Eni di atas. Tapi itulah yang berlaku sebab buang air besar memang masuk pada kategori aktivitas yang manja-manja-gimanagitu. Bagaimana tidak, hanya untuk mengeluarkan sesuatu yang sudah ditakdirkan keluar pun orang masih butuh prasyarat. Maka, ada orang yang bisa pups kalau sambil merokok, ada yang harus beristinja dengan air karena merasa kurang afdhal menggunakan tisu, ada yang malu pada suara buang angin atau jatuhnya feses sehingga butuh WC yang memiliki kran untuk meredam kegaduhan itu dengan suara air yang mengalir, ada yang harus sambil membaca, ada yang harus sambil bermain ponsel, bahkan ada yang harus sambil ngemil! Dan segala prasyarat lainnya yang mengacu pada kebutuhan akan kenyamanan. Tapi, faktor kenyamanan yang pertama dirasakan adalah tempat, sebelum masuk pada kebiasaan-kebiasaaan manja seperti dicontohkan di atas.

    Data Joint Monitoring Program WHO/UNICEF 2015 mencatat bahwa sebanyak 51 juta penduduk Indonesia masih berperilaku BAB sembarangan. Jumlah ini naik dari penelitian sebelumnya melalui Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2012, yakni sebanyak 39—40 juta orang. Padahal, sebagian dari mereka yang BAB sembarangan itu sudah memiliki WC di rumahnya. Diksi sembarangan dalam data itu sebenarnya bisa dipersoalkan bila melihat tempat “pembuangan” yang dijadikan lokasi adalah tempat terpilih seperti sungai, saluran irigasi, atau tepi pantai. Adapun mengapa mereka memilih tempat-tempat itu dibandingkan WC mengantarkan pada pertanyaan: sejak kapan WC ada di rumah mereka? Pertanyaan itu yang perlu dijawab sebab orang yang dalam masa pertumbuhannya tidak bersinggungan dengan kakus cenderung akan merasa tidak nyaman dikurung dalam ruang yang disebut kamar kecil itu. Seperti halnya orang yang sudah terbiasa berbasuh dengan air tiba-tiba dipaksa menggunakan tisu, secara praktik mungkin tak masalah, tapi secara psikologis itu mengganggu, ada perasaan jorok, merasa masih kurang bersih, takut masih berbau, dan lain sebagainya.

    Selain pertanyaan itu, apabila WHO atau Kemenkes akan mengadakan survei kembali sebaiknya juga mulai mencari variabel lain terkait aktivitas BAB penduduk Indonesia. Misalnya, mencari data perbandingan antara penduduk yang BAB dengan cara duduk dan cara jongkok, antara yang cebok dari depan dan dari belakang, antara yang punya kakus siram dan kakus pencet, antara yang pakai tisu dan pakai air, dan lain sebagainya. Baiklah kalau WHO dan Kemenkes punya cara pandang bahwa BAB yang benar adalah dengan duduk, cebok yang bersih itu dari depan, kakus yang hemat air itu yang pakai pencetan dan ada tisunya, tapi pandangan itu akan mentok pada penyuluhan-penyuluhan tak berkesudahan bila tak mampu memahami pola pikir masyarakat dan menempatkan mereka selalu dalam posisi salah. Dengan data-data sekitar perilaku BAB yang nanti didapatkan akan diketahui cara paling mangkus mengubah perilaku buruk mereka yang sudah terlanjur dalam kebiasaan “sembarangan” sekaligus mengajarkan generasi mendatang tentang adab buang air yang baik dan sehat.

    Yang jelas, jangan terlalu gegabah menyimpulkan bahwa penduduk Indonesia telah banyak menggunakan tisu untuk cebok hanya dari naiknya penjualan tisu toilet dari tahun ke tahun. Percayalah tisu itu lebih banyak untuk mengusap mulut daripada buat mengelap onderdil pembuangan. Sebab kita sama-sama tahu ada begitu banyak tisu toilet yang tersesat di warung makan dan kita senantiasa enggan bin segan menyadarkan dan mengembalikan mereka ke tempat yang benar.

    Lalu bagaimana dengan perilaku buang air kecil sembarangan? Nah, kalau kegiatan ini memang sembarangan karena dilakukan dekat tembok, bawah pohon, roda bus, rel kereta, selokan, dan segala tempat lainnya yang diyakini tidak dihuni jin. Maka untuk ini, tidak perlu saya sertakan data. Cukup lihat lingkungan sekitar Anda, terutama pasar, terminal, dan stasiun, adakah di sana tulisan yang melarang untuk tidak pipis sembarangan? Bila masih didapati, berarti aktivitas itu masih nyata.

    Ketersediaan fasilitas publik berupa toilet umum memang terbatas. Toilet bandara dan stasiun khusus disediakan bagi penumpang, sementara di terminal toilet justru seperti dibisniskan. “Kencing aja bayar” adalah kalimat yang menunjukkan kegagalan negara mengurus masalah buang air kecil. Di sisi lain, masih banyak warga yang ketika buang air kecil tidak tertib, seperti tidak disiram atau mencoret-coret tembok toilet dengan tulisan-tulisan jorok. Bahkan, di sebuah mal di Kota Malang, saya pernah mendapati tulisan untuk tidak pipis di lantai pada pintu sebuah bilik (lihat gambar). Tidak mungkin imbauan itu muncul bila petugas cleaning service di sana tak sering mendapati orang yang mengarahkan air seninya pada lantai, bukan pada lubang kloset. Atau bisa jadi lapisan urine di lantai sangat tebal yang tidak mungkin terjadi bila pipis dilakukan dengan baik dan benar sesuai kaidah pertoiletan.

    Sebab lain selain kurangnya fasilitas toilet umum adalah masih adanya anggapan bahwa buang air kecil sebagai perkara darurat sehingga dilakukan di mana pun dianggap tak jadi masalah. Buang air kecil dianggap lebih sulit ditahan daripada saudara besarnya. Pelaku pipis sembarangan tak akan mempan dengan larangan-larangan melalui tulisan. Mereka juga kebal dengan penyuluhan tentang dampak buruk dari perilakunya. Segala penyakit dengan nama ilmiah yang sulit diingat tak bisa jadi gertakan. Bahkan, ancaman-ancaman siksa kubur juga diabaikan. Sekali lagi, karena mereka menganggap buang air kecil adalah persoalan darurat yang tak bisa diundur sehingga segala hukum menjadi gugur.

    Padahal, kalau mau, pipis bisa diatur. Bila tak percaya perhatikan toilet di bioskop yang ramai sebelum jam pemutaran, juga toilet saat acara wisuda yang diisi oleh para wisudawan yang tidak sekadar ingin mengalami sensasi pipis sambil pakai toga, tapi juga agar tidak ingin pipis saat acara berlangsung. Cara mencegah keadaan “darurat” demikian lebih baik daripada upaya yang banyak dilakukan penumpang pesawat atau kereta api yang memilih menahan pipis sepanjang perjalanan meskipun ada fasilitas toilet di dalamnya, dan ketika tiba di bandara atau stasiun, mereka akan langsung ke toilet hingga menyebabkan antrean.

    Perkara buang air telah lama disinggung oleh nenek moyang kita dalam peribahasa “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Sayangnya, peribahasa itu lebih banyak ditafsirkan—bahkan seperti diseragamkan sehingga saat ada tafsir lain dianggap salah—dari sisi pendidikan tentang pentingnya guru sebagai tauladan. Jika dikaji lebih dalam, peribahasa itu juga menyiratkan betapa pendidikan adab buang air itu juga penting. Ada banyak analogi tentang keteladanan, tapi mengapa justru kencing—sesuatu yang dekat dengan najis—yang dipilih dalam peribahasa itu? Silakan direnungkan. Dan bila Anda adalah seorang lelaki, silakan dicerna apakah peribahasa itu menyindir cara kencing berdiri?

    Itu saja, saya mau cebok dulu.

     

    *foto karya Bambang Priantono, diambil dari sini

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/ngibul/perkara-buang-air/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/07/featasef.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/07/featasef-150×150.jpgAsef Saeful AnwarNgibulAsef Saeful Anwar,Budaya,kibul,ngibul,ToiletEni marah kepada Sepat, ibunya yang sudah berusia lanjut, karena masih saja buang air besar di saluran irigasi desa meskipun di rumahnya telah dibuatkan WC. Sepat biasa buang air besar dini hari di atas jembatan pintu saluran irigasi. Tetangga sudah mafhum—tapi tak kunjung maklum—bahwa bila pagi hari ada tinja…Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • [Ngibul#113] Uban di Jenggot Krisyanto

    author = Andreas Nova

    Selera musik saya sepertinya berhenti di era 90an. Sesekali di tengah kejenuhan bekerja, saya acapkali membuka laman YouTube, biasanya saya hanya memilih beberapa video yang disarankan di beranda. Beranda YouTube saya isinya beragam, ada video Gaming, review gadget, review mobil, sampai cuplikan penampilan kompetisi musik, macam Indonesian Idol atau The Voice. Namun akhir-akhir ini saya sering merasa asing dengan lagu-lagu yang dibawakan. Perasaan ini tidak hanya terjadi saat nonton YouTube saja. Ketika acara karaoke (sebelum pandemi, tentu saja) bersama rekan-rekan sekantor, mereka memilih lagu-lagu dari penyanyi-penyanyi baru seperti Billie Eilish, Tones and I, dan sebagainya. Saya sih tetap dengan pede (dan fals) menyanyikan Foo Fighters, Audioslaves, dan band sejamannya. Paling baru ya Kertonyono Medot Janji-nya Deni Caknan.

    Banyak yang bilang, dekade 90an adalah dekade terbaik untuk para pecinta musik. Kemungkinan besar yang bilang seperti itu, ya segenerasi dengan saya. Saya dibesarkan di sebuah rumah yang ruang tamunya dipasang speaker aktif oleh ayah saya. Sepasang speaker itu dihubungkan dengan tape deck, sebelum beberapa tahun kemudian diganti oleh compo bermerk Sony. Di kamar ayah juga ada sepasang speaker yang diletakkan di atas almari yang dihubungkan ke sebuah walkman (saya lupa merknya, tapi warnanya merah). Kedua perangkat itu bergantian memutar koleksi kaset milik ayah saya. Sejauh yang saya ingat, entah waktu TK atau awal SD saya sudah hafal lagu Bento dari album SWAMI I (1989)  atau lagu Hio dari album SWAMI II (1991) yang sering diputar oleh ayah saya. Sepulang sekolah kalau ayah saya belum pulang, saya sering memanjat rak untuk menjangkau tape deck yang lebih tinggi 30 cm dari jangkauan tangan saya.

    Ayah saya penggemar musik rock. Secara tidak langsung, kuping saya akrab dengan band rock klasik baik yang internasional maupun lokal. Dari Led Zeppelin sampai Gong 2000. Sekitaran kelas empat atau lima SD saya perlahan mulai mencari “jati diri” selera musik saya. Tahun-tahun itu rasa-rasanya menjadi anak band itu keren sekali. Seorang teman yang bapaknya punya satu set alat musik (ternyata bapaknya adalah pimpinan sebuah grup campursari) mengijinkan saya belajar bermain-main dengan alat musik yang ada di rumahnya. Di sela kegiatan bermain-main itu saya menelusuri koleksi CD (ya, compact disk, maklum anak horang kayah) dan menemukan album kompilasi Indie Ten. Itu pertama kali saya mendengarkan Sobat-nya Padi. Saya waktu itu bilang, ini band keren dan bakal terkenal, setidaknya dibanding lainnya (walaupun di kemudian hari Caffeine dan Cokelat yang ada di album itu juga jadi lumayan terkenal).

    SMP saya dan teman-teman membentuk band yang kalau tidak salah ingat kami beri nama Express, kami berlatih di sebuah studio di sekitaran Stasiun Klaten. Formasinya standar, ala Padi atau Sheila on 7 yang lagi ngetop-ngetopnya pada masa itu, dua gitar, satu bas, satu drum, satu vokal. Genrenya? Apa saja asal bisa kami mainkan. Maka kami akrab dengan band-band punk dan grunge yang biasanya akornya cuma itu-itu aja. Atau rock yang mengumbar power chord dimana-mana. Satu band yang jadi anomali waktu itu adalah Jamrud. Musiknya tetap gahar di sana-sini tapi ada sentuhan-sentuhan yang tidak ditemukan di band rock pada umumnya. Yang paling kelihatan ya nyanyi pake megaphone, atau bermain-main dengan narasi di liriknya. Keunikan-keunikan itu membuat Jamrud dapat satu tempat di hati saya.

    Seperti yang diketahui, tahun 2007 Krisyanto sang vokalis sempat keluar dan digantikan oleh entah siapa namanya saya nggak peduli Donal. Tapi karakter vokal Krisyanto yang khas tentu saja membuatnya sulit tergantikan. Beberapa lagu hits Jamrud sempat diaransemen ulang untuk “disesuaikan” dengan vokal Donal. Ya memang terasa lebih segar tapi tidak lebih baik dari aransemen originalnya. Tengok album Ningrat di Spotify misalnya. Lagu Ningrat dan Asal British misalnya jadi aneh dan kurang nge-rock bagi telinga yang terbiasa mendengar versi originalnya. Ini ori tapi berasa cover gitu. 

    Ketika Krisyanto kembali ke Jamrud pada tahun 2011, aransemen musiknya lebih “kekinian” dan entah kenapa rasa asing terhadap aransemen baru itu membuatnya tidak terasa Jamrud lagi. Saya nggak bisa move on dari lagu-lagu di album Putri (1997), Terima Kasih (1998), Ningrat (2000), dan Sidney 090102 (2002). Jamrud masih gahar, meskipun tidak seenerjik dulu.

    Beberapa pekan lalu beranda YouTube saya menampilkan rekomendasi video Jamrud yang tampil di sebuah acara nikahan. Dari penelusuran saya, mempelai pria adalah anak dari Ricky Teddy sang bassis. Jamrud membawakan Ningrat, dengan Krisyanto yang jenggotnya sudah memanjang dan beberapa helai uban terselip di jenggotnya. Idola masa kecil saya sudah menua rupanya. 

    Rasanya belum lama ketika saya merasakan excited mendengar album-album band 90an. Tapi kenyataannya sudah lebih dari 20 tahun dari masa itu. Melihat Piyu dan kawan-kawan sudah menjadi pakdhe-pakdhe di Padi Reborn, uban yang tumbuh di jenggot Krisyanto, keriput Aziz MS, seolah mengingatkan saya pada momen ketika saya mendengar James Owen Sullivan atau lebih dikenal dengan nama The Rev meninggal pada tahun 2009, ketika Avenged Sevenfold lagi tenar-tenarnya jelang album Nightmare (2010) akan dirilis. Beberapa track drum yang dimainkan Mike Portnoy terasa berbeda dari rasa tabuhan The Rev. Juga pada masa-masa ketika mendengar Chris Cornell dan Chester Bennington berpulang pada tahun 2017. Uban di jenggot Krisyanto mengingatkan saya bahwa yang fana adalah musisi, musik abadi.

  • [Ngibul #TahunBaru] Kibul dan Rencana-Rencana 2018

    author = Andreas Nova

    Website yang anda lihat ini diawali oleh rembugan kekancan antara saya dan redaktur lain. Hingga saat ini saya—dan mungkin juga rekan-rekan redaktur lain—tidak menyangka bahwa kami telah berproses dalam Kibul selama hampir setahun. Kalau ditanya modal Kibul darimana, barangkali saya akan menjawab bahwa Kibul lahir dengan modal nekat, pertemanan, dan patungan. Yang terakhir barangkali adalah metode paling primitif yang dilakukan manusia untuk mengumpulkan dana yang cukup besar demi tujuan yang sama. Karena segala sesuatunya dilakukan secara swadaya dan swadana, maka perekat kami hanya komitmen antar redaktur untuk mempertahankan Kibul, mbuh piye carane. Keterbatasan-keterbatasan itulah yang membuat kami belum bisa memberikan apresiasi berupa honorarium kepada kontributor—juga redakturnya. Selama ini,  kami baru bisa mengapresiasi karya para kontributor dengan menyebarkan karyanya agar karyanya dibaca orang sebanyak mungkin. Kami yakin, tujuan utama karya sastra diciptakan adalah untuk dibaca dan diapresiasi, tidak hanya demi honorarium belaka yang belum tentu sepadan dengan nilai karya yang dihasilkan. Puji syukur, hal tersebut ternyata tidak kami yakini sendiri. Terbukti dengan masuknya ratusan karya ke surel redaksi Kibul dalam kurun waktu 10 bulan ini.

    Kibul mungkin bukan situs web pertama yang bertemakan sastra, seni, dan budaya. Kibul tentu saja jauh dari situs web sejenis yang sudah mapan dan memiliki banyak kontributor. Kami hanya situs web yang diawali dengan sederhana, namun memiliki visi memberikan kontribusi pada dunia sastra di Indonesia. Visi yang sebenarnya seringkali terdengar sok-sokan. Siapa sih kami ini? Kami belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh Sastra Indonesia. Barangkali jika perbandingannya terlalu jauh, coba bandingkan dengan nama-nama pegiat sastra di Yogyakarta. Mungkin kalangan sastrawan Yogyakarta hanya akan mengenal Asef dan Indri, atau kalau sering beli buku secara online mungkin nama Bagus lebih dikenal. Olav barangkali dikenal karena sesekali menulis opini di koran lokal, walaupun jarang orang mengingat nama penulis di kolom opini. Saya? Paling yang kenal juga rekan-rekan redaktur sendiri, hehehe.

    Walau terdengar terlalu muluk-muluk, visi yang kami bawa ini sebenarnya masih masuk akal dan terjangkau. Saya pikir memberikan kontribusi kepada dunia sastra tidak melulu urusan para penulis, pembaca sastra, kritikus sastra dan tentu saja karya sastra itu sendiri. Banyak peran-peran lain yang juga bisa memberikan kontribusi terhadap dunia sastra di Indonesia. Kebanyakan dari mereka justru berperan di belakang layar. Penerbit, penerjemah, editor, toko buku, distributor buku misalnya. Tentu kita tidak bisa mengecilkan peran-peran lain seperti percetakan, penata letak, perancang sampul, dan peran-peran lain yang kadang sering kita lupakan.

    Media seperti kami juga bisa memberi kontribusi dalam dunia sastra. Dunia sastra tentu tidak bisa lepas dari seni dan budaya. Maka kami tidak membatasi diri untuk menyebarkan kabar baik mengenai sastra saja, namun juga seni dan budaya. Kami mencoba berkontribusi mengenalkan sastra—juga seni dan budaya—melalui situs web ini. Kami bisa membantu rekan-rekan yang turut berkontribusi di situs web ini untuk lebih dikenal khalayak. Kami bisa membantu memberitakan acara-acara seni, sastra dan budaya. Kami berharap masyarakat bisa mendengar dan membaca kabar-kabar baik tersebut dan mengapresiasinya, sehingga pelaku dunia sastra, seni, dan budaya semakin bergairah untuk berkarya.

    Melalui situs web ini kami berharap supaya masyarakat dan—khususnya—kaum muda bisa dekat dengan sastra, seni, dan budaya yang seringkali dianggap serius, suci, bahkan adiluhung. Sastra, seni, dan budaya bisa didekati dan dihayati dengan asyik dan menyenangkan seperti layaknya mendekati lawan jenis yang diniatkan menjalani hubungan yang lebih serius. Kami membuka diri kepada pembaca sastra pemula maupun yang sudah lama menggemarinya. Kami membuka ruang yang luas—seluas kapasitas hosting yang kami miliki—untuk penulis sastra pemula, maupun penulis sastra ternama. Kadangkala kami tidak segan memberi sedikit masukan atau komentar supaya karya yang didermakan kepada kami bisa menjadi lebih baik, dan lebih readable bagi pembaca pemula, meskipun tidak jarang karya yang telah kami beri masukan dan komentar itu malah dibiarkan mati oleh penulisnya.

    Kami membuka ruang untuk siapapun yang ingin mengenalkan sastra dari bahasa asing kegemaranmu di rubrik terjemahan. Bahkan jika kamu hanya ingin unjuk kemampuan bahasa asingmu dengan mengalihbahasakan tulisan sastra, kami juga siap untuk menerima. Tidak hanya sastra dari bahasa Inggris atau Prancis yang sudah dikenal betul kualitas kesusastraannya, kami juga siap menerima terjemahan dari Azerbaijan hingga Zimbabwe, dari Kongo maupun Papua Nugini. Barangkali terjemahanmu bisa menginspirasi penulis mula sampai kelak menerima nobel sastra.

    Bagi kamu yang gemar nyacati karya sastra maupun karya literasi lain, kamu bisa menulis opinimu di situs web kami. Tentu saja kamu harus bertanggungjawab atas tulisanmu tanpa harus berlindung pada teori ini itu yang seringkali dijadikan tameng atas kelalaianmu berlogika.

    Kami berharap, tahun ini akan lebih banyak kontributor yang mendermakan tulisannya kepada kami. Kami akan merayakan dengan menerbitkan dan menyebarkannya, supaya namamu abadi. Menulis adalah bekerja untuk keabadian, seperti kutipan Pramoedya Ananta Toer, yang seringkali dicetak di pembatas buku yang diberikan cuma-cuma oleh pelapak buku daring.

    Hal-hal yang telah kami lakukan itu memang sederhana, namun saat ini memang baru itu yang bisa kami upayakan. Kami memilih melakukan langkah-langkah kecil yang bisa kami lakukan daripada berencana mengambil  langkah besar namun tidak dilakukan.

    Tentu saja untuk menjalankan visi yang sangat aduhai itu, kami tidak bisa hanya melakukan hal-hal yang saya sebutkan tadi saja. Sebagai redaktur, kami selalu mencoba untuk mengeksplorasi apa saja yang bisa kami lakukan untuk berkontribusi dalam dunia sastra, seni, dan budaya di Indonesia. Banyak rencana yang muncul di benak kami, banyak yang sangat mungkin dilakukan, namun tentu saja kami tidak mungkin melakukannya secara serentak.

    Hal agak besar yang akan kami lakukan tahun 2018 adalah menerbitkan buku Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul 2017. Ada sekitar 28 cerpen dan 28 penulis puisi yang pernah diterbitkan di situs web Kibul yang akan dikurasi oleh redaktur dan tentu saja teman-teman pembaca dapat mengikuti polling cerpen dan penulis puisi favorit yang akan kami publikasikan beberapa hari ke depan melalui media sosial kami. Buku Antologi tersebut direncanakan akan diluncurkan bulan Maret 2018. Selain menandai satu tahun Kibul, tentu saja kami berharap agar buku tersebut bisa menjadi pemantik karya-karya lain dari Kibul.

    Di samping itu, kami juga akan membuka rubrik baru. Yang pertama adalah meluaskan rubrik resensi dan rubrik opini untuk menerima resensi film dan opini film. Rubrik kedua adalah rubrik sastra anak. Dengan hadirnya dua rubrik ini, Kibul mengharapkan bahwa tulisan-tulisan di website ini akan makin luas terjangkau untuk kalangan hits maupun kalangan anak-anak.

    Mohon doa restu dan dukungannya untuk resolusi-resolusi yang telah sedikit kami kabarkan.

    Sebagai penutup Ngibul kali ini, izinkan saya mewakili seluruh redaktur kibul mengucapkan selamat tahun baru 2018, semoga kita semakin banyak #MocoBenPinter.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #99] Dari Ekas ke Pantai Pink

    author = Danu Saputra

    Beberapa hari yang lalu, Sigma, sahabat saya sejak jaman SMP yang sekarang tinggal di Bali, datang ke Lombok. Menurut jadwal, dia akan tiba di Lombok International Airport (LIA) pukul 11 pagi, tapi sampai pukul 11.30 saya yang sudah menunggu di LIA belum bisa menghubunginya. Saya baru mendapat kabar darinya kalau dia baru mendarat pada pukul 12 tepat. Terlambat satu jam dari jadwal.

    Dalam perjalanan menuju penginapan di daerah Ekas, Sigma menceritakan bagaimana penerbangannya dari Bali sungguh mencekam karena kondisi cuaca yang buruk. Pesawat cukup lama berputar-putar di atas LIA karena tidak dapat mendarat, turbulensi terasa begitu keras, apalagi dia menggunakan pesawat Boeing 737 MAX 8, jenis pesawat yang pernah jatuh di Teluk Karawang pada Oktober 2018 lalu. Saya yang pada dasarnya memiliki rasa takut naik pesawat tidak mampu membayangkan betapa menakutkan berada dalam kondisi yang dialami Sigma.

    Pilihan tempat menginap Sigma agak unik. Dia memilih menginap di bagian selatan Pulau Lombok, tempat yang agak susah dijangkau. Satu-satunya cara untuk ke Ekas adalah dengan menyewa kendaraan atau menggunakan kendaraan dari agen travel. Tidak ada transportasi umum.

    Memang, pemandangan saat akan memasuki Ekas sangat indah. Kita dapat melihat hamparan laut dengan beberapa kapal nelayan berlatar belakang perbukitan yang indah. Selain itu, kita juga dapat melihat kebun jagung yang terhampar rapi, mengingatkan saya pada beberapa bagian dalam film Interstellar. Tapi, jalan yang harus kami tempuh sangat buruk. Jalan aspal berlubang di sana sini dan meski tidak panjang ada yang masih berupa tanah berbatu. Hampir tidak ada sumber penerangan di jalan, ketika malam hari saya pulang, saya bersyukur hujan tidak turun karena pasti akan memperburuk jarak pandang saya yang pada dasarnya sudah tidak terlalu bagus.

    “Tempatnya bagus juga ya Dan,” kata Sigma beberapa saat setelah kami tiba di penginapan.

    “Bagus gimana Sig? Tempat kayak gini pasti banyak di Bali”

    “Ya bagus suasananya, pemandangannya indah tapi sepi. Cocok untuk menyepi dan merenung. Di Bali tidak ada tempat sebagus ini yang sesepi ini”

    Saya hanya mengangguk dan tersenyum mendengar jawaban Sigma. Mungkin jawabannya hanya untuk menghibur dirinya sendiri yang sudah kecapaian. Mungkin juga itu jawaban yang jujur, entahlah. Kalau dipikir, memang wajar kalau di Bali tidak ada lagi tempat yang sepi. Pulau Bali memiliki luas wilayah 5.780 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk ber-KTP sekitar empat jutaan jiwa. Penduduk tidak ber-KTP sekitar enam jutaan jiwa. Sedangkan di Lombok, pulau dengan luas wilayah 4.514 kilometer persegi, memiliki jumlah penduduk ber-KTP sekitar tiga jutaan jiwa, dan penduduk tidak ber-KTP tidak sampai satu juta jiwa.

    Esoknya, kami pergi ke Pantai Pink. Pantai yang terkenal karena memiliki pasir berwarna merah muda itu letaknya memang tidak terlalu jauh dari Ekas, hanya sekitar 22 kilometer. Meski begitu, kami membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam untuk dapat sampai di Pantai Pink. Jalan tanah bergelombang dan berbatu membuat kami harus sangat berhati-hati dalam mengendarai kendaraan. Ketika pulang, kami membutuhkan waktu lebih lama, sekitar dua setengah jam karena saat itu turun hujan sehingga jalan tanah berubah menjadi lumpur yang licin. Jalan yang lebih susah dilalui membuat kami lebih berhati-hati, radar kewaspadaan kami meningkat pesat, kecepatan kendaraan kami jauh menurun.

    Untuk mencapai Pantai Pink, kami harus melewati Hutan Sekaroh, sebenarnya Pantai Pink sendiri masih merupakan wilayah Hutan Sekaroh. Dulu, sekitar tahun 1996, paman saya pernah tinggal di dalam Hutan Sekaroh. Saat itu dia bekerja untuk menjaga hutan. Seingat saya, paman tidak lama di sana, dia kemudian pulang ke rumah orang tua saya di Selong, kemudian kembali ke Jawa. Ketika melewati Hutan Sekaroh, saya menduga paman tidak betah tinggal di sana. Sekarang, di tahun 2019 saja, suasana di dalam hutan masih sangat angker, apalagi dulu. Meski begitu, di sana sudah ada satu penginapan yang cukup eksklusif. Jalan menuju penginapan ditutup oleh portal yang dijaga oleh beberapa orang petugas jaga. Hanya tamu penginapan yang dapat melalui ke jalan itu. Dari beberapa info yang saya dapatkan, butuh merogoh kocek berjuta-juta untuk dapat menginap semalam di penginapan tersebut. Wajar kalau kemudian tidak banyak wisatawan lokal yang menginap di sana.

    Sebenarnya ini bukan pertama kalinya saya datang ke Pantai Pink. Beberapa bulan yang lalu, saya pernah datang bersama rombongan fotografer. Kebetulan saat itu Dinas Pariwisata Lombok Timur mengadakan lomba fotografi dalam rangka memajukan pariwisata Lombok Timur. Dalam lomba fotografi itu, para fotografer memotret model dengan berlatar belakang keindahan Pantai Pink. Saat itu sedang musim kemarau, jalanan kering, pohon banyak yang meranggas, rerumputan di bukit di atas pantai kering, tapi Pantai Pink tetap cantik. Saya tidak tahu bagaimana cara kerja Dinas Pariwisata Lombok Timur, tetapi dengan sebegitu terkenalnya Pantai Pink dan tetap dikunjungi oleh wisatawan meski akses jalan sangat buruk, tidak ada transportasi umum yang mudah dijangkau, dan minimnya fasilitas umum, saya pikir Dinas Pariwisata sudah bekerja dengan efektif.

    Untuk masuk ke wilayah Pantai Pink, saya harus membayar sepuluh ribu rupiah per orang. Sebelum membayar, portal tidak akan terbuka. Jalan masuknya tidak terlalu panjang memang, kurang lebih 300 meter, tapi di sisi kanan kiri jalan terdapat banyak tumbuhan semak yang menghalangi pandangan. Di sisi kiri tebing, di sisi kanan jurang, jalan curam yang hanya dapat dilewati satu mobil dan satu sepeda motor beriringan, pesan saya, banyak-banyaklah berdoa saat melalui jalan ini.

    Di pantai pink, saya melihat banyak wisatawan asing yang sedang menikmati suasana. Di warung tempat saya minum air kelapa muda, kalau tidak salah duga, ada banyak wisatawan dari Tiongkok. Beberapa wisatawan lain berasal dari Korea dan Rusia. Dugaan saya muncul setelah saya mendengar bahasa yang mereka gunakan dalam berkomunikasi, mohon maaf jika dugaan saya salah.

    Joss tenan iki. Temen-temenku yang mau ke Lombok bakal tak rekomendasikan ke sini,” tiba-tiba Sigma berkata seperti itu dalam perjalanan kami pulang.

    Lha ngopo?

    “Mereka pasti bakal terkesan dengan perjalanannya. Lost in the island!”

    Saya duga strategi menjebak merupakan pilihan yang dipakai oleh tim marketing Pantai Pink. Umpannya Pantai Pink, jebakannya jalanan yang jelek dengan fasilitas umum yang minim. Sedangkan yang menyebar jebakan adalah mereka yang pernah memakan umpan dan terkena jebakan. Ini hanya dugaan lho, itu juga kalau tim marketing-nya ada, tidak perlu ditanggapi serius, santai aja, kayak di Pantai Pink.

    “Lha kamu, kalau ke Lombok lagi, mau ke Pantai Pink lagi?” tanyaku.

    “Ya jelas, aku ke Gili wae, wes karuan,” kata Sigma sambil tertawa.

    Woo gembus!

  • [Ngibul #98] Paman Sekamana dan Sisi Terang Gelap Rwanda

    author = Bagus Panuntun

    Di penghujung tahun 2018, Bapak Junjungan Umat Kampret Indonesia, Prabowo Subianto, mengeluarkan pernyataan sembrono yang segera saja jadi bola panas terutama di kalangan Umat Cebong. Pernyataan itu kurang lebih berbunyi bahwa tingkat ekonomi negara kita setingkat dengan Haiti dan Rwanda, dua negara di Benua Afrika yang menurutnya tak pernah kita kenal dan ketahui letaknya.

    Segera setelah pernyataan itu meluncur, para cebong pun ramai-ramai menyebut Prabowo idiot dengan alasan: Haiti berbeda dengan Rwanda karena Haiti terletak di kepulauan Karibia, sedang Rwanda di Afrika.

    Lalu waktu lewat begitu saja. Perdebatan
    soal Haiti-Rwanda hilang tak berbekas. Umat Indonesia, baik cebong maupun kampret, beralih ke
    perdebatan yang malah makin ampas, dari tata cara bersuci yang
    benar sampai lafadz Allah di atas jidat.

    Berbicara soal Rwanda, beberapa waktu lalu ketika sedang berada di Srilanka saya
    berkenalan dengan seorang dari negara tersebut bernama Janvier Sekamana. Kebetulan saat itu kami adalah sesama presentator di sebuah forum internasional yang
    membahas model
    pembangunan desa.

    Kami bertemu ketika sedang jamuan makan siang di salah satu restoran di Kolombo. Saat itu di bawah cuaca Srilanka yang terik, ia memakai jas abu-abu gelap. Sebab merasa gerah, ia pun membuka seluruh kancing jasnya dan menampakkan dalaman kaos putih bergambar seorang tokoh yang nampak tak asing bagi saya. Melihat sosok di kaos itu, saya pun menyapanya terlebih dahulu.

    “Vous devez être
    vraiment fier de votre président
    . Je le connais. Paul Kagame, n’est-ce pas?”. Anda pasti sangat bangga
    dengan Presiden anda. Saya tahu siapa foto orang di kaos anda. Paul Kagame, bukan?

    Seperti sudah saya duga, ia terperangah
    mendengar saya mengenal
    sosok tersebut. Lebih-lebih, ketika saya mengatakannya dengan bahasa Prancis.

    Kemudian sebelum sempat membahas tentang sosok di kaosnya, kami pun saling berkenalan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai pendamping desa di salah satu distrik di Kigali, sementara saya bercerita perihal 4 tahun kuliah sastra Prancis.

    “Belajar Bahasa asing  di negeri sendiri membuat saya jarang berinteraksi dengan penutur aslijadi mohon maaf jika bahasa
    prancis saya remuk redam”, ujar saya seraya
    mengharap ia memaklumi kalau sesekali saya membuka kamus daring.

    Berawal dari perkenalan tersebut, selama 3 hari berikutnya kami jadi
    sering terlibat dalam obrolan. Obrolan kami lebih banyak membahas tentang
    negaranya, Rwanda.
    Tapi tak jarang pula
    saya bercerita padanya tentang Indonesia dan mencoba membandingkan beberapa hal
    di antara kami.

    Lewat perbincangan dengan
    Paman Sekamana lah, banyak sekali hal baru yang saya tahu tentang
    negara tersebut. Dan dari situlah, saya menyimpulkan bahwa saya perlu
    menuliskan beberapa perihal dalam obrolan kami tentang Rwanda. Sebab, selain
    penting untuk bahan permenungan, saya yakin bahwa orang-orang yang sama sekali
    tak tahu tentang Rwanda adalah orang yang merugi, kalau bukan udik.

    GELAP

    Ketika berbicara tentang Rwanda, orang akan selalu menyebut untuk pertama kali tentang Genosida 1994. Tragedi yang membantai dan menewaskan lebih dari 800.000 orang ini pun menjadi tema di banyak film tentang Rwanda seperti Hotel Rwanda (2004) atau Sometimes in April (2005).

    Genosida ini berakar dari konflik antar suku, yaitu suku Tutsi yang merupakan minoritas dan suku Hutu yang merupakan mayoritas. Konflik ini bermula ketika Rwanda masih berada di bawah jajahan Belgia. Kala itu Belgia sebagaimana bajingan kolonial lainnya menerapkan politik adu domba—divide et impera—dengan cara mendudukkan orang-orang dari suku Tutsi di jabatan-jabatan penting pemerintahan. Hal ini memicu dengki bagi suku Hutu yang merasa lebih berhak mendapat porsi kekuasaan karena mereka adalah mayoritas.

    Kecemburuan ini menjadi bom waktu ketika akhirnya Rwanda merdeka pada 1962. Suku Hutu yang merasa digencet dan diperkuda di masa lalu merasa berhak membalaskan dendamnya pada suku Tutsi. Maka sepanjang 1962-1994, rasa benci itu penaka eceng gondok di atas air keruh. Perlahan tumbuh, semakin subur, berjebah, dan tak terkontrol.

    Puncaknya terjadi pada tanggal 6 April 1994. Hari itu, Presiden Juvenal Habyarimana—yang mempunyai visi mempersatukan semua suku—tewas setelah pesawat yang ia tumpangi ditembak rudal oleh kelompok pemberontak saat hendak mendarat di Bandara Internasional Kigali.

    Dengan kosongnya kekuasaan itulah, beberapa pihak memanfaatkan situasi. Mereka mengkonfrontasi suku Hutu untuk mulai membalaskan dendamnya dengan membunuh siapapun cockroach—julukan untuk orang Tutsi—yang mereka temui.

    Maka, dalam tempo kurang dari 100 hari, Rwanda menjadi palagan yang lebih mengerikan daripada neraka. Satu per satu orang dibelasah dan disembelih. Rwanda menjadi kubangan darah dengan mayat-mayat Tutsi yang bertumpuk hingga menutupi jalan. Anyir. Dengan kepala buntung, dan organ tubuh pating berceceran.

    Paman Sekamana berusia 23 tahun saat pembantaian itu terjadi. Usianya hampir sama seperti saya sekarang. Ujarnya, ia adalah saksi hidup yang melihat langsung bagaimana leher manusia digorok di tempat yang seharusnya menjadi tempat paling suci: gereja.

    Kala
    itu, gereja adalah tujuan utama bagi orang-orang yang lari bersembunyi.
    Orang-orang barangkali mengira bahwa di dalam rumah Ilah, setan tak bisa
    bernafas sehingga manusia-manusia paling beringas pun tak akan mengokang
    senjatanya. Tapi dugaan itu sepenuhnya keliru. Sebab, di dalam gereja lah
    pembantaian justru paling mangkus. Dengan beberapa berondong peluru, ajal datang
    sekaligus. Begitulah kematian demi kematian terjadi. Di antara dinding kapel
    yang dingin. Di bawah salib yang menjadi merah.

    Setelah
    mendengar kisah tersebut, saya lantas memberondongi Paman Sekamana dengan
    pelbagai pertanyaan.

    “Jadi karena Anda selamat,
    maka Anda seorang Hutu ?”.

    «  Non ».
    Bukan.

    “Tutsi ?!”

    « Non plus ».
    Bukan pula.

    “Jadi, bagaimana Anda masih waras sampai sekarang?”.

    Ia nyengir, mengeluarkan suara tawa
    kecil dan memperlihatkan giginya yang seputih kapur, « Ma mère est
    Tutsi, mon pêre est Hutu.

    Si votre père est Hutu, il pouvait sauver toute votre famille
     »
    Ibuku Tutsi, ayahku Hutu. Jika
    ayahmu seorang Hutu, maka ia bisa menyelamatkan
    seisi keluargamu.

    “Paman, dari film-fim yang saya tonton, saya kira orang
    Tutsi sedikit lebih berkulit terang daripada Hutu yang lebih legam. Jadi, para
    jagal itu membedakan suku dengan menebak warna kulit ya?”

    “Tidak sama sekali. Orang Rwanda
    bahkan tak bisa membedakan mana Hutu
    mana Tutsi. Kami sangat mirip. Nyaris sama. Kala
    itu jika kau seorang Hutu tapi kau
    lupa membawa KTP, sudah pasti nyawamu juga akan melayang”.

    Ia lalu mengambil dompet hitam
    dari sakunya, mengeluarkan selembar kartu identitas
    berwarna biru laut,
    menyerahkannya pada saya, dan meminta saya mengamatinya.

    Kartu
    Tanda Penduduk Rwanda.

    Isi
    kolom: nama, tempat tanggal lahir,
    jenis kelamin, tanda tangan, nomor KTP.

    Saya
    tak tahu apa yang ingin ia tunjukkan pada saya. Sejauh pengamatan, KTP ini tak nampak beda
    dengan KTP Indonesia
    kecuali dalam hal bahasa.

    Alors?” Jadi
    intinya apa?.

    Lalu
    ia menjelaskan, “24 tahun lalu, ada 1
    kolom tentang identitas ras apakah
    kamu seorang Hutu atau Tutsi. Tapi
    kolom jahanam itu kini sudah hilang. Kau tahu siapa yang melenyapkannya? Ia adalah orang yang
    sama dengan orang yang menghentikan genosida Rwanda.”

    Paman Sekamana lalu berdeham, sedikit membusungkan dadanya, sembari dengan raut penuh bangga menunjuk gambar di atas kaos putihnya “Presiden Paul Kagame”.

    KTP Paman Sekamana

    TERANG

    “Today, Rwanda is the
    land of hope, not hatred”.

    Paman
    Sekamana mengatakan hal tersebut sebelum menceritakan satu per satu perubahan
    yang terjadi di Rwanda selama 2 dekade terakhir—sejak Kagame menjadi presiden.

    Ketika menceritakan Paul Kagame, Paman Sekamana bisa sampai berbusa-busa. Ia pertama menjelaskan bahwa berkat Kagame negaranya kini dijuluki “Singapore de l’Afrique”. Singapura-nya Afrika.

    “Seperti
    Singapore, negara kami kecil dan sumber alam kami pas-pasan. Lebih buruknya,
    kami bahkan tak punya laut”.

    Tapi
    Paul Kagame menciptakan gelombang perubahan besar terutama di bidang ekonomi.
    Ia mulai membangun sekolah, rumah sakit, bandara, dan jalan raya yang
    menghubungkan distrik dengan distrik. Ia membuka lahan jagung seluas-luasnya
    dan membangun pabrik jagung pertama. Ia juga mencanangkan program “1 Sapi, 1
    Keluarga” yang membuat Rwanda kini jadi negara pengekspor ternak tersebut.
    Singkatnya, ia begitu cerdas dan kreatif dalam memaksimalkan sumber daya yang
    terbatas. GDP Rwanda yang jatuh dari angka 1,6 Milyar menjadi 450 Juta Euro
    pada 1994, kini kembali mencapai angka 4,4 M Euro. Tingkat perkembangan ekonomi
    Rwanda setiap tahunnya mencapai angka 7 hingga 8 persen.

    Kreativitas
    Kagame juga tak berhenti pada program peningkatan ekonomi saja. Ia menjadikan
    negaranya sebagaimana negeri yang diimpikan kaum feminis: Rwanda menjadi negara
    dengan persentase tertinggi di dunia untuk anggota perempuan di parlemennya
    (68%). Dalam hal kesetaraan gender di bidang politik, Rwanda bisa mengungguli
    negara macam Denmark, Swedia, atau Canada.

    Salah
    satu perubahan besar di Rwanda yang paling kerap dibicarakan dunia saat ini
    adalah kebijakannya di bidang lingkungan. Beberapa terobosan dilakukan
    pemerintah Kagame misalnya dengan melarang penggunaan tas plastik sejak 2008.
    Sebagai solusi atas pelarangan ini, pemerintah Rwanda membuka keran investasi
    bagi pengusaha kreatif yang mau menjadi produsen tas dari kain, kertas, atau
    daun pisang. Selain itu, Rwanda juga menggalakkan program penghijauan dengan
    misi menutupi 30 persen daratannya dengan hutan hijau. Hutan hijau ini kemudian
    disulap menjadi cagar alam atau taman nasional. Berkat usahanya membuka taman
    nasional Nyungwe, Gishwati, Mukura, dan Rugezi, Rwanda mendapat penghargaan Green Globe Award pada 2010.

    Saya
    kira sangat jarang sebuah negara berkembang peduli amat dengan isu lingkungan.
    Tapi Rwanda membuktikan bahwa dengan komitmen penuh di bidang lingkungan,
    Rwanda bisa menciptakan perubahan besar. Salah satu perubahan besar itu bisa
    dilihat dari Kigali, Ibu kota Rwanda, yang kini dijuluki sebagai kota paling
    bersih di Afrika.

    Seandainya
    kau punya sedikit waktu, cobalah meluncur ke youtube dan ketikkan kata kunci
    “Kigali”. Niscaya, kata kunci itu secara otomatis akan diikuti beragam
    embel-embel macam “the cleanest” atau
    “the safest” city in Africa. Selanjutnya,
    kau bisa membuka satu demi satu video itu dan melihat bagaimana sebuah kota di
    negeri “tak dikenal” itu, sepatutnya membuat warga Indonesia—apalagi orang
    Jakarta—tutup muka. Kigali adalah kota yang resik. Sangat resik. Pepohonan
    ditanam dengan rindang, trotoar menjadi tempat titian kaki yang bikin warga
    bungah, petugas kebersihan maupun warga sipil bisa bekerja sama mewujudkan kota
    yang nyaman dipandang.

    Jempolan
    sekali bukan?

    TERANG ATAU GELAP?

    Rwanda
    hari ini adalah negara di benua hitam yang paling kerap menjadi perbincangan
    dunia internasional. Kendati demikian, perbincangan itu tak melulu berisi
    puja-puji atas keberhasilan mereka di bidang ekonomi. Sebab nyatanya, Rwanda
    juga kerap disinggung atas problematikanya di bidang politik.

    Di
    hari terakhir ketika berada di Srilanka, saya melemparkan pertanyaan yang saya
    kira cukup sensitif. Pertanyaan itu berkisar pada isu demokrasi di Rwanda yang
    kerap dipermasalahkan terutama oleh orang-orang Barat.

    Tak sedikit orang yang menyebut Paul Kagame sebagai diktator. Panggilan diktator yang disematkan padanya semakin gencar seiring dengan duduknya kembali Kagame di kursi presiden untuk periode ketiganya. Padahal di konstitusi Rwanda, seorang presiden hanya bisa memimpin selama dua periode di mana tiap periode berjalan tujuh tahun. Tapi, konstitusi tersebut diubah sebelum pemilu 2017. Dalam aturan baru yang dibuat, presiden boleh memimpin negara selama 3 periode. Perubahan ini tentu menguntungkan Kagame yang akhirnya bisa melenggang kembali ke kursi empuk kekuasaan sampai 7 tahun ke depan.

    Sejauh perbincangan kami dalam dua hari sebelumnya, saya mengenal Paman Sekamana sebagai seorang yang cukup fanatik pada Kagame. Untuk menanyakan perihal yang buruk tentang hal yang disukai seseorang, kita perlu menunggu waktu yang tepat atau lebih baik diam sama sekali. Tapi saat itu kami sedang minum teh Ceylon, teh khas Srilanka dengan komposisi teh hitam bercampur kelopak bunga kering berwarna ungu yang aromanya begitu semerbak dan menenangkan. Lalu sambil menyesap perlahan teh itu, akhirnya saya memberanikan diri bertanya perihal Kagame dan demokrasi.

    “Paman, mohon maaf jika saya menyinggung. Tapi bagaimana dengan Demokrasi di Rwanda? Bukankah beberapa pihak memanggil Kagame sebagai presiden otoriter?

     “Bagus, laissez-moi
    vous répondre. De peu un peu.
    Mari kita jawab sedikit demi sedikit”,
    ujarnya.

    Kemudian
    ia meminum tehnya dengan cara menenggak, sebelum memberikan jawaban yang justru
    disesaki pertanyaan.

    “Jika
    benar Kagame diktator, mengapa ia menang pemilu dengan perolehan 99% suara? Let me tell you, Kagame telah mengubah
    Rwanda. Angka kemiskinan turun, angka kematian bayi turun, begitu pula dengan
    angka buta huruf. Jika rakyat mencintainya lalu ia memimpin lagi, kenapa ia
    dipanggil diktator? Lagipula, apa itu demokrasi? Siapa yang mengharuskan negara
    demokrasi hanya dipimpin 10 tahun? Apakah lagi-lagi, kita harus mengekor pada bangsa
    oksidental?”.

    “Paman,
    tapi saya pernah membaca artikel tentang betapa bahaya mengkritik Kagame bagi
    orang Rwanda. Patrick Karegeya, mantan intel negara Anda yang banting setir
    jadi pengkritik pemerintah, bahkan tewas dengan berondongan peluru. Lalu bagaimana
    pula dengan 8 wartawan yang hilang? Apa sebegitu penting kesuksesan ekonomi
    dibanding penghargaan pada kebebasan?”.

    Saya mengeluarkan pernyataan itu sambil menceritakan tentang sejarah Indonesia 32 tahun di bawah rezim Soeharto. Seperti halnya Kagame, Soeharto juga presiden yang “dicintai” rakyatnya. Tapi “cinta” itu tidak hadir begitu saja melainkan bertunas dari kemampuan rezim Soeharto menjejali rakyatnya dengan jargon-jargon penuh propaganda. Ia, dengan instrumen kekuasaan yang dimilikinya, secara sistematis telah menghegemoni rakyatnya untuk menasbihkan dirinya sebagai “Bapak Pembangunan Nasional”.

    Mendengar cerita saya, Paman Sekamana tetap bersikukuh bahwa Kagame adalah presiden yang benar-benar dicintai rakyatnya. Keyakinan Paman Sekamana semakin bertambah setelah mendengar cerita saya tentang genosida ’65 dan bagaimana langkah Soeharto atas tragedi itu. Dalam narasi yang dibangun Soeharto dan terus dirawat hingga rezim ini, genosida ’65 masih berhenti pada narasi biner hitam-putih. Semua yang berhubungan dengan PKI—meskipun hanya hubungan darah—adalah penjahat, sementara yang tidak adalah korban.

    “Presiden Rwanda menyelesaikan genosida. Presiden negara Anda jadi dalangnya. Presiden kami melawan phobia, presiden Indonesia merawatnya”, ujarnya dengan mantap.

    Lelaki bertubuh jangkung itu sejenak kemudian menceritakan pada saya tentang rekonsiliasi konflik genosida yang pernah dilakukan Kagame untuk mendamaikan hubungan antara Hutu dan Tutsi.

    Pada tahun 2002, Rwanda misalnya menginisiasi sebuah sistem peradilan yang disebutgacaca. Gacaca adalah program yang ditujukan pada puluhan ribu jagal yang ditetapkan sebagai tersangka genosida ’94.

    Dalam gacaca, para tersangka pada awalnya diminta untuk mengakui kejahatannya. Mereka yang bersedia melakukan pengakuan, kemudian akan mendapat remisi. Setelah keluar dari tahanan, mereka juga harus melakukan kerja sosial di lingkungan di mana mereka dulu pernah berbuat kejahatan. Artinya, mereka tak sekadar saling memaafkan, tetapi juga harus menjalani kehidupan bersama. Menurut pemerintah Rwanda, gacaca telah merekonsiliasi lebih dari 1,9 juta kasus.

    Selain gacaca, Rwanda juga menetapkan tanggal 7 April setiap tahunnya sebagai kwibuka,yaitu hari mengenang tragedi ’94. Pada saat kwibuka, ada seremoni di mana suku Hutu dan Tutsi saling bertemu, saling memaafkan, lalu berbagi santapan. Selama 100 hari setelah 7 April, Rwanda juga mengajak warganya baik Hutu maupun Tutsi untuk bersama-sama mengunjungi urwibutso, sebuah monumen untuk mengenang para korban genosida.

    Selain itu, terobosan paling penting dari pemerintahan Kagame adalah menghapuskan kolom suku di KTP Rwanda yang sudah bertahan sejak awal masa kolonialisme. Sebab menurut Kagame, tak penting lagi apakah seorang terlahir sebagai Hutu atau Tutsi, selama mereka lahir atau hidup di Rwanda maka mereka adalah rakyat Rwanda.

    Cerita gacaca dan kwibuka itulah yang membuat saya mulai memahami perbedaan antara Soeharto dengan Kagame. Bahkan lebih jauh, perbedaan Rwanda dengan Indonesia.

    Indonesia hingga detik ini selalu menolak untuk bicara tentang genosida ’65. Setiap kali kita buka mulut tentang tragedi ’65, pemerintah akan meninggikan suara: masa lalu untuk apa diungkit-ungkit terus, ayo move on! Atau yang lebih sering: Ngapain sih terus-terusan membuka luka lama?

    Sementara itu, Rwanda justru menjadikan genosida ’94 sebagai tema yang selalu jadi pembahasan, dengan tujuan utama mewujudkan rekonsiliasi dan permaafan bagi semua rakyat. Ada usaha serius dari pemerintah Rwanda untuk menjadikan pengalaman buruknya sebagai pelajaran, sementara kita selalu menampik bahwa ada borok yang mesti segera diobati.

    Saya percaya bahwa pemerintah yang baik mengajak rakyatnya saling memaafkan, sementara pemerintah yang buruk membiarkan rakyatnya dihantui rasa bersalah. Dalam hal ini, kita benar-benar harus belajar dari Rwanda.

    Di masa depan, Indonesia mungkin bisa punya mobil buatan sendiri. Merk Esemka, Esempe, atau bahkan Emtees. Dalam beberapa dekade ke depan, bukan tak mungkin Iron Man Indonesia benar-benar ada: Dengan lilitan kabel yang ditempelkan ke dua sisi pelipis, seorang lumpuh bisa menggerakkan kaki atau tangannya. Saya bahkan optimis jika suatu hari Indonesia akan menemukan bahan bakar ramah lingkungan entah dari pohon jarak, atau kecapi, atau kedondong yang menjadi solusi permasalahan energi dunia.

    Satu-satunya hal yang tidak pernah saya percaya adalah jika suatu hari Indonesia paham betapa berharganya nilai sebuah pengakuan dan pemaafan.

  • [Ngibul #97] Perbincangan dengan Pak Soes

    author = Andreas Nova

    Akhir pekan lalu (16 Februari 2019), Andre, rekan pengelola Warung Sastra menawari saya untuk ikut berbincang dengan Soesilo Toer. Niatnya semula hanya meminta Pak Soes menandatangani beberapa eksemplar buku yang beliau tulis. Tapi, dari awal saya yakin, dari cerita beberapa teman yang sudah pernah berjumpa dan berbincang dengan beliau, perjumpaan dengan beliau pasti diiringi dengan cerita-cerita yang menarik. Hal tersebut benar adanya.

    Saya, Andre, dan Awan—teman sekamar Andre— menemui Pak Soes di sebuah kontrakan di Jalan Wonosari. Perbincangan sore itu seperti biasa diawali basa-basi terlebih dahulu. Kami bertanya tentang beberapa cerita yang beliau tulis dan dikumpulkan dalam buku Nasib Seorang Penebang Kayu yang diterbitkan Pojok Cerpen. Jujur saja, buku itu adalah buku pertama Pak Soes yang saya beli—dan tentu saya mintakan tandatangan ke beliau langsung.

    Semula saya pikir Pak Soes tidak bisa lepas dari bayang-bayang Pramoedya Ananta Toer, kakaknya. Saya tentu tak perlu menjelaskan seberapa terkenalnya Pram, juga karya-karyanya—kalaupun tak tahu, tentu Google selalu siap membantu. Semisal Pak Soes tidak tampil sebagai bintang tamu di Hitam Putih, barangkali lebih sedikit orang yang mengenalnya sekarang. Padahal, jumlah karya Pak Soes lebih banyak dari Pram.

    “Saya baca cerpen-cerpen saya sendiri di (buku) Serenade (Pataba Press, 2019) itu ada yang saya sendiri lupa, Mas. Ini saya nulisnya kapan?” Tutur beliau pada kami.

    “Ada cerpen saya tentang Cibodas di situ (Serenade), itu dulu saya pernah kecelakaan di situ, mobilnya masuk jurang, pacar saya waktu itu mati di tempat, Mas. Kalau baca cerpennya saya sering kali nangis sendiri. Saya memang paling cengeng dari anak-anaknya bapak. Lalu pernah ada yang bilang di sekitar area tempat saya kecelakaan, sering ada yang dengar suara perempuan memanggil nama saya ‘Soeess… Sooeeess’ gitu,” lanjut beliau.

    Kisah cinta yang memilukan tersebut hanya awal dari perbincangan di sore hari itu yang tentu tidak hanya diisi oleh kisah cinta beliau saja. Beliau juga berbagi cerita tentang pengalaman beliau membangun resevoir untuk pembangkit tenaga listrik terbesar di Rusia yang ada di Bratsk.

    “Di sana tugas saya itu mengaspal mas. Di atas resevoir-nya itu kan dibangun jalan raya. Nah, tugas saya mengaspal. Makanya, sebenarnya kalau dibilang saya di sana bersenang-senang itu juga salah. Saya menderita juga di sana. Saya itu pernah nulis ‘Saya menderita di sini’ pake Bahasa Rusia di lereng bendungannya. Entah masih ada apa tidak sekarang.”

    Atau kisah membetulkan rel kereta api Trans-Siberia yang terkena banjir rob di Irkutsk.

    “Waktu memperbaiki rel Trans-Siberia itu, yang rusak kurang lebih enam kilometer. Harus diselesaikan dalam dua bulan. Di sana kerja itu bisa sampe 20 jam sehari, Mas. Sewaktu musim panas, malam juga masih terang benderang. Makanya kan Dostoyevsky bisa nulis Malam-malam Putih karena fenomena itu. Itu saya alami sendiri, Mas.”

    “Di sana itu begitu ada sirine, tanda barang konstruksi datang, pekerja harus bangun. Kalau yang tidur, ya tidak dibangunkan dan nggak dapat tambahan upah. Saya selalu bangun ketika sirine bunyi. Mereka nggak tahu orang Indonesia kuat begadang.” tuturnya sambil terkekeh.

    Beliau juga bercerita pengalaman beliau pernah ditipu oleh Orang Gypsy, tentang perempuan-perempuan yang pernah dipacari semasa di Rusia yang kemudian salah satunya menjadi inspirasi menulis Anak Bungsu (Pataba Press, 2017), berkisah tentang kota Samarkand, berenang melintasi sungai Prut yang terletak di perbatasan Moldova dan Romania. Cerita-cerita yang barangkali sudah disampaikan Pak Soes dengan anak muda lain dalam diskusi-diskusi atau bahkan di percakapan-percakapan ringan seperti petang itu.

    “Kalau sampeyan, kuliah dimana mas?” tanya beliau tiba-tiba.

    “Ee… Saya lulusan Sastra Prancis, UGM, Pak,” jawab saya.

    “Waahh, Parlez-vous français?” tanyanya lagi.

    Mampus, langsung di tes.

    Oui, un petit peu,” jawab saya, sembari buru-buru menambahkan “tapi sudah lama nggak ngomong pakai Bahasa Prancis, Pak.”

    Beliau terkekeh mendengar jawaban saya. Saya balik bertanya, apakah beliau dulu juga belajar Bahasa Rusia sebelum berangkat ke sana. Beliau berkata hampir mirip dengan apa yang dikatakan oleh bapak Laddy Lesmana, dosen mata kuliah Linguistik Prancis saya semasa kuliah.

    “Bahasa itu soal kebiasaan, saya bisa Bahasa Rusia juga karena ada di sana dan setiap hari dipaksa menggunakan bahasa itu. Bulan pertama saya menghafalkan tiga ribu kosa kata, bulan kedua saya tambahkan lagi. Bahasa yang awalnya terdengar seperti dengungan di telinga saya akhirnya makin lama makin jernih di telinga saya. Sampeyan kalau dilepas di Prancis sana pasti mau nggak mau juga akan bisa.”

    Saya mengangguk-angguk menyetujui pernyataan tersebut. Lalu saya menanyakan tentang sastra di Eropa timur. Semula saya ragu bertanya seperti itu, karena seingat saya, beliau tidak secara khusus belajar sastra di sana.

    “Kalau sastra di Eropa Timur, tentu saja Rusia yang paling berpengaruh. Orang sini sudah mulai banyak yang tahu (Leo) Tolstoy, (Leon) Trotsky, (Maxim) Gorky, paling (Ivan) Turgenev sama (Aleksandr Isayevich) Solzhenitsyn yang kurang dikenal. Tapi mungkin yang belum banyak orang sini yang tahu itu Sastra Romania. Seperti Pemberontakan di Pelabuhan (Pataba Press, 2017) karya Alexandru Sahia yang diterjemahkan Mas Koes (Koesalah Soebagyo Toer) itu sebenarnya bagus.”

    “Lalu, Pak Soes sendiri ada nasehat untuk anak-anak muda supaya lebih peduli dengan literasi?” Tanya saya.

    Setelah diam sebentar, beliau melanjutkan,

    “Didiklah dirimu sendiri, bukan jadi serigala, tapi jadi manusia. Dan kalau anda tak mengerti hakikat diri anda, anda itu masih ternak. ‘Bacalah, bukan bakarlah’ kalau kata Pram. Tapi saya tambahi, ‘bacalah dan bakarlah titik-titikmu’. Titik-titik itu isilah sendiri. Tapi kalau yang berkaitan dengan sastra, bacalah dan bakarlah semangat membacamu membaca dan menulis. Bukan menulis dan membaca. Karena harus membaca dulu baru menulis. Einstein kan ngomong ‘Carilah pengalaman sebanyak-banyaknya, itu adalah basis pengetahuan anda. Dari basis pengetahuan itu, itu adalah ilmu anda’. Jadi kalau anda tidak punya pengalaman, anda tidak punya pengetahuan. Einstein lho itu yang bilang. Pengalaman itu banyak, tapi barangkali anda tidak perduli. Dalam sehari itu anda mendengar dan melihat lebih dari sejuta obyek, tapi kalau anda nggak peduli ya nggak jadi pengalaman. Dengar dan lihat itu semua, olah itu semua, itu nanti jadi basis pengetahuan anda.”

    Seperti yang saya sampaikan di awal tadi, barangkali Pak Soes tidak akan bisa lepas dari bayang-bayang kakaknya, Pramoedya Ananta Toer. Tapi, katanya ‘Pram is Pram, Soes is Soes’. Dengan bangga beliau juga berkata bahwa besok (17 September 2019), adalah kemenangan keduanya dari Pram. Pertama Pram menulis tetralogi buru, sementara beliau menulis pentalogi biografi Pram. Kedua, Pram wafat di usia 81 tahun tapi sehari lagi beliau berumur 82 tahun. Namun saya kira kemenangan ketiga Pak Soes dari Pram adalah produktifitasnya yang sudah melebihi kakaknya dan variasi tulisannya. Beliau tak hanya menulis fiksi sejarah seperti Pram, namun juga cerpen-cerpen, cerita-cerita anak yang sudah jarang mewarnai dunia kesusastraan Indonesia.

    Selamat ulang tahun, Bro Soes. Semoga sehat, ceria, dan bahagia selalu. Saya masih menantikan semoga “Lelananging Jagad” segera bisa diterbitkan dan dinikmati oleh pembaca karya-karya anda.

  • [Ngibul #96] Apa Jadinya Jika Warung Burjo Ada di Mal?

    author = Asef Saeful Anwar

    Dul Kibul percaya setiap
    kali menghadapi kenyataan yang tak sesuai harapan, pasti akan selalu ada
    sesuatu yang bermakna di dalamnya. Maka, ia tak kecewa ketika mau menonton
    pertandingan Real Madrid vs Girona di Warung Burjo Kabita, malah mati lampu.
    Marbakat, yang datang bersamanya, bersungut-sungut mengajak berpindah tempat
    nonton. Bagi Marbakat pertandingan Madrid melawan tim gurem pasti akan ada
    banyak gol, sayang untuk dilewatkan.

    Ora ah. Tak ngancani Aa
    Ujang.” jawab Dul Kibul

    Nggak perlu lho, Mas. Saya mah biasa jaga sendiri.” kata Aa Ujang setelah selesai menyalakan lilin.

    “Nah itu Aa Ujang aja nggak apa-apa kok. Wong kamu juga nggak mesen
    apa-apa di sini.” saut Marbakat

    “Lha itu ngerti, terus di tempat nanti aku mau
    bayar pakai apa? Kamu mau bayarin?”

    Nggak lah. Kita nonton di kos temanku yang punya tipi saja. Agak jauh sih. Tapi aku jamin
    nggak mati lampu daerah sana.”

    Dul Kibul tetap keukeuh dengan pilihannya; menemani Aa
    Ujang. Dul Kibul tahu ada sesuatu yang ingin disampaikan Aa Ujang dari
    kemarin-kemarin tapi ndak pernah
    kesampaian. Dan mati lampu ini pasti adalah waktu yang diberikan Tuhan untuk
    mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh Aa Ujang. Apalagi tak ada pembeli
    lain selain dia. Marbakat pun sudah ngacir
    pergi ingin menonton klub kesayangannya entah di kos siapa.

    “Mas Dul sedang nulis apa sekarang?” tanya Aa Ujang
    memulai percakapan sambil menawarkan tembakau tingwe ke Dul Kibul.

    “Pilpres, A. Itu yang
    lagi laku. Padahal ada pileg juga.” jawab Dul Kibul sambil melinting
    tembakaunya.

    “Mas Dul pilih calon yang
    mana?” tanya Aa Ujang setelah menghembuskan asap tembakaunya

    “Masih belum ada pilihan.
    Masih mempelajari program dan track
    record-
    nya.” jawab Dul Kibul sebelum menyalakan tembakau yang sudah
    dilintingnya.

    “Waduh, harus kitu?” asap kembali dihembuskan, dan
    obrolan mereka diselang-selingi asap tembakau masing-masing.

    Nggak harus sih, A. Tapi itu lebih baik. Daripada milih sesuatu
    tanpa dasar. Lha Aa Ujang nanti pilih calon mana?”

    “Golput lagi kayaknya,
    Mas.”

    “Waduh. Kenapa?”

    “Mau presidennya siapa
    juga nggak akan warung burjo
    diizinkan dibuka di mal.”

    “Kenapa harus di mal?”

    “Sekarang peradaban
    manusia itu ada di mal. Jadi kalau nggak
    di mal dianggap kurang beradab.”

    “Cakeeep.”

    “Itu kata Lik Narto, Mas Dul. Saya mah ngiyain aja waktu beliau kemarin sarapan di sini. Tapi dipikir-pikir benar juga sih. Makanan dan minuman, pakaian, hiburan, dan lain-lain bahkan sampai bahan bangunan juga sekarang ada malnya ya, Mas Dul.”

    “Jadi kalau ada capres
    yang programnya membuka warung burjo di mal akan Aa Ujang coblos?”

    “Jelas atuh. Sebenarna mah warung burjo itu contoh saja. Capres harusnya paham tentang kelestarian makanan khas negeri ini. Kalau warung-warung masuk mal, masuk pusat peradaban, itu kan pasti terjaga, nggak akan punah. Lha sekarang kita diajari untuk suka makanan luar negeri: ayam tepung, roti gandum, spaghetti, es krim, dan lain-lain. Anak saya saja sukanya kentakikentaki apa gitu. Coba bandingkan lebih banyak mana ayam tepung dengan opor ayam? Alhamdulillah, istri saya bisa masak opor ayam, tapi teman-temannya sudah jarang yang tahu resep dan caranya. Kalau nggak ada lebaran, mungkin sudah nggak akan ada lagi opor ayam.”

    “Eh tapi masih ada banyak
    opor ayam di sunmor, A.”

    “Syukurlah kalau masih banyak
    yang jualan jadi bisa bertahan.”

    “Maksud Aa Ujang
    ketahanan pangan ya?”

    Nggak tahulah apa namanya. Pokoknya yang dukung pedagang kecil yang
    jualan makanan khas negara kita. Angkringan, warteg, coto makassar, nasi
    lengko, empal gentong, dan lain-lain. Juga macam-macam jajanan kecil kita, Mas
    Dul.”

    “Kita?”

    “Eh Mas Dul kelahiran 80-an
    kan?”

    “Saya 94, A.”

    “Oh maap. Tapi mungkin Mas Dul pernah dengar es serut, es goyang, es gabus, es goreng?”

    Es goreng? Dul Kibul
    ternganga. Ia menggelengkan kepala dan mulai mencatat nama-nama es yang asing
    baginya itu yang nanti akan di-googling.        

    “Wah dulu ada banyak
    jajanan yang sekarang hilang, Mas Dul. Dan itu karena tadi, karena anak-anak
    kecil diajari untuk suka yang ada di mal, yang berasal dari luar negeri.”

    Di mata Dul Kibul, malam
    ini kening Aa Ujang tampak bercahaya meskipun mati lampu. Tapi, apa yang
    dicurahkan semuanya itu bukanlah makna di balik mati lampu malam ini. Dul Kibul
    pun mengejar:

    “A, maaf nih ya, A. Dari
    kemarin-kemarin aku lihat kok wajah Aa Ujang seperti… maaf, sekali lagi maaf,
    mumpung nggak ada orang, istri dan
    anak sudah tidur kan, A?”

    “Seperti apa, Mas Dul?”

    “Seperti lagi ada
    masalah.”

    “Begitulah. Ya seperti saya bilang tadi, Mas Dul, anak-anak diajari untuk suka sesuatu yang berasal dari luar negeri.”

    “Maksudnya?”

    “Si Dadang minta
    dibelikan tablet.”

    Kan yang second banyak….”

    “Bukan masalah harganya, Mas Dul. Tapi saya pikir anak baru kelas 1 esde belum butuh seperti itu. Saya waktu kecil cuma mainan senapan dari bambu sudah senang sekali.”

    “Wah kalau senapan bambu
    aku ngalamin, A.”

    “Bisa buat sendiri?”

    Nggak. Dibuatin bapakku.”

    “Kalaupun bisa percuma, Mas Dul. Ini saya bisa buat senapan dari bambu, bisa buat kandang jangkrik, bisa buat pistol dari kayu dengan isi petasan, bisa buat ketapel, bisa buat layang-layang, dan hampir semua mainan saat saya kecil bisa aku buat, tapi di hadapan anakku, si Dadang itu, tak ada artinya, tak ada yang disukainya. Ia selalu bilang: ‘Tapi teman-temanku…tapi teman-temanku….’ begitu terus… Ah, jadi orangtua zaman sekarang berat banget.”

    Dul Kibul melihat mata Aa
    Ujang berkaca. Tak dihisap lagi tembakaunya.

    “Kenapa Aa Ujang tidak
    sekalian membuatkan mainan untuk teman-temannya Dadang?”

    “Oh iya… baru kepikiran.”

    “Tapi aku diajarin dulu ya, A. Biar nanti aku bisa
    bantu membuatkan dan mengajarkan anak-anak juga. Minggu depan ya, A.”

    “Siaaap….”

    Mereka menyudahi obrolan.
    Dul Kibul mengambil gitar yang ada di dinding warung burjo, Aa Ujang mulai
    menata rambutnya agar mirip Charlie ST12 seolah itu berpengaruh pada suaranya,
    lalu mengalirlah lagu-lagu pop melayu sampai datang Marbakat.

    Kok lesu?” tanya Aa Ujang

    “Kalah mesti ya?” tanya
    Dul Kibul

    “Sudah dibela-belain nonton jauh-jauh kalah.
    Sama tim lemah lagi.” gerutu Marbakat.

    “Terus kenapa ke sini?” tanya
    Dul Kibul

    “Mau sahur sekalian.”
    jawab Marbakat.

    “Mau sahur apa mau ngebon?” tanya Aa Ujang.

    “Bantu orang puasa sunah
    dapat pahala lho, A.” kata Marbakat.

    “Aku sekalian kalau gitu,
    A.” saut Dul Kibul

    “Sekalian utang apa
    sekalian sahur?” tanya Aa Ujang

    “Sekalian dua-duanya.”

    Seketika lampu menyala.
    Dan Aa Ujang menyalakan kompornya demi mi instan dua anak manusia yang
    kekurangan itu. Ah, apa jadinya nasib anak-anak kosan jika warung burjo ada di
    mal?

  • [Ngibul #95] Razia Buku dan Kesia-siaan

    author = Andreas Nova

    Pada awalnya saya ingin menulis tentang hal lain untuk
    ngibul edisi kali ini. Namun berita tentang razia buku yang dilakukan (oknum)
    TNI di Pare, Kediri dan Padang membuat saya tergelitik untuk menulis pendapat
    saya tentang kejadian tersebut. Pertama, karena kejadian tersebut terjadi dalam
    waktu berdekatan, 26 Desember 2018 di Pare, dan 8 Januari 2019 di Padang.
    Kedua, karena alasan penyitaan buku adalah terindikasi berbau komunisme.
    Ketiga, karena mereka yang melakukan razia hanya melakukan hal yang sia-sia.

    Bagi saya adalah hal yang aneh ketika sebuah buku yang
    diterbitkan oleh penerbit yang resmi (dalam hal ini resmi berarti penerbit yang
    berbadan hukum) dan memiliki ISBN di razia dan disita dengan alasan yang
    menurut saya konyol dan seharusnya tidak perlu dilakukan. Penerbit yang
    berbadan hukum—dan harus berbadan hukum karena hanya penerbit yang berbadan
    hukum yang bisa teregistrasi di Perpustakaan Nasional dan mendapatkan
    ISBN—seharusnya mendapatkan perlindungan hukum bagi penerbit dan buku
    terbitannya. Seperti yang banyak kita tahu, Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963
    tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu
    Ketertiban Umum sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2010.
    Menurut saya seharusnya (oknum) aparat tidak melakukan penyitaan tanpa putusan
    pengadilan. Seandainya ada putusan pengadilan pun, seharusnya penyitaan
    dilakukan dari hulu ke hilir. Dari penerbit ke jaringan distribusinya baru ke
    toko buku. Apalagi yang di razia adalah toko buku yang bukan toko buku besar
    seperti toko buku G atau T yang ada di beberapa kota besar di Indonesia.

    (Oknum) aparat beralasan razia tersebut dilakukan karena
    adanya keresahan dalam masyarakat ketika melihat buku-buku berbau komunis. Saya
    heran bagaimana bau buku komunis? Apakah anyir atau amis atau seperti apa? Ya
    sorry lur kalau saya mengartikan bau secara tersurat, karena saya menduga
    (oknum) aparat sendiri hanya melihat dari judulnya saja. Dugaan tersebut
    tercetus ketika melihat daftar buku yang disita dalam artikel ini. Kalau dilihat dari judul saja, orang awam
    akan langsung menduga bahwa itu adalah buku-buku berisi komunisme dan
    tetek-bengeknya. Tapi bukankah kita semua pernah mendengar ujaran “Don’t
    judge book by its cover”
    agar kita tidak menghakimi buku dari sampulnya
    saja tapi juga dari isinya.

    Meskipun dalam beberapa kesempatan, saya sering berkata jika
    “Don’t judge book by its cover” tidak sesuai dengan apa yang selalu saya
    lakukan ketika memilih buku untuk dibeli. Saya selalu menilai dari sampulnya.
    Karena buku baru selalu disegel plastik sehingga saya hanya diberi kesempatan
    untuk menimbang buku itu layak dibeli atau tidak hanya dari sampul dan blurb-nya.
    Buku dengan sampul buku yang indah dan blurb yang menarik selalu bisa
    mencuri perhatian saya. Berbeda jika anda membeli buku import, sepengalaman
    saya membeli buku-buku import dari online store luar negeri, saya belum pernah
    mendapati buku yang bersegel plastik. Beberapa kali saya melihat-lihat buku di
    toko buku yang menjual buku import juga saya jarang menemukan buku bersegel
    plastik. Barangkali itu perlu dilakukan oleh (oknum) aparat ketika merazia
    buku-buku tersebut. Membacanya lebih dahulu sebelum memvonis buku tersebut
    berbau atau berisi ajaran komunisme. Tapi berapa banyak aparat yang membaca?

    Dari daftar buku yang tertulis dalam artikel tersebut tidak
    semuanya diterbitkan oleh penerbit yang tidak jelas. Yang penting ada kata PKI,
    Aidit, Muso, Madiun, Komunis, Kiri langsung ciduk. Bahkan ada satu buku yang
    diterbitkan oleh PBNU yang juga diindikasikan berbau komunis hanya karena ada
    kata “PKI” dalam judulnya. Buku tersebut berjudul “Benturan NU-PKI 1948-1965”.
    Saya sempat membaca sekilas buku itu dan menurut saya buku itu berisi paparan
    sejarah konflik NU dan PKI dalam tahun yang tertulis dalam judul tersebut.
    Namun sekali lagi, berapa banyak aparat yang membaca?

    Selain alasan berbau komunis itu tadi, ada pernyataan bahwa
    isi buku yang disita itu bukan isi sebenarnya tapi sudah diganti dengan buku
    berisi buku ajaran komunis. Bagi saya ini konyol. Kenapa konyol? Karena sama
    dengan alasan di atas, seberapa banyak aparat yang membaca, dan kedua tidak
    masuk akal. Seandainya saya memang berniat meracuni pikiran dengan ajaran
    komunisme, tentu saya tidak akan memasang sampul yang berjudul komunis atau PKI
    atau sebangsanya. Saya lebih memilih menyampulinya dengan sampul buku yang
    sedang populer seperti Dilan atau NKCTHI. Minimal saya plesetkan judulnya jadi
    Nanti Kita Cerita Tentang Persatuan Kesatuan Indonesia (NKCTPKI). Lebih aman,
    dan barangkali saya bisa menyembunyikan bau komunis dalam sampul buku populer
    itu.

    Lagipula memberantas ajaran komunis kok dengan merazia buku.
    Itu jelas strategi yang memancing untuk dikecam masyarakat yang mulai melek
    literasi. Lha masyarakat saja sudah
    bisa mendapat informasi dengan mudah dari mana saja kok ya masih menggunakan
    strategi yang sudah usang. Tanpa buku tentang ajaran komunisme saja, kita bisa
    cari secara digital bukunya Marx atau Mao atau Stalin. Modal kuota internet
    sama bahasa inggris saja cukup. Lagipula ide kok mau dibungkam dengan merazia
    buku, kan sia-sia. Kalau memang ingin membungkam ide genosida adalah salah satu
    cara efektif untuk menghilangkan sejarah kolektif. Tambah bunuh diri kan, pak?
    Tapi apa (oknum) aparat itu tahu? Tentu saja tidak, karena sekali lagi berapa
    banyak aparat yang membaca?

    Jika anak yang tidak bisa membaca dengan mudah kita labeli
    dengan label anak bodoh, apakah kita boleh melabeli aparat yang tidak bisa/mau
    membaca dengan label aparat bodoh? Jika memang ada aparat yang bodoh, tentu
    saja ia hanya menjadi alat penguasa (siapapun itu). Jika ia menjadi alat
    penguasa, apakah aparat masih bagian dari rakyat? Apakah ketika ia digunakan
    untuk menindas ia akan menurutinya karena itu adalah perintah “atasan”? Atau ia
    akan menolaknya dengan dasar kemanusiaan?

    Ketika aparat banyak membaca, saya pikir razia buku tidak
    akan ada. Eh, mungkin bukan tidak ada tapi lebih minim. Namanya orang goblog itu selalu ada di setiap masa
    kok. Aparat yang membaca mungkin akan datang ke diskusi-diskusi tentang
    komunisme, kemudian melakukan konter argumen dengan data yang sama ilmiahnya,
    dengan fakta bukan hanya sekedar menakuti dengan hantu yang sama sekali kita
    ragukan eksistensinya. Tapi ya selama masyarakat kita ini masih percaya kalau
    anak-anak yang masih main selepas maghrib bakal diculik wewe gombel, tentu saja
    mereka akan tetap mudah ditakuti bahwa komunisme itu hantu yang menakutkan.
    Padahal komunisme itu hanyalah ideologi yang berasal dari pikiran dan bisa
    dipatahkan dengan memahami komunisme dan menemukan apa yang ramashook dari komunisme.

    Saya jadi ingat sebuah obrolan dengan Bagus Panuntun ketika membicarakan tentang cerpen-cerpen Emanuelle Dongala yang kebanyakan berisi tentang anti komunisme. Saya pikir wajar saja Kamerun takut dengan komunisme karena mereka pernah dikuasai oleh rezim komunis dan komunistophobia di masyarakatnya sekarang tidak seperti di sini. Indonesia belum pernah merasakan rezim komunisme tapi menderita komunistophobia akut seolah seperti pernah merasakan rezim komunisme selama 32 tahun. Jangan-jangan misal dulu PKI berhasil kudeta dan rezim komunis menguasai negeri ini selama 32 tahun, kemudian rezim itu dirubuhkan dengan reformasi, people power, atau you name it lah. Saat ini mungkin kita bakal lihat banyak bokong truk dengan lukisan wajah Aidit dengan tulisan “Piye, penak jamanku to?”