Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #98] Paman Sekamana dan Sisi Terang Gelap Rwanda

author = Bagus Panuntun

Di penghujung tahun 2018, Bapak Junjungan Umat Kampret Indonesia, Prabowo Subianto, mengeluarkan pernyataan sembrono yang segera saja jadi bola panas terutama di kalangan Umat Cebong. Pernyataan itu kurang lebih berbunyi bahwa tingkat ekonomi negara kita setingkat dengan Haiti dan Rwanda, dua negara di Benua Afrika yang menurutnya tak pernah kita kenal dan ketahui letaknya.

Segera setelah pernyataan itu meluncur, para cebong pun ramai-ramai menyebut Prabowo idiot dengan alasan: Haiti berbeda dengan Rwanda karena Haiti terletak di kepulauan Karibia, sedang Rwanda di Afrika.

Lalu waktu lewat begitu saja. Perdebatan
soal Haiti-Rwanda hilang tak berbekas. Umat Indonesia, baik cebong maupun kampret, beralih ke
perdebatan yang malah makin ampas, dari tata cara bersuci yang
benar sampai lafadz Allah di atas jidat.

Berbicara soal Rwanda, beberapa waktu lalu ketika sedang berada di Srilanka saya
berkenalan dengan seorang dari negara tersebut bernama Janvier Sekamana. Kebetulan saat itu kami adalah sesama presentator di sebuah forum internasional yang
membahas model
pembangunan desa.

Kami bertemu ketika sedang jamuan makan siang di salah satu restoran di Kolombo. Saat itu di bawah cuaca Srilanka yang terik, ia memakai jas abu-abu gelap. Sebab merasa gerah, ia pun membuka seluruh kancing jasnya dan menampakkan dalaman kaos putih bergambar seorang tokoh yang nampak tak asing bagi saya. Melihat sosok di kaos itu, saya pun menyapanya terlebih dahulu.

“Vous devez être
vraiment fier de votre président
. Je le connais. Paul Kagame, n’est-ce pas?”. Anda pasti sangat bangga
dengan Presiden anda. Saya tahu siapa foto orang di kaos anda. Paul Kagame, bukan?

Seperti sudah saya duga, ia terperangah
mendengar saya mengenal
sosok tersebut. Lebih-lebih, ketika saya mengatakannya dengan bahasa Prancis.

Kemudian sebelum sempat membahas tentang sosok di kaosnya, kami pun saling berkenalan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai pendamping desa di salah satu distrik di Kigali, sementara saya bercerita perihal 4 tahun kuliah sastra Prancis.

“Belajar Bahasa asing  di negeri sendiri membuat saya jarang berinteraksi dengan penutur aslijadi mohon maaf jika bahasa
prancis saya remuk redam”, ujar saya seraya
mengharap ia memaklumi kalau sesekali saya membuka kamus daring.

Berawal dari perkenalan tersebut, selama 3 hari berikutnya kami jadi
sering terlibat dalam obrolan. Obrolan kami lebih banyak membahas tentang
negaranya, Rwanda.
Tapi tak jarang pula
saya bercerita padanya tentang Indonesia dan mencoba membandingkan beberapa hal
di antara kami.

Lewat perbincangan dengan
Paman Sekamana lah, banyak sekali hal baru yang saya tahu tentang
negara tersebut. Dan dari situlah, saya menyimpulkan bahwa saya perlu
menuliskan beberapa perihal dalam obrolan kami tentang Rwanda. Sebab, selain
penting untuk bahan permenungan, saya yakin bahwa orang-orang yang sama sekali
tak tahu tentang Rwanda adalah orang yang merugi, kalau bukan udik.

GELAP

Ketika berbicara tentang Rwanda, orang akan selalu menyebut untuk pertama kali tentang Genosida 1994. Tragedi yang membantai dan menewaskan lebih dari 800.000 orang ini pun menjadi tema di banyak film tentang Rwanda seperti Hotel Rwanda (2004) atau Sometimes in April (2005).

Genosida ini berakar dari konflik antar suku, yaitu suku Tutsi yang merupakan minoritas dan suku Hutu yang merupakan mayoritas. Konflik ini bermula ketika Rwanda masih berada di bawah jajahan Belgia. Kala itu Belgia sebagaimana bajingan kolonial lainnya menerapkan politik adu domba—divide et impera—dengan cara mendudukkan orang-orang dari suku Tutsi di jabatan-jabatan penting pemerintahan. Hal ini memicu dengki bagi suku Hutu yang merasa lebih berhak mendapat porsi kekuasaan karena mereka adalah mayoritas.

Kecemburuan ini menjadi bom waktu ketika akhirnya Rwanda merdeka pada 1962. Suku Hutu yang merasa digencet dan diperkuda di masa lalu merasa berhak membalaskan dendamnya pada suku Tutsi. Maka sepanjang 1962-1994, rasa benci itu penaka eceng gondok di atas air keruh. Perlahan tumbuh, semakin subur, berjebah, dan tak terkontrol.

Puncaknya terjadi pada tanggal 6 April 1994. Hari itu, Presiden Juvenal Habyarimana—yang mempunyai visi mempersatukan semua suku—tewas setelah pesawat yang ia tumpangi ditembak rudal oleh kelompok pemberontak saat hendak mendarat di Bandara Internasional Kigali.

Dengan kosongnya kekuasaan itulah, beberapa pihak memanfaatkan situasi. Mereka mengkonfrontasi suku Hutu untuk mulai membalaskan dendamnya dengan membunuh siapapun cockroach—julukan untuk orang Tutsi—yang mereka temui.

Maka, dalam tempo kurang dari 100 hari, Rwanda menjadi palagan yang lebih mengerikan daripada neraka. Satu per satu orang dibelasah dan disembelih. Rwanda menjadi kubangan darah dengan mayat-mayat Tutsi yang bertumpuk hingga menutupi jalan. Anyir. Dengan kepala buntung, dan organ tubuh pating berceceran.

Paman Sekamana berusia 23 tahun saat pembantaian itu terjadi. Usianya hampir sama seperti saya sekarang. Ujarnya, ia adalah saksi hidup yang melihat langsung bagaimana leher manusia digorok di tempat yang seharusnya menjadi tempat paling suci: gereja.

Kala
itu, gereja adalah tujuan utama bagi orang-orang yang lari bersembunyi.
Orang-orang barangkali mengira bahwa di dalam rumah Ilah, setan tak bisa
bernafas sehingga manusia-manusia paling beringas pun tak akan mengokang
senjatanya. Tapi dugaan itu sepenuhnya keliru. Sebab, di dalam gereja lah
pembantaian justru paling mangkus. Dengan beberapa berondong peluru, ajal datang
sekaligus. Begitulah kematian demi kematian terjadi. Di antara dinding kapel
yang dingin. Di bawah salib yang menjadi merah.

Setelah
mendengar kisah tersebut, saya lantas memberondongi Paman Sekamana dengan
pelbagai pertanyaan.

“Jadi karena Anda selamat,
maka Anda seorang Hutu ?”.

«  Non ».
Bukan.

“Tutsi ?!”

« Non plus ».
Bukan pula.

“Jadi, bagaimana Anda masih waras sampai sekarang?”.

Ia nyengir, mengeluarkan suara tawa
kecil dan memperlihatkan giginya yang seputih kapur, « Ma mère est
Tutsi, mon pêre est Hutu.

Si votre père est Hutu, il pouvait sauver toute votre famille
 »
Ibuku Tutsi, ayahku Hutu. Jika
ayahmu seorang Hutu, maka ia bisa menyelamatkan
seisi keluargamu.

“Paman, dari film-fim yang saya tonton, saya kira orang
Tutsi sedikit lebih berkulit terang daripada Hutu yang lebih legam. Jadi, para
jagal itu membedakan suku dengan menebak warna kulit ya?”

“Tidak sama sekali. Orang Rwanda
bahkan tak bisa membedakan mana Hutu
mana Tutsi. Kami sangat mirip. Nyaris sama. Kala
itu jika kau seorang Hutu tapi kau
lupa membawa KTP, sudah pasti nyawamu juga akan melayang”.

Ia lalu mengambil dompet hitam
dari sakunya, mengeluarkan selembar kartu identitas
berwarna biru laut,
menyerahkannya pada saya, dan meminta saya mengamatinya.

Kartu
Tanda Penduduk Rwanda.

Isi
kolom: nama, tempat tanggal lahir,
jenis kelamin, tanda tangan, nomor KTP.

Saya
tak tahu apa yang ingin ia tunjukkan pada saya. Sejauh pengamatan, KTP ini tak nampak beda
dengan KTP Indonesia
kecuali dalam hal bahasa.

Alors?” Jadi
intinya apa?.

Lalu
ia menjelaskan, “24 tahun lalu, ada 1
kolom tentang identitas ras apakah
kamu seorang Hutu atau Tutsi. Tapi
kolom jahanam itu kini sudah hilang. Kau tahu siapa yang melenyapkannya? Ia adalah orang yang
sama dengan orang yang menghentikan genosida Rwanda.”

Paman Sekamana lalu berdeham, sedikit membusungkan dadanya, sembari dengan raut penuh bangga menunjuk gambar di atas kaos putihnya “Presiden Paul Kagame”.

KTP Paman Sekamana

TERANG

“Today, Rwanda is the
land of hope, not hatred”.

Paman
Sekamana mengatakan hal tersebut sebelum menceritakan satu per satu perubahan
yang terjadi di Rwanda selama 2 dekade terakhir—sejak Kagame menjadi presiden.

Ketika menceritakan Paul Kagame, Paman Sekamana bisa sampai berbusa-busa. Ia pertama menjelaskan bahwa berkat Kagame negaranya kini dijuluki “Singapore de l’Afrique”. Singapura-nya Afrika.

“Seperti
Singapore, negara kami kecil dan sumber alam kami pas-pasan. Lebih buruknya,
kami bahkan tak punya laut”.

Tapi
Paul Kagame menciptakan gelombang perubahan besar terutama di bidang ekonomi.
Ia mulai membangun sekolah, rumah sakit, bandara, dan jalan raya yang
menghubungkan distrik dengan distrik. Ia membuka lahan jagung seluas-luasnya
dan membangun pabrik jagung pertama. Ia juga mencanangkan program “1 Sapi, 1
Keluarga” yang membuat Rwanda kini jadi negara pengekspor ternak tersebut.
Singkatnya, ia begitu cerdas dan kreatif dalam memaksimalkan sumber daya yang
terbatas. GDP Rwanda yang jatuh dari angka 1,6 Milyar menjadi 450 Juta Euro
pada 1994, kini kembali mencapai angka 4,4 M Euro. Tingkat perkembangan ekonomi
Rwanda setiap tahunnya mencapai angka 7 hingga 8 persen.

Kreativitas
Kagame juga tak berhenti pada program peningkatan ekonomi saja. Ia menjadikan
negaranya sebagaimana negeri yang diimpikan kaum feminis: Rwanda menjadi negara
dengan persentase tertinggi di dunia untuk anggota perempuan di parlemennya
(68%). Dalam hal kesetaraan gender di bidang politik, Rwanda bisa mengungguli
negara macam Denmark, Swedia, atau Canada.

Salah
satu perubahan besar di Rwanda yang paling kerap dibicarakan dunia saat ini
adalah kebijakannya di bidang lingkungan. Beberapa terobosan dilakukan
pemerintah Kagame misalnya dengan melarang penggunaan tas plastik sejak 2008.
Sebagai solusi atas pelarangan ini, pemerintah Rwanda membuka keran investasi
bagi pengusaha kreatif yang mau menjadi produsen tas dari kain, kertas, atau
daun pisang. Selain itu, Rwanda juga menggalakkan program penghijauan dengan
misi menutupi 30 persen daratannya dengan hutan hijau. Hutan hijau ini kemudian
disulap menjadi cagar alam atau taman nasional. Berkat usahanya membuka taman
nasional Nyungwe, Gishwati, Mukura, dan Rugezi, Rwanda mendapat penghargaan Green Globe Award pada 2010.

Saya
kira sangat jarang sebuah negara berkembang peduli amat dengan isu lingkungan.
Tapi Rwanda membuktikan bahwa dengan komitmen penuh di bidang lingkungan,
Rwanda bisa menciptakan perubahan besar. Salah satu perubahan besar itu bisa
dilihat dari Kigali, Ibu kota Rwanda, yang kini dijuluki sebagai kota paling
bersih di Afrika.

Seandainya
kau punya sedikit waktu, cobalah meluncur ke youtube dan ketikkan kata kunci
“Kigali”. Niscaya, kata kunci itu secara otomatis akan diikuti beragam
embel-embel macam “the cleanest” atau
“the safest” city in Africa. Selanjutnya,
kau bisa membuka satu demi satu video itu dan melihat bagaimana sebuah kota di
negeri “tak dikenal” itu, sepatutnya membuat warga Indonesia—apalagi orang
Jakarta—tutup muka. Kigali adalah kota yang resik. Sangat resik. Pepohonan
ditanam dengan rindang, trotoar menjadi tempat titian kaki yang bikin warga
bungah, petugas kebersihan maupun warga sipil bisa bekerja sama mewujudkan kota
yang nyaman dipandang.

Jempolan
sekali bukan?

TERANG ATAU GELAP?

Rwanda
hari ini adalah negara di benua hitam yang paling kerap menjadi perbincangan
dunia internasional. Kendati demikian, perbincangan itu tak melulu berisi
puja-puji atas keberhasilan mereka di bidang ekonomi. Sebab nyatanya, Rwanda
juga kerap disinggung atas problematikanya di bidang politik.

Di
hari terakhir ketika berada di Srilanka, saya melemparkan pertanyaan yang saya
kira cukup sensitif. Pertanyaan itu berkisar pada isu demokrasi di Rwanda yang
kerap dipermasalahkan terutama oleh orang-orang Barat.

Tak sedikit orang yang menyebut Paul Kagame sebagai diktator. Panggilan diktator yang disematkan padanya semakin gencar seiring dengan duduknya kembali Kagame di kursi presiden untuk periode ketiganya. Padahal di konstitusi Rwanda, seorang presiden hanya bisa memimpin selama dua periode di mana tiap periode berjalan tujuh tahun. Tapi, konstitusi tersebut diubah sebelum pemilu 2017. Dalam aturan baru yang dibuat, presiden boleh memimpin negara selama 3 periode. Perubahan ini tentu menguntungkan Kagame yang akhirnya bisa melenggang kembali ke kursi empuk kekuasaan sampai 7 tahun ke depan.

Sejauh perbincangan kami dalam dua hari sebelumnya, saya mengenal Paman Sekamana sebagai seorang yang cukup fanatik pada Kagame. Untuk menanyakan perihal yang buruk tentang hal yang disukai seseorang, kita perlu menunggu waktu yang tepat atau lebih baik diam sama sekali. Tapi saat itu kami sedang minum teh Ceylon, teh khas Srilanka dengan komposisi teh hitam bercampur kelopak bunga kering berwarna ungu yang aromanya begitu semerbak dan menenangkan. Lalu sambil menyesap perlahan teh itu, akhirnya saya memberanikan diri bertanya perihal Kagame dan demokrasi.

“Paman, mohon maaf jika saya menyinggung. Tapi bagaimana dengan Demokrasi di Rwanda? Bukankah beberapa pihak memanggil Kagame sebagai presiden otoriter?

 “Bagus, laissez-moi
vous répondre. De peu un peu.
Mari kita jawab sedikit demi sedikit”,
ujarnya.

Kemudian
ia meminum tehnya dengan cara menenggak, sebelum memberikan jawaban yang justru
disesaki pertanyaan.

“Jika
benar Kagame diktator, mengapa ia menang pemilu dengan perolehan 99% suara? Let me tell you, Kagame telah mengubah
Rwanda. Angka kemiskinan turun, angka kematian bayi turun, begitu pula dengan
angka buta huruf. Jika rakyat mencintainya lalu ia memimpin lagi, kenapa ia
dipanggil diktator? Lagipula, apa itu demokrasi? Siapa yang mengharuskan negara
demokrasi hanya dipimpin 10 tahun? Apakah lagi-lagi, kita harus mengekor pada bangsa
oksidental?”.

“Paman,
tapi saya pernah membaca artikel tentang betapa bahaya mengkritik Kagame bagi
orang Rwanda. Patrick Karegeya, mantan intel negara Anda yang banting setir
jadi pengkritik pemerintah, bahkan tewas dengan berondongan peluru. Lalu bagaimana
pula dengan 8 wartawan yang hilang? Apa sebegitu penting kesuksesan ekonomi
dibanding penghargaan pada kebebasan?”.

Saya mengeluarkan pernyataan itu sambil menceritakan tentang sejarah Indonesia 32 tahun di bawah rezim Soeharto. Seperti halnya Kagame, Soeharto juga presiden yang “dicintai” rakyatnya. Tapi “cinta” itu tidak hadir begitu saja melainkan bertunas dari kemampuan rezim Soeharto menjejali rakyatnya dengan jargon-jargon penuh propaganda. Ia, dengan instrumen kekuasaan yang dimilikinya, secara sistematis telah menghegemoni rakyatnya untuk menasbihkan dirinya sebagai “Bapak Pembangunan Nasional”.

Mendengar cerita saya, Paman Sekamana tetap bersikukuh bahwa Kagame adalah presiden yang benar-benar dicintai rakyatnya. Keyakinan Paman Sekamana semakin bertambah setelah mendengar cerita saya tentang genosida ’65 dan bagaimana langkah Soeharto atas tragedi itu. Dalam narasi yang dibangun Soeharto dan terus dirawat hingga rezim ini, genosida ’65 masih berhenti pada narasi biner hitam-putih. Semua yang berhubungan dengan PKI—meskipun hanya hubungan darah—adalah penjahat, sementara yang tidak adalah korban.

“Presiden Rwanda menyelesaikan genosida. Presiden negara Anda jadi dalangnya. Presiden kami melawan phobia, presiden Indonesia merawatnya”, ujarnya dengan mantap.

Lelaki bertubuh jangkung itu sejenak kemudian menceritakan pada saya tentang rekonsiliasi konflik genosida yang pernah dilakukan Kagame untuk mendamaikan hubungan antara Hutu dan Tutsi.

Pada tahun 2002, Rwanda misalnya menginisiasi sebuah sistem peradilan yang disebutgacaca. Gacaca adalah program yang ditujukan pada puluhan ribu jagal yang ditetapkan sebagai tersangka genosida ’94.

Dalam gacaca, para tersangka pada awalnya diminta untuk mengakui kejahatannya. Mereka yang bersedia melakukan pengakuan, kemudian akan mendapat remisi. Setelah keluar dari tahanan, mereka juga harus melakukan kerja sosial di lingkungan di mana mereka dulu pernah berbuat kejahatan. Artinya, mereka tak sekadar saling memaafkan, tetapi juga harus menjalani kehidupan bersama. Menurut pemerintah Rwanda, gacaca telah merekonsiliasi lebih dari 1,9 juta kasus.

Selain gacaca, Rwanda juga menetapkan tanggal 7 April setiap tahunnya sebagai kwibuka,yaitu hari mengenang tragedi ’94. Pada saat kwibuka, ada seremoni di mana suku Hutu dan Tutsi saling bertemu, saling memaafkan, lalu berbagi santapan. Selama 100 hari setelah 7 April, Rwanda juga mengajak warganya baik Hutu maupun Tutsi untuk bersama-sama mengunjungi urwibutso, sebuah monumen untuk mengenang para korban genosida.

Selain itu, terobosan paling penting dari pemerintahan Kagame adalah menghapuskan kolom suku di KTP Rwanda yang sudah bertahan sejak awal masa kolonialisme. Sebab menurut Kagame, tak penting lagi apakah seorang terlahir sebagai Hutu atau Tutsi, selama mereka lahir atau hidup di Rwanda maka mereka adalah rakyat Rwanda.

Cerita gacaca dan kwibuka itulah yang membuat saya mulai memahami perbedaan antara Soeharto dengan Kagame. Bahkan lebih jauh, perbedaan Rwanda dengan Indonesia.

Indonesia hingga detik ini selalu menolak untuk bicara tentang genosida ’65. Setiap kali kita buka mulut tentang tragedi ’65, pemerintah akan meninggikan suara: masa lalu untuk apa diungkit-ungkit terus, ayo move on! Atau yang lebih sering: Ngapain sih terus-terusan membuka luka lama?

Sementara itu, Rwanda justru menjadikan genosida ’94 sebagai tema yang selalu jadi pembahasan, dengan tujuan utama mewujudkan rekonsiliasi dan permaafan bagi semua rakyat. Ada usaha serius dari pemerintah Rwanda untuk menjadikan pengalaman buruknya sebagai pelajaran, sementara kita selalu menampik bahwa ada borok yang mesti segera diobati.

Saya percaya bahwa pemerintah yang baik mengajak rakyatnya saling memaafkan, sementara pemerintah yang buruk membiarkan rakyatnya dihantui rasa bersalah. Dalam hal ini, kita benar-benar harus belajar dari Rwanda.

Di masa depan, Indonesia mungkin bisa punya mobil buatan sendiri. Merk Esemka, Esempe, atau bahkan Emtees. Dalam beberapa dekade ke depan, bukan tak mungkin Iron Man Indonesia benar-benar ada: Dengan lilitan kabel yang ditempelkan ke dua sisi pelipis, seorang lumpuh bisa menggerakkan kaki atau tangannya. Saya bahkan optimis jika suatu hari Indonesia akan menemukan bahan bakar ramah lingkungan entah dari pohon jarak, atau kecapi, atau kedondong yang menjadi solusi permasalahan energi dunia.

Satu-satunya hal yang tidak pernah saya percaya adalah jika suatu hari Indonesia paham betapa berharganya nilai sebuah pengakuan dan pemaafan.