Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #95] Razia Buku dan Kesia-siaan

author = Andreas Nova

Pada awalnya saya ingin menulis tentang hal lain untuk
ngibul edisi kali ini. Namun berita tentang razia buku yang dilakukan (oknum)
TNI di Pare, Kediri dan Padang membuat saya tergelitik untuk menulis pendapat
saya tentang kejadian tersebut. Pertama, karena kejadian tersebut terjadi dalam
waktu berdekatan, 26 Desember 2018 di Pare, dan 8 Januari 2019 di Padang.
Kedua, karena alasan penyitaan buku adalah terindikasi berbau komunisme.
Ketiga, karena mereka yang melakukan razia hanya melakukan hal yang sia-sia.

Bagi saya adalah hal yang aneh ketika sebuah buku yang
diterbitkan oleh penerbit yang resmi (dalam hal ini resmi berarti penerbit yang
berbadan hukum) dan memiliki ISBN di razia dan disita dengan alasan yang
menurut saya konyol dan seharusnya tidak perlu dilakukan. Penerbit yang
berbadan hukum—dan harus berbadan hukum karena hanya penerbit yang berbadan
hukum yang bisa teregistrasi di Perpustakaan Nasional dan mendapatkan
ISBN—seharusnya mendapatkan perlindungan hukum bagi penerbit dan buku
terbitannya. Seperti yang banyak kita tahu, Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963
tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu
Ketertiban Umum sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2010.
Menurut saya seharusnya (oknum) aparat tidak melakukan penyitaan tanpa putusan
pengadilan. Seandainya ada putusan pengadilan pun, seharusnya penyitaan
dilakukan dari hulu ke hilir. Dari penerbit ke jaringan distribusinya baru ke
toko buku. Apalagi yang di razia adalah toko buku yang bukan toko buku besar
seperti toko buku G atau T yang ada di beberapa kota besar di Indonesia.

(Oknum) aparat beralasan razia tersebut dilakukan karena
adanya keresahan dalam masyarakat ketika melihat buku-buku berbau komunis. Saya
heran bagaimana bau buku komunis? Apakah anyir atau amis atau seperti apa? Ya
sorry lur kalau saya mengartikan bau secara tersurat, karena saya menduga
(oknum) aparat sendiri hanya melihat dari judulnya saja. Dugaan tersebut
tercetus ketika melihat daftar buku yang disita dalam artikel ini. Kalau dilihat dari judul saja, orang awam
akan langsung menduga bahwa itu adalah buku-buku berisi komunisme dan
tetek-bengeknya. Tapi bukankah kita semua pernah mendengar ujaran “Don’t
judge book by its cover”
agar kita tidak menghakimi buku dari sampulnya
saja tapi juga dari isinya.

Meskipun dalam beberapa kesempatan, saya sering berkata jika
“Don’t judge book by its cover” tidak sesuai dengan apa yang selalu saya
lakukan ketika memilih buku untuk dibeli. Saya selalu menilai dari sampulnya.
Karena buku baru selalu disegel plastik sehingga saya hanya diberi kesempatan
untuk menimbang buku itu layak dibeli atau tidak hanya dari sampul dan blurb-nya.
Buku dengan sampul buku yang indah dan blurb yang menarik selalu bisa
mencuri perhatian saya. Berbeda jika anda membeli buku import, sepengalaman
saya membeli buku-buku import dari online store luar negeri, saya belum pernah
mendapati buku yang bersegel plastik. Beberapa kali saya melihat-lihat buku di
toko buku yang menjual buku import juga saya jarang menemukan buku bersegel
plastik. Barangkali itu perlu dilakukan oleh (oknum) aparat ketika merazia
buku-buku tersebut. Membacanya lebih dahulu sebelum memvonis buku tersebut
berbau atau berisi ajaran komunisme. Tapi berapa banyak aparat yang membaca?

Dari daftar buku yang tertulis dalam artikel tersebut tidak
semuanya diterbitkan oleh penerbit yang tidak jelas. Yang penting ada kata PKI,
Aidit, Muso, Madiun, Komunis, Kiri langsung ciduk. Bahkan ada satu buku yang
diterbitkan oleh PBNU yang juga diindikasikan berbau komunis hanya karena ada
kata “PKI” dalam judulnya. Buku tersebut berjudul “Benturan NU-PKI 1948-1965”.
Saya sempat membaca sekilas buku itu dan menurut saya buku itu berisi paparan
sejarah konflik NU dan PKI dalam tahun yang tertulis dalam judul tersebut.
Namun sekali lagi, berapa banyak aparat yang membaca?

Selain alasan berbau komunis itu tadi, ada pernyataan bahwa
isi buku yang disita itu bukan isi sebenarnya tapi sudah diganti dengan buku
berisi buku ajaran komunis. Bagi saya ini konyol. Kenapa konyol? Karena sama
dengan alasan di atas, seberapa banyak aparat yang membaca, dan kedua tidak
masuk akal. Seandainya saya memang berniat meracuni pikiran dengan ajaran
komunisme, tentu saya tidak akan memasang sampul yang berjudul komunis atau PKI
atau sebangsanya. Saya lebih memilih menyampulinya dengan sampul buku yang
sedang populer seperti Dilan atau NKCTHI. Minimal saya plesetkan judulnya jadi
Nanti Kita Cerita Tentang Persatuan Kesatuan Indonesia (NKCTPKI). Lebih aman,
dan barangkali saya bisa menyembunyikan bau komunis dalam sampul buku populer
itu.

Lagipula memberantas ajaran komunis kok dengan merazia buku.
Itu jelas strategi yang memancing untuk dikecam masyarakat yang mulai melek
literasi. Lha masyarakat saja sudah
bisa mendapat informasi dengan mudah dari mana saja kok ya masih menggunakan
strategi yang sudah usang. Tanpa buku tentang ajaran komunisme saja, kita bisa
cari secara digital bukunya Marx atau Mao atau Stalin. Modal kuota internet
sama bahasa inggris saja cukup. Lagipula ide kok mau dibungkam dengan merazia
buku, kan sia-sia. Kalau memang ingin membungkam ide genosida adalah salah satu
cara efektif untuk menghilangkan sejarah kolektif. Tambah bunuh diri kan, pak?
Tapi apa (oknum) aparat itu tahu? Tentu saja tidak, karena sekali lagi berapa
banyak aparat yang membaca?

Jika anak yang tidak bisa membaca dengan mudah kita labeli
dengan label anak bodoh, apakah kita boleh melabeli aparat yang tidak bisa/mau
membaca dengan label aparat bodoh? Jika memang ada aparat yang bodoh, tentu
saja ia hanya menjadi alat penguasa (siapapun itu). Jika ia menjadi alat
penguasa, apakah aparat masih bagian dari rakyat? Apakah ketika ia digunakan
untuk menindas ia akan menurutinya karena itu adalah perintah “atasan”? Atau ia
akan menolaknya dengan dasar kemanusiaan?

Ketika aparat banyak membaca, saya pikir razia buku tidak
akan ada. Eh, mungkin bukan tidak ada tapi lebih minim. Namanya orang goblog itu selalu ada di setiap masa
kok. Aparat yang membaca mungkin akan datang ke diskusi-diskusi tentang
komunisme, kemudian melakukan konter argumen dengan data yang sama ilmiahnya,
dengan fakta bukan hanya sekedar menakuti dengan hantu yang sama sekali kita
ragukan eksistensinya. Tapi ya selama masyarakat kita ini masih percaya kalau
anak-anak yang masih main selepas maghrib bakal diculik wewe gombel, tentu saja
mereka akan tetap mudah ditakuti bahwa komunisme itu hantu yang menakutkan.
Padahal komunisme itu hanyalah ideologi yang berasal dari pikiran dan bisa
dipatahkan dengan memahami komunisme dan menemukan apa yang ramashook dari komunisme.

Saya jadi ingat sebuah obrolan dengan Bagus Panuntun ketika membicarakan tentang cerpen-cerpen Emanuelle Dongala yang kebanyakan berisi tentang anti komunisme. Saya pikir wajar saja Kamerun takut dengan komunisme karena mereka pernah dikuasai oleh rezim komunis dan komunistophobia di masyarakatnya sekarang tidak seperti di sini. Indonesia belum pernah merasakan rezim komunisme tapi menderita komunistophobia akut seolah seperti pernah merasakan rezim komunisme selama 32 tahun. Jangan-jangan misal dulu PKI berhasil kudeta dan rezim komunis menguasai negeri ini selama 32 tahun, kemudian rezim itu dirubuhkan dengan reformasi, people power, atau you name it lah. Saat ini mungkin kita bakal lihat banyak bokong truk dengan lukisan wajah Aidit dengan tulisan “Piye, penak jamanku to?”