Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul#113] Uban di Jenggot Krisyanto

author = Andreas Nova

Selera musik saya sepertinya berhenti di era 90an. Sesekali di tengah kejenuhan bekerja, saya acapkali membuka laman YouTube, biasanya saya hanya memilih beberapa video yang disarankan di beranda. Beranda YouTube saya isinya beragam, ada video Gaming, review gadget, review mobil, sampai cuplikan penampilan kompetisi musik, macam Indonesian Idol atau The Voice. Namun akhir-akhir ini saya sering merasa asing dengan lagu-lagu yang dibawakan. Perasaan ini tidak hanya terjadi saat nonton YouTube saja. Ketika acara karaoke (sebelum pandemi, tentu saja) bersama rekan-rekan sekantor, mereka memilih lagu-lagu dari penyanyi-penyanyi baru seperti Billie Eilish, Tones and I, dan sebagainya. Saya sih tetap dengan pede (dan fals) menyanyikan Foo Fighters, Audioslaves, dan band sejamannya. Paling baru ya Kertonyono Medot Janji-nya Deni Caknan.

Banyak yang bilang, dekade 90an adalah dekade terbaik untuk para pecinta musik. Kemungkinan besar yang bilang seperti itu, ya segenerasi dengan saya. Saya dibesarkan di sebuah rumah yang ruang tamunya dipasang speaker aktif oleh ayah saya. Sepasang speaker itu dihubungkan dengan tape deck, sebelum beberapa tahun kemudian diganti oleh compo bermerk Sony. Di kamar ayah juga ada sepasang speaker yang diletakkan di atas almari yang dihubungkan ke sebuah walkman (saya lupa merknya, tapi warnanya merah). Kedua perangkat itu bergantian memutar koleksi kaset milik ayah saya. Sejauh yang saya ingat, entah waktu TK atau awal SD saya sudah hafal lagu Bento dari album SWAMI I (1989)  atau lagu Hio dari album SWAMI II (1991) yang sering diputar oleh ayah saya. Sepulang sekolah kalau ayah saya belum pulang, saya sering memanjat rak untuk menjangkau tape deck yang lebih tinggi 30 cm dari jangkauan tangan saya.

Ayah saya penggemar musik rock. Secara tidak langsung, kuping saya akrab dengan band rock klasik baik yang internasional maupun lokal. Dari Led Zeppelin sampai Gong 2000. Sekitaran kelas empat atau lima SD saya perlahan mulai mencari “jati diri” selera musik saya. Tahun-tahun itu rasa-rasanya menjadi anak band itu keren sekali. Seorang teman yang bapaknya punya satu set alat musik (ternyata bapaknya adalah pimpinan sebuah grup campursari) mengijinkan saya belajar bermain-main dengan alat musik yang ada di rumahnya. Di sela kegiatan bermain-main itu saya menelusuri koleksi CD (ya, compact disk, maklum anak horang kayah) dan menemukan album kompilasi Indie Ten. Itu pertama kali saya mendengarkan Sobat-nya Padi. Saya waktu itu bilang, ini band keren dan bakal terkenal, setidaknya dibanding lainnya (walaupun di kemudian hari Caffeine dan Cokelat yang ada di album itu juga jadi lumayan terkenal).

SMP saya dan teman-teman membentuk band yang kalau tidak salah ingat kami beri nama Express, kami berlatih di sebuah studio di sekitaran Stasiun Klaten. Formasinya standar, ala Padi atau Sheila on 7 yang lagi ngetop-ngetopnya pada masa itu, dua gitar, satu bas, satu drum, satu vokal. Genrenya? Apa saja asal bisa kami mainkan. Maka kami akrab dengan band-band punk dan grunge yang biasanya akornya cuma itu-itu aja. Atau rock yang mengumbar power chord dimana-mana. Satu band yang jadi anomali waktu itu adalah Jamrud. Musiknya tetap gahar di sana-sini tapi ada sentuhan-sentuhan yang tidak ditemukan di band rock pada umumnya. Yang paling kelihatan ya nyanyi pake megaphone, atau bermain-main dengan narasi di liriknya. Keunikan-keunikan itu membuat Jamrud dapat satu tempat di hati saya.

Seperti yang diketahui, tahun 2007 Krisyanto sang vokalis sempat keluar dan digantikan oleh entah siapa namanya saya nggak peduli Donal. Tapi karakter vokal Krisyanto yang khas tentu saja membuatnya sulit tergantikan. Beberapa lagu hits Jamrud sempat diaransemen ulang untuk “disesuaikan” dengan vokal Donal. Ya memang terasa lebih segar tapi tidak lebih baik dari aransemen originalnya. Tengok album Ningrat di Spotify misalnya. Lagu Ningrat dan Asal British misalnya jadi aneh dan kurang nge-rock bagi telinga yang terbiasa mendengar versi originalnya. Ini ori tapi berasa cover gitu. 

Ketika Krisyanto kembali ke Jamrud pada tahun 2011, aransemen musiknya lebih “kekinian” dan entah kenapa rasa asing terhadap aransemen baru itu membuatnya tidak terasa Jamrud lagi. Saya nggak bisa move on dari lagu-lagu di album Putri (1997), Terima Kasih (1998), Ningrat (2000), dan Sidney 090102 (2002). Jamrud masih gahar, meskipun tidak seenerjik dulu.

Beberapa pekan lalu beranda YouTube saya menampilkan rekomendasi video Jamrud yang tampil di sebuah acara nikahan. Dari penelusuran saya, mempelai pria adalah anak dari Ricky Teddy sang bassis. Jamrud membawakan Ningrat, dengan Krisyanto yang jenggotnya sudah memanjang dan beberapa helai uban terselip di jenggotnya. Idola masa kecil saya sudah menua rupanya. 

Rasanya belum lama ketika saya merasakan excited mendengar album-album band 90an. Tapi kenyataannya sudah lebih dari 20 tahun dari masa itu. Melihat Piyu dan kawan-kawan sudah menjadi pakdhe-pakdhe di Padi Reborn, uban yang tumbuh di jenggot Krisyanto, keriput Aziz MS, seolah mengingatkan saya pada momen ketika saya mendengar James Owen Sullivan atau lebih dikenal dengan nama The Rev meninggal pada tahun 2009, ketika Avenged Sevenfold lagi tenar-tenarnya jelang album Nightmare (2010) akan dirilis. Beberapa track drum yang dimainkan Mike Portnoy terasa berbeda dari rasa tabuhan The Rev. Juga pada masa-masa ketika mendengar Chris Cornell dan Chester Bennington berpulang pada tahun 2017. Uban di jenggot Krisyanto mengingatkan saya bahwa yang fana adalah musisi, musik abadi.