Author: Tobma

  • Komik Siksa Neraka dan Teknologi Politis Orde Baru

    author = Royyan Julian

    Dalam literatur-literatur otoritatif Islam, imajinasi tentang alam eskatologi dibangun di atas struktur oposisi biner surga dan neraka. Surga adalah lokasi untuk orang-orang patuh, sedangkan neraka merupakan gulag di mana makhluk-makhluk pembangkang dijerumuskan. Para sarjana mencatat bahwa ilustrasi akhirat dalam teks-teks tersebut hanya metafora, sebab surga dan neraka tidak akan mampu dibayangkan dan dirasakan indra manusia di dunia.

        Meski demikian, upaya memvisualisasikan narasi eskatologis dilakukan, salah satunya adalah komik Siksa Neraka. Buku stensilan tersebut lahir dalam kebudayaan populer Indonesia pada 1970-an. Siksa Neraka paling terkenal adalah komik yang digarap Ema Wardhana dan MB Rahimsyah. Deksripsi neraka secara eksplisit dengan disertai keterangan membentuk citra menyeramkan dan memengaruhi psikologi pembaca, terutama anak-anak yang menjadi sasaran konsumen. Gambar-gambar tersebut dikontekstualisasi dengan mendemontrasikan alat-alat seperti setrika, jarum injeksi, gunting raksasa sehingga tampak kian virtual.

        Pada umumnya, komik tersebut dibuka dengan mengisahkan peristiwa Isra Miraj Nabi Muhammad. Surga dan neraka hadir dalam visi sang Nabi ketika sampai di Langit Ketujuh. Pada bagian itulah penampakan aneka siksaan diterakan dengan dramatis oleh pengarang.

    Secara implisit komik tersebut ingin berkata bahwa siksaan Tuhan amat pedih. Tuhan yang tidak tampak merupakan sutradara yang mengoperasikan mesin-mesin siksaan di balik layar. Internalisasi despotisme Ilahi yang dilukiskan dalam komik tersebut membentuk ethics of fear di benak pembaca bahwa agama harus dijalankan dengan penuh ketakutan; bertolak belakang dengan etika spiritualisme kaum sufi yang mencitrakan kerahiman Tuhan lebih besar daripada kemurkaan-Nya.

        Absolutisme kekuasaan Tuhan dalam Siksa Neraka mengingatkan saya akan otoritas raja pada awal sejarah hukuman yang dicatat Michel Foucault dalam karyanya, Discipline and Punish (1975). Pada satu bagian, Foucault membahas siksaan sebagai metode hukuman dalam teknologi politis terhadap tubuh. Teknologi politis mengandaikan tubuh sebagai lokus di mana kekuasaan beroperasi via hukuman. Siksaan merupakan cara menghukum dengan menyentuh tubuh secara langsung. Siksaan menampilkan konfrontasi badaniah. Dalam siksaan, pihak terhukum tidak dipandang sebagai subjek yuridis, tetapi objek fisik yang menjadi sasaran utama sanksi.

    Menurut Foucault penyiksaan berfungsi sebagai upacara ritual pengadilan. Upacara ritual pengadilan dijalankan untuk menghasilkan kebenaran kejahatan individu. Siksaan dilaksanakan setelah dilakukan penyidikan atas dokumen tuduhan yang berisi pengetahuan tentang terdakwa. Proses peradilan tersebut dilakukan secara rahasia, tertutup, dan sentralistik. Keputusan mutlak ada di tangan raja.

    Penyiksaan merupakan mekanisme peradilan lanjutan untuk melegitimasi keputusan raja. Oleh karena itulah penyiksaan berwajah ambigu. Di satu sisi penyiksaan adalah konsekuensi atas keputusan pengadilan. Di sisi lain, rasa sakit penyiksaan diharapkan menghasilkan pengakuan langsung dari mulut yang diadili. Dalam hal ini, teriakan si korban merupakan tanda pengakuan bahwa ia bersalah.

    Dalam satu versi, beberapa panel komik menampilkan adegan organ-organ tubuh yang bersaksi atas kejahatan yang pernah dilakukan pemiliknya. Kesaksian organ-organ tubuh si korban merupakan dokumen pengetahuan individu yang menjadi rujukan pengadilan. Mekanisme tersebut menghasilkan keputusan Tuhan yang mahamutlak dan adil.

    Di neraka yang digambarkan dengan latar api, orang-orang disiksa secara kejam sesuai kualitas dan kuantitas kesalahannya. Dalam sejumlah panel komik, para kriminal menjerit dengan berbagai seruan seperti “Tolong!!!”, “Wuaaa!”, “Arghhh!”, “Tobat!!!”, “Waduh, Biyung!!!”, dan sebagainya. Teriakan-teriakan tersebut merupakan pengakuan tidak langsung atas kejahatan yang dilakukan korban.  

    Bagi Foucault, penyiksaan juga berfungsi sebagai upacara ritual politis. Penyiksaan dijalankan untuk menunjukkan kekuasaan raja. Penyiksaan dilaksanaan sebagai hukuman yang dipertontonkan di hadapan publik untuk menunjukkan relasi asimetris antara raja yang adikuasa (superpower) dan korban yang tunakuasa (powerless). Siksaan yang “dipanggungkan” di depan khalayak menjadi pertunjukan kemegahan raja. Hukum adalah sinonim kekuatan raja. Oleh karena itu, siapa pun yang melanggar hukum, penyiksaan ditimpakan kepadanya sebagai retribusi dendam dan untuk memulihkan kekuasaan raja yang telah dilukai.

    Siksa Neraka mempertontonkan relasi tidak sebanding antara kemahakuasaan Tuhan dengan kedaifan manusia. Dalam komik tersebut, kerentanan manusia terlihat begitu mencolok. Siksaan brutal dilakukan secara bertubi-tubi tanpa henti. Kebengisan itu kian mengerikan karena di akhirat manusia tidak bisa mati meski tubuhnya dihancurkan berkali-kali. Imortalitas manusia membuat siksaan itu semakin menyakitkan.

    Hukuman itu harus menggoreskan bekas di tubuh korban. Bilur, luka, memar, dan daging yang hancur bukan hanya akibat dari tubuh yang disiksa, melainkan penanda bahwa kemuliaan sang penguasa tidak terkalahkan. Dalam Siksa Neraka, tubuh manusia yang menjelma babi, binatang buas, jerangkong, atau berperut buncit adalah stigma atas seluruh kesalahan korban sekaligus penanda politis kemahakuasaan Ilahi.

    Siksaan merupakan anatomi politis kuno di mana kekuasaan dieksekusikan melalui hukum yang berhadapan dengan tubuh secara langsung. Ketaatan diajarkan melalui teror, ancaman, kekerasan, dan disebarkan dengan cara mempertontonkannya kepada publik. Proses disiplin ini diharapkan menghasilkan tubuh yang patuh sebagai syarat utama menjadi individu berguna. Dalam hal ini, visualisasi siksa neraka disebarkan kepada audiens pembaca—khususnya anak-anak—untuk menghasilkan umat yang tunduk.

    Disiplin tubuh ala Siksa Neraka mengingatkan kita kepada mekanisme hukum rezim Orde Baru (Orba). Dengan gaya militeristik dan sewenang-wenang, rezim Orba kerap menghukum orang tanpa diadili—yang menunjukkan keabsolutan penguasa. Kebengisan ditunjukkan dengan cara bagaimana Orba menyiksa dan menghabisi korban yang kebanyakan merupakan pihak yang dianggap musuh politik. Untuk memperoleh kebenaran kejahatan, investigasi kerap dilakukan secara tertutup disertai kekerasan. Pseudoinvestigasi ini menghasilkan pengakuan yang dipaksakan kepada korban. Bahkan, kelahiran rezim Orba dibidani oleh kekejaman terhadap partisan dan orang-orang yang dianggap Komunis. Siksa Neraka yang lolos sensor dan didistribusikan secara masif seolah-olah merepresentasikan realitas hukum pada saat komik itu terbit pertama kali. Narasi Siksa Neraka mewakili banalitas kebrutalan hukum Orba. Pada rezim Soeharto, kekerasan aparat dianggap wajar-wajar saja—termasuk kekejian terhadap masyarakat daerah operasi militer, aktivis proreformasi, dan korban penembak misterius. Bagi tumbal-tumbal politik Orba seperti para penyintas pascakekerasan 65, misalnya, siksa neraka telah mereka rasakan melalui mesin militer sebelum akhirat yang sesungguhnya tiba.

  • Kisah Para Majus dalam Puisi Epik Juvencus

    author = Mario F. Lawi

    Di tahun-tahun terakhir masa SD saya, belasan sampai 20 tahun lalu, para suster dari kongregasi RVM sering datang dan memberikan bantuan pelayanan di kapel St. Fransiskus Xaverius, Naimata. Di salah satu masa, sebagai bagian dari misi pelayanan mereka, mereka mengumpulkan anak-anak berusia SD sampai SMP, membentuk organisasi Sekami (Serikat Kepausan Anak Misioner), dan meminta anak-anak tersebut untuk membawakan drama tentang kelahiran Yesus. Kami dipilih untuk memerankan Yosef, Maria, para Majus, malaikat Gabriel, dan para gembala. Saya dipilih memerankan seorang gembala yang gemar memainkan seruling. Drama Natal tersebut adalah satu dari dua drama yang pernah saya bawakan sebagai anggota Sekami.

    Di bagian penampakan Gabriel kepada para gembala untuk mengabarkan kelahiran Yesus, para suster meminta kami untuk membayangkan hal-hal yang kami takuti sehari-hari. Bertahun-tahun kemudian, saya beranggapan, ketakutan para gembala jauh lebih besar dari yang pernah kami rasakan. Mereka bertemu dengan makhluk yang seumur hidup belum pernah mereka lihat. Di tengah ketakutan tersebut, mereka justru mendengarkan kabar gembira. Drama ditutup dengan adegan kelahiran Yesus dan kedatangan tokoh-tokoh lain mengelilingi kandang tempat Yesus dilahirkan. Tidak ada yang memerankan Bayi Yesus. Penanda kelahiran diganti dengan suara tangisan anak kecil yang direkam dengan kaset pita dan diperdengarkan melalui pengeras suara. 

    Drama Natal adalah salah satu bentuk adaptasi paling populer terhadap kisah kelahiran Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru. Di dalam naskah drama, para penulis menambahkan dialog-dialog para tokoh kecil, bagian yang tidak kita temukan dalam keempat Injil. Pada awal Abad Pertengahan, adaptasi terhadap kisah Injil yang dikerjakan para penulis dengan menggunakan bentuk puisi. Sejumlah penyair Romawi yang hidup sejak awal abad ketiga sampai sekitar abad kedelapan Masehi memindahkan kisah-kisah dalam Alkitab ke dalam puisi-puisi mereka. Salah satunya adalah penyair bernama Juvencus.

    Biografi paling terkenal Juvencus kita peroleh dari Santo Hieronimus, penerjemah bahasa Latin Alkitab. Dalam salah satu bagian dari karyanya yang berjudul De viris illustribus (Tentang Orang-Orang Terkenal), Hieronimus menulis begini tentang Juvencus: “Juvencus, nobilissimi generis, Hispanus presbyter, quattuor Evangelia hexametris versibus paene ad verbum transferens, quattuor libros composuit, et nonnulla eodem metro ad sacramentorum ordinem pertinentia. Floruit sub Constantino principe.” Saya sertakan terjemahannya dalam bahasa Indonesia: “Juvencus, keturunan bangsawan tinggi, imam Spanyol, menerjemahkan empat Injil ke dalam baris-baris heksameter nyaris kata demi kata, menyusun empat buku, dan beberapa karya dalam metrum yang sama yang menyinggung susunan misteri-misteri. Ia berkembang di bawah pemerintahan Konstantinus.”

    Informasi Hieronimus adalah sumber terbesar biografi Juvencus, seorang imam Spanyol yang menulis epik dalam empat buku berdasarkan keempat Injil, terutama Matius. Konstantinus Agung atau Konstantinus I yang dimaksudkan dalam informasi Hironimus tersebut adalah kaisar Romawi yang memerintah dari tahun 306 sampai tahun 337 Masehi. Dari informasi tersebut, kita bisa mengetahui bahwa Juvencus berkarya pada abad keempat Masehi. Empat buku yang disusun oleh Juvencus adalah puisi epik berjudul Evangeliorum Libri Quattuor (Empat Buku Injil, selanjutnya akan disingkat ELQ). ELQ adalah puisi epik Latin alkitabiah pertama dalam tradisi Barat dari periode Late Antiquity. Dalam tradisi sastra berbahasa Yunani dan Latin, puisi epik ditulis dalam metrum heksameter, metrum yang digunakan oleh Homeros dan Vergilius, dua penulis puisi epik terbesar dari bahasa Yunani dan Latin. Di bagian pembuka epik, Juvencus menyatakan dirinya sebagai penyair epik ahli waris kedua penyair tersebut. Menurut Juvencus, tidak seperti kedua penyair pagan yang mengisahkan dusta, ia tampil sebagai penyair epik yang menyampaikan kebenaran. Jika epik kedua penyair tersebut mendatangkan kemasyhuran jangka panjang, maka si penyair Kristen berpendapat bahwa epiknya pun akan mendatangkan pujian abadi baginya.

    ELQ berjumlah empat buku seperti jumlah Injil Perjanjian Baru, tetapi Juvencus tidak menulis setiap buku epiknya untuk mewakili masing-masing Injil. Sumber utama cerita dalam ELQ adalah Injil Matius. ELQ ditulis dalam bahasa Latin yang digunakan para penyair Romawi sebelumnya, terutama Vergilius dalam karya-karyanya. Sebagai epik Latin biblikal pertama, epik Juvencus adalah standar bagi epik-epik Kristen yang ditulis setelahnya, terutama epik-epik biblikal. Lima epik biblikal lain dari periode Late Antiquity adalah Heptateukhos, Carmen Paschale karya Sedulius, Historia Apostolica karya Arator, Aletheia karya Victorius, dan De Spiritalis Historiae Gestis karya Avitus. Karena menggunakan teks para penyair pagan sebagai referensi untuk mengisahkan ulang cerita-cerita dalam Injil, baris-baris puisi Juvencus merupakan Kontrastimitation, kerja imitasi membuat isi teks baru yang bertentangan dengan, bahkan mengoreksi, teks terdahulu. 

    Menurut catatan Hieronimus, Juvencus memindahkan kisah Injil ke dalam epiknya “paene ad verbum,” nyaris kata demi kata. Saya tidak mengakses Injil versi Vetus Latina (Latin Tua), terjemahan Latin yang digunakan sebelum versi Vulgata Hironimus ada, maupun versi Yunani yang digunakan pada zaman Juvencus. Namun, jika ELQ dibandingkan dengan Injil terjemahan Vulgata maupun bahasa Indonesia, puisi-puisi Juvencus memang jelas terbaca sebagai pemuisian kisah-kisah prosaik dalam Injil secara ketat, yang membentang dari kisah pemberitahuan kelahiran Yohanes Pembaptis dan Yesus di awal buku 1 sampai kisah pengutusan para murid pascakebangkitan di akhir buku 4. Juvencus menulis epiknya dengan memasukkan sedikit komentar, salah satu aspek yang membedakan epiknya dari epik Carmen Paschale karya Sedulius. Dalam Carmen Paschale, komentar Sedulius terhadap kisah-kisah yang ia adaptasi dari Alkitab memiliki porsi lebih banyak.

    Saya akan membahas salah satu bagian dalam ELQ yang berkaitan dengan tiga Majus dari Timur. Gereja Katolik Roma merayakan Epifani atau Hari Raya Penampakan Tuhan setiap tanggal 6 Januari. Peringatan tersebut juga dirayakan sebagai Pesta Tiga Raja atau para Majus. Para Majus adalah pars pro toto dari bangsa-bangsa di dunia yang datang memberikan hadiah bagi Yesus yang baru dilahirkan. Sumber kisah tentang Gaspar, Balthasar dan Melkior—nama ketiganya—dalam puisi epik Juvencus adalah Matius 2:1-12. Kisah para Majus dalam epik ELQ direkam dalam 31 baris di buku pertama, yakni baris 224-254.

    Secara singkat, cerita dalam baris-baris tersebut dapat diparafrasakan sebagai berikut: ketiga Majus adalah orang-orang unggulan dari sebuah bangsa di Timur yang terkenal pandai membaca tanda-tanda bintang (baris 224-226). Ketiganya adalah orang-orang terpilih (delecti) yang menempuh perjalanan panjang ke Yerusalem, bertemu Herodes sang raja setempat dan menanyakan di daerah Yudea sebelah manakah Bayi yang baru lahir itu berada, karena bintang telah menuntun mereka untuk datang menyembah-Nya (baris 227-232). Herodes yang takut (territus Herodes) pun mengumpulkan para imam kepala (culmina vatum) dan ahli Taurat untuk menelusuri naskah-naskah yang ditinggalkan para leluhur guna mencari tahu di manakah tempat lahir Kristus yang telah diramalkan para nabi (baris 233-237). Naskah-naskah tersebut menunjukkan bahwa Ia yang dikabarkan memerintah Israel dengan kekuatan suci dilahirkan di Betlehem (baris 238-240). Herodes meminta kepada para Majus dari Persia tersebut untuk gigih mencari Sang Bayi dan mengabarkan kepadanya tempat kelahiran-Nya (baris 241-242). Di dalam perjalanan mencari tempat lahir, para Majus melihat bintang berekor dan bersyukur atas kehadiran bintang tersebut (baris 243-246). Setelah melihat Si Bayi dalam dekapan ibu-Nya, para Majus merendah ke tanah, bersama mendoakan Sang Bayi. Para Majus juga mempersembahkan tiga hadiah yakni kemenyan, emas dan mur sebagai penghormatan terhadap Sang Bayi sebagai Tuhan, raja dan manusia—“munera trina tus, aurum, murram regique hominique Deoque dona dabant” (baris 247-251). Mimpi buruk memberitahukan para Majus untuk menghindari Herodes sang tiran, sehingga mereka pulang ke tempat mereka lewat jalan berbeda (baris 251-254).

    Meski secara umum kisah ELQ serupa dengan versi Matius, ada enam penjelasan dan perubahan yang ditawarkan Juvencus dalam epiknya, yang dapat saya identifikasi dan tunjukkan. Keenam temuan di bawah juga berfungsi untuk menutup tulisan ini:

    Pertama, Bayi yang dicari oleh para Majus dalam epik ELQ bukanlah raja Yahudi (rex Iudaeorum) seperti versi Matius, melainkan Allah kudus yang muncul di bumi (exortum terris venerabile numen, baris 232). Juvencus menggunakan kata “numen” untuk menunjuk “Allah,” tetapi kata tersebut juga bisa berarti “tanda, kehendak, sabda”, hal-hal yang juga tercakup dalam diri Sang Bayi Natal. Kata yang sama, “numen”, digunakan penulis puisi cento De Verbi Incarnatione, satu puisi biblikal lain dari periode Late Antiquity, untuk menunjukkan “kekuatan tak dikenal” (ignotum numen) yang mengacaukan hati manusia. Dengan perbandingan tersebut, kita mengetahui bahwa dalam dua puisi berbeda dari periode yang sama, satu kata bisa dimaknai secara bertentangan. 

    Kedua, Herodes dalam versi ELQ adalah Herodes yang ketakutan (territus Herodes), bukan Herodes yang sekadar terkejut (turbatus Herodes) seperti versi Matius. Dengan menggunakan kata “territus,” Juvencus memberikan motif lebih kuat bagi anjuran mimpi yang diikuti para Majus dan kejahatan pembunuhan bayi-bayi yang dilakukan Herodes di bagian selanjutnya. 

    Ketiga, Kontrasimitation yang bisa ditemukan dalam narasi para Majus versi ELQ adalah pengubahan konteks kalimat puisi Vergilius untuk menyatakan kekuasaan Kristus. Baris 236 dalam epik ELQ, “quae sint genitalia moenia Christo,” (kota kelahiran Kristus) adalah adaptasi atas epik Aeneis buku 3 baris 100. Dalam konteks Vergilius, baris yang berbunyi “quae sint ea moenia quaerunt” (kota yang orang-orang Troia harapkan) tersebut adalah bagian dari nubuat Apollo. Itulah tempat leluhur, pertiwi purba, “antiqua mater”, yang diminta Apollo untuk ditemukan melalui kalimat imperatif: “antiquam exquirite matrem,”—temukanlah ibu purba kalian! Dalam epik ELQ, konteks nubuat Apollo tentang kota terjanji bagi orang-orang Troia diubah oleh Juvencus menjadi nubuat para nabi Yahudi tentang kota kelahiran Kristus.

    Keempat, kalimat langsung dalam Matius ketika para imam kepala dan ahli Taurat mengabarkan kota kelahiran Kristus diubah Juvencus menjadi kalimat tak langsung dalam epiknya. Adapun kalimat langsung dalam versi Matius berbunyi begini, “Mereka berkata kepadanya: ‘Di Betlehem di tanah Yudea, karena demikianlah ada tertulis dalam kitab nabi: Dan engkau Betlehem, tanah Yehuda, engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena daripadamulah akan bangkit seorang pemimpin yang akan menggembalakan umat-Ku Israel.’” Dalam ELQ, informasi tersebut dirumuskan dalam kalimat tak langsung: “Naskah-naskah menunjukkan bahwa Ia yang dikabarkan memerintahkan bangsa kudus Israel dengan kekuatan suci akan (sedang menunggu untuk) dilahirkan di Betlehem.”

    Kelima, penerjemah Latin Injil Matius hanya menggunakan kata “stella” untuk merujuk kata “bintang” yang menuntun para Majus. Dalam epik ELQ, Juvencus menggunakan tiga kata berbeda untuk merujuk “bintang,” secara berurutan, kata-kata tersebut adalah “astrum” (di baris 225, dalam bentuk genitif jamak), “stella” (di baris 230, dalam bentuk genitif tunggal; dan di baris 243, dalam bentuk akusatif tunggal), dan “sidus” (di baris 246, dalam bentuk akusatif tunggal). Ketiga kata tersebut dipakai untuk konteks berbeda: “astrum” untuk menunjukkan keahlian perbintangan para Majus dan orang-orang di Timur sehingga bisa juga diterjemahkan sebagai “konstelasi”; “stella” digunakan dalam pengertian bintang penuntun; sedangkan “sidus” digunakan dalam konteks “bintang sebagai penanda kelahiran” atau “bintang kelahiran”. Pengaruh pilihan kata dan urutan yang digunakan Juvencus bisa kita temukan dalam puisi epik Carmen Paschale karya Sedulius. Sedulius menggunakan tiga kata tersebut sesuai urutan dan maksud yang ditunjukkan Juvencus ketika mengisahkan para Majus dalam buku 2 epiknya, berturut-turut: “astrum” (baris 77), “stella” (baris 78), dan “sidus” (baris 90).Keenam, hadiah kemenyan, emas dan mur yang dipersembahkan para Majus diberi makna oleh Juvencus, informasi yang tidak kita jumpai dalam Injil Matius. Kemenyan adalah persembahan kepada Yesus Sang Allah, emas sebagai persembahan kepada Yesus Sang Raja, dan mur sebagai persembahan kepada Yesus Sang Manusia. Juvencus menderetkan persembahan dan persona yang ditunjukkan persembahan tersebut dalam satu baris “Tus, aurum, murram regique hominique Deoque” (baris 250). Komentar yang lebih panjang tentang makna persembahan tersebut diberikan Sedulius dalam puisi epiknya. Menurut Sedulius: “Mereka mencurahkan hadiah emas bagi raja yang baru lahir” (buku 2 baris 95); “Mereka menyerahkan kemenyan kepada Allah” (baris 96); dan “memberikan mur untuk makamnya” (baris 96). Dalam baris 96 tersebut, “makam” adalah petunjuk kemanusiawian Yesus. Sedulius juga berpendapat bahwa ketiga bersembahan tersebut menunjukkan kekuasaan Allah pada masa lalu, masa kini, dan masa depan (baris 97-101).

    Keterangan gambar: The Adoration of the Magi, Gerard David (circa 1450)

  • Kereta dan Melankolia

    author = Ramayda Akmal

    Saat itu awal bulan januari, pukul 5 sore. Hari sudah sepenuhnya gelap ketika kereta yang saya naiki berhenti di atas rel yang melintasi sungai Elbe, dengan kemiringan sekitar 20 derajat. Semua orang berwajah menunggu dan bertanya, walau tidak ada yang benar-benar bertanya. Sampai kemudian sebuah pengumuman, yang sedikit darinya bisa saya pahami, memberi tahu kereta akan berhenti sepuluh menit dan beralih jalur. Es turun rintik-rintik terdengar menempel di kaca jendela. Permukaan sungai sesekali berkilau. Seorang nenek di depan saya bergumam sambil mengelus-elus anjingnya. Saya cuma bisa paham satu kata, dan kebetulan penting, selbstmord. Saya tidak kaget. Musim dingin musim bunuh diri. Dan pikiran pun mengembara, mengingat banyak hal kemudian.

    Momen terjebak di kereta pada musim dingin itu adalah salah satu momen paling melankolis dalam hidup saya. Tentu saya pernah mengalami situasi serupa, ketika melihat hujan dari jendela rumah orang asing, mendengar lagu sedih yang tidak bersyair, atau mengingat seseorang yang telah pergi bahkan ketika kita belum sempat dekat. Akan tetapi poin-poin yang terakhir ini sangat spesifik pada diri saya, sementara yang terjadi di dalam kereta, adalah yang saya yakin dialami juga oleh jutaan umat manusia lainnya. Kereta dan Anna. Kereta di Gare Saint Lazare dalam kanvas Monet. Kereta dan orang-orang yang diselamatkan Herr Schindler ataupun yang tidak. Kereta dan keroncong Di Tepinya Sungai Serayu di Stasiun Kroya. Kereta dan zombie. Kereta dan perampokan, dan lain-lain, yang kemudian membangkitkan tanya, mengapa kereta tidak henti-henti menjadi objek yang melekat dengan melankolia? Lalu apa sebenarnya melankolis itu? Sifat dari apakah itu?

    Sebuah film garapan Lars Von Trier, dengan judul yang sama, Melancholia (2011), telah membuat saya muntah dan demam selama dua hari setelah menontonnya. Apakah demikian gambaran dan gejala mengalami melankolia? Bisa jadi. Secara sederhana (meskipun memiliki sejarah dan pembicaraan yang kompleks) melankolia dipahami sebagai perasaan yang muncul karena gabungan kondisi-kondisi tertentu, semisal, kesedihan, cinta dan ketakutan. Perasaan itu menimbulkan gejala dari mulai cemas dan gangguan psikis lain sampai muntah-muntah. Perasaan itu bisa muncul kapanpun, pada orang dalam suasana yang berbeda-beda dengan kombinasi yang kadangkala fantastis (silakan tonton Train to Busan (2016) untuk menguji ‘kefantastisan’ itu).   

    Lalu, pada bagian apakah dalam kereta, yang membuatnya jadi sangat sensitif menciptakan gabungan suasana untuk menggerus saya dalam melankolia? Apakah itu karena lanskapnya? Hampir dua tahun, setiap pagi dan sore, saya menggunakan kereta (U-bahn) yang sama, melewati jalur yang sama, dalam waktu-waktu yang juga kurang lebih tetap. Pada menit-menit pertama, kereta melaju menembus hutan kota, lalu masuk ke bawah tanah. Kemudian sepertiga waktu perjalanan dihabiskan di terowongan yang menembus danau Alster, perumahan-perumahan, jalan dan ketika keluar, kereta menambah kecepatan melaju di rel-rel yang nyelip di antara gedung-gedung perkantoran. Terlihat sempurna, bukan? Namun, kereta melaju cukup cepat dengan akselerasi yang tidak terduga, sehingga tidak cukup nyaman untuk melihat lanskap di luar jendela, kecuali ketika berhenti. Akhirnya saya pun selalu meluruskan wajah, mengamati gerbong. Dan saya pun tahu, hampir tidak ada penumpang yang melemparkan pandangan ke jendela. Kalaupun ada, suatu ketika saya mengalaminya sendiri, mereka tidak benar-benar melihat lanskap di luar jendela. Kaca jendela kadangkala masih memantulkan wajah penumpang di sampingnya, dan ketika dua orang saling sama-sama memperhatikan wajah penumpang di depannya, itu menjadi ketidaknyamanan. Dan jika ada orang saling memandang lama, berarti ada sesuatu yang sedang mereka komunikasikan. Setelah itu mungkin mereka akan menyelidik cincin di jari, melihat gerakan mata, dan mungkin tersenyum, atau malah membuang muka. Pernah suatu ketika, di depan saya, sepasang muda-mudi kasmaran duduk dan berciuman. Setiap kali saya meluruskan wajah-yang artinya menghadap mereka, mereka cepat-cepat memandang saya seperti memandang orang tua yang tidak pengertian. Jadi, lanskap di dalam gerbong pun bukan berarti bisa dinikmati tanpa dipilih. Saya hanya bisa memandang kursi yang kosong, layar digital yang berisi informasi dan berita-berita singkat terkini, rute-rute dan kadangkala satu dua iklan yang ditempel. Kecuali tentu saja melihat dengan curi-curi, dengan keberanian, dengan risiko.

    Mungkinkah itu suara dari kereta? Suara dinamis kereta ketika berjalan, suara desis remnya, suara terompetnya, suara peluit masinis, sudah pasti mendukung suasana yang melankolis. Akan tetapi, kereta yang saya tumpangi hampir tidak ada suara sama sekali. Kalaupun ada, itu hanya bunyi alarm ketika pintu akan ditutup atau bunyi pengumuman di setiap stasiun. Juga jarang sekali saya bisa mendengar suara manusia karena jarang orang bercakap-cakap. Ada beberapa gerbong yang bahkan dilarang bagi penumpangnya untuk berbicara. Pernah ada beberapa masa pengecualian, seperti ketika seorang pengemis berorasi meminta uang untuk makan, yang seringkali sangat singkat karena cara itu tidak efektif untuk sekadar mendapat receh. Sebab memberi uang untuk pengemis hukumannya lebih besar daripada menjadi pengemis itu sendiri. Pernah juga, seorang pengamen berbiola, dengan percaya dirinya menggesekkan Salute d’amour di antara perjalanan menembus hutan-hutan. Saya sangat gembira mengenang saat itu. Walau tidak ada satu menit kemudian, seorang laki-laki paruh baya, yang duduk tidak jauh dari tempat pengamen berdiri, dan kebetulan berhadapan jauh dengan tempat saya duduk, mengacungkan jari telunjuknya ke pengamen, menggoyangkan ke kiri dan ke kanan, sementara tangan yang lain mengeluarkan dompet identitas. Ia tidak bangkit dari duduknya dan tidak mengeluarkan suara. Ia berpenampilan seperti layaknya mahasiswa, hanya sedikit lebih baik. Sepatu Tomy Hilfiger, jaket Mammut dan tas Northface (Maafkan kegagalfokusan saya, anggap saya ini tren terbaru dalam mengidentifikasi polisi). Pengamen hanya mengangkat bahu, dan kemudian turun di stasiun berikutnya. Pernah seorang cacat bersama pendampingnya, duduk di depan saya. Ia berusaha berbicara dengan saya, menggunakan bahasa Jerman dengan ketidakjelasan pronounce karena pengaruh cacatnya tersebut. Mendapatkan tiga bentuk kesulitan: keterbatasan bahasa Jerman saya, ditambah dengan pengucapan yang kurang jelas dan rasa khawatir karena bercakap-cakap di kereta, saya berusaha membalas pertanyaan-pertanyaan anak itu sepelan dan sewajar mungkin. Saya ingat, orang cacat tidak boleh dianggap lemah atau diperlakukan berlebihan. Begitu peraturannya. Saya cukup cemas waktu itu, tetapi bukan cemas yang demikian yang menghadirkan melankolia.

    Pernah suatu ketika, suara dan lanskap menyatu dalam jam sibuk yang membuat saya mendapatkan momen langka yang cukup nikmat. Saat itu saya pulang dengan kereta tujuan airport. Kursi penuh sehingga banyak penumpang berdiri. Di saat kacau seperti ini, suara sesekali muncul dan kita bisa memandang lebih bebas ke arah mana saja. Di depan saya, seorang laki-laki menyanding dua koper, berjenggot tebal dan membaca kusyuk novel kriminal yang sangat tebal. Perlu diketahui lebih dari separuh penumpang kereta selalu membaca, baik duduk atau berdiri, lengang atau berdesakan. Di sebelah saya, sepasang kakek nenek terdengar berdebat masalah di stasiun mana mereka akan berhenti. Di depan kakek nenek itu, seorang laki-laki mendengarkan musik melalui ponselnya, tanpa headphone dan cukup keras. Mukanya merah dan matanya berair. Jangan ditanya baunya. Ia tidak berhenti menggoyang-goyangkan kepalanya. Sepertinya ia mabuk kokain. Di pojok jauh, dua orang laki-laki duduk, masing-masing memangku perempuan, yang cantik dan elegan dalam riasan, tetapi tampak lelah dan bosan. Sementara orang terus lalu lalang di setiap pemberhentian. Meski cuma sebentar, karena satu persatu mereka turun, saya menikmati suasana itu. Walau kemudian hening lagi, mencekam lagi.

    Jadi baik lanskap atau suara dari kereta, tidak mendukung hadirnya situasi melankolis, kecuali justru dalam keterbatasannya. Keindahan-keindahan lanskapnya yang samar, yang datang sebentar dan berlalu, kerumunan yang dekat tapi asing, keriuhan yang terdengar tapi tidak bermakna, semuanya menarik kita dalam momen-momen yang terasa indah saat kita sudah kehilangannya. Seperti saya suatu ketika di kereta, yang akhirnya hanya bisa menatap pojokan kursi, mengotak-atik kuku sendiri, merenungi kejadian saat profesor melemparkan proposal penelitian saya dan berkata, “kajian poskolonial di Indonesia itu berlebihan!” sementara lanskap-lanskap berlalu dan suara-suara memudar. Beginikah melankolia? Begitulah melankolia!
    2017

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

  • Kemesraan Simbolik: Silang Sebuah Pernyataan Kepada Kehidupan

    author = Ichsan Nurseha

    Ada yang menarik buat saya pribadi ketika usai menonton film garapan Richard Oh yang berjudul “Terpana”. Film ini tersiar pada tahun 2016, maklum saya memang menjadi salah seorang yang lamban dalam memerhatikan laju dari arus pergerakkan film, untuk beberapa film saya biasanya hanya bertukar informasi dengan teman-teman, kawan, yang ada di sekitar. Sehingga kemarin, ketika sedang chit-chat atau obrol ringan seputar film di aplikasi WhatsApp(WA), salah-satu kawan karib merekomendasikan saya film tersebut.

    Dalam film tersebut saya tidak ingin mengupas apa yang terjadi di dalamnya. Ada baiknya, jika kalian yang belum sempat menyaksikan film tersebut, ya tinggal cari sendiri saja. Sebab dalam hal ini, saya hanya ingin membahas sebuah pernyataan dalam film tersebut, yang kiranya mampu memberikan impresi yang cukup kental bagi saya dalam singgungannya kali ini dengan suasana hidup kita dewasa ini, bunyi dialognya seperti ini: “Jumlah semua probabilitas sama dengan satu”.

    Kalimat tersebut tengah diucapkan oleh seorang tokoh yang sedang bermain dalam film tersebut. Saya lupa siapa namanya, tetapi apa yang baru saja ia katakan kepada lawan mainnya dan—meskipun ini hanya sebuah film—yang tentu telah mendapatkan porsi dan penempatan dengan penuh perhitungan yang cermat, menandakan bahwa karya ini telah berhasil menyampaikan sebuah pesannya, dan berlanjut akan diakui sebagai kesan oleh para penikmatnya. Sederhananya, karya ini telah dan bisa dikatakan sebagai karya yang bagus. Sebab ia mampu memberikan sebuah sentilan yang mana itu memang menjadi sebuah goal dan tujuan saat karya itu bermula untuk dihadirkan dan dinikmati di kalangan masyarakat.

    Lanjut kita masuk ke dalam pernyataan “Jumlah semua probabilitas sama dengan satu”. Di tengah suasana hidup yang di setiap bagian dan sektor manapun sesak sekali dengan tema pembicaraan wabah akhir-akhir ini, membuat kita seringkali bertanya-tanya pun sekaligus di setiap perjamuan antar kopi(tatap-langsung) maupun via daring telah menjadi tema yang mesti dibahas di setiap pertemuannya. Dan jika saya kaitan fenomena-fenomena akhir-akhir ini dengan satu pernyataan itu sebetulnya ya pasti semuanya akan mengalir dan berjalan ke satu arah. Sehingga mau ada dan timbulnya pelbagai banyak kemungkinan yang seringkali diciptakan oleh manusia di dalam kepalanya, ketika sedang membayangkan, meneroka, dan membuat sebuah prediksi berskala mikro dalam sebuah kejadian yang belum terjadi dalam hidupnya atas wilayah hidup yang sedang dijalani, pasti itu semua akan terjadi sebagaimana hal itu memang sudah lumrah terjadi. Ketika suatu kejadian itu terjadi, pasti kalau tidak “begitu” ya mungkin “begini“, atau “begono“, “begindang” dan lain sebagainya.

    Dari hal tersebut, beberapa kejadian dan fenomena yang sedang terpampang jelas dan nyata di mata kita sebetulnya sedang memberikan sebuah gambarannya, yang hal itu kiranya tidak kurang seperti sebuah deretan, dan dari deretan-gambar tersebut mengandung sebuah kisah di dalamnya. Makna tersirat. Masing-masing di antaranya memiliki jalan dan alurnya sendiri-sendiri, setiap orang, individu, masyarakat, petani, nelayan, tukang bakso, tukang buku, tukang rambut nenek bahkan—sampai anak indigo sekalipun. Hal yang nampak dan kasat mata, yang mampu kita saksikan menjadi sebuah fenomena yang di dalamnya terkandung amanat dan pesan. Jangan bersikap dan menuduh saya sebagai orang yang sok tahu, tapi tak mengapa jika kalian beranggapan demikian. Karena pada dasarnya memang begitu, dan begitu lah semuanya nampak berjalan.

    Seperti apa yang sedang terjadi di sekitar wilayah kehidupan kita seperti pandemi, wabah, PSBB, beberapa kelompok orang yang kabarnya akan siap mengancam(chaos), beberapa wajah daerah yang sempat erupsi, serta-seribu macam getaran yang telah membuat kita cemas dan bersiap akan merisaukan kita kembali pada akhir-akhir ini merupakan sebuah peristiwa yang amat dan sangat momentum. Saya jadi teringat pula akan obrolan singkat Ibu saya dengan temannya, ketika saya sedang disibukkan dalam aktivitas yang istilahnya WFH (Work From Home), kuping saya tidak sengaja mengutil seberkas pertanyaan “Nur, kayaknya dalam hidup kita yang udah tua gini, baru kali ini ya kita ngerasain hal begini (suasana Covid-19)?”.

    Kemudian Ibu saya menjawab “Iya, di masa umur hidup kita yang udah nenek-nenek ini kita baru ngerasain hidup di suasana yang begini”. Kurang lebih seperti itu. Dari hal tersebut, betapa amat dan sangat momentum kita-kita ini yang—bagi saya beruntung—dalam artian mampu menyaksikan dan dihadapkan pada suasana kehidupan yang semula biasa-biasa saja menjadi tidak biasa. Ada sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya pribadi, hidup di tengah suasana seperti ini; semuanya berjalan lebih lambat daripada biasanya. Meskipun dalam hati, saya juga tidak bisa berbohong untuk merasakan kesedihan dan kekurangan di antaranya.

    Itu merupakan sebuah bentuk “probabilitas akan menuju pada yang satu”, akan bermuara pada yang satu. Ketika hal-hal seperti ini, kita sebagai manusia akan lebih dipaksa untuk lebih kreatif lagi dalam menghadapi dan menjawab rentetan persoalan kehidupan. Sejauh mana kita siap memasang kuda-kuda supaya tidak salah dalam melangkah dan mengambil keputusan.

    Kemudian selain itu, di masa ketegangan dan persinggungan kehidupan kita di masa-masa seperti ini, ada baiknya kita simpan dulu beberapa penyesalan, ketakutan, dan—dua ribu tiga ratus empat triliun—kecemasan yang ada di dalam kepala kalian. Coba lah untuk sesekali membuat diri kalian untuk tidak bergantung pada materi yang ada di sekitar kalian, yang mana dari hal tersebut kiranya kalian hanya menyiapkan beberapa telur yang disiapkan untuk menetas dan menghadirkan anak-anak piyik kegalauan, kecemasan, serta seringkali gampang menyalah-nyalahkan bahkan menyudutkan—yang sebetulnya tidak ada sangkut-pautnya dalam kehidupan. Meskipun memang telah menjadi sebuah kewajaran, ada baiknya kita tetap menjaga jarak dalam suasana hidup seperti ini. 

    Ada sebuah makna dan pesan di dalamnya. Bahwa setiap kejadian, untungnya saya selalu mencari dan mencoba mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain, yang mana itu memang berjalan sedemikian rupa; akarnya, sebab-musababnya, dan apa yang ingin disampaikan-Nya. Peristiwa akhir-akhir ini bagi saya pribadi pun merupakan sebuah teguran yang kesekian kali bagi dan untuk umat manusia. Meskipun di antaranya ada yang mengatakan bahwa saya ini termasuk ke dalam orang-orang yang selalu mengaitkan hal apapun itu pada agama, tak mengapa saya sudah terbebas dengan itu. Bahwa kejadian ini memang tentu ada campur tangan Tuhan di dalamnya, saya tidak bisa mengatakan bahwa kejadian ini merupakan dan bersumber pada kegiatan dan aktivitas manusia saja.

    Di sini lah salah satu yang menjadi dan merupakan titik kemesraan-Nya; ketika saya dihadapkan pada sebuah pernyataan “probabilitas akan menuju pada yang satu” di tengah suasana seperti ini kiranya menjadi nyata untuk membuktikan bahwa kita manusia tidak hidup sendiri di alam jagat raya-Nya, bahwa kita sebetulnya kita hanya numpang hidup di wilayah kekuasaan-Nya, nge-kost, nginep dan lain-lain.

    Meskipun kita seringkali merasa bangga akan pemikiran-pemikiran kita untuk menciptakan beberapa kemungkinan, tetapi salah satu diantaranya kita pun juga seringkali ngawur dalam setiap pengambilan dalam menentukan sebuah sikap. Kita ceroboh, dan seringkali kita juga merasa amat sangat “percaya diri” (pede) akan kelakuan kita akhir-akhir ini. Bahwa “pasti masa ini akan berlalu, sebab di masa sekarang dengan kemampuan dan kecanggihan yang sudah dan seringkali dilahirkan oleh tangan-tangan terampil berkat para kaum cerdik dan kaum pandai sekalian, akan segera ditemukan sebuah jurus dan penangkal”. Itu “mungkin” memang alur peristiwanya akan bergerak ke arah sana dan seperti itu, dan juga tidak menutup kemungkinan bahwa hal itu merupakan sebuah upaya dan usaha dalam bentuk mencari sebuah terobosan.

    Dan apabila nanti ketika kita tidak tengah disibukkan dan tidak merasa galau akan fenomena-fenomena terakhir. Tentu, semuanya itu tidak lain dan tidak bukan hanya lah sebab Ia tidak tega terhadap kita para makhluknya.

    Tetapi seringkali kita abai dan merasa terlalu “ge-er” untuk bisa mendaku bahwa, memang otak manusia lah yang telah menciptakan semuanya itu. Otak manusia mampu melahirkan kembali sebuah peradaban yang telah hilang atau setidaknya otak manusia bisa menimbulkan ragam kecanggihan, dan membuat sebuah kehidupan dengan nuansa yang lebih dari ini.

    Tetapi bagaimana jika kita juga berandai-andai dan membayangkan, dalam kondisi yang cukup mencekam ini kita akan dihadapkan pada sehamparan rentetan dan fenomena-fenomena yang sama sekali tidak kita inginkan? Dan itu memang akan betul-betul terjadi, sebab “Jumlah semua probabilitas sama dengan satu”. Sehingga kita mungkin tidak bisa mengelak lagi, bahwa apa yang mungkin akan terjadi, pasti akan terjadi. Sebuah fenomena yang buruk bagi manusia akan terus dan seringkali bermunculan ke permukaan, sebab kita seringkali mengabaikannya, sebab seringkali kita merasa bahwa Ia telah memiliki semua, sehingga kita tidak perlu lagi berlaku dan melakukan ritus kemesraan antara makhluk(hamba) dengan Sang Pencipta.

    Kita sudah sangat dan bahkan sudah kelewat sangat ge-er!!. Kita tidak pernah memerhatikan bentuk posisi kaca dan mungkin kita juga lupa dan mungkin juga kita tidak tahu bagaimana cara kerjanya.

    Maka sungguh tidak ada yang lebih besar dari kuasa-Nya. Ketika “Kun”, maka terjadilah.

    Tangerang, 2020.

  • Kelindan Rumah Cimanggis dan Amatan pada Hal-hal yang Berhubungan

    author = Tyassanti Kusumo

    “Dua tahun berselang, sudah sejauh mana?”

    ———-

    Bukan, pertanyaan di atas bukan pertanyaan dari seorang kawan terhadap kawan yang lain tentang proses melupakan kekasih atau pengerjaan skripsi. Namun, pertanyaan tentang kejelasan status dan tindak lanjut terhadap Rumah Cimanggis (RC) yang dua tahun lalu sempat geger karena pernyataan dari Wapres saat itu, Jusuf Kalla dan rencana pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di kompleks yang sama. 

    Setelah sempat menulis mengenai hal tersebut di sini, beberapa waktu terakhir saya jadi terhantui pikiran tentang kabar Rumah Cimanggis. Terlebih karena Agustus tahun lalu saya menyempatkan diri untuk mampir dan melihat langsung Rumah Cimanggis, tapi belum keburu membagi cerita kepada kawan-kawan. Saat itu, kondisi bangunan bisa dibilang separuh utuh, dengan keberadaan atap yang amat jarang. Kalau boleh dikata, atap hanya menutupi 10% dari keseluruhan bangunan, sehingga bayangkan, apabila hujan mak bres sok kabeh, interior rumah yang kurang lebih telah berusia 242 tahun tersebut akan langsung narima ing pandum curahan air hujan. 

    Tentu kondisi itu tidak bisa dianggap biasa saja, sebab ketika sebuah bangunan tua, yang kita juga kehilangan jejak modifikasi di dalamnya, terus terpapar hujan dan iklim tropis Indonesia seperti ini, deteriorasi (proses menuju kemunduran atau keadaan yang buruk) akan semakin cepat. Tembok-temboknya akan semakin menyerap air dan ditumbuhi lumut, terlebih sebelum bulan November 2018, kondisi rumah masih seperti reruntuhan di tengah belantara tumbuhan. Warisan lingkungan “kebon” tersebut masih terlihat dari keberadaan beberapa pohon yang menyeruak dari tegel dan yang merambat hingga ke atas ventilasi atau lubang angin. Setidaknya begitu yang saya amati Agustus silam. 

    Sebelumnya, maklumat dulu ya. Saat menulis artikel pertama, saya betul belum pernah melihat langsung mengenai kondisi rumah ini. Jadi, bekal visualnya hanya dari tautan berita dan aneka dokumentasi dari internet. Dan saat itu, saya cukup jauh berada dalam konteks perbincangan tinggalan-tinggalan yang ada di kawasan Jawa Barat. Hal yang mendorong untuk membagikan kegelisahan adalah kemunculan pernyataan dari pejabat publik (dalam hal ini Wapres saat itu) dan juga karena ada beberapa pemberitaan yang menyoal perkara pembangunan UIII. 

    Pada 2014, Pemkot Depok sempat melontarkan wacana tentang pembuatan arboretum (kebun botani berisi aneka pepohonan) di beberapa kawasan di Depok, salah satunya di kompleks RRI, dan akan melibatkan para ahli botani. 

    Namun ternyata pada awal Juni 2018, Presiden Jokowi beserta rombongan hadir di lokasi yang sama untuk melakukan peletakan batu pertama sebagai simbol dimulainya proyek pembangunan UIII. Dalam sambutannya, Jokowi mengungkapkan bahwa rencana pembangunan ini sudah dimatangkan selama dua tahun, berarti kurang lebih telah diinisiasi di 2016. Sehingga, oleh Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH) Kota Depok, Heri Syaefrudin, pembangunan UIII dianggap melanggar RTRW, yang awalnya dimaksudkan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada 2015. Tapi tenang dulu, kita tidak akan menuju ke polemik ini, karena memang bukan ini fokusnya hehe. Intinya, saat itu saya tertarik, lagi-lagi karena ada konflik antara orang-orang yang berkepentingan dengan pembangunan dan bangunan warisan budaya. 

    Semenjak tulisan pertama dirilis, setelahnya saya tak begitu banyak mengikuti kabar Rumah Cimanggis dan proyek yang akan dibangun di kompleks yang sama. Ketika melakukan kunjungan pun, yang ada di kepala hanyalah dolan, main saja, lihat kondisi bangunan yang pernah ditulis dengan observasi ngawang melalui internet. 

    Ternyata, untuk menuju ke sana, agak sedikit rumit. Saya lupa rute pastinya, tapi ketika sudah sampai di dekat kompleks pemancar RRI, tidak tampak tanda ataupun petunjuk jalan untuk menuju ke Rumah Cimanggis. Saat itu, saya ditemani seorang kawan yang Depok tulen, alias lahir dan berdomisili di Depok, harus beberapa kali putar balik karena menemui jalan buntu dan berakhir dengan bertanya pada salah satu ‘orang proyek’ yang berhasil kami temui, setelah sebelumnya bingung mencari akses masuk menuju kompleks pemancar. 

    Mengikuti jalan beton, motor membelah kanan-kiri yang berupa tanah datar seperti hasil rataan hingga menuju bagian yang mulai ditumbuhi pepohonan. Saya masih belum ngeh, sampai tiba-tiba kawan saya memekik. Ah! Ternyata dari kejauhan, satu bangunan yang selama ini disaksikan via pencarian di Google; yang kata sejarawan Depok, JJ Rizal, adalah artefak awal sejarah kota modern sebelum kemunculan kota-kota modern lain bersamaan dengan dibangunnya Jalan Raya Pos. 

    Rupanya jika dilihat langsung, manglingi tenan. Begini duduk perkaranya, pertama, visual yang saya dapat dari internet adalah kondisi bangunan sebelum dilakukan pembersihan, sehingga tidak begitu jelas batas bangunan dan besar ruangannya, sebab semua tertutupi oleh tumbuhan. Kedua, foto lama dari KITLV, menunjukkan kondisi rumah yang utuh, dengan atap berukuran besar berbentuk limas segi empat. Atap tersebut menutupi hampir separuh dari fasad, sehingga kalau dilihat sekilas, rumah tak nampak begitu besar. Nyatanya, kondisi hari ini di lapangan, dengan dinding tinggi tebal dan pilar-pilar kokoh yang tertinggal, justru menampakkan kesan sebaliknya, grande dan tinggi. 

    Beranjak, sebagaimana yang saya pertanyakan serta beberapa kelompok sejarah di Depok perjuangkan tentang status Rumah Cimanggis, rupanya sudah terpampang jelas. Di samping pintu masuk, terdapat spanduk mencolok berwarna merah yang menunjukkan keterangan bahwa bangunan ini sudah menjadi Cagar Budaya (CB) dan masuk dalam pemeliharaan Disporyata (Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata) Kota Depok. Ketika dicek ke laman registrasi cagar budaya, rupanya sudah terdaftar dengan SK nomor 593/289/Kpts/Disporyata/Huk/2018 pada September 2018. 

    Alhamdulillah, puji syukur.. tapi lantas, apa selanjutnya?

    Wacana awal dari Depok Heritage Community (DHC) sejak pengawalan isu dimulai adalah untuk memanfaatkan Rumah Cimanggis sebagai museum sejarah Depok. Arsitektur yang khas dan ruang yang luas dianggap sejalan dengan rencana tersebut. 

    Namun, dilansir dari portal berita Liputan 6 diketahui bahwa belum ada rencana terbaru dalam pengelolaan Rumah Cimanggis. JJ Rizal yang diwawancarai dalam tulisan ini juga mengutarakan bahwa seyogyanya ada paparan rencana dari Pemkot, supaya masyarakat mendapat informasi dan syukur-syukur bisa menyumbang pemikiran.

    Lantas, bagaimana jawaban Pemkot Depok? 

    Awal tahun lalu, Wali Kota Depok, M. Idris menyatakan bahwa Pemkot Depok belum mengalokasikan anggaran untuk revitalisasi di anggaran belanja 2019. Sebabnya adalah masih menunggu persetujuan pemilik lahan, yakni Kementerian Agama. FYI, kita harus ingat, ya, bahwa di lahan yang sama juga sedang dilakukan pembangunan UIII. Tambahan lagi, Pemkot juga masih menunggu rampungnya site plan UIII. 

    Nah, sampai di sini, setidaknya ada beberapa poin yang cukup mengganjal dan perlu digaris bawahi, terutama terkait penanganan dan komunikasi. Bagaimanapun juga, suatu cagar budaya pastilah tidak lepas dari adanya konflik, sebab dalam proses pemutusan status, nilai-nilai pentingnya harus disodorkan dan mampu menjadi harga tawar yang menjanjikan. Nilai pentingnya untuk siapa? Ya, bisa saja untuk warga sekitar atau lingkup luasnya, misal, warga se-provinsi. 

    Perkaranya adalah bila nilai tersebut tidak sampai ke masyarakat, ditambah kondisi fisik yang perlu banyak sentuhan serta berada di lahan penuh kepentingan (pembangunan kampus dan pelestarian CB) seperti yang sekarang terpampang nyata di kasus Rumah Cimanggis. 

    Melihat tanggapan Pemkot Depok yang menunggu site plan dari UIII jelas menunjukkan bahwa Pemkot seakan tunduk di bawah otoritas stakeholder, yang dalam hal ini pemilik lahan, Kementerian Agama. Sampai di sini, saya pikir lucu juga, sebab ketika ditetapkan dalam SK CB tingkat kota, keterangan kepemilikan bangunan masih ditera dengan nama ‘RRI’. 

    Asumsinya adalah lahan tersebut pada akhirnya telah diakuisisi oleh Kemenag, yang bila ditelusur lagi, Sertifikat Hak Pakai th 1981 a.n Departemen Penerangan RRI sudah menjadi milik Kemenag dengan no. 0002/Cisalak, peruntukan: Proyek Strategis Nasional pembangunan UIII. Asumsi kedua: meski SHP sudah di tangan Kemenag, kepemilikan bangunan masih atas nama RRI dan karena Pemkot yang mengeluarkan SK CB, maka otoritas bangunan ada di pihak Pemkot. Namun melihat gelagat Pemkot Depok yang seakan menunggu ‘langkah’ dari stakeholder, bisa jadi yang betul adalah asumsi pertama. Bila begitu ceritanya, maka SK CB haruslah segera diperbarui, sebab tidak menutup kemungkinan berpotensi menjadi bukti legal yang menjungkal bila timbul permasalahan menyangkut lahan. 

    Lantas, apa kabar perkembangan site plan UIII? 

    Ah, tidak usah berlama-lama, telah bisa dilihat di video ini. Pada laman lain, Liputan6.com, dijelaskan bahwa kampus akan dibagi dalam tiga zona. Menarik, di zona 3, terdapat kawasan peradaban yang diperuntukkan untuk museum, gedung pertunjukan seni dan budaya Islam serta gedung serbaguna. Berarti bisa jadi RC akan berada di kawasan ini, disandingkan dengan museum UIII atau justru digabungkan. Namun sepertinya tidak akan digabung, mengingat konsep arsitektur UII adalah “futuristik” dan mengusung tema museum yang berbeda. Bila merunut kaidah pelestarian dan tujuan untuk dijadikan museum kota, tentu terasa kurang klop dan nyambung. Butuh banyak narasi dan ejawantah arsitektur untuk bisa menjadikan dua tempat ini terhubung.  

    Kembali lagi, pada perkara penanganan dan komunikasi, site plan UIII, dari yang terlihat di video ataupun tautan-tautan berita, belum ada yang menaruh lokasi gedung ataupun zona secara presisi, sehingga beberapa menyebutnya sebagai master plan. Apapun itu bentuk yang ditentukan secara definitif, nampak jelas di sini perihal absennya komunikasi yang intens antara Pemkot Depok dan pihak UIII terkait RC.

    Pemkot menunggu UIII, sementara dari pihak UIII juga tidak menyertakan gambaran profil keletakan RC secara jelas.  Jadi, sampai kapan harus menunggu adanya tindak lanjut terhadap RC? Ketidakjelasan seperti inilah yang juga merupakan faktor pemicu deteriorasi CB. Semakin lama menunggu dan tanpa juru pelihara yang jelas, tentu akan membuat langkah progresif sebelumnya menjadi sedikit sia-sia dan berdampak buruk pada CB karena pembiaran yang terlampau lama. 

    Hal ini, sedikit banyak menunjukkan pada kita tentang wajah kesiapan dan kerja pemerintah daerah yang belum gercep dalam menangani tinggalan budaya. Bisa dimaklumi, sebab RC merupakan bangunan pertama yang dijadikan Cagar Budaya di Kota Depok, sehingga Pemkot masih sangat asing dengan persoalan dan prosedur penanganan. 

    Beruntung, kehadiran komunitas pemerhati sejarah terus menjamur dan berperan aktif dalam menyuarakan isu terkait, namun tetap saja, seperti yang sudah ditunjukkan dalam kasus RC, Pemkot atau pemda pada akhirnya harus menunjukkan progresivitas yang sama. Terlebih dalam hal-hal formal dan strategis seperti berdialog dengan stakeholder, dalam kasus Kota Depok, yang lebih memiliki posisi untuk bisa berdialog mengenai RC dan rencana pelestarian adalah Pemkot. Namun justru tidak ada taji yang diperlihatkan, tidak ada inisiatif untuk segera menyusun langkah pelestarian. 

    Seharusnya, sedari awal, Pemkot segera menyusun rencana strategis untuk RC, sebab apa guna status CB bila tak ada langkah lebih lanjut (re: pelestarian), apalagi dengan kondisi fisik yang perlu perawatan dan perhatian. Sejauh ini, usulan untuk menjadikan museum kota adalah hal yang masuk akal. Mengingat Kota Depok belum memiliki karakter yang kuat dan seakan kehilangan identitas kota. Narasi jejak peradaban yang tergelar sejak dahulu kala, semakin terhapus dalam wajah kontemporer kota. 

    Membedah perkara ini harus dilakukan dengan jeli dan hati-hati. Di skala yang lebih luas, bisa jadi akan didapati banyak kasus serupa, terutama bagi daerah yang belum pernah berurusan dengan hal tinggalan budaya, kemudian tiba-tiba dihadapkan dengan serangkaian prosedur dan printilan lain yang mengharuskan Pemkot atau yang diwakilkan, paham betul posisi dan tempat berpijak.  

    Tidak bisa dipungkiri, hal-hal yang berkenaan dengan tinggalan budaya memang belum begitu jamak dijadikan perhatian bersama, meski sudah banyak produk hukum dan turunannya yang dibuat. Namun, dalam prakteknya, upaya melakoni dengan harus membentuk TACB tingkat daerah, melakukan pendataan, merumuskan kebijakan, memugar hingga merawat CB adalah proses panjang yang harus dibiasakan dan disebarkan berkali-kali. Siapa yang harus berperan aktif di sini? Pastinya institusi atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada dalam garis koordinasi Kemendikbud, para penyelenggara pemerintahan daerah serta komunitas-komunitas pemerhati sejarah dan pegiat budaya. Kata kuncinya: membentuk ekosistem. Setidaknya ini yang harus dibuat dan dibumikan.

    ——-

    Dua tahun Rumah Cimanggis resmi ditetapkan menjadi Cagar Budaya, semoga tidak hanya sejauh ini saja, atau mandeg terlalu lama. Masih ada dua-tiga-empat tahun di depan untuk kembali menanyakan hal yang sama dan tentunya mengharap dapat jawab yang menggembirakan.

  • Kehidupan Perempuan: Sebuah Perbandingan antara Indonesia dan India

    author = Batari Oja

    Sekitar setengah dari gadis remaja (usia 18 tahun) di India tidak menyelesaikan SMP. Angka tersebut lebih tinggi di kalangan perempuan dewasa (di atas 18 tahun). Perempuan India rata-rata pernah menempuh bangku sekolah kurang dari empat tahun saja. Hanya satu dari empat perempuan (usia produktif) yang mampu bekerja pada sektor industri dan jasa di negara ini. Hal ini berimplikasi bagi perkembangan sosial dan ekonomi India sebagaimana yang telah dijelaskan pada esai sebelumnya.

    Bagaimanapun, kehidupan perempuan di Indonesia lebih baik daripada di India. Angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan partisipasi kerja perempuan Indonesia dua kali lebih aktif daripada perempuan India. Sebagaimana yang kita ketahui, Indonesia bukanlah negara maju. Agama yang menjadi mayoritas di sana, yakni Islam, dikenal sebagai agama yang tidak memperbolehkan pendidikan dan pekerjaan bagi perempuan (sebagaimana kasus di negara-negara Timur Tengah)[1]tambahan penerjemah. Tetapi, Indonesia berbeda. Lantas, apa yang membuat kehidupan perempuan di Indonesia berbeda dari kehidupan perempuan di India[2]Diambil dari jurnal yang lebih panjang dari V.. Santhakumar: What Works Against the Schooling and Work Participation of Girls in India: An assessment through a comparison with Indonesia?

    Adat mahar kepada laki-laki tidak berkembang luas di Indonesia, sebaliknya, pihak keluarga mempelai laki-laki lah yang harus membayar sejumlah uang (emas kawin) kepada pihak mempelai perempuan. Tampaknya bangsa yang memiliki adat-istiadat ini (memberi mahar kepada pihak perempuan) cenderung memperhatikan pendidikan perempuan mereka[3]Ashraf, N. Bau, N., Nunn, N. and Voena, A.  (2014) Bride Price and the Returns to Education for Women∗, http://www.people.hbs.edu/nashraf/BridePrice_Nov2014.pdf. Karenanya perempuan dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung mendapat mahar yang tinggi pula.

    Tempat tinggal perempuan setelah menikah juga merupakan hal penting. Perempuan di Indonesia mungkin tidak akan tinggal bersama dengan keluarga suaminya setelah menikah. Mereka masih boleh tinggal dengan orang tuanya sendiri (juga bersama suaminya) atau di rumah sendiri hanya bersama suaminya. Hal ini juga membantu pendidikan perempuan[4]Bau, Natalie, `Cultural Norms, Strategic Behaviour, and Human Capital Investment,” 2014.Mimeo, Harvard University.. Karena, para orang tua mungkin tidak berpikir bahwa mendidik anak perempuan (itu tidak sia-sia dan [5]tambahan penerjemah )  bukan hanya menjadi keuntungan keluarga suami saja, (karena perempuan masih milik orangtuanya setelah menikah [6]tambahan penerjemah ). Pola tempat tinggal seperti ini turut membantu partisipasi kerja mereka setelah menikah, karena dengan begitu ibu dari perempuan bisa membantu menjaga anak-anak, sementara perempuan pergi bekerja. Oleh karena itu, perempuan Indonesia cenderung membantu secara finansial dan tetap mengurus orang tuanya bahkan setelah menikah.

    Tidak ada ketakutan di antara para orang tua jika anak perempuan mereka yang belum menikah bekerja jauh dari rumah, kemudian bertemu dengan seseorang. Ketika saya mengunjungi beberapa orang tua (kelas menengah bawah) di berbagai bagian di Indonesia, mereka mengatakan dengan bebas tentang putri-putri mereka yang bekerja di luar kota dan memiliki hubungan asmara yang putus-nyambung. Hampir tidak ada perjodohan. Para orang tua tidak enggan mengirim putri mereka ke tempat yang jauh untuk bekerja. Karena itu pula, berjuta-juta perempuan Indonesia pergi ke Singapura, Malaysia, dan negara-negara Asia Barat untuk banyak jenis pekerjaan. Perempuan dari perdesaan pergi mencari kerja ke kota setelah tamat SMP. Di lokasi industri, buruh laki-laki dan perempuan tinggal di kamar yang berdekatan sehingga mereka bisa berinteraksi dengan bebas. Tingkat mobilitas perempuan yang tinggi juga membuat ruang gerak yang relatif aman bagi mereka. Sangat umum melihat perempuan pulang ke rumahnya di pinggiran kota dengan berkendara motor sendirian pada jam 11 atau 12 malam.

    Perempuan yang sudah menikah di Indonesia relatif memiliki tingkat finansial yang lebih tinggi. Mereka kadang memiliki tanah warisan, menjalankan bisnis kecil-kecilan termasuk berdagang, dan punya aset yang terpisah dari aset suami mereka. Bahkan, ketika mereka cuti dari tempat kerja untuk melahirkan dan pascapersalinan misalnya, mereka tetap kembali untuk bekerja dan menjalankan bisnis. Perempuan yang belajar di universitas, para orang tua dari kelas menengah, dan hampir semua orang Indonesia berpikir pentingnya pekerjaan bagi perempuan. Saya bisa melihat bagaimana perempuan kelas menengah mendorong putrinya untuk pergi dan tinggal di luar kota dan bekerja, dan di situlah kemudian dia menemukan pasangan hidup.

    Singkatnya, perempuan Indonesia menyelesaikan pendidikan sekolah dan berpartispasi dalam pekerjaan (berpenghasilan) di mana pun pekerjaan itu tersedia. Ini tidak dipengaruhi oleh usaha mempopulerkan nilai-nilai Islam yang digalakkan pemerintahan Soeharto dan kelompok-kelompok agama. Meski ada masalah di tempat kerja (gaji yang rendah, kerja kasar, dan kondisi tempat tinggal yang tidak begitu baik di beberapa kota), perempuan-perempuan ini tetap memilih untuk bekerja di sektor industri/jasa daripada menjadi petani, buruh tani, atau ibu rumah tangga.

    Tidak jarang terlihat istri bekerja di kota sementara suaminya tetap bertani di desa. Seorang akademisi Indonesia mengatakan pada saya: “Ada pencairan peran gender di Indonesia. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya bisa menjadi pemenang, dan jika perempuan memiliki pekerjaan yang lebih baik, perempuan yang akan bekerja di luar, sementara laki-laki mungkin akan bekerja di rumah/sawah.” Perkembangan industri melalui kebijakan ekonomi bebas telah menciptakan pekerjaan untuk perempuan di Indonesia. Hal ini juga telah mengubah pola pikir orang tua tentang peran pendidikan tinggi bagi anak-anak mereka. Meski dulu pernah ada diskriminasi terhadap perempuan untuk bekerja, namun kini hal itu telah berubah dengan sangat drastis. Tren yang berkembang saat ini adalah mendidik anak yang pandai dalam belajar. Pada beberapa kasus, para orang tua lebih memilih mengirim “anak perempuan yang pintar” daripada “anak laki-laki yang malas” ke universitas. Pada intinya, tidak ada hal yang melarang perempuan Indonesia untuk bersekolah.

    Hal ini bukan berarti tidak ada isu diskriminasi gender di Indoensia. Sebagai contoh, ada keharusan untuk membuat ‘surat tidak keberatan’ dari orang tua atau suami untuk perempuan yang ingin bekerja di luar negeri, dan para akademisi menganggap ini sebagai sebuah refleksi tentang diskriminasi gender. Ada juga beberapa komunitas yang memberikan mahar kepada mempelai perempuan dan setelah menikah perempuan harus pindah sepenuhnya ke rumah laki-laki. Dalam kasus ini, posisi perempuan bisa jadi sulit karena mertuanya merasa telah membelinya dengan sejumlah uang dan oleh karena itu banyak pekerjaan akan diberikan kepadanya. Terlepas dari posisi perempuan yang relatif lebih baik di Indonesia, kendali laki-laki tetap berlaku dalam banyak hal dan ruang.

     

    India dibandingkan dengan Indonesia

    Sebagian besar orang di India memberikan mahar kepada pihak laki-laki, dan bukan kepada pihak perempuan. Bisa dikatakan bahwa praktik mahar kepada laki-laki ini tidak menghalangi perempuan India untuk mengenyam pendidikan, karena perempuan dari kasta tinggi dan kalangan masyarakat yang keadaannya lebih baik-yang juga memberikan mahar kepada pihak laki-laki-juga mendapatkan pendidikan. Kendati begitu, ada juga orang yang lebih memilih untuk menikahkan putrinya sedini mungkin tanpa memberikan mereka pendidikan tinggi karena mereka takut tingkat pendidikan yang tinggi akan menunda pernikahannya dan/atau membuat biaya mahar yang akan diberikan ke pihak laki-laki semakin tinggi. Ada dua tren yang berkembang di India saat ini. Orang-orang kelas menengah lebih suka memiliki menantu perempuan yang berpendidikan karena mereka bisa menjadi istri dan ibu yang “pandai”, dan oleh karena itu para orang tua dari kalangan ini memikirkan pendidikan terhadap perempuan. Meski begitu, preferensi pendidikan perempuan seperti itu tidak ada di kalangan kelas bawah, dan mereka lebih memilih menikahkan putri mereka tanpa terlebih dahulu memberikan mereka pendidikan yang cukup.

    Di beberapa kalangan, perempuan pindah ke rumah suaminya setelah menikah. Walau hal itu tidak menghalanginya untuk mengenyam pendidikan, tetapi tetap akan menghalanginya untuk bekerja di luar. Ketakutan adanya bahaya yang mungkin terjadi (termasuk kemungkinan akan adanya hubungan asmara) cukup menghalangi mobilitas perempuan yang belum menikah jika pekerjaan mereka di lokasi yang jauh dari rumah. Oleh karena itu, mayoritas perempuan pergi/pindah ke dalam maupun ke luar India bersama dengan suami atau keluarganya.

    Bahkan ketika perempuan pergi ke belahan dunia yang lain (seperti kasus perawat-perawat dari Kerala) keluarga akan tetap memiliki kendali atas ‘subjektivitas moral’ mereka seperti yang dikatakan oleh Walton-Roberts (2015) [7]Femininity, Mobility, and Family Fears: India International Student Migration and Transnational Parental Control, Journal of Cultural Geography, 32, 1, 68-82. Tekanan dari norma sosial pada perempuan-perempuan ini mungkin menciptakan ketegangan dan konflik. Ketika perempuan yang telah menikah tetap bekerja, mereka harus mempertahankan, apa yang Radhakrishnan (2011) [8]Appropriately Indian: gender and culture in a new transnational class. Durham, NC: Duke University Press (as quoted in Walton-Roberts (2015: 5) sebut sebagai, dedikasi emosional dan material kepada pasangan dan tanggung jawab domestik mereka. Meskipun ada ketakutan akan seksualitas perempuan di berbagai masyarakat yang sedang berkembang, tetapi hubungan seksual/pernikahan antarkasta lah yang menjadi faktor ketakutan paling besar di India. Seksualitas perempuan dikontrol (dengan tidak diperbolehkannya hubungan dengan laki-laki dari kasta dan kalangan sosial yang berbeda) demi kehormatan keluarga [9]Jones, G. (2010) Changing marriage Practices in Asia, Asian Research Institute Working Paper, 131, National University of Singapore.

    Ada beberapa daerah di India, di mana perempuan bekerja setelah bersekolah (sebagai contoh di pabrik garmen). Tiruppur di Tamilnadu adalah sebuah contoh di mana pekerjaan industri tersedia untuk perempuan. Pernikahan berimbas terhadap pekerjaan dalam dua cara. Kalangan perempuan yang belum menikah bekerja di pabrik (dan tinggal di hostel yang berdinding tinggi dan didampingi jika keluar) untuk mengumpulkan uang untuk mahar. Kebanyakan dari mereka berhenti bekerja setelah menikah. Dalam wawancara kami dengan para perempuan yang berhenti bekerja, mereka menyebutkan ‘kecurigaan’ suami dan beban tugas rumah tangga sebagai alasan tidak melanjutkan pekerjaannya sebagai buruh. Sementara itu, ‘kelaki-lakian’ buruh laki-laki membuat mereka tidak membiarkan istri mereka bekerja pekerjaan industri. Ketika keluarga mereka mengalami kesulitan finansial, perempuan akan menjadi buruh tani. Sampai taraf tertentu, hal ini juga dapat dilihat di Kerala. Banyak perempuan menantikan pernikahan setelah bersekolah dan/atau setelah pendidikan tinggi, dan bergantung pada penghasilan suami setelah menikah. Ketika keluarga inti mereka mengalami kesulitan finansial, mereka akan mencari pekerjaan tetapi pekerjaan itu bisa jadi pekerjaan yang sangat tidak menguntungkan. Intinya, kurangnya dorongan kepada perempuan untuk bekerja berimbas negatif  terhadap kesejahteraan mereka dan kesejahteraan seluruh masyarakat di India.

    Dari sini, mungkin tersirat kesan bahwa situasi yang memungkinkan bagi perempuan Indonesia untuk bekerja dikarenakan oleh ‘budaya’ mereka dan oleh karena itu tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah di India. Bagian yang terakhir itu tidak benar. Tiongkok dan Korea Selatan dahulu seperti India dalam hal hubungan antargender. Namun negara-negara ini telah mengambil langkah tegas (yang satu di bawah sosialisme dan yang satu lagi dengan kapitalisme) dengan menyekolahkan perempuan. Kedua negara tersebut juga telah mendorong perempuan untuk pergi merantau dan ikut berpartisipasi dalam kerja industri. Hal inilah yang telah mengubah situasi secara signifikan sehingga kebiasaan memberikan mahar kepada pihak perempuan semakin meningkat di Tiongkok (kebijakan tentang pengendalian-pertumbuhan-penduduk juga telah berkontribusi terhadap perubahan ini). Pemerintah Tiongkok juga memberikan insentif untuk mencegah perempuan tinggal di rumah keluarga suaminya karena tempat tinggal yang seperti itu menciptakan bias gender terhadap perempuan. Ketika Korea Selatan mengimplementasikan program keamanan-masyarakat nasionalnya, ketergantungan para orang tua kepada anak laki-lakinya menjadi berkurang. Hal ini membuat para pengantin baru bisa tinggal di rumah mereka sendiri. Juga, semua hal ini telah memungkinkan transformasi sosial di negara-negara tersebut ke arah yang diinginkan.

    Sementara itu, India belum mengambil langkah efektif untuk pendidikan dan pekerjaan terhadap perempuan-perempuannya.

     

    Judul Asli “Life of Girls: India Versus Indonesia”, Penulis: V. Santhakumar

    V Santhakumar, Profesor di Azim Premji University, Bangalore, India, menulis tentang isu-isu kontemporer dunia menggunakan kacamata ekonomi atau ilmu sosial. Mengajar ekonomi untuk praktisi pembangunan di universitas, dan melakukan penelitian tentang isu-isu pendidikan dan pembangunan.

    *Gambar adalah lukisan Amrita Sher-Gil, Bride’s Toilet, 1937

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

    References

    References
    1, 5, 6 tambahan penerjemah
    2 Diambil dari jurnal yang lebih panjang dari V.. Santhakumar: What Works Against the Schooling and Work Participation of Girls in India: An assessment through a comparison with Indonesia
    3 Ashraf, N. Bau, N., Nunn, N. and Voena, A.  (2014) Bride Price and the Returns to Education for Women∗, http://www.people.hbs.edu/nashraf/BridePrice_Nov2014.pdf
    4 Bau, Natalie, `Cultural Norms, Strategic Behaviour, and Human Capital Investment,” 2014.Mimeo, Harvard University.
    7 Femininity, Mobility, and Family Fears: India International Student Migration and Transnational Parental Control, Journal of Cultural Geography, 32, 1, 68-82
    8 Appropriately Indian: gender and culture in a new transnational class. Durham, NC: Duke University Press (as quoted in Walton-Roberts (2015: 5
    9 Jones, G. (2010) Changing marriage Practices in Asia, Asian Research Institute Working Paper, 131, National University of Singapore

  • Kegiatan Bima Selama Korona

    author = Wildan Habibi

    Sebelum Bima berangkat memenuhi perintah gurunya, Resi Dorna, untuk mencari Banyu Perwitasari, korona telah mewabah. Negeri Astina dan Amarta tiba-tiba Lockdown. Tidak boleh ada orang masuk, tidak boleh ada orang keluar. Aturan ini diberlakukan setelah banyak penduduk di kedua negara itu mati. Virus Covid-19, yang katanya adalah penyebab korona, memang membinasakan. Korbannya tidak memandang pangkat dan kesaktian. Selain membuat binasa, jahannamnya, virus itu sendiri pintar membiak diri. 

    “Gada Rujakpala-mu mungkin dengan mudah menghancurkan Gunung Semeru. Tapi yakinlah, terhadap Covid-19, ia tak akan berguna,” kata Yudistira, menakut-nakuti adiknya.

    Tapi Bima tidak peduli korona. Malam itu ia tetap akan berangkat. Baginya, lebih baik tidak dilahirkan sama sekali daripada hidup tapi tak mematuhi guru. Lagi pula, Banyu Perwitasari adalah air kehidupan, air yang bisa membuat seorang hamba yang meminumnya menjadi sempurna. Kata Resi Dorna, jika telah meminum air itu, Bima akan mencapai puncak dari segala tangga tahapan laku spiritual seorang hamba. 

    “Ini perjalanan suci. Jika mati di tengah jalan, kamu adalah syahid,” sabda sang guru. 

    Mati

    Malam itu kebetulan purnama. Bima sudah bergegas untuk berangkat. Semua perbekalan telah dimasukkan dalam tas. Sebelum berangkat, ia memikirkan kata-kata gurunya. Ada kata “mati”. Bima jadi teringat sahabatnya yang punya nama sama, si Mati. Mereka bersahabat sejak Bima kecil. Kisah pertemanan mereka dimulai saat Pandu pernah menyerah untuk menasihati Bima kecil saking bandel dan bebalnya. Sang ramanda akhirnya memutuskan menangkap Mati. Ia lantas mengikat Mati dan memasukkannya ke dalam kain hitam persegi untuk kemudian dijadikan bandulan kalung yang dipakai oleh Bima, hingga sekarang. Saking karibnya dengan Mati, Bima selalu bersama Mati ke mana-mana: saat sedang pergi, bersatu tubuh dengan sang istri, bahkan saat menggosok gigi.

    Meski keduanya akrab, bukan berarti Bima tidak takut terhadap Mati. Ia memang tidak peduli dengan segala rahasia tentang Mati. Yang ia tahu, hidupnya akan selesai ketika Mati merasuki tubuhnya. Yang terus mengusik pikirannya, sehingga ia takut kepada Mati, adalah rahasia kapan si Mati merasuki tubuhnya. Dalam setiap langkah, detik, ia selalu membayangkan Mati lepas dari kalungnya, terbang ke angkasa, dan menjelma menjadi pistol raksasa yang mengarahkan moncong tepat ke arah ubun-ubunnya. “Mati bisa menembak nafasku dan mengambil alih tubuhku sewaktu-waktu. Mati bisa menjadi aku kapanpun dia mau,” pikir Bima, selalu.

    Itulah yang membuat Bima takut. Ia merasa rapuh. Tapi, anehnya, perasaan itu justru menghasilkan sesuatu yang terbalik. Sebab Mati hidup Bima jadi menjadi hidup yang sehidup-hidupnya. Semakin ia takut Mati akan merasuk dalam tubuhnya, semakin ia “bergairah” untuk segera melakukan apapun yang ia mau. Berbekal gairah itu, ia bisa menjadi kesatria seperti yang banyak diceritakan: tidak takut kepada apapun, tidak pernah ragu-ragu, tidak pernah memikirkan tetek bengek norma yang menurutnya penuh kepalsuan dan basa basi. Bukankah ketika berbicara dengan ibunya ia menggunakan bahasa Jawa ngoko? Yang dia pegang hanya satu, kebenaran, tepatnya yang “menurut” dia benar.

    Korona memang membuat banyak orang mati. Tapi, matinya orang-orang (jamak, kerumunan) lain tidaklah memberi kesan bagi Bima selain dalam tingkat perasaan. Hal itu berbeda dengan ketika ia berpikir tentang Mati-nya sendiri. “Kematian orang lain hanya membawa perasaan sedih, kematian sendiri mendatangkan gairah.” Begitulah keyakinan Bima. Itu adalah hasil olahan otaknya terhadap kata-kata Kierkegaard (w. 1855) dalam bukunya Three Discourses on Imagined Occasions yang suatu hari pernah dikutip Kunti, sang ibunda, saat menasihati Bima, “The earnestness is not to die but to think oneself dying, since another’s dying provides only mood. The concept of earnestness is really illuminated here.”

    Karena Mati bisa datang kapan saja, gairah Bima yang selalu membuncah ia wujudkan di “sini dan sekarang”. Cara Bima menyikapi waktu itu juga ia pelajari dari bagaimana para sufi menyikapi waktu. Yang namanya waktu bagi mereka juga “di sini dan sekarang”. Terlalu sibuk memikirkan akan kemarin akan membahayakan perasaan rida atau rela, dan berandai akan masa depan sama dengan berani mengutak-atik akan takdir. Bima ingat betul, sebuah syair Jalaluddin Rumi (w. 1273) yang dibaca setelah mengetik kata kunci “10 puisi romantis para sufi” di Google, 

    Hai kawan, seorang sufi adalah anak zamannya. 

    Dan bukanlah termasuk aturan mereka untuk berkata “besok”.

    Begitulah Bima. Mewabahnya korona justru membuat Bima merasa Mati kian kuat dan dekat. Dan semakin dekat dengan mati, gairah Bima semakin menggeliat untuk bergiat. Tekadnya telah bulat untuk berangkat sekarang juga, tanpa ditunda-tunda. “Sekarang! Mumpung nafasku belum dicuri oleh Mati,” batinnya.

    Jalan-jalan

    Bima bergegas angkat kaki. Ketika ia sudah di belakang pintu, suatu kejadian agung menimpanya. Seperti cerita para penulis amatir yang penuh dengan tiba-tiba, tiba-tiba saja kupingnya gatal. Kemudian, dengan diiringi rasa geli yang tak bisa diungkapkan dengan bahasa, seonggok makhluk memaksa keluar dari lubang kuping Bima. Keluarnya begitu cepat, sepersekian detik. Makhluk itu memang kecil, namun kemudian membesar hingga tingginya lebih kurang satu kilan. Tidak ada yang aneh dari bentuk makhluk itu. Ia tidak bercahaya, pun tidak menyeramkan. Satu-satunya yang agak ganjil hanyalah dia mirip sekali dengan Bima. Ia kemudian berdiri di tengah meja ruang tamu, dan berkata,

    “Aku Dewaruci. Aku datang menasehatimu agar tidak usah berangkat. Resi Dorna hanya ingin kau binasa. Ia penipu. Banyu Perwitasari itu tidak nyata. Lebih baik, kamu jalan-jalan saja dalam tubuhku.”

    “Omong Kosong! Kubunuh kamu.”

    Bima menikamkan kuku Pancanaka-nya tepat ke arah ubun-ubun Dewaruci. Untung makhluk itu segera melangkah ke samping. Langkahnya ternyata lebar! Bima terus mengejar, Dewaruci selalu menghindar.

    “Jangan sombong, Bima. Aku ini adalah kamu. Kamu adalah aku. Ayo, masuk sini lewat kuping kiriku.”

    “Mana mungkin. Kamu saja keluar dari kupingku, masak aku harus masuk ke kupingmu.” 

    “Bima, tubuhku memang kecil, tapi dalam tubuhku ada alam semesta.”

    Bima terus mengejar, namun akhirnya juga lelah. Ia berpikir lagi. Siapa dia? Apa mungkin aku masuk ke tubuhnya? Kalau aku masuk bagaimana caranya? Ketika hati Bima tak sengaja berkata “boleh juga untuk dicoba”, seketika itu juga ia tiba-tiba sudah di lubang kuping Dewaruci. Ada motor Vario 125 di sana. Warnanya putih, dan terlihat belum pernah dipakai. Naluri Bima mengatakan ia harus menaiki motor itu. Setelah memencet tombol stater, masuklah Bima ke dalam tubuh Dewaruci. Ternyata benar. Di dalamnya ada alam semesta. Benar cerita orang-orang tua, ada alam besar (jagad gedhe) di dalam alam kecil (jagad cilik)!

    Dalam tubuh itu, banyak hal-hal aneh yang tak bisa Bima paham. Ia melihat pohon besar yang ribuan buahnya berbentuk kepala Gatotkaca, melihat anak kecil tidak pakai celana yang setelah ia tanya siapa ternyata adalah datuk Bima sendiri, serta melihat hal lain dan sebagainya. Yang dia dengar di sana adalah keramaian yang riuh. Yang ia rasakan hanyalah cahaya yang terangnya tak bisa diungkapkan kata-kata. Temuan-temuan itu menimbulkan banyak nian pertanyaan di benak Bima. Dari sekian pertanyaan itu, semua berakhir dengan satu pertanyaan mendasar, “Apa sebenarnya aku ini?” 

    Bima terus maju. Tengok sana, tengok sini, berharap menemukan jawaban dari pertanyaannya. Sayang sungguh sayang, alih-alih mendapat jawaban dari pertanyaan awalnya, Bima justru menemukan pertanyaan-pertanyaan turunan. “Apa aku benar ada? Apa yang selain aku itu benar ada?” dan seterusnya. Pertanyaan pertama yang ia duga menjadi pertanyaan akhir, ternyata justru menjadi pertanyaan awal. Ia jadi bingung. Namun Bima terus maju. Semakin bingung semakin ia ngegas, bahkan ngebut. Mungkin ia percaya pada tokoh sufi kesayangannya, Abu Bakr al-Syibli (w. 946), yang berkeyakinan bahwa puncak perjalanan spiritual seorang hamba adalah ketika ia selalu bingung (dawam al-hairoh) terhadap “polah” Tuhan (kaifiyatullah).

    Akhirnya Bima capai. Ternyata ia juga manusia. Meski masih terus ingin bingung, kantung matanya sudah berteriak ingin tidur. Mungkin karena kasihan pada anggota badan yang paling genit itu, Bima memilih untuk berhenti maju. Ia lantas memutar haluan dan menuju arah pulang. Setelah kembali, ia melihat Dewaruci masih duduk di pinggir meja. 

    “Melelahkan.”

    “Aku tahu. Tapi, mengasyikkan, bukan?”

    “Ya. Tapi, entah, besok aku mau lagi atau enggan.”

    “Tidak apa-apa. Kalau ingin lagi jalan-jalan, kamu hanya perlu merasa bosan, atau penasaran. Ingat, aku adalah kamu, kamu adalah aku.”

    Bima tidak menambah tanggap, hanya mengambil nafas panjang sambil terpejam dan mengarahkan wajahnya ke atap. Saat membuka mata, Dewaruci telah lenyap. Bima sedikit pun tidak peduli si kecil itu pergi ke mana. Tindakan yang Bima lakukan hanyalah menaruh kembali tasnya, dan kembali ke kamar. Ia lantas mematikan saklar lampu kamar, dan tanpa berganti pakaian langsung naik ke atas ranjang. Ia menenggelamkan diri di balik selimut. Ternyata, tidak butuh lama bagi tidur untuk membuatnya hanyut. 

    Malam itu Bima tidak bermimpi.

  • Kegelisahan dalam Lanskap dan Cinta; Membaca Puisi-puisi Neng Lilis Suryani

    author = Fuad Cahyadiputra

    Membaca puisi-puisi Neng Lilis Suryani (selanjutnya Neng Lilis), keadaan saya kurang sehat. Akibat pergantian musim dari musim penghujan ke musim kemarau, tubuh saya terkena flu dan demam. Saat dikirimi naskah puisi Neng Lilis oleh Drajat Teguh Jatmiko, saya sedang terbaring di tempat tidur dengan badan yang lemas dan rasa pusing di kepala. Tetapi karena Drajat meminta untuk segera membaca naskah itu dan membuat materi diskusi, saya memaksakan diri untuk membacanya pelan-pelan. Pembacaan pertama saya kepada puisi-puisi Neng Lilis memberi saya sebuah kesan tentang puisi-puisi lanskap dan cinta. Sebuah tema puisi yang sudah sering digunakan banyak penyair lawas dalam khazanah perpuisian Indonesia ataupun dunia. Apalagi tema cinta yang merupakan tema yang bisa saya katakan tema paling kuno sekaligus abadi dalam sejarah peradaban manusia.

    Setalah pembacaan pertama puisi-puisi Neng Lilis, saya mencoba untuk tidur karena tubuh saya terasa semakin lemas. Pagi harinya keadaan tubuh saya mulai membaik, saya mulai membaca kembali puisi-puisi Neng Lilis di sela-sela rutinitas. Diksi demi diksi, larik demi larik, dan bait demi bait saya baca ulang beberapa kali. Saya mencoba mencari hal yang perlu dan baik untuk saya bahas dalam materi diskusi ini. Hingga akhirnya, dalam puisi-puisi Neng Lilis saya menemukan sebuah tema yang luput dalam pembacaan pertama saya. Tema itu tersembunyi dalam citraan lanskap alam dan cinta. Ia begitu intim, tetapi rapuh karena tertutupi lanskap alam dan cinta yang begitu kuat, tema itu adalah kegelisahan. Kegelisahan dalam puisi-puisi Neng Lilis mencakup banyak hal, mulai dari kegelisahan dalam diri, hingga kegelisahan dari luar dirinya.

    Jadilah saya menulis judul Kegelisahan dalam Lanskap dan Cinta; Membaca Puisi-puisi Neng Lilis Suryani untuk materi diskusi Dikunyah#13 Ngopinyastro x Kibul.in. Saya mencoba memaknai secara subjektif puisi-puisi Lilis sehingga pemaknaan ini bukan bersifat mengekang pemaknaan pembaca lain, tetapi sebagai bahan untuk saling memberi pemaknaan lain terhadap puisi Neng Lilis.

    Puisi pertama adalah Cinta pada Sebuah Ladang (1) (CSL1). Dalam puisi CSL1 saya menemukan beberapa lanskap yang terbentuk dari citraan penglihatan yang dipakai oleh Neng Lilis seperti, “alam”, “huma”, “ladang-ladang”, “bukit”, “ngarai”, “bintang”, “atap”. Lanskap yang dimaksud dalam tulisan ini merupakan sesuatu yang digunakan untuk membentuk pemandangan alam. Dari diksi yang membentuk citraan penglihatan itu saya dihadapkan kepada imaji pemandangan alam.

    Cinta pada Sebuah Ladang (1)

    Setelah jejak
    Hati kita patuh pada alam
    Menunduk pada getar romansa huma
    Ladang-ladang penduduk dimainkan angin
    Kupu-kupu dan kepak burung

    Di sebuah bukit
    Aku, kau, pada pejam yang gaib itu
    Menghayati tetumbuhan dengan
    Mata ke arah ngarai
    Lalu kau berkata tentang atap
    Yang dibikin dari jerami,
    Bintang yang berumah di tanah,
    Dan cemara pada tunduk yang jauh
    Menafsirkan hati kita
    Dengan citra langit dan wajah bumi

    Setelah itu kau tak berkata apa-apa
    Hanya cinta

    Selain penyajian lanskap, dalam puisi CSL1 saya menemukan tema cinta yang terdapat dalam bait terakhir puisi, “Setelah itu kau tak berkata apa-apa/ Hanya cinta”. Lilis membawa saya pada klimaks yang romantis setelah pada bait-bait sebelumnya disuguhi sebuah pemandangan alam. Dari keseluruhan puisi CSL1 saya akhirnya menemukan tema kegelisahan yang ingin disampaikan oleh Lilis sebagai penulis puisi. Kegelisahan itu tersirat dalam lanskap pada bait pertama dan kedua. Kegelisahan itu berasal dari dalam dirinya tentang masa lalu dengan menggunakan frasa “setelah jejak” pada awal puisi. Kegelisahan itu menceritakan tentang “kita” yang dipakai untuk menggambarkan lanskap. Si “kita” melalui perjalanan dan perenungan tentang alam disekitar hingga pada akhir puisi menyublim menjadi “hanya cinta”.

    Puisi kedua berjudul Cinta pada Sebuah Ladang (2) (CSL2). Dalam puisi ini juga terdapat banyak lanskap yang dibangun, diksi seperti “bukit”, “jajaran ilalang”, “kebun-kebun”, dan “batang-batang kayu” memberikan citraan penglihatan kepada pembaca terhadap pemandangan alam.

    Cinta pada Sebuah Ladang (2)

    Lalu kita baca lagi badai dan bukit dalam sebuah sajak
    Menuliskan riwayat banjir yang mengairi sebagian permukaan bumi
    Meluap pada sejarah yang terus menerus ditata dengan hati sebara matahari

    Lalu kita pergi lagi
    Setelah cerita tentang orang-orang yang lewat setiap pagi
    Di jajaran ilalang, pada sepi yang merangkai tubuhnya

    “Di sini, pada riwayat kebun-kebun
    tersimpan cerita mengenai orang-orang yang diperkosa
    dan pencuri-pencuri yang ditelikung kemiskinan.
    Lihatlah batang-batang kayu yang ditebang
    menyimpan birokrasi dan kebencian.

    Berbeda dengan puisi CSL1, dalam puisi CSL2 tidak ditemukan tema cinta yang terlalu kuat. Hanya karena penggunaan diksi “kita” dalam puisi tersebut penulis ingin membuat penggambaran yang romantis untuk mengantarkan pembaca pada makna tersirat. Makna tersirat yang saya maksud di sini adalah kegelisahan. Kegelisahan dalam puisi CSL2 juga berbeda dengan puisi CSL1. Jika dalam puisi sebelumnya penulis lebih menekankan pada kegelisahan yang ada dalam dirinya, dalam puisi CSL2 penulis ingin mengungkapkan kegelisahan dari luar dirinya. Kegelisahan tersebut tergambar dengan frasa seperti “riwayat banjir”, “hati sebara matahari”, “orang-orang yang diperkosa”, “kemiskinan”, “kayu yang ditebang” dan “birokrasi dan kebencian”. Dari frasa-frasa tersebut terbentuk sebuah pemaknaan tentang kegelisahan terhadap keadaan alam dan manusia zaman sekarang yang mempunyai “hati sebara matahari” dan terkungkung oleh “birokrasi dan kebencian”.

    Berdirilah

    Berdirilah di altar benua,

    Dan hiasilah dirimu dengan bunga nilam dan adenia
    Akan kupersembahkan bagimu tujuh sayat pelangi
    Dan kuntum-kuntum rindu

    Berdirilah di altar laut,

    Dan hiasilah dirimu dengan warna kerang dan ganggang
    Akan kupersembahkan bagimu sembilan puluh sembilan
    mutiara yang diperam gelombang

    Berdirilah di altar waktu,

    Dan hiasilah dirimu dengan nyanyian serangga dan burung-burung
    Akan kupersembahkan bagimu paragraf-paragraf doa yang paling sunyi

    Berdirilah di altar musism,

    Dan hiasilah dirimu dengan barisan hujan, pepohonan, dan matahari
    Akan kupersembahkan bagimu gugusan cinta dari kesunyianku yang terdalam

    Dalam puisi di atas, saya dihadapkan pada repetisi “berdirilah di altar” sebagai pembuka pada setiap bait. Repetisi itu dilengkapi dengan memasukan diksi “benua”, “laut”, “waktu” dan “musim” (yang typo). Selain itu dalam puisi Berdirilah juga terdapat repetisi “Dan hiasialah dirimu dengan” dilengkapi dengan lanskap seperti “bunga nilam dan adenia”, “warna kerang dan ganggang”, “nyanyian serangga dan burung”, “barisan hujan, pepohonan dan matahari” pada baris pertama. Di baris selanjutnya dalam setiap bait terdapat pula repetisi “akan kupersembahkan bagimu” yang dilengkapi dengan lanskap “tujuh sayat pelangi/ dan kuntum-kuntum rindu”, “sembilan puluh sembilan/ mutiara yang diperam gelombang”, “paragraf-paragraf doa yang paling sunyi” dan “gugusan cinta dari kesunyianku yang terdalam”.

    Dari repetisi-repetisi dan lanskap di atas saya menemukan pemaknaan tentang tema cinta. Cinta dalam puisi tersebut merupakan pengungkapan timbal balik dalam sebuah hubungan. Seperti “beri aku sebotol vodka dan aku akan memberi sebuah kehangatan”. Tetapi bukan hanya itu yang ingin disampaikan penulis melalui puisi Berdirilah. Terdapat makna tersirat lain yang dalam awal pembahasan saya sebut sebagai kegelisahan. Dalam setiap repetisi “akan aku persembahkan bagimu” terdapat lanskap yang ironi dalam setiap lanskap yang melengkapinya. Contoh dalam baris “akan aku persembahkan bagimu gugusan cinta dari kesunyianku yang terdalam”. Dalam baris tersebut terdapat diksi “cinta” tetapi juga terdapat diksi “kesunyianku” yang merupakan ironi yang ingin disampaikan. Bukan hanya cinta yang klise yang ingin diberikan, tetapi cinta dari kesunyian. Hal itu juga terdapat dalam bait-bait yang lain.

    Puisi selanjutnya yang ingin saya bahas adalah puisi berjudul De. Puisi ini memiliki karakteristik yang berbeda dari puisi-puisi Neng Lilis dalam Buku Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul 2017. Sekaligus merupakan puisi yang paling saya suka. Puisi ini tidak terlalu banyak lanskap yang dihadirkan dan tidak menyuguhkan tema cinta yang klise. Tetapi Neng Lilis tetap menyampaikan kegelisahan dengan subtil.

    De

    De mencari rindu
    Malam ini ia pergi ke jauh malam
    Lalu pada bayang-bayang kota
    Dengan seluruh letih tubuh
    Ia tersungkur di tepi jalan

    De mencari rumah
    Setelah hujan tak juga reda di tepi subuh
    Ia menjorok ke sudut pasar
    Bersama kucing ia tidur memanggil bidadari

    Lalu sebelum subuh
    De menemukan dirinya ditindih dingin
    Dibangunkan jam sibuk sebelum mimpi usai

    De pada pagi kembali menggelandang kota
    Mencari ibunya
    Mencari rumahnya
    Usianya 13 tahun
    Tetapi di tubuhnya mengendap rahim waktu
    Berabad-abad kemiskinan manusia

    Sebenarnya ada enam puisi yang diberikan kepada saya, tetapi saya hanya membahas empat puisi karena menurut saya empat puisi tersebut sudah mewakili karakteristik enam puisi karya Neng Lilis Suryani.

     

    Kegelisahan Saya Terhadap Puisi Neng Lilis Suryani

    Seperti Neng Lilis yang mempunyai kegelisahan dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya, izinkan saya juga mengutarakan sedikit kegelisahan saya terhadap puisi-puisi Neng Lilis. Semoga kegelisahan saya ini dapat diterima Neng Lilis sekaligus pembaca untuk didiskusikan kebenaran dan keperluannya.

    Kegelisahan saya terhadap puisi-puisi Neng Lilis yang pertama adalah tentang typo, atau salah penulisan dalam kata. Mungkin kegelisahan ini bisa menjadi evaluasi juga kepada pihak editor buku karena memang mengedit sebuah puisi lebih sulit daripada mengedit cerpen apalagi artikel. Terlebih lagi kepada Neng Lilis yang merupakan penulis sekaligus pembaca pertama karyanya sendiri. Editing sebuah karya memang terkadang menjadi sulit, bisa dikarenakan takut terbawa suasana yang terbangun dalam puisi atau kadang penyakit kemalasan yang menyerang. Tetapi menurut saya pembacaan ulang sebuah karya sangat perlu dilakukan dengan tujuan: 1) menghargai karya sendiri; 2) untuk menghindari typo itu sendiri.

    Kegelisahan saya yang kedua adalah tentang repetisi. Rahmat Djoko Pradopo dalam buku Pengkajian Puisi mengatakan bahwa repetisi memiliki tujuan untuk menguatkan makna yang ingin disampaikan. Tetapi menurut saya, repetisi riskan berubah memicu kebosanan pembaca melihat kata atau kalimat yang diulang-ulang. Dalam puisi-puisi Neng Lilis memang ada repetisi yang berhasil menguatkan makna, tetapi ada juga repetisi yang menjadi mubazir bahkan cenderung mengganggu pembacaan.

    Selanjutnya adalah soal lanskap atau citraan yang berhubungan dengan alam. Puisi-puisi lanskap sering kita jumpai pada penyair seperti Sapardi Djoko Damono, Iman Budhi Santosa, Subagio Sastrowardoyo, dan lain-lain. Dalam menuliskan puisi lanskap penyair-penyair tersebut tetap menyelipkan permainan makna yang dalam di balik lanskap-lanskap yang mereka bangun. Sebut saja puisi Aku Ingin yang terkenal sejagat raya itu, atau Manusia Pertama di Angkasa Luar karya Subagio Sastrowardoyo. Menurut saya puisi dan lukisan sama, puisi lanskap tanpa disertai makna yang dalam hanya akan seperti lukisan pemandangan.

    Demikianlah kegelisahan saya setelah membaca puisi-puisi Lilis. Semoga kegelisahan saya ini tidak terkesan menghakimi atau menggurui, karena kegelisahan yang dipendam hanya akan menjadi penyakit. Mari belajar bersama.

  • Kebakaran Jenggot Rumah Cimanggis

    author = Tyassanti Kusumo

    Sebuah kota hidup dan terus melaju pada lini sejarahnya dari berbagai tinggalan yang masih tampak di tiap sudut ruas jalanannya. Kita boleh saja mengingat di sudut sebelah sana pernah ada bioskop ramai yang kini bubar, atau eks-halte yang sekarang tidak terpakai lagi karena kehabisan armada dan penumpang. Dari situ bisa kita asumsikan bahwa hiburan masyarakat beralih ke sesuatu yang lebih ekonomis, TV misalnya, atau bus kota yang posisinya terganti oleh aneka moda transportasi umum yang lebih canggih. Semua ini menunjukkan geliat perkembangan dan identitas kota. Inilah yang menjadi dasar keresahan masyarakat yang tergabung dalam Depok Heritage Community (DHC). Terlebih ketika salah satu bangunan tua di kota tersebut akan dirobohkan untuk dibangun gedung Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Bangunan yang terletak di Kelurahan Cisalak, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok itu dahulunya milik Ny. Adriana Johanna Bake (1743-1781), istri kedua Petrus Albertus van der Parra, Gubernur Jenderal Vereenidge Oost-Indische Compagnie (VOC) ke-29.

    Rumah milik Adriana Johanna Bake, atau yang akrab disebut Rumah Cimanggis oleh  masyarakat sekitarnya itu dibangun pada tahun 1775. Pendirinya pun masih simpang siur. Dari beberapa berita yang penulis baca, ada dua pendapat yang bisa jadi rujukan. Pertama, di harian Kompas (15 Januari 2018) menyebut bahwa rumah ini didirikan oleh keponakan Johanna, David Smith yang merupakan anggota Dewan Hindia Belanda. Kedua, dari laman change.org yang menyebut bahwa rumah ini dibangun oleh Gubernur Jenderal van der Parra.

    Dibangun di atas tanah seluas 200 hektar di kompleks pemancar RRI, Jalan Raya Bogor,  rumah berukuran 1.000 meter persegi ini tampak tak terurus. Atap yang semula menjadi penaung rumah kini telah hilang, begitu pula beberapa daun jendela dan pintu. Empat sumur yang ada (dua di depan, dua di belakang) pun telah tertutup semak dan perdu. Kemegahan yang tersisa hanya tampak dari delapan pilar bulat di depan rumah, atau pada hiasan kuntum bunga di lubang angin. Pemandangan sisanya hanya akan membuat kita semakin mengelus dada.

    Sungguh ironis mengingat rumah ini punya setidaknya dua nilai penting yang cukup signifikan. Pertama, rumah ini menjadi penanda adanya hubungan antara Depok dan Batavia (setelah 1619 saat Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memindahkan pusat kekuasaan VOC dari Ambon ke Batavia). Otomatis landhuis (rumah peristirahatan) ini menjadi saksi adanya interaksi dan mobilisasi dari dua tempat tersebut. Kedua, bahwa di masa lalu sebelum Rumah Cimanggis dibangun, daerah ini sangat sepi hanya berupa lahan dengan semak belukar. Baru sekitar tahun 1775, daerah tersebut ramai karena dibukanya perkebunan karet yang menyerap banyak tenaga kerja dan memicu aktivitas sosial dan ekonomi. Pasar Cimanggis pun muncul setelah adanya Rumah Cimanggis dan perkebunannya. Pascakemerdekaan, Rumah Cimanggis pernah menjadi rumah transit Presiden Soekarno sebelum berkunjung ke Istana Cipanas atau Istana Bogor. Di tahun-tahun setelahnya, rumah ini dijadikan mes pegawai RRI.

    Arsitektur Rumah Cimanggis merupakan perpaduan gaya Eropa-Jawa (Indis) dengan sentuhan gaya dari masa Louis XV. Bahkan menurut Adolf Heuken (pakar sejarah Batavia), Rumah Cimanggis adalah contoh terbaik dan satu-satunya landhuis yang tersisa di kawasan pinggiran Batavia. Lebih lanjut tentang Johanna dan bangunan Rumah Cimanggis bisa diakses di www.geni.com dan buku-buku karya Adolf Heuken, SJ.

    Permasalahan yang muncul sekarang adalah rencana pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di kawasan ini, seluas kurang lebih  143 hektar, yang tentunya akan menggusur bangunan Rumah Cimanggis. Dilansir dari website Pikiran Rakyat, pembangunan UIII mendapat gelontoran dana sebesar Rp. 400 Miliar dari APBN. Melihat angka yang fantastis ini, sepertinya tidak mungkin jika pembangunannya ditunda atau dibatalkan begitu saja karena adanya Rumah Cimanggis di area ini. Pada Senin lalu, Wapres Jusuf Kalla sempat melontarkan ucapan yang memicu kebakaran jenggot para pemerhati sejarah dan perkembangan kota.

    Rumah itu, rumah istri kedua dari penjajah yang korup. Masa situs itu harus ditonjolkan terus. Jadi rumah istri kedua gubernur yang korup. Masa mau menjadi situs masa lalu. Yang mau kita bikin di situ situs masa depan. Suka mana? Situs masa depan

    Kita melihat masa depan, bagaimana kita membikin Islam yang moderat, wasatiyah di Indonesia yang mempunyai pengaruh luas. Jangan terpengaruh dengan isu rumah istri kedua orang Belanda yang korup. Apa yang musti dibanggain?

    Tentu saja ucapan ini menuai banyak tanggapan, salah satunya sejarawan J.J. Rizal. Ia mengatakan bahwa pemerintah bukan saja buta sejarah, tetapi juga buta hukum. Pemerintah disebut tidak mempedulikan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Tanggapan juga muncul dari beberapa aktivis lain di Kota Depok yang bergerak di bidang sejarah dan tatakota. Menurut mereka, pembangunan UIII akan mengubah tatanan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Depok. Aliansi ini kemudian membuat petisi di laman Change.org yang akan dikirim kepada Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Agama Lukman H. Syaifuddin, dan Walikota Idris A. Shomad untuk menyelamatkan dan memperbaiki area situs bersejarah Rumah Cimanggis sehingga dapat menjadikannya sebagai museum pertama di Depok. Juga memperkuat statusnya sebagai kawasan Hijau Resapan Air. Sejak dirilis empat minggu lalu, petisi ini sudah ditandatangani oleh 3.440 orang (dan akan mencapai 5.000 orang).

    Proyek pembangunan yang berseberangan dengan pelestarian kawasan ataupun bangunan bersejarah sepertinya menjadi langganan konflik di negeri ini. Tak perlu disebutkan, mesin pencari bisa menunjukkan pada kita. Hal-hal seperti ini kerap muncul karena pihak yang bersangkutan masih berpikir bahwa artefak tersebut kurang memiliki arti penting bagi kemajuan bangsa, atau berpikir bahwa pembangunan sesuatu yang baru di tempat tersebut akan lebih bermanfaat dan mendatangkan nilai lebih daripada bangunan yang sudah ada. Hal ini yang rupanya terjadi pada Rumah Cimanggis. Keberadaannya yang dianggap sebagai keunikan dan identitas Kota Depok masih menjadi anggapan beberapa orang saja. Status ‘Cagar Budaya’ (CB) pun sampai sekarang belum disandangnya, wajar jika pihak panitia pembangun menyangsikan fungsi dan arti pentingnya, karena secara legal belum ada kajian resmi yang membuat bangunan ini ditetapkan sebagai CB. Lantas ini jadi pekerjaan rumah siapa?

    Kompas (15 Januari 2018) yang memuat tulisan tentang Rumah Cimanggis sepintas menyebut bangunan ini sebagai Cagar Budaya, padahal jika kita mau memeriksa di situs pencatatan cagar budaya Indonesia pada laman berikut, status Rumah Cimanggis masih ‘dalam proses verifikasi dinas daerah’ dengan RRI sebagai pemilik resminya. Pendaftaran pun tercatat tanggal 9 Januari 2018, sedangkan menurut laman petisi, Rumah Cimanggis sudah terdaftar di Badan Pelestari Cagar Budaya Banten sejak 2011 dengan No. 009.02.24.04.11, dan rekomendasi sudah dikirim ke Pemerintah Kota Depok namun belum ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kota Depok sebagai Cagar Budaya resmi. Jadi boleh dikatakan, secara legal bangunan ini memang belum resmi menjadi Cagar Budaya, yang berarti ia bisa saja dirobohkan karena tidak masuk dalam Kategori Perlindungan.  Namun demikian, UU CB 11/2010, Pasal 31, Ayat 5, dapat menjadi tameng kuat untuk memberhentikan sementara proses pembangunan karena status Rumah Cimanggis yang ‘masih dalam verifikasi’.

    “Selama proses pengkajian, benda, bangunan, struktur, atau lokasi hasil penemuan atau yang didaftarkan, dilindungi dan diperlakukan sebagai Cagar Budaya.” (UU CB 11/2010, Pasal 31, Ayat 5)

    Status Cagar Budaya bisa kita tinjau lebih jelas dalam Bab VII tentang Pelestarian Cagar Budaya. Pasal tersebut mencantumkan tindakan-tindakan yang bisa diberlakukan pada Cagar Budaya, yakni Pemanfaatan, Perlindungan, dan Pengembangan. Rumah Cimanggis yang masih dalam status verifikasi patut pula mendapat perlakuan tersebut. Meski ketika kembali ke pertanyaan sebelumnya, ‘Pekerjaan rumah milik siapa?’ Saya pikir ini berakar dari kelalaian bersama yang masih sangat tidak peduli pada tinggalan-tinggalan bersejarah di sekitar kita. Pihak RRI sebagai pemilik dan Pemerintah Kota Depok tidak pernah secara serius berusaha mengembangkan bangunan ini. Padahal jika Rumah Cimanggis segera diurus statusnya dan direstorasi, ia bisa dikembangkan menjadi situs yang bisa dinikmati oleh masyarakat Kota Depok. Misal saja sebagai museum atau kafe bernuansa sejarah, sehingga di kemudian hari, kemasygulan atas nilai bangunan ini pun tidak akan bermunculan. Sayangnya tindakan ini belum dilakukan sampai akhirnya muncul sengketa pembangunan.

    Tidak adanya tindakan nyata dari pemerintah maupun pemilik lahan bisa dimaklumi karena minimnya pengetahuan mengenai informasi Cagar Budaya terkait. Ditambah pula fakta bahwa Kota Depok belum memiliki Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) yang secara khusus menangani tentang pengkajian dan penetapan Cagar Budaya. Betapa mirisnya. Namun, mengingat di daerah-daerah lain juga masih banyak yang belum memiliki TACB, sepertinya hal ini masih belum menjadi alarm. Sudah seharusnya kita bersiap, apalagi untuk daerah-daerah yang memiliki potensi Cagar Budaya. Bila terus-menerus dibiarkan, akhirnya kita yang kebakaran jenggot. Kebingungan di detik-detik yang vital. Semoga saja ke depannya tidak ada jenggot yang terbakar lagi. Mari peduli dan terus menelisik identitas daerah kita, termasuk tinggalan budaya yang ada.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Kabar Baik dan Ajakan untuk Mengerti

    author = Alangga Dwi Kusuma

    Teman-teman saya bertanya,
    “Baik-baik di sana?”
    “Apa kabar?”
    “Aman?”
    Well, terima kasih sudah bertanya. Itu sangat berarti. Sepertinya salah satu kebahagiaan sebagai seorang perantau adalah mendapatkan pertanyaan mengenai kabar yang datang dari orang-orang di kampung halaman, mungkin keluarga, teman, atau pujaan di masa silam. Melonjak girang hati ini 

    Saya sedang baik dan berbahagia, Teman.
    Segala macam hiruk pikuk yang menyangkut pulau tempat saya tinggal saat ini, tidak mengancam saya sama sekali. Saya masih mengajar anak-anak, seperti biasa. Saya masih berkawan dengan teman-teman di sini, tidak ada bedanya. Saya masih ke pasar, belanja, menggandulkan noken di kepala, berbalas salam selamat pagi, masuk ke gereja, jabat tangan dan mengucapkan “selamat hari Minggu” atau “wa wa wa”, salam khas di pegunungan tengah Papua. Seakan tidak ada yang berubah, sama.

    Akan tetapi, ada juga yang mengusik pikiran saya. Meskipun jaringan internet masih sangat terbatas, berita tentang Papua yang sempat menjadi trending topic di twitter Indonesia sampai juga Wamena. Saya melihat beberapa teman mulai bereaksi di media sosial. Kabar-kabar mengenai gejolak yang muncul akibat berita itu juga mulai terdengar. Jarak dua-tiga jam naik mobil dari Wamena tentu bukan penghalang bagi berita macam begitu masuk ke Bokondini. Sampai akhirnya tersiar kabar terbaru mengenai suasana mencekam di Jayapura akibat aksi massa yang ricuh.

    Meski demikian, seperti sudah saya bilang sebelumnya, tidak ada yang berbeda. Anak-anak remaja di sekolah tetap menerima saya dan pelajaran yang saya bawa, Bahasa Indonesia.

    Teman, sepertinya hanya memberi kabar bahwa “saya dalam keadaan baik” saja tidak cukup bagi saya, maka seperti “Sebuah Berita Kepada Kawan”, saya sampaikan tulisan ini.

    Setelah satu tahun melihat Papua dari pegunungan tengahnya, mata saya semakin terbuka bahwa dalam hati mereka yang sedang menggelar aksi massa, dalam kemarahan mereka yang terungkapkan melalui kata-kata dan status di social media, dan bahkan dalam kehidupan sehari-hari orang Papua yang terlihat “tanpa suara”, saya melihat tidak ada hati untuk Indonesia.

    Teman,
    Kamu bisa jadi akan tersinggung berat kalau saya ceritakan beberapa hal mengenai apa yang orang Papua pikir tentang Indonesia. Akan tetapi tunggu sebentar, saya akan bercerita sedikit tentang apa yang saya pikir tentang orang Papua. Dulu.

    Sebelum saya mengenal istilah rasisme, kesukuan, dan teman-temannya, saya menganggap mentertawakan orang-orang Papua dari jauh lalu merasa waspada ketika harus dekat dengan mereka adalah hal yang wajar. Apa yang saya mengerti tentang orang Papua waktu itu—saat masih kanak sampai remaja—adalah berbeda, terbelakang, berkulit gelap, dan berbahaya. Pengertian semacam ini tentu saya dapat dari lingkungan terdekat saya. Lalu setelah saya kuliah dan bertemu banyak orang Papua yang kuliah di Yogyakarta, saya mulai mengenal apa itu rasisme, tapi tidak sungguh paham. Saya sudah tahu bahwa tidak semestinya saya menganggap mereka sebagai “alien”, tapi tetap saja, di beberapa kesempatan, saya mentertawakan orang Papua.

    Sampai akhirnya ketika saya memutuskan untuk bekerja di Papua, banyak yang berpesan “hati-hati” yang kesannya berbeda sekali dengan “hati-hati” yang pernah saya dapat sebelumnya. Ada juga yang berpesan, “jangan sampai dapat jodoh orang sana”. Ada yang bilang, “Wah, kamu pasti akan jadi yang paling putih di sana,” atau “Kamu pasti akan jadi yang paling ganteng di sana” dan masih ada beberapa lainnya. Semua itu datang dari keluarga dan teman-teman saya sendiri. Sampai sekarang.

    Pernah kamu melakukan itu? Atau kamu tahu berapa banyak orang di sekitarmu melakukan hal yang sama?

    Pernah ada teman yang bertanya, “Bagaimana sebenarnya keadaan di sana (Papua)?”

    Sepertinya saya sudah enam bulan lebih tinggal di Papua waktu itu dan saya ceritakan apa yang sudah saya lihat dan saya singgung tentang keinginan orang Papua untuk merdeka. Teman saya membalas, “Wah sayang lah kalau merdeka, Papua kan sangat menguntungkan.”

    Seketika hati langsung bergejolak, ingin marah, membalas pesannya dengan huruf kapital, “KENAPA KAMU HANYA PIKIRKAN TANAHNYA YANG MENGUNTUNGKAN, TIDAK PIKIRKAN ORANG-ORANGNYA? ITU KENAPA MEREKA MAU MERDEKA!!!”
    Itu sebelum saya menyadari bahwa mungkin jika saya mendapatkan pertanyaan, “Bagaimana kalau Papua merdeka?” enam bulan sebelumnya, saya juga akan mengatakan hal yang sama dengan apa yang teman saya katakan. Sekaligus saya sadar pada saat itu, bahwa pandangan saya terhadap Papua sudah berubah. Enam bulan setelah saya tinggal di Papua.

    Beberapa bulan lalu, saya mendapat teman baru di Bokondini, orang Jawa. Suatu hari, dengan terang-terangan dia mengatakan “Anak-anak ini bodohnya kebangetan,” sambil menunjukkan berlembar-lembar kertas ujian nasional anak SMA negeri yang kacau dalam penulisan identitasnya, “masa mengisi identitas saja tidak bisa.” Dia terus saja bersungut-sungut mengatakan bahwa mimpi menyelenggarakan pendidikan ideal di Bokondini adalah sia-sia, karena anak-anak Papua itu bodoh. Waktu itu saya berpikir bahwa sepertinya sia-sia juga kalau saya mengatakan kepadanya, “Teman, anak-anak di sekolah saya bisa kok. Anak-anak Bokondini juga, masih SMP, kerja sendiri lagi, tanpa kunci jawaban.”

    Sekitar dua bulan lalu, teman dari teman saya, seorang perwira, mentraktir kopi di Wamena sambil berbagai cerita. Saya menaruh hormat pada si perwira muda yang tampak berwibawa dan berkharisma ini sampai ia menanyakan tantangan-tantangan yang saya hadapi sebagai guru di pedalaman. Saya ceritakan dengan semangat bagaimana saya berada di sekolah dengan visi yang sangat jelas yang berusaha memberikan pendidikan terbaik dan tetap tinggal di kampung dengan harapan dapat memberi pengaruh kepada lingkungan di sekitarnya. Saya ceritakan juga bagaimana beberapa orang berjuang bertahun-tahun membantu anak-anak Papua mendapatkan masa depan lebih baik melalui pendidikan yang benar, meskipun harus sering menghadapi banyak halangan yang datang justru dari lingkungan anak-anak itu sendiri. Memotong cerita bersemangat saya, sang perwira berkata, “Kalau memang mereka tidak mau dibantu, ya sudah, kita manfaatkan saja, begitu kan?”

    Sedikit mangap, saya tak mampu menjawab. Seketika itu, runtuhlah hormat dan sa pusemangat. Beruntung sekitar lima menit kemudian kami pulang.

    ***

    Mengutip lirik lagu Sherina yang berjudul “Lihatlah Lebih Dekat”

    “…lihat segalanya lebih dekat, dan kau bisa menilai lebih bijaksana,
    lihat segalanya lebih dekat, dan kau bisa mengerti.”

    Teman, saya ingin mengajakmu untuk “menilai lebih bijaksana” dan “mengerti” mengapa ada orang Papua yang ingin merdeka. Bukan sekadar “ada” tapi buanyak orang Papua yang ingin merdeka, seperti saya pernah tulis sebelumnya, bahwa bukan hanya mereka yang bersenjata saja yang ingin merdeka, bahkan dalam diam seorang mama-mama yang membawa ubi, tergambar bintang kejora di nokennya, dalam semangat anak-anak sekolah kami yang menjaga guru-gurunya seperti menjaga telur agar tidak pecah, terungkap kata merdeka. Indonesia adalah penjajah bangsa Papua. Saya bahkan menemukan gambar-gambar “tentara pembebasan Papua” yang terselip dalam lembar-lembar buku tugas anak-anak.

    Pada awalnya, ketika saya mendengar banyak hal tentang impian merdeka dari lingkungan sekitar, jiwa nasonalis saya bergejolak dan berpikir, “bodoh sekali orang-orang ini kalau mau merdeka. Mereka merdeka memangnya mau buat apa? Mereka belum siap dan Indonesia tidak menjajah Papua. Papua adalah Indonesia.”

    Perlu satu tahun bagi saya, waktu yang sebenarnya masih terlalu singkat, untuk lebih mengerti bahwa memang tidak ada hati untuk Indonesia bagi banyak orang Papua. Sementara itu, Indonesia “hadir” di tempat ini dalam bentuk yang mengerikan: sekolah-sekolah negeri tidak jalan, fasilitas-fasilitas umum yang macet, desa-desa terpelosok dengan akses sangat terbatas pada apapun, pemerintahan yang jadi lahan korupsi, PNS yang lebih sibuk dengan bisnisnya daripada tugas yang seharusnya, hukum nasional yang tidak berfungsi meski aparatnya terus digaji, dana desa dibagi-bagi secara tunai, dan angka kematian akibat HIV yang terbilang tinggi. Apakah ini karena orang-orang Papua sendiri? Pelaku-pelakunya mungkin orang Papua, tapi siapa di balik semua ini? Kenapa ketidakberesan yang mengerikan ini dibiarkan terus terjadi? Saya lantas singkirkan dulu jiwa nasionalis saya. Saya coba buka mata, buka hati, pasang telinga. Saya ingin mencoba untuk mengerti.

    Saya mengingat bagaimana cara saya memandang orang Papua satu tahun sebelumnya dan saya bayangkan pastinya masih banyak orang-orang di Indonesia yang memandang orang Papua dengan cara pandang lama saya. Teman pasti juga sudah melihat perlakuan-perlakuan yang berbeda kepada orang-orang Papua di tempat Teman berada. Saya bahkan melihat sendiri di Papua, yang salah satunya adalah pelayanan rumah sakit dan Puskesmas yang sangat galak kepada orang Papua tapi lembut dan penuh perhatian kepada orang pendatang. Saya pernah pernah berobat untuk bisul sebesar kacang ijo dan dimanja-manja, sementara seorang mama yang mengobatkan anaknya yang terkena infeksi saluran pernafasan akibat terlalu banyak mengisap asap honai mendapat bentakan, “Makanya mama juga harus tahu urus anak, bukan hanya tahu bikinnya saja!”

    Itu yang terlihat. Ada lagi yang tidak terlihat, tapi terasa sangat kuat menjadi alasan orang-orang Papua ingin merdeka.

    Dendam.

    Dendam yang diturunkan dari generasi ke generasi, diobrolkan dari honai ke honai, dikhotbahkan dari gereja ke gereja dan sekarang disebarluaskan melalui berbagai media di dunia maya. Bersama dengan dendam itu, pesan kemerdekaan disampaikan.
    Dendam apa? Di Bokondini, orang-orang menyebut “Peristiwa tahun ‘77”, di Biak orang menyebut “Biak Berdarah”, di media sosial orang-orang menyebut “Kekejaman TNI-POLRI”, dan sepertinya masih banyak peristiwa tak berjudul yang meninggalkan dendam mendalam. Kata-kata semacam pembantaian, penganiayaan, pembunuhan, pelanggaran HAM dan sebagainya sepertinya cukup menggambarkan dendam seperti apa yang dimaksud di sini. Teman bisa mencari referensi terpercaya untuk ini, salah satunya yang saya rekomendasikan adalah buku Seakan Kitorang Setengah Binatang, yang isinya adalah wawancara kepada Filep Karma, tokoh penting dalam perjuangan Papua. Dari dia juga lah saya mendapatkan istilah “tidak ada Indonesia di hati orang Papua”. Teman juga bisa menjadikan tulisan saya ini sebagai pengantar untuk memahami Papua lebih dekat.

    Papua memandang Indonesia sebagai penjajah yang diperparah dengan tanda kehadiran Indonesia di Papua: kebobrokan. Otsus dan dana besar yang menyertainya, membuat keadaan di Papua semakin mengerikan. Itu datangnya dari Indonesia.

    Teman, saya cinta Indonesia, tapi ketika melihat dan mengalami “Indonesia” dari sisi Papua,
    sungguh . . .
    Saya jadi mengerti mengapa dari mulut anak kecil yang belum puber pun muncul kata “MERDEKA”. Teman, kamu boleh tidak setuju kalau Papua merdeka, tapi cobalah untuk mengerti mengapa orang Papua ingin merdeka, lalu kamu akan tahu apa yang sebaiknya kamu lakukan.

    ***

    Beberapa hari lalu, saya sempat melihat beberapa kiriman di media sosial tentang kekejaman Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) OPM kepada orang pendatang di Papua dengan caption kira-kira “Hentikan kekejaman gerakan separatis. Basmi mereka. NKRI harga mati” sambil menyebut beberapa akun media sosial lembaga keamanan RI.
    Hal seperti ini hanya akan menambah kebencian di hati orang Papua.
    Kalau kamu pernah melakukan ini, Teman, jangan lakukan lagi. Kalau kamu mengetahui temanmu melakukan ini, tolong beri tahu dia, atau beri dia tulisan ini, karena di sisi lain, tersebar pula beberapa kiriman yang menunjukkan kekejaman TNI-POLRI kepada orang Papua dilengkapi caption panjang mengenai HAM dan kemerdekaan. Mari kita buat keadaan ini lebih mendamaikan.

    Teman, saya merasa senang tinggal di sini. Apalagi dengan sifat saya yang senang belajar, saya menjadi mengerti banyak hal. Sifat ini pulalah yang telah membawa saya kembali kepada Tuhan dan oleh karena Tuhanlah, saya masih ada di sini dan menulis ini kepadamu.

    Kalau Teman seorang nasionalis yang peduli dan ingin Papua tetap bersama RI, Teman bisa mendukung dan mendoakan saya dan rekan-rekan di sini, sebagai perwakilan Indonesia dalam usaha memperbaiki hubungan dengan Papua.

    Kalau teman seorang yang pro-kemerdekaan Papua, Teman bisa mendoakan kami di sini sebagai perwakilanmu yang mempersiapkan kemerdekaan yang baik melalui pendidikan yang benar.

    Kami akan sangat senang mendapatkan dukungan dan doa darimu, tapi mohon maaf kalau kami tidak peduli dengan merdeka atau ikut RI, karena kami di sini bekerja untuk Tuhan. Kami percaya Tuhan mempunyai tujuan yang baik. Kami di sini untuk melaksanakan kehendak-Nya. Kami di sini, di Ob Anggen, sedang mengerjakan bagian yang sudah Ia percayakan kepada kami.

    salam hangat, peluk erat

    Alangga Dwi Kusuma

    diterbitkan pertama kali di blog milik penulis, woanderwhy.