Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Kegiatan Bima Selama Korona

author = Wildan Habibi

Sebelum Bima berangkat memenuhi perintah gurunya, Resi Dorna, untuk mencari Banyu Perwitasari, korona telah mewabah. Negeri Astina dan Amarta tiba-tiba Lockdown. Tidak boleh ada orang masuk, tidak boleh ada orang keluar. Aturan ini diberlakukan setelah banyak penduduk di kedua negara itu mati. Virus Covid-19, yang katanya adalah penyebab korona, memang membinasakan. Korbannya tidak memandang pangkat dan kesaktian. Selain membuat binasa, jahannamnya, virus itu sendiri pintar membiak diri. 

“Gada Rujakpala-mu mungkin dengan mudah menghancurkan Gunung Semeru. Tapi yakinlah, terhadap Covid-19, ia tak akan berguna,” kata Yudistira, menakut-nakuti adiknya.

Tapi Bima tidak peduli korona. Malam itu ia tetap akan berangkat. Baginya, lebih baik tidak dilahirkan sama sekali daripada hidup tapi tak mematuhi guru. Lagi pula, Banyu Perwitasari adalah air kehidupan, air yang bisa membuat seorang hamba yang meminumnya menjadi sempurna. Kata Resi Dorna, jika telah meminum air itu, Bima akan mencapai puncak dari segala tangga tahapan laku spiritual seorang hamba. 

“Ini perjalanan suci. Jika mati di tengah jalan, kamu adalah syahid,” sabda sang guru. 

Mati

Malam itu kebetulan purnama. Bima sudah bergegas untuk berangkat. Semua perbekalan telah dimasukkan dalam tas. Sebelum berangkat, ia memikirkan kata-kata gurunya. Ada kata “mati”. Bima jadi teringat sahabatnya yang punya nama sama, si Mati. Mereka bersahabat sejak Bima kecil. Kisah pertemanan mereka dimulai saat Pandu pernah menyerah untuk menasihati Bima kecil saking bandel dan bebalnya. Sang ramanda akhirnya memutuskan menangkap Mati. Ia lantas mengikat Mati dan memasukkannya ke dalam kain hitam persegi untuk kemudian dijadikan bandulan kalung yang dipakai oleh Bima, hingga sekarang. Saking karibnya dengan Mati, Bima selalu bersama Mati ke mana-mana: saat sedang pergi, bersatu tubuh dengan sang istri, bahkan saat menggosok gigi.

Meski keduanya akrab, bukan berarti Bima tidak takut terhadap Mati. Ia memang tidak peduli dengan segala rahasia tentang Mati. Yang ia tahu, hidupnya akan selesai ketika Mati merasuki tubuhnya. Yang terus mengusik pikirannya, sehingga ia takut kepada Mati, adalah rahasia kapan si Mati merasuki tubuhnya. Dalam setiap langkah, detik, ia selalu membayangkan Mati lepas dari kalungnya, terbang ke angkasa, dan menjelma menjadi pistol raksasa yang mengarahkan moncong tepat ke arah ubun-ubunnya. “Mati bisa menembak nafasku dan mengambil alih tubuhku sewaktu-waktu. Mati bisa menjadi aku kapanpun dia mau,” pikir Bima, selalu.

Itulah yang membuat Bima takut. Ia merasa rapuh. Tapi, anehnya, perasaan itu justru menghasilkan sesuatu yang terbalik. Sebab Mati hidup Bima jadi menjadi hidup yang sehidup-hidupnya. Semakin ia takut Mati akan merasuk dalam tubuhnya, semakin ia “bergairah” untuk segera melakukan apapun yang ia mau. Berbekal gairah itu, ia bisa menjadi kesatria seperti yang banyak diceritakan: tidak takut kepada apapun, tidak pernah ragu-ragu, tidak pernah memikirkan tetek bengek norma yang menurutnya penuh kepalsuan dan basa basi. Bukankah ketika berbicara dengan ibunya ia menggunakan bahasa Jawa ngoko? Yang dia pegang hanya satu, kebenaran, tepatnya yang “menurut” dia benar.

Korona memang membuat banyak orang mati. Tapi, matinya orang-orang (jamak, kerumunan) lain tidaklah memberi kesan bagi Bima selain dalam tingkat perasaan. Hal itu berbeda dengan ketika ia berpikir tentang Mati-nya sendiri. “Kematian orang lain hanya membawa perasaan sedih, kematian sendiri mendatangkan gairah.” Begitulah keyakinan Bima. Itu adalah hasil olahan otaknya terhadap kata-kata Kierkegaard (w. 1855) dalam bukunya Three Discourses on Imagined Occasions yang suatu hari pernah dikutip Kunti, sang ibunda, saat menasihati Bima, “The earnestness is not to die but to think oneself dying, since another’s dying provides only mood. The concept of earnestness is really illuminated here.”

Karena Mati bisa datang kapan saja, gairah Bima yang selalu membuncah ia wujudkan di “sini dan sekarang”. Cara Bima menyikapi waktu itu juga ia pelajari dari bagaimana para sufi menyikapi waktu. Yang namanya waktu bagi mereka juga “di sini dan sekarang”. Terlalu sibuk memikirkan akan kemarin akan membahayakan perasaan rida atau rela, dan berandai akan masa depan sama dengan berani mengutak-atik akan takdir. Bima ingat betul, sebuah syair Jalaluddin Rumi (w. 1273) yang dibaca setelah mengetik kata kunci “10 puisi romantis para sufi” di Google, 

Hai kawan, seorang sufi adalah anak zamannya. 

Dan bukanlah termasuk aturan mereka untuk berkata “besok”.

Begitulah Bima. Mewabahnya korona justru membuat Bima merasa Mati kian kuat dan dekat. Dan semakin dekat dengan mati, gairah Bima semakin menggeliat untuk bergiat. Tekadnya telah bulat untuk berangkat sekarang juga, tanpa ditunda-tunda. “Sekarang! Mumpung nafasku belum dicuri oleh Mati,” batinnya.

Jalan-jalan

Bima bergegas angkat kaki. Ketika ia sudah di belakang pintu, suatu kejadian agung menimpanya. Seperti cerita para penulis amatir yang penuh dengan tiba-tiba, tiba-tiba saja kupingnya gatal. Kemudian, dengan diiringi rasa geli yang tak bisa diungkapkan dengan bahasa, seonggok makhluk memaksa keluar dari lubang kuping Bima. Keluarnya begitu cepat, sepersekian detik. Makhluk itu memang kecil, namun kemudian membesar hingga tingginya lebih kurang satu kilan. Tidak ada yang aneh dari bentuk makhluk itu. Ia tidak bercahaya, pun tidak menyeramkan. Satu-satunya yang agak ganjil hanyalah dia mirip sekali dengan Bima. Ia kemudian berdiri di tengah meja ruang tamu, dan berkata,

“Aku Dewaruci. Aku datang menasehatimu agar tidak usah berangkat. Resi Dorna hanya ingin kau binasa. Ia penipu. Banyu Perwitasari itu tidak nyata. Lebih baik, kamu jalan-jalan saja dalam tubuhku.”

“Omong Kosong! Kubunuh kamu.”

Bima menikamkan kuku Pancanaka-nya tepat ke arah ubun-ubun Dewaruci. Untung makhluk itu segera melangkah ke samping. Langkahnya ternyata lebar! Bima terus mengejar, Dewaruci selalu menghindar.

“Jangan sombong, Bima. Aku ini adalah kamu. Kamu adalah aku. Ayo, masuk sini lewat kuping kiriku.”

“Mana mungkin. Kamu saja keluar dari kupingku, masak aku harus masuk ke kupingmu.” 

“Bima, tubuhku memang kecil, tapi dalam tubuhku ada alam semesta.”

Bima terus mengejar, namun akhirnya juga lelah. Ia berpikir lagi. Siapa dia? Apa mungkin aku masuk ke tubuhnya? Kalau aku masuk bagaimana caranya? Ketika hati Bima tak sengaja berkata “boleh juga untuk dicoba”, seketika itu juga ia tiba-tiba sudah di lubang kuping Dewaruci. Ada motor Vario 125 di sana. Warnanya putih, dan terlihat belum pernah dipakai. Naluri Bima mengatakan ia harus menaiki motor itu. Setelah memencet tombol stater, masuklah Bima ke dalam tubuh Dewaruci. Ternyata benar. Di dalamnya ada alam semesta. Benar cerita orang-orang tua, ada alam besar (jagad gedhe) di dalam alam kecil (jagad cilik)!

Dalam tubuh itu, banyak hal-hal aneh yang tak bisa Bima paham. Ia melihat pohon besar yang ribuan buahnya berbentuk kepala Gatotkaca, melihat anak kecil tidak pakai celana yang setelah ia tanya siapa ternyata adalah datuk Bima sendiri, serta melihat hal lain dan sebagainya. Yang dia dengar di sana adalah keramaian yang riuh. Yang ia rasakan hanyalah cahaya yang terangnya tak bisa diungkapkan kata-kata. Temuan-temuan itu menimbulkan banyak nian pertanyaan di benak Bima. Dari sekian pertanyaan itu, semua berakhir dengan satu pertanyaan mendasar, “Apa sebenarnya aku ini?” 

Bima terus maju. Tengok sana, tengok sini, berharap menemukan jawaban dari pertanyaannya. Sayang sungguh sayang, alih-alih mendapat jawaban dari pertanyaan awalnya, Bima justru menemukan pertanyaan-pertanyaan turunan. “Apa aku benar ada? Apa yang selain aku itu benar ada?” dan seterusnya. Pertanyaan pertama yang ia duga menjadi pertanyaan akhir, ternyata justru menjadi pertanyaan awal. Ia jadi bingung. Namun Bima terus maju. Semakin bingung semakin ia ngegas, bahkan ngebut. Mungkin ia percaya pada tokoh sufi kesayangannya, Abu Bakr al-Syibli (w. 946), yang berkeyakinan bahwa puncak perjalanan spiritual seorang hamba adalah ketika ia selalu bingung (dawam al-hairoh) terhadap “polah” Tuhan (kaifiyatullah).

Akhirnya Bima capai. Ternyata ia juga manusia. Meski masih terus ingin bingung, kantung matanya sudah berteriak ingin tidur. Mungkin karena kasihan pada anggota badan yang paling genit itu, Bima memilih untuk berhenti maju. Ia lantas memutar haluan dan menuju arah pulang. Setelah kembali, ia melihat Dewaruci masih duduk di pinggir meja. 

“Melelahkan.”

“Aku tahu. Tapi, mengasyikkan, bukan?”

“Ya. Tapi, entah, besok aku mau lagi atau enggan.”

“Tidak apa-apa. Kalau ingin lagi jalan-jalan, kamu hanya perlu merasa bosan, atau penasaran. Ingat, aku adalah kamu, kamu adalah aku.”

Bima tidak menambah tanggap, hanya mengambil nafas panjang sambil terpejam dan mengarahkan wajahnya ke atap. Saat membuka mata, Dewaruci telah lenyap. Bima sedikit pun tidak peduli si kecil itu pergi ke mana. Tindakan yang Bima lakukan hanyalah menaruh kembali tasnya, dan kembali ke kamar. Ia lantas mematikan saklar lampu kamar, dan tanpa berganti pakaian langsung naik ke atas ranjang. Ia menenggelamkan diri di balik selimut. Ternyata, tidak butuh lama bagi tidur untuk membuatnya hanyut. 

Malam itu Bima tidak bermimpi.