Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Kebakaran Jenggot Rumah Cimanggis

author = Tyassanti Kusumo

Sebuah kota hidup dan terus melaju pada lini sejarahnya dari berbagai tinggalan yang masih tampak di tiap sudut ruas jalanannya. Kita boleh saja mengingat di sudut sebelah sana pernah ada bioskop ramai yang kini bubar, atau eks-halte yang sekarang tidak terpakai lagi karena kehabisan armada dan penumpang. Dari situ bisa kita asumsikan bahwa hiburan masyarakat beralih ke sesuatu yang lebih ekonomis, TV misalnya, atau bus kota yang posisinya terganti oleh aneka moda transportasi umum yang lebih canggih. Semua ini menunjukkan geliat perkembangan dan identitas kota. Inilah yang menjadi dasar keresahan masyarakat yang tergabung dalam Depok Heritage Community (DHC). Terlebih ketika salah satu bangunan tua di kota tersebut akan dirobohkan untuk dibangun gedung Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Bangunan yang terletak di Kelurahan Cisalak, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok itu dahulunya milik Ny. Adriana Johanna Bake (1743-1781), istri kedua Petrus Albertus van der Parra, Gubernur Jenderal Vereenidge Oost-Indische Compagnie (VOC) ke-29.

Rumah milik Adriana Johanna Bake, atau yang akrab disebut Rumah Cimanggis oleh  masyarakat sekitarnya itu dibangun pada tahun 1775. Pendirinya pun masih simpang siur. Dari beberapa berita yang penulis baca, ada dua pendapat yang bisa jadi rujukan. Pertama, di harian Kompas (15 Januari 2018) menyebut bahwa rumah ini didirikan oleh keponakan Johanna, David Smith yang merupakan anggota Dewan Hindia Belanda. Kedua, dari laman change.org yang menyebut bahwa rumah ini dibangun oleh Gubernur Jenderal van der Parra.

Dibangun di atas tanah seluas 200 hektar di kompleks pemancar RRI, Jalan Raya Bogor,  rumah berukuran 1.000 meter persegi ini tampak tak terurus. Atap yang semula menjadi penaung rumah kini telah hilang, begitu pula beberapa daun jendela dan pintu. Empat sumur yang ada (dua di depan, dua di belakang) pun telah tertutup semak dan perdu. Kemegahan yang tersisa hanya tampak dari delapan pilar bulat di depan rumah, atau pada hiasan kuntum bunga di lubang angin. Pemandangan sisanya hanya akan membuat kita semakin mengelus dada.

Sungguh ironis mengingat rumah ini punya setidaknya dua nilai penting yang cukup signifikan. Pertama, rumah ini menjadi penanda adanya hubungan antara Depok dan Batavia (setelah 1619 saat Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memindahkan pusat kekuasaan VOC dari Ambon ke Batavia). Otomatis landhuis (rumah peristirahatan) ini menjadi saksi adanya interaksi dan mobilisasi dari dua tempat tersebut. Kedua, bahwa di masa lalu sebelum Rumah Cimanggis dibangun, daerah ini sangat sepi hanya berupa lahan dengan semak belukar. Baru sekitar tahun 1775, daerah tersebut ramai karena dibukanya perkebunan karet yang menyerap banyak tenaga kerja dan memicu aktivitas sosial dan ekonomi. Pasar Cimanggis pun muncul setelah adanya Rumah Cimanggis dan perkebunannya. Pascakemerdekaan, Rumah Cimanggis pernah menjadi rumah transit Presiden Soekarno sebelum berkunjung ke Istana Cipanas atau Istana Bogor. Di tahun-tahun setelahnya, rumah ini dijadikan mes pegawai RRI.

Arsitektur Rumah Cimanggis merupakan perpaduan gaya Eropa-Jawa (Indis) dengan sentuhan gaya dari masa Louis XV. Bahkan menurut Adolf Heuken (pakar sejarah Batavia), Rumah Cimanggis adalah contoh terbaik dan satu-satunya landhuis yang tersisa di kawasan pinggiran Batavia. Lebih lanjut tentang Johanna dan bangunan Rumah Cimanggis bisa diakses di www.geni.com dan buku-buku karya Adolf Heuken, SJ.

Permasalahan yang muncul sekarang adalah rencana pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di kawasan ini, seluas kurang lebih  143 hektar, yang tentunya akan menggusur bangunan Rumah Cimanggis. Dilansir dari website Pikiran Rakyat, pembangunan UIII mendapat gelontoran dana sebesar Rp. 400 Miliar dari APBN. Melihat angka yang fantastis ini, sepertinya tidak mungkin jika pembangunannya ditunda atau dibatalkan begitu saja karena adanya Rumah Cimanggis di area ini. Pada Senin lalu, Wapres Jusuf Kalla sempat melontarkan ucapan yang memicu kebakaran jenggot para pemerhati sejarah dan perkembangan kota.

Rumah itu, rumah istri kedua dari penjajah yang korup. Masa situs itu harus ditonjolkan terus. Jadi rumah istri kedua gubernur yang korup. Masa mau menjadi situs masa lalu. Yang mau kita bikin di situ situs masa depan. Suka mana? Situs masa depan

Kita melihat masa depan, bagaimana kita membikin Islam yang moderat, wasatiyah di Indonesia yang mempunyai pengaruh luas. Jangan terpengaruh dengan isu rumah istri kedua orang Belanda yang korup. Apa yang musti dibanggain?

Tentu saja ucapan ini menuai banyak tanggapan, salah satunya sejarawan J.J. Rizal. Ia mengatakan bahwa pemerintah bukan saja buta sejarah, tetapi juga buta hukum. Pemerintah disebut tidak mempedulikan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Tanggapan juga muncul dari beberapa aktivis lain di Kota Depok yang bergerak di bidang sejarah dan tatakota. Menurut mereka, pembangunan UIII akan mengubah tatanan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Depok. Aliansi ini kemudian membuat petisi di laman Change.org yang akan dikirim kepada Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Agama Lukman H. Syaifuddin, dan Walikota Idris A. Shomad untuk menyelamatkan dan memperbaiki area situs bersejarah Rumah Cimanggis sehingga dapat menjadikannya sebagai museum pertama di Depok. Juga memperkuat statusnya sebagai kawasan Hijau Resapan Air. Sejak dirilis empat minggu lalu, petisi ini sudah ditandatangani oleh 3.440 orang (dan akan mencapai 5.000 orang).

Proyek pembangunan yang berseberangan dengan pelestarian kawasan ataupun bangunan bersejarah sepertinya menjadi langganan konflik di negeri ini. Tak perlu disebutkan, mesin pencari bisa menunjukkan pada kita. Hal-hal seperti ini kerap muncul karena pihak yang bersangkutan masih berpikir bahwa artefak tersebut kurang memiliki arti penting bagi kemajuan bangsa, atau berpikir bahwa pembangunan sesuatu yang baru di tempat tersebut akan lebih bermanfaat dan mendatangkan nilai lebih daripada bangunan yang sudah ada. Hal ini yang rupanya terjadi pada Rumah Cimanggis. Keberadaannya yang dianggap sebagai keunikan dan identitas Kota Depok masih menjadi anggapan beberapa orang saja. Status ‘Cagar Budaya’ (CB) pun sampai sekarang belum disandangnya, wajar jika pihak panitia pembangun menyangsikan fungsi dan arti pentingnya, karena secara legal belum ada kajian resmi yang membuat bangunan ini ditetapkan sebagai CB. Lantas ini jadi pekerjaan rumah siapa?

Kompas (15 Januari 2018) yang memuat tulisan tentang Rumah Cimanggis sepintas menyebut bangunan ini sebagai Cagar Budaya, padahal jika kita mau memeriksa di situs pencatatan cagar budaya Indonesia pada laman berikut, status Rumah Cimanggis masih ‘dalam proses verifikasi dinas daerah’ dengan RRI sebagai pemilik resminya. Pendaftaran pun tercatat tanggal 9 Januari 2018, sedangkan menurut laman petisi, Rumah Cimanggis sudah terdaftar di Badan Pelestari Cagar Budaya Banten sejak 2011 dengan No. 009.02.24.04.11, dan rekomendasi sudah dikirim ke Pemerintah Kota Depok namun belum ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kota Depok sebagai Cagar Budaya resmi. Jadi boleh dikatakan, secara legal bangunan ini memang belum resmi menjadi Cagar Budaya, yang berarti ia bisa saja dirobohkan karena tidak masuk dalam Kategori Perlindungan.  Namun demikian, UU CB 11/2010, Pasal 31, Ayat 5, dapat menjadi tameng kuat untuk memberhentikan sementara proses pembangunan karena status Rumah Cimanggis yang ‘masih dalam verifikasi’.

“Selama proses pengkajian, benda, bangunan, struktur, atau lokasi hasil penemuan atau yang didaftarkan, dilindungi dan diperlakukan sebagai Cagar Budaya.” (UU CB 11/2010, Pasal 31, Ayat 5)

Status Cagar Budaya bisa kita tinjau lebih jelas dalam Bab VII tentang Pelestarian Cagar Budaya. Pasal tersebut mencantumkan tindakan-tindakan yang bisa diberlakukan pada Cagar Budaya, yakni Pemanfaatan, Perlindungan, dan Pengembangan. Rumah Cimanggis yang masih dalam status verifikasi patut pula mendapat perlakuan tersebut. Meski ketika kembali ke pertanyaan sebelumnya, ‘Pekerjaan rumah milik siapa?’ Saya pikir ini berakar dari kelalaian bersama yang masih sangat tidak peduli pada tinggalan-tinggalan bersejarah di sekitar kita. Pihak RRI sebagai pemilik dan Pemerintah Kota Depok tidak pernah secara serius berusaha mengembangkan bangunan ini. Padahal jika Rumah Cimanggis segera diurus statusnya dan direstorasi, ia bisa dikembangkan menjadi situs yang bisa dinikmati oleh masyarakat Kota Depok. Misal saja sebagai museum atau kafe bernuansa sejarah, sehingga di kemudian hari, kemasygulan atas nilai bangunan ini pun tidak akan bermunculan. Sayangnya tindakan ini belum dilakukan sampai akhirnya muncul sengketa pembangunan.

Tidak adanya tindakan nyata dari pemerintah maupun pemilik lahan bisa dimaklumi karena minimnya pengetahuan mengenai informasi Cagar Budaya terkait. Ditambah pula fakta bahwa Kota Depok belum memiliki Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) yang secara khusus menangani tentang pengkajian dan penetapan Cagar Budaya. Betapa mirisnya. Namun, mengingat di daerah-daerah lain juga masih banyak yang belum memiliki TACB, sepertinya hal ini masih belum menjadi alarm. Sudah seharusnya kita bersiap, apalagi untuk daerah-daerah yang memiliki potensi Cagar Budaya. Bila terus-menerus dibiarkan, akhirnya kita yang kebakaran jenggot. Kebingungan di detik-detik yang vital. Semoga saja ke depannya tidak ada jenggot yang terbakar lagi. Mari peduli dan terus menelisik identitas daerah kita, termasuk tinggalan budaya yang ada.

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi