Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Pengultusan dan Ketakutan akan Hilangnya Isi Kepala

author = Hanif Amin

Saya hidup
dengan meniru. Waktu kecil, misalnya, saya menonton Naruto dan ingin jadi
Naruto. Akhirnya yang saya lakukan untuk jadi sedekat mungkin dengan sosok
Naruto adalah meniru berbagai jurus berkelahinya secara diam-diam.

Sosok-sosok
untuk diidolakan dan ditiru, baik yang fiktif maupun nyata, selalu ada
sepanjang hidup saya hingga sekarang. Saya menemukan mereka lewat berbagai
manusia dengan berbagai jenis profesi. Lewat komik, TV, dan buku.

Sekarang,
medium-medium itu bertambah (dan menggeser yang lama) dengan adanya smartphone dan internet. Ada Youtube,
film, blog, podcast, dan akun sosial media yang menjadi tempat tiap orang untuk
menunjukkan keunikan masing-masing.

Dengan
bertambahnya medium, bertambah pula orang-orang yang dapat dijadikan idola atau
role model. Di Youtube saja,
barangkali kita bisa menemukan puluhan vlogger
dan content creator asal Indonesia
yang memiliki subscriber puluhan ribu keatas.

Dengan
internet, kini anak-anak SD tidak perlu menunggu dengan sabar hingga sore di TV
untuk menemukan idolanya. Ponsel mereka menembus batas-batas waktu.

Sebagai
remaja, saya juga merasakan kebutuhan untuk menemukan orang-orang yang bisa
dijadikan panutan. Bedanya, sekarang saya tidak mencari sosok yang bisa
melakukan jurus-jurus ajaib atau memukuli ratusan orang sendirian. Saya mencari
orang yang menawarkan “gagasan”, “jawaban” atau “kompas buat menjawab”
keresahan-keresahan yang saya alami. Mereka yang punya keahlian dan cara hidup
untuk dibagi.

Dengan
sendirinya, saya menemukan beberapa sosok yang terasa begitu menarik untuk
dicari kabarnya. Lalu mengikuti mereka melalui tulisan, status sosial media,
video, atau podcast. Dan terima kasih kepada internet, sekarang saya tidak
perlu menunggu berjam-jam untuk mendapatkan segala macam konten tersebut.
Semuanya bahkan terasa terlalu mudah.

Satu hal
lagi yang jauh berbeda dibanding beberapa tahun lalu adalah soal betapa
intens-nya saya bisa mengikuti sosok yang saya idolakan. Menonton vlog, membaca
tulisan, dan mendengarkan podcast mereka seringkali membawa saya kepada ilusi
bahwa saya begitu dekat dengan si idola.

Candu untuk
“mengikuti” ini serasa makin hebat dari hari ke hari dengan begitu aktifnya
mereka di kanal masing-masing. Kehidupan pribadi mereka terasa menarik hingga
membuat saya melakukan stalking untuk
mencari-cari informasi yang lebih.

Tapi
ketakutan terjadi ketika saya merasa makin tenggelam pada sosok mereka sampai
kepada suatu titik dimana saya selalu menjadikan para idola ini referensi dalam
berpikir dan menyikapi hampir segala hal.

Misalnya
ketika menjumpai suatu masalah, tanpa sadar saya selalu mencoba berpikir
menggunakan sudut pandang dari si idola. Hal ini bisa terjadi begitu sering
sampai membuat saya melupakan pilihan-pilihan lain.

Begitu juga
ketika ada isu yang hadir. Sebelum mencerna dan menggali isu tersebut untuk
disimpulkan sendiri, saya biasanya selalu mencari-cari opini dari orang-orang
yang saya idolakan.

Kepedulian
saya pada keadaan yang nyata di sekitar tempat tinggal juga menghilang. Pikiran
saya disibukkan pada masalah-masalah yang penting tapi jauh lalu melupakan yang
terlihat kecil dan dekat.

Sesuatu yang
remeh barangkali terjadi pada persoalan selera musik. Yaitu ketika saya punya
beberapa musisi idola yang selalu dijadikan referensi. Sebelum mendengarkan
lagu A, misalnya, saya selalu mencari tanggapan dari si musisi dulu. Kalau dia
suka, maka saya akan mendengarkan. Kalau tidak, biasanya saya tinggalkan atau
dengarkan sedikit hanya untuk meyakinkan diri sendiri kalau musik yang saya
sedang dengarkan adalah musik yang jelek.

Belum lagi
kalau idola saya punya semacam “musuh”, orang yang mengkritik atau mendebat
mereka. Seperti persoalan selera musik, reaksi pertama saya pada si musuh
adalah “orang ini goblok dan brengsek”. Lalu membaca sedikit soal si musuh
hanya untuk meyakinkan anggapan saya sebelumnya tentang dia.

Peristiwa-peristiwa
tadi ketika dipikirkan ulang seringkali menciptakan kegaduhan kecil dalam
kepala. Timbul pertanyaan dan keresahan soal identitas diri. Apakah saya punya
kontrol atas apa yang saya pikirkan?

Saya jadi
curiga kalau sebenarnya saya tidak punya isi kepala. Kalau gagasan yang ada di
dalam kepala adalah hasil ikut-ikutan orang lain bukannya sesuatu yang
dipikirkan dengan matang.

Bahkan
sepertinya saya tidak punya gagasan. Yang ada hanya pengultusan. Saya terlalu
intens mengikuti orang lain sampai-sampai kehilangan semangat untuk berpikir
karena merasa sudah terwakili dengan menunggangi pikiran mereka.

Pangeran
Siahaan di Twitter-nya bilang : “Jangan percaya sama
orang. Pada satu titik, orang akan mengecewakan lo. Percaya pada nilai. Percaya
pada gagasan.”

Saya kira
twit barusan bisa menggambarkan masalah banyak orang. Ketika gagasan tertukar
dengan siapa yang mengemukakan gagasan. Sehingga yang jadi pisau kita untuk
menyikapi dan membedah sesuatu bukan gagasan, tapi orangnya.

Akhirnya
yang ada cuma pengultusan alih-alih akal sehat.

Dalam skala
yang besar pengultusan ini terlihat di dalam suasana pemilihan presiden. Selalu
ada orang yang menganggap calon presiden pilihannya adalah manusia super yang
tidak punya salah dan si lawan sebaliknya.

Semuanya
semakin konyol dengan pelabelan julukan pada masing-masing pemilih. Seperti ada
perbedaan yang begitu tajam antar-kedua paslon. Seolah-olah segalanya cuma soal
memilih di antara dua kubu, yang hitam-putih. Antara si baik dan si jahat.

Kendati
demikian, internet juga menumbuhkan beragam kultus dalam skala lebih kecil
karena sekarang tiap orang atau perkumpulan bisa membagikan gagasannya dengan
gampang dan intens. Pengultusan bisa terjadi dengan lebih mudah, baik dalam hal
remeh maupun besar. Disadari maupun tidak.

Adalah tugas masing-masing kita untuk terus mengisi kepala
dengan akal sehat dan gagasan, alih-alih menumpahkannya secara cuma-cuma ke
punggung idola.