Category: terjemahan

  • Membuka Resleting [Etgar Keret]

    author = Shofyan Kurniawan

    Kisah ini dimulai dengan ciuman. Hampir selalu dimulai dengan ciuman. Ella dan Tsiki berada di ranjang, telanjang, lidah mereka saling berpagut, ketika Ella merasa ada sesuatu yang menusuk bibirnya. “Apa aku melukaimu?” tanya Tsiki, tatkala Ella menggelengkan kepalanya, Tsiki menambahkan, “Kau berdarah.” Ada darah di mulutnya. “Maaf,” kata Tsiki kemudian ia mulai menggeledah seisi dapur, menarik cetakan es batu dari freezer lalu membenturkannya di meja. “Ambil ini,” katanya, seraya mengangsurkan beberapa butir es batu dengan tangan gemetar, “taruh di bibirmu. Ini akan menghentikan pendarahannya.” Tsiki sangat ahli dalam hal ini. Dulu di angkatan darat ia menjadi paramedis. Ia juga dilatih menjadi pemandu jalan. “Aku nggak sengaja menggigitmu. Kau tahulah, aku kelewat nafsu.”

    “Nggak ap—,” Ella tersenyum, es batu itu menempel di bibir bawahnya. “Ngg— terjad— ap— kok.” Jelas ia berbohong. Karena sesua— sud— terjad—. Ini bukan kebetulan ketika orang yang setiap hari tinggal bersamamu membikin bibirmu berdarah lalu ia berbohong kalau ia tak sengaja menggigitmu padahal kau yakin betul ada sesuatu yang menusuk bibirmu.

    Hari-hari berikutnya mereka tidak berciuman. Bibir adalah bagian tubuh yang paling sensitif. Begitu lukanya sembuh, harus dijaga lebih hati-hati lagi. Ella bisa bilang kalau Tsiki menyembunyikan sesuatu. Ia cukup yakin soal itu hingga suatu malam, memanfaatkan Tsiki yang tidur dengan mulut menganga, ia menyelipkan jarinya dengan lembut di bawah lidah Tsiki—dan ketemu. Itu kepala resleting. Sangat mungil. Begitu ia menariknya tubuh Tsiki jadi terbuka seperti kerang, ada Jurgen di dalamnya. Berbeda dengan Tsiki, Jurgen punya brewok, cambang yang tercukur rapi, dan penis yang belum disunat. Ella menatapnya ketika ia tidur. Dengan begitu hati-hati, ia melipat tubuh Tsiki, membungkusnya, dan menyembunyikannya di lemari dapur yang berada di belakang tempat sampah, tempat mereka biasa menyimpan kantung sampah.

    Tidak gampang tinggal bersama Jurgen. Ia jago soal seks tapi ia peminum berat, dan saat ia mabuk ia bakal bikin keributan dan melakukan hal-hal yang memalukan. Yang utama, Jurgen suka bikin Ella merasa bersalah karena ia meninggalkan Eropa untuk tinggal di sini demi Ella. Kapan pun hal-hal buruk terjadi di negera ini, baik yang terjadi di sekitarnya atau di TV, ia akan berkata, “Lihat kekacauan yang dibikin oleh negaramu.” Bahasa Ibraninya jelek, dan ia mengucapkan ‘mu’ dengan nada suara yang menyudutkan. Orangtua Ella tidak menyukainya. Ibunya yang begitu mengagumi Tsiki, menyebut Jurgen sebagai goy (baca: kafir). Ayahnya selalu bertanya pada Jurgen, ia kerja apa, dan Jurgen bakal terkekeh dan berkata, “Kerja itu kayak kumis, Pak Shviro. Sama-sama sudah ketinggalan zaman.” Tak seorang pun tahu lucunya di mana, tidak ibunya Ella, tidak juga ayahnya Ella yang kebetulan masih memelihara kumis.

    Akhirnya Jurgen pergi. Ia kembali ke Dusseldorf untuk menjadi penyanyi dan menggantungkan hidupnya pada itu. Ia tak akan pernah bisa membuat lagu dan menjadi penyanyi selama ia masih tinggal di negara ini, katanya, karena mereka bakal memusuhinya berkat aksennya. Orang-orang di sini tukang nyinyir. Mereka tidak suka orang Jerman. Ella beranggapan di Jerman sekalipun, ia tak bakal jadi apa-apa dengan musiknya yang aneh dan liriknya yang norak itu. Jurgen bahkan pernah menulis lagu tentang Ella. Judulnya ‘Goddess’, bercerita soal sepasang kekasih yang bercinta di atas pemecah gelombang; saat Ella mendekat ia digambarkan ‘seperti ombak yang menghantam sebuah karang’—dan itulah pesannya.

    Enam bulan setelah Jurgen pergi, saat ia mencari kantong sampah, ia menemukan tubuh Tsiki yang terbungkus. Rasanya ia sudah melakukan kesalahan besar dengan menarik resleting itu. Mungkin. Hal semacam itu sulit dipastikan. Sore harinya, saat ia menyikat giginya, ia memikirkan ciuman mereka kala itu, juga rasa sakit dari tusukan di bibirnya. Ia berkumur-kumur dengan banyak air dan menatap cermin. Bekas lukanya masih ada. Dan ketika ia mengamati lebih dekat lagi ia menemukan kepala resleting di bawah lidahnya. Ragu-ragu ia menyentuhnya dengan jari, dan membayangkan seperti apa dirinya yang ada di dalam. Ia jadi sangat berharap, sekaligus merasa agak takut juga—utamanya soal tangan yang berbintik-bintik juga kulit kering. Mungkin juga ia punya tato, pikirnya, tato mawar. Ia selalu ingin punya satu, tapi ia tak pernah berani merajah tubuhnya. Ia membayangkan, pasti itu akan sangat menyakitkan.

    Unzipping, karya Etgar Keret, salah satu cerpen di kumcernya berjudul Suddenly, A Knock On the Door, diterjemahkan dari bahasa Inggris.

    Link naskah asli:

    https://www.theguardian.com/books/interactive/2012/feb/23/unzipping-etgar-keret-short-story

  • Mayat Hidup [Chuck Palahniuk]

    author = Gary Ghaffuri

    Jadi, Griffin Wilsonlah yang pertama kali mencetuskan teori evolusi ke belakang. Bocah ini duduk dua baris di belakangku di kelas Kimia Organik, bisa kukatakan bahwa Griffin ini adalah seorang jenius bangsat. Bagaimana tidak, dia adalah manusia pertama di kolong langit yang mengambil Lompatan Jauh ke Belakang.

    Griffin Wilson mendadak terkenal di sekolah karena Tricia Gedding. Jadi ceritanya hari itu mereka berdua sedang berada di ruang UKS. Tricia dan Griffin berada di bilik terpisah. Tricia pura-pura menstruasi agar bisa bolos dari ulangan Perspektif Peradaban Timur yang menyebalkan. Tricia kemudian mendengar bunyi bip yang keras dari bilik sebelah. Awalnya cewek ini nggak berpikiran macam-macam sampai ketika Tricia Gedding dan perawat sekolah memeriksa bilik yang ditempati Griffin, mereka mendapati si Griffin sudah kaku, tubuhnya keras macam manekin yang biasa dipakai buat praktik CPR. Dia hampir tidak bernapas, nyaris tidak menggerakkan otot. Tricia dan perawat sekolah mengira itu cuma lelucon karena karena Griffin masih menggigit dompet dan terdapat kabel listrik yang menempel di kedua sisi pelipisnya.

    Tangannya memegang erat kotak seukuran kamus, masih lumpuh, jempolnya menekan tombol merah besar. Kau bisa menjumpai kotak ini hampir di semua tempat: defibrilator. Alat pacu jantung darurat. Dia sudah mengambil defibrillator dari dinding UKS dan membaca instruksinya. Si Griffin menempelkan elektroda di kedua sisi pelipisnya lalu menyetrum otaknya sendiri. Ini sama saja dengan lobotomi sederhana. Sangat mudah, sampai-sampai bocah 16 tahun bisa melakukannya.

    Di kelas bahasa Inggrisnya Miss Chen, kami belajar sebuah frasa, “untuk terus hidup atau akhiri saja” (To be or not to be – pen) tapi ada area abu-abu besar di situ. Mungkin di jaman Shakespeare orang-orang cuma punya dua pilihan. Griffin Wilson tahu kalau SAT (ujian kemampuan standar akademik – pen) cuma sebuah pintu gerbang menuju omong kosong seumur hidup. Kuliah, menikah, bayar pajak, dan mencoba membesarkan anak dengan baik biar nggak jadi pembunuh. Dan Griffin Wilson tahu kalau obat-obatan cuma bertahan sementara. Jika efek obat sudah habis, kau bakalan butuh lebih banyak obat lagi.

    Terkadang, anak berbakat dan cemerlang macam Griffin ini terlalu pintar. Pamanku Henry selalu saja ngoceh soal pentingnya sarapan bergizi tinggi yang baik buat otak remaja yang baru tumbuh sepertiku. Tapi orang dewasa nggak ada yang ngoceh soal otak kita yang bisa menjadi terlalu besar.

    Kita ini pada dasarnya cuma hewan besar, berevolusi untuk memecahkan kerang dan makan tiram mentah, tapi sekarang kami diharapkan buat ngikutin perkembangan terakhir setiap anggota keluarga Kardashian atau Baldwin (selebritis terkenal di AS – pen). Serius, kupikir, dengan tingkat reproduksi keluarga Kardashian yang sekarang, mereka bakal menghapus spesies manusia lainnya. Selebihnya, kau dan aku, kita bakalan berakhir dengan kematian evolusioner dan menunggu untuk lenyap dari muka bumi.

    Coba tanya apa saja ke Griffin Wilson. Tanyakan siapa yang menandatangani Perjanjian Ghent. Dia bakal kayak tukang sulap kartun di TV yang suka ngomong, “Perhatikan saya menarik kelinci dari dalam topi.” Simsalabim, dan dia bakal tahu jawabannya. Di kelas Kimia Organik, dia bahkan bisa ngoceh panjang lebar soal teori string seperti bocah autis, tapi Griffin nggak pengen jadi jenius, yang sebenarnya dia inginkan adalah bahagia. Bukan cuma nggak sedih, ia ingin bahagia seperti bahagianya seekor anjing. Nggak harus dipusingkan sama tagihan ini itu atau pajak negara. Dia ogah hidup namun di sisi lain dia takut mati. Dan Itulah yang dilakukan oleh Griffin, si jenius penemu solusi jalan tengah.

    Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan memaksa Tricia Gedding bersumpah buat nggak membocorkan insiden ini, tapi akhirnya cerita mengenai Griffin menyebar dengan sendirinya. Pihak sekolah jelas nggak mau perbuatan Griffin ini ditiru oleh siswa yang lain. Sebab defibrillator akhir-akhir ini dapat dengan mudah ditemukan dimana saja.

    Sejak kejadian di ruang UKS, Griffin Wilson terlihat sangat bahagia. Dia selalu cekikikan dan menyeka iler di dagu dengan lengan bajunya. Para guru untuk siswa berkebutuhan khusus bakal memberinya tepuk tangan dan ngasih pujian setinggi langit cuma karena Griffin bisa menggunakan toilet dengan benar. Bicara soal standar ganda. Kita semua bakal berjibaku dan bersaing satu sama lain buat dapetin karir sampah, sementara Griffin Wilson bakalan senang-senang saja dengan permen dan tayangan ulang dari Fraggle Rock selama sisa hidupnya. Lalu bagaimana dia sebelumnya? Griffin Wilson yang kita kenal dulu bakalan menderita setengah mampus jika dia nggak menang di turnamen catur yang diikutinya. Kalau sekarang? Baru kemarin, si Griffin coli di dalam bis sekolah. Dan ketika Bu Ramirez menepikan bis dan mengejarnya sampai masuk gang, Griffin berteriak, “Lihatlah saya menarik kelinci dari dalam celana,” dia mengarahkan penis yang sudah dikocoknya lalu ejakulasi di baju seragam Bu Ramirez. Setelah itu dia tertawa kesenangan.

    Otaknya rusak atau tidak, Griffin masih paham dengan nilai sebuah jargon. Alih-alih jadi siswa pengejar nilai yang menyebalkan di sekolah, dia sekarang malah jadi biang pesta, badut sekolah.

    Setruman di dahi itu bahkan sudah membersihkan wajahnya dari jerawat.

    Susah buat membantah fakta-fakta semacam itu.

    Nggak ada seminggu setelah Griffin berubah jadi mayat hidup, Tricia Gedding pergi ke gym buat latihan Zumba dan menurunkan defibrillator dari dinding ruang ganti perempuan. Setelah menjalani prosedur yang sama dengan Griffin di kamar mandi, dia sudah tidak peduli lagi soal menstruasi. Teman baiknya, Brie Phillips, mencomot defibrillator di kamar mandi Home Depot, dan sekarang dia berkeliaran di jalan, hujan atau panas, tanpa celana. Mereka yang sedang kita bicarakan ini bukanlah jenis siswa berandalan atau pecundang di sekolah. Kita sedang berbicara tentang Ketua OSIS dan ketua ekstrakulikuler cheerleaders. Mereka adalah siswa-siswa terbaik dan paling cemerlang. Mereka adalah atlet andalan di tim olahraga sekolah. Butuh setiap defibrilator antara sini dan Kanada, tapi sejak saat itu, saat mereka bermain football, nggak ada lagi yang perduli dengan aturan main di lapangan. Dan bahkan ketika kalah sekalipun mereka selalu bahagia dan merayakannya dengan melakukan tos.

    Bagaimanapun juga, mereka tetap jadi siswa yang muda dan rupawan, tapi bedanya, sekarang hingga nanti, mereka nggak bakalan khawatir jika suatu hari mereka tidak lagi muda dan rupawan.

    Ini semacam bunuh diri, tapi sebenarnya tidak. Surat kabar nggak bakal menuliskan angka yang sebenarnya. Surat kabar itu terlalu angkuh. Lagi pula, halaman Facebook Tricia Gedding memiliki pembaca lebih banyak daripada surat kabar lokal di daerah kami. Surat kabar? Tai lah mereka. Mereka menampilkan halaman depan dengan pengangguran dan perang, dan mereka nggak pernah mikir dampak buruk yang ditimbulkannya? Paman saya Henry membacakan sebuah artikel tentang usulan perubahan dalam undang-undang negara. Para pejabat menginginkan masa tunggu 10 hari untuk penjualan semua defibrillator jantung. Mereka mengusulkan soal pemeriksaan latar belakang dan pemeriksaan kesehatan mental. Tapi itu belum disahkan.

    Paman Henry mengintip dari balik surat kabar yang dibacanya dan melirik ke arahku saat sarapan. Dia menatapku dengan tatapan buram dan bertanya, “Kalau semua temanmu udah lompat dari tebing, kau bakalan ikut-ikutan juga?”

    Aku tidak punya ibu dan ayah, yang aku punya cuma Paman. Dia tidak akan mengakuinya, tapi ada kehidupan bagus menanti di tepian tebing itu. Ada jatah parkir seumur hidup buat orang cacat. Paman Henry tidak mengerti bahwa semua temanku sudah melompat.

    Mereka mungkin sedikit “berbeda,” tapi kawan-kawanku ini masih sering ML. Mungkin malah lebih sering dari sebelumnya. Mereka itu semacam balita dengan tubuh seksi dan organ seksual yang matang. Sebuah perpaduan yang sempurna. LeQuisha Jefferson pernah menjilati vagina Hannah Finermann ketika mengikuti kelas Dasar Ilmu Pertukangan, si Hannah menjerit dan menggeliat sambil bersandar di mesin bor. Dan Laura Lynn Marshall? Dia nyepongin Frank Randall di belakang Lab Masakan Internasional di mana semua orang menonton. Konon kabarnya, semua falafel hangus kala itu, dan tidak ada yang membawa kasus ini ke pengadilan.

    Setelah menekan tombol merah defibrillator, seseorang bakal kesakitan, tapi dia nggak bakal sadar sedang menderita. Begitu tombol merah lobotomy ditekan, seorang bocah bisa melakukan pembunuhan tanpa harus takut konsekuensinya.

    Suatu ketika, Aku nanya Boris Declan apakah prosedur lobotomi itu menyakitkan. Dia sedang duduk dengan luka bakar yang masih merah segar di kedua sisi pelipisnya. Dia malah nurunin celana sampai lutut. Aku nanya sekali lagi apakah setruman di otak itu menyakitkan, dia nggak langsung menjawab. Dia malah ngendus-endus jari tangan yang baru saja ditusukkan ke lubang anusnya sambil berpikir. Dia adalah prom king SMP tahun lalu.

    Dia jadi lebih tenang daripada sebelumnya. Dengan pantatnya yang diumbar di tengah kantin, Boris malah nawarin buat ikutan mengendus jari kotornya dan kubilang padanya, “Nggak, makasih.”

    Dia bilang dia nggak ingat apa-apa. Boris Declan tersenyum dengan seringai yang sangat tolol. Dia menunjuk bekas luka bakar pelipis dengan jari kotornya. Dia lalu menunjuk dinding, menunjuk sebuah poster bimbingan konseling yang gambarnya burung kulit putih mengepakkan sayapnya ke langit biru. Di bawah gambar ada tulisan motivasi yang dicetak samar-samar. Sekolah memasang poster itu untuk menggantikan defibrillator yang biasa digantung di sana.

    Udah jelas bahwa dimanapun Boris Declan berada kelak, tempat itu bakal jadi tempat yang paling tepat untuknya. Dia udah hidup di dalam surga trauma otak. Ketakutan pihak sekolah soal siswa-siswa lain yang mengikuti jejak si jenius Griffin ternyata terjadi juga.

    Aku musti menyanggah pendapat Yesus, orang yang lemah lembut tidak akan mewarisi peradaban di bumi. Kita lihat saja di TV, orang-orang brengsek yang banyak bacot selalu mendapatkan yang mereka inginkan. Dan kubilang, biarkan saja mereka. Keluarga Kardashians dan Baldwins itu udah kayak spesies invasif. Seperti kudzu atau kerang zebra. Biarkan mereka saling tikam buat menguasai dunia yang sudah benar-benar mawut ini.

    Untuk waktu yang lama Aku ngikutin saran Paman Henry dan tidak melompat. Lagi pula, Aku nggak tahu. Surat kabar memperingatkan kita tentang bom anthrax teroris dan virus meningitis baru yang ganas, dan satu-satunya kabar baik yang ditawarkan oleh surat kabar adalah kupon diskon deodoran 20 sen.

    Sebenernya, sangat menggiurkan bisa hidup tanpa harus khawatir soal apapun, tanpa harus dihantui ketakutan. Udah banyak anak keren di sekolah yang milih buat nyetrum otaknya sampai mereka bego, sampai akhirnya cuma anak-anak pecundang yang tersisa. Para pecundang dan anak-anak bodoh. Situasinya sangat mengerikan sampai-sampai Aku yang biasanya bego bisa jadi lulusan terbaik di angkatanku. Begitulah akhirnya Paman Henry memutuskan untuk memindahkan sekolahku. Dia berpikir bahwa dengan memindahkanku ke Twin Falls, dia bisa membuatku nggak mengikuti jejak kawan-kawanku yang lain.

    Kami duduk di bandara untuk menunggu keberangkatan pesawat, dan Aku minta izin untuk pergi ke kamar mandi. Di kamar mandi pria Aku berpura-pura cuci tangan sehingga bisa melihat ke cermin. Paman Henry dulu pernah bertanya, mengapa Aku suka sekali bercermin, dan kubilang kepadanya bahwa kebiasaan itu bukan karena Aku udah menderita narsisme parah tapi lebih pada nostalgia. Dengan melongok ke cermin, setidaknya Aku bisa membayangkan bagaimana rupa kedua orang tuaku.

    Aku sedang berlatih senyum ibuku. Orang cenderung masa bodoh soal pentingnya melatih senyuman di depan cermin, jadi ketika mereka sedang ingin pura-pura bahagia, senyuman mereka bakalan kelihatan natural, nggak dibuat-buat. Ketika sedang melatih senyuman itulah, tiket ke masa depan yang bahagia dengan bekerja di restoran makanan cepat saji. Yang bertentangan dengan kehidupan yang menyedihkan sebagai arsitek terkenal atau ahli bedah jantung tergantung indah di sana.

    Melayang-layang di atas bahuku dan dekat sekali di belakangku, terlihat dari bayangan di cermin. Seperti gelembung panel komik strip yang merepresentasikan pikiranku, sebuah defibrillator! Alat itu tergantung di belakangku, terkunci di dalam sebuah kotak logam dengan pintu kaca yang bisa dibuka paksa untuk menyalakan alarm dan lampu strobo merah. Tanda di atas kotak bertuliskan AED dan menunjukkan kilat yang menyambar simbol hati. Kotak logam itu seperti sebuah etalase kaca yang berisi permata mahkota mirip di film-film Hollywood soal pencurian.

    Kalau kubuka kotak itu, maka alarm dan lampu merah akan menyala. Maka dengan cepat, sebelum ada pahlawan kesiangan yang berusaha menggagalkan rencanaku, Aku masuk ke bilik toilet orang cacat dan mengambil defibrillator tersebut. Aku duduk di toilet dan membuka kotaknya. Kertas berisi instruksinya dicetak dalam bahasa Inggris, Spanyol, Prancis dan gambar komik. Ternyata gampang banget memakai alat ini. Kalau menunggu terlalu lama, rencana ini bisa gagal. Defibrillator sebentar lagi bakal dilarang oleh pemerintah dan jika sudah dilarang maka cuma paramedis yang boleh memilikinya.

    Tiket buat jadi anak-anak selamanya sudah ada dalam genggaman. Mesin kebahagiaanku sendiri.

    Tanganku jauh lebih pintar dariku. Jari-jariku secara otomatis bisa tahu bagaimana cara mengupas elektroda dan menempelkannya ke pelipis. Telingaku tahu jika sudah terdengar suara bip yang keras, berarti listrik di mesin itu sudah terisi penuh.

    Jempolku tahu benar apa yang terbaik buatku. Jempolku melayang di atas tombol merah besar. Ini seperti lagi megang joystick video game. Aku gelisah mirip presiden yang musti menekan sebiji tombol merah buat meluncurkan roket nuklir. Satu pencetan saja dan dunia yang kita kenal sekarang bakalan kelar. Tapi sebuah dunia yang baru akan dimulai.

    Untuk terus hidup atau akhiri saja. Karunia terbesar Tuhan buat binatang adalah mereka nggak punya kesadaran untuk memilih.

    Setiap kali baca surat kabar, Aku selalu ingin muntah sama isinya. Namun dalam 10 detik lagi, Aku bahkan nggak bakalan ingat lagi cara membaca. Tapi yang terbaik, Aku nggak perlu baca berita-berita sampah lagi. Aku nggak harus dipusingkan soal perubahan iklim global. Aku nggak bakalan tahu lagi soal kanker atau genosida atau SARS atau degradasi lingkungan atau konflik agama.

    Speaker bandara memanggil namaku. Sebentar lagi Aku bahkan bakalan lupa sama namaku.

    Sebelum otakku hancur sepenuhnya, Aku membayangkan Paman Henry di gerbang keberangkatan, memegang tiket pesawatnya. Dia pantas dapetin yang lebih baik dari ini. Dia perlu tahu kalau ini bukan salahnya.

    Dengan elektroda yang udah nempel di dahi, Aku membawa defibrillator keluar dari kamar mandi dan berjalan menyusuri ruang tunggu penumpang menuju gerbang keberangkatan. Kabel listrik menjuntai dari kedua sisi wajahku. Tanganku menggengam kotak baterai defibrillator macam pembom bunuh diri yang sudah siap buat meledakkan isi otak kapan saja.

    Ketika mereka para calon penumpang di bandara melihatku, para pebisnis meninggalkan koper dorong mereka. Sebuah keluarga yang sepertinya hendak pergi berlibur menggiring anak-anak mereka untuk menjauh dariku. Ada juga si pahlawan kesiangan. Dia teriak, “semuanya akan baik-baik saja.” Dia berkata kepadaku, “Kamu punya banyak alasan buat terus hidup.”

    Kita semua tahu dia sedang memuntahkan omong kosong.

    Keringat mengucur deras dari wajahku sehingga elektroda bisa terlepas kapan saja. Inilah kesempatan terakhir buat mengatakan semua hal yang ada di pikiran. Jadi di hadapan semua orang yang menonton, Aku bakal mengaku: Aku bener-bener nggak tahu akhir yang bahagia itu kayak gimana. Dan Aku juga nggak tahu cara memperbaiki apapun dalam hidup ini. Pintu ruang tunggu penumpang terbuka dan petugas keamanan bandara menghambur masuk, Aku merasa seperti salah satu biksu Buddha di Tibet yang berlumur bensin yang sudah siap untuk menyalakan pemantik kapan saja. Betapa memalukannya, tubuh berlumur bensin dan harus gelisah dilihat puluhan mata orang asing. Aku, sedang berada di ruang tunggu bandara, Aku tidak sedang berlumur bensin melainkan keringat, kepalaku rasanya berputar-putar.

    Tiba-tiba saja Paman Henry meraih lenganku dan dan berkata, “Kalau kau menyakiti dirimu sendiri, Trevor, kau sama saja menyakitiku.”

    Dia mencengkeram lenganku, dan aku mencengkeram tombol merah. Kukatakan padanya bahwa ini bukan akhir yang tragis-tragis amat. Aku menjawab, “Aku menyayangimu Paman Henry . Aku cuma nggak bakalan ingat apa-apa lagi.”

    Di dalam kepalaku, yang kupikirkan adalah doa. Aku berdoa agar baterai terisi penuh dan ada cukup voltase untuk menghapus seluruh ingatan bahwa Aku baru saja bilang sayang di depan beberapa ratus orang asing. Lebih buruk lagi, Aku bilang sayang pada pamanku sendiri. Aku nggak akan pernah bisa hidup dengan kenyataan semacam itu.

    Kebanyakan orang, alih-alih berusaha menolong, mereka malah ngeluarin gawai dan mulai merekam video. Semua orang berebut untuk sudut pandang terbaik. Ini mengingatkanku pada sesuatu. Ini mengingatkanku pada pesta ulang tahun dan Natal. Seribu kenangan tersebut menghambur keluar untuk yang terakhir kalinya, dan hal itu nggak pernah kuduga sama sekali. Aku nggak keberatan kehilangan semua pengetahuanku. Aku nggak keberatan lupa sama nama sendiri. Tapi kayaknya Aku bakal sedikit merindukan ingatan tentang orang tuaku.

    Mata ibuku, hidung dan dahi ayahku, mereka mungkin sudah mati dan meninggalkan bentuk wajah mereka di wajahku. Terasa menyesakkan ketika sadar bahwa Aku nggak akan ingat mereka lagi. Begitu tombol ditekan, Aku nggak akan ingat apa-apa lagi ketika bercermin.

    Paman Henry mengulangi, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku.”

    Aku menjawab,” Aku masih keponakanmu Paman, Aku cuma nggak bakalan ingat apa-apa lagi.”

    Tiba-tiba saja, beberapa perempuan tua maju dan meraih lengan Paman Henry. Orang asing ini, dia berkata, “Kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku…” Kemudian ada beberapa orang asing yang maju dan ikut berkata, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku.” Orang-orang asing ini saling berpegangan tangan sampai kami semua terhubung. Kami mirip molekul yang mengkristal dalam larutan seperti yang diajarkan di kelas Kimia Organik. Semua orang saling berpegangan dan mereka mengulangi kalimat yang sama: “Kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku… Kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku…”

    Kata-kata mereka merambat pelan dalam bentuk gelombang. Seperti gema yang bergerak lambat, menyergapku dari berbagai sudut. Setiap orang di ruangan itu bergerak untuk meraih lengan orang yang berada di dekatnya, orang-orang kemudian saling berpegangan sampai akhirnya bermuara di lengan Paman Henry yang sedang mencengkeram lenganku. Ini benar-benar terjadi. Kedengarannya basi, tapi kata-kata memang membuat kenyataan terdengar jadi basi. Karena kata-kata selalu mengacaukan apa yang ingin kita sampaikan.

    Suara dari orang-orang juga terdengar, orang asing, melalui telepon, mereka yang menonton lewat kamera video, suara mereka berkata, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku…….” Beberapa bocah melangkah keluar dari belakang mesin kasir di Der Wienerschnitzel, sampai di food court, dia meraih lengan seseorang lalu berteriak, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku.” Para remaja yang bekerja di Taco Bell dan Starbucks, mereka berhenti dari pekerjaan mereka sejenak dan menggengam lengan orang terdekat yang terhubung denganku lewat kerumunan riuh ini, mereka mengucapkan kalimat yang sama. Dan pada saat Aku berpikir untuk mengakhiri semuanya dan orang-orang ini lebih baik merelakanku untuk pergi, semua kegiatan di bandara berhenti dan orang-orang mulai berpegangan tangan, mereka berpegangan tangan melewati detektor logam. Bahkan penyiar berita CNN dari televisi yang berada di tembok ruang tunggu bandara juga mengatakan kalimat tersebut. Penyiar itu meletakkan tangannya ke telinga, seolah ingin bisa mendengar dengan lebih baik, dan dia berkata, “Breaking news.” Dia terlihat bingung, membaca sesuatu dari kartu di tangannya dan berkata, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku.” Suara si penyiar tumpang tindih dengan suara seorang pakar politik di Fox News dan komentator olahraga di ESPN, mereka semua mengatakan kalimat yang sama.

    Televisi menunjukkan orang-orang yang sedang berada di tempat parkir dan tempat-tempat di sekeliling bandara, semuanya berpegangan tangan. Rantai ikatan telah tercipta. Semua orang mengunggah video mengenai orang-orang yang sedang saling berpegangan tangan, sehingga orang-orang yang berada ber mil-mil jauhnya terhubung kembali kepadaku.

    Dan berderak dengan suara statis, terdengar suara walkie-talkie penjaga keamanan Bandara, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku, ganti.”

    Pada saat itu nggak ada cukup defibrilator di kolong langit buat mengacak semua otak manusia di bumi. Dan, yah, pada akhirnya mereka semua harus merelakanku pergi, tapi untuk beberapa saat semua orang seakan memegangku erat-erat, mencoba membuat rantai manusia ini bertahan selamanya. Dan jika hal yang tidak mungkin ini bisa terjadi, siapa tahu apa lagi yang mungkin terjadi? Dan seorang gadis di Burger King berteriak, “Saya juga takut.” Dan seorang remaja laki-laki di Cinnabon berteriak, “Saya selalu takut.” Dan semua orang mengangguk, kami juga.

    Di tengah-tengah keriuhan ini, sebuah pengumuman melengking keras, “Perhatian!” Suara tersebut bergaung diatas kepala kami dan kemudian berkata, “Saudara-saudara, mohon perhatiannya!” Itu suara perempuan. Suara perempuan yang biasa membuat pengumuman di bandara. Semua orang mendengarkan, seluruh bandara lelap dalam diam.

    “Siapa pun kamu, kau perlu tahu …” kata suara perempuan tersebut. Semua orang mendengarkan seakan suara si perempuan ditujukan kepada setiap manusia di bandara ini. Dari seribu pengeras suara, ia mulai bernyanyi. Suaranya terdengar seperti nyanyian burung. Tidak seperti burung beo atau macam burung Edgar Allan Poe yang bisa ngomong bahasa Inggris. Suara perempuan itu lebih seperti nyanyian burung kenari, terdengar macam suara manusia yang kesulitan untuk diterjemahkan jadi kata benda dan kata kerja. Namun kami bisa menikmati nyanyian itu tanpa harus memahaminya. Terhubung melalui telepon dan televisi, nyanyian perempuan tersebut seakan menghubungkan semua orang, di seluruh dunia. Suara itu begitu sempurna, perempuan itu bernyanyi untuk kita semua.

    Puncaknya… suara nyanyian itu menyebar ke mana-mana, sehingga tidak tersisa lagi sedikitpun ruang untuk merasa takut. Lagunya membuat semua telinga kita menjadi satu telinga.

    Ini bukanlah akhir segalanya. Nampak wajahku di televisi, Aku berkeringat begitu deras hingga sebuah elektroda perlahan meluncur dari pelipis ke pipi.

    Ini jelas nggak bisa dibilang sebagai akhir yang membahagiakan, tapi dibandingkan dengan dari mana cerita ini dimulai – dengan si Griffin Wilson di ruang UKS dengan dompet terselip di mulutnya macam orang sedang ngemut moncong pistol – yah mungkin ini tempat yang nggak jelek-jelek amat untuk memulai.

     

    *Charles Michael “Chuck” Palahniuk, seorang novelis Amerika dan jurnalis lepas, yang menggambarkan karyanya sebagai fiksi “transgressional”. Novelnya Fight Club sudah dibuat menjadi film dengan judul yang sama.

    Judul Asli Zombie, dipublikasikan pertama kali pada 18 November 2013 di Majalah Playboyditerjemahkan dari versi bahasa Inggris. Naskah asli. Versi film pendek bisa ditonton di sini

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

     

  • Loquat (Etgar Keret)

    author = Ifan Afiansa

    “Ayolah, Henry. Bilang pada mereka. Kau
    itu Gendarme,[1]
    mereka akan patuh.”

                Gelas
    kopi kosong itu aku letakkan kembali dan berpindah ke bawah meja mencari
    sandalku. “Berapa kali harus kujelaskan, Nek? Aku bukan gend—polisi. Aku ini tentara, seorang prajurit.
    Aku tidak punya urusan dengan anak-anak itu, kenapa juga mereka akan
    mendengarkanku?”

                “Sebab
    kau tinggi menjulang, Nak.
    Kau juga mengenakan seragam gendarme—“

                “Prajurit,
    Nek.”

                “Baiklah, kau seorang prajurit. Apa
    bedanya? Kau datangi mereka dengan senapan
    dan bilang jika mereka naik pohon loquat
    lagi, kau akan melempar mereka ke penjara, atau menembak mereka, atau apalah,
    agar mereka berhenti main di halaman kita.”

    Mata nenek mulai basah dan
    memerah. Beliau sangat membenci anak-anak itu. Wanita tua berlalu, demi rasa
    hormatku, aku akan melakukannya. Sore ini, aku mendengar anak-anak itu di
    sekitar pohon. Kaos tanpa lengan aku masukkan ke dalam celana pendek, dan
    bilang pada Nenek aku akan ke sana.

                “Jangan,”
    katanya, menghadang di depan pintu seraya menggenggam seragamku. “Kau tidak
    akan keluar dengan berpakaian seperti itu. Pakai seragammu.”

                “Tidak
    usah, Nek.” sanggahkku, kucoba menerobos beliau. Namun beliau bersikeras
    menyender di pintu, menjejali seragamku.

                “Pakai.” Perintahnya
    bersungguh-sungguh.

                Aku
    menuruni tangga depan, dibayang-bayangi harapan Nenek. Sangat memalukan
    berpakaian seperti prajurit
    teladan. Bahkan beliau sampai memasangkan lencana. “Henri, kau lupa ini,”
    beliau berbisik dengan serak yang mengganggu, dan menggenggam senapan, memikul
    dan mengokang. Jika saja komandanku menyaksikan semua ini, aku bakal dikarantina dua minggu.

                Aku
    merebut senapan dari tangannya, meraih majalah dan perlahan meloloskan
    kuncinya. Sebuah peluru terjatuh di rerumputan. “Mengapa aku harus membawa
    senapan? Nenek gila ya? Mereka cuma anak kecil.”

                Aku
    mengembalikan senapannya,  tetapi beliau
    menjejali ke tanganku lagi. “Mereka bukan anak-anak, mereka binatang,” tegasnya.

                “Baiklah,
    Nek. Akan kubawa,”
    keluhku putus asa dan mencium pipinya. “Masuklah ke dalam, Nek.”

                “Oh,
    polisi kecilku,” kata beliau senang dan menepukkan tangannya. Beliau yang
    tersenyum puas dan penuh kemenangan, beranjak masuk ke dalam.

                “Prajurit,”
    keluhku setelah beliau berlalu. “Demi Tuhan, aku bukan polisi sialan itu.”
    Aku melangkah ke pekaranganku.

                Anak-anak
    yang berada di atas pohon loquat terus saja membuat keributan dan mematahkan
    cabang-cabangnya. Aku berniat melepaskan bajuku, lalu menggunakannya untuk
    membungkus senapan dan menyembunyikannya di semak belukar, agar aku lebih atau
    cukup terlihat normal. Akan tetapi, sekilas terlihat wajah Nenek mengintai di balik gorden yang
    membuatku mengurungkan niat itu. Aku mengejar anak yang sedang memanjat pohon,
    mencengkram kaus oblongnya, lalu kuhempaskan ke tanah. “Yaallah,” bentakku,
    “semuanya turun dari pohon. Ini bukan punya umum.”

                Ada
    tiga detik keheningan, salah seorang anak yang berada di pucuk pohon menjawab.
    “Oh, aku sangat takut. Ada tentara. Apakah Tuan Tentara ingin membunuh kami?”
    Buah loquat busuk menghantam kepalaku.

                Anak
    yang kuhempaskan ke tanah menatapku hina, “dasar birokrat,” umpatnya. “Sodaraku berada di
    unit patrol tempur, bekerja banting tulang di sana, dan kau tidak malu
    berjalan-jalan mengenakan lencana unit banci dari Tel Aviv ?” Mulutnya
    mengumpulkan segenap dahak dan meludahi kemejaku. Aku memukul wajahnya cukup
    keras.

                Sialan,
    kenapa anak tolol ini tahu soal lencana ini?

                “Hey,
    kalian liat si bangsat ini mukul si Meron?” seorang anak lain di atas pohon.

                “Heh,
    Homo! Kau ngapain jalan-jalan
    pake begituan di Jumat malam?” bentakan anak lainnya. “Nggak mampu beli
    Levi’s?”

                “Jika dia begitu patriot, ayok intifada[2] saja biar dia ada kerjaan.” Dari anak yang pertama berteriak, dan salah seorang anak di pohon melempariku dengan buah loquat. Kucoba memanjat pohon untuk menghajarnya, tetapi sulit rasanya dengan mengokang senapan dan berpakaian seperti ini.

                Tetiba,
    batu bata menghantam punggungku, berasal dari anak yang bersembunyi di
    semak-semak. “PLO[3],” teriaknya dan mengacungkan
    jari tengah ke arahku. Mereka benar-benar anak setan. Sebelum aku mengejarnya,
    anak yang meludahiku beranjak, wajahnya keseluruhan tertutup lumpur, menedang
    tepat di zakarku, dan kabur. Aku melihat anak berambut merah berada dalam jarak
    tiga langkah dan menangkapnya. Aku menarik baju belakangnya, membuatnya
    terjengkang. Dan mulai memukulinya. Anak yang melempar bata melompat ke
    punggungku, dan dua anak dari atas pohon turun untuk membantu temannya.
    Anak-anak ini menempeliku seperti lintah. Salah satu dari mereke menggigit
    leherku. Aku coba
    melepaskan mereka, namun kami malah terjatuh ke kubangan lumpur. Kupukuli
    mereka kanan dan kiri. Bajingan kecil ini benar-benar biji pelir. Mereka tidak menyerah
    betapa pun keras
    aku memukuli mereka. Tanganku mengunci gerakan salah satu anak, dan kucekik
    anak lainnya dengan kakiku. Tiba-tiba Meron—yang terlihat seperti pemimpin
    mereka—menghantam
    kepalaku dengan batu. Dunia terasa berputar-putar, aku merasakan darah mengalir
    di dahiku. Telingaku mendengar rentetan tembakan dan segera saja menyadari aku
    tidak membawa senapanku, pasti
    jatuh saat kami berkubang di lumpur.

                “Tinggalkan
    cucuku, binatang jalang!”
    Aku mendengar suara Nenek. “Atau aku akan menghabisi kalian seperti ikan mas di
    bak mandi.

                Aku
    tidak yakin yang kudengar nyata atau mimpi. “Awas, wanita tua itu gila.” Aku
    mendengar suara Meron dan anak-anak itu melepaskanku.

                “Pergi kalian!” bentak Nenekku, kemudian suara
    kaki berkecipak di atas lumpur.

                “Lihatlah
    mereka mengotori baju polisimu,” katanya,
    aku merasakan tangannya menyentuh pundakku. “Dan mereka membocorkan kepalamu,”
    ratapnya. “Jangan khawatir. Aku akan mengobatimu dan mencucikan seragam ini
    hingga terlihat baru. Dan Tuhan, akan membalas para iblis cebol itu. Ayo masuk,
    malam semakin dingin.” Aku beranjak dan dunia masih berputar dan berputar.

                “Nek,”
    tanyaku. “Dari mana Nenek belajar memegang dan menembak seperti tadi?”

                “Dari
    film-film Jacques Norris, pernah tayang di tivi kabel, sampai provider bajingan
    itu menyetop film-filmnya,”
    ujarnya emosi,
    “dan bawa lari uangku. Besok kau akan
    mengenakan seragam itu lagi dan mendatangi mereka.”

                “Nek!”
    bentakku emosi, dahi-dahiku memanas.

                “Maaf,
    Henry. Prajuritku,” katanya dan berlalu
    menuju tangga.


    [1] Gendarme: polisi
    khusus di Prancis

    [2] Semangat perlawanan
    rakyat Palestina dalam merebut tanah dari kependudukan Israel

    [3] PLO: Palestine
    Liberation Organization; organisasi pembebasan Palestina yang berada di Tel
    Aviv

  • Larilah, Melos! [Osamu Dazai]

    author = Muhammad Al Mukhlishiddin

    Melos murka. Dia membulatkan tekad melakukan apa pun untuk membebaskan negeri itu dari raja yang jahat dan lalim itu. Melos tidak tahu apa-apa soal politik. Dia hanyalah seorang gembala dari kampung terpencil yang menghabiskan waktu dengan memainkan suling dan mengawasi domba-domba. Tapi, Melos adalah seorang pria yang merasakan sengatan ketimpangan lebih dalam daripada kebanyakan orang.

    Sebelum subuh tadi, Melos meninggalkan kampungnya untuk bepergian sejauh tiga puluh mil, melewati padang rumput dan gunung, menuju kota Sirakus. Melos tidak memiliki ibu atau bapak, juga tidak punya istri. Dia tinggal bersama adik perempuannya, seorang gadis pemalu enam belas tahun yang akan segera menikah dengan seorang peternak jujur dan setia. Untuk membeli baju pengantin adiknya dan makanan dan minuman untuk perjamuan pernikahanlah dia melakukan perjalanan jauh ke kota itu. Dia sudah berbelanja dan sedang melangkah di salah satu jalan utama ibu kota itu, dalam perjalanannya untuk mengunjungi Selinuntius, seorang karib sejak masa kanak-kanak. Selinuntius tinggal di Sirakus, tempat dia bekerja sebagai seorang tukang batu. Sudah beberapa lama sejak mereka terakhir bertemu, dan Melos menanti-nanti kesempatan untuk berkunjung itu. Tapi, saat dia berjalan, dia mulai menyadari ada yang aneh dengan suasana kota itu. Betapa hening dan amat sunyi. Matahari sudah tenggelam, dan jalanan memang wajar gelap, tapi suasana murung yang menggantung di atas kota itu entah kenapa lebih dari sekadar dampak kedatangan malam belaka. Melos orang yang riang dan santai, tapi sekarang dia mulai merasa was-was. Menghentikan langkah seorang pemuda di jalan, dia bertanya apakah suatu bencana telah menimpa kota itu, menambahkan bahwa dalam kunjungan sebelumnya, sekitar dua tahun lalu, jalanan bahkan pada malam hari dipenuhi oleh orang-orang yang tertawa dan bernyanyi dan berjoget ceria. Pemuda asing itu hanya menggelengkan kepala dan buru-buru pergi. Tidak jauh dari situ, Melos bertemu seorang tua dan mengajukan pertanyaan yang sama, kali ini dengan lebih mendesak. Orang tua itu tidak berkata apa-apa. Barulah ketika Melos meraih pundaknya dan mengguncang-guncangnya, mengulangi pertanyaan itu, akhirnya dia menjawab, berbisik seolah-olah takut ada yang menguping.

    “Sang raja membunuhi orang-orang.”

    “Atas dasar apa?”

    “Dia bilang orang-orang dipenuhi niat jahat. Tentu saja itu tidak benar.”

    “Apakah sudah banyak yang dibunuhnya?”

    “Ya. Yang pertama adalah suami saudarinya. Selanjutnya sang pangeran, putra dan penerusnya sendiri. Lalu, saudari dan kemenakannya. Lalu, istrinya, sang ratu. Lalu, pengikutnya, Alekis yang bijaksana…”

    “Mengejutkan sekali. Dia sudah gila?”

    “Tidak, dia tidak gila, tapi dia berkata bahwa tidak ada yang bisa dipercaya. Baru-baru ini dia merasa curiga atas abdi-abdinya, dan telah memerintahkan abdinya yang lebih kaya untuk memberi jaminan satu sandera. Hukuman bagi yang menolak adalah hukum salib. Enam orang sudah dieksekusi hari ini.”

    Mendengar ini, Melos murka. “Raja macam apa itu?” serunya. “Dia tidak boleh dibiarkan hidup!”

    Melos adalah seorang pria yang polos. Dengan belanjaan masih bergandul di pundaknya, dia berjalan menuju kastil dan berusaha masuk. Tapi, segera saja dia ditangkap oleh penjaga, yang memiting tangan dan kakinya. Pergumulan itu makin menjadi-jadi ketika, begitu Melos digeledah, sebuah belati ditemukan di sakunya. Dia diseret ke hadapan sang raja.

    “Apa yang akan kau lakukan dengan belatimu ini?” sang tiran Dionysius bertanya dengan penuh wibawa. “Katakan!”

    “Aku akan membebaskan kota ini dari tangan seorang tiran,” jawab Melos gagah berani.

    “Kau?” Sang raja tersenyum merendahkan. “Pria menyedihkan yang patut dikasihani. Apa yang kau tahu tentang duka dan kesepianku?”

    “Hentikan!” Melos berseru balik, dipenuhi amarah. “Meragukan nurani manusia adalah kejahatan paling besar dan paling memalukan. Dan kau, rajaku, meragukan kesetiaan hamba-hambamu.”

    “Kau tidak percaya kecurigaanku berdasar? Manusia itu tidak bisa dipercaya. Apalah manusia itu kalau bukan setumpuk daging yang egois dan serakah? Memercayai ucapan mereka hanya akan mendatangkan keruntuhan.” Sang raja mengatakannya dengan tenang, dan yakin, dan sekarang dia menghela napas. “Kau kira aku sendiri tidak mengharapkan kedamaian?”

    “Kedamaian? Untuk tujuan apa? Untuk melanggengkan takhtamu?” Sekarang Melos-lah yang tersenyum mencela. “Kedamaian macam apa yang didapat dengan membunuhi orang-orang tidak bersalah?”

    “Diam, makhluk rendah.” Sang raja mendongak. “Betapa bagusnya kata-kata yang meluncur dari mulutmu itu. Tapi, sayang sekali bagimu, aku adalah orang yang tatapannya bisa menembus relung hati manusia. Tidak lama lagi kau juga ketika dipaku di salib akan meratap dan meraung-raung dan memohon pengampunan. Jangan berharap lebih.”

    “Ah, sungguh raja yang bijaksana. Tidak heran kau sangat mencintai dirimu sendiri. Kalau aku, aku siap untuk mati. Aku tidak akan mohon ampun. Tapi…” Melos ragu-ragu, menunduk. “Tapi, kalau kau memberiku satu permintaan, aku memintamu untuk menunda eksekusi selama tiga hari. Aku berharap untuk menyaksikan pernikahan adikku satu-satunya. Beri aku tiga hari untuk kembali ke kampungku dan menghadiri upacara pernikahan. Aku pasti akan kembali ke sini sebelum hari ketiga berakhir.”

    “Bodoh.” Sebuah kikikan kering keluar dari mulut sang tiran. “Kebohongan konyol. Apakah seekor burung liar, begitu dilepas, akan kembali ke sarangnya?”

    “Aku akan kembali,” Melos bersikeras, suaranya dipenuhi emosi. “Aku adalah orang yang memegang janjiku. Tiga hari, hanya itu pintaku. Adikku menungguku bahkan sekarang. Tapi, karena kau sangat tidak memercayaiku, baiklah kalau begitu… Di kota ini ada seorang tukang batu bernama Selinuntius. Dia adalah temanku yang tiada bandingannya. Aku akan meninggalkannya di sini sebagai sandera. Kalau aku kabur, kalau saat matahari terbenam pada hari ketiga aku belum kembali, maka kau boleh menggantungnya sebagai penggantiku.”

    Sang raja termenung, dan tersenyum jahat. Kurang ajar makhluk rendah ini. Tentu dia tidak akan kembali. Tapi, barangkali akan menarik kalau pura-pura tertipu dan membiarkannya pergi. Begitu juga bukan suatu yang tidak menyenangkan kalau pada hari ketiga mengeksekusi penggantinya. Menyaksikan penyaliban sandera yang wajahnya penuh duka itu seolah-olah berkata: Lihat dia—bukti bahwa manusia tidak bisa dipercaya. Bukankah itu adalah pelajaran yang tepat untuk umat manusia yang katanya jujur?

    “Baiklah. Panggil sanderanya ke sini. Kau harus kembali ke sini sebelum matahari terbenam pada hari ketiga. Kalau kau terlambat, sandera itu akan mati. Ya, kau dipersilakan untuk datang agak terlambat: kesalahanmu akan diampuni.”

    “Apa! Apa yang kau katakan?”

    “Ha, ha! Terlambatlah, kalau kau masih menyayangi nyawamu. Aku tahu isi hatimu.”

    Melos hanya bisa menghentakkan kakinya geram. Dia merasa tidak perlu lagi berkata-kata.

    Malamnya, Selinuntius dibawa ke kastil. Di situ, di hadapan sang tiran Dionysius, dua sahabat karib itu saling menyapa untuk pertama kalinya sejak dua tahun terakhir. Melos menjelaskan segalanya. Selinuntius mengangguk diam dan memeluknya. Sebab bagi dua sahabat sejati itu sudah cukup. Selinuntius diikat dengan tali. Melos yang bebas segera pergi. Langit awal musim panas bertabur bintang.

    Semalaman Melos berlari, bergegas kembali tiga puluh mil ke kampungnya tanpa istirahat tidur. Dia datang pada keesokan paginya. Matahari sudah tinggi, dan orang kampung mulai bekerja di sawah. Adik Melos mengawasi domba-domba, menggantikannya. Dia terkejut dan sangat khawatir ketika melihatnya berjalan lunglai menujunya, kelelahan, dan dia membanjirinya dengan pertanyaan.

    “Tidak ada apa-apa.” Melos memaksakan senyum. “Aku meninggalkan suatu urusan yang belum tuntas di kota. Aku harus kembali ke sana segera. Lebih baik kita mengadakan pesta pernikahannya besok. Aku yakin kamu tidak akan keberatan untuk mempercepatnya, kan?”

    Pipi adiknya merona.

    “Kamu senang? Aku membelikanmu gaun yang indah. Sekarang pergilah dan kabarkan pada orang kampung. Pernikahannya akan diselenggarakan besok.”

    Begitulah, Melos berjalan lunglai ke dalam rumah. Begitu di sana dia mempersiapkan altar dan menyiapkan meja dan kursi untuk pesta. Tidak lama kemudian selesai dan dia pingsan dan tidur selelap bangkai.

    Hari sudah malam ketika Melos bangun. Dia berdiri dan buru-buru menuju rumah mempelai pria. Dia mendapatinya di rumah dan menjelaskan ada suatu keadaan yang mendesaknya agar pernikahannya diselenggarakan besok. Peternak muda itu terkejut dan protes bahwa terlalu cepat, bahwa dia belum mengurus apa-apa, dan meminta Melos untuk menunggu sampai anggur dituai. Melos bersikeras bahwa tidak mungkin ditunda lagi, bahwa mesti diselenggarakan besok. Mempelai pria itu juga berkeras menolak. Mereka berdebat dan saling membujuk sampai subuh, ketika setelah banyak sanjung puji, Melos akhirnya berhasil membujuk pemuda itu untuk setuju.

    Upacara pernikahan diselenggarakan pada tengah hari. Begitu kedua mempelai mengakhiri sumpah pada para dewa, langit menjadi mendung. Hujan rintik-rintik turun, dan kemudian menjadi deras. Para tamu mengira bahwa ini pertanda buruk, tapi mereka mengabaikannya dan bersuka ria. Segera, meskipun sangat pengap di dalam rumah kecil itu, mereka semua bernyanyi dan bertepuk tangan dengan gembira. Melos juga dipenuhi kebahagiaan dan bahkan bisa melupakan barang sejenak janjinya pada sang raja. Kegembiraan itu makin meningkat begitu malam tiba, dan sekarang para tamu sama sekali mengabaikan hujan di luar. Ah, tinggal selamanya begini, dengan orang-orang baik ini, pikir Melos. Tapi, dia tahu tidak bisa begitu. Hidupnya bukan lagi miliknya sendiri, dan dia menyiapkan mental untuk memantapkan kepulangannya ke Sirakus. Tapi, masih ada cukup waktu sebelum matahari terbenam esok harinya. Dia akan berangkat setelah dia tidur sebentar. Hujan juga mungkin sudah reda nanti, pikirnya. Bahkan orang seperti Melos enggan berpisah dengan orang-orang yang dicintainya, dan tiap waktu tambahan untuk bersantai di rumahnya sendiri menjadi sangat berharga baginya. Dia berjalan menuju mempelai perempuan yang sepanjang pesta duduk kebingungan seolah-olah dirasuki kegembiraan.

    Setelah memberikan ucapan selamat, Melos berkata, “Aku sangat lelah, dan begitu kamu pergi, aku akan tidur. Begitu aku bangun, aku mesti berangkat ke kota. Aku punya urusan penting di sana. Kamu sekarang punya suami yang sayang dan pengertian. Bahkan kalaupun aku meninggal, kamu tidak akan sendirian. Apa yang paling dibenci kakakmu di dunia ini adalah ketidakpercayaan pada orang lain, dan penipuan. Tahu, kan? Kamu dan suamimu jangan pernah saling menyimpan rahasia. Itulah yang ingin kukatakan padamu. Kakakmu ini mungkin seorang lelaki yang berarti. Berbanggalah.”

    Mempelai perempuan hanya mengangguk mengantuk. Melos lalu menoleh pada mempelai pria, menepuk pundaknya, dan berkata, “Kita berdua tidak memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan pernikahan yang pantas. Satu-satunya hartaku adalah adik dan domba-dombaku. Mereka milikmu. Aku hanya meminta ini sebagai balasan—bahwa kau selalu harus bangga menjadi saudara Melos.”

    Mempelai pria, tidak tahu mesti berkata apa, menggenggam-genggamkan tangannya malu-malu. Melos tersenyum dan, membungkuk pelan untuk mengucapkan selamat tinggal pada mereka, meninggalkan perjamuan. Dia menuju kandang domba di luar, tempat dia tidur seperti bangkai.

    Dia bangun keesokan harinya saat subuh. Aduh, Gusti!—dia berpikir sambil berdiri—aku terlambat bangun? Tidak, hari masih dini. Kalau aku berangkat sekarang aku akan tiba dengan masih menyisakan waktu. Hari ini, bagaimanapun caranya, aku harus menunjukkan pada sang raja bahwa manusia bisa, dan akan, memegang janjinya. Lalu, aku akan meniti salib itu sambil tersenyum.

    Tenang, dan sungguh-sungguh, Melos mulai mempersiapkan perjalanannya. Hujan mereda kelihatannya, dan tidak lama kemudian dia selesai mempersiapkan diri, bergegas keluar, dan mulai berlari dengan kecepatan seperti anak panah meluncur.

    Petang ini aku akan dibunuh. Aku berlari untuk menyongsong kematianku. Aku berlari untuk menyelamatkan temanku, yang menantiku sebagai pengganti. Aku berlari untuk memberi hantaman keras pada hati kejam sang raja. Aku tidak punya pilihan kecuali berlari. Dan aku akan dibunuh. Anak muda, kehormatan itu harus dijaga!

    Tidak mudah bagi Melos. Beberapa kali dia hampir terhenti, dan dia mengumpat pada dirinya sambil berlari. Dia meninggalkan kampung, menyeberangi hamparan padang rumput, dan berhasil masuk ke sebuah hutan. Pada saat dia mencapai kampung selanjutnya, hujan berhenti, matahari tinggi, dan hari menjadi panas. Melos mengusap keringat dari keningnya dengan tangan. Sekarang setelah dia mencapai sejauh ini, dia tidak lagi dihantui pikiran tentang rumah dan kampung.

    Adikku dan suaminya akan bahagia bersama. Tidak ada yang membebani pikiranku sekarang. Aku hanya perlu berlari terus ke kastil sang raja. Juga aku tidak perlu terburu-buru. Aku bisa berjalan pelan-pelan dan tetap tepat waktu.

    Melos melambat dan mulai bernyanyi, dengan suaranya yang indah, lagu sederhana yang disukainya. Dia berjalan enam mil, sembilan mil dengan santai. Tapi, ketika hampir setengah jalan sampai ke kota, suatu bencana tidak terduga menghentikannya. Lihatlah! Hujan deras kemarin menyebabkan mata air pegunungan meluap, kali membeludak, air keruh menuruni lereng dan meluap di bantaran sungai, tempat, dengan hantaman keras, arus itu mendebur jembatan, menghancurkannya. Melos berdiri dan menatap tidak percaya. Dia menatap bantaran sungai dan berseru senyaring-nyaringnya; tapi tidak kelihatan ada perahu maupun tukang perahu. Sungai masih meluap, seperti laut mengamuk. Melos rubuh di bantaran sungai, meratap, dan menengadahkan tangannya ke langit.

    “Oh, Zeus, hentikanlah arus menggelora ini! Matahari sudah di puncak. Kalau ketika matahari terbenam aku belum mencapai gerbang kastil, temanku yang setia mesti mati karena aku!”

    Seolah-olah marah atas seruan Melos, air keruh itu meluap dan menggelora lebih dahsyat. Ombak menelan ombak, berolak dan berdebur-debur, dan Melos hanya bisa menyaksikannya sementara waktu terus berjalan. Akhirnya keputusasaannya berubah menjadi keberanian. Dia tidak punya pilihan kecuali mencoba berenang menyeberang.

    “Gusti! Aku berseru padamu untuk menyaksikan kekuatan kasih dan kebenaran yang tidak akan tunduk pada arus deras ini!”

    Melos mencebur ke dalam arus dan memulai upaya terakhirnya mengatasi ombak ganas yang mencambuk dan membelitnya seperti ratusan ular raksasa. Dengan segenap tenaga yang bisa dikerahkannya, dia menyibak jeram yang bergelora dan berolak seperti singa ganas dalam pertempuran. Dan mungkin para dewa, karena melihat tontonan heroik ini, tersentuh untuk memberikan kemurahan hati. Bahkan saat Melos diombang-ambing dan dihanyutkan sepanjang arus deras itu, entah bagaimana dia berhasil mencapai seberang bantaran sungai dan memeluk batang pohon di sana. Dia memanjat, menyibak air dari badannya sambil menggigil, dan segera bergegas. Tidak boleh membuang-buang waktu. Matahari sudah condong ke barat. Napasnya berat dan tersengal-sengal, dia berlari ke jalan gunung. Baru saja dia mencapai puncak dia berhenti untuk mengambil napas, dan ketika itulah, tiba-tiba saja, sekumpulan rampok gunung muncul di jalan di hadapannya.

    “Berhenti.”

    “Apa-apaan ini? Aku harus sudah berada di kastil sang raja sebelum matahari terbenam. Biarkan aku pergi.”

    “Tidak, sampai kami mendapatkan barang berhargamu, tidak akan.”

    “Aku tidak punya apa-apa. Tidak punya apa-apa kecuali nyawaku. Dan hari ini aku mesti menyerahkannya pada sang raja.”

    “Nyawamulah yang kami minta, kalau begitu.”

    “Tunggu. Apakah sang rajalah yang mengutus kalian untuk menghentikanku?”

    Para rampok tidak menjawab, tapi mengayunkan gadanya ke udara. Melos membungkuk sampai menjongkok, melompat ke orang yang paling dekat dengan dia, dan segera menghempaskan gadanya.

    “Aku tidak akan melukai kalian, kecuali demi kebaikan urusanku!” Melos berseru, dan dengan tiga hantaman gada yang penuh tenaga dan liar, tiga rampok tergeletak tak bernyawa. Ketika yang lainnya menggigil ketakutan, Melos kabur dan berlari menuruni jalur gunung.

    Dia mencapai kaki gunung dalam sekali lari, tapi kelelahan mulai menguasainya. Surya tengah hari sekarang bersinar sangat membara menusuk-nusuk wajahnya. Gelombang kepusingan menyapunya, dan lagi dia berusaha mengatasi perasaan itu sampai, setelah sempoyongan dua tiga langkah, lututnya menyerah dan dia ambruk. Dia tidak bisa bangun. Dia tergeletak, meratap.

    Ah, Melos, kamu sudah berhasil sampai sejauh ini. Kamu sudah menyeberangi sungai deras, mengalahkan tiga rampok, dan berlari seperti Hermes. Melos yang jujur dan berani, betapa memalukannya rebah di sini sekarang, terlalu lelah untuk bergerak. Tidak lama lagi temanmu tercinta akan membayar kepercayaannya padamu dengan nyawanya. Oh, orang yang khianat, kalau begitu, bukankah kamu seperti yang dicurigai sang raja?

    Begitulah Melos menggerutu pada dirinya, tapi segala tenaganya lenyap. Dia terkulai di sebelah padang rumput di sebelah jalan, dan tidak bisa bergerak lagi bahkan selataan cacing. Ketika tubuh lelah, jiwa juga melemah. Segalanya tidak penting lagi sekarang, dia berkata pada dirinya sendiri, merajuk bersungut-sungut, sifat yang tidak cocok bagi seorang pahlawan, mulai meruah dalam hatinya.

    Aku sudah berusaha sekuat tenaga. Aku tidak memiliki niat sedikit pun untuk melanggar janjiku. Sebagaimana disaksikan para dewa, aku mencurahkan segenap tenagaku. Aku bukan lelaki yang khianat. Ah, kalau saja aku bisa merobek dada ini sehingga kamu bisa melihat merahnya hatiku, yang urat nadinya adalah cinta dan kebenaran. Tapi, kekuatanku telah habis, jiwaku kelelahan. Terkutuklah nasibku! Namaku akan menjadi bahan olok-olok. Kalau aku gugur sekarang di sini, seolah-olah aku sama sekali tidak melakukan apa-apa. Aku menipu temanku. Segalanya tidak ada yang berarti lagi sekarang. Jadi, apakah ini akan menjadi takdirku? Maafkan aku, Selinuntius. Kamu telah terus mempercayaiku. Bukan juga aku menipumu. Kau dan aku adalah teman baik yang saling jujur. Tidak pernah sekali pun kita melabuhkan awan gelap keraguan dalam dada kita. Bahkan sekarang kau dengan sabar menantikan kembalinya aku. Ah, aku tahu kau menanti. Terima kasih, Selinuntius. Kamu memercayaiku, dan kepercayaan antara teman adalah harta paling berharga dalam hidup. Aku tidak sanggup memikirkannya. Aku sudah berlari, Selinuntius. Aku tidak punya sedikit pun niat untuk menipumu. Tolong percayalah! Aku telah mengatasi sungai deras. Aku telah melarikan diri dari para rampok yang mengepungku, dan berlari menuju kaki gunung tanpa sekali pun berhenti. Siapa lagi selain aku yang bisa bertindak sejauh ini?

    Ah, tapi jangan berharap apa-apa lagi dari aku sekarang. Lupakan aku. Tidak ada lagi yang berarti sekarang. Aku kalah. Orang yang memalukan. Tertawakanlah aku. Sang raja berbisik bahwa aku dipersilakan terlambat. Kalau begitu, dia akan membunuh sanderanya, katanya, dan mengampuni nyawaku. Aku membencinya karena itu. Tapi, sekarang lihatlah aku: bukankah aku sedang melakukan tepat seperti dianjurkannya? Aku akan datang terlambat. Sang raja akan menganggap aku melakukannya dengan sengaja. Dia akan menertawakan aku dan membiarkan aku pergi, seorang lelaki bebas. Itu, bagiku, adalah nasib yang lebih buruk daripada mati. Aku akan dicap sebagai pengkhianat selamanya, aib terbesar manusia. Tidak, Selinuntius, aku juga akan mati. Kau dan kau saja yang percaya bahwa hatiku jujur. Izinkan aku mati bersamamu.

    Tapi, apakah aku berhak? Haruskah aku terus hidup dalam kebusukan dan dosa? Aku memiliki rumah di kampung. Aku memiliki domba-dombaku. Tentu adikku dan suaminya tidak akan mengusirku dari rumahku. Kebajikan, kepercayaan, cinta—bukankah semua itu kata-kata belaka? Kita membunuh orang lain kalau kita mau hidup. Itulah cara kerja dunia. Dan betapa sia-sia segalanya. Aku adalah pengkhianat yang penuh tipu daya dan keji. Apa pun yang kulakukan tidak berarti. Sial!

    Saat Melos terlentang dengan tangan dan kaki menjulur di tanah, kantuk mulai menguasainya. Tapi, kemudian, tiba-tiba saja, suara gemericik terdengar olehnya. Sambil sedikit mengangkat kepalanya, dia menahan napasnya dan mendengar. Suara itu berasal dari suatu tempat yang tak jauh dari situ. Sambil berdiri goyah, dia melihatnya—air bergerobok lamat-lamat dari retakan batu. Aliran air terasa berbisik pada Melos, untuk menggerakkannya, dan dia jongkok di depannya dan minum, menangguk air dengan dua tangannya. Dia menghela napas panjang dan dalam, dan merasa seolah-olah terbangun dari sebuah mimpi. Dia bisa melanjutkan perjalanan. Dia akan melanjutkan perjalanan. Seiring tubuhnya kembali pulih, percikan harapan mulai muncul dalam hatinya. Harapan bahwa dia bisa memenuhi tugasnya. Harapan bahwa dia bisa mempertahankan kehormatannya dengan mati di tangan algojo. Surya merah yang menurun bersinar sangat terang seolah-olah bisa membakar dedaunan dan cabang-cabang pohon.

    Masih ada waktu sampai sebelum matahari terbenam. Ada yang menantikanku. Dengan sabar, tidak pernah meragukanku, dia menantikan kehadiranku kembali. Aku dipercayainya. Hidupku? Tidak ada harganya. Tapi, ini bukan waktu untuk meminta pengampunan lewat kematianku. Aku mesti membuktikan betapa berharganya kepercayaannya. Itulah, untuk sekarang, segalanya. Larilah, Melos!

    Dia memercayaiku. Dia memercayaiku. Bisikan setan itu tadi hanyalah sebuah mimpi. Mimpi buruk. Lenyapkan dari pikiranmu. Orang akan punya mimpi semacam itu kalau tubuhnya kelelahan. Tidak perlu malu karena itu, Melos. Kamu adalah pemberani sejati. Belumkah kamu berdiri, apakah kamu tidak akan berlari kembali? Terpujilah para dewa. Aku bisa mati sebagai manusia bajik. Ah, surya tenggelam. Betapa cepat tenggelamnya! Tunggulah, wahai, Zeus. Aku telah hidup sebagai manusia jujur. Izinkan aku untuk mati dalam keadaan jujur juga.

    Menyibak orang-orang yang berkerumun di jalan, bahkan melontarkan sebagiannya, Melos berlari seperti badai. Dia mengejutkan orang-orang yang bersuka ria bersantap di padang rumput dengan bergegas masa bodoh lewat di tengah-tengah mereka. Menendang anjing-anjing dan melompati kali, dia berlari sepuluh kali lebih cepat dari surya tenggelam. Ketika dia berpapasan dengan sekelompok pejalanlah dia mendengar kata-kata tidak jelas ini: “Orang itu akan disalib sekarang.”

    “Orang itu.” Untuk orang itulah aku berlari. Orang itu tidak boleh mati. Lebih cepat, Melos. Kamu tidak boleh terlambat. Sekaranglah saatnya untuk membuktikan kekuatan cinta dan kebenaran.

    Pakaiannya tanggal saking cepatnya sampai nyaris telanjang—karena penampilan sudah tidak berarti lagi baginya—Melos terus berlari. Dia kesulitan bernapas, dan dua atau tiga kali dia memuntahkan darah. Tapi, lihatlah. Itu dia, kecil di kejauhan, menara-menara Sirakus. Menara-menara itu bersinar di tengah surya tenggelam.

    “Ah, Melos, bukan?” sebuah suara seperti erangan mencapai telinganya bersamaan dengan suara angin.

    “Siapa yang bicara itu?” kata Melos tanpa menghentikan langkah.

    “Namaku Filostratus, Tuan, anak magang temanmu Selinuntius.” Pemuda itu berlari di belakang Melos, berseru. “Anda terlambat, Tuan. Percuma. Anda tidak perlu berlari lagi. Anda tidak bisa menolongnya lagi.”

    “Matahari belum terbenam sepenuhnya.”

    “Bahkan sekarang dia sedang dipersiapkan untuk dieksekusi. Anda terlambat, Tuan. Sial. Kalau saja Anda datang lebih cepat!”

    “Matahari belum terbenam sepenuhnya.” Melos merasa seolah-olah hatinya akan meledak. Matanya terpaku pada surya merah besar di kaki langit di barat sana. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali lari.

    “Cukup, Tuan. Berhentilah, kumohon. Hiduplah yang penting sekarang. Tuanku memercayai Anda. Bahkan ketika mereka menyeretnya ke tempat eksekusi, dia tetap tidak khawatir. Dan ketika sang raja mengejek dan mencemoohnya, yang dia bilang hanya, ‘Melos akan datang.’ Kepercayaannya padamu tidak tergoyahkan sampai detik terakhir.”

    “Itulah kenapa aku harus berlari. Aku berlari karena kesetiaan itu, kepercayaan itu. Tepat waktu atau tidaknya aku bukanlah persoalan. Bukan juga hanya sekadar demi nyawa seorang manusia. Aku berlari karena sesuatu yang lebih besar tak terhingga dan lebih menyeramkan dari kematian. Larilah bersamaku, Filostratus!”

    “Ah, apakah kegilaanlah yang mendorongmu, kalau begitu? Baiklah, Tuan, larilah! Larilah sekuat tenagamu. Barangkali, barangkali saja, masih ada waktu. Larilah!”

    Tidak juga ada yang bisa menghentikannya. Matahari belum sepenuhnya tenggelam. Mengerahkan segenap tenaganya yang terakhir dalam keputusasaan, Melos terus berlari. Tidak ada satu pun pikiran terbersit dalam benaknya. Dia berlari, digerakkan oleh suatu daya besar yang entah apa namanya. Sementara itu, matahari terbenam pelan ke balik kaki langit, dan tepat ketika sorotan cahaya hendak lenyap, Melos yang menunggangi sayap angin merangsek ke tempat eksekusi. Dia berhasil.

    “Tunggu, algojo. Lepaskan orang itu. Melos telah kembali, seperti janjinya.” Dari balik kerumunan yang telah berkumpul, Melos mencoba menyerukan kata-kata itu. Tapi, yang keluar dari tenggorokannya yang kering hanyalah bisikan samar, dan tidak ada satu pun orang di kerumunan itu yang memperhatikan kedatangannya. Salib itu telah ditegakkan di tempatnya, bertengger megah di hadapan kerumunan, dan Selinuntius, terikat dengan tali, sedang dikerek pelan. Melos, dengan ledakan tenaga terakhirnya, berhasil menyibak kerumunan, mirip seperti sebelumnya dia menyibak arus ganas sungai itu.

    “Algojo! Ini aku! Akulah yang mesti dihukum mati. Aku Melos. Melos, yang meninggalkan orang ini sebagai jaminan, berdiri di hadapanmu!” Berupaya keras untuk memperdengarkan suaranya yang kasar, Melos memanjat panggung yang menopang salib itu dan memeluk kaki temannya.

    Kehebohan muncul dari kerumunan. Dari segala penjuru terdengar seruan “Terpujilah!” dan “Bebaskan dia!” Selinuntius dikerek turun ke panggung dan ikatannya dilepaskan.

    “Selinuntius,” kata Melos, matanya berkaca-kaca. “Tampar aku. Hantam aku sekeras mungkin. Sebab sekali, dalam perjalananku ke sini, sebuah mimpi buruk menguasaiku. Kalau kau tidak menghantamku, aku tidak berhak untuk memelukmu. Pukul aku, Selinuntius!”

    Selinuntius kelihatannya paham. Dia mengangguk, dan menghantam pipi kanan Melos dengan gebukan yang suaranya bergema seantero tempat eksekusi. Lalu, dia tersenyum lembut.

    “Melos,” katanya. “Pukul aku. Tampar aku sekeras aku menghantammu tadi. Sekali selama tiga hari terakhir, aku meragukanmu. Hanya sekali, tapi pertama kalinya dalam hidupku. Kalau kau tidak menghantamku, aku tidak bisa memelukmu.”

    Tangan Melos berayun di udara dan menghantam pipi Selinuntius.

    “Terima kasih, kawanku!” Melos dan Selinuntius berucap bersamaan, berpelukan erat, dan menangis terharu.

    Dari kerumunan pun terdengar tangisan. Sang tiran Dionysius melonjak dari kursinya di balik kerumunan, menatap lekat-lekat dua sahabat itu beberapa lama. Lalu, dia berjalan tak bersuara ke tempat mereka berdiri. Wajahnya merona ketika dia bicara.

    “Harapanmu sudah terpenuhi. Kau telah memenangkan hatiku. Kepercayaan di antara manusia bukan sekadar ilusi kosong. Aku juga ingin menjadi temanmu. Katakanlah, kalian akan membiarkan ikatan kasih sayang itu untuk tiga orang.”

    Seruan dan sorak-sorai “Dirgahayu sang raja!” menyeruak dari kerumunan. Dan dari kerumunan yang bersorak-sorai itu, seorang gadis maju menating sebuah jubah merah. Ketika dia menyerahkan jubah itu pada Melos, dia hanya bisa terkejut. Temannya, Selinuntius yang jujur, segera menjelaskan.

    “Lihatlah dirimu, Melos—pakaianmu tanggal sama sekali. Pakailah jubah itu. Gadis cantik ini tidak tahan melihatmu dalam keadaan demikian di hadapan orang-orang.”

    Pipi sang pahlawan menjadi merona.

    (berdasarkan legenda kuno, dan sebuah puisi karya Schiller)

     

    “Run Melos” oleh Osamu Dazai dipublikasikan pertama kali pada 1940 dalam Bahasa Jepang, diterjemahkan dari versi Bahasa Inggris dalam Run Melos and Other Stories (1988) terjemahan Ralph F. McCarthy.
    Osamu Dazai adalah salah satu sastrawan Jepang termahsyur pascaperang. Dikenal sebagai penulis aliran I-Novel (Shishoetsu) dan merupakan bagian dari lingkaran sastra Buraiha. Karya-karyanya sampai sekarang masih banyak dicetak ulang karena dianggap mampu menggambarkan kegelisahan manusia modern. Dia juga banyak menulis karya yang didasarkan pada dongeng Jepang. Karyanya yang paling terkenal adalah Ningen Shikkaku atau No Longer Human (1948) yang pernah diadaptasi menjadi film dan anime.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Kisah Ganjil [O’Henry]

    author = Yanuardhi Mazid

    Di bagian utara Austin tinggal satu keluarga bersahaja bernama Smothers. Keluarga itu terdiri dari John Smothers, isterinya, dirinya sendiri, putri kecil mereka yang berusia lima tahun, beserta orangtuanya, membuat populasi kota itu berjumlah enam orang dalam perhitungan khusus seperti itu, tapi hanya tiga orang jika dalam perhitungan sebenarnya.

    Pada suatu malam, selepas makan malam gadis kecil itu didera sakit perut yang parah, dan John Smothers bergegas ke kota untuk mencari obat.

    Dia tak pernah kembali lagi.

    Gadis kecil itu sembuh dan beranjaknya waktu tumbuh menjadi wanita dewasa.

    Ibunya sangat berduka atas menghilangnya sang suami namun belum genap tiga bulan ia telah menikah lagi lalu pindah ke San Antonio.

    Satu ketika gadis kecil itu pun menikah, selang beberapa tahun bergulir, dia pun dikaruniai seorang putri kecil berusia lima tahun.

    Dia tetap menghuni rumah yang sama tempat mereka tinggal sebelumnya ketika ayahnya pergi dan tak pernah kembali lagi.

    Pada suatu malam karena kebetulan yang  menakjubkan putri kecilnya terserang sakit perut tepat di hari peringatan hilangnya John Smothers, yang semestinya kini menjadi kakeknya bilamana dia masih hidup dan memiliki pekerjaan tetap.

    “Aku akan pergi ke kota dan mencari obat untuknya,” kata John Smith (daripada itu lain-tidak pria itulah yang dinikahinya).

    “Jangan, jangan, John sayang,” seru istrinya. “Kau, pun, mungkin akan menghilang selamanya, dan lupa caranya kembali.”

    Maka John Smith batal pergi, lalu mereka bersama-sama duduk di samping Pansy kecil (perlu diketahui namanya Pansy).

    Selang berlanjut kondisi Pansy kecil tampak semakin buruk, John Smith lagi-lagi berkeinginan untuk mencari obat, tetapi istrinya tidak mengizinkannya.

    Tiba-tiba pintu terbuka, dan seorang laki-laki tua, renta dan bungkuk, dengan rambut putih panjang, memasuki ruangan.

    “Halo, itu dia kakek,” kata Pansy. Dia mengenalinya sebelum yang lain.

    Pria tua itu mengambil sebotol obat dari dalam sakunya lalu memberi Pansy sesendok penuh.

    Dia pulih dengan seketika.

    “Aku sedikit terlambat,”  kata John Smothers, “karena menunggu kereta LRT*.”

    * Dalam teks aslinya O’Henry menulis “as I waited for a street car.” Ini merupakan sindiran untuk perusahaan trem (street car) di Austin, Texas yang pada masa itu pembangunannya mangkrak karena masalah finansial dan teknis. Penerjemah sengaja mengaitkan pada konteks masa kini, melihat pembangunan LRT di Jakarta yang lambat dan hingga kini belum juga beroperasi. Selain itu di masa kini banyak kota-kota besar yang beralih dari trem ke kereta LRT.

    Judul asli cerita ini A Strange Story, merupakan salah satu dari banyak karya O’Henry yang paling populer. Banyak yang mengklasifikasikan cerita ini sebagai anekdot panjang, sebagian menyebutnya cerpen pendek (short short-story). Seperti kebanyakan karya O’Henry, cerita ini juga menyajikan kejutan (twist) di bagian akhir cerita, yang merupakan ciri khasnya.

  • Kereta Hantu [Emmanuel B. Dongala]

    author = Bagus Panuntun

    Ah matahari ! Cahaya matahari sedang silau betul saat aku keluar dari lab. Hari yang terik pada musim panas di New York dengan pohon-pohon, dedaunan hijau, cuaca lembab, juga asap yang membumbung tinggi dari gedung-gedung pencakar langit yang membuat langit nampak muram. Aku sebenarnya punya hasrat konyol untuk berjingkrak-jingkrak dari lab sampai Stasiun Central Park tapi aku tak punya banyak waktu. Kerja. Kereta. Persimpangan jalan. Lampu lalu lintas masih hijau dan aku belum bisa menyeberang. Baris demi baris mobil perlahan-lahan melewatiku. Darah kehidupan mengalir sepanjang arteri makadam. Sinar matahari memantul di kaca depan sebuah mobil dan membuatku silau. Ah, kalau saja aku punya kacamata hitam seperti para penjaga bioskop. O.K kids, hands up! Para polisi nampak begitu menggelikan dengan tongkat lalinnya. Seorang pria kekar dari Irlandia terus mengunyah permen karet. Lampu merah. Dan aku mulai menyeberang. Loket stasiun. Antrian mengular seperti yang biasa terjadi pada jam-jam sibuk. Seorang perempuan tua di depanku mengeluarkan beberapa keping receh dari sakunya dan salah satunya jatuh. Ia nampak sedih melihat koinnya menggelinding dan lenyap di antara kaki-kaki orang. Aku tersenyum. Kini giliranku. Petugas loket langsung meminta 2 keping 10 sen tanpa senyum sedikitpun. Aku membalas sifat tak acuhnya dengan lewat begitu saja tanpa berterima kasih. Aku turun tangga dan mengikuti petunjuk arah menuju pusat stasiun. Semakin turun, keadaan semakin gelap. Aku sempat berhenti beberapa kali supaya mataku terbiasa dengan gelap ini. Dari kejauhan, terdengar suara gemuruh kereta yang entah sedang menuju kemana. Akhirnya aku tiba juga di peron. Ada tiga bangku dan dua gadis sedang duduk di salah satu bangku tersebut. Dengan sengaja aku duduk tepat di sebelah gadis rambut pirang yang paling cantik; dia cuek. Aku pun pindah ke bangku sebelahnya, mengambil jarak dan menatapnya sejenak lalu berusaha melempar senyumku yang paling manis. Sia-sia! Demi apapun aku tak suka orang blonde, aku lebih suka orang brunette! Sudahlah. Stasiun nampak dekil: puntung rokok, kertas-kertas koran, tutup dan botol bir, semua berserakan. Aku melihat sekeliling dan membaca sebuah peringatan di dinding “Dilarang Meludah”. Mendadak aku langsung ingin meludahi tulisan itu. Sebuah mesin minuman kaleng memajang tulisan “Mau gaul? Minum coke !” Hmm. Tak terasa stasiun menjadi penuh sesak. Seorang perempuan usia 80 atau 90-an berdiri tepat di depanku. Tubuh bungkuknya yang disangga tongkat nampak begitu lelah dan ringkih. Ia menyeringai padaku dengan gigi yang mulus ompong. Betul-betul mengerikan! Aku bangkit dari tempat duduk dan menawarkan tempatku pada seorang gadis pirang nan cantik yang berdiri persis di sebelah nenek tua tadi. Aku sungguh suka cewek, terutama cewek blonde. Awalnya ia menolak namun akhirnya ia mau juga. Oh perempuan, tak pernah “iya” pada saat pertama. La donna è mobile! (Perempuan sungguh membingungkan!). Aku kembali memandang sekeliling dan memperhatikan dinding-dinding sepanjang stasiun. Dimana-mana ada reklame dan grafiti. Mataku rabun sehingga tak bisa membaca tulisan-tulisan itu dengan jelas; aku mendekat dan membaca salah satunya “Mending jadi komunis daripada nikah!”. Lucu. Aku mulai lelah, bosan, dan jengkel. Aku kembali mendekat ke arah bangku namun secara tak sengaja sepatuku menginjak permen karet dan aku hampir terjungkal. Kugosok-gosokkan sepatuku ke lantai tapi permen karet ini tak mau lepas. Menjijikkan. Aku kembali ke dekat bangku. Cewek pirang yang tadi menoleh ke arahku; aku tersenyum padanya. Ia bergeming. Dia sudah lupa aku?!? Sungguh, aku benci perempuan, terutama perempuan blonde! Tepat di saat itu, seseorang bertanya padaku, “Eh bung, kereta ini ke arah mana ya?” “Ke Neraka bos,” jawabku. Ia jengkel dan mengumpat. Bajingan. Masa bodo lah, pikirku.

    Sekarang stasiun benar-benar penuh. Gerah sekali. Ternyata segerah ini musim panas di New York. Aku kembali berjalan dengan kedua tangan kumasukkan ke dalam saku. Sebuah kaleng coke kosong tergeletak di depanku. Aku menyepaknya sekencang-kencangnya. Kaleng itu berkelontangan. Saat itulah orang-orang menoleh ke arahku, memperhatikanku: akhirnya aku ada! Orang-orang aneh, entah yang berkacamata, entah yang tidak. Tak ada yang kukenal, dan sebenarnya aku tak peduli juga. Biarkan aku menyukai orang-orang, kebebasan, demokrasi, sosialisme, keadilan, dan sebagainya, dan  sebagainya. Oke, aku akan pergi menuju mesin coke dan aku siap menjadi gaul. Mereka kembali melihatku. Aku benar-benar suka orang New York, mereka memang jempolan, aku bahkan bersedia mampus demi mereka. Aku mengambil sekeping koin 10 sen dan memasukannya ke lubang mesin kemudian memencet tombolnya. Sebuah paper cup terlepas dan mulai terisi dengan coke. Sial, kereta! Aku langsung tergesa dan meninggalkan coke-ku begitu saja. Orang gaul berikutnya akan dapat minuman gratis! Ada barang gratis di Amerika! Sebentar lagi seseorang akan berpikir dunia ini penuh menakjubkan! Pintu kereta terbuka. Kereta yang tadinya lengang mendadak penuh sesak. Kami berdesakan dengan kacau, saling tendang, saling sikat, saling sikut. Voilà, beginilah orang New York dan aku benci sekali pada mereka! Mereka selalu berebut tempat untuk kepentingannya sendiri. Pintu kereta tertutup. Berangkat. Kereta tiba-tiba menghentak dan membuatku terlempar ke belakang dan orang-orang di depanku ikut jatuh menindihku. Sembari berusaha menemukan lagi keseimbangan aku berpapas muka dengan seorang perempuan (lagi-lagi) blonde. Aku mengernyitkan dahi tanpa tersenyum padanya. Aku mendekat, mencuri kesempatan sebisa mungkin untuk menyenggol teteknya yang menyembul. Goncangan kereta lagi-lagi membuatku terlempar mundur dan saat aku kembali ke posisi tadi, tiba-tiba sudah ada seseorang di antara kami. Ah, selalu saja ada sesuatu atau seseorang di antara kita dan hal yang paling kita sukai di dunia. “C’est la vie”, “beginilah hidup”, kata orang Prancis. Seseorang menghujamkan sikunya ke jidatku, sedang yang lain menjotos lambungku. Seorang tentara meremukkan jempol kakiku dengan pantofelnya. Aku menatapnya tajam dengan murka: ia berbisik minta maaf namun nampak sekadar basa-basi. Jagoan di depanku mencoba membaca koran. Oh, maha akrobat! Orang-orang mendorong, memepet, menyikutnya, namun ia tak peduli dan tetap membaca. Seorang perempuan paruh baya gendut ngorok di tempat duduknya dengan mulut melompong; tubuhnya berpeluh keringat. Aku benar-benar benci perempuan gendut, terutama yang tidur di métro dengan mulut melompong. Aku makin merasa gerah. Lelaki di depanku berbau busuk dan seisi dunia mendadak jadi ikut busuk. Aku berbalik, mengamankan hidungku ke arah lain. Kini aku bertatap muka dengan seorang lelaki berwajah mengesankan. Seorang badut. Ia pasti seorang aktor atau pelawak atau apalah. Keringat mengalir di dahi, pipi, dan mulutnya dan melelehkan make up, mascara, cat merah, cat hijau, dan cat putihnya. Wajahnya yang warna-warni terasa benar-benar ganjil. Seperti apa wajah aslinya? Aku hanya melihat bulu matanya; Kedua sayap hidungnya kembang kempis butuh udara. Apa dia akan mati lemas? Ia menatapku, aku bergidik melihat topengnya. Topeng kematian. Ia menginginkanku. Tapi aku masih mau hidup. Keringatku mengalir deras dan semakin deras. Bunyi rel menderit, lampu kereta mati, hidup lagi, mati lagi. Topeng itu kembali menatapku tajam seolah ingin menyeret, menyerapku dalam ketiadaan. Aku mencoba memejamkan mata, tidak, aku tidak bisa  melihat lagi. Kereta ini berputar, aku ketakutan, kereta ini cepat sekali, ini kereta hantu, ia tak berhenti, tak mau berhenti, terus turun dalam lingkaran, berputar, berputar, berputar…

    Judul Asli: Mon Métro Phantôme

    Penulis: Emmanuel B Dongala

    Bahasa sumber: Prancis

    Buku sumber: Kumpulan Cerpen Jazz et vin de palme

    Emmanuel Boundzéki Dongala, lahir 14 Juli 1941, adalah seorang Profesor kimia cum sastrawan Kongo. Cerpen Mon Métro Phantôme menggambarkan alienasi yang dialami imigran kulit hitam di Amerika di tengah arus modernisasi dan stereotip yang melekat padanya. Cerpen yang diceritakan dengan gaya orang mengoceh ini terdapat dalam kumpulan cerpen Jazz et Vin de Palme (1982) yang terbit ketika Kongo masih menganut Marxist-Leninist otoritarian dan sempat dilarang di negaranya karena isinya yang satir dan penuh olok-olok pada negara tersebut.

    Sumber:

    Dongala, Emmanuel Boundzeki. 1982. Jazz et Vin de Palme. Paris: Hatier

    Thomas, Dominic. 2002. Nation-Building, Propaganda, and Litterature in Francophone Africa. Indiana University Press

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Kelas Terakhir [Alphonse Daudet]

    author = Andreas Nova

    Aku sangat terlambat ke sekolah pagi itu, dan sangat takut dimarahi, terutama karena Pak Hamel telah mengatakan kepada kami bahwa ia akan menguji kami tentang partisipel, dan aku sama sekali tidak tahu tentang itu. Sesaat kupikir lebih baik membolos dan berkeliaran di ladang.

    Hari ini cuacanya hangat, sangat cerah.

    Burung-burung hitam bersiulan di tepian hutan dan padang rumput, di belakang penggergajian, tempat tentara-tentara Prusia tengah berlatih. Semua itu sangat menggodaku untuk membolos daripada mengikuti pelajaran mengenai partisipel. Tapi, aku sudah bertekad, maka cepat-cepat aku berlari menuju sekolah.

    Saat melewati kantor kepala desa, aku melihat orang-orang berkerumun di depan papan pengumuman. Selama dua tahun ini, semua kabar buruk ada di situ mulai dari berita kekalahan perang, tuntutan-tuntutan, sampai perintah-perintah dari pusat; aku tak menghentikan langkahku sembari membatin,

    “Kali ini apa lagi?”

    Lalu, saat aku berlari di alun-alun, Wachter, si pandai besi yang berdiri di sana dengan muridnya, membaca pengumuman itu lalu berseru padaku,

    “Jangan buru-buru begitu, Nak. Kau akan segera sampai di sekolah!”

    Aku pikir ia mengolokku dan aku pun masuk dengan terengah-engah ke halaman sempit rumah Pak Hamel.

    Biasanya, di awal kelas, suara ramai bisa terdengar sampai ke jalan, suara meja dibuka dan ditutup, suara pelajaran diulang-ulang berbarengan, sangat keras, tangan kami pun menutup telinga supaya pelajaran bisa masuk lebih baik, dan Pak Guru memukul-mukul meja—dengan penggaris besar— sambil berteriak:

    “Diam sedikit!”

    Kuharap dengan kebisingan itu aku dapat menyelinap ke bangku tanpa diketahui; tapi tak seperti biasanya, hari itu sangat tenang, seperti layaknya Minggu pagi. Lewat jendela yang terbuka aku melihat teman-temanku sudah duduk rapi di bangku mereka, dan Pak Hamel berjalan bolak-balik, menggamit penggaris besi yang menakutkan itu. Aku terpaksa membuka pintu perlahan dan masuk di tengah-tengah suasana hening. Bayangkan betapa takut dan merahnya mukaku.

    Tapi tidak! Pak Hamel menatapku tanpa marah dan berkata lembut, “Segera duduk, Franz; kami hampir mulai tanpamu.”

    Aku melangkah ke bangku yang biasa kududuki. Sementara menenangkan jantung yang masih berdebar ini, aku melihat Pak Guru mengenakan mantel halus berwarna hijau, kerah jabot yang terlipat rapi, dan pet sutra hitam bersulam yang hanya ia kenakan saat ada inspeksi dari pusat atau pada hari pemberian hadiah. Suasana kelas masih terasa lain dari biasa dan sangat khidmat. Tapi yang membuatku terkejut adalah ketika melihat di bagian belakang, di bangku-bangku yang biasanya kosong, orang-orang desa duduk dan berdiam seperti kami. Pak tua Hauser dengan topi bajak lautnya, mantan kepala desa, mantan
    tukang pos, dan kemudian orang-orang lainnya. Semuanya nampak sedih, dan Hauser membawa buku abjad tua yang tercabik ujungnya, ia buka lebar di atas lutut, dengan kacamata tebalnya yang diletakkan di halaman buku.

    Sementara aku masih bertanya-tanya, Pak Hamel telah naik ke mimbarnya, dengan nada lembut dan serius seperti saat tadi menyambutku, ia berkata kepada kami.

    “Anak-anakku, ini adalah kelas kita yang terakhir. Perintah dari Berlin melarang untuk mengajarkan bahasa selain Bahasa Jerman di sekolah wilayah Alsace dan Lorraine. Guru baru akan tiba besok. Hari ini adalah pelajaran Bahasa Prancis terakhir kalian. Saya mohon kalian perhatikan dengan sungguh-sungguh.”

    Kata-katanya itu membuat hatiku remuk. Ah! Orang-orang sialan itu, rupanya itu yang mereka umumkan di papan pengumuman.

    Pelajaran Bahasa Prancis terakhirku!

    Dan aku belum terlalu bisa menulis! Jadi, aku tidak akan pernah mempelajarinya lagi. Aku terpaksa berhenti begitu saja. Sekarang aku menyalahkan diriku, mengingat waktu yang terbuang begitu saja. Membolos hanya untuk mencari sarang burung, atau meluncur di sungai Saar. Buku-buku milikku yang dulu terasa membosankan, terasa berat untuk dibawa, tetapi sekarang buku tata bahasa dan sejarah para orang kudus nampak seperti sahabat lama dan terasa sangat menyedihkan jika aku berpisah dengan mereka. Seperti Pak Hamel. Mengingat beliau akan pergi, dan aku tidak akan dapat bertemu dengannya lagi membuatku lupa akan hukuman berupa pukulan-pukulan penggarisnya yang pernah aku terima.
    Sungguh kasihan beliau! Untuk menghormati kelas terakhir ini, beliau mengenakan pakaian terbaiknya dan sekarang aku mengerti mengapa para tetua desa datang dan duduk di belakang, Mereka juga berharap dapat datang lebih sering ke sekolah. Itu juga salah satu cara berterima kasih terhadap guru kami yang telah mengabdi dengan setia selama empat puluh tahun, dan memberikan penghormatan kepada tanah air yang sudah hilang.

    Aku sedang dalam lamunanku saat namaku dipanggil. Rupanya giliranku untuk membaca. Apa pun akan kulakukan untuk dapat menyebutkan aturan-aturan partisipel —yang sangat kubenci itu— dengan lantang dan jelas tanpa kesalahan? Tapi baru akan berucap saja aku salah, aku bertumpu ke bangkuku, menunduk takut. Aku mendengar Pak Hamel berkata,

    “Aku tidak akan memarahimu, Franz. Kamu sudah cukup dihukum. Itulah keadaannya. Tiap hari kita bilang pada diri sendiri. ‘Ah! Masih banyak waktu, besok saja aku belajarnya’. Dan sekarang kamu lihat yang terjadi. Ah! Sungguh kerugian besar bagi masyarakat Alsace yang selalu menunda belajar untuk esok hari. Sekarang orang-orang bisa saja berkata kepada kita ‘Apa?! Kamu mengaku orang Prancis tapi kamu tidak bisa membaca dan menulis dalam bahasamu! Namun dalam hal itu, Franz, kamu bukan orang yang paling bersalah. Kita semua punya kesalahan yang pantas dipertanggungjawabkan. Bapak dan ibumu tidak memberi perhatian yang cukup untuk memastikanmu mendapat pendidikan yang layak. Mereka lebih suka menyuruhmu bekerja di ladang atau menenun untuk mendapatkan uang yang cuma sedikit. Saya sendiri, apakah saya memiliki kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan? Bukankah aku sering menyuruhmu menyirami tanaman di kebunku padahal kamu seharusnya belajar? Dan jika aku mau pergi memancing ikan forel apakah aku keberatan meliburkanmu?”

    Jadi, dari satu hal ke hal lain, Pak Hamel mulai berbicara tentang Bahasa Prancis dan mengatakan bahasa ini adalah bahasa yang paling indah di dunia, yang paling jelas, paling logis. Kami harus menguasainya dan jangan sampai melupakannya. Karena apabila sebuah bangsa menjadi budak, selama ia menguasai bahasanya, mereka menguasai kunci kemerdekaannya . Lalu ia mengambil buku tata bahasa dan menyampaikan pelajaran pada kami. Aku heran karena aku seolah sangat mudah memahaminya. Semua yang beliau ajarkan nampak mudah dan mudah. Kupikir belum pernah aku bersungguh-sungguh dalam
    belajar dan beliau juga belum pernah mengajar sesabar ini. Nampaknya sebelum beliau pergi, Pak Guru yang malang ini hendak menjejalkan seluruh ilmunya sekaligus ke otak kami.

    Pelajaran selesai, kami berganti belajar menulis. Untuk hari ini, Pak Hamel telah menyiapkan contoh-contoh baru, yang ditulis dalam tulisan rapi berbentuk bulat: Prancis, Alsace, Prancis, Alsace. Contoh-contoh tulisan itu tergantung di meja kami seperti bendera-bendera kecil yang berkibar di sekeliling kelas. Semua murid menulis dalam keadaan yang hening. Tidak ada suara lain kecuali goresan pena di atas kertas. Kemudian ada beberapa kumbang masuk, tetapi tidak ada yang peduli. Termasuk anak-anak yang
    sedang berusaha belajar menulis dengan hati-hati, seolah hal itu adalah bagian dari belajar Bahasa Prancis. Di atas atap, burung-burung merpati sayup-sayup bernyanyi, mendengar itu aku berpikir.

    “Apakah mereka akan dipaksa bernyanyi dalam Bahasa Jerman?”

    Ketika kualihkan pandangan dari halaman bukuku, aku melihat Pak Hamel berdiri di mimbarnya sembari menatap benda-benda di sekelilingnya, seolah ia ingin merekam seluruh isi bangunan ini dalam ingatannya. Coba pikir! Selama empatpuluh tahun, beliau berada di tempat yang sama, dengan halaman sekolah di depannya, dan kelas yang sama juga. Hanya bangku-bangku dan meja-meja telah digosok dan dipoles karena sering digunakan. Pohon-pohon kenari di halaman sekolah telah tumbuh besar, juga tanaman hop yang beliau tanam sendiri telah menghiasi jendela-jendela hingga ke atap. Betapa sedihnya
    Pak Guru yang malang itu harus meninggalkan itu semua, mendengar kakaknya bolak-balik di kamar atas sambil mengemas pakaian-pakaian mereka! Karena mereka akan pergi besok, meninggalkan tempat ini untuk selamanya.

    Walau bagaimanapun, beliau memiliki keberanian untuk mengajar kelas ini sampai selesai. Sesudah menulis, kami belajar sejarah, kemudian, murid-murid kecil bernyanyi bersama BA BI BU BE BO. Di sana, di belakang kelas, Pak Tua Hauser telah mengenakan kacamatanya dan sembari memegang erat buku abjad dengan kedua tangannya, ia mengeja abjad bersama-sama mereka. Beliau berusaha keras. Suaranya menggelegar penuh emosi, dan menggelikan bagi yang lain, kami semua seolah ingin tertawa dan menangis sekaligus. Ah!

    Aku tidak akan melupakan kelas terakhir ini.

    Tiba-tiba jam gereja menunjukkan pukul dua belas, disambut lonceng yang menandakan waktu doa Malaikat Tuhan. Hampir bersamaan, terompet-terompet tentara Prusia yang sedang pulang dari latihan terdengar lantang menggetarkan jendela. Pak Hamel berdiri di mimbarnya, mukanya pucat. Rasa-rasanya beliau belum pernah nampak setinggi ini.
    “Kawan-kawan,” katanya, “Saya… saya…”

    Ada sesuatu yang seolah mencekiknya. Beliau tidak menghabiskan kalimatnya. Kemudian beliau berpaling ke papan tulis, mengambil sebatang kapur dan menekannya dengan kuat, beliau menulis sebesar mungkin:
    “HIDUP BANGSA PRANCIS!”

    Kemudian ia berdiri di situ, menyandarkan kepalanya ke dinding dan tanpa bersuara, dengan tangannya ia memberi isyarat pada kami.

    “Sudah selesai, pergilah.”

     

    “La Derniere Classe” (The Last Class) adalah sebuah cerita pendek karya penulis Prancis
    Alphonse Daudet (1840-1897) diterbitkan sebagai bagian dari Les Contes du Lundi (1873).
    naskah asli Bahasa Prancis

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Andreas Nova
    Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
    Sarjana Sastra dengan susah payah.
  • Jim [Roberto Bolaño]

    author = Andreas Nova

    Dulu aku punya seorang teman bernama Jim, dan dia adalah orang Amerika Utara yang paling menyedihkan yang pernah aku jumpai. Aku telah melihat banyak pria putus asa. Tapi tak ada yang semenyedihkan Jim. Suatu ketika dia pergi ke Peru-seharusnya lebih dari enam bulan, tapi tidak lama kemudian saya melihatnya lagi. Anak-anak jalanan di Meksiko pernah bertanya kepadanya, Jim, puisi itu apa? Mendengar mereka, Jim menatap awan dan kemudian dia mulai memuntahkan jawabannya. Kosakata, kefasihan, pencarian kebenaran. Pencerahan. Rasanya seperti kamu melihat penampakan Bunda Maria. Dia pernah dibegal beberapa kali di Amerika Tengah, itu mengejutkan, karena dia adalah seorang mantan marinir dan pernah bertempur di Vietnam. Tidak ada lagi perang, begitu kata Jim. Aku seorang penyair sekarang, mencari hal-hal luar biasa, mencoba mengungkapkannya dalam kata-kata biasa yang umum digunakan. Jadi menurutmu ada kata-kata biasa yang umum digunakan? Aku pikir ada, begitu kata Jim. Istrinya adalah seorang penyair Chicana1)Perempuan keturunan Meksiko atau blasteran Meksiko-Amerika Serikat; Sering sekali dia mengancam akan meninggalkan Jim. Dia menunjukkan fotonya padaku. Dia tidak terlalu cantik. Wajahnya menunjukkan penderitaan, dan di dalam penderitaan itu, ada kekecewaan. Aku membayangkan istrinya berada di sebuah apartemen di San Francisco atau sebuah rumah di Los Angeles, dengan jendela ditutup dan tirai terbuka, duduk di meja, makan seiris roti dan semangkuk sup hijau. Jim menyukai wanita berambut gelap, perempuan yang menyimpan sejarah rahasia, tanpa menjelaskannya lebih lanjut. Sedangkan aku sebaliknya, aku menyukai perempuan berambut pirang. Suatu ketika aku melihatnya menyaksikan tragafuegos2)Pemakan api di sebuah jalan di Mexico City. Aku melihatnya dari belakang, dan tidak menyapanya, tapi aku yakin kalau itu Jim. Rambut kusutnya, kemeja putih kotor, seolah-olah masih terbebani ranselnya. Entah bagaimana lehernya, lehernya merah, membangkitkan bayangan tentang hukuman gantung tanpa peradilan di negara ini—sebuah lanskap monokrom, tanpa papan reklame atau neonbox pom bensin—negara yang ada namun terasa tiada: satu hamparan tanah kosong yang kabur. Selanjutnya, kamar berdinding batu bata atau bunker dari tempat kami melarikan diri masih berdiri di sana, menunggu kepulangan kami. Jim memasukkan tangan ke kedua sakunya. Pemakan api melambaikan obornya dan tertawa keras. Wajahnya yang cemberut tak bernyawa: ia bisa berusia tiga puluh lima atau lima belas tahun. Dia bertelanjang dada dan ada bekas luka memanjang dari pusarnya sampai ke tulang dada. Sering sekali dia mengisi mulutnya dengan cairan yang mudah terbakar dan meludahkan api yang panjang laksana ular. Orang-orang di jalan akan memperhatikannya sebentar, mengagumi keahliannya, dan terus melanjutkan perjalanan mereka, kecuali Jim, yang tetap berada di pinggir trotoar, tetap diam, seolah mengharapkan sesuatu yang lebih dari si pemakan api, semburan kesepuluh (yang biasanya sembilan), atau seolah-olah dia melihat wajah seorang teman lama atau seseorang yang pernah dia bunuh. Aku mengamatinya cukup lama. Saat itu aku berusia delapan belas atau sembilan belas tahun dan percaya bahwa aku makhluk abadi. Jika aku menyadari bahwa aku tidak abadi, aku sudah pasti berbalik dan pergi. Setelah beberapa lama aku bosan melihat punggung Jim dan tatapan si pemakan api. Jadi aku mendekat dan memanggil namanya. Jim seperti tidak mendengarku. Saat dia berbalik aku melihat wajahnya berkeringat. Dia tampak demam, dan butuh beberapa saat untuk mengenaliku; Dia menyapaku dengan anggukan dan kemudian kembali melihat si pemakan api. Aku berdiri di sampingnya, melihat dia sedang menangis. Mungkin dia demam. Aku juga menemukan sesuatu yang mengejutkanku—lebih terkejut daripada saat menulis ini: Si pemakan api melakukan pertunjukan khusus untuk Jim, seolah semua orang yang lewat di tikungan jalan di Mexico City sama sekali tidak ada. Terkadang nyala api masuk ke tempat kami berdiri. Tunggu apa lagi, kataku, kau ingin terpanggang di jalan? Itu adalah sebuah kata-kata yang bodoh, aku mengatakannya tanpa berpikir, tapi kemudian aku terjatuh: itulah yang Jim tunggu. Tahun itu, sepertinya aku ingat, ada sebuah lagu yang terus mereka mainkan di beberapa tempat yang lebih funky, Chingado y hechizado3)Kacau dan terkesima. Itu adalah Jim: chingado dan hechizado. Mantra Meksiko telah mengikatnya dan sekarang dia melihat iblisnya tepat di wajah. Ayo keluar dari sini, kataku. Aku bertanya juga kepadanya apakah dia teler, atau merasa sakit. Dia menggelengkan kepalanya. Si pemakan api menatap kami. Kemudian, dengan pipinya terengah-engah seperti Aeolus, dewa angin, dia mulai mendekati kami. Dalam sepersekian detik aku menyadari bahwa itu bukan embusan angin yang akan kita dapatkan. Ayo pergi, kataku, dan menarik Jim menjauh dari tepi trotoar yang berbahaya. Kami pergi dari jalan dan menuju Reforma4) Paseo de la Reforma; jalan utama yang besar dan sangat lebar yang membelah diagonal di jantung Mexico City. Nama Reforma diambil dari sebuah peristiwa bersejarah saat Meksiko melakukan reformasi yang menggulingkan kekaisaran Maximilian., dan setelah beberapa lama kami berpisah. Jim tidak mengucapkan sepatah kata pun sepanjang waktu itu. Aku tidak pernah melihatnya lagi.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

    References   [ + ]

    1. Perempuan keturunan Meksiko atau blasteran Meksiko-Amerika Serikat
    2. Pemakan api
    3. Kacau dan terkesima
    4. Paseo de la Reforma; jalan utama yang besar dan sangat lebar yang membelah diagonal di jantung Mexico City. Nama Reforma diambil dari sebuah peristiwa bersejarah saat Meksiko melakukan reformasi yang menggulingkan kekaisaran Maximilian.

  • Jazz dan Tuak Nira [Emmanuel Boundzéki Dongala]

    author = Bagus Panuntun

    Diterjemahkan secara kolaboratif oleh Bagus Panuntun dan Gustu Wino.

    I

    Mereka datang dari langit berupa dua bola cahaya yang saling mengitari seperti sepasang kunang-kunang. Mereka terbang melewati seorang perempuan yang sedang bekerja di ladang dan mendarat perlahan di sampingnya. Panik melihat dua makhluk asing turun dari piring terbang itu, si perempuan lari terbirit meninggalkan barang-barang berharga termasuk keledainya. Kedua makhluk itu lalu mendekati si keledai, meletakkan satu tangan di atas pusar mereka, menundukkan kepala (sebagai tanda hormat ?), dan menekan sebuah tombol di mini kaset yang mereka bawa; satu kalimat dalam bahasa Swahili terdengar:

    • Bisakah kau mengantar kami ke tempat presiden?

    Tapi keledai itu justru ketakutan dan berlari ke arah desa. Kedua makhluk itu mengikutinya karena mengira si keledai mengantar mereka ke rumah presiden bangsa manusia. Pada saat bersamaan, perempuan tadi telah sampai di desa dengan nafas ngos-ngosan, buah dadanya menjuntai, dan wajahnya tersayat ranting-ranting semak belukar. Ia lalu berteriak hingga membangunkan penduduk satu desa : “Cepat… lari cepat… Ada pi..piring terbang. Ada makhluk aneh warnanya biru logam. Tubuhnya mirip manusia tapi rambutnya hijau. Jalannya tersentak-sentak dan sangat menyeramkan.”

    Semua warga terkesiap. Anak-anak bersembunyi di kolong ranjang, para perempuan memasang jimat dan grigri di sekeliling rumah, dan para pria mengangkat senjata, dari mulai panah sampai tombak. Sedangkan para veteran perang menyusun strategi yang pernah mereka pelajari saat membantu Prancis di dua perang dunia, lalu mengambil senapan dan mengambil posisi mengelilingi kota.

    Keledai itu sampai di desa sambil meringkik tapi terhenti dengan tubuh dihujani peluru dan anak panah. Begitu pula dengan dua makhluk tadi. Tanpa sempat bergerak dan mengucapkan sepatah kata pun, tubuh mereka telah diberondong senjata hingga keduanya ambruk, yang satu tersungkur dan yang satu terlentang. Gumpalan-gumpalan darah biru pirus mengucur dari bekas luka mereka. Mayat-mayat itu lalu mengering begitu saja, berubah menjadi debu biru dan menguap di hadapan warga yang masih terperangah. Saat itulah, kawan-kawan mereka yang masih menunggu di pesawat memahami apa yang terjadi. Kedua piring terbang itu segera tinggal landas dan menghilang dalam cakrawala.

    II

    Mereka datang lagi dari empat penjuru mata angin, berlalu-lalang, bersinar, dan menari-nari gila di langit sebelum mendarat. Ada puluhan, ratusan, bahkan ribuan piring terbang yang mendarat dan menutupi sabana Kongo hingga melembak ke sungai Kinshasa. Mereka yang jatuh di sungai seketika tenggelam atau perlahan terseret arus dan terjebak pusaran air lalu hanyut terbawa riam ke hilir dan terbentur granit-granit raksasa. Sebagian lainnya meledak begitu saja ketika menyentuh air, membuat kuda nil dan buaya-buaya mengamuk, sementara burung-burung air melarikan diri ke padang teratai dan memekik ketakutan. 

    Makhluk itu datang dengan jumlah puluhan, ratusan, ribuan.  Langit pun menjadi sesak. Mereka mendarat di Brazzaville dan Kinshasa. Di Brazzaville, mereka jatuh di atas gedung-gedung hingga membuat bangunan-bangunan itu hancur dan terbakar. 3 piring terbang jatuh di atas Istana Presiden, menembus atap, dan terjun di ruang kamar sebelum akhirnya meledak : hanya lencana-lencana sang Presiden saja yang sempat terselamatkan. Mereka juga jatuh di atas Kedutaan Uni Soviet, di atas Bundaran Perdamaian, di atas gedung Radio Kota yang tidak mengudara lagi, dsb.

    Dan semua kepanikan ini barulah permulaan.

    III

    Amerika serikat menawarkan apa yang mereka sebut “saturation bombing”, bom karpet yang pernah mereka gunakan di Dresden, Jerman, dan dimutakhirkan di Vietnam. Tentu sudah jadi resiko penduduk lokal jika dalam proses pemutakhiran itu, mereka ikut terbunuh. Lagipula, tidak hanya bumi tetap berputar sejak puluhan ribu suku indian dibantai, tapi Amerika juga tetap menjadi negara adidaya. Rusia sebaliknya, mereka hanya menawarkan metode lama dengan intervensi militer: mengirim tank-tank dan kendaraan tempur lapis baja seperti yang pernah mereka lakukan di Hungaria, Cekoslovakia, dan Afghanistan. Menanggapi situasi ini, Cina mengusulkan mengirim puluhan juta pasukannya ke Lembah Kongo; sehingga andaipun ada beberapa juta pasukan yang terbunuh, jumlah mereka akan tetap cukup untuk menaklukan para makhluk penjajah yang menurut mereka hanya seperti macan kertas. Kuba, belajar dari Vietnam dan Korea Utara, mengusulkan metode perang gerilya : jika penjajah maju, kita mundur; jika mereka mundur, kita yang maju, dengan begitu kita bisa menebak kelemahan dan kekuatan mereka. Afrika Selatan mengusulkan pemasangan pagar berduri, semacam garis ala Perdana Menteri Verwoerd, di sekeliling wilayah yang terkontaminasi musuh dan menempatkan para prajurit kulit putih totok di sepanjang garis tersebut. Lalu, semisal kita berada di sana, kita dapat dengan mudah memantau dan menempatkan di luar pagar orang-orang kulit hitam, Arab, Cina, Indian Amerika, India, Papua, Melayu, Eskimo… (cukup, kita tak punya banyak waktu untuk menyebut semua bangsa di dunia.) Delegasi Namibia sepertinya sadar bahwa usulan Afrika Selatan akan mengorbankan kemanusiaan. Akan tetapi, delegasi Afrika Selatan menjawab bahwa Si Tuan Namibia menggunakan kata “kemanusiaan” secara berlebihan. Toh seandainya yang dimaksud delegasi Namibia itu benar, hal itu bukanlah pengorbanan yang terlalu besar asal bisa menyelamatkan bangsa kulit putih. 

    Mendengar itu, delegasi-delegasi Asia-Afrika keluar dari ruang musyawarah sebagai tanda protes…

    Sementara itu, makhluk-makhluk asing tetap datang dalam jumlah puluhan, ratusan, ribuan. Mereka memenuhi Lembah Kongo hingga menyebar ke Douala, Abidjan, Tenkodogo, Timbuktu dan telah menguasai seluruh wilayah utara Kongo. Mereka juga menyerbu wilayah selatan dan langsung mengancam tambang-tambang penting di Katanga – tempat yang dulu disebut Shaba.

    Tak ada solusi yang benar-benar berjalan, semuanya buntu. Delegasi Uni Soviet menyalahkan Amerika yang tidak melakukan apapun untuk mengantisipasi invasi tersebut dan mencurigai Amerika sebagai dalang di balik semua ini. Fakta bahwa Kedutaan Besar Uni Soviet telah diserang sembilan puluh sembilan kali cukup membuktikan kecurigaan tersebut. Delegasi Amerika membalas dengan tegas bahwa Kedutaan Besar mereka di Boko juga telah diserang. Lagipula kata Amerika, sudah jadi rahasia umum kalau Soviet selalu ingin menyabotase pekerjaan Dewan Keamanan PBB. Siapa tahu kalau balik semua ini ada persekongkolan untuk melakukan sovietisasi dunia? Tapi delegasi Soviet segera mengingatkan delegasi lain bunyi semboyan Amerika : “lebih baik mati daripada merah!”. Di antara mereka, delegasi eSwatini yang sudah terbiasa dengan keributan siang malam  di harem – ia punya 14 istri dan 33 anak – memotong pembicaraan delegasi Soviet dan Amerika agar perdebatan sepenting ini tidak melenceng terlalu jauh. Bagaimanapun, percuma saja merundingkan penyebab bencana ini berlarut-larut. Sebab, setelah bertanya pada para leluhur yang mengetahui segala bentuk derita manusia, ia sudah mendapat jawaban: semua ini hanya sihir orang kulit putih rasis untuk membasmi semua bangsa kulit berwarna, sebagaimana yang pernah mereka lakukan pada orang kulit kuning di Song-My dan di My-Lai, orang kulit hitam di Sharpeville dan Soweto, dan anggota Black Panther di Amerika Serikat. Perkataan ini, yang disiarkan radio PBB via satelit Terra I, menyulut emosi orang-orang Harlem dan membuat para militant Black Power melakukan protes sambil membawa potret Malcolm X, Lumumba, Nelson Mandela dan Paul Robenson. Sementara itu, delegasi Prancis Jawara Kartesian, Jawara Afrika, Jawara Dunia Ketiga, mengingatkan seluruh delegasi untuk tidak menerima solusi manapun terutama dari Soviet dan Amerika, yang menurutnya akan berakibat lebih buruk daripada ancaman yang sedang menimpa dunia sekarang. Setelah itu, ia justru berhikayat tentang kisah sukses intervensi militer Prancis di Afrika. Namun, segera terhenti oleh protes delegasi-delegasi Asia-Afrika.

    Perundingan masih berujung buntu.

    Sementara itu di belahan bumi utara, makhluk-makhluk asing telah mencapai Eropa dan Amerika. Di Aulnay-sous-Bois, pinggiran kota Paris, piring-piring terbang itu jatuh di atas paviliun Monsieur dan Madame Millet. Di Litchfield, kota kecil negara bagian Connecticut, Amerika, mereka jatuh di atas rumah dokter Huvelle yang langsung panik dan mengungsi ke rumah tetangganya, seorang arsitek Inggris. Mereka juga masih berjatuhan di Afrika. Di Afrika Tengah, mereka datang bersamaan dengan intervensi Prancis. Di Komoro, mereka datang ketika Presiden dibunuh oleh pasukan bunuh diri yang dikirim antek imperialisme. Mereka juga telah menguasai sepenuhnya tambang-tambang Shaba dan beberapa telah sampai di sungai Limpopo…

    Delegasi Belgia bersikeras agar keputusan segera diambil, bahkan jika itu berpihak pada NATO. Pasca serangan di Johannesbourg, delegasi Afrika Selatan – yang air mukanya sudah sepucat kain kafan – berdiri dan menyatakan siap menerima solusi konkret dari siapapun bahkan dari orang non-kulit putih. Lalu, delegasi Kenya berdiri  mengusulkan untuk, mengikuti tradisi Afrika, mencari kepala suku makhluk asing tersebut. Ujarnya, kita harus mengundang tetua-tetua mereka untuk duduk berunding di bawah pohon keramat sambil minum tuak nira. Pada kesempatan itulah, kita bisa mengamati dan mempelajari mereka.

    Usulan terakhir diterima dengan bulat.

    IV

    Tentu saja ! Jazz dan tuak nira ! Tuak nira punya efek menenangkan (hasil penelitian Laboratorium Beaujolais, Prancis) dan mereka pasti sangat menyukainya. Musik John Coltrane akan membuat mereka dalam kondisi katatonik seperti melayang di nirwana (Laboratorium Katmandou, Nepal). Apalagi, disambung dengan musik kosmik Sun Râ yang akan membuat mereka semakin lincah (Laboratorium Wernher-Braun bekerjasama dengan Laboratorium Gagarin dari Moskow). Ini satu-satunya solusi yang akan berhasil. Kita tak akan bisa melukai, menusuk, apalagi membakar mereka. Mereka juga tidak suka whisky, air, apalagi perempuan. Tak satupun! Hanya jazz dan tuak nira!

    Jutaan piringan John Coltrane pun dicetak dengan sembunyi-sembunyi. Sepanjang sejarah, belum pernah pertanian tropis dan industri tuak mendapat omset semelonjak ini dan belum pernah pula para agronom dan ahli tanah dibutuhkan seperti sekarang. Selain itu, Sun Râ dianggap seperti raja dan kelompok orkestra ini mendapat tawaran panggung yang tak terhitung jumlahnya. 

    V

    Pesta akhirnya tiba. Untuk memperingati sepuluh tahun penjajahan Bumi atau la Grande Conquête—seperti yang disebut dokumen-dokumen resmi sejarah—semua presiden dan pemimpin-pemimpin negara di Bumi datang ke ibukota Kongo. Titik awal terjadinya kolonisasi. Kepala negara Afrika Selatan diperbolehkan datang dengan syarat tidak berjabat tangan dengan Sun Râ yang saat ini tengah diidolakan semua orang. Pun jika ia merengek atau bertekuk lutut, larangan tetap larangan !

    Lalu tiba saatnya pidato dari makhluk penjajah. Makhluk luar angkasa ini menyanjung keberanian, sains, kecerdasan, kebajikan, dan lain-lain, yang telah mereka bawa, yang tanpanya Bumi tidak akan seperti sekarang. Presiden Organisasi Persatuan Afrika juga memberikan pidato : “kami penduduk bumi, hasil percampuran budaya antar semesta, mencoba membaurkan budaya dua dunia sebaik mungkin. Di satu sisi, ada kontribusi intelektual dan ilmu pengetahuan dari sahabat kita, penakluk semesta, yang telah menyinari dunia hingga bintang Sirius dan Vega. Di sisi lain, ada budaya bumi yang mengatur semua hal berdasarkan ritme siang dan malam, budaya candra (seks, waktu bercinta, dan emosi), dan budaya surya (rasionalisme, individualisme, absurditas).” Kemudian ada pula pidato dari para presiden: Presiden Jendral Besar, Presiden Komandan, Presiden Kolonel, Presiden Rakyat, Presiden Penyair, dan Menteri-menterinya. Di akhir perayaan, pada acara ramah tamah, kepala suku penjajah mengingatkan sembari bercanda tentang legenda dewa anggur di bumi bernama Bacchus. Untuk menunjukkan jika mereka peduli pada tradisi bumi, mereka melakukan penghormatan kepada Bacchus dengan meneguk satu-satunya hal terdahsyat yang pernah mereka temukan di Bumi: tuak nira. Delegasi Bumi menyusul berdiri dan mengatakan bahwa ada tradisi lain yang tidak kalah penting di Bumi yakni, memberikan ciuman hangat di leher tamu. Setelah mendapat ciuman, kepala suku penakluk semesta pun mengangkat gelasnya dan mulai menenggak tuaknya. Semua yang hadir berebut jutaan liter tuak yang disediakan gratis di seluruh dunia. Selama tuak belum tandas, mereka akan minum, minum, dan minum sampai tuntas…

    Lalu tiba-tiba, terdengar suara merdu saksofon John Coltrane dari semua sudut Bumi. Dari rumah-rumah, dari bawah tanah, bahkan dari langit. Makhluk-makhluk itu lalu menggoyangkan kepala dan mengikuti ritme musik dengan tatapan kosong. Tak berselang lama, sejauh mata memandang, hanya ada tubuh-tubuh yang menari gila seperti kesurupan. Siapapun, bahkan presiden Amerika Serikat tidak dapat menahan godaan suasana di sekelilingnya! Ia bertepuk tangan dan menghentakkan lantai dengan sepatu boot cowboy-nya sembari berteriak “I’ve got rhythm, man! And soul!”. Presiden Republik Sosialis Uni Soviet tidak mau kalah. Ia melakukan tarian ala Georgia dan memekik “tovaritch, tovaritch!”. Saat orkestra Sun Râ memanaskan suasana hingga mencapai klimaksnya, makhluk-makhluk asing itu tiba-tiba menguap dan sekejap sirna di udara.

    Merasa bahagia, seluruh manusia melanjutkan tariannya, saling mencumbu, dan merayakan kemerdekaan yang mereka raih kembali. Berkat peristiwa ini, Sun Râ menjadi musisi jazz kulit hitam pertama yang menjadi presiden Amerika Serikat. Sejak saat itu pula, setiap tahunnya, peminum tuak paling ulung di dunia dinobatkan sebagai Sekjen PBB. Dan sejak saat itu, musik jazz akhirnya menguasai dunia.

    Epilog: Setahun setelah peristiwa itu, John Coltrane mendapat gelar Santo Trane dari Paus. Komposisi pertama dari karyanya, A LOVE SUPREME, menggantikan GLORIA dalam Misa Katolik.

  • Gadis [Jamaica Kincaid]

    author = Edwin Anugerah Pradana

    Cuci pakaian putih di hari Senin, kemudian keringkan di atas tumpukan batu; cuci pakaian yang berwarna selain putih pada hari Selasa, dan gantung di tali jemuran; kenakan topi ketika berjalan di bawah terik matahari; goreng labu dengan minyak yang sudah sangat panas; langsung rendam pakaian dalammu setelah kau memakainya; pastikan kau mengenakan baju yang bersih ketika membeli kapas karena itu akan sulit untuk dibersihkan; rendam ikan asin selama satu malam sebelum kau memasaknya; apakah benar kau menyanyikan lagu cabul di sekolah Minggu?; pastikan makanan yang kau santap tidak menyinggung perasaan orang lain; di hari Senin, cobalah berjalan layaknya seorang putri, hentikan kebiasaan berjalanmu yang buruk itu; jangan menyanyikan lagu cabul di sekolah Minggu; kau tidak boleh berbicara dengan laki-laki urakan, bahkan jika hanya menunjukkan arah jalan; jangan makan buah-buahan di pinggir jalan, menjijikkan dan terlalu banyak lalat. 

    “Tapi aku tidak menyanyikan lagu cabul sama sekali di sekolah Mingguku”.

    Begini cara untuk menjahit kancing baju; ini adalah cara untuk membuat lubang cantelan dari kancing yang sudah kau jahit itu; ini adalah cara bagaimana mengelim sebuah gaun agar kau tak tampak buruk seburuk gaya berjalanmu; ini adalah cara menyetrika kemeja khaki ayahmu tanpa membuatnya kusut; ini adalah cara menanam okra—pastikan itu cukup jauh dari rumah agar tidak mengundang semut rangrang; pastikan talas yang kau tanam mendapat air yang cukup, sebab itu akan membuatnya mudah dikonsumsi; ini adalah cara menyapu pojok ruangan; ini adalah cara menyapu seluruh ruangan; ini cara menyapu halaman; ini adalah cara tersenyum pada orang yang tidak terlalu kau sukai; ini adalah cara tersenyum pada orang yang sama sekali tidak kau sukai; ini adalah cara tersenyum pada orang yang sangat kau sukai; ini adalah cara menata meja untuk menikmati teh; ini adalah cara menata meja untuk makan malam; ini adalah cara menata meja untuk makan malam dengan tamu spesial; ini adalah cara menata meja untuk sarapan; ini adalah cara untuk bersikap pada pria yang tidak terlalu kau kenal, dan ini akan mencegah mereka menyadari akan cara berjalanmu yang buruk itu; pastikan kau mencuci setiap hari, bahkan ketika kekeringan pun; jangan bermain kelereng—kau bukan anak laki-laki, kau tahu itu; jangan memetik bunga milik orang lain—atau mungkin mengambil sesuatu; jangan melempari burung-burung hitam dengan batu—sebab mungkin kau tidak paham mana yang benar-benar burung hitam; ini adalah cara membuat kue puding; ini adalah cara membuat doukona; ini adalah cara membuat pot merica; ini adalah cara membuat jamu untuk flu; ini adalah cara membuat jamu pencegah kehamilan; ini adalah cara memancing ikan; ini adalah cara mengembalikan ikan yang tidak kau inginkan, juga menjauhkanmu dari kesialan; ini adalah cara untuk mengintimidasi seorang pria; ini adalah bagaimana pria mengintimidasimu; ini adalah cara untuk mencintai seorang pria, dan jika ini tidak berjalan lancar pertimbangan cara lainnya, dan jika itu tetap gagal, jangan takut untuk menyerah; ini adalah cara meludah ke atas jika kau menyukainya, dan ini adalah cara menghindar agar kau tidak terkena ludahmu sendiri; ini adalah cara untuk mengakhiri pertemuan; cek roti-roti, dan pastikan semuanya layak makan.

    “Namun bagaimana jika si pembuat roti tidak mengizinkanku untuk mengeceknya?”

     Maksudmu, setelah itu semua, kau tidak mampu  menjadi  wanita yang bisa membuat seorang tukang roti mengizinkanmu untuk berada di dekatnya?

    Girl oleh Jamaica Kincaid ditulis pada 1978, diterjemahkan dari bahasa Inggris. Naskah cerpen diambil dari situs Newyorker.

    Jamaica Kincaid adalah penulis esai, buku, novelis dan cerpenis wanita Jamaika yang lahir pada 25 Mei 1949. Bukunya A Small Place (1988) dan novel yang berjudul Lucy (1990) adalah dua karya yang melambungkan namanya dalam khazanah novelis pos kolonial dan feminin.