Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Loquat (Etgar Keret)

author = Ifan Afiansa

“Ayolah, Henry. Bilang pada mereka. Kau
itu Gendarme,[1]
mereka akan patuh.”

            Gelas
kopi kosong itu aku letakkan kembali dan berpindah ke bawah meja mencari
sandalku. “Berapa kali harus kujelaskan, Nek? Aku bukan gend—polisi. Aku ini tentara, seorang prajurit.
Aku tidak punya urusan dengan anak-anak itu, kenapa juga mereka akan
mendengarkanku?”

            “Sebab
kau tinggi menjulang, Nak.
Kau juga mengenakan seragam gendarme—“

            “Prajurit,
Nek.”

            “Baiklah, kau seorang prajurit. Apa
bedanya? Kau datangi mereka dengan senapan
dan bilang jika mereka naik pohon loquat
lagi, kau akan melempar mereka ke penjara, atau menembak mereka, atau apalah,
agar mereka berhenti main di halaman kita.”

Mata nenek mulai basah dan
memerah. Beliau sangat membenci anak-anak itu. Wanita tua berlalu, demi rasa
hormatku, aku akan melakukannya. Sore ini, aku mendengar anak-anak itu di
sekitar pohon. Kaos tanpa lengan aku masukkan ke dalam celana pendek, dan
bilang pada Nenek aku akan ke sana.

            “Jangan,”
katanya, menghadang di depan pintu seraya menggenggam seragamku. “Kau tidak
akan keluar dengan berpakaian seperti itu. Pakai seragammu.”

            “Tidak
usah, Nek.” sanggahkku, kucoba menerobos beliau. Namun beliau bersikeras
menyender di pintu, menjejali seragamku.

            “Pakai.” Perintahnya
bersungguh-sungguh.

            Aku
menuruni tangga depan, dibayang-bayangi harapan Nenek. Sangat memalukan
berpakaian seperti prajurit
teladan. Bahkan beliau sampai memasangkan lencana. “Henri, kau lupa ini,”
beliau berbisik dengan serak yang mengganggu, dan menggenggam senapan, memikul
dan mengokang. Jika saja komandanku menyaksikan semua ini, aku bakal dikarantina dua minggu.

            Aku
merebut senapan dari tangannya, meraih majalah dan perlahan meloloskan
kuncinya. Sebuah peluru terjatuh di rerumputan. “Mengapa aku harus membawa
senapan? Nenek gila ya? Mereka cuma anak kecil.”

            Aku
mengembalikan senapannya,  tetapi beliau
menjejali ke tanganku lagi. “Mereka bukan anak-anak, mereka binatang,” tegasnya.

            “Baiklah,
Nek. Akan kubawa,”
keluhku putus asa dan mencium pipinya. “Masuklah ke dalam, Nek.”

            “Oh,
polisi kecilku,” kata beliau senang dan menepukkan tangannya. Beliau yang
tersenyum puas dan penuh kemenangan, beranjak masuk ke dalam.

            “Prajurit,”
keluhku setelah beliau berlalu. “Demi Tuhan, aku bukan polisi sialan itu.”
Aku melangkah ke pekaranganku.

            Anak-anak
yang berada di atas pohon loquat terus saja membuat keributan dan mematahkan
cabang-cabangnya. Aku berniat melepaskan bajuku, lalu menggunakannya untuk
membungkus senapan dan menyembunyikannya di semak belukar, agar aku lebih atau
cukup terlihat normal. Akan tetapi, sekilas terlihat wajah Nenek mengintai di balik gorden yang
membuatku mengurungkan niat itu. Aku mengejar anak yang sedang memanjat pohon,
mencengkram kaus oblongnya, lalu kuhempaskan ke tanah. “Yaallah,” bentakku,
“semuanya turun dari pohon. Ini bukan punya umum.”

            Ada
tiga detik keheningan, salah seorang anak yang berada di pucuk pohon menjawab.
“Oh, aku sangat takut. Ada tentara. Apakah Tuan Tentara ingin membunuh kami?”
Buah loquat busuk menghantam kepalaku.

            Anak
yang kuhempaskan ke tanah menatapku hina, “dasar birokrat,” umpatnya. “Sodaraku berada di
unit patrol tempur, bekerja banting tulang di sana, dan kau tidak malu
berjalan-jalan mengenakan lencana unit banci dari Tel Aviv ?” Mulutnya
mengumpulkan segenap dahak dan meludahi kemejaku. Aku memukul wajahnya cukup
keras.

            Sialan,
kenapa anak tolol ini tahu soal lencana ini?

            “Hey,
kalian liat si bangsat ini mukul si Meron?” seorang anak lain di atas pohon.

            “Heh,
Homo! Kau ngapain jalan-jalan
pake begituan di Jumat malam?” bentakan anak lainnya. “Nggak mampu beli
Levi’s?”

            “Jika dia begitu patriot, ayok intifada[2] saja biar dia ada kerjaan.” Dari anak yang pertama berteriak, dan salah seorang anak di pohon melempariku dengan buah loquat. Kucoba memanjat pohon untuk menghajarnya, tetapi sulit rasanya dengan mengokang senapan dan berpakaian seperti ini.

            Tetiba,
batu bata menghantam punggungku, berasal dari anak yang bersembunyi di
semak-semak. “PLO[3],” teriaknya dan mengacungkan
jari tengah ke arahku. Mereka benar-benar anak setan. Sebelum aku mengejarnya,
anak yang meludahiku beranjak, wajahnya keseluruhan tertutup lumpur, menedang
tepat di zakarku, dan kabur. Aku melihat anak berambut merah berada dalam jarak
tiga langkah dan menangkapnya. Aku menarik baju belakangnya, membuatnya
terjengkang. Dan mulai memukulinya. Anak yang melempar bata melompat ke
punggungku, dan dua anak dari atas pohon turun untuk membantu temannya.
Anak-anak ini menempeliku seperti lintah. Salah satu dari mereke menggigit
leherku. Aku coba
melepaskan mereka, namun kami malah terjatuh ke kubangan lumpur. Kupukuli
mereka kanan dan kiri. Bajingan kecil ini benar-benar biji pelir. Mereka tidak menyerah
betapa pun keras
aku memukuli mereka. Tanganku mengunci gerakan salah satu anak, dan kucekik
anak lainnya dengan kakiku. Tiba-tiba Meron—yang terlihat seperti pemimpin
mereka—menghantam
kepalaku dengan batu. Dunia terasa berputar-putar, aku merasakan darah mengalir
di dahiku. Telingaku mendengar rentetan tembakan dan segera saja menyadari aku
tidak membawa senapanku, pasti
jatuh saat kami berkubang di lumpur.

            “Tinggalkan
cucuku, binatang jalang!”
Aku mendengar suara Nenek. “Atau aku akan menghabisi kalian seperti ikan mas di
bak mandi.

            Aku
tidak yakin yang kudengar nyata atau mimpi. “Awas, wanita tua itu gila.” Aku
mendengar suara Meron dan anak-anak itu melepaskanku.

            “Pergi kalian!” bentak Nenekku, kemudian suara
kaki berkecipak di atas lumpur.

            “Lihatlah
mereka mengotori baju polisimu,” katanya,
aku merasakan tangannya menyentuh pundakku. “Dan mereka membocorkan kepalamu,”
ratapnya. “Jangan khawatir. Aku akan mengobatimu dan mencucikan seragam ini
hingga terlihat baru. Dan Tuhan, akan membalas para iblis cebol itu. Ayo masuk,
malam semakin dingin.” Aku beranjak dan dunia masih berputar dan berputar.

            “Nek,”
tanyaku. “Dari mana Nenek belajar memegang dan menembak seperti tadi?”

            “Dari
film-film Jacques Norris, pernah tayang di tivi kabel, sampai provider bajingan
itu menyetop film-filmnya,”
ujarnya emosi,
“dan bawa lari uangku. Besok kau akan
mengenakan seragam itu lagi dan mendatangi mereka.”

            “Nek!”
bentakku emosi, dahi-dahiku memanas.

            “Maaf,
Henry. Prajuritku,” katanya dan berlalu
menuju tangga.


[1] Gendarme: polisi
khusus di Prancis

[2] Semangat perlawanan
rakyat Palestina dalam merebut tanah dari kependudukan Israel

[3] PLO: Palestine
Liberation Organization; organisasi pembebasan Palestina yang berada di Tel
Aviv