Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Bagus Panuntun
Ah matahari ! Cahaya matahari sedang silau betul saat aku keluar dari lab. Hari yang terik pada musim panas di New York dengan pohon-pohon, dedaunan hijau, cuaca lembab, juga asap yang membumbung tinggi dari gedung-gedung pencakar langit yang membuat langit nampak muram. Aku sebenarnya punya hasrat konyol untuk berjingkrak-jingkrak dari lab sampai Stasiun Central Park tapi aku tak punya banyak waktu. Kerja. Kereta. Persimpangan jalan. Lampu lalu lintas masih hijau dan aku belum bisa menyeberang. Baris demi baris mobil perlahan-lahan melewatiku. Darah kehidupan mengalir sepanjang arteri makadam. Sinar matahari memantul di kaca depan sebuah mobil dan membuatku silau. Ah, kalau saja aku punya kacamata hitam seperti para penjaga bioskop. O.K kids, hands up! Para polisi nampak begitu menggelikan dengan tongkat lalinnya. Seorang pria kekar dari Irlandia terus mengunyah permen karet. Lampu merah. Dan aku mulai menyeberang. Loket stasiun. Antrian mengular seperti yang biasa terjadi pada jam-jam sibuk. Seorang perempuan tua di depanku mengeluarkan beberapa keping receh dari sakunya dan salah satunya jatuh. Ia nampak sedih melihat koinnya menggelinding dan lenyap di antara kaki-kaki orang. Aku tersenyum. Kini giliranku. Petugas loket langsung meminta 2 keping 10 sen tanpa senyum sedikitpun. Aku membalas sifat tak acuhnya dengan lewat begitu saja tanpa berterima kasih. Aku turun tangga dan mengikuti petunjuk arah menuju pusat stasiun. Semakin turun, keadaan semakin gelap. Aku sempat berhenti beberapa kali supaya mataku terbiasa dengan gelap ini. Dari kejauhan, terdengar suara gemuruh kereta yang entah sedang menuju kemana. Akhirnya aku tiba juga di peron. Ada tiga bangku dan dua gadis sedang duduk di salah satu bangku tersebut. Dengan sengaja aku duduk tepat di sebelah gadis rambut pirang yang paling cantik; dia cuek. Aku pun pindah ke bangku sebelahnya, mengambil jarak dan menatapnya sejenak lalu berusaha melempar senyumku yang paling manis. Sia-sia! Demi apapun aku tak suka orang blonde, aku lebih suka orang brunette! Sudahlah. Stasiun nampak dekil: puntung rokok, kertas-kertas koran, tutup dan botol bir, semua berserakan. Aku melihat sekeliling dan membaca sebuah peringatan di dinding “Dilarang Meludah”. Mendadak aku langsung ingin meludahi tulisan itu. Sebuah mesin minuman kaleng memajang tulisan “Mau gaul? Minum coke !” Hmm. Tak terasa stasiun menjadi penuh sesak. Seorang perempuan usia 80 atau 90-an berdiri tepat di depanku. Tubuh bungkuknya yang disangga tongkat nampak begitu lelah dan ringkih. Ia menyeringai padaku dengan gigi yang mulus ompong. Betul-betul mengerikan! Aku bangkit dari tempat duduk dan menawarkan tempatku pada seorang gadis pirang nan cantik yang berdiri persis di sebelah nenek tua tadi. Aku sungguh suka cewek, terutama cewek blonde. Awalnya ia menolak namun akhirnya ia mau juga. Oh perempuan, tak pernah “iya” pada saat pertama. La donna è mobile! (Perempuan sungguh membingungkan!). Aku kembali memandang sekeliling dan memperhatikan dinding-dinding sepanjang stasiun. Dimana-mana ada reklame dan grafiti. Mataku rabun sehingga tak bisa membaca tulisan-tulisan itu dengan jelas; aku mendekat dan membaca salah satunya “Mending jadi komunis daripada nikah!”. Lucu. Aku mulai lelah, bosan, dan jengkel. Aku kembali mendekat ke arah bangku namun secara tak sengaja sepatuku menginjak permen karet dan aku hampir terjungkal. Kugosok-gosokkan sepatuku ke lantai tapi permen karet ini tak mau lepas. Menjijikkan. Aku kembali ke dekat bangku. Cewek pirang yang tadi menoleh ke arahku; aku tersenyum padanya. Ia bergeming. Dia sudah lupa aku?!? Sungguh, aku benci perempuan, terutama perempuan blonde! Tepat di saat itu, seseorang bertanya padaku, “Eh bung, kereta ini ke arah mana ya?” “Ke Neraka bos,” jawabku. Ia jengkel dan mengumpat. Bajingan. Masa bodo lah, pikirku.
Sekarang stasiun benar-benar penuh. Gerah sekali. Ternyata segerah ini musim panas di New York. Aku kembali berjalan dengan kedua tangan kumasukkan ke dalam saku. Sebuah kaleng coke kosong tergeletak di depanku. Aku menyepaknya sekencang-kencangnya. Kaleng itu berkelontangan. Saat itulah orang-orang menoleh ke arahku, memperhatikanku: akhirnya aku ada! Orang-orang aneh, entah yang berkacamata, entah yang tidak. Tak ada yang kukenal, dan sebenarnya aku tak peduli juga. Biarkan aku menyukai orang-orang, kebebasan, demokrasi, sosialisme, keadilan, dan sebagainya, dan sebagainya. Oke, aku akan pergi menuju mesin coke dan aku siap menjadi gaul. Mereka kembali melihatku. Aku benar-benar suka orang New York, mereka memang jempolan, aku bahkan bersedia mampus demi mereka. Aku mengambil sekeping koin 10 sen dan memasukannya ke lubang mesin kemudian memencet tombolnya. Sebuah paper cup terlepas dan mulai terisi dengan coke. Sial, kereta! Aku langsung tergesa dan meninggalkan coke-ku begitu saja. Orang gaul berikutnya akan dapat minuman gratis! Ada barang gratis di Amerika! Sebentar lagi seseorang akan berpikir dunia ini penuh menakjubkan! Pintu kereta terbuka. Kereta yang tadinya lengang mendadak penuh sesak. Kami berdesakan dengan kacau, saling tendang, saling sikat, saling sikut. Voilà, beginilah orang New York dan aku benci sekali pada mereka! Mereka selalu berebut tempat untuk kepentingannya sendiri. Pintu kereta tertutup. Berangkat. Kereta tiba-tiba menghentak dan membuatku terlempar ke belakang dan orang-orang di depanku ikut jatuh menindihku. Sembari berusaha menemukan lagi keseimbangan aku berpapas muka dengan seorang perempuan (lagi-lagi) blonde. Aku mengernyitkan dahi tanpa tersenyum padanya. Aku mendekat, mencuri kesempatan sebisa mungkin untuk menyenggol teteknya yang menyembul. Goncangan kereta lagi-lagi membuatku terlempar mundur dan saat aku kembali ke posisi tadi, tiba-tiba sudah ada seseorang di antara kami. Ah, selalu saja ada sesuatu atau seseorang di antara kita dan hal yang paling kita sukai di dunia. “C’est la vie”, “beginilah hidup”, kata orang Prancis. Seseorang menghujamkan sikunya ke jidatku, sedang yang lain menjotos lambungku. Seorang tentara meremukkan jempol kakiku dengan pantofelnya. Aku menatapnya tajam dengan murka: ia berbisik minta maaf namun nampak sekadar basa-basi. Jagoan di depanku mencoba membaca koran. Oh, maha akrobat! Orang-orang mendorong, memepet, menyikutnya, namun ia tak peduli dan tetap membaca. Seorang perempuan paruh baya gendut ngorok di tempat duduknya dengan mulut melompong; tubuhnya berpeluh keringat. Aku benar-benar benci perempuan gendut, terutama yang tidur di métro dengan mulut melompong. Aku makin merasa gerah. Lelaki di depanku berbau busuk dan seisi dunia mendadak jadi ikut busuk. Aku berbalik, mengamankan hidungku ke arah lain. Kini aku bertatap muka dengan seorang lelaki berwajah mengesankan. Seorang badut. Ia pasti seorang aktor atau pelawak atau apalah. Keringat mengalir di dahi, pipi, dan mulutnya dan melelehkan make up, mascara, cat merah, cat hijau, dan cat putihnya. Wajahnya yang warna-warni terasa benar-benar ganjil. Seperti apa wajah aslinya? Aku hanya melihat bulu matanya; Kedua sayap hidungnya kembang kempis butuh udara. Apa dia akan mati lemas? Ia menatapku, aku bergidik melihat topengnya. Topeng kematian. Ia menginginkanku. Tapi aku masih mau hidup. Keringatku mengalir deras dan semakin deras. Bunyi rel menderit, lampu kereta mati, hidup lagi, mati lagi. Topeng itu kembali menatapku tajam seolah ingin menyeret, menyerapku dalam ketiadaan. Aku mencoba memejamkan mata, tidak, aku tidak bisa melihat lagi. Kereta ini berputar, aku ketakutan, kereta ini cepat sekali, ini kereta hantu, ia tak berhenti, tak mau berhenti, terus turun dalam lingkaran, berputar, berputar, berputar…
Judul Asli: Mon Métro Phantôme
Penulis: Emmanuel B Dongala
Bahasa sumber: Prancis
Buku sumber: Kumpulan Cerpen Jazz et vin de palme
Emmanuel Boundzéki Dongala, lahir 14 Juli 1941, adalah seorang Profesor kimia cum sastrawan Kongo. Cerpen Mon Métro Phantôme menggambarkan alienasi yang dialami imigran kulit hitam di Amerika di tengah arus modernisasi dan stereotip yang melekat padanya. Cerpen yang diceritakan dengan gaya orang mengoceh ini terdapat dalam kumpulan cerpen Jazz et Vin de Palme (1982) yang terbit ketika Kongo masih menganut Marxist-Leninist otoritarian dan sempat dilarang di negaranya karena isinya yang satir dan penuh olok-olok pada negara tersebut.
Sumber:
Dongala, Emmanuel Boundzeki. 1982. Jazz et Vin de Palme. Paris: Hatier
Thomas, Dominic. 2002. Nation-Building, Propaganda, and Litterature in Francophone Africa. Indiana University Press
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/