Category: cerpen

  • Seni Hidup Lelaki Bujang

    author = Ade Ubaidil

    Di usia ke-27 saya dipaksa khawatir soal pernikahan. Bagi saya, dewasa bukan soal angka. Dan kalau menikah dianggap tanda dari fase kedewasaan seseorang, saya lebih baik ke Timbuktu saja, menemani Donald Bebek yang, meski cerewetnya minta ampun, ia masih lebih baik ketimbang bacot tetangga yang gemar bertanya, “kamu kapan nikah?” atau “kapan nyusul?”—yang kecepatannya bisa melebihi cahaya ketika hari lebaran tiba.

    Saya ingin cari angin segar, kata saya sebelum ibu bertanya, “mau ke mana?” seperti biasanya. Kunci saja, saya bawa duplikatnya, susul saya sebelum resmi menutup pintu dengan rapat—dan sebelum pertanyaan kedua ibu mencuat.

    Ini malam ketiga saya ada di rumah, dan tiga kali pula saya menemukan sepah buah seri bergelimpangan di terasnya. Mulanya saya kira bulatan tak sempurna yang tak lebih besar dari kancing baju itu adalah tahi wirog atau kambing atau keduanya. Namun lima menit sebelum magrib tadi, saya ingat betul waktunya, lantaran sedang menonton bokep yang sialnya gagal orgasme di menit akhir, ibu mengetuk pintu kamar saya. Saya hanya ber-hmm agak keras dari dalam. Untungnya ibu tidak memaksa saya membuka kunci pintu saat itu juga—sebab akan sangat merepotkan ketika tubuh bongsor saya harus mencari ke mana sempak dan kolor yang tadi saya lempar, di belantara kamar saya.

    Kemudian ibu berkata sedikit lantang dari luar, “besok pagi tolong perbaiki atap depan. Codot sudah mulai bersarang lagi di sana. Ibu capek membersihkan lantai, apalagi sepah seri yang lengket itu.” Saya menduga kalau ibu masih akan terus berdiri di sana sebelum saya ber-hmm untuk kedua kalinya…, oh tidak, maksud saya tiga kali, sebab kalimat berikutnya menyusul, “mandi sana. Sebentar lagi magrib. Solat, Run, kamu sudah besar.” Saya yakin setelah bicara begitu ia kembali duduk di depan televisi sambil menunggu acara dangdut dimulai. Lagi pula, sejak kapan ibu melihat badan saya kecil?

    Setelah tahu di lantai itu ternyata sepah seri, saya menendangnya sekalian. Sial betul codot yang masih sepupuan dengan kampret itu. Dia yang dapat manisnya, saya yang dapat sepahnya. Mana bisa tubuh tambun begini menaiki atap, Bu. Saya jadi semakin yakin seseorang yang membuat pribahasa, “habis manis sepah dibuang” mengalami hal yang sama seperti saya; bertubuh besar, disuruh ibunya memperbaiki atap, dan sebelum melakukannya ia menendangi sepah di lantai sebanyak lima kali sambil meratapi dirinya yang baru ditinggal mantannya menikah.

     

    Ya, kalau kau ingin tahu alasan saya pulang ke rumah, selain karena uang habis, tak lain karena Ardhelia menikah. Sekuat-kuatnya lelaki, ketika mendengar kabar orang yang masih disayanginya dipersunting lelaki lain, tentu hatinya akan hancur. Apalagi terlalu banyak kenangan di indekos dengannya, saya belum sanggup untuk kembali ke sana. Saya perlu menata hati, ya, paling tidak sampai ada panggilan kerja dari salah satu perusahaan yang kemarin saya ajukan lamaran.

    “Hai, kawan lamaku, lesu betul kayak tisu kesiram aer.” Sungguh suara seseorang yang ingin saya hindari bahkan sebelum saya dilahirkan. Lebih-lebih mendengar tawanya itu yang mirip suara tikus di loteng yang terjepit genting.

    “Oi, Man…,” saya menoleh, lalu tertawa ala kadarnya. Si muka bopeng itu malah berjalan mendekat.

    “Minggu depan bantu-bantu, ya.”

    Saya hanya ber-hmm ditambah sedikit anggukan.

    “Kapan, nih, nyusul?” Si keparat tampak ingin belaga. Kalau saja saya habis menenggak bir dua botol, pasti sudah saya jotos hidung babinya itu. Tapi toh, saya memilih diam. Sesekali berusaha menghindar dari rangkulan badannya yang menguarkan bau kakus terminal yang sebulan belum disiram.

    “Aku kok, masih heran, ya. Bisa-bisanya Sandra mau aku nikahi, padahal kata teman-teman aku ini jelek, kamu lebih sering bilang gitu, kan?” ia terbahak sembari memberi bukti kalau barisan gigi kuningnya mengalahkan warna kecapi matang.

    “Kau akan disebut lebih beruntung kalau Makhsi, mantannya, tak membunuhmu sebelum pernikahan,” kata saya sedikit menciutkan nyalinya.

    “Kamu ada masalah, apa, toh? Mana mungkin Makhsi berani sama Herman anak Lurah Hasan. Punya apa dia?”

    “Paling tidak, sekarang kau sudah bisa menjawab pertanyaanmu sendiri,” ucap saya enteng. Ia tampak tersinggung.

    “Ah, gayamu, Badrun,” dengusnya kesal. “Omong-omong, sudah kerja apa sekarang? Eh, tunggu, sarjana sastra biasanya kerja apa, sih?”

    Kalau saya jawab secara serius, ia pasti tidak akan paham. Kalau saya jawab bercanda pun ia pasti mengira saya sedang serius. Satu-satunya meladeni orang sepertinya adalah dengan, “Warung kopi Mang Mahdum, yuk. Kita lanjut ngobrol di sana. Sudah lama aku tidak ditraktir anak Pak Lurah,” kelakar saya menggamit bahunya, dengan sedikit lebih keras.

    “Ditanya apa jawab apa. Kamu duluan saja, aku masih ada urusan. Maklum, seminggu lagi nikah. Banyak hal yang harus disiapkan,” tangkisnya seperti biasa. Herman, sejak saya kenal di bangku SD, dia satu-satunya anak yang tidak mau berbagi apa pun. Kami menjulukinya kepiting, tentu tanpa sepengetahuan dia. Dan kalau saya pikir lagi, kepiting terlalu mewah untuk disandingkan dengannya.

    Pertama, ia jalannya rada miring, itu benar secara harfiah, karena kakinya pernah terserempet sepeda motor dan pelakunya baru keluar penjara setelah sepakat membayar upeti setiap bulan pada Lurah yang katanya punya kenalan banyak polisi itu. Kedua, ia juga senang “mencapit”. Kalau saya pinjam bahasa ibu, ia termasuk anak yang memen atau kerahang atau pengenan. Apa yang orang lain makan ia selalu minta. Kami para temannya tahu ia diberi jajan yang lebih, tetapi meditnya minta ampun, bahkan untuk dirinya sendiri. Kalau kau pernah lihat sekerumunan kepiting ditaruh dalam ember, kau akan tahu apa maksud saya. Ketika mereka hendak keluar dan menyelamatkan diri, pasti satu atau dua kepiting di bawahnya akan menyeret dan menariki kaki kepiting yang sudah sampai di puncak.

    Itu yang yang pernah dilakukan Herman sewaktu saya dan beberapa teman hendak kabur saat jam pelajaran dulu. Rosyid korbannya, dan sejak saat itu ia bersumpah setelah lulus tidak akan lagi mengenalnya. Kalau saja ada program komputer yang bisa menghapus ingatan soal itu, ia pasti yang baris paling depan untuk memakainya. Rosyid saat itu sudah ada di atas tembok pagar. Herman, yang tanpa kami ajak ternyata ikut keluar kelas. Ia menarik-narik kaki Rosyid dan memintanya untuk dibantu naik. Lantaran kesal, Rosyid menendang-nendangi mukanya. Saya dan Aji yang sudah ada di luar pagar sebelum lonceng masuk, tertawa terbahak-bahak. Dan bagian ketika sepatu Rosyid mengenai lobang hidung Herman-lah yang tidak pernah kami lupakan. Bagian terbaiknya!

    Nah, yang membuat saya tidak sepakat adalah pada poin ketiga ini; kepiting saat dijual di restoran-restoran atau warung makan sea food pinggir jalan, ia memiliki harga jual yang cukup tinggi ketimbang jenis lauk lainnya. Lah, si Herman, siapa pula yang mau menawar harga tinggi untuknya andai ia dijual di pasar loak sebelah pasar Kranggot sana? Ada yang menanyai harganya saja sudah prestasi. Jadi, maksud saya bicara begini agar kalian tahu kalau alasan Sandra mau menikah dengannya hanya karena Herman anak satu-satunya Pak Lurah. Cukup diracun ketika hendak ngewe malam pertama saja, orangtuanya pasti tidak akan curiga—barangkali malah bersyukur. Dan Sandra, sudah mengantongi mahar yang lumayan mahal yang konon dimintanya sebelum dilamar.

    Saya biarkan Herman berbelok ke gang menuju rumahnya. Urusan apa, bullshit. Palingan dia cuma mau tidur sambil ngocok dan memandangi foto Sandra yang bohai itu. Kadang saya miris sekaligus merasa lucu, orang-orang seperti Herman, yang terlahir dari keluarga kaya, apa tidak bosan menjalani hidupnya? Hidup adalah perjuangan, mungkin sebaris kalimat motivasi itu tidak pernah ia rasakan. Sekolah hasil nyogok—karena otaknya mentok dan ia menolak tidak mau lanjut kuliah—, kerja di perusahaan besar pakai orang-dalem, dan hanya untuk gaya-gayaan, lalu apa pun yang dimintanya selalu dituruti. Hidup, kok, mudah betul. Kasian sekali, kau, Herman!

    “Kopi hitam satu, Mang.”

    “Pakai gula?”

    Nggak usah, Mang. Pahit aja.”

    Bertemu orang-orang seperti Herman-lah yang membuat saya tidak betah lama-lama di kampung. Lagipula untuk apa terburu-buru menikah? Tetapi herannya, di kampung, teman lelaki seusia saya hampir semuanya sudah menikah bahkan sudah punya dua anak. Orang macam dia, di pikirannya barangkali hanya soal ngewajang, selangkangan, pamer kekayaan, adu gengsi dan mengukuhkan, “gue bisa elu kagak!”. Ketika saya mendapati informasi kalau negara lain berkompetisi dalam ilmu pengetahuan, di kampung saya malah berkompetisi soal pacar atau istri siapa paling bahenol.

    “Ini, Run, kopinya.”

    “Nuhun, Mang.”

    Mang Mahdum kembali ke dapur. Lalu terdengar suara piring dan gelas saling beradu, juga suara air dari keran. Malam sepekat kopi. Sedang dinginnya sedingin hati saya yang gamang. Tiba-tiba pertanyaan Herman tadi menyeruak di benak saya. Sial! Ibu juga sering bertanya apa kerjanya seorang sarjana sastra? Guru, bapak lekas menjawab di dalam kepala saya. Sewaktu bapak masih hidup, ia yang paling mendukung. Sialnya ia meninggal sewaktu saya di semester lima. Bukan meninggalnya yang membuat saya sedih, tetapi biaya dari mana untuk melanjutkan semester berikutnya? Ibu hanya pedagang kecil-kecilan. Ia membuka warung di depan rumah. Bapak yang seorang guru honorer tidak mendapatkan pesangon, selain sumbangan belas kasihan dari teman sepekerjaan. Saya harus putar otak untuk bisa membiayai kuliah. Beruntung ada seorang kawan di perantauan yang mengerti keadaan saya. Ia menawari saya pekerjaan sebagai editor buku di penerbitan kecilnya. Lumayan. Paling tidak saya bisa membuktikan kalau saya bisa lulus dari hasil jerih payah sendiri, melanjutkan biaya yang ditanggung bapak dan ibu di awal masuk kuliah.

    “Kamu masih kerja di temanmu itu?” pertanyaan ibu tiga hari lalu.

    “Sudah lama berhenti, Bu.”

    “Kenapa?”

    Saya berjalan menuju kamar setelah melepas sepatu. “Bangkrut kantornya, Bu. Saya, ya, nulis-nulis saja di koran,” terang saya secukupnya.

    Lamunan saya buyar ketika dua orang datang ke warung kopi dengan tergopoh-gopoh.

    “Lihat orang lewat sini, nggak, Mang?”

    “Kalaupun saya lihat, saya nggak ingat mukanya, Mang, dan nggak peduli juga, sih,” kata saya malas.

    “Bawa motor?” susul Mang Mahdum, “kalau Mamang, sih, tadi lihat bolak-balik depan warung. Dua orang boncengan. Kayak orang nyasar, tapi nggak tahu lagi terus ke mana.”

    “Wah, benar, itu dia orangnya!”

    “Ada apa gitu, Mang?” tanya Mang Mahdum. Sementara saya lihat dari gang rumah Herman orang-orang tampak tergesa-gesa, saling celingungan dan setengah berlari.

    “Teror, Mang, teror! Ada yang nggak seneng sama Si Herman. Pulang-pulang dia babak belur, Mang. Ada yang cegat dia di jalan.” Setahu saya dari gang yang tadi Herman lalui, untuk sampai ke rumahnya tidak terlalu jauh. Tetapi sebelum rumah Pak Lurah memang ada jalan kecil dan pohon-pohon besar; semi-hutan. Khas perkampungan tempo dulu. Saya tidak mau terlibat percakapan lebih jauh dan tak peduli soal kontur wajah Herman bonyok atau rahangnya hancur. Justru saya berharap itu akan mengubah presisi wajahnya agar lebih enak dipandang.

    “Kamu benar nggak ngelihat siapa-siapa, Run?” seseorang lainnya menepuk bahu saya.

    “Soalnya Herman cerita kalau dia habis ketemu kamu sebelum gang itu,” pria satunya menyahut. Heran, sudah berapa lama saya tidak pulang kampung sampai banyak wajah yang asing di mata saya.

    “Sudah saya katakan, saya tidak tahu. Tak peduli,” saya bangkit. “Berapa, Mang?”

    “Tiga ribu,” sahut Mang Mahdum.

    “Ini, Mang. Nuhun.” Kemudian saya memilih untuk menjauhi kerumunan. Mengganggu saja!

    Saat jalan pulang, ponsel saya berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk. Tertulis namanya Rosyid. Saya sedikit lupa Rosyid yang mana. Lalu saya buka pesannya, “Run, saya sedang di depan rumahmu, nih. Keluar dong. Mau mampir. Saya berdua sama Makhsi!” Seketika saya ingat, ia ternyata yang tadi saya ceritakan, Rosyid yang pernah dicapit Herman saat SMA dulu. Tak biasanya ia datang bersama adiknya. Akhirnya ada kawan untuk berbincang, ucap saya senang. Saya berjalan lebih cepat, tak sabar ingin menemuinya.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Sebuah Taktik Perang, Bersifat Pribadi

    author = Martina Ariel

    Bebekel apa sampai kau begitu bebal dengan segala keinginanmu? Kau tidak pernah mengalami peperangan di desamu. Setahuku, perang tidak pernah dilangsungkan di pedesaan. Setidaknya, orang tuamu selalu mengatakan bahwa daun ketapang hancur karena digerogoti ketam, bukan terkena luncuran meriam sandang dari arah kota. Kau pun meyakininya. Desamu adalah sajak alam, alasan setiap insan membuat pondasi ingatan.

    Aku, yang belum pernah kau ajak menikmati pokok kayu yang selalu kau banggakan, kau paksa untuk ikut larut dalam nuansa alam yang masih menggantung. Aku selalu ingat ceritamu. Kau selalu bilang, berulang kali pula, pohon di desamu dapat mencapai tinggi lima puluh meter, diameternya hingga satu meter. Daunnya bersirip tunggal, dengan bentuk bundar telur. Warnanya cokelat merah karat. Buahnya bersudut lima. Hingga aku mengamini segala keputusanmu, jangankan bentukannya, bau pohon itu pun tak pernah bisa muncul dengan baik di batang bayanganku.

    “Itu pohon apa?”

    “Sampai setua ini, aku juga tidak tahu itu pohon apa. Orang tuaku hanya bilang, namanya Ketapang”

    “Tapi Ketapang bukan begitu! Aku pernah melihat di Google.

    “Ya sudah. Setidaknya, kita punya bahan perdebatan.”

    “Kau belum pernah lihat pohonnya?”

    “Belum. Aku hanya meyakini bahwa pohon itu memang ada. Kalau aku pulang nanti, yang pertama kulakukan adalah memeluk pohon itu. Menyadap getahnya. Kudiamkan. Kubentuk lingkaran sejari manismu.”

    “Macam-macam saja. Sekalian saja kau buat daluang untukku. Tulis lamaranmu untukku.”

    **

    Kami menikmatinya. Melantunkan satu kata, untuk kemudian dibahas, dan dibuktikan. Semuanya, termasuk cinta, kami benar-benar butuh pembuktian. Panjang lebar kami membahas perang dunia. Siapa yang kalah dan karena apa. Siapa yang menang dan karena apa. Sekaleng bir dingin, sebotol ciu murni, kenapa tidak? Makin tinggi, makin asyik. Makin tinggi, makin kami tahu sejauh mana cinta kami. Sebatas  cium mesra anak SMA, atau ditambah wawasan yang menggairahkan.

    Aku sering mengeluh tentang pekerjaanku, dan dia sering bimbang kenapa uang tak selalu datang jika tak bekerja. Kami pusing. Ia menciumku. Obat lara paling mujarab. Aku menciumnya. Aku dipeluknya. Hangat. Rasanya runtuh semua keberanianku. Aku, yang selalu mengaku bahwa dunia akan selalu tunduk di bawah kakiku, tiba-tiba berubah menjadi dalu, buah yang terlalu masak, dan siap diremat habis.

    “Bisa apa aku kalau kau tidak ada?”

    “Kita harus begini. Berpisah sejenak. Kau harus selesaikan semua urusanmu, aku juga. Kewajibanku bukan tak penting untuk dikhatamkan.”

    Giliran aku menyapa bibirnya. Mengapa sedih justru menyapa hasrat? Sekuat itukah tali batin kami diikat?

    Semuanya menjadi berurat dan berakar di tempat yang seharusnya. Aku menggodanya. Mencoba untuk meraih kancing celananya. Menariknya kecil, sambil tetap mencium bibirnya. Siapa sangka bahwa kegembiraan juga bisa dihasilkan di atas ranjang reyot?

    Aku suka bau badannya, ketika ia mengaku kalau hanya mandi sekali. Harum, campur sedikit bau matahari. Aku menciuminya, menikmati sisa racun tembakau di bibirnya. Jika saja aku tahu bahwa bahagia bisa semudah ini, tentu sudah kuiris bibirnya. Kubawa di dalam tasku, ke mana saja aku pergi. Jika sedih, aku tinggal mengeluarkannya. Kupagut mesra, kadang kasar.

    Dia berbohong. Aku tahu dia sering berbohong. Dia sering bilang padaku bahwa ini pengalaman pertamanya dengan wanita. Tidak kugubris. Masa bodoh. Aku cemburu, tapi bahagiaku terlalu menumpuk ketika dihadapkan dengan bibirnya.

    Aku rasakan tangannya di balik punggungku. Dia menarikku ke arahnya. Sedikit kasar, tapi jantan. Tangannya naik dan turun. Seperti buta aksara yang menjajakan koran, ia buta akan tubuhku, tapi tahu bagian mana yang harus disentuh. Ramah, tangannya berhenti di kancing kutangku. Tanpa usaha banyak, terbukalah penyangga dadaku. Aku menikmatinya.

    Tegang, sama dengannya.

    Senyumku mewakili semuanya.

    **

    Kabar perang yang selalu menghantui desa, membuatnya makin jauh ingin berlari. Namun tidak begitu situasinya. Kami sama-sama tahu, dia melarikan diri jauh-jauh dari keterikatan, bukan perang yang sering disembunyikan orang tuanya. Meski kalau mau jujur, dia justru sedang mundur. Mengulang segala keinginan masa kecilnya, untuk membahagiakan angan-angan. Berlari jauh, untuk mundur pada angan.

    Pada bulan-bulan lalu, setelah dia merasa kalah, dan merasa kehilangan harga diri karena tak kunjung mendapati kepastian hidupnya, aku masih mencium bau kesombongan dari mulutnya. Dia masih saja bergumam tentang lagu  folk dan kejayaannya. Tidak terlihat aneh di depan kawan sejawatnya, tentu saja. Justru yang tertangkap adalah kesan bahwa ia berhasil melakukan apa saja yang diinginkan manusia sebayanya. Orang tua yang kaya, tanggung jawab yang selalu selesai, wanita yang tak pernah berhenti memuja, kenalan penting yang membuatnya memiliki jaringan berharga, apa saja yang membuat semua orang menjadikannya kaca.

    Tidak bagiku.

    Dia mengacak rambutku, dan ketika itu juga, dia kehilangan separo bendera kejayaannya. Aku merasakannya. Bendera yang berhasil dikibarkannya, sobek bersama rasa khawatirnya. Badannya yang tinggi besar bagaikan patung maskot kapal, mematung begitu saja. Angannya makin jauh. Terbentur asa dan rasa.

    Aku bisa bagaimana?

    Malam kami semakin lama semakin habis. Langit kami sebentar lagi akan berbeda. Ketika aku melihat matahari, dia baru bersiap tidur. Ketika badanku sudah lelah, dia baru memulai hari. Pertemuan kami terhambat benua.

    Dia bisa bagaimana?

    Perang yang diceritakannya, getah pohon yang dijanjikannya, sepertinya sengaja membawa kami pada masa depan, yang tidak sering kami bahas. Memang sudah benar begitu: kami harus berpisah sementara waktu. Akan ada hari, di mana kami semakin rindu, tapi tak tahu apa yang harus dilakukan untuk membunuh jarak. Aku tahu, bahwa ada masa di mana janji harus dibuktikan, seperti cerita-cerita yang pernah kami perdebatkan.

    Kami bisa bagaimana?

    Tidak seperti batang kayu yang selalu tak berhasil kubayangkan, aku bisa mencium bau rumah kayu yang ingin kami bangun. Sebuah rumah di perbatasan, dengan atap tinggi di bagian tengah, dan atap sedikit lebih rendah di bagian kamar. Panggilan surau mungkin tidak akan kami dengar dari jarak dekat, pun dengan lonceng gereja. Dari kejauhan, kami bisa melihat kembang kuning dan pantat burung megal-megol dari jendela bundar yang tak biasa dibangun di tempat asal kami. Jendela itu seperti turbin tanpa kain penutup. Biarkan saja semua terbuka lebar. Biarkan dunia pada akhirnya melihat kami berdua menang atas perang yang berkecamuk di pikiran kami masing-masing. Kami ingin menari di dalamnya.

    “Apa sekarang kau merasa lebih baik?”

    “Asal bibir dan kemaluanmu masih tegang, aku baik-baik saja”

    “Sesederhana itu?”

    “Iya. Kalau kau pulang, dan bau wanita lain, apa jari manisku masih sudi kau pasangi getah pohon sesuai janjimu?”

    “Kau tahu, aku madat.”

    “Saat kau belum pulang, aku akan cari pohon yang kau ceritakan. Akan kusuntikkan apiun ke dalamnya. Kau tak akan tahu, bahwa getah kering yang kelak akan kau pasang di jariku, menjadikanmu pemadat ulung, atasku.”

    **

  • Sebab Engkau Pasir dan Engkau Akan Kembali Menjadi Pasir

    author = Leon Woltermann

    Dia menunggu di antrean sebelah kiri. Di sebelah kanan seorang biksu tengah mengurus bagasinya, kotak-kotak kayu tua seperti dilemparkan dari masa lalu. “Mengapa seorang biksu membawa banyak barang, padahal di dunia yang singkat ini, dia tidak boleh memiliki apa pun?” batinnya dan ia menggeleng-gelengkan kepala.

    Si biksu melihat ke arah dia dan pandangan mereka bertemu. Dia merasa tertangkap sedang mengamati biksu itu. Untuk membuat situasi menjadi tidak aneh, dia tersenyum dengan menurunkan kepalanya sedikit. Biksu itu tersenyum kembali dan mulai mendekati dia. 

    “Mengapa kamu hanya membawa begitu sedikit barang?” Tanya biksu. 

    Dengan berhati-hati dia menjawab karena takut salah berbicara. “Saya tidak perlu banyak barang,” ucapnya sambil tersenyum dan menurunkan kepalanya sedikit lagi. 

    “Sayang sekali! Tiket ini termasuk 30 kilo bagasi.” Jawabnya dengan suara ringan dan senyum tipis.

    “Iya, benar.” Dia menjawab singkat semakin kikuk mengetahui biksu berbicara sesuatu yang berbeda dengan prasangkanya dan memancing penasaran. Berapa umurnya? Mau ke mana ia? Apa isi kotak-kotak itu? Pertanyaan yang banyak itu membuatnya merasa bersalah.

    Antreannya pelan-pelan maju dan mereka mendekati meja check-in. Dia mengintip-intip ke arah biksu karena menyangka masih ada yang belum diucapkan oleh si biksu. Saat menghadapi petugas check-in kebetulan biksunya sedang juga mengangkat kotak-kotak ke atas conveyor. Banyak sekali kotaknya dan tampaknya juga cukup berat. “Ini tidak mungkin termasuk 30 kilo gratis!” ucapnya lagi dalam hati sembari terus mengamati. 

    Terganggu oleh pikirannya itu, dia lupa antrean sudah maju dan sebentar lagi gilirannya. Setelah dia mempersiapkan kata-kata untuk berbicara dengan petugas dan mengeluarkan paspor dari bagasi, biksunya tiba-tiba mendekati dia dan bertanya “Satu kotak saya yang tersisa ini tidak bisa lagi masuk ke bagasi. Kamu membawa sangat sedikit barang. Bolehkah saya titip kotak satu ini?” 

    Antrean sebelah kiri maju lagi dan sambil masih memegang paspornya dia bingung harus berinteraksi dengan siapa dulu. Dipandang oleh tiga orang petugas kursi sebelah kiri, petugas kursi sebelah kanan dan biksu dengan ekspresi muka yang menunggu balasan, dia menjawab “Baiklah. Tidak apa-apa.” Jawabnya untuk mengakhiri situasi. Ia mengambil kotak kayu yang tampak tua seukuran 30 cm kubik ke dekapannya sebelum kemudian menyerahkan ke petugas.

    Setelah semuanya beres dia berjalan ke gate sambil menenangkan diri. Ia tidak lagi melihat si biksu karena sudah lebih dulu jalan di depan. Sambil langkah kakinya otomatis mengikuti kerumunan, ia terus membuang satu-persatu kemungkinan yang semuanya buruk yang muncul di otaknya tentang kotak itu. Penyelundupan. Obat. Teror. Revolusi. Protes. Bakar diri. Semua cerita yang pernah dibacanya di surat kabar mengikuti langkah-langkahnya. Tiba-tiba, niat baik yang ia putuskan dengan singkat dan sederhana, mengundang pikiran-pikiran mengerikan dalam waktu yang cepat pula. Niat itu menimbulkan penyesalan yang artinya itu tidak lagi baik.

    Di ruang tunggu, telapak tangannya mulai basah oleh keringat dan kecemasan. Ia menelepon ayahnya yang berjarak ribuan kilometer. Tidak sempat menanyakan kabar, ayahnya bertanya kepada petugas imigrasi setempat. Pesan dari ayahnya bahwa hukum di negara asing bisa sangat merugikan, membuatnya lemas. Pada saat itu, ia tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Ia merasa bodoh dan menyesal. Didekatinya pasangan turis berkebangsaan Amerika. Diceritakan semua yang terjadi dengan runut terkait biksu dan kotak misterius yang dititipkan padanya. Pasangan itu tidak terlalu menangkap ceritanya. Namun di wajah mereka tergambar rasa kasihan. Di akhir monolog panjangnya, pasangan turis Amerika itu menyodorkan alamat email dan berkata, jika terjadi apa-apa, ia bisa menghubungi mereka. Ia mengangguk dan berterima kasih. Ia berpikir, kebaikan pun kini tidak lagi cukup untuk menolongnya.

    ***

    Walaupun sudah penuh, boarding berjalan lancar dan dia menemukan kursinya dengan cepat. Sambil duduk di kursi, dia mengamati kesibukan di pesawat yang mulai bergetar. Tapi badannya bergetar lebih hebat. Beberapa tahun terakhir, ia mengalami serangan panik terutama jika berada di pesawat terbang. Serangan itu dipicu oleh kombinasi ruangannya yang sempit dan pandangan penumpang yang terburu-buru, juga lampu-lampu meredup dan bunyi alarm tanda-tanda. Namun yang paling menakutkan untuknya adalah jendela bulat kecil yang mengingatkannya terhadap kesempitan pesawat yang sama dengan kesempitan di dalam kapal selam. Terpenjara di udara sama saja dengan terpenjara di dasar laut. Perpaduan antara ruang sempit di tengah keluasan yang memberikan suasana kontras yang mengerikan. Ditambah lagi ingatan tentang kotak dan biksu yang terus membuntutinya. Dua-duanya membuat ia kemudian bergantung pada Lorazepam, obat anti cemas yang selain menghilangkan cemas juga menghilangkan tanda-tanda hidup lainnya, membawa peminumnya pada situasi antara yang hidup dan mimpi, yang nyata dan ilusi. Inilah saatnya. Sebutir ditelannya tanpa air. 

    Tanpa sadar matanya pelan-pelan mengecil seperti dihipnotis oleh gerakan orang-orang yang melewati kursinya. Sampai kemudian dia tertidur dengan sangat pulas. Mungkin bisa kita sebut itu terlalu lelap. Suara-suara di pesawat semakin menjauh dan dia memasuki kegelapan. Hening.

    Ketika bangun, ia merasa tenggorokannya kering. Tidak ada ludah yang bisa ditelan. Dengan mata tertutup dia merintih. Dia terbaring. Bukan karena istirahat, tapi karena dia terlalu lemah untuk menggerakkan anggota tubuhnya. Terbaring entah di mana, dia tidak tahu. Dia pun berpikir, “Begini ya rasanya mati.” Dia terbaring seperti itu dan tidak bergerak dalam beberapa waktu lamanya. Bisa satu jam, bisa juga satu hari.  

    Tiba-tiba angin mulai bertiup dan memenuhi mulutnya dengan pasir. Rasa pasirnya sangat pekat. Mirip dengan makanan yang gosong. Tapi justru bukan rasanya yang membuat dia terkejut, melainkan teksturnya. Sangat kental. Walaupun hampir tidak ada cairan di mulutnya, pasirnya terasa seperti bubur. Dia pun menutup mulutnya. Ketika butiran-butiran pasir mengenai gigi, bunyinya seperti papan tulis digaruk kuku. Pasir itu pun masuk ke hidungnya. 

    Dia mulai batuk dan muntah sampai pasir yang tertelan keluar. Baru setelah semua pasir keluar dan rasa tersedak reda, dia menyadari dia disapu badai. Ketika badai pasirnya sudah berakhir, dia mendongakkan wajah dan memandang ke sekitar. Tidak ada apa-apa selain pasir, cakrawala, dan matahari yang tersisa dalam diam. Pasir sedikit berbukit-bukit di utara, timur, selatan, dan barat. Pemandangannya sama saja. Ia melihat hanya pasir sejauh matanya memandang. Semakin haus, semakin lelah ia menyerah. Dengan pasrah ia menghadapi takdirnya. Antara sadar dan tidak, semua peristiwa di masa lalu muncul, acak, seperti slide foto dan film. 

    Setahun yang lalu ia berangkat ke kejauhan dengan uang yang dihadiahi ibunya. Ia ingin jadi pejalan yang pergi sejauh mungkin dari rumahnya. Menjelejahi alam yang misterius dan hal-hal yang lebih misterius dari alam. Hanya saja, ia berada antara sekelompok orang asing, yang pergi ke tanah asing, melakukan tindakan-tindakan asing, pulang menjadi orang yang lebih asing. Ketika slide masih terus berputar, sebuah tangan dari dunia lain seperti menyentuhnya.

    Bangun dengan tetes keringat di seluruh badannya, dia digoyang oleh pramugarinya. “Maaf, Anda dimohon untuk bangun dan meninggalkan pesawat ini.” Katanya dengan senyum. 

     Mengamati lingkungannya dia menyadari semua kursi sudah kosong. Tanpa menjawab, sambil membersihkan mukanya dengan tisu dari keringat, dia bangun dari kursinya dan keluar dari pesawat. 

    Gang-gang di salah satu bandara transit terbesar di dunia ini cukup sepi, kecuali beberapa petugas kebersihan yang sedang mencuci lantainya. Di tengah malam, dengan kekosongan seperti itu, ia terpaku pada lantai bandara yang sangat bersih sampai berkilau-kilau. Di ruang pengambilan bagasi lantainya sama-sama bersih, tetapi selain dirinya tidak ada orang yang bisa mengagumi kebersihannya. Jikapun ada, mereka mungkin tidak peduli. Melewati conveyor satu per satu, dia menyadari tinggal satu saja yang masih berjalan. 

    Dengan segera dia meraih dua tas miliknya. Dengan begitu bagasinya sudah lengkap. Namun ia masih melihat pada conveyor yang berjalan pelan seperti ada yang kurang. Satu bagasi masih berkeliling di conveyor sendirian. Ia sadar itu adalah kotak kayu yang dititipkan padanya. Lalu ia pun teringat biksu. Dia angkat kotaknya dengan meregangkan ototnya. Untuk kotak dengan ukuran antara besar dan kecil, kotak itu ternyata ringan. Isinya bisa jadi apapun. Kemudian dengan hati-hati dia meletakkannya di lantai, tepat di depan kakinya. Ia pun jongkok dengan susah payah. Salah satu keahlian yang didapatkannya ketika mengembara di Asia Tenggara. Jongkok. Meskipun bingung apa yang harus dilakukan, dan di mana harus ia temukan biksu itu, ada dorongan kuat dalam dirinya untuk melihat kotak itu. Melihat isinya. Setelah mengambil nafas, dengan sabar dan tidak terburu-buru dan masih sesekali memutar kepalanya seperti mau memastikan tidak ada yang mengamati, ia pun membukanya. Kotak itu hanya dikunci oleh sebuah ganjal dari kayu juga. Ketika ganjal itu dibuka, wangi kayu tersebar, terhirup hidungnya. Lalu wangi yang lain muncul. Seperti wangi gurun. Wangi pasir. Kotak itu kosong dan gelap. Tampak lebih dalam dari yang seharusnya. Dengan ragu ia masukkan tangannya ke kotak. Jarinya menyentuh kayu yang dingin sebelum kemudian menemukan sesuatu yang lembut. Pasir. Ia menemukan pasir. Antara terkejut dan penasaran, ia menggali, jari-jarinya menyapu sudut-sudut kotak. Ketika ia beranikan mengangkatnya, ia menemukan bulir-bulir pasir di sela-sela kuku jari. Gelombang angin seperti yang ia rasakan di gurun menerpa wajahnya. Ia tidak peduli lagi dari mana angin seperti itu muncul di bandara. Rasanya tiba-tiba ia begitu dekat dengan kotak itu. Ia ingin memilikinya. Kecemasan di awal dengan segera berubah menjadi keyakinan. Ia mendekap erat kotak itu dan berdiri.  Dengan dua tas di punggung ia berjalan ke pintu keluar. Ia sempat menengok untuk mencari sekali lagi biksu itu. Namun pikirannya sudah memiliki kesimpulan sendiri. Seperti takdir. Sambil berjalan, ia mulai menyusun berbagai cerita yang akan disampaikan pada ayah ibunya. Cerita yang dimulai dari kotak itu. 

    Ia pun menghilang di balik pintu, lantai bandara masih berkilau-kilau meski tidak ada seorang pun yang mengaguminya. 

    Hamburg, Maret 2020

  • Sang Dalang

    author = Ferry Fansuri

    Kau tak akan tahu siapa aku karena hanya bayangan dalam bayanganmu. Aku bergerak sangat cepat, tapi terkadang amat lambat. Aku mampu menyelinap dalam desah napas manusia, mencium bau busuk, atau parfum murahan perek jalanan. Aku hidup lebih lama daripada negara ini. Tapi bukan iblis, bukan pula dajjal. Aku manusia seperti kalian yang mempunyai nafsu dan akal.

    Aku hadir dalam tiap peristiwa yang berlangsung di negari ini. Kerusuhan, demo anarki, taktik politik, kisruh partai bahkan hal terkecil macam naik turunnya harga cabai keriting di pasar induk. Semua hal aku jamah, kuotak-atik sesuka hatiku sesuai yang kumau tanpa tersentuh siapa pun. Apakah aku membela suatu golongan? Atau benci dan dendam terhadap suatu etnis? Atau aku tak punya agama dan tak mengakui keberadaan Tuhan? Oh tidak, aku tidak mewakili lembaga atau membenci etnis apa pun, aku percaya pada Tuhan yang menciptakanku dengan tujuan yang khusus. Apa yang kulakukan hanya sebuah kesenangan, dan terkadang aku tak suka ketenangan.

    Aku menguasai ribuan bahasa dengan berbagai dialek. Aku bisa berubah wujud sesukaku. Seorang kakek, anak kecil polos, pemuda tampan, atau wanita bahenol sexy dengan payudara yang menyembul.

    Di negeri ini aku hidup dari zaman ke zaman. Masih kuingat peristiwa saat kali pertama kaki ini mendarat di tanah Jawa Dwipa Gemah Loh Jinawi, subur dan kaya. Negeri yang mampu menarik berbagai bangsa untuk datang sekadar mencicipi palawija dan cengkeh, berebut membangun benteng dan menancapkan kuku monopoli di sini. Aku yang membisikkan ke telinga Albuquerque, seorang Portugis, untuk mencaplok Malaka dan Sunda Kelapa. Aku berubah wujud sebagai ajudan kapalnya untuk mengeruk kekayaan negeri ini, terkadang aku berubah menjadi bangsawan priyayi untuk menghasut Fatahillah menyerbu dan merebut Sunda Kelapa.

    Aku begitu mudah memainkan mereka karena manusia mempunyai hasrat dan nafsu yang begitu membuncah. Semua terjadi seperti aku inginkan. Perang dan saling bunuh demi kehormatan dan ego, taktik adu domba ala devide at impera adalah senjata mematikan di dunia ini. Kulihat kekacauan itu di tepi pantai saat Fatahillah menghantam Albuquerque, pemandangan begitu indah layaknya kembang api yang disulut di tengah malam berpijar dan mengagumkan. Segala kenikmatan itu mendesir di aliran darah bak opium yang terhisap membuat sakau.

    Sebelum ini pengaruhku lebih purba lagi, kata-kataku jadi belati mematikan dan ampuh. Kubisikkan ke telinga Gajah Mada untuk mengucapkan sumpah Palapanya dan menjadikan Nusantara sebagai kekuasaaan Majapahit.

    “Kau ucapkan sumpah itu maka Nusantara bisa engkau satukan dalam genggamanmu. ”

    Saat itu Gajah Mada melancarkan aksinya, perang berkecamuk, dan pemberontak di mana-mana. Perang Bubat yang legendaris dilegalkan demi kekuasaan, pemberontakan macam Ranggalawe dipadamkan tanpa ampun.

    Setan atau iblis tidak pernah ada untuk membisikkan secara gaib ke telinga manusia, Iblis itu sebenarnya sudah ada dalam jasad manusia dan tubuh manusia adalah wadahnya. Mereka tinggal dibangkitkan dengan sekali tiupan.

    Darah dan airmata adalah tumbal untuk semua itu. Aku suka pada manusia yang mempunyai ambisi karena kelemahan mereka bisa aku setir seenaknya. Turun naik takhta pemerintahan buat aku bagaikan menjentikkan jemari. Aku pernah juga menurunkan seorang proklamator berwibawa negeri ini dengan emngandalkan seorang jendral yang selalu tersenyum.

    Aku menciptakan momentum, mencari kelemahan, dan mendorong menjadi bahan bakar. Aku begitu gampang merekrut pengikut setia di bawah panji-panji kegelapan dan selalu menjalankan perintahku dengan titik darah penghabisan.

    Apakah kau sudah mengumpulkan data tentang dia?”

    Benar tuan, ia akan terbang besok”

    Baik, laksanakan eksekusi itu”

    Aku dan pengikutku bekerja secara rahasia. Jampi-jampiku sangat kuat hingga menuruti segala yang kusuruh. Sama seperti tugas esok untuk menghabisi seorang aktivis HAM yang akan pergi study ke Holland. Aku sendiri tak kenal orang ini tapi ia harus dikorbankan karena mengusik permainanku yang sudah aku rancang dan akan kubuat ia menjadi pahlawan negeri ini.

    Pembunuhan itu begitu cepat, racun arsenik jadi pemicu. Skenario sudah aku rekayasa, waktu dan tempat kematian beserta kambing hitamnya. Bisakah kau berimajinasi bagaimana aku menghabisinya? Baik, aku jelaskan padamu. Saat ia transit dalam bandara, aku berubah wujud menjadi seseorang yang menyeduh kopinya. Kau mungkin belum tahu bahwa racun arsenik itu sudah ada di tubuhnya sebelum ia diberitakan meninggal dalam pesawat.

    Esoknya berita bombatis memenuhi headline media massa dan elektronik

    Aktivitas Ham tewas diracun!”

    Konspirasi kongkalikong pemerintahan”

    Keadilan telah mati suri”

    “Kita kehilangan anak bangsa terbaik”

    Aktivis HAM itu mati menjadi pahlawan sebab tiap negeri butuh seorang pahlawan untuk dielu-elukan.

    Jika aku bosan dengan sebuah permainan, aku akan menggantinya dengan permainan yang baru. Seperti ketika sebuah rezim tiran yang telah lama tenang mulai aku koyak sebab sang jenderal pemimpinnya telah lama memerintah.

    Aku dapat menyamar sebagai aktivis mahasiswa untuk membakar semangat menentang kebijaksanan dan arogansi pemerintahan ad interim. Aku juga berkolaborasi dengan tengkulak-tengkulak mata uang asing untuk membuat ekonomi negeri ini turun di ambang batas. Muncul-lah demo di mana-mana, mahasiswa dan masyarakat bersatu turun ke jalan.

    Ah..ini momentumku, demo aku tunggangi dan sirami bensin kemarahan agar semakin membara.

    “Bunuh beberapa mahasiswa”

    “Tembak di tempat, jangan sampai meleset”

    Kubisikkan pada seorang sniper di atap gedung mengincar bayangan-bayangan berkerumunan di bawah sana.

    “Door..Baamm!!”

    Satu dan dua mahasiswa tumbang, demo menjadi panas dan semua kamera televesi menyorot. Para redaktur sibuk mencari berita penembakan mahasiswa untuk meningkatkan rating mereka, aku juga berubah wujud menjadi seorang redaktur yang berambisi untuk mengangkat peristiwa pembunuhan mahasiswa itu untuk dijadikan makanan stasiun televisi yang dulu hanya menayangkan telenovela itu.

    “Bakar..Bakar..Sampai habis”

    “Jarah….Jarah !!”

    Mei itu membara membakar negeri dan memperkosa anak bangsa itu. Manusia akan menjadi beringas hanya karena urusan perut tapi lebih berbahaya urusan di bawah perut, jika keduanya lapar maka apa yang dilihat semua gelap dan hanya untuk memenuhi napsu belaka.

    Aku ada di balik gedung berselubung kobaran asap membubung tinggi, aku saksikan gerombolan itu mencabik-cabik kelamin seorang wanita yang hanya karena mereka bermata sipit dan suka makan babi. Mulutku menyeringai puas.

    Permainanku selalu bagus, maka kau tak akan bisa menyaingi aku. Kau tak akan bisa menemukanku. Aku hidup di belakang layar dan panggungku adalah negeri ini. Penduduk negeri terlalu gampang dipecah dan digesek, isu-isu SARA disusupi dan dibumbui. Persatuan yang digadang-gadang oleh founding father itu sia-sia, hanya sebuah logo yang nangkring di tiap instansi atau sekolah.

    Duapuluh tahun setelah Mei itu, ada seorang bermuka kuning dari kaum minoritas muncul sebagai pemenang di negeri ini yang mana mereka dulu yang membantai kaumnya. Dijadikan kambing hitam atas keterpurukkan negeri biarpun mereka yang menggiatkan roda-roda ekonomi negeri ini tapi pada akhirnya reformasi butuh korban.

    Apakah aku seorang pemilih? Mayoritas atau minoritas? Aku tidak memilih siapapun, aku suka kedamaian tapi dalam versiku. Si muka kuning ini sebenarnya aku suka, tipe langka di antara manusia-manusia negeri ini. Tapi ia mengganggu permainan yang telah kubangun, bagai lalat yang hinggap di makanan yang harus disingkirkan.

    Aku sempat kesulitan untuk menggoyang si muka kuning ini, tak terlihat kelemahan di matanya. Semua mencintai dan mengelu-elukan si muka kuning. Tapi aku tak kehabisan akal, manusia negeri ini mengganggap minoritas adalah pelengkap semata bukanlah untuk menjadi superior. Mereka membencinya biarpun tidak mengakui akan kekalahan sebagai mayoritas. Mereka tak rela si muka kuning mengangkangi negeri ini dan itu bisa aku manfaatkan.

    Berminggu-minggu aku pelajari tentang si muka kuning itu, bagaimana ia berbicara dan berinteraksi dengan kawan atau lawannya. Si muka kuning terkenal ceplas-ceplos dalam menanggapi semua permasalahan. Kata orang “mulutmu harimaumu”, dan ia tak sadar bahwa kata-katanya telah menyakiti orang-orang yang membencinya.

    Keajaiban dunia maya dengan berbagai tool di dalamnya adalah bom nuklir sesungguhnya di masa depan, antara nyata atau hoax beda tipis. Suatu ketika si muka kuning itu terpeleset akan ucapannya dan menyinggung agama mayoritas negeri ini. Dan kulihat itu sebagai sebuah kesempatan untuk menjatuhkannya.

    Aku bisikkan para ulama garis keras yang memang sudah lama mengincarnya dan bisa aku tebak terjadi demo besar-besaran untuk menggulingkan.

    “Seorang Penista Agama”

    “Adili!”

    “Pengadilan Terbuka”

    Riuh dan bergemuruh, ratusan manusia dari kaum mayoritas negeri ini turun ke jalanan dan bersatu.

    Aku tertawa terbahak-bahak, kalian sebelum ini tercerai-berai dan sekarang bersatu. Sebenarnya si muka kuninglah yang menyatukan kalian. Tanpa dia apa yang kalian yakini tak akan kuat. Persatuan memang butuh pemicu, sebagai seorang dalang aku hanya menyulut saja untuk sebuah cerita yang telah kususun sebelumnya.

    Kudengar si muka kuning itu kini telah dicebloskan ke penjara, dan di beberapa tempat ribuan lilin dinyalakan untuknya.

     

    Dumai, Mei 2017  

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Pojok Bumi di Ujung Gang Gelap

    author = Kim Al Ghozali

    Kupilih kau dari yang banyak, tapi sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring[1]Pemberian Tahu, puisi Chairil Anwar..

    Dalam akuarium kaca ada ikan-ikan beraneka warna beraneka rupa. Dalam akuarium ikan-ikan berenang ke sana ke mari sambil memainkan ekornya dan sesekali mengedipkan matanya yang jelita kepada kau yang sedang memandangi mereka dengan takjub. Kausuka melihat ikan-ikan itu, kau ingin mengulurkan tanganmu ke dalam dinding kaca, menjamah tubuh mereka yang licin dan berkilau.

    Ikan-ikan dalam akuarium, ikan-ikan dengan warna menggoda. Ikan-ikan dengan ekor melenggok dalam bening air dan matanya berisyarat bahwa kau boleh berenang dengannya, berenang barang satu jam, dua jam, tiga jam, atau semalam.

    Alangkah indah ikan-ikan itu, bisikmu.

    Air dari selang kecil terus mengalir, serupa air terjun dalam imajimu dan menciptakan suara yang mengiringi keheningan malam. Ada lampu warna-warni dengan cahaya lemah di bagian lain dalam ruang kaca, memancarkan sinar menyoroti wajah, menyoroti bibir merah ikan-ikan. Ikan betina—ikan betina menjadi tontonan mata kesepianmu dan butuh hiburan, mata malam yang turun dari puncak dingin dunia.

     

    ***

     

    Kau datang lagi tepat jam dua belas malam, matamu lelah, lenganmu berdarah dan dadamu penuh luka, luka sayatan pisau, luka tikaman paku, luka bacok, luka bakar, dan luka-luka yang diakibatkan oleh kesepian panjang, terkaman taring dunia yang marah, tangan-tangan musim kejam sepanjang pengembaraanmu.

    Kau datang dan memasuki kegelapan malam di ujung gang gelap; gelap yang hangat, gelap yang laknat, gelap yang dosa, gelap yang gelap, segelap lumpur segelap kabut, segelap hidup, segelap kalut.

    “Aku telah menunggumu sejak tadi,” perempuan itu berkata padamu, perempuan yang keluar dari akuarium, perempuan jelmaan ikan warna-warni yang biasa kaupandang dari kegelapan. Kau memandanginya dengan matamu yang jalang, mata yang selalu menyala dalam malam, mata yang bertempur dengan cuaca sepia.

    Dan perempuan itu dengan tangannya yang lembut telah menggenggam tanganmu kini, menyentuh pundakmu, dan sesekali mengecup bibirmu yang kelabu.

    “Untuk apa kau menungguku? Apa yang kauharapkan dariku yang celaka ini?” Apalah arti seorang dari seribu lelaki yang mendatangimu silih berganti?”

    Perempuan itu berdiri, melangkah menuju jendela di kamar yang bercahaya lampu 15 watt. Tangannya yang seperti tangan yang lain[2]Judul puisi Tia Setiadi dari dunia bayangan menarik gorden yang terbuka setengah, menutup rapat-rapat dari pandangan malam di luar yang diam-diam mengintip kamar. Di luar salju mulai turun, dinginnya menggedor setiap tubuh manusia yang berlalu-lalang, setiap lelaki dan perempuan yang tanpa pasangan. Sedangkan kota tak lain adalah pentas musik yang superbising, musik dalam tempo presto dengan satu juta pononton yang cuek tapi berjingkrak. Dan kau tahu, kamar itu tak lain pojok bumi yang lepas dari kebisingan, lepas dari jarum-jarum maut yang berkeliaran di pusat-pusat kota, di taman-taman bunga, di jalan-jalan dan rumah-rumah, kamar di pojok bumi itu adalah sebuah tempat mungil yang tak terjamah peta. Bahkan, di situ kau merasa bakal selamat dari terkaman bah yang muntah andai Nuh datang lagi dan berdoa meminta hujan lebat 40 hari 40 malam tanpa henti untuk menghukum seluruh penduduk kota yang kini bergelimang noda.

    “Entahlah… Aku sendiri tak punya alasan, tapi perasaanku selalu berkata begitu, berkata sedang menunggumu,” perempuan itu menjawab tak acuh, lalu menuangkan arak api pada gelas di atas meja yang terletak di sisi ranjang.

    “Aku tak yakin di pojok bumi begini masih ada perasaan…. Oh, maaf, maaf, bukan begitu maksudku. Hemmm… Oiya, bagaimana kau bisa jadi ikan dan tinggal di tempat paling pojok begini?”

    “Untuk apa kau menanyakan itu?” ia menatapmu tajam, seperti sedang terusik. “Bukankah sudah ribuan kali kau singgah di sini, memandangiku dari luar kaca, lalu mengentaskanku, membawaku berenang dalam keheningan malam, berdua bermandi keringat hangat, dan alpa terhadap segala yang sedang berlangsung? Bukankah kita sama-sama terkutuk dalam dukana warisan makhluk pertama? Bukankah kau sendiri yang berkata bahwa melarikan diri dari sepi tidak bisa dikatakan sebagai kelakuan pengecut?”

    “Justru itu…” kau membalas menatap perempuan jelmaan ikan dalam akuarium itu dengan tatapan yang lain (kasih sayang?).

    Dan kau tak melanjutkan lagi perkataanmu.

    “Sudahlah. Cuaca begitu dingin. Minum dan nikmatilah…” ia menyodorkan segelas arak api kepadamu. “Mabuklah barang sedikit, agar penglihatanmu pada dunia tak terlalu terang.”

    Cairan arak api mulai mengalir dalam tubuhmu, bercampur kabut gelap yang berkubang di jiwamu. Sedangkan di luar kamar yang terletak di pojok bumi itu kota-kota telah luruh dalam kekuasaan langit, bunyi lonceng dari menara tengah kota meninabobokkan orang-orang. Dan bintang-bintang pecah mengalirkan cairan berahi ke kepalamu.

    “Menarilah… Menarilah…”

    Perempuan jelmaan ikan dalam akuarium itu pun mulai menari, menari di atas tubuhmu, menari di atas rasa papa dan hampa, menari di bawah jaring nasib yang menjeratnya, menari merayakan pemberontakan pada absurditas hidup. Dan malam yang senyap mulai bergelora, bergemuruh dari ujung bumi tanpa hitungan itu.

    Hidup telah hidup dan menggeliat. Waktu gemetar dalam ruang yang gemetar[3]Kepada M G, puisi WS. Rendra..

     

    ***

     

    Dan pohon-pohon tinggi mengintip diam-diam
    Dengan cerdik melempar daun-daunnya di kaca jendela[4]Malam Pertama, puisi Arthur Rimbaud..

    Jarum jam dinding berhenti sejenak, menyembunyikan runcingnya di balik punggung waktu, menghindari pemandangan dosa yang sedang berlangsung. Sedangkan musik aneh dari balik bumi mulai menyala, berjelaga di sela-sela tarian perempuan itu, menjadi pengiring setiap gerak-gerik tubuh, dua tubuh.

    Apakah ini laut dengan kedalaman dan kebiruannya, atau hanya kamar hampa tanpa cinta? Batinmu berbisik, di sela-sela musik.

    “Apakah ini dosa pertama atau dosa terakhir?”

    Tidak, tidak. Cinta atau dukana bukankah sama saja, adalah kutukan lembut yang tiada akan berakhir bagi anak manusia, setidaknya begitulah surga menakdirkan sejak masa purba.

     

    ***

     

    Kau memang telah memilihnya, mengambil satu dari sekian pilihan yang tampak menggoda. Mula-mula kau mengintipnya dari ruang paling hitam dengan tangan gemetar, dengan dada bergetar. Wajahmu panas ketika melihatnya, padahal cuaca sedang begitu dingin.

    “Kau tampaknya sedang tersesat?” tiba-tiba ia berada di sampingmu.

    “Tidak. Aku hanya suka melihat ikan-ikan, melihat geraknya yang perlahan dalam ruang buatan ini,” jawabmu dengan gugup.

    “Kau ingin merenangi malam bersama seekor dari ikan-ikan di dalam, atau denganku?”

    Kau mengangguk dengan polos sekaligus gugup. Dan ia tertawa santai melihat kegugupanmu.

    “Inilah dunia…” ucapnya sambil membuka pintu kamar dengan jendela tunggal itu.

    “Apakah dunia ini memang sengaja dipisah dari dunia di luar sana?” kau mengikuti langkahnya. Ketika ia berbalik menghadapmu, tiba-tiba ia sudah telanjang dan memamerkan tubuhnya yang bening, payudaranya yang sesegar melon menantang matamu. “Inilah dunia…” ucapnya lagi.

    Dan sejak itu kau mulai tahu bahwa di ujung gang gelap di pojok bumi itu, ada dunia yang terpisah dari dunia besar. Dunia yang memamerkan ikan-ikan dalam akuarium, dunia yang ikan-ikan dalam akuarium itu bisa menjelma jadi perempuan aduhai yang akan membawamu ke sebuah kamar berjendela tunggal, dan perempuan itu selalu berkata: Inilah dunia…

     

    ***

     

    References

    References
    1 Pemberian Tahu, puisi Chairil Anwar.
    2 Judul puisi Tia Setiadi
    3 Kepada M G, puisi WS. Rendra.
    4 Malam Pertama, puisi Arthur Rimbaud.

  • Pingsan

    author = Fajar Laksana

    “Sial! Aku tetap harus ikut menolong!” batinku mengumpat.

    Kalau saja aku kenal tentu sudah kuingatkan dia mengenai perilakunya itu. Permasalahannya adalah, jangankan kenal, melihat saja belum pernah. Sehingga aku tidak perlu merasa bersalah ketika mendapati seonggok tubuh seksi ditiduri becak dengan begitu mesra, tergeletak lemas di trotoar. Air merah dan botol pecah turut serta menumpangi dada montoknya. Lampu perempatan berkedip, menimpakan sinar redup warna kuning, lelaki tua susah payah berdiri sambil memegangi kaki kiri, diglak-digluk memaksakan diri untuk menghampiri .

    Baru saja aku memegang sedikit bagian dari sadel becak, lelaki tua pemilik becak malah berhasil mengangkat becak sendirian. Bisa dikatakan niat untukku menolong menjadi sia-sia.

    “Dasar wanita zaman sekarang !!” Lelaki tua pemilik becak itu mengumpat pada tubuh yang tak bisa mendengar dan merespons.

    “Bangun, Mbak !!” kugoyangkan tubuh wanita itu.

    “Biarkan saja Mas, nanti juga bakal bangun sendiri karena matahari atau karena diangkut Satpol PP !” katanya ketus.

    “Ah, jangan ngawur, Mbah !”

    Wanita macam apa yang berjalan sendirian merunut jalanan Yogya kalau bukan seorang wanita yang sedang ditimpa malapetaka? Lelaki tua pemilik becak diam begitu saja, dia duduk tenang di trotoar sembari sedikit membungkuk meniupi luka di lutut, wajahnya agak memelas, terlihat di kedua matanya tergantung setitik air. Dan berulang kali serbet kotak warna merah putih yang ada di pundak diusapkan ke muka.

    “Mbak, bangun…!” kukeraskan sedikit suaraku.

    “Percuma Mas, dia sudah muksa, dan tidak akan terbangun dalam waktu cepat. Memang begitu yang terjadi kalau kaum wanita mulai berani menenggak minuman keras, mungkin dia lupa, ini Yogya, bukan Jakarta !!” mata renta itu menikam tubuh si wanita tanpa ampun.

    Lelaki tua itu sudah beranjak dari trotoar, pindah ke atas becak. Diperiksanya kondisi ‘kuda besi’ miliknya, dan menyadari bahwa becaknya mengalami kerusakan parah. Atap plastik pelindung hujan sobek, velg ban bengkok, ban dalam menjumbul keluar dan sadelnya tertekuk. Mulutnya grunengan, entah apa yang dikatakannya, tapi yang jelas itu tak akan mengubah kondisi becak seperti mula.

    Kualihkan pandanganku, menyapu sekeliling. Tidak ada kendaraan yang lewat dengan perlahan, rata-rata melintas dengan kecepatan di atas 80 km/jam, bahkan ketika berbelok kecepatan tersebut tidak dikurangi, benar-benar ajaib, Tuhan menyertai para pengendara yang ugal-ugalan. Dan memang, malam hari adalah waktu yang sangat tepat untuk menjadi angkuh bagi kendaraan bermotor.

    “Becak ini penghidup keluarga, tapi lihat apa yang telah dilakukan wanita sialan itu! Sebenarnya apa yang ada di pikirannya ?! Berjalan sempoyongan, memegang botol minuman keras murahan. Wanita itu muncul dari gang tanpa toleh kanan-kiri, dan aku terkejut bukan main karena tiba-tiba ada seorang wanita sudah berdiri di tengah jalan! Kalau sudah begini, darimana aku bisa mendapat uang untuk biaya sekolah cucuku?!” Setelah mengeluh, ia meludah, emosinya kembali tinggi.

    Kuangkat tubuh wanita mabuk sendirian, kusandarkan di tembok bangunan restoran cepat saji dekat perempatan. Kepalanya tertunduk, rambut panjangnya terurai, menutupi sebagian muka. Kurapikan kerudungnya, tapi selalu saja menggelayut jatuh ke pundak, dua kancing kemeja bagian atas telepas, dan ada kalung Rosario menggelayut di lehernya.

    “Mbah, sampeyan ada air?”

    “Ada, ini…” dilemparkannya padaku botol bening hasil olahan bijih plastik.

    Kubasahi telapak tanganku, lalu kuusapkan ke wajah wanita itu. Berulang kali kulakukan, tapi sama sekali tak berarti. Dia tetap saja diam dengan mata teduh yang tertutup. Karena jengkel kuguyurkan sedikit air minum lelaki tua ke ubun-ubunnya, tapi hasilnya sama saja.

    “Kamu itu siapanya kok peduli amat? Kalau wanita itu adalah pacarmu, kamu benar-benar mengalami nasib celaka, dan kalau wanita itu istrimu, kecelakaanmu berlipat ganda. Kamu tentu mengerti maksudku!”

    Lelaki tua itu meracau tak keruan. Kalau kuakui tuduhannya, maka ujung-ujungnya lelaki tua akan meminta ganti rugi padaku. Memang celaka, lagipula kenapa aku harus menolong wanita yang tak pernah kukenal, kalau pada akhirnya aku yang dimintai pertanggung jawaban? Nampaknya kebaikan yang kulakukan pada si wanita tidak lebih dari kebaikan yang mencelakakan!

    “Bukan Mbah, saya bukan pacar apalagi suaminya! Saya membantunya karena kasihan. Apa salahnya membantu seseorang yang sedang tertimpa musibah?” Setelah itu kuceritakan secara runtut kenapa aku menolongnya.

    Begini, saat dalam perjalanan pulang dari mengaji aku sempat berpapasan dengan si wanita mabuk. Dia terlihat frustasi, bau tubuhnya menyengat hidung. Dia menyusuri gang gelap sendirian, menembus kesunyian sambil sesekali menenggak air pengharapan. Aku ingin memperingatkannya agar jangan berjalan sambil mabuk, tapi niat tersebut tertahan di ujung lidah, seolah ada yang menahan. Karena tak mampu berucap maka aku putuskan untuk diam, berdiri mengamati laju wanita itu, kulihat bayangannya semakin memanjang saat dirinya semakin mendekat pada lampu gang, dan saat lampu berkedip, kegelapan yang hanya sepersekian detik itu mengagetkanku dengan suara tumbukan dan jeritan.

    Setelah kuceritakan runtutan hubunganku dengan si wanita mabuk, si lelaki tua bangkit dari becak. Tangannya menyahut botol yang kugenggam, dengan penuh nafsu haus ia tenggak habis air mineral di dalamnya. Dia berjongkok di depan wanita mabuk yang kusandarkan. Mata tuanya menyapu seluruh tubuh, setiap lekukan diamati betul, lalu dia memandang tajam muka si wanita mabuk, terdengar samar ketika laki-laki tua menelan ludahnya sendiri. Timbul kecurigaan padaku.

    “Mbah mengenalnya?” kusorongkan kepalaku.

    “Tidak!”

    “Lalu kenapa menelan ludah ?” tanyaku keheranan.

    “Karena dia cantik, dan tubuhnya lumayan…”

    “Bajigur, otak tua mesum !!” Kukira dia mengenalnya, ternyata telanan ludah itu tak menunjukkan apa-apa selain hawa nafsu buta dari seorang lelaki tua, yang mungkin sudah lama tidak ber – ho ho hi he dengan lawan jenis.  

    “Minggir Mbah, dasar saru!” Kusuruh lelaki tua menyingkir, kemudian kuperiksa saku kemeja wanita itu, dan menjelajah celana jeans ketat berwarna perak, kuraba tanpa ada yang terlewat.

    “Aku boleh membantu?!” Kini ganti kepalanya yang disorongkan, matanya tertuju pada dada.

    “Tidak, tidak perlu!” Tawarannya kutolak mentah-mentah, mengingat perkataanya tadi sudah cukup membahayakan kehormatan, -bila memang terhormat-, si wanita mabuk. Kali ini yang kulakukan tidak sia-sia, aku mendapatkan sebuah dompet berwarna biru. Kubuka dompet yang ternyata berisi sejumlah uang. Aku terpaku!

    “Ah, kepergok !! Jangan-jangan kamu yang mengenalnya ?”

    “Tidak!”

    “Lalu kenapa menelan ludah ?” tanyanya curiga.

    “Uangnya banyak !” jawabku tertegun memandang isi dompet.

    “Dasar pemuda mata duitan!!” Lelaki tua malah menghardikku, dia bersungut-sungut, kembali duduk di atas becak. Mulutnya kecap-kecap sendiri.

    Selain dompet, aku juga menemukan handphone di sakunya. Nampaknya aku harus menghubungi pihak keluarga si wanita mabuk. Siapa tahu ada yang akan mendatangi dan mengakhiri derita malamku. Kubuka hondphone, kuamati riwayat teleponnya, ‘ayah’ itulah nama kontak yang terakhir kali menghubunginya. Kujumput handphone ku sendiri yang ada di dalam saku, mencoba menghubungi ‘ayah’ si wanita mabuk. Karena kalau aku menghubungi dengan nomor si wanita mabuk sendiri, tentu ayahnya akan beranggapan bahwa anaknya sedang dilanda kesulitan, penculikan misalnya.

    Kutelepon ayah si wanita mabuk, dan aku mendapat sambutan hangat operator. Lelaki tua berdiri lagi, dengan wajah yang lebih kesal dari sebelumnya, dia menyahut teleponku, dan menggantikanku. Tapi hasilnya sama.

    “Di waktu begini, mana ada orang yang masih terjaga!!”

    Mulutnya kembali mengumpat, dia bicara dengan handphone ku, bukan dengan seseorang yang harusnya tersambung di jaringan telepon. Alat komunikasi tercanggih era modern milikku dihina habis-habisan, dan aku memutuskan untuk ikhlas, mengingat si lelaki tua tengah melakukan sebuah kesalahan besar, yakni marah-marah pada benda mati. Suaranya menggelegar, membuat kaget deretan burung pipit yang nyenyak tidur, bertengger di kabel listrik.

    “Ahhh, aku muak! Dasar barang mahal tidak berguna!! Kamu yang membuatku sampai seperti ini, andai saja makhluk sepertimu tidak ada tentu aku tidak akan tertimpa nasib sial hari ini. Becakku ringsek, belum lagi aku akan dituduh menabrak wanita mabuk, dan karena aku hanya seorang penarik becak, tentu wanita kejam itu akan meminta ganti rugi atas sesuatu yang tak pernah dengan sengaja kulakukan !!”

    Di tengah situasi yang membingungkan, ada sedikit hiburan. Lelaki tua tukang becak bermonolog dengan handphone ku, wajahnya murka, letupan air liur muncrat ke segala arah. Kurasa inilah namanya kesempatan dalam kecelakaan.

    “Memangnya apa yang diperbuat barang itu padamu Mbah, kok sampai begitu murka ?” Tanyaku dengan niat mencari hiburan.

    Lelaki tua tercenung, kepalanya menoleh padaku dengan sangat cepat, matanya merah nyala, ujung alisnya bertemu, dan kedua bola mata itu memicing keras.

    “Kamu mestinya tahu apa yang telah diperbuat benda ini pada para pemuda, terutama cucuku. Benda ini memberikan gambar-gambar buruk, mengajarkan hal-hal buruk, dan barang ini lebih berbahaya daripada narkotika ! Kamu tahu apa yang diperbuat cucuku akibat benda ini ? Dia putus dari sekolah, mabuk, judi, bahkan dia berani melakukan sesuatu yang berada di luar batasan norma. Karena ulahnya yang kelewatan, istriku stress berat dan akhirnya mati, terbunuh oleh jantungnya sendiri !!” Diceritakannya alasan kenapa ia sangat membenci handphone.

    “Bukan benda itu yang salah, tapi…”

    “Ya!! Cucuku yang salah!! Itulah yang dikatakan orang-orang !! Mereka bilang kalau cucuku adalah pembunuh, dan kamu tidak berbeda !!” Ia memotong ucapanku yang sebenarnya belum tuntas.

    “Maksudku…” Kucoba untuk mngklarifikasi.

    “Diam ! Jangan bicara lagi !! Ambil barang ini !!”

    Mulutku terkunci karena hardikan yang sangat keras. Aku berjalan ragu, menyambut handphone yang ditodongkan. Memang cucunya tak harus menanggung semua kesalahaan akibat menggunakan handphone, masalahnya adalah kenapa harus handphone ku yang harus kena batunya ?

    Lelaki tua duduk di trotoar, entah apa yang harus kulakukan, sedangkan yang tertimpa sial sebenarnya bukanlah dia, atau si wanita mabuk yang masih tak sadarkan diri, melainkan aku ! Mereka datang dengan tiba-tiba di kehidupan malam tenangku, atau jangan-jangan, mereka bersekongkol untuk menempatkanku dalam kondisi menjengkelkan seperti ini ?

    “Kalian jelas saling kenal !!” Kecurigaanku kambuh.

    Lelaki tua hanya memandang jalanan aspal dengan kekosongan. Begitu pelan, ditolehkan wajahnya padaku, dan pandangannya membuatku berapi.

    “Katakan saja kalau mbah mengenalnya, kalian pasti saling kenal !!”

    Pipi keriput itu basah, penuh dengan guyuran tangis. Sedangkan dengan sangat tenang dia bicara padaku.

    “Kami berdua sedang tertimpa musibah, dan kamu beranggapan bahwa aku mengenalnya, begitupun sebaliknya ?”

    “Ya, itu jelas, sebab kalian adalah orang suruhan bank !! Kalian tahu siapa aku, tempat tinggalku, dan rutinitasku, kemudian kalian merencanakan kecelakaan ini untuk menjebakku. Buktinya, mbah menuduh kalau aku punya hubungan dengan wanita teler itu !!”

    “Pemuda goblok !!” Begitu singkat ucapannya, tapi rasanya begitu menghancurkan hati.

    Kembali aku tertegun, aku kalah pengalaman dalam hal hardik-menghardik. Kuhampiri si wanita mabuk, kugoyangkan lagi tubuhnya, kucubiti pipinya, kutampar, kutendangi kakinya, tapi dia tak kunjung bangun.

    “Bangunnn !!” Kesabaran yang kumiliki sudah habis, teriakanku dibarengi dengan hembusan lirih angin malam. Lelaki tua tidak bereaksi, burung-burung pipit berhamburan, pindah mencari tempat lain untuk tidur. Pikiranku mulai kalut, terbayang situasi di rumah.

    Lalu kusadari bahwa di seberang jalan ada bayangan seseorang yang sedang mengawasi, mungkin sudah sejak tadi, berdiri saja, tidak bergerak. Tubuhnya cukup gempal, rambutnya gondrong sampai ke bahu. Tangannya terkunci di belakang pinggang, kuamati dengan seksama, perlahan kudekati bayangan itu.

    “Siapa itu ?!” Tanyaku berteriak.

    Bayangan masih saja diam, lekat dalam kegelapan. Kuberanikan langkah kaki untuk memastikan. Mungkin dia adalah orang yang kukenal, atau orang kenalan si lelaki tua, namun aku berharap bayangan itu adalah bayangan seorang kerabat si wanita mabuk. Kupaksa kakiku untuk lebih mendekat lagi.

    “Katakan ! Siapa kamu ?!”

    Bukannya jawaban yang kudapatkan, dia malah berlari, wussss. Segera kukejar bayangan tersebut. Larinya kencang, kuimbangi dengan kecepatan yang kumiliki. Aku harus tahu identitas asli bayangan tersebut, kulupakan si wanita mabuk dan lelaki tua tukang becak yang sedang dalam duka di perempatan. Kurasa si lelaki tua tidak akan sampai hati untuk meninggalkan seorang wanita yang tak sadarkan diri di pinggir jalan.

    Kami memasuki sebuah gang, dia masih cepat berlari, sedangkan aku susah payah mengatur nafas yang sudah puasa senin-kamis. Adrenalinku memuncak, kutambah kecepatanku, dan berbuah dengan jarak yang semakin dekat. Rambut gondrong itu meliak-liuk terbawa udara, tanganku meraih-raih, jangkah kaki semakin lebar, tapi belum juga terjangkau. Aku tidak akan mengambil keputusan untuk berteriak minta tolong, karena dia belum melakukan sesuatu yang mencurigakan atau membahayakan.

    Sebuah pagar melintang panjang, ia meloncat dengan begitu lihai, kurasa usianya masih muda. Sarungku kuangkat lebih tinggi lagi, kuambil ancang-ancang, kutapakkan telapak tangan kiriku pada pagar, kuhentakkan kakiku keras-keras, tubuhku melayang melewati pagar.

    Celaka !! Ikatan sarungku melonggar, kemudian sarung hitam yang kupakai melepaskan diri dari pinggang, menjuntai ke bawah, dan berpegangan pada sebuah paku yang menganga. Pikiranku kosong. Yang ada hanyalah muka-muka orang bank yang dengan begitu bengis menyiramkan teh panas ke muka ibu, padahal teh tersebut dibuat ibu untuk menyambut mereka. Peristiwa tersebut kalah mengerikan saat muka ibu ditinju, dan kepalaku dibenturkan pada ujung meja. Aku kalah, tubuhku ditarik gravitasi yang layaknya hutang, menjatuhkan setiap orang tanpa pandang keadaan. Sebongkah batu bata menyambut pelipis kiriku, sarung pemberian kyai terkoyak, kupegangi kepalaku, sambil mengerang kesakitan. Di depan pembaringan, ada sepasang sepatu di depan mataku, kuarahkan mata ke atas untuk melihat wajah pemilik sepatu tapi yang terlihat hanya wajah hitam. Begitu santai dia berjalan meninggalkanku, tanpa beban rasa bersalah sedikit pun.

    “Siapa kau ? Kenapa lari ? Katakan siapa namamu !!” suaraku teredam sakit.

    “Namaku tidak penting, yang jelas aku bukan orang jahat, aku hanya ingin menemui  simbah, meminta maaf padanya atas semua perbuatanku. Tapi betapa sial nasibku hari ini, aku tak bisa mendekat, karena ada mantan kekasihku !” Mukanya tertutup gelap, tapi jawabannya begitu terang.

    “Kau ?!”

    Mataku memejam perlahan, semuanya kabur, semuanya lenyap, baik yang ada di pandangan maupun yang ada di pikiran, termasuk rasa duka cita. Ketika ibu menunggu di rumah, dengan kekhawatiran kalau-kalau aku diringkus oleh petugas bank, aku malah berakhir disini, terkapar, mengikhlaskan diri untuk pingsan. Bagaimana nanti nasib ibuku ? Bagaimana nasib ibu? Bagaimana nasib ibu dan wanita mabuk sekaligus si lelaki tua ? Aku pingsan.

    Yogyakarta, 19 September 2017

     

     

    *Foto karya LakeHurst-Images

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Pilu Cumbu Peluru

    author = Raihan Robby

    “Kau akan mati malam ini, lima pistol akan menodong kepalamu. Tapi, hanya satu pistol yang benar-benar membuatmu mati.”

    Seorang cenayang yang berumur lebih dari 75 tahun dengan pakaian serba hitam dan keriput di mukanya yang sengaja ia tutup dengan tudung compang-camping berkata seperti itu.

    Aku bertemu cenayang itu ketika datang bermain ke pasar malam di sebuah alun-alun di kota Y, pasar malam itu tampak ramai seperti biasanya, penuh akan canda tawa, anak kecil yang berlarian, penjual yang menjajakan dagangannya, pengamen yang sibuk dengan genjrengan gitarnya, pasangan yang dimabuk asmara.

    Mungkin aku dan Novi adalah pasangan yang tengah dimabuk asmara itu. Aku mengenal Novi saat kami masih menjadi mahasiswa baru di salah satu kampus negeri di kota J, rindu dan hasrat untuk bercinta mempertemukan kami di pasar malam ini.

    Novi mengirim pesan setelah 3 tahun kami tak bertemu, ia sengaja datang ke kota Y, untuk menemui aku menuntaskan segala perasaan yang ada pada diri kami berdua.

    Sudah 2 jam aku menunggu sembari mengitari alun-alun, merekam semua kejadian dengan mataku. Novi tak kunjung tiba. Aku mulai suntuk menunggu. Semua jajanan pasar malam telah kucoba, menaiki wahana permainan dengan sendirian membuatku jenuh. Novi tak kunjung tiba. Sementara aku sudah bosan.

    Tempat cenayang itu berada di pojok alun-alun, dengan penerangan seadanya terlihat muram remang dari kejauhan, angin dingin seakan mengitari tempat itu saja dengan hawa yang terasa mengganggu hati. Awalnya, aku enggan untuk masuk ke tempat itu dan memilih pulang untuk menangis sepanjang malam. Lagi-lagi, rasa penasaranlah yang membuat manusia tersesat ke dalam lubang yang sesat. Sama denganku saat mengunjungi tempat cenayang itu.

    Ketika aku memasuki tempat cenayang itu bau-bau aneh merangsak masuk ke dalam hidungku, bau mawar, bau asap yang sangit, bau darah dan hal-hal lain yang tak kumengerti. 

    Cenayang itu mempersilahkan aku duduk di hadapannya, di meja terdapat sebuah kartu dengan gambar-gambar dan bahasa yang tak ku mengerti. Hening dan dingin, aku bingung harus berkata apa. Hingga cenayang itu mempersilahkan aku untuk bertanya tentang apapun. Lalu aku tanyakan mengapa Novi tak hadir malam hari ini pada cenayang itu.

    Cenayang itu berdiam diri sesaat, menghela napas dengan berat dan suaranya serak, dalam suara serak itu ia berkata kepadaku. “Siapa Novi? Ia adalah masa lalumu. Dan masa lalu tidak akan datang kembali ke masa kini.”

    Sungguh jawaban yang tak ku mengerti, aku kembali mengecek ponsel, dan tak ada pesan dari Novi, ia seperti menghilang begitu saja. Lalu aku bertanya tentang bisnisku yang baru-baru ini tengah aku lakukan. “Apakah aku akan sukses di bisnisku kali ini?”

    Cenayang itu meminum sesuatu dari cawan antik, air yang berwarna merah keunguan, aku pikir itu adalah anggur, atau darah segar? Ia meneguk air itu dan tersenyum, ia menjawab perkataanku dengan suara seraknya.

    “Nasib sial akan menimpamu, kerat wine dan bir menghayutkan dirimu pertama-tama, selanjutnya jeruji besi yang menambah malammu semakin dingin, kekasih yang kau cintai akan menyakitimu, dan dirimu sendiri.”

    Jawaban yang keluar dari mulutnya semakin membuat aku merasa bingung, ini semua adalah teka-teki yang harus ku jawab sendiri. Aku berterima kasih kepadanya, tapi sebelum aku pergi ia berkata kembali.

    “Kau akan mati malam ini, empat pistol akan menodong kepalamu. Tapi, hanya satu pistol yang benar-benar membuatmu mati.”

    Mendengar perkataanya yang dalam dan meyakinkan, aku mundur beberapa langkah, memandang matanya lebih dalam dan lebih jauh. Ia begitu serius menatapku, ia tertawa pelan dan menegak cawannya kembali. Aku pergi, dan menganggap cenayang itu gila.

    Bagaimana bisa aku mati malam ini, sedangkan kematian sepenuhnya ada padaku. Aku-lah yang menentukan akan menjadi apa, dan akan mati kapan. Cenayang tua yang gila itu membuat aku semakin pusing, aku telah lelah menunggu Novi, dan kata-kata cenayang itu membuatku semakin hancur. Aku tidak akan mati, tidak untuk malam ini!

    ***

    Kerat Wine dan Bir

    Kegelisahanku membawa aku mengunjungi bar di tepi kota, bar yang sepi dan  malam yang dingin membuat aku terlalu banyak minum untuk melupakan sakit hatiku akibat ditelantarkan oleh Novi dan usaha untuk melupakan kata-kata cenayang gila itu, berkali-kali aku mencoba melupakan tetapi tetap saja kata-kata itu selalu mengganggu pikiranku. 

    Bar yang sepi kini mendadak ramai saat segerombolan geng motor menepi sebentar untuk minum-minum, aku yang sudah setengah mabuk menjadi tersadar kembali. Kegelisahanku kini hadir kembali dengan kata-kata cenayang yang terus berputar di kepalaku. “Kerat wine dan bir menghanyutkanmu pertama-tama”

    Cepat-cepat aku lupakan omongan cenayang itu, “mungkin yang dimaksud hanyut adalah aku terlalu berlarut-larut dalam minum-minum” pikirku.

    Setelah habis 12 gelas wine dan 5 botol bir, aku tak kuasa mengendalikan diriku sendiri, jalanku sempoyongan dan linglung tak karuan, aku terlalu banyak minum sehingga menjad mabuk berat, dalam keadaan mabuk berat seperti itu, tak terasa aku terhuyung-huyung dan jatuh tepat mengenai meja yang ditempati oleh para gereombolan geng motor itu, dan membuat seluruh minuman mereka tumpah serta mengenai pakaian mereka. 

    Mereka yang berjumlah lebih dari 15 orang geram dan marah, badan mereka besar dengan otot-otot yang kekar dan urat-urat yang mencuat dari dalam badan, mereka menghajarku habis-habisan, tapi karena aku mabuk, aku tidak begitu merasa sakit. Semua rasa sakitku kembali hadir ketika pria bertubuh besar dengan janggut yang tebal dan tatto di sekujur tubuhnya mengangkat aku dengan satu tangannya.

    Ia mendorong ku dan tersungkurlah aku duduk di bawah meja bartender, ia mengeluarkan pistol revolver Ruger Super RedHawk. 454 Casull dari balik punggungnya. Pistol revolver yang mengerikan itu ia todong di pelipis kanan ku, aku bisa rasakan dinginnya ujung pistol itu, keringatku bercucuran dan rasa mabuk ku perlahan hilang, aku akan mati!

    Seluruh teman-teman geng motor itu tertawa puas, bartender berlindung di tempat kerjanya, ketua geng motor itu juga tertawa, tertawaan mereka mengiringi kematianku sebentar lagi, aku bisa merasakan bahwa tangan dari ketua geng motor itu begitu yakin untuk menarik pelatuk dan meletuskan peluru ke kepalaku. Begitu yakin hingga tangannya tidak ada keringat sedikitpun, ternyata inilah yang dimaksud cenayang gila itu, aku akan mati di tangan para gengster motor sialan ini.

    Saat ketua geng motor itu ingin menarik pelatuk, tiba-tiba bunyi sirene polisi dari kejauhan membuyarkan mereka semua, mereka semua panik dan pergi ke motornya masing-masing, terjadi kebut-kebutan antara polisi dengan geng motor itu, beberapa anggota geng motor bisa dibekukan dan ditahan, kematian begitu dekat, di pelipisku, keringat masih bercucuran dan aku bersyukur masih bisa hidup. Bartender melaporkan bahwa ada perkelahian di barnnya, untung saja ia menelpon polisi kalau tidak aku mungkin telah mati. Polisi membawaku ke kantor untuk diperiksa, dengan wajah yang babak belur dan mabuk berat aku hanya bisa ikut dan yang terpenting tetap merasa aman.

    ***

    Jeruji Besi yang Menambah Malammu Semakin Dingin

    Setibanya di penjara, polisi langsung membawaku ke dalam ruangan interogasi, didudukannya aku pada sebuah bangku. Di hadapanku hanya ada sebuah meja juga kaca cermin yang besar, mereka tak berkata apa-apa, aku yang tengah babak belur juga sempoyongan sehabis dihajar gangster keparat itu, kini harus berakhir di sebuah kantor polisi. 

    Para polisi-polisi itu memintaku untuk mengakui bahwa akulah bandar narkoba terkenal dari kota J, aku bahkan tidak mengerti soal narkoba dan obat-obatan terlarang. Mereka membutuhkan kambing hitam untuk dilaporkan kepada atasannya, agar cepat naik pangkat. Sedangkan tidak ditemukan satu apapun jenis narkoba di dalam diriku.

    Polisi itu menghajar aku habis-habisan selayaknya bandar narkoba kelas teri yang tertangkap begitu saja, tapi aku bukanlah bandar narkoba dan polisi-polisi itu tetap tidak mempercayainya. Mereka memasukkan aku ke dalam sel tahanan, aku sendirian di sel itu, menunggu seseorang menjadi juru penyelamatku, setidaknya untuk malam yang panjang ini.

    Seluruh ingatanku kembali berputar dan mengarah ke perkataan si cenayang gila itu “Jeruji besi yang akan menambah malammu semakin dingin” di sinilah aku berakhir, di sebual sel besi yang dingin. Setidaknya aku bisa istirahat malam ini, sejenak melupakan apa saja yang baru terjadi. namun sial baru saja aku memejamkan mata, para polisi itu menyeretku kembali ke ruang interogasi. Kali ini mereka tak main-main, mereka menyuruhku untuk mengakui bahwa aku adalah bandar narkoba yang terkenal itu.

    “Lebih baik kamu mengaku! Bahwa kamu adalah John si Topi Miring! Bandar putau di kota J, kalau tidak mau mengaku, moncong Beny tak sungkan memuntahkan peluru tepat di kepalamu!”

    Seorang polisi berbadan kekar menodongkan pistol Glock 20 ke arah kepalaku, sial pikirku. Omongan cenayang itu terbukti benar dan sudah dua kali dalam semalam aku ditodong oleh pistol, untuk apa juga polisi menamakan pistolnya dengan nama Beny? Siapa John si Topi Miring itu?

    Seperti tak ada ampun, dipukulkannya moncong Beny kea rah pelipis kananku, memar dan biru di sana. Lalu ia menantang kembali siap memuntahkan peluru ke kepalaku. Aku hanya bisa menjawab sekena-ku, bahwa aku tidak tahu dan aku bukan John si Topi Miring. Tetapi, para polisi itu tetap bersihkukuh bahwa aku adalah John dan harus mengakui kesalahanku. 

    Tangan dari polisi itu begitu besar dan mantap menggenggam pistol Glock 20, ia bisa kapan saja menembak kepalaku, dan aku bisa saja menjadi sebuah mayat tanpa nama di pinggir jalan, atau di dalam karung di sebuah kolong jembatan yang gelap. Aku bisa berakhir di mana saja. Dan semua kehendak kematianku ada di tangan polisi itu! 

    Suasana semakin genting, beberapa teman polisi yang lain terlihat bercucuran keringat, mungkin mereka tak akan menyangka bahwa temannya yang satu ini bisa kelewat batas dalam mengintrogasi seseorang. Mungkin teman polisinya yang lain tidak pernah nyaman ketika melihat seseorang diledakkan begitu saja kepalanya.

    Suasana genting berubah menjadi hening, hening sekali ketika ada seorang polisi masuk mendobrak ke ruangan interogasi. “Stop! Dia bukan John si Topi Miring, ini ada salah satu keluarga yang menembusnya. Jadi lebih baik bawa ia ke meja depan, dan segera minta maaf kepadanya.”

    Seluruh polisi yang berada di ruangan itu kembali ke tempatnya masing-masing, tersisa aku dan pemilik Beny. Polisi kekar itu tersenyum ke arahku, berbisik lirih. “Mungkin malam ini kau selamat, tapi masih ada malam-malam yang lain.” Ia tertawa kecil meninggalkan aku yang masih terduduk lemas di bangku.

    ***

    Kekasih yang Kau Cintai Akan Menyakitimu

    Sarah langsung memelukku erat sembari mengelus wajahku yang babak belur, ia menangis tak henti-henti, aku mencoba menenangkannya. Ia sedikit lebih tenang, untung ada Sarah, yang membantu aku keluar dari neraka kecil ini, kalau Sarah telat sedetikpun, mungkin aku telah menjadi mayat tanpa nama yang tak seorangpun peduli.

    Sarah, kekasihku. Ia adalah perempuan yang cantik, memiliki lesung pipi dan berambut panjang sebahu. Aku bertemu dengannya satu tahun yang lalu, setelah lulus kuliah di kota J dan setelah aku melupakan Novi. Kami sama-sama mengadu nasib di kota ini, tinggal dalam satu kosan yang sama untuk hidup yang lebih baik. Sepintas, aku merasa bodoh telah menduakan Sarah dengan Novi, semua rasa bersalahku terlihat jelas oleh matanya yang bulat hitam, ia bertanya “Apakah kamu baik-baik saja? Sepertinya kamu kelihatan resah?” aku tersenyum dan segera menggelengkan kepala, tanda aku baik-baik saja. Lalu kami menaiki mobil dan pulang ke kosan kami yang nyaman.

    Sesampainya di kosan, betapa terkejutnya aku menemukan meja makan kami yang telah dihiasi oleh lilin, sepasang wine dengan gelasnya yang memanjang lengkap dengan botol di sampingnya, sebuah steak yang sepertinya telah dingin karena ditinggalkan di atas meja. Aku memandang wajah Sarah, ia menahan tangis. Katanya “Aku menungguimu sepulang kau dari kantor, tetapi kau tak kunjung tiba di rumah. Hari ini, adalah hari Anniversary kita selama 2 tahun. Dan kau malah berakhir di sel polisi” tangisnya pecah.

    Aku pun ikut tersedu, semua rasa bersalahku kini muncul kembali, bisa-bisanya aku melupakan Anniversary-ku dengan Sarah yang ke 2 tahun, untuk menemui Novi yang entah di mana kabarnya hingga detik ini. Aku telah menyiapkan beribu-ribu alasan, untuk membuat hatinya tenang. Bisa saja aku berkata bahwa aku korban perampokan, aku menyiapkan segala sesuatu untuknya tetapi nasib sial mendatangiku terlebih dahulu. Atau aku bisa saja berkata bahwa sore tadi sepulang dari kantor, aku diserempet oleh sebuah kendaraan kota yang blong remnya. Bisa saja aku lakukan itu. Hingga Sarah mengeluarkan pistol dari balik jaketnya yang tebal. Ia mengarahkan pistolnya ke arahku. Tangannya gemetar, keringat dan air matanya bercampur menjadi satu.

    “Kau ingin bertemu dengan Novi, kan?!” bentak ia kepadaku, sebentar. Darimana ia tahu aku ingin bertemu dengan Novi? Seluruh alasanku untuk menutupi kebohonganku kini musnah, ia telah mengetahui kejadian yang asli. Aku diam tak menjawab, tak dirasa tanganku menunjukan gelagat tak nyaman, gelagat agar ia berhati-hati dan menurunkan pistolnya dari pandanganku.

    “Akulah yang berpura-pura menjadi Novi! Kau telah mengkhianatiku. Aku pikir kau mencintaiku, nyatanya kau masih belum bisa melupakan Novi!” ia meletuskan pistolnya, mengenai badanku. Hangat, sedikit perih. Aku kira awalnya aku telah mati. Ternyata pistol itu ialah Air Soft Gun. Meski terdapat kata “Soft” di sana, tetap terasa menyakitkan di badanku. Sarah menangis tak henti-henti, ia mendobrak pintu dan keluar dari kosan kami.

    Aku lagi-lagi terduduk lemas di bangku, tempat seharusnya kami melakukan candle dinner, aku kembali menerka omongan cenayang gila itu, seluruh perkataannya benar. Aku yang begitu bodoh menyia-nyiakan Sarah untuk bertemu dengan Novi, seandainya saja ketika jam pulang kantor usai, lalu aku langsung beranjak ke kosan kami, mungkin saat ini kami tengah bercinta, dan aku tidak babak belur sakit seperti ini.

    Kini lihatlah, apa yang tersisa dari diriku? Tidak ada. Aku tidak mendapatkan Novi, aku telah kehilangan Sarah, nama dan wajahku menjadi incaran polisi juga gangster sialan itu. Tidak ada yang tersisa dari hidupku.

    Semua kepasrahan itu menghantarkan aku menuju kamarku, membuka laci yang ada di sana, aku mengambil pistol Colt 1911. Duduk sejenak, dingin di pelipisku begitu nyata.

    Diriku sendiri..

    Yogyakarta, 2019.

  • Perempuan-Perempuan yang Ditinggal Lelakinya

    author = Cucum Cantini

    Semenjak lahir aku sudah karib dengan jalanan tandus berdebu di Padalarang. Maka ketika aku melewati wilayah Gunung Kidul aku serasa akrab dengan kondisi jalannya. Perjalananku dari Kota Yogyakarta menuju ujung Tepus serasa teramat lama. Seolah di setiap jengkalnya aku tengah sekaligus menapaki jejak-jejak memori tentang kotaku sendiri. Pegunungan kapur di Wonosari sama tandusnya dengan Kars Citatah. Bagiku, keduanya seperti perempuan yang menangis pilu setelah diperkosa oleh kebringasan eksploitasi proyek, keserakahan, dan ketamakan manusia. Akan tetapi, tidak sedikitpun aku lihat ada bangunan pabrik berkepul asap hitam di sini. Gunung-gunung tandus seperti dikelupas kulitnya, menampakkan daging putih yang teriris. Tak kulihat sawah di sini, yang ada adalah ladang-ladang yang sepi petani.

    Jika keduanya memang perempuan, baik Wonosari dan Padalarang sama-sama perempuan tua yang ditinggal lelakinya. Wonosari tertinggal pilu, tegar, dan setia, sementara Kars Citatah masih menjadi perempuan yang melanjutkan hidup dan agresif mencari pundi-pundi dari para lelaki. Jika pagi maupun siang di Wonosari yang terlihat adalah wanita-wanita paruh baya memikul kayu ataupun rumput, Padalarang masih ramai dengan 24 jam aktivitas pabrik.

    Akan biasa terlihat di wilayah Padalarang hingga Rajamandala, pukul 7 pagi buruh-buruh pabrik keluar dari rumah yang mungkin hanya disinggahinya beberapa jam. Keluar dengan peralatannya masing-masing; cangkul, palu, kadang senapan. Tak lupa mereka menjinjing tas berisi makanan. Tak ada baju rapi disetrika, dasi bercorak, ataupun sepatu mengkilat, kalaupun ada, mungkin mereka adalah orang yang tersesat. Topi lusuh, kaos kumal, dan sepatu boot karet yang alasnya penuh debu dan lumpur merupakan pakaian formal bagi buruh di wilayah Kars Citatah. Truk-truk bermuka oplet lalu lalang membawa batu-batu kapur besar, kadang lebih besar dari tubuhnya sendiri, kami menyebut truk tersebut dengan sebutan bayawak.

    Rumahku menjadi salah satu kantor kecil di sana, di setiap akhir minggu di hari Sabtu, buruh-buruh memenuhi pekarangan rumah. Menanti gaji satu minggu yang dibayar sesuai bon mereka. Ada tiga golongan buruh di sana; kuli batu, kernet, dan supir. Ketiganya digaji berbeda, meskipun tak ada satupun yang digaji lebih dari 500 ribu per minggunya. Tak jarang yang datang adalah istri-istri mereka, dengan membawa serta anak-anaknya yang sudah mandi dan berbaju rapi. Siap menghabiskan gaji satu minggu tersebut untuk dibelanjakan atau membayar hutang di warung. Maka tak heran jika di malam minggu, Padalarang mengalami puncak kemacetannya, dengan banyaknya keluarga yang membelanjakan uang mereka di waktu yang sama.

    Rombonganku beristirahat di pinggir jalan, waktu menunjukkan jam sepuluh pagi. Dua jam perjalanan dari kota tadi menghabiskan energi cukup banyak. Salah satu temanku menambal ban motornya yang bocor, yang lain duduk di pinggir jalan sambil meminum es teh di angkringan. Tempat ini sungguh lucu bagiku pada awal menginjakkan kaki di Yogyakarta. Orang-orang semalam suntuk meminum kopi yang diisi arang dan duduk di trotoar diterangi remang lampu jalan. Tak ada yang mau melakukan itu di Bandung. Orang-orang di sana lebih memilih makan dan minum di tempat beratap, dinding rapat, dan berfasilitas wifi. Dan tentu saja menghabiskan uang mereka dengan secangkir kopi seharga seratus ribu.

    Aku melangkah ke salah satu penjual oleh-oleh di pinggir jalan. Melihat-lihat jajanan yang asing bagiku. Salah satu bungkusan kecil kuambil dan kaget melihat belalang berwarna coklat di dalamnya. Hampir saja kulempar karena kaget setengah mati. Menutupi rasa jijik aku pura-pura tenang meski bulu kuduk masih saja berdiri. Ngeri mendapati salah satu hewan yang kubenci menjadi salah satu penganan khas di sini. Seorang penjualnya adalah wanita paruh baya, gigi depannya tak ada, tetapi masih sering tersenyum pada setiap pengunjung yang mendatangi lapaknya. Dia pun berulang kali bertanya dalam bahasa Jawa. Aku kebingungan menjawabnya. Jadi aku hanya jawab dengan “iya” berulang kali. Entah kenapa, si ibu paruh baya selalu tersenyum, mungkin mengerti bahwa aku tak paham maksudnya. Aku pun mengakhirinya dengan senyum.

    Aku melihat sekeliling, tak ada potensi bisnis yang bisa dibangun di sini. Tanah kering, pohon mati, dan rumah-rumah yang berjarak jauh. Kendaraan hanya sekilas lewat. Namun, tak ada debu pabrik, tak ada asap di langit, juga tak ada suara bising mesin. Pohon besar di ujung tikungan berdiri gagah dengan daun yang bersih dari apu. Jika pohon itu berada di depan rumahku, maka daunnya akan berwarna putih. Sekilas akan nampak seperti salju, padahal sebenanya adalah apu yang menutupinya.

    Di wilayahku, Padalarang, setiap jengkalnya adalah lahan bisnis potensial. Warung berjajar, tambal ban, bengkel, penjual bensin dan solar, bahkan di hampir setiap pekarangan rumah, truk-truk berjajar menjadi sebuah bentuk identitas materi yang cukup istimewa. Setiap lahan bisnis di sana berkaitan erat dengan proyek pertambangan dan pengolahan kapur. Ramai demonstrasi terjadi hanya lima tahun sekali. Mahasiswa menuntut proyek—semua proyek pertambangan—ditutup. Namun selalu diakhiri dengan janji tanpa ada satu pun yang terealisasi. Karena di dalamnya ada doa dan harapan buruh dan pemilik modal besar untuk tetap melanjutkan pertambangan. Mahasiswa-mahasiswa yang menuntut bukanlah masyarakat yang tinggal di sana, mereka menginginkan penghentian proyek tanpa ada solusi pasti bagi masyarakat yang tinggal dan bertahan hidup.

    ”Mang, kumaha lamun pabrik ditutup, Mang Ujang arek kamana?”[1]“Paman, bagaimana kalau pabrik ditutup, Paman Ujang mau kemana?”

    “Entong atuh, Neng. Mang Ujang mah teu bisa nanaon, bisa na manggul batu hungkul.”[2]“Jangan, Neng. Paman tidak bisa apa-apa, hanya bisa mikul batu saja.”

    “Cenah pabrikna rek ditutup, digentos ku panyewaan vila. Jadi kan bisa jadi calo vila, jiga di Puncak.”[3]“Katanya pabrik mau ditutup, digantikan sewa vila. Jadi kan bisa jadi calo vila, seperti di Puncak.”

    “Alim, ah, Neng. Pami vila kitu mah mending tong wae. Mun aya vila kitu sok loba maksiat.”[4]“Tidak mau, Neng. Kalau vila mending jangan saja. Kalau ada vila, akan ada banyak maksiat.”

    Percakapan itu masih kuingat. Saat itu aku meminta tanggapan dari salah satu buruh yang tengah mengantre terima gaji, ketika beberapa waktu sebelumnya para demontsran mengoyak pagar DPRD. Ayahku pun kelimpungan, memikirkan nasib jika memang pertambangan benar ditutup. Sekilas aku melihat Kars Citatah, yang sepi dan menjadi kota mati. Tandus dan pilu, seperti perempuan ditinggal lelakinya. Pilihannya hanya dua; menangisi hidupnya; atau bangkit dan menikmati tangisannya.

    Yogyakarta, 30 September 2015

     

     

    *lukisan Mary Riter Hamilton

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

    References

    References
    1 “Paman, bagaimana kalau pabrik ditutup, Paman Ujang mau kemana?”
    2 “Jangan, Neng. Paman tidak bisa apa-apa, hanya bisa mikul batu saja.”
    3 “Katanya pabrik mau ditutup, digantikan sewa vila. Jadi kan bisa jadi calo vila, seperti di Puncak.”
    4 “Tidak mau, Neng. Kalau vila mending jangan saja. Kalau ada vila, akan ada banyak maksiat.”

  • Percakapan dalam Rahim

    author = Irwan Apriansyah

    “Ceritakan padaku tentang kelahiran…” tanya seorang anak muda bernama Musa kepada Khidr. Ada keraguan berkilat di wajah Khidr. Lalu, Khidr memandangi wajah Musa. Ia menatap bola matanya yang bulat, berbinar, penuh rasa ingin tahu. Maka, Khidr  pun mulai bercerita tentang sesuatu yang jauh dari jangkauan ruang dan waktu pemikiran Musa:

     

    Turunlah malaikat membawa ruh bayi yang akan lahir ke bumi.

    “Masuklah ke dalam tubuh yang terlelap ini,” perintah malaikat utusan. Namun, ruh tidak segera melaksanakan perintah tersebut.

    “Bila aku masuk ke dalam tubuh ini, apa yang akan terjadi?” Tanya ruh kepada malaikat.
    “Engkau akan hidup dan keluar dari kegelapan ini.”
    “Ada apa di luar sana?”
    “Di sana ada cahaya benderang, gunung-gunung tinggi, sungai-sungai mengalir ke laut luas, dan langit ditaburi bintang-bintang jika gelap.”

    “Apakah aku akan melupakan rahasia langit?”

    “Benar.”
    “Apakah aku akan melupakan keindahan sabda Tuhan yang dibisikkan ke dalam jiwaku ketika pertama kali aku diciptakan?”
    “Benar.”

    “Kalau begitu aku tidak ingin masuk ke dalam tubuh yang terlelap ini.”
    “Kenapa, wahai ruh?”
    “Adakah suara yang lebih indah dari suara Pencipta? Adakah yang lebih merdu dari suara itu sampai-sampai aku merasakan sesuatu menyelimutiku dengan kehangatan surgawi dan ketika mendengar-Nya aku merasa melayang di udara, terangkat menuju ketinggian? Malaikat, Aku cemas jika di luar sana tak terdengar lagi bisikan itu, suara yang merdu itu, yang mampu memberi ketenangan padaku. Aku takut terlahir ke dunia. Aku takut pada segala yang belum kuketahui.”

    “Wahai jiwa, jangan engkau takut.”
    “Aku takut.”
    “Masuklah ke dalam tubuh bayi yang terlelap maka rasa takutmu akan lenyap.”
    “Malaikat, aku akan masuk ke dalam tubuh yang terlelap ini, tapi sebelumnya aku ingin bertanya sampai tidak ada lagi pertanyaan yang perlu kuajukan karena setiap pertanyaan telah mendapat jawabannya masing-masing sampai setiap keraguanku, kecemasanku, dan ketakutanku hilang. Maka, perkenankanlah aku bertanya dengan segala kecamuk perasaan  dalam diriku ini.”

    “Bertanyalah wahai ruh.”

    “Kenapa dunia diciptakan jika pada akhirnya setiap penghuni akan kembali pada sang Pencipta?”

     

    Yang terdengar adalah suara aliran darah, degup jantung dan embusan napas. Selebihnya adalah kegelapan dan hening. Malaikat terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan yang satu ini. Lama ia merenung tapi tak kunjung menemukan jawaban. Ia pun diam, diam dengan wajah yang tenang. Wajahnya menengadah ke arah langit. Meski dalam rahim, sepasang matanya mampu menembus kegelapan dan segala yang menutupi pandangannya. Ia pun terbang dari rahim itu, melesat ke langit dalam satu kedipan mata manusia.

    Di hadapan singgasana Tuhan ia bersujud, lalu menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya tentang ruh yang menolak masuk ke dalam jasad bayi dalam rahim hingga setiap pertanyaan yang diajukannya terjawab.

     

    Mendengar cerita Malaikat, Tuhan hanya tertawa. Tertawa terbahak-bahak tapi renyah suara-Nya. Jengah menunggu tawa Tuhan berakhir, malaikat turun lagi ke bumi, turun ke dalam rahim. Menemui ruh yang termenung sendiri.

     

    Pertanyaan tadi belum sempat terjawab, ruh itu mendesak sang malaikat dengan pertanyaan selanjutnya. “Wahai malaikat, bukankah agak sedikit aneh jika Tuhan menciptakan surga dan neraka untuk manusia, seandainya Dia tidak menciptakan aku dan ruh-ruh lainnya, bukankah Dia tidak perlu repot-repot menciptakan surga dan neraka? Bukankah akan lebih baik jika Dia menciptakan sesuatu yang menyerupai diri-Nya sendiri sehingga Dia dapat bermain-main dengan sesama-Nya yang setara dengan Dia?”

    Malaikat melesat lagi ke langit. Bersujud lagi di hadapan singgasana Tuhan dan menceritakan pertanyaan yang diajukan ruh kepadanya tapi tak sanggup ia menjawabnya. Tuhan tidak menjawab, Dia hanya tertawa terbahak-bahak seperti pertama kali malaikat mengadu kepada-Nya. Lalu malaikat termenung dan meninggalkan singgasana Tuhan. Ia pergi ke neraka.

     

    Duduk termenung di atas sebongkah bara api yang menyembul ke permukaan di antara luasnya lautan api yang merah menyala. Malaikat mengepalkan tangan untuk menyanggah dagunya dalam posisi duduk dengan satu tangan kanan menopang dagu. Sepasang sayapnya mengepak pelan lalu tak bergerak. Ia merenung, ia mencoba berpikir tapi tidak tahu bagaimana caranya untuk berpikir. Tiba-tiba ia ingin menangis seperti manusia di dunia, meneteskan air mata oh alangkah tenangnya bisa melepas beban menjadi air mata, tapi malaikat tidak tahu bagaimana caranya menangis. Ia pun segera berdiri menatap ke ketinggian dan melesat ke surga. Lautan api yang terkena kepak sayapnya, terciprat dan mencoreng wajah malaikat penjaga neraka. Yang terdengar dari kejauhan adalah suara makian penjaga neraka yang hilang kesabarannya yang ingin segera menyiksa para pendosa dengan cambuk api dalam genggaman tangannya.

     

    Di atas gerbang surga yang diberkati, ia berdiri menyaksikan pemandangan surga dari ketinggian. Oh betapa luas dan tanpa batasnya tempat ini. Ia saksikan bidadari-bidadari surga bermata jeli mandi dalam kubangan air susu, anggur dan madu. Lalu pohon-pohon dengan buah-buahan yang ranum siap dipetik kapan saja dan akan segera tumbuh lagi setelah buah itu dipetik tanpa habis-habisnya. Di sinilah segala kebahagiaan akan bermuara. Burung-burung surga berwarna emas melayang-layang di udara, tiba-tiba bertengger di pundaknya.

     

    Malaikat terbangun dari buaian surga yang mempesona karena sesuatu mencengkeram pundak. Aku harus kembali menemui ruh dalam rahim itu, batinnya. Lalu ia pun turun ke bumi, ingin segera masuk ke dalam rahim. Namun sebelum memasuki atmosfer bumi, sesuatu melayang dengan kecepatan tak terkira. Ia menoleh lalu menyaksikan batu-batu api mengarah padanya. Batu-batu api itu dilemparkan oleh panah-panah iblis yang ingin mencuri dengar kabar dari langit. Namun ia berhasil menghindar dan melesat dengan kecepatan yang lebih cepat dari cahaya.

     

    Baru sampai dalam rahim, tiba-tiba suara ruh menyergapnya dengan pertanyaan lain lagi. “Hei, malaikat. Kenapa lama sekali engkau pergi meninggalkanku sendirian dalam kegelapan ini? Wahai malaikat, apa sesungguhnya yang engkau cari di luar sana sehingga aku hanya mampu memandangi janin yang terlelap ini seorang diri dan bertanya-tanya apa yang pertama kali akan kulakukan saat lahir ke dunia?”

    “Hm… hmmh….” malaikat hanya bergumam.

    Untuk yang kesekian kalinya ia bergegas pergi meninggalkan ruh seorang diri bersama calon tubuhnya. Malaikat pergi ke luar rahim. Kali ini ia tidak pergi ke singgasana Tuhan, karna pasti Dia hanya akan tertawa mendengar keluh kesahnya. Ia juga tidak pergi ke surga untuk melarikan diri dari kebingungannya. Tidak juga pergi ke neraka. Kali ini ia hanya berjalan-jalan di bumi, berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan kecepatan yang tak mampu kita bayangkan. Ia pergi ke Roma, duduk di atas menara Pizza dengan tangan menopang dagu, lalu pindah ke Mesir bersandar ke piramida giza, lalu pergi ke Yunani tempat di mana dahulu pernah lahir para pemikir besar dari sana, siapa tahu ia dapat menemui salah satunya untuk membantu mencari jawaban dari pertanyaan ruh yang cerewet, seandainya masih ada pemikir besar di sana. Tapi ia tidak menemukan siapa-siapa sepanjang malam di Yunani.

     

    Ia hanya duduk termenung dengan tangan menopang dagu di atas reruntuhan kota Athena sampai matahari hampir terbit. Ia melepaskan sepasang sayapnya dari punggung lantaran lelah terbang ke sana ke mari. Ia duduk termenung, masih dengan tangan menopang dagu sampai matahari tenggelam lagi, sampai matahari terbit lagi. Sampai matahari tenggelam dan terbit lagi selama beberapa bulan. Sampai orang-orang mengerumuni makhluk itu, makhluk yang termenung sendirian. Sampai malaikat itu mengenakan kembali sayapnya dan pergi untuk segera menuntaskan tugasnya dalam rahim. Sampai seseorang menciptakan patung yang duduk bertopang dagu, patung yang kelak disebut Thinker.

    Dalam rahim, malaikat termenung di samping ruh. Wajahnya memancarkan  ketenangan yang tak dapat digambarkan oleh siapa pun. Ketenangan yang menyimpan misteri.

    “Malaikat,” ruh bersuara.

    “Aku sendiri merasa lebih aman di sini bersamamu daripada lahir ke dunia. Aku tidak ingin kehilangan pengetahuan dari Tuhan tentang langit dan seisinya. Aku takut terlahir ke dunia.”
    Malaikat membuka mulutnya dan berkata, “demikian pula engkau akan takut mati, sebab engkau tidak punya secuil pengetahuan tentang kematian, engkau akan takut bertemu keabadian, engkau akan takut bertemu dengan kebenaran sejati.”

    “Kenapa jika sudah terlahir dan hidup aku harus mati? Apa itu mati?”

    Malaikat tidak menjawab. Ia hanya diam dengan ketenangan yang penuh misteri.

    “Apakah mati berarti aku tak akan ada lagi?”

    Malaikat tidak menjawab.

     

    Demikianlah ruh itu terus bertanya-tanya tentang kehidupan dan kematian di dunia. Namun, malaikat tidak mampu lagi menjawab satu pertanyaan pun. Hanya diam dengan ketenangan yang penuh misteri. Ruh tersadar bahwa setiap pertanyaan yang diajukannya tidak pernah terjawab oleh malaikat, ia berhenti bertanya dan mulai memandangi malaikat yang duduk di sampingnya. Sampai ia ketakutan memandang wajah malaikat yang mematung. Dan ruh mulai meronta-ronta, “malaikat, malaikat, malaikat!”

     

    Lalu malaikat mulai mendekatkan wajahnya ke wajah ruh yang pucat. Malaikat menatap jauh ke kedalaman mata ruh kemudian tersenyum, mendekatkan jari telunjuknya ke mulut ruh,  hingga menempel tepat di bawah hidung, tepat di antara kedua lobang hidung jari itu membekas sampai kini. Ruh itu masuk ke dalam janin yang terlelap dalam rahim. Beberapa bulan kemudian, tubuh bayi mulai menggelosor ke bawah, seolah ada yang sedang menariknya keluar dari kegelapan rahim. Kepalanya keluar terlebih dahulu dengan sepasang mata yang terpejam. Ada tangan menarik seluruh tubuh bayi dari sela-sela vagina. Sepasang mata yang masih jernih itu mulai terbuka, cahaya menyadarkan dirinya bahwa ia telah dilahirkan ke dunia. Lalu ia menangis keras sekali. Ingin ia teriak memanggil-manggil malaikat tapi tidak mampu mengucap sepatah kata pun, malaikat telah meninggalkan tanda di bawah hidung. Bayi merah itu hanya mampu menjerit sekeras-kerasnya dalam tangis, menangis, dan menangis…

     

    “Apakah si bayi hidup bahagia? Bagaimana keadaan si bayi sekarang?” Tanya Musa.

    Maka, Khidr pun menjawab. “Kau tidak bisa bersabar bersamaku, Musa. Tenangkan pikiranmu. Akan kutunjukkan kepadamu sang bayi itu. Ia kini sudah tumbuh dewasa, dan sekarang ia sedang membaca bagian akhir dari cerita kita.”

     

     

    Cerpen di atas adalah Juara 1 Lomba Penulisan Cerpen Bulan Bahasa 2017 yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia UGM. Juri lomba cerpen terdiri atas Dr. Pujiharto, M.Hum., Ahmad Tohari, dan Asef Saeful Anwar.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Pensiun

    author = Michael Anggi Gilang Angkasa

    Aku meraba setiap jengkal dinding kamar dengan telapak tangan yang mulai terkelupas karena berganti kulit. Hingga kini aku tidak juga mengerti, mengapa setiap tangan akan bernasib seperti ular. Bahkan tanganku “benar-benar ular” sekarang. Namun ,ular itu tidak meliuk di atas tanah atau melingkar di pepohonan. Ia merambat gelisah di antara cat tembok yang terlepas dengan sedikit hawa dingin yang meresap melalui kulit, lalu masuk ke sumsum tulang. Merangsang seluruh sistem syaraf pusat dan memberikan kejutan listrik pada otak untuk bekerja lebih daripada semestinya. Sinyal-sinyal listrik pada otak, memberikan rekaman-rekaman tentang semua yang pernah terjadi dan kini yang tersisa secara tidak teratur dan cenderung chaos. Ini membuktikan bahwa selalu ada yang tersisip di bagian entah dimana. Bisa muncul pada saat yang tidak terduga. Kadang teringat kadang terlupakan begitu saja.

    Namun, bagi yang senantiasa bertekun dalam kenangan tentu tidak akan menjadi soal. Mereka memiliki semacam sistem katalog dalam ingatan. Sewaktu-waktu mereka dapat bercerita secara historis-kronologis, bahkan mencari persamaan untuk menjelaskan semua keterkaitannya. Setidaknya mereka percaya bahwa segala sesuatu mengandung makna yang terkait satu dengan yang lain. Bagi mereka setiap momen dalam hidup adalah variabel bebas, dan nyawa adalah variabel terikat. Mereka sangat matematis meskipun tampak luar begitu romantis, atau sekadar mengaku romantis. Kelak jika persamaan itu berubah karena satu atau dua hal, mereka tidak bimbang. Sadar darimana mereka berasal. Seberapa rumit perjuangan mereka untuk mendapatkan persamaan pendek dan elegan, khas intelektual abad pencerahan. Namun apa boleh dikata, demi sebuah pegangan, kepercayaan adalah salah satu dari berbagai keniscayaan. Dan aku adalah bagian dari mereka, baik secara sadar untuk diakui atau secara tidak sadar untuk disangkal.

    Semenjak pensiun dari periode unversiter, aku tinggal di sebuah rumah dengan sewa yang murah. Kesibukanku adalah sarapan roti kurma sebelum bersepeda dan mengikuti ibadat pagi. Mengumpulkan jurnal-jurnal penelitian dari siang sampai sore dan membaca novel tentang kebijaksanaan orang Timur sampai malam sebelum tidur. Beberapa kawan dari komunitas gereja  membimbingku untuk bertekun dalam sabda karena ada penguatan di sana, katanya. Mereka memberiku beberapa buku seperti tafsir injil dan beberapa buku renungan berukuran genggaman tangan. Payahnya, aku terlalu tua dan rabun untuk membaca tulisan dengan font yang lebih kecil daripada semut yang bersembunyi dicelah rumput itu. Akhirnya sebagian aku geletakkan saja di meja bundar dekat ruang tamu. Siapa tahu ada yang datang dan memerlukan pertolongan rohani, pikirku sambil sedikit tersenyum nyinyir.

    Kalau boleh jujur, aku masih canggung dan kurang terbiasa dengan rutinitas sereligius ini. Mengapa mereka memperlakukan aku seperti orang sakit? Sejenis orang yang memerlukan pertolongan batiniah karena kecemasan atau kegelisahan? Apakah semua yang menua selalu cemas? Atau memang diharuskan untuk cemas? Kematian? Kanker? Gangguan Prostat? Maaf sedikit lancang, namun sikap mereka terhadap penuaan tubuh sepertinya terlalu berlebihan. Apa salahnya menjadi tua? Mengapa mereka selalu memberikan simbol penuaan kepada kesakitan dan penderitaan secara identik dan arbitrer. Seberapa banyak, orang tua di kota ini yang masih mampu berjalan di atas kakinya sendiri? Entahlah, dewasa ini agama memang identik dengan yang sakit. Tentang dunia yang benar-benar telah sakit.

    Di berbagai belahan dunia tengah timbul krisis ekonomi dan kesenjangan sosial yang miris. Krisis ini disertai dengan eksploitasi mesin-mesin kapital terhadap lingkungan yang berdampak kepada perubahan kultural di sendi-sendi masyarakat yang mengalami. Manusia- manusia itu tercerabut hubungan primordialis-nya dengan alam yang membentuknya. Alam yang bersahabat untuk manusia agar tumbuh sebagaimana dirinya sendiri.

    Di tengah rasa sakit akan kehilangan jati dirinya, belum lagi ruang hidup yang dengan sengaja dirampas, dan kekerasan yang kemudian meningkat sebagai akibatnya, manusia seperti kehilangan pegangan. Kehilangan seluruh sisi kemanusiaannya, baik jiwa maupun raganya. Akan tetapi, karena tuntutan eksistensial untuk terus mengada, manusia-manusia tertindas ini akan bertindak dengan berbagai cara. Sebagian akan mengambil tanggung jawab untuk terus hidup dengan melawan. Sebagian menaruh kepercayaan akan adanya dunia lain yang penuh pengharapan.

    Dengan segala keterhilangan ini, agama menjadi satu-satunya yang tersisa untuk dijadikan sebagai pegangan. Isu-isu agama lalu menjadi sangat sensitif atau sengaja dikondisikan sedemikian rupa untuk menjadi sensitif. Akhirnya, mereka yang telah sadar dan berharap mampu keluar dari pengaruh remote control kapital malah diretas alam bawah sadarnya dengan isu-isu konflik antar umat beragama. Kapital kembali berhasil mengambil alih kontrol dengan menggunakan dimensi yang berbeda. Dimensi yang tidak hanya bersifat material namun juga metafisika. Meningkatnya kesadaran akan ketertindasan ini menjadi ancaman bagi kapital untuk terus memperluas ruang eksploitasi karena akan dihadapkan perlawanan. Sayangnya yang jarang disadari, kini eksploitasi kapital tidak hanya bersifat material, namun telah menuju kepada apa yang dimaksud sebagai eksploitasi kesadaran. Eksploitasi non-material yang menyerang alam bawah sadar, lalu mempengaruhi perilaku manusia untuk mengada. Dalam proses mengada inilah, di mana kapital meletakkan chip-nya dengan menjadikan manusia sebagai konsumen produk-produk kapital secara membabi buta. Inilah cara kita mengada saat ini.

    Ah sudahlah, mungkin sebagian besar pemikiranku tadi, hanya menjadi alasan-alasan dengan maksud yang terselubung, namun bukan berarti tanpa dasar.

    Sebenarnya hanya karena Emily, andai bukan permintaan Casandra Emily, putri kesayanganku yang kini sudah berumur duapuluh lima tahun, aku tidak akan bertindak hingga sejauh ini untuk keluar dari zona nyamanku. Aku sudah merasakan bagaimana kehidupan seperti kopi basi dan ampas-nya. Tidak salah bukan, jika aku memilih yang paling nyaman dalam segala urusan. Termasuk kenyamanan untuk bergaul dengan orang lain. Mungkin pikirnya masa pensiunku akan menjadi semacam post power syndrome yang berdampak kepada depresi akut dan degradasi ingatan yang berujung kepada alzheimer. “Aku tidak ingin suatu hari nanti engkau melupakan Emily, dan memanggilku dengan sebutan nona muda,” Begitu katanya kepadaku di telepon sebulan yang lalu. Emily, seandainya engkau tahu bahwa post power syndrome hanya akan terjadi bagi mereka yang memiliki kekuatan dan jabatan. Bisa juga kekuasaan secara hirarki dan politik.

    Lagipula kekuatan apa yang pernah aku miliki? Aku tidak pernah memiliki kekuatan dan kekuasaan dengan demikian juga kehilangannya. Maka aku baik-baik saja sekarang, seperti masa mudaku yang juga lurus-lurus saja. Bahkan ciuman pertamaku adalah ketika aku melamar  Lauren dan dia menerimanya begitu saja, di sebuah bangku dekat kolam di taman kota Monroeville, pada bulan-bulan pertama aku bekerja sebagai staf pengajar di Universitas Waynesburg di bidang Teknik Material.

    Setelah tiga puluh lima tahun kami menikah, akhirnya kami berpisah. Jangan tanya kenapa, terkadang hidup menawarkan sesuatu yang tidak terungkapkan dengan kata-kata namun dapat dipahami dengan sebuah tindakan yang dimaknai bersama. Kami berdua sama – sama tidak mengerti namun sangat mendalam ketika memaknai pertemuan dan perpisahan sebagai bagian dari keadaan. Mungkin itu adalah cara kami bersahabat dengan kenyataan.

    Setelah kuliah Emily tinggal bersama Lauren di Boston. Ia mengambil jurusan manajemen bisnis. Setelah lulus ia menjalankan bisnis alat-alat kosmetik. Sedangkan Lauren, kini aktif dalam lembaga swadaya pemberdayaan kaum perempuan setelah sampai pada masa pensiunnya. Sedangkan aku, menikmati rutinitasku sehari-hari. Aku menyadari bahwa keterhubungan kita satu sama lain akan tiba pada saat dimana kembali kepada diri sendiri. Bukan sebuah egoisme, melainkan sebuah penerimaan yang paling dalam dimana rasa cinta ditunjukan dengan keterpisahan.

    Pada saatnya, kehidupan menarik kita pada pemikiran dan takdir kita masing-masing, entah seberapa keras usaha kita menyatukannya. Dalam biduk keluarga, romantisme asmara, loyalitas persahabatan selalu ada saat di mana kita kembali kepada diri kita masing-masing. Menyadari ini terkadang semuanya terasa begitu sepi. Tapi bukan kita yang mampu menentukan saat berhenti, yaitu saat kita berakhir bersama diri kita sendiri.

    Bersama dinding kamar yang semakin dingin ini, aku mencoba bersahabat dengan kenangan dan membereskan semua yang tersisa.

     

    *Lukisan Antonio Rotta (1828 – 1903) berjudul A Man and His Dog

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi