Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Pojok Bumi di Ujung Gang Gelap

author = Kim Al Ghozali

Kupilih kau dari yang banyak, tapi sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring[1]Pemberian Tahu, puisi Chairil Anwar..

Dalam akuarium kaca ada ikan-ikan beraneka warna beraneka rupa. Dalam akuarium ikan-ikan berenang ke sana ke mari sambil memainkan ekornya dan sesekali mengedipkan matanya yang jelita kepada kau yang sedang memandangi mereka dengan takjub. Kausuka melihat ikan-ikan itu, kau ingin mengulurkan tanganmu ke dalam dinding kaca, menjamah tubuh mereka yang licin dan berkilau.

Ikan-ikan dalam akuarium, ikan-ikan dengan warna menggoda. Ikan-ikan dengan ekor melenggok dalam bening air dan matanya berisyarat bahwa kau boleh berenang dengannya, berenang barang satu jam, dua jam, tiga jam, atau semalam.

Alangkah indah ikan-ikan itu, bisikmu.

Air dari selang kecil terus mengalir, serupa air terjun dalam imajimu dan menciptakan suara yang mengiringi keheningan malam. Ada lampu warna-warni dengan cahaya lemah di bagian lain dalam ruang kaca, memancarkan sinar menyoroti wajah, menyoroti bibir merah ikan-ikan. Ikan betina—ikan betina menjadi tontonan mata kesepianmu dan butuh hiburan, mata malam yang turun dari puncak dingin dunia.

 

***

 

Kau datang lagi tepat jam dua belas malam, matamu lelah, lenganmu berdarah dan dadamu penuh luka, luka sayatan pisau, luka tikaman paku, luka bacok, luka bakar, dan luka-luka yang diakibatkan oleh kesepian panjang, terkaman taring dunia yang marah, tangan-tangan musim kejam sepanjang pengembaraanmu.

Kau datang dan memasuki kegelapan malam di ujung gang gelap; gelap yang hangat, gelap yang laknat, gelap yang dosa, gelap yang gelap, segelap lumpur segelap kabut, segelap hidup, segelap kalut.

“Aku telah menunggumu sejak tadi,” perempuan itu berkata padamu, perempuan yang keluar dari akuarium, perempuan jelmaan ikan warna-warni yang biasa kaupandang dari kegelapan. Kau memandanginya dengan matamu yang jalang, mata yang selalu menyala dalam malam, mata yang bertempur dengan cuaca sepia.

Dan perempuan itu dengan tangannya yang lembut telah menggenggam tanganmu kini, menyentuh pundakmu, dan sesekali mengecup bibirmu yang kelabu.

“Untuk apa kau menungguku? Apa yang kauharapkan dariku yang celaka ini?” Apalah arti seorang dari seribu lelaki yang mendatangimu silih berganti?”

Perempuan itu berdiri, melangkah menuju jendela di kamar yang bercahaya lampu 15 watt. Tangannya yang seperti tangan yang lain[2]Judul puisi Tia Setiadi dari dunia bayangan menarik gorden yang terbuka setengah, menutup rapat-rapat dari pandangan malam di luar yang diam-diam mengintip kamar. Di luar salju mulai turun, dinginnya menggedor setiap tubuh manusia yang berlalu-lalang, setiap lelaki dan perempuan yang tanpa pasangan. Sedangkan kota tak lain adalah pentas musik yang superbising, musik dalam tempo presto dengan satu juta pononton yang cuek tapi berjingkrak. Dan kau tahu, kamar itu tak lain pojok bumi yang lepas dari kebisingan, lepas dari jarum-jarum maut yang berkeliaran di pusat-pusat kota, di taman-taman bunga, di jalan-jalan dan rumah-rumah, kamar di pojok bumi itu adalah sebuah tempat mungil yang tak terjamah peta. Bahkan, di situ kau merasa bakal selamat dari terkaman bah yang muntah andai Nuh datang lagi dan berdoa meminta hujan lebat 40 hari 40 malam tanpa henti untuk menghukum seluruh penduduk kota yang kini bergelimang noda.

“Entahlah… Aku sendiri tak punya alasan, tapi perasaanku selalu berkata begitu, berkata sedang menunggumu,” perempuan itu menjawab tak acuh, lalu menuangkan arak api pada gelas di atas meja yang terletak di sisi ranjang.

“Aku tak yakin di pojok bumi begini masih ada perasaan…. Oh, maaf, maaf, bukan begitu maksudku. Hemmm… Oiya, bagaimana kau bisa jadi ikan dan tinggal di tempat paling pojok begini?”

“Untuk apa kau menanyakan itu?” ia menatapmu tajam, seperti sedang terusik. “Bukankah sudah ribuan kali kau singgah di sini, memandangiku dari luar kaca, lalu mengentaskanku, membawaku berenang dalam keheningan malam, berdua bermandi keringat hangat, dan alpa terhadap segala yang sedang berlangsung? Bukankah kita sama-sama terkutuk dalam dukana warisan makhluk pertama? Bukankah kau sendiri yang berkata bahwa melarikan diri dari sepi tidak bisa dikatakan sebagai kelakuan pengecut?”

“Justru itu…” kau membalas menatap perempuan jelmaan ikan dalam akuarium itu dengan tatapan yang lain (kasih sayang?).

Dan kau tak melanjutkan lagi perkataanmu.

“Sudahlah. Cuaca begitu dingin. Minum dan nikmatilah…” ia menyodorkan segelas arak api kepadamu. “Mabuklah barang sedikit, agar penglihatanmu pada dunia tak terlalu terang.”

Cairan arak api mulai mengalir dalam tubuhmu, bercampur kabut gelap yang berkubang di jiwamu. Sedangkan di luar kamar yang terletak di pojok bumi itu kota-kota telah luruh dalam kekuasaan langit, bunyi lonceng dari menara tengah kota meninabobokkan orang-orang. Dan bintang-bintang pecah mengalirkan cairan berahi ke kepalamu.

“Menarilah… Menarilah…”

Perempuan jelmaan ikan dalam akuarium itu pun mulai menari, menari di atas tubuhmu, menari di atas rasa papa dan hampa, menari di bawah jaring nasib yang menjeratnya, menari merayakan pemberontakan pada absurditas hidup. Dan malam yang senyap mulai bergelora, bergemuruh dari ujung bumi tanpa hitungan itu.

Hidup telah hidup dan menggeliat. Waktu gemetar dalam ruang yang gemetar[3]Kepada M G, puisi WS. Rendra..

 

***

 

Dan pohon-pohon tinggi mengintip diam-diam
Dengan cerdik melempar daun-daunnya di kaca jendela[4]Malam Pertama, puisi Arthur Rimbaud..

Jarum jam dinding berhenti sejenak, menyembunyikan runcingnya di balik punggung waktu, menghindari pemandangan dosa yang sedang berlangsung. Sedangkan musik aneh dari balik bumi mulai menyala, berjelaga di sela-sela tarian perempuan itu, menjadi pengiring setiap gerak-gerik tubuh, dua tubuh.

Apakah ini laut dengan kedalaman dan kebiruannya, atau hanya kamar hampa tanpa cinta? Batinmu berbisik, di sela-sela musik.

“Apakah ini dosa pertama atau dosa terakhir?”

Tidak, tidak. Cinta atau dukana bukankah sama saja, adalah kutukan lembut yang tiada akan berakhir bagi anak manusia, setidaknya begitulah surga menakdirkan sejak masa purba.

 

***

 

Kau memang telah memilihnya, mengambil satu dari sekian pilihan yang tampak menggoda. Mula-mula kau mengintipnya dari ruang paling hitam dengan tangan gemetar, dengan dada bergetar. Wajahmu panas ketika melihatnya, padahal cuaca sedang begitu dingin.

“Kau tampaknya sedang tersesat?” tiba-tiba ia berada di sampingmu.

“Tidak. Aku hanya suka melihat ikan-ikan, melihat geraknya yang perlahan dalam ruang buatan ini,” jawabmu dengan gugup.

“Kau ingin merenangi malam bersama seekor dari ikan-ikan di dalam, atau denganku?”

Kau mengangguk dengan polos sekaligus gugup. Dan ia tertawa santai melihat kegugupanmu.

“Inilah dunia…” ucapnya sambil membuka pintu kamar dengan jendela tunggal itu.

“Apakah dunia ini memang sengaja dipisah dari dunia di luar sana?” kau mengikuti langkahnya. Ketika ia berbalik menghadapmu, tiba-tiba ia sudah telanjang dan memamerkan tubuhnya yang bening, payudaranya yang sesegar melon menantang matamu. “Inilah dunia…” ucapnya lagi.

Dan sejak itu kau mulai tahu bahwa di ujung gang gelap di pojok bumi itu, ada dunia yang terpisah dari dunia besar. Dunia yang memamerkan ikan-ikan dalam akuarium, dunia yang ikan-ikan dalam akuarium itu bisa menjelma jadi perempuan aduhai yang akan membawamu ke sebuah kamar berjendela tunggal, dan perempuan itu selalu berkata: Inilah dunia…

 

***

 

References

References
1 Pemberian Tahu, puisi Chairil Anwar.
2 Judul puisi Tia Setiadi
3 Kepada M G, puisi WS. Rendra.
4 Malam Pertama, puisi Arthur Rimbaud.