Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Pilu Cumbu Peluru

author = Raihan Robby

“Kau akan mati malam ini, lima pistol akan menodong kepalamu. Tapi, hanya satu pistol yang benar-benar membuatmu mati.”

Seorang cenayang yang berumur lebih dari 75 tahun dengan pakaian serba hitam dan keriput di mukanya yang sengaja ia tutup dengan tudung compang-camping berkata seperti itu.

Aku bertemu cenayang itu ketika datang bermain ke pasar malam di sebuah alun-alun di kota Y, pasar malam itu tampak ramai seperti biasanya, penuh akan canda tawa, anak kecil yang berlarian, penjual yang menjajakan dagangannya, pengamen yang sibuk dengan genjrengan gitarnya, pasangan yang dimabuk asmara.

Mungkin aku dan Novi adalah pasangan yang tengah dimabuk asmara itu. Aku mengenal Novi saat kami masih menjadi mahasiswa baru di salah satu kampus negeri di kota J, rindu dan hasrat untuk bercinta mempertemukan kami di pasar malam ini.

Novi mengirim pesan setelah 3 tahun kami tak bertemu, ia sengaja datang ke kota Y, untuk menemui aku menuntaskan segala perasaan yang ada pada diri kami berdua.

Sudah 2 jam aku menunggu sembari mengitari alun-alun, merekam semua kejadian dengan mataku. Novi tak kunjung tiba. Aku mulai suntuk menunggu. Semua jajanan pasar malam telah kucoba, menaiki wahana permainan dengan sendirian membuatku jenuh. Novi tak kunjung tiba. Sementara aku sudah bosan.

Tempat cenayang itu berada di pojok alun-alun, dengan penerangan seadanya terlihat muram remang dari kejauhan, angin dingin seakan mengitari tempat itu saja dengan hawa yang terasa mengganggu hati. Awalnya, aku enggan untuk masuk ke tempat itu dan memilih pulang untuk menangis sepanjang malam. Lagi-lagi, rasa penasaranlah yang membuat manusia tersesat ke dalam lubang yang sesat. Sama denganku saat mengunjungi tempat cenayang itu.

Ketika aku memasuki tempat cenayang itu bau-bau aneh merangsak masuk ke dalam hidungku, bau mawar, bau asap yang sangit, bau darah dan hal-hal lain yang tak kumengerti. 

Cenayang itu mempersilahkan aku duduk di hadapannya, di meja terdapat sebuah kartu dengan gambar-gambar dan bahasa yang tak ku mengerti. Hening dan dingin, aku bingung harus berkata apa. Hingga cenayang itu mempersilahkan aku untuk bertanya tentang apapun. Lalu aku tanyakan mengapa Novi tak hadir malam hari ini pada cenayang itu.

Cenayang itu berdiam diri sesaat, menghela napas dengan berat dan suaranya serak, dalam suara serak itu ia berkata kepadaku. “Siapa Novi? Ia adalah masa lalumu. Dan masa lalu tidak akan datang kembali ke masa kini.”

Sungguh jawaban yang tak ku mengerti, aku kembali mengecek ponsel, dan tak ada pesan dari Novi, ia seperti menghilang begitu saja. Lalu aku bertanya tentang bisnisku yang baru-baru ini tengah aku lakukan. “Apakah aku akan sukses di bisnisku kali ini?”

Cenayang itu meminum sesuatu dari cawan antik, air yang berwarna merah keunguan, aku pikir itu adalah anggur, atau darah segar? Ia meneguk air itu dan tersenyum, ia menjawab perkataanku dengan suara seraknya.

“Nasib sial akan menimpamu, kerat wine dan bir menghayutkan dirimu pertama-tama, selanjutnya jeruji besi yang menambah malammu semakin dingin, kekasih yang kau cintai akan menyakitimu, dan dirimu sendiri.”

Jawaban yang keluar dari mulutnya semakin membuat aku merasa bingung, ini semua adalah teka-teki yang harus ku jawab sendiri. Aku berterima kasih kepadanya, tapi sebelum aku pergi ia berkata kembali.

“Kau akan mati malam ini, empat pistol akan menodong kepalamu. Tapi, hanya satu pistol yang benar-benar membuatmu mati.”

Mendengar perkataanya yang dalam dan meyakinkan, aku mundur beberapa langkah, memandang matanya lebih dalam dan lebih jauh. Ia begitu serius menatapku, ia tertawa pelan dan menegak cawannya kembali. Aku pergi, dan menganggap cenayang itu gila.

Bagaimana bisa aku mati malam ini, sedangkan kematian sepenuhnya ada padaku. Aku-lah yang menentukan akan menjadi apa, dan akan mati kapan. Cenayang tua yang gila itu membuat aku semakin pusing, aku telah lelah menunggu Novi, dan kata-kata cenayang itu membuatku semakin hancur. Aku tidak akan mati, tidak untuk malam ini!

***

Kerat Wine dan Bir

Kegelisahanku membawa aku mengunjungi bar di tepi kota, bar yang sepi dan  malam yang dingin membuat aku terlalu banyak minum untuk melupakan sakit hatiku akibat ditelantarkan oleh Novi dan usaha untuk melupakan kata-kata cenayang gila itu, berkali-kali aku mencoba melupakan tetapi tetap saja kata-kata itu selalu mengganggu pikiranku. 

Bar yang sepi kini mendadak ramai saat segerombolan geng motor menepi sebentar untuk minum-minum, aku yang sudah setengah mabuk menjadi tersadar kembali. Kegelisahanku kini hadir kembali dengan kata-kata cenayang yang terus berputar di kepalaku. “Kerat wine dan bir menghanyutkanmu pertama-tama”

Cepat-cepat aku lupakan omongan cenayang itu, “mungkin yang dimaksud hanyut adalah aku terlalu berlarut-larut dalam minum-minum” pikirku.

Setelah habis 12 gelas wine dan 5 botol bir, aku tak kuasa mengendalikan diriku sendiri, jalanku sempoyongan dan linglung tak karuan, aku terlalu banyak minum sehingga menjad mabuk berat, dalam keadaan mabuk berat seperti itu, tak terasa aku terhuyung-huyung dan jatuh tepat mengenai meja yang ditempati oleh para gereombolan geng motor itu, dan membuat seluruh minuman mereka tumpah serta mengenai pakaian mereka. 

Mereka yang berjumlah lebih dari 15 orang geram dan marah, badan mereka besar dengan otot-otot yang kekar dan urat-urat yang mencuat dari dalam badan, mereka menghajarku habis-habisan, tapi karena aku mabuk, aku tidak begitu merasa sakit. Semua rasa sakitku kembali hadir ketika pria bertubuh besar dengan janggut yang tebal dan tatto di sekujur tubuhnya mengangkat aku dengan satu tangannya.

Ia mendorong ku dan tersungkurlah aku duduk di bawah meja bartender, ia mengeluarkan pistol revolver Ruger Super RedHawk. 454 Casull dari balik punggungnya. Pistol revolver yang mengerikan itu ia todong di pelipis kanan ku, aku bisa rasakan dinginnya ujung pistol itu, keringatku bercucuran dan rasa mabuk ku perlahan hilang, aku akan mati!

Seluruh teman-teman geng motor itu tertawa puas, bartender berlindung di tempat kerjanya, ketua geng motor itu juga tertawa, tertawaan mereka mengiringi kematianku sebentar lagi, aku bisa merasakan bahwa tangan dari ketua geng motor itu begitu yakin untuk menarik pelatuk dan meletuskan peluru ke kepalaku. Begitu yakin hingga tangannya tidak ada keringat sedikitpun, ternyata inilah yang dimaksud cenayang gila itu, aku akan mati di tangan para gengster motor sialan ini.

Saat ketua geng motor itu ingin menarik pelatuk, tiba-tiba bunyi sirene polisi dari kejauhan membuyarkan mereka semua, mereka semua panik dan pergi ke motornya masing-masing, terjadi kebut-kebutan antara polisi dengan geng motor itu, beberapa anggota geng motor bisa dibekukan dan ditahan, kematian begitu dekat, di pelipisku, keringat masih bercucuran dan aku bersyukur masih bisa hidup. Bartender melaporkan bahwa ada perkelahian di barnnya, untung saja ia menelpon polisi kalau tidak aku mungkin telah mati. Polisi membawaku ke kantor untuk diperiksa, dengan wajah yang babak belur dan mabuk berat aku hanya bisa ikut dan yang terpenting tetap merasa aman.

***

Jeruji Besi yang Menambah Malammu Semakin Dingin

Setibanya di penjara, polisi langsung membawaku ke dalam ruangan interogasi, didudukannya aku pada sebuah bangku. Di hadapanku hanya ada sebuah meja juga kaca cermin yang besar, mereka tak berkata apa-apa, aku yang tengah babak belur juga sempoyongan sehabis dihajar gangster keparat itu, kini harus berakhir di sebuah kantor polisi. 

Para polisi-polisi itu memintaku untuk mengakui bahwa akulah bandar narkoba terkenal dari kota J, aku bahkan tidak mengerti soal narkoba dan obat-obatan terlarang. Mereka membutuhkan kambing hitam untuk dilaporkan kepada atasannya, agar cepat naik pangkat. Sedangkan tidak ditemukan satu apapun jenis narkoba di dalam diriku.

Polisi itu menghajar aku habis-habisan selayaknya bandar narkoba kelas teri yang tertangkap begitu saja, tapi aku bukanlah bandar narkoba dan polisi-polisi itu tetap tidak mempercayainya. Mereka memasukkan aku ke dalam sel tahanan, aku sendirian di sel itu, menunggu seseorang menjadi juru penyelamatku, setidaknya untuk malam yang panjang ini.

Seluruh ingatanku kembali berputar dan mengarah ke perkataan si cenayang gila itu “Jeruji besi yang akan menambah malammu semakin dingin” di sinilah aku berakhir, di sebual sel besi yang dingin. Setidaknya aku bisa istirahat malam ini, sejenak melupakan apa saja yang baru terjadi. namun sial baru saja aku memejamkan mata, para polisi itu menyeretku kembali ke ruang interogasi. Kali ini mereka tak main-main, mereka menyuruhku untuk mengakui bahwa aku adalah bandar narkoba yang terkenal itu.

“Lebih baik kamu mengaku! Bahwa kamu adalah John si Topi Miring! Bandar putau di kota J, kalau tidak mau mengaku, moncong Beny tak sungkan memuntahkan peluru tepat di kepalamu!”

Seorang polisi berbadan kekar menodongkan pistol Glock 20 ke arah kepalaku, sial pikirku. Omongan cenayang itu terbukti benar dan sudah dua kali dalam semalam aku ditodong oleh pistol, untuk apa juga polisi menamakan pistolnya dengan nama Beny? Siapa John si Topi Miring itu?

Seperti tak ada ampun, dipukulkannya moncong Beny kea rah pelipis kananku, memar dan biru di sana. Lalu ia menantang kembali siap memuntahkan peluru ke kepalaku. Aku hanya bisa menjawab sekena-ku, bahwa aku tidak tahu dan aku bukan John si Topi Miring. Tetapi, para polisi itu tetap bersihkukuh bahwa aku adalah John dan harus mengakui kesalahanku. 

Tangan dari polisi itu begitu besar dan mantap menggenggam pistol Glock 20, ia bisa kapan saja menembak kepalaku, dan aku bisa saja menjadi sebuah mayat tanpa nama di pinggir jalan, atau di dalam karung di sebuah kolong jembatan yang gelap. Aku bisa berakhir di mana saja. Dan semua kehendak kematianku ada di tangan polisi itu! 

Suasana semakin genting, beberapa teman polisi yang lain terlihat bercucuran keringat, mungkin mereka tak akan menyangka bahwa temannya yang satu ini bisa kelewat batas dalam mengintrogasi seseorang. Mungkin teman polisinya yang lain tidak pernah nyaman ketika melihat seseorang diledakkan begitu saja kepalanya.

Suasana genting berubah menjadi hening, hening sekali ketika ada seorang polisi masuk mendobrak ke ruangan interogasi. “Stop! Dia bukan John si Topi Miring, ini ada salah satu keluarga yang menembusnya. Jadi lebih baik bawa ia ke meja depan, dan segera minta maaf kepadanya.”

Seluruh polisi yang berada di ruangan itu kembali ke tempatnya masing-masing, tersisa aku dan pemilik Beny. Polisi kekar itu tersenyum ke arahku, berbisik lirih. “Mungkin malam ini kau selamat, tapi masih ada malam-malam yang lain.” Ia tertawa kecil meninggalkan aku yang masih terduduk lemas di bangku.

***

Kekasih yang Kau Cintai Akan Menyakitimu

Sarah langsung memelukku erat sembari mengelus wajahku yang babak belur, ia menangis tak henti-henti, aku mencoba menenangkannya. Ia sedikit lebih tenang, untung ada Sarah, yang membantu aku keluar dari neraka kecil ini, kalau Sarah telat sedetikpun, mungkin aku telah menjadi mayat tanpa nama yang tak seorangpun peduli.

Sarah, kekasihku. Ia adalah perempuan yang cantik, memiliki lesung pipi dan berambut panjang sebahu. Aku bertemu dengannya satu tahun yang lalu, setelah lulus kuliah di kota J dan setelah aku melupakan Novi. Kami sama-sama mengadu nasib di kota ini, tinggal dalam satu kosan yang sama untuk hidup yang lebih baik. Sepintas, aku merasa bodoh telah menduakan Sarah dengan Novi, semua rasa bersalahku terlihat jelas oleh matanya yang bulat hitam, ia bertanya “Apakah kamu baik-baik saja? Sepertinya kamu kelihatan resah?” aku tersenyum dan segera menggelengkan kepala, tanda aku baik-baik saja. Lalu kami menaiki mobil dan pulang ke kosan kami yang nyaman.

Sesampainya di kosan, betapa terkejutnya aku menemukan meja makan kami yang telah dihiasi oleh lilin, sepasang wine dengan gelasnya yang memanjang lengkap dengan botol di sampingnya, sebuah steak yang sepertinya telah dingin karena ditinggalkan di atas meja. Aku memandang wajah Sarah, ia menahan tangis. Katanya “Aku menungguimu sepulang kau dari kantor, tetapi kau tak kunjung tiba di rumah. Hari ini, adalah hari Anniversary kita selama 2 tahun. Dan kau malah berakhir di sel polisi” tangisnya pecah.

Aku pun ikut tersedu, semua rasa bersalahku kini muncul kembali, bisa-bisanya aku melupakan Anniversary-ku dengan Sarah yang ke 2 tahun, untuk menemui Novi yang entah di mana kabarnya hingga detik ini. Aku telah menyiapkan beribu-ribu alasan, untuk membuat hatinya tenang. Bisa saja aku berkata bahwa aku korban perampokan, aku menyiapkan segala sesuatu untuknya tetapi nasib sial mendatangiku terlebih dahulu. Atau aku bisa saja berkata bahwa sore tadi sepulang dari kantor, aku diserempet oleh sebuah kendaraan kota yang blong remnya. Bisa saja aku lakukan itu. Hingga Sarah mengeluarkan pistol dari balik jaketnya yang tebal. Ia mengarahkan pistolnya ke arahku. Tangannya gemetar, keringat dan air matanya bercampur menjadi satu.

“Kau ingin bertemu dengan Novi, kan?!” bentak ia kepadaku, sebentar. Darimana ia tahu aku ingin bertemu dengan Novi? Seluruh alasanku untuk menutupi kebohonganku kini musnah, ia telah mengetahui kejadian yang asli. Aku diam tak menjawab, tak dirasa tanganku menunjukan gelagat tak nyaman, gelagat agar ia berhati-hati dan menurunkan pistolnya dari pandanganku.

“Akulah yang berpura-pura menjadi Novi! Kau telah mengkhianatiku. Aku pikir kau mencintaiku, nyatanya kau masih belum bisa melupakan Novi!” ia meletuskan pistolnya, mengenai badanku. Hangat, sedikit perih. Aku kira awalnya aku telah mati. Ternyata pistol itu ialah Air Soft Gun. Meski terdapat kata “Soft” di sana, tetap terasa menyakitkan di badanku. Sarah menangis tak henti-henti, ia mendobrak pintu dan keluar dari kosan kami.

Aku lagi-lagi terduduk lemas di bangku, tempat seharusnya kami melakukan candle dinner, aku kembali menerka omongan cenayang gila itu, seluruh perkataannya benar. Aku yang begitu bodoh menyia-nyiakan Sarah untuk bertemu dengan Novi, seandainya saja ketika jam pulang kantor usai, lalu aku langsung beranjak ke kosan kami, mungkin saat ini kami tengah bercinta, dan aku tidak babak belur sakit seperti ini.

Kini lihatlah, apa yang tersisa dari diriku? Tidak ada. Aku tidak mendapatkan Novi, aku telah kehilangan Sarah, nama dan wajahku menjadi incaran polisi juga gangster sialan itu. Tidak ada yang tersisa dari hidupku.

Semua kepasrahan itu menghantarkan aku menuju kamarku, membuka laci yang ada di sana, aku mengambil pistol Colt 1911. Duduk sejenak, dingin di pelipisku begitu nyata.

Diriku sendiri..

Yogyakarta, 2019.