Author: Tobma

  • [Ngibul #15] Bertikai di dalam Kedai

    author = Asef Saeful Anwar

    Seorang pendekar tidak akan dapat menemukan tempat pertarungan yang sedang dituju bila ia tidak singgah di sebuah kedai seperti halnya pendekar lain yang tidak akan menemukan seseorang yang telah membunuh keluarganya tanpa mampir di sana. Dan di kedai, seorang pendekar dapat unjuk kebolehan ketika ada penjahat yang macam-macam dengan pelayannya. Kedai memiliki posisi yang amat penting hingga kehadirannya seolah menjadi kewajiban bagi setiap film silat Indonesia. Setidaknya ini terlihat dari beberapa film seperti serial Tutur Tinular, Wiro Sableng, Si Buta dari Goa Hantu, Si Jampang, dan Jaka Sembung.

     

    Sebagaimana musabab keberadaannya, kedai dibangun sebagai tempat makan dan/atau minum untuk istirahat barang sejenak. Ia hadir di tengah jalur perjalanan atau di tengah pasar. Posisinya yang ada di tengah mengindikasikan fungsinya sebagai pusat informasi bagi mereka yang tengah dalam perjalanan atau bagi mereka yang beristirahat dari pekerjaan. Bagi yang pertama, informasi yang diperlukan adalah tentang arah menuju daerah yang hendak dituju, sementara bagi yang terakhir informasi yang dipertukarkan adalah seputar peristiwa yang baru atau akan terjadi. Bercakap-cakap di kedai seolah menu pelengkap dalam sebuah laku istirahat.

     

    Pemilik kedai umumnya orang awam dalam dunia persilatan. Artinya, mereka tak pandai ilmu silat, bahkan ber-silat lidah sekalipun mereka tiada cakap. Kalau pemiliknya lelaki, pastilah ia memiliki anak perempuan yang membantu melayani, yang terkadang digoda pendekar berangasan dan ditolong pendekar budiman. Kalau pemiliknya perempuan biasanya ia memiliki pelayan-pelayan yang sengaja menggoda pelanggan. Fungsi pemilik/pelayan kedai seringkali sebagai tempat bertanya orang yang singgah. Percakapan antara mereka dengan orang yang singgah di kedai senantiasa serius dan tidak ada basa-basi pertanyaan tentang kabar, apalagi bila yang singgah adalah para petualang atau pendekar yang akan menghadiri sebuah ajang adu raga.

     

    Orang yang datang ke kedai tak pernah ditanyakan mau makan atau mau minum apa, seolah di setiap kedai hanya ada satu menu makanan dan minuman. Bahkan, dalam beberapa film terlihat orang yang datang ke kedai langsung disuguhi minuman dan dibiarkan memilih apa yang hendak dimakannya. Di sisi yang lain, para pengunjung juga tidak menanyakan menu apa yang ada di sebuah kedai. Mereka hanya memesan jika tak langsung disediakan oleh pemilik kedai.

     

    Masyarakat masa kerajaan dulu digambarkan belum banyak mengenal menu makanan—kecuali di istana raja—hingga di setiap kedai menyediakan menu yang serupa. Para pengunjung kedai juga tidak pernah bertanya soal harga makanan, malah kadang setelah selesai makan dan minum mereka menaruh atau memberi beberapa kepeng uang lalu pergi seolah harganya serba pas dengan uang yang dikeluarkan dari kantong atau sela lengan baju (cara menyimpan uang dalam lengan baju ini adalah salah satu kesaktian para pendekar yang juga jarang dibahas!).

     

    Para pengunjung kedai lebih sering bertanya daripada mengunyah makanan. Kalau pemilik atau pelayan kedai tak mengetahui informasi yang ditanyakan, biasanya pengunjung lain yang akan menjawab. Ia bisa seorang pendekar yang memiliki tujuan yang sama—dendam terhadap orang yang sama atau hendak berlaga di arena yang sama—atau orang awam yang kebetulan tahu tentang informasi yang ditanyakan.  

     

    Mereka yang singgah di kedai dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yakni warga awam (tentu dalam hal silat), para pendekar, dan pejabat kerajaan. Orang awam akan menjadi objek kekerasan yang dilakukan pendekar berangsan sekaligus dapat menjadi penyebar berita tentang kehebatan seorang pendekar budiman bila ia diselamatkan. Sementara itu, pejabat kerajaan amat jarang hadir di kedai. Kalau pun hadir dan menyaksikan pertarungan, mereka memilih tak ambil bagian. Mereka menunggu pertarungan selesai dan menawari pendekar yang menang untuk bergabung menjadi pasukan kerajaan.

     

    Film silat Indonesia belum menunjukkan adanya penarikan pajak oleh istana kepada pedagang. Adegan-adegan penarikan pajak untuk kerajaan seringkali ditujukan untuk mereka yang memiliki tanah pertanian dan warga yang memiliki hewan ternak. Strata ekonomi yang ditunjukkan film silat Indonesia seolah menaruh pedagang dalam posisi yang lebih rendah daripada petani dan peternak karena tiadanya adegan pengambilan pajak atau upeti.

     

    Secara garis besar, kedai dalam film-film silat Indonesia lebih banyak dihadirkan karena kebutuhan alur tanpa pendalaman mengenai bagaimana keadaannya bila dikaitkan dengan latar waktu yang digunakan oleh film terkait. Sebagaimana diketahui, dalam film-film silat Indonesia, baik yang menceritakan masa kerajaan Hindu-Budha, kerajaan Islam, maupun masa penjajahan, bangunan kedai dan makanan serta minuman yang disediakan di dalamnya hampir sama seluruhnya.

     

    Bangunan kedai banyak digambarkan terdiri dari atap rumbia, bambu penyanggah, meja saji, kursi, pelita, dan meja makan. Adapun makanan yang tersaji di atas meja adalah; sayuran, ikan, ayam, nasi, gorengan, dan singkong rebus. Beberapa menyediakan nasi juga. Buah segar disajikan di atas meja saji—untuk pisang biasanya digantungkan di sebuah tiang. Tuak ada di wadah bambu sementara air putih ada di kendi. Gelasnya terbuat dari potongan bambu atau tanah liat. Sementara piringnya berupa cobek. Semua hal itu ditampilkan dalam setiap film silat Indonesia tanpa ada kekhasan zaman yang menjadi latarnya.

     

    Dalam film-film silat Indonesia, kedai tidak sekadar menjadi tempat istirahat, tetapi lebih banyak dijadikan tempat perselisihan yang berujung perkelahian. Ia tak ubahnya arena unjuk kehebatan para pendekar. Sangat jarang kedai dimunculkan sekadar tempat makan dan istirahat. Hampir pasti kedai akan dihancurkan oleh pertarungan antar-pendekar. Kalaupun kedai itu tak hancur, maka barang-barang yang ada di sana, baik makanan maupun meja-kursi, akan dibuat berantakan, seolah menjadi penanda kerasnya dunia persilatan masa itu. Hanya dari apa yang tengah terjadi di kedai, kita dapat mengerti manakah pendekar gadungan dan pendekar sejati.

     

    Sampai sekarang, sepengetahuan penulis belum ada film silat Indonesia yang memusatkan alur ceritanya pada keberadaan kedai di tengah lintasan para pendekar. Padahal, permasalahan sekitar kedai menarik untuk diangkat dalam sebuah alur cerita silat. Seberapa sering para pendekar berangasan mengancam nyawa pemilik kedai hanya untuk mendapatkan menu gratis? Bagaimana siasat pemilik kedai untuk menghadapi mereka? Apakah ada pemilik kedai yang pernah menaruh racun dalam minuman mereka? Masakah tidak ada satu pun pemilik kedai yang belajar ilmu silat untuk menjaga usahanya? Bagaimanakah sikap para pendekar ketika mendapati harga makanan yang naik dan bagaimana para pemilik kedai menjelaskan kenaikan harga? Atau jangan-jangan selama masa kerajaan memang tidak pernah ada kenaikan harga?

     

    Semua itu dimungkinkan terjawab bila ada cerita mengenai seorang pendekar yang memutuskan keluar dari dunia persilatan dan memilih membuka kedai untuk menyembunyikan kepakarannya dalam ilmu silat. Sungguh, menarik bila kita menyaksikan seorang pendekar yang justru dibuat pusing oleh harga bahan makanan yang naik daripada ketika menghadapi naiknya kaki lawan yang siap menghantam mukanya.*   

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    Asef Saeful Anwar
    Penyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.
  • [Ngibul #14] Mozes Gatotkaca

    author = About Olav Iban
    Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.

    View all posts by Olav Iban →

    Tulisan ini didedikasikan untuk saudara sepupu saya, Ferry Lawin Iban. Satu dari ratusan nyawa tidak berdosa yang tewas dalam rangkaian kerusuhan 1998 menggulingkan hegemoni Orde Baru.

     

    ***

     

    Hari ini, 19 tahun lampau, Mozes Gatotkaca tewas mengenaskan pada Jumat malam tanggal 8 Mei 1998. Tubuhnya ditemukan tergeletak di simpang jalan sisi utara Hotel Radisson (sekarang Jogjakarta Plaza Hotel) sekitar pukul 21.50 WIB dengan kondisi miris. Lengannya patah tertikung ke belakang. Kepalanya luka parah. Wajahnya penuh darah yang mengucur deras dari kuping dan hidungnya. Beberapa anggota Palang Merah Indonesia yang kebetulan membuka pos di dekat lokasi itu segera membawa Mozes ke RS Panti Rapih menggunakan ambulan. Sayangnya, Mozes meninggal di perjalanan. Dan ia pun menjadi korban jiwa pertama di Kerusuhan Mei 1998.

     

    Sebelumnya, tanggal 5 Mei 1998, Yogyakarta dirundung demonstrasi mahasiswa besar-besaran. Kendati bukan kota yang pertama (Medan lebih dahulu pada 4 Mei), gerakan mahasiswa Yogyakarta sangat katarsis memberi efek domino ke kota-kota lain, hingga mencapai klimaksnya di Jakarta.

     

    Meski saya bukan mahasiswa di era itu, namun pengalaman saya dua kali menjadi mahasiswa UGM membawa kenangan tentang kedinamisan pemikiran kritis-konstruktif mahasiswa Yogyakarta. Pertama, karena letak antar-perguruan tingginya sangat dekat sehingga memungkinkan pertukaran gagasan yang kompulsif. Kedua, ruang-ruang diskusi terpapar gamblang di mana-mana. Di rumah kosan, di warung burjo, di angkringan, di pos kamling, di perpustakaan, di sanggar seni, di tempat bikin tato, di manapun, kapanpun, dan oleh kalangan manapun. Adalah hal biasa jika Anda menemukan mahasiswa UNY satu kos dengan mahasiswa Atma Jaya, atau Sanata Dharma. Di kantin UGM, Anda bisa saja mencuri dengar diskusi antara mahasiswa UIN Suka dengan mahasiswa ISI—yang letaknya jauh di Sewon, Bantul. Alasan yang ketiga adalah keterbukaan pemikiran penduduk lokalnya. Dari kusir andong, warga kampung sekitar kosan, dosen, sampai seniman atau budayawan akan dengan sadar dan aktif membalas pertanyaan-pertanyaan mahasiswa bila ditantang berdiskusi. Ketiganya itu terakumulasi pada olah-pikir para mahasiswa Yogyakarta.

     

    Demonstrasi 5 Mei 1998 masih belum apa-apa dibanding tiga hari setelahnya. Pagi tanggal 8 Mei, sekitar pukul 09.00 WIB, di hampir semua perguruan tinggi di Yogyakarta sudah tampak kelompok-kelompok mahasiswa bergerombol mendiskusikan satu hal: good governance. Ini bukan bahan obrolan yang membosankan karena turunan dari good governance adalah topik yang sedang panas: partisipasi masyarakat, supremasi hukum, transparansi, kesetaraan, sampai efektivitas dan efisiensi ekonomi—yang semuanya merupakan anti-tesis dari kondisi Indonesia waktu itu.

     

    Menjelang waktu sholat Jumat, kelompok-kelompok diskusi mulai mengecil dan bubar. Gelombang mahasiswa terlihat kembali setelah sholat usai. Kurang lebih ada 5.000 mahasiswa UGM berkumpul melakukan demonstrasi besar di Bundaran UGM sampai sekitar pukul 17.00 WIB. Segalanya berlangsung tertib. Orasi disampaikan dengan lancar tanpa kekerasan. Isinya memokokkan pada pernyataan prihatin terhadap kondisi ekonomi Indonesia yang saat itu dilanda krisis moneter—dan mahasiswa menganggap keadaan itu akibat mismanajemen di pemerintah, sehingga mahasiswa pun menawarkan solusi lumrah berupa Reformasi (sampai sekarang saya masih bingung mengapa penguasa-penguasa yang sudah bertahta selama 32 tahun bisa marah pada tawaran yang wajar itu).

     

    Pada pertengahan tahun 1997, krisis finansial melanda Asia. Sebenarnya krisis itu dipercaya tidak berdampak berat bagi Indonesia. Tidak ada yang salah dengan kondisi ekonomi Indonesia yang inflasinya rendah. Perdagangan surplus lebih dari US$ 900 juta. Cadangan devisa Indonesia di atas US$ 21 miliar. Sektor perbankan pun baik. Saat itu pemerintah menerapkan sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange rate) dengan mendepresiasi rupiah. Setidaknya kebijakan tersebut memberi posisi aman.

     

    Lalu, entah atas pertimbangan apa, dan entah untuk keuntungan siapa, pemerintah mengikuti saran IMF menerapkan free-floating exchange rate sebagai gantinya. Dan tiba-tiba saja pada 14 Agustus 1997 perekonomian yang dibangun selama tujuh kali Kabinet Pembangunan dan lima kali Repelita hancur begitu saja, seakan Indonesia kembali ke tahun-tahun 1960an. Rupiah melemah terhadap dolar, dan terus merosot drastis. Dari yang sebelumnya hanya Rp 2.100-2.300/US$ (tahun 1996) melorot menjadi Rp 4.600/US$, bahkan pernah mencapai Rp 15.000-17.000/US$ (tahun 1999).

     

    Bayangkan bagaimana imbasnya. Baca sendiri buku-buku sejarah perekonomian Indonesia jika ingin tahu, atau tanyakan kepada orangtua di era itu bagaimana beratnya menafkahi keluarga. Mungkin atas dasar kesusahan rakyatnya itu Presiden Soeharto, pada 20 Januari 1998, tanpa basa-basi menandatangani kesepakatan dengan IMF yang menawarkan pinjaman US$ 43 miliar diikuti perjanjian ekonomi (Letter of Intent), yang semakin membuat marah para mahasiswa (tentu mahasiswa Fakultas Ekonomi lebih marah ketimbang mahasiswa Fakultas Sastra).

     

    Sekitar 1,5 km dari Bundaran UGM, mahasiswa dari perguruan tinggi lain juga memiliki kemarahan yang sama. Sedari pagi, mahasiswa Sanata Dharma telah melakukan aksi demonstrasi di halaman kampus mereka di Jl. Gejayan, terpisah satu jalan dengan Bundaran UGM. Mahasiswa IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) yang letaknya berseberangan dengan kampus Sanata Dharma juga berdemo, dan kemudian saling menggabungkan diri. Begitu pula mahasiswa Atma Jaya, STTNAS, dan perguruan tinggi lain di daerah itu. Massa mahasiswa di Jl. Gejayan pun semakin membesar—atau tepatnya memanjang karena jalannya sempit (diperkirakan ada sekitar 10.000 manusia tumplek bleg di sana). Mereka kompak menuntut turunnya tiga hal: 1. Harga sembako, 2. Harga BBM, 3. Presiden Soeharto.

     

    Cuaca yang terik ditambah orasi yang memanas menghasilkan ide-ide aneh. Salah seorang orator menyerukan mahasiswa melakukan long march ke Gedung DPRD di Jl. Malioboro yang langsung disetujui massa. Tapi, belum sampai massa itu mencapai ujung pertigaan Jl. Colombo mereka dihadang oleh pasukan Pengendalian Massa (Dalmas) Polres Sleman. Tidak ada benturan berarti. Mahasiswa pun duduk di jalan. Ini karena Kapolres Sleman cukup cerdas dengan mendatangkan Ketua DPRD Yogyakarta, alih-alih membiarkan massa ke kantor sang Ketua DPRD itu. Sayangnya, mahasiswa selalu punya ide. Tiba-tiba sang Ketua DPRD tadi mereka sandera, dan diminta ikut berorasi mendukung Reformasi. Merasa serba salah, sang Ketua DPRD berdiri gelisah sambil memegang spanduk berisi cercaan kepada Presiden Soeharto.

     

    Di sini ada simpang siur informasi. Entah benar atau tidak, sepertinya kumpulan mahasiswa di Jl. Gejayan ingin membelok melalui Jl. Colombo untuk bergabung dengan mahasiswa UGM di Bundaran UGM namun keburu dihadang polisi.

     

    Sekitar pukul 17.20 WIB, mahasiswa di Jl. Gejayan mulai bubar. Begitu pula mahasiswa di Bundaran UGM telah menutup diri di kampus masing-masing. Di saat inilah terjadi keganjilan. Ketika mahasiswa Sanata Dharma dan IKIP Yogyakarta kembali masuk ke kampus mereka dan bersiap pulang ke rumah masing-masing, massa non-mahasiswa justru bertambah banyak. Beberapa sumber menyebut mereka adalah warga, tapi banyak kasak-kusuk yang menyebutkan bahwa massa anonim itu hanyalah manipulasi bentukan pendukung Orde Baru. Mungkin seperti Pam Swakarsa (yang sekarang sudah berevolusi menjadi salah satu ormas radikal paling terkenal). Yang lain menyebutnya “pengacau yang mengail di air keruh”. Memanaskan situasi dengan membenturkan ABRI dan mahasiswa. Entahlah, tidak ada kajian yang akurat mengenai hal itu, yang jelas banyak provokasi. Maka dimulailah aksi lempar-melempar, dan ketika ada lempar-lemparan tentu ada pula bakar-bakaran.

     

    Bentrokan antara campuran massa dan aparat keamanan tak bisa dihindari. Suasana magrib sangat tegang. Lemparan batu dan gas air mata saling berbalas. Pada pukul 20.40 WIB, polisi dan tentara menarik diri hingga ke simpang tiga Jl. Adi Sucipto. Massa yang sudah tercampur baur semakin beringas. Merusak gardu PLN. Merobohkan tiang-tiang lampu jalan. Menghancurkan telepon umum. Aparat keamanan kemudian diterjunkan lagi dalam upaya penertiban.

     

    Bentrokan semakin mengerikan terjadi sampai pukul 23.30 WIB, dan meluas sampai ke areal dalam kampus dan perkampungan penduduk. Massa kocar-kacir. Kos mahasiswa digeledah. Warga sekitar berupaya menyembunyikan mahasiswa-mahasiswa yang ketakutan. Banyak pula yang bersembunyi di asrama puteri sehingga aparat kurang berkenan menggeledahnya. Peristiwa ini berlangsung hingga dini hari. Penerangan Jl. Gejayan yang mati digantikan kobaran api. Semua akses telekomunikasi di Yogyakarta Timur terputus akibat dibakarnya 2.400 sambungan telepon. Dealer Yamaha, KFC, dan Bank BHS (Jl. Jend. Sudirman), serta lusinan sepeda motor ikut dirusak massa—entah apa salahnya.

     

    Di tengah keruhnya situasi Jl. Gejayan, aparat pun mengamuk membuat massa mundur kalang kabut. Semua berlarian ke arah utara. Selain sandal, sepatu, dan atribut demo, ada satu orang yang tertinggal di belakang. Dialah Mozes Gatotkaca. Terkapar sendirian. Badannya babak belur. Mungkin dipukuli pentungan aparat, atau tendangan sepatu lars, atau dikeroyok habis-habisan, atau mungkin tergilas kaki massa yang kocar-kacir, atau malah keempat-empatnya. Visum dari RS Panti Rapih menyebutkan korban meninggal karena retak tulang tengkorak akibat pukulan benda tumpul.

     

    Banyak informasi yang sulit ditelusuri sumbernya (Wikipedia dan blog amatir) menyebutkan bahwa Mozes Gatotkaca adalah mahasiswa Sanata Dharma Fakultas MIPA. Namun saya lebih percaya pada sumber-sumber literasi, bahwa Mozes Gatotkaca adalah alumni Akprind Yogyakarta tahun 1995 kelahiran Banjarmasin, 13 November 1958 (40 tahun) yang merupakan teknisi komputer dan anggota Tim SAR DIY.

     

    Mozes berada di tempat dan waktu yang sial. Malam itu, Mozes bersama temannya, Zulkifar, sedang mencari makan malam sepulang kerja dari rumah kosnya di Jl. Brojolamatan (dekat perempatan Condong Catur-Gejayan). Sayangnya mereka terjebak ketika petugas sedang mengejar massa. Beberapa kesaksian menyebutkan Mozes terpisah dengan temannya, kemudian tertangkap dan dipukuli sampai mati. Beberapa hari setelah kematiannya, nama Mozes Gatotkaca diabadikan sebagai nama jalan di mana tubuhnya ditemukan sekarat menanti ajal.

     

    Meski berat, tetap wajib saya sampaikan di sini bahwa Mozes Gatotkaca bukanlah martir, bukan juga aktivis yang memperjuangkan Reformasi. Ia hanyalah orang biasa yang menjadi korban sebuah kerusuhan, kekasaran, kebebalan manusia yang menyelesaikan masalah dengan jalan kekerasan. Adu otot alih-alih adu otak, berdiplomasi, bermusyawarah dengan kepala dingin. Masih banyak cara selain turun ke jalan. Semoga tulisan ini menjadi pengingat, bahwa tidak perlu lagi ada nyawa tidak berdosa karena kebodohan di jalan kekerasan.

     

    Palangkaraya, 2017

     

     

     

    Referensi:

    Djumini, Tino. 2008, Indonesian Dreams: Reflections on Society, Revelation of the Self. Jakarta: Yayasan Obor.

    Harahap, Muchtar Effendi dan Andris Basril. 2000, Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia. Network for South East Asian Studies.

    JA, Denny. 2006, Democratization from Below: Protest Events and Regime Change in Indonesia 1997-1998. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

    Tugiman, Hiro. 2007, Budaya Jawa dan Mundurnya Presiden Soeharto. Yogyakarta: Kanisius.

    Rafick, Ishak. 2008, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia. Jakarta Penerbit Ufuk.

    Saunders, Joseph. 1998, Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto Era Barriers. New York: Human Rights Watch.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/ngibul/ngibul-14-mozes-gatotkaca/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/05/featolavgk.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/05/featolavgk-150×150.jpgOlav IbanNgibulBudaya,kibul,Mozes Gatotkaca,ngibul,Olav Iban,YogyakartaTulisan ini didedikasikan untuk saudara sepupu saya, Ferry Lawin Iban. Satu dari ratusan nyawa tidak berdosa yang tewas dalam rangkaian kerusuhan 1998 menggulingkan hegemoni Orde Baru.
     
    ***
     
    Hari ini, 19 tahun lampau, Mozes Gatotkaca tewas mengenaskan pada Jumat malam tanggal 8 Mei 1998. Tubuhnya ditemukan tergeletak di simpang jalan sisi utara…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • [Ngibul #13] Sungguh-Sungguh, Chairil!

    author = About Fitriawan Nur Indrianto
    Lulusan program studi pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM. Menulis Puisi. WNI keturunan Mbah Wongso Dikoro. Menerima curhat.

    View all posts by Fitriawan Nur Indrianto →

    Dasar mau bebas dan mau menikmati hidup itulah sudah membikin Chairil dengan sadjaknya “aku” itu suatu lambang adanja dan hidupnja kemauan dan tjita-tjita seperti itu djuga di kalangan bangsa kita sendiri

    (Akhdiat K. Mihardja).

    Agak aneh ketika Ahmad Gaus dalam esainya berjudul Chairil Anwar Revolusi Puisi Indonesia yang termuat dalam buku “canggih” 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh pada paragraf terakhir salah menyebut tanggal kematian penyair Chairil Anwar. Padahal, tanggal itu hampir selalu diperingati setiap tahun oleh lapisan masyarakat pecinta sastra Indonesia. Barangkali kesalahan tersebut terjadi bukan karena Ahmad Gaus lupa namun hanya karena salah ketik saja. Tulisan itu mungkin tidak sempat diedit dan direview oleh anggota lain dari Tim 8 yang menjadi penyusun buku tersebut. Terlepas dari itu semua, tentu tak dapat disangkal bahwa Chairil Anwar memang telah diakui sebagai tokoh besar sastra Indonesia.

    Esai Ahmad Gaus hanyalah satu dari banyaknya tulisan yang membahas Chairil dan karya-karyanya. Bahkan sejak tahun kematiannya, sudah muncul berbagai tulisan mengenai Chairil yang ditulis diantaranya oleh ST. Alisyahbana, Rivai Apin, A.Teeuw, Beb Vuyk, W. Pongilatan dan tentu saja H.B. Jassin. Selepas tahun itu hingga sekarang tentu sudah tak terhitung lagi tulisan mengenai sosok penyair kontroversial ini dan juga karya-karyanya. Dalam titik ini sulit untuk mencari celah menulis soal Chairil dan/atau karya-karyanya. Oleh sebab itu, tulisan pendek ini mungkin hanya akan memunculkan pengulangan di sana sini.

    Begitu besarnya nama Chairil, penyair yang menulis 70 sajak asli, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli dan 4 prosa terjemahan ini telah begitu lekat dalam benak masyarakat Indonesia dan mungkin dunia. Bagi anak yang pernah mengenyam pendidikan minimal SMP ketika ditanya “siapa sastrawan Indonesia yang kamu ketahui?” Maka secara otomatis ia akan menjawab Chairil Anwar, meskipun mereka hanya tahu satu sajak Chairil berjudul “Aku” dan ingatan mereka hanya pada lirik “Aku ini Binatang Jalang” yang pernah diplesetkan teman saya menjadi “aku ini perempuan jalang”. Chairil, penyair besar ini memang begitu dicintai. Ketika dia menghembuskan nafas terakhir: mati muda, kepergiannya dilepas oleh para pemuda dan pembesar negeri yang pada berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir padanya.

    Meskipun pada akhirnya dikenang sebagai penyair besar, namun tidak sedikit cacian yang diperoleh oleh Chairil, mulai dari sosoknya yang kurang ajar, beberapa karyanya yang dianggap plagiat, serta karyanya sendiri yang awalnya dianggap bukan sastra yang baik. Sajak Chairilpun pernah di tolak oleh penerbit. Sajaknya yang paling terkenal “Aku” musti dimuat dengan judul “Semangat” yang jelas tidak sesuai dengan keinginannya. Sementara , sosok Chairil sendiri begitu kontroversial. Ia pernah dipenjara gara-gara mencuri cat milik seorang opsir Jepang, suka mengambil cerutu Sutan Sjahrir, dan narasi paling menyedihkan adalah ketika lamarannya ditolak oleh ayah kekasihnya lalu ia pulang dengan uang pemberian sang ayah kekasihnya itu. Akan tetapi agaknya sikap Chairil yang dianggap kurang ajar itu tidak menghalanginya untuk menjadi penyair besar. Ia pun tetap dikasihi oleh kawan-kawannya. Bahkan, salah satu orang yang pernah bersitegang dengannya: HB Jassin, yang pernah memukul wajah Chairil justru menjadi salah satu tokoh yang terang-terangan membela karya-karyanya. Ia bahkan menyebut Chairil sebagai pelopor Angkatan 45, sebuah angkatan yang dihuni oleh seniman-seniman kenamaan.

    Seperti yang diungkapkan Akhdiat K. Mihardhja di atas, sikap hidup yang tanpa kompromi yang juga termanifestasi dalam sajak-sajaknya barangkalilah yang membuat Chairil menjadi seorang yang merdeka sekaligus menjadi contoh bagi bangsa Indonesia yang kala itu memang masih dalam cengkraman penjajah. Selain itu, salah satu hal yang menarik dari Chairil adalah keseriusannya dalam menapaki dunia kesenian. Dalam suratnya kepada Jassin, Chairil menulis.

    Jassin,
    Dalam kalangan kita sipat setengah-setengah bersimaharajalela benar. Kau tentu tahu ini, Aku memasuki dunia kesenian dengan sepenuh hati. Tapi hingga kini lahir aku hanya bisa mencampuri dunia kesenian setengah setengah pula. Tapi untuklah bathin seluruh hasrat dan minatku sedari umur 15 Tahun tertuju ke titik satu saja, kesenian.

    (8 Maret 1944)

    Kesungguhan Chairil dalam berkesenian nampak sudah terbangun sejak usia belia. Kecintaan itu mendorongnya untuk bisa menghasilkan karya yang sama sekali baru dan berbeda. Chairil dikenal sebagai sosok yang individualis. Bukan berarti pula ia tidak suka bergaul. Tetapi dalam beberapa narasi, Chairil digambarkan sebagai seorang yang begitu serius. Dalam keramaian tampak ia lebih suka menyendiri dan memilih duduk membaca. Sebagai keponakan Sjahrir, ia banyak mengakses berbagai macam bacaan. Ia pun menguasai bahasa asing yang membuatnya bisa belajar karya-karya sastra dari luar hingga memiliki kemampuan menerjemahkan. Dalam usahanya menulis tampak ia tidak segan untuk melakukan self reflection pada diri dan karyanya. Pada suratnya yang lain tergambar bagaimana ia tetap mengoreksi karya-karyanya sendiri. Pada Jassin ia menulis

    Jassin,
    Begini keadaan jiwaku sekarang, untuk menulis sajak keperwiraan seperti “Diponegoro” tidak lagi. Menurut oomku, sajak itu tidak baik,
    Lagi pula dengan keritik yang agak tajam sedikit, hanya beberapa sajak saja yang bisa melewati timbangan.

    (10 Maret 1944)

     

    Padahal sebagai mana kita tahu, sajak Diponegoro merupakan salah satu sajak awal Chairil yang tidak ditolak pada masa itu. Sajak itupun merupakan salah satu sajak Chairil yang paling terkenal karena menjadi salah satu sajak yang diajarkan di sekolah-sekolah. Sajak itu bahkan menjadi salah satu ikon bahwa Chairil juga seorang nasionalis. Akan tetapi Chairil sendiri smerasa “kecewa” dengan karyanya sendiri hingga sempat tidak ingin menulis sajak dengan nada yang sama. Koreksi terhadap karya-karyanya juga nampak dalam surat lainnya untuk H.B Jassin.

    Jassin,
    Kubaca sajak-sajakku semua. Kesal aku, sekesal kesalnya… jiwaku tiap menit bertukar warna, sehingga tak tahu aku apa aku sebenarnya…

    (11 Maret 1944)

    Jika kita lihat, surat di atas menunjukkan bagaimana Chairil dalam menulis sajak bukan saja mencari kebagusan sajak semata, tetapi juga sebagai ajang penemuan diri. Dari titik inilah dapat kita lihat bahwa sajak bagi Chairil bukan saja kata-kata indah, melainkan mengandung makna mengenai identitas penyairnya sendiri. Dalam titik inilah kepribadian Chairil dan sajaknya dibentuk. Spirit kesungguhan menemukan identitas diri itulah yang menjadi bagian penting yang kemudian dijadikan sebagai tonggak nama besar Chairil juga menjadi ikon angkatan 45 sekaligus menjadi suara sebuah bangsa yang ingin merdeka.

    Pesan yang dikirim Chairil pada H.B Jassin melalui kartu pos (tertanggal 11 Maret 1944) di atas mirip seperti pesan sms atau chating di zaman sekarang. Meskipun karakternya hanya sedikit namun nampak kepadatan dalam tulisannya. Pesan pendek di atas dikirim Chairil pada pagi hari dan sorenya disambung dengan kartu pos yang lain. Nampak pada pembacaan kita bahwa Chairil benar-benar fokus dan serius ketika membahas suatu hal terutama soal tulisan. Ketika pesan kedua ditulis, Chairil telah membahas persoalan yang lain. Saya sempat berpikir mengapa Chairil tidak menulis surat yang panjang untuk H.B Jassin. Bukanlah keresahan jiwanya nampak begitu banyak dan kompleks berkait dengan persoalan hidupnya yang demikian banyak? Agaknya untuk urusan tulisan, Chairil memang tidak suka bertele-tele. Hal itu pulalah yang membuat Chairil lebih memilih dunia kepenyairan dibanding menulis prosa (soal ini disampaikan Chairil pada surat keduanya yang ditulis tanggal 8 Maret 1944)

    Kesungguhan hidup Chairil juga tercermin justru dari jumlah sajaknya yang boleh dikatakan sedikit. Tentu hal ini bukan karna kemalasannya dalam menulis sebuah sajak. Chairil memang merupakan seorang penyair yang sangat hati-hati dalam memilah dan memilih kata. Kepadatan makna dalam setiap kata-kata yang dipilihnya tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu kekhasan puisi-puisi Chairil. Dalam catatannya, Jassin pun mengatakan bahwa puisi-puisi Chairil yang ditulis tangan banyak terdapat corat-coret di sana sini. Nampak bahwa Chairil benar-benar mencari kata-kata yang paling tepat dalam setiap sajaknya. Apa yang dilakukan Chairil merupakan sebuah pembuktian atas kritiknya kepada para seniman yang diungkapkannya dalam prosanya berjudul Berhadapan Mata. Dalam prosa itu, Chairil menyatakan bahwa para seniman di masa itu sungguh bekerja setengah-setengah dan begitu tergesa-gesa. Menurut Chairil, para seniman terlalu dipengaruhi oleh apa yang disebut Chairil sebagai “Hukum Wahyu” , dorongan mencipta yang muncul tiba-tiba, mendadak yang katanya wahyu. Dengan kesungguhnya dalam menciptakan totalitas dalam karyanya, Chairil membuktikan diri bukan sekeder pecundang yang pandai mengkritik, tetapi mampu mewujudkan karya yang benar-benar “utuh”.

    Dalam sebuah pidato pada tahun 1943 Chairil mengatakan “tiap-tiap seniman harus seorang perintis jalan, adik. Penuh keberanian, tenaga hidup. Tidak segan memasuki hutan rimba penuh binatang-binatang buas, mengarungi lautan lebar, tak bertepi, seniman adalah dari hidup yang melepas bebas.” Chairil menampakkan vitalitas hidup yang luar biasa. Ia melalui karyanya menampakkan sebuah jalan baru. Berawal dari kritiknya terhadap karya-karya yang sudah ada sebelumnya, umumnya sajak-sajak angkatan Pujangga Baru, Chairil muncul dengan gaya penulisan yang sama sekali baru. Keberanian ini pulalah yang menjadikannya sosok yang dikagumi.

    Usaha merintis jalan baru tidak saja diwujudkan dalam karya-karya puisinya. Tahun 1946 Chairil bertemu dengan beberapa orang seniman antara lain Asrun Sani, Rivai Apin, M.Akbar Djuana, Mochtar Apin, Baharudib dan Henk Ngantung. Dalam pertemuan itu terkristallah bahwa perjuangan Indonesia bukan melulu lewat perjuangan politik melainkan pula lewat jalur kebudayaan. Dari pembicaraan itulah kemudian dalam kelanjutannya lahir perkumpulan “Gelanggang” yang di dalamnya berkumpul bukan saja seniman namun pemikiran-pemikir revolusioner. Dari momentum itu kemudian lahir majalah kebudayaan Siasat serta momentum sejarah kebudayaan dengan terbitnya manifesto Surat Kepercayaan Gelanggang.

    Vitalitas yang begitu besar itu pada akhirnya harus terhenti ketika tubuh Chairil tidak lagi mampu menopang semangatnya. Akibat sakit yang dideritanya, ia pun meninggal di usia muda. Nampak Chairil tak bisa benar hidup selama seribu tahun seperti dalam puisinya. Namun agaknya semangat itu senantiasa tetap hidup dan dihidupkan. Di sanalah bersemayam jiwa Chairil, dalam karya-karya dan warisan semangatnya yang: abadi.

    Sekian banyak cerita heroik mengenai Chairil menjadi potret luar biasa sekaligus “suram” mengenai diri seorang “seniman sejati.” Apakah Chairil menikmati kehidupan yang dijalaninya tersebut? Tidak pernah ada yang tahu. Tetapi kita pun tahu, orang-orang besar selalu menjalani hidup yang “tidak biasa”. Dalam kacamata awam, Chairil adalah sosok yang menyedihkan. Barangkali begitu pula citra dari para seniman yang sepenuh hati menjalani kehidupan. Tentu, tidak semua hal dari Chairil baik dan patut diteladani. Bahkan karya-karyanya pun barangkali musti cukup dijadikan sebagai monumen yang perlu berdiri untuk Chairil saja. Sebab sebagaimana keinginan Chairil, seniman adalah perintis jalan baru, seorang kreator, bukan melulu seorang improvisator.

     

    Untuk Chairil Anwar
    28 April 2017

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/ngibul/ngibul-13-sungguh-sungguh-chairil/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/04/featdede.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/04/featdede-150×150.jpgFitriawan Nur IndriantoNgibulchairil anwar,kibul,ngibul,Sastra,Sastra Indonesia,suratDasar mau bebas dan mau menikmati hidup itulah sudah membikin Chairil dengan sadjaknya “aku” itu suatu lambang adanja dan hidupnja kemauan dan tjita-tjita seperti itu djuga di kalangan bangsa kita sendiri
    (Akhdiat K. Mihardja).
    Agak aneh ketika Ahmad Gaus dalam esainya berjudul Chairil Anwar Revolusi Puisi Indonesia yang termuat dalam…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • [Ngibul #12] Lerok, Seking, dan Kendeng

    author = Bagus Panuntun

    Lerok

    Namanya Lerok, sebuah desa di ujung utara Provinsi Jawa Timur, yang pada awal era 1980-an menjadi desa penghasil gamping dan bengkuang dengan kualitas jempolan bin jempolan. Rakyat desa itu hidup sak madya alias sederhana. Mereka bangun sebelum subuh, menjalankan ibadah berjamaah di satu-satunya mushola yang ada di desa, bersiap-siap menuju ladang, lalu seharian akan sibuk membuat gamping dalam jubungan dan merawat bijih-bijih bengkuang, lalu pulang sebelum petang.

     

    Rakyat Lerok tak pernah mengimpikan hidup yang berlebih-lebih. Mereka merasa cukup dengan uang hasil panen yang tak  kurang untuk beli beras. Juga membayar upah guru dan kyai yang mendidik anak-anaknya. Barang paling mewah yang dimiliki mereka adalah radio yang rutin menyiarkan kisah-kisah Tutur Tinular. Sisanya, dengan 3 televisi yang ada di desa berpenduduk 300 orang itu, rakyat Lerok sudah merasa lebih dari cukup untuk menganggap hidup ini berlimpah anugrah.

     

    Tapi sesuatu terjadi di sebuah hari pada akhir 1980-an.

     

    Ekspansi kapital ke pasar-pasar buah di wilayah Pantura membuat bengkuang Lerok yang manis dan besar-besar tak lagi laku. Pasar tiba-tiba menawarkan bengkuang-bengkuang yang meskipun kecil dan tidak terlalu manis, namun harganya jauh lebih murah. Maka jatuhlah harga bengkuang Lerok.

     

    Nasib gamping pun setali tiga uang. Ia dilindas oleh hadirnya semen putih yang harganya jauh lebih enteng di kocek.

     

    Ketika ratusan rakyat Lerok mendadak kere, hadirlah satu hal yang tiba-tiba menjadi oase. Adalah Malaysia, sebuah negeri nun jauh di seberang, yang konon akan memberikan pengharapan lebih bagi siapapun yang kesana. Maka di tengah kepasrahan yang mendekati menyerah, beradu cepatlah orang Lerok membobol celengan dan mendedah dompetnya untuk mendaftar jadi buruh disana.

     

    Tak butuh 3 tahun sampai akhirnya para perantau yang jumlahnya puluhan itu kembali ke Lerok dengan membawa pundi-pundi uang yang tak sekadar cukup untuk membayar hutang. Mereka bahkan mampu memboyong sepeda, televisi warna, hingga motor GL Pro dalam pondoknya.

     

    Turut bersuka cita lah Lerok. Kecuali Ulid, bocah kelas 5 SD yang menjadi tokoh utama sekaligus judul dari novel karangan Mahfud Ikhwan ini. Malaysia bagi Ulid adalah tentang perginya kawan-kawan, tetangga-tetangga, juga saudara-saudara terdekatnya. Dan seiring dengan kepergian itu, maka pergi pulalah identitas Lerok yang dulu dikenalnya: gamping, bengkuang, juga ladang-ladang bermainnya.

     

    Toh dengan kesedihan Ulid, Lerok justru makin maju dengan listrik yang mengalir di tiap rumahnya. Pada tahun 1998 ketika Indonesia mengalami krisis moneter dan harga rupiah anjlok, Lerok justru berposta pora dengan ringgit yang nilai tukarnya jadi berkali lipat. Singkat kata, Lerok jadi kaya raya.

     

    Seking

    Kita musti mundur ke tahun 1963 dan menyeberang melalui selat Melaka. Kita sedang menuju tempat yang jaraknya hanya sekepalan tangan dari negeri yang menjadi pengharapan tetangga-tetangga Ulid. Kini kita berada di Pulau Seking. Di sebuah desa para nelayan. Rumah-rumah panggung berdinding daun rumbia, beratap seng, berlantai papan kayu bakau, dan memiliki tiang-tiang penopang yang menancap ke dasar laut nampak berjajar dimana-mana. Di bawah rumah panggung tersebut, di antara tiang-tiang penopang, mengapung perahu-perahu yang biasa dipakai penduduk untuk mencari ikan, sumber penghidupan utama mereka.

     

    Puluhan bocah yang telanjang bulat tengah berenang dan menyelam mencari sotong. Namun ketika bocah-bocah tengah tertawa, puluhan Pak Cik-Mak Cik justru nampak bermuram durja. Beberapa bahkan menitik air mata.

     

    Bocah-bocah itu tentu saja tak paham tentang apa yang sedang ditangisi orang tuanya. Para Pak Cik-Mak Cik itu tengah mengumpulkan kenangan-kenangan akan perahu kayu tua, terumbu karang, dan nama-nama ikan, yang dalam waktu dekat akan mereka tinggalkan

     

    Negeri tempat mereka tinggal tengah mempersiapkan persemakmurannya. Oleh karena itu, negerinya melakukan industrialisasi besar-besaran dengan membangun kilang-kilang minyak atau pabrik-pabrik besar di segala arah. Demi ambisi itu, para pemegang kuasa mengiming-imingi para penduduk pulau kecil seperti Seking untuk menyerahkan tanah dengan jaminan kompensasi uang yang nilainya tak kecil.

     

    Para Pak Cik-Mak Cik yang menangis adalah bagian kecil dari warga yang menolak. Sementara itu, dengan iming-iming tempat tinggal dan pekerjaan baru, juga bocah-bocah yang tak musti bangun subuh dan menyeberang laut untuk sekolah, mayoritas warga Seking menyatakan OK untuk pindah dari tanah lahirnya.

     

    Bocah-bocah Seking yang dulu telanjang berenang, hari ini tengah menjalani masa tuanya di salah satu negeri paling kaya dan modern di dunia. Sebuah negeri yang membuat kita kerap mengutuk ibukota sendiri sebab tak bisa mengimbangi walau seujung kukunya: Singapura.

     

    Kendeng

    Apa yang pernah terjadi di Lerok dan Seking saya kira hampir sama dengan apa yang tengah terjadi di Kendeng. Sebagaimana yang dialami warga Lerok maupun Seking, warga Kendeng tengah berhadapan dengan modernisasi yang kian ganas menggilas lokalitas. Lerok dipaksa kehilangan gamping dan bengkuangnya, Seking dipaksa menjauh dari air asin dan ikan-ikannya, sementara rakyat Kendeng tengah dipaksa meninggalkan sawah-sawahnya.

     

    Iming-iming modernisasi yang selalu menjanjikan hidup yang lebih baik, kini hampir membenam di tiap kepala masyarakat Kendeng. Hal ini saya ketahui ketika 28 Oktober tahun lalu saya pergi ke Sukolilo, Pati, untuk merayakan Sumpah Pemuda bersama para Kartini Kendeng.

     

    Hari itu lebih dari 50 warga Kendeng menunggang truk menuju Sukolilo untuk merayakan Sumpah Pemuda plus selamatan atas kemenangan tuntutan mereka di Mahkamah Agung (MA) untuk diadakannya peninjauan kembali (PK) atas pembangunan pabrik semen di wilayah Kendeng.

     

    Tuntutan tersebut memang dipenuhi berkat hasil kajian lingkungan oleh Semarang Caver Association (SCA) dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang yang menemukan 49 goa di sekitar wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih dan 4 diantaranya merupakan goa yang memiliki sungai bawah tanah aktif. Selain itu,  kajian tersebut juga menemukan bahwa produksi semen di Indonesia masih mengalami surplus sebanyak 30 juta ton dari kebutuhan domestik.

     

    Akan tetapi, persoalan yang dialami para Kartini Kendeng bukan persoalan lingkungan semata. Ada permasalahan lain yang hampir sama dengan apa yang dialami Ulid juga Pak Cik-Mak Cik yang menangis di tepi pulau Seking: mereka musti berhadapan dengan tetangga-tetangganya yang memilih realistis mengikuti tuntutan zaman dibanding bertahan dengan cara hidup “terasing” à la mereka. Hal tersebut saya ketahui ketika pada hari tersebut, saya berkesempatan untuk bercengkrama dengan para Kartini Kendeng, termasuk Yu Kinah dan Almarhum Yu Patmi.

     

    Kurang lebih begini ceritanya.

     

    Hari itu Sukolilo mendadak diguyur hujan setelah Mas Gun Retno dan Yu Kinah menyampaikan hasil kajian ilmiah dari SCA dan JMPPK kepada seluruh hadirin. Ketika Momo Parabiru dan Marjinal Predator siap menghentak panggung selamatan, butir-butir air kian membesar menjatuhi venue acara yang terletak di tepian hutan. Sementara sebagian besar penonton memilih tetap moshing dan pogo di atas tanah yang becek, saya tetap memilih berteduh mengingat nanti malam saya masih harus menempuh perjalanan pulang 180 km Pati-Jogja. Secara tak terduga, ternyata saya duduk di dekat Yu Kinah. Setelah menghangatkan badan dengan menyesap sebatang rokok pemberian salah satu anak punk, saya sengaja duduk mendekati para Kartini Kendeng, menyalami mereka, dan memperkenalkan diri. Disitulah saya sempat bertanya tentang keadaan sebenarnya yang terjadi di tanah mereka.

     

    “Yu, apakah benar bahwa ibu-ibu ini sudah dua tahun tinggal di bawah tenda perjuangan?

     

    Nggih, benar. Leres mas.”

     

    “Lha rumah siapa yang mengurus bu?”.

     

    “Ya seminggu kan masih pulang satu-dua kali untuk membersihkan rumah, ambil persediaan makanan, dan lain sebagainya.”

     

    “Oh ya, Yu, kalau warga Kendeng sendiri seratus persen menolak pabrik semen ya yu?”.

     

    “Ya ndak to mas. Banyak warga Kendeng yang pro dengan pabrik semen. Tapi kita kan ndak bisa menyalahkan mereka mas, nah semen juga berani kasih kompensasi. Hasilnya kan sudah kelihatan kalau dikasih langsung. Lah kalau membela ibu bumi?”

     

    Apa yang perlu kita garisbawahi dari percakapan di atas adalah pilihan sikap Yu Kinah untuk tidak menyalahkan tetangga-tetangganya yang berseberangan paham. Sebab bagi Yu Kinah, warga Kendeng yang berbeda haluan darinya adalah bagian dari korban: mereka yang hampir tak punya pilihan di tengah narasi tunggal tentang kekayaan. Narasi tentang kekayaan yang barangkali hadir dalam wujud cerita-cerita tentang Lerok dan Seking. Narasi tentang kekayaan yang diukur dan ditakar dengan uang. Sementara itu, Yu Kinah punya narasi kekayaan versinya sendiri: bahwa pepohonan, tanah, air bening, dan ikatan spiritual manusia dengan buminya yang tak akan habis sampai tujuh turunan adalah harta milik mereka. Dan atas itu lah mereka sudah merasa menjadi orang kaya.

     

    Yang kini jadi masalah justru diri kita sendiri. Kita yang selama ini hidup di tengah peradaban modern dan barangkali tak pernah menyentuh gagang pacul sedikitpun. Apakah kita bisa menerima—atau bahkan membela—narasi tentang kekayaan dari perspektif yang lain? 

     

    Tempo hari, ketika para Kartini Kendeng berhari-hari mengecor kakinya di depan istana, kita berjumpa dengan puluhan barangkali ratusan orang yang menganggap tindakan tersebut sebagai tindakan membabi buta. Barangkali kita salah satunya. Dengan enteng kita berkata bahwa persoalan Kendeng semata persoalan UUD, ujung-ujungnya duit. Anggapan bahwa ada korporat di baliknya, anggapan bahwa mereka adalah tuan-tuan tanah, atau anggapan bahwa mereka adalah orang yang tak mau menyesuaikan zaman, dengan entengnya kita arahkan pada mereka yang tengah mempertahankan keyakinannya:  bahwa—sekali lagi—mereka telah merasa kaya.

     

    Sementara para Kartini Kendeng mau memahami cara berpikir kita, apakah kita juga bisa memahami cara berpikir mereka? Dan jika kita tetap menganggap mereka sebagai pecundang konyol yang menyerah pada zaman, maka sebaiknya kita mengingat satu adagium yang pernah diucap cerpenis Puthut EA, “Banyak masyarakat “modern” menertawakan dan mengejek kepercayaan suku-suku “terasing” yang dianggap menyembah gunung, pohon, atau laut, sambil diam-diam mereka menyembah uang, jabatan, dan kekuasaan”.

     

    * Foto karya Amalya Suchy Mustikapurnamasari.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    Bagus Panuntun
    Pelapak buku di instagram @warungsastra, yang pada mulanya ia beri nama @jualbukutereliye
  • [Ngibul #112] Chagos: Yang Terbungkam, Lalu Melawan

    author = Bagus Panuntun

    Pasca pembunuhan Qassem Soleimani dan serangan balasan Iran ke kamp militer Amerika Serikat di Baghdad, satu kemungkinan besar yang bisa membuat Perang Dunia III benar-benar terjadi adalah serangan balik Amerika Serikat ke 52 situs budaya Iran[1] Dipna Videlia Putsanara, Tirto, diakses dari https://tirto.id/trump-ancam-serang-52-situs-jika-iran-membalas-kematian-soleimani-eqKe pada tanggal 10 Februari 2020 .

    Serangan itu memang belum terjadi. Ia baru keluar dari congor Donald Trump sebagai ancaman jika Iran tetap mengarahkan rudal-rudalnya ke kamp militer AS di Timur Tengah—Afghanistan, Kuwait, Qatar, UEA, Iran, Turki, dan Yordania. Namun yang jelas, gertakan itu Trump ungkapkan penuh percaya diri. Seolah tinggal butuh pencet tombol saja untuk melakukannya.

    Yang menjadi pertanyaan, senjata rahasia apa yang AS miliki sehingga Trump masih begitu jumawa menggertak Iran?

    Tentu saja ada banyak faktor, tapi salah satu jawabannya adalah Pulau Diego Garcia, sebuah pangkalan militer AS yang terletak di tengah Samudra Hindia.

    Pangkalan ini menjadi sangat penting. Sebab, selain menyimpan senjata-senjata mahacanggih, lokasinya juga tak tak terjangkau oleh misil-misil Iran. Artinya, jika perang harus terjadi, Diego Garcia telah memiliki amunisi lengkap untuk menggempur Iran. Sedangkan Iran, sebaliknya, tak punya teknologi yang cukup untuk melakukan serangan balik.

    Diego Garcia adalah tempat disimpannya pesawat-pesawat tempur B-52. Itu adalah jenis pesawat super dengan harga satuan 3 milyar dolar yang mampu mengangkut senjata hingga 350 ton, dengan kecepatan terbang 650 km/jam, daya jangkau 8800 mil, dan daya ketinggian 50.000 kaki. Pada periode awal tahun 2.000-an, pesawat inilah yang digunakan untuk membombardir Irak sekaligus Afganistan pasca 9/11 [2]  Pathel, Shenaz, (2018), Le silence des Chagos (Catatan Penutup), Paris: Edition d’Olivier, hlm. 147.

    Diego Garcia saat ini menjadi salah satu pangkalan udara paling krusial milik Amerika Serikat. Lokasinya yang berada di antara Afrika, Timur Tengah, sekaligus Asia Tenggara memungkinkannya untuk mengontrol konflik Israel-Palestina, India-Pakistan, bahkan mengintervensi urusan negara lain termasuk Australia dan Indonesia [3] Ibid, Catatan Penutup, hlm.146

    Namun yang tak banyak orang tahu, pulau ini tak sekadar menyimpan cerita kedigdayaan negara—yang menjuluki dirinya—super power tersebut. Sebaliknya, ia justru memendam riwayat kelam yang membuat pulau ini dijuluki Island of Shame[4]Baca: Vine, David, (2011), Island of Shame: The Secret History of The U.S.Military Base on Diego Garcia, Princeton University Press.

    Dan riwayat ini, adalah cerita tentang kebiadaban Amerika Serikat dan Inggris mengusir orang-orang Chagos.

    Terbungkam

    Kalau bukan karena mata kuliah L’étude du silence/Study of Silent semester lalu, barangkali saya tak akan mengenal nama Diego Garcia apalagi Chagos. Jangankan mengenal, membaca selintas namanya di koran pagi, atau kertas bungkus gorengan, pun belum tentu pernah.

    Dalam perkuliahan yang mengajak kami memperdebatkan makna silence itu—silence bisa berarti diam, sunyi, senyap, atau terbungkam—, kami mendapat satu tugas untuk meresensi novel Le silence des chagos karya Shenaz Pathel, sastrawan francophone sekaligus jurnalis asal Mauritius. Pathel sendiri adalah salah satu sastrawan francophone paling berpengaruh di kawasan negara Pesisir Samudra Hindia selain Jean-Marie Gustave Le Clezio (Prancis-Mauritius), Ananda Devi (Mauritius), Rabearivelo (Madagaskar), dan Evariste Pasny (Réunion).

    Le silence des chagos adalah novel sejarah yang bercerita tentang 2000 orang suku Chagos yang pada 1967-1973 diusir paksa dari Pulau Diego Garcia. Pengusiran ini dilakukan oleh kolonial Inggris setelah ia sepakat untuk menyewakan pulau ini pada Amerika Serikat untuk dijadikan pangkalan militer selama 50 tahun (1966-2016). 

    Suku Chagos sendiri adalah sebutan untuk orang-orang yang menghuni gugusan kepulauan Chagos—gugusan yang terdiri dari 56 pulau kecil dan terletak di tengah Samudra Hindia.

    Suku ini pada mulanya adalah sekumpulan budak dari Mozambik dan Madagaskar yang diangkut kolonial Prancis pada 1783 untuk proyek tanam paksa—khususnya untuk memproduksi minyak kelapa. Mereka lalu diperkuda oleh pemerintah kolonial sampai akhirnya bebas ketika sistem perbudakan dihapus pada 1835[5] Pathel, Shenaz, Op.cit, Catatan Penutup, hlm. 145 .

    Sedari 1835, para bekas budak ini lalu menjadi penghuni tetap kepulauan Chagos di mana sebagian besar tinggal di Diego Garcia. Suku yang dijuluki Les Chagossiens ini hidup berkecukupan dengan menjual kopra, bertani, beternak, dan menjaring hasil-hasil laut. Ujar Pathel, dalam novelnya, Orang-orang Chagos “selalu menyantap makanan segar dan tak pernah memakan hal yang sama dua hari berturut-turut”[6] Ibid, hlm.18 .

    Seiring berjalan waktu, mereka juga mampu membentuk budayanya sendiri. Salah satunya adalah bahasa Prancis-Kreol—bahasa yang terbentuk dari campuran bahasa Prancis dan bahasa asli para budak. Bahasa ini terbentuk dari keadaan yang memaksa mereka berkomunikasi meski tumbuh dengan bahasa yang berbeda-beda. Bermodal curi dengar bahasa Prancis dari kaum kolonial sekaligus mencampur-adukkan bahasa-bahasa asal Mozambik dan Madagaskar, lama-kelamaan mereka bisa membentuk bahasanya sendiri dengan struktur linguistik yang sistematis. Dalam Le silence des Chagos, Pathel juga menyisipkan bahasa Prancis-Kreol ini:

    Ki to pansé si nou fer séga lakaz sa samdi la? (Phatel, 2018 : 42)

    Qu’est-ce que tu penses si nous faisons séga à la plage ce samedi là ? (Phatel, 2018 : 42)

    Bagaimana kalau malam minggu ini kita mengadakan sega (musik dan tarian khas Chagos) ? (Phatel, 2018 : 42)

    Dalam Le silence des chagos, Pathel merekam fragmen-fragmen kecil yang mengajak kita memahami mengapa pengusiran orang-orang Chagos adalah sebentuk aib dan tindakan sangat memalukan yang pernah dilakukan Amerika Serikat dan Inggris.

    Fragmen-fragmen itu ia ceritakan melalui kisah hidup tokoh Charlesia, perempuan lokal yang menjadi korban pengusiran tersebut.

    Charlesia misalnya menceritakan bagaimana pengusiran ini dilakukan dengan perlahan namun sangat memedihkan. Sejak 3 tahun sebelum pengusiran massal 1971, Inggris telah mengisolasi Diego Garcia dengan menghentikan stok daging, susu, sayur, garam, minyak, hingga obat-obatan. Sambil melangsungkan isolasi itu, Inggris juga menyebar kabar burung tentang pengusiran orang-orang Chagos. Kabar ini, merambat seperti api melahap tisu. Ia menyambung dari mulut ke mulut dan membuat semua orang diteror khawatir.

    Sampai akhirnya pada 1971, Inggris memerintahkan tindakan memalukan ini : menangkap 1.500 ekor anjing milik orang-orang Chagos, menumpasnya dengan gas beracun, lalu membakarnya dalam satu tumpukan. Kata Charlesia, ratusan anak-anak menangis histeris saat melihat peliharaan mereka berubah menjadi bumbungan asap hitam.

    Tak butuh waktu lama setelah pembunuhan anjing-anjing itu, orang-orang Chagos lalu diangkut-paksa menggunakan kapal Nordvaer menuju Mauritius. Perintah itu datang begitu cepat sampai-sampai tak ada detik untuk memilah harta benda kecuali kain yang menempel di badan.

    Il fallait partir. Là. Maintenant. Tout de suite. C’était un ordre. Sans discussion. Sans appel. Sans raison. Il fallait partir. (Pathel, 2018 : 87)

    Kami harus berangkat. Kesana. Sekarang. Detik ini juga. Ini perintah. Tanpa diskusi. Tanpa banding. Tanpa alasan. Kami harus berangkat. (Pathel, 2018 : 87)

    Sesampainya di Mauritius, nasib mereka tak kunjung membaik. Orang-orang Chagos ditelantarkan. Mereka terpaksa mencari gedung-gedung bobrok tak berpenghuni. Di sana, mereka tinggal di bangunan dengan dinding-dinding berjamur, atap yang rembes, tanpa pintu dan jendela, bahkan nihil listrik dan sanitasi.

    Singkat kata, orang-orang Chagos hidup di tempat yang lebih pas untuk bunuh diri pelan-pelan, dibanding menata kehidupan.

    Novel ini juga menceritakan fragmen lain tragedi Chagos melalui kisah tokoh Désiré. Ia adalah anak yang terlahir di atas kapal ketika orang tuanya tengah diangkut paksa.

    Ketika beranjak dewasa, ia terpaksa harus menyembunyikan identitasnya sebagai “îloas” atau “orang pulau”. Sebab jika tidak, ia bakal sulit mendapat kerja bahkan sekadar menjadi kuli.

    Berbeda dengan Charlesia yang mewakili generasi terakhir yang lahir di kepulauan Chagos, Désiré mewakili generasi baru yang tak pernah sekalipun melihat tanah moyangnya. Ia adalah generasi yang tersiksa krisis identitas. Di satu sisi, ia tak mengenal Chagos, namun di sisi lain, ia tak diakui sebagai orang Mauritius. Ia adalah orang yang “dicampakkan laut, namun ditolak tanah”[7] Ibid, hlm. 119 . Krisis identitas ini misalnya bisa kita baca dalam kutipan di bawah ini:

    Désiré ne savait plus où il en était. Mauricien ? Il avait toujours vécu ici, mais n’en avait pas la nationalité. Seychellois ? Il n’avait jamais vu ce pays. Britannique ? On voudrait encore moins de lui là-bas ? Chagossien ? Il ne connaissait pas ces iles où il aurait dû le jour. Son lieu de naissance était un bateau, qui avait disparu (Pathel, 2018 : 122)

    Désiré tak tahu lagi siapa ia. Orang Mauritius ? Ia selalu hidup di sini, tapi tanpa kewarganegaraan. Orang Seychelle ? Ia bahkan tak pernah melihat negara itu. Britania Raya ? Adakah mereka akan menerimanya walau sedikit ? Orang Chagos ? Ia tak tahu apapun tentang kepulauan itu—tempat seharusnya ia tinggal sekarang. Tempatnya lahir adalah sebuah kapal. Yang kini sudah tak ada lagi (Pathel, 2018 : 122)

    Melawan

    C’est Maurice, les Anglais, et les Américains qui ont fait de nous de morts-vivants […] Anglais et Américains avaient arrangé leur affaire. Et Maurice n’a rien fait pour nous défendre. Trop contente d’avoir son indépendance (Pathel, 2018 : 136)

    Adalah Mauritius, Inggris, dan Amerika yang telah membuat kita menjadi mayat hidup. Inggris dan Amerika merancang bisnisnya. Sementara Mauritius tak berbuat apapun untuk membela kita. Mereka terlalu girang atas kemerdekaannya (Pathel, 2018 : 136)

    Darimana ide penulisan novel Les silence des chagos?

    Menurut Pathel, penulisan novel ini mulanya terinspirasi dari kisah perlawanan perempuan-perempuan Chagos. Salah satu perlawanan ini terutama digagas Charlesia Alexis, sosok sesungguhnya yang menginspirasi tokoh Charlesia dalam novel.

    Kisahnya berangkat pada periode awal 1980. Charlesia, bersama Lisette Talate dan Rita Bancoult, menggagas gerakan pieds-nus atau gerakan kaki telanjang. Gerakan ini mengajak para perempuan Chagos untuk berjalan tanpa alas kaki menuju Pelabuhan Port Louis. Di atas aspal yang membara, mereka lalu melakukan mogok makan sambil menggugat pemerintah Inggris, Amerika Serikat, dan Mauritius yang telah menelantarkan mereka.

    Gerakan ini mulanya hanya diikuti perempuan saja. Faktor keamanan menjadi alasan utama. Sebab kita tahu bahwa polisi di seluruh dunia akan berlagak paling berani saat diminta menggilas bapak-bapak melarat. Namun ketika Charlesia akhirnya dibekuk aparat pada 1981, gerakan ini lalu diikuti semua kalangan terlepas dari faktor gender[8] Charlesia Alexis, The Times, diakses dari https://www.thetimes.co.uk/article/charlesia-alexis-3902vp9sdlz, pada tanggal  1 Desember 2019 .

    Adapun perlawanan Charlesia tidak datang tiba-tiba. Ia adalah endapan rasa marah, getir, dan sengsara yang disepuh bau kematian. Perlawanannya muncul setelah ia melihat kengerian-kengerian yang membeliak di depan matanya selama lebih dari 10 tahun: Perempuan-perempuan yang terpaksa menjadi pelacur. Bayi-bayi kedinginan yang tidur dalam kardus. 1 ruang kecil berpenghuni 25 orang. Juga 26 orang Chagos yang mati kelaparan dan 9 temannya yang bunuh diri pada 1975[9] Tonton: Pilger, John, (2004), Stealing a Nation, diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=PjNfXK6QpqY pada tanggal 1 Desember 2019 .

    Dalam film dokumenter Stealing a Nation (2004) karya John Pilger, Charlesia bahkan menyebut satu wabah yang menurutnya hanya diderita orang-orang Chagos. Mereka menyebutnya lasagrin, atau le chagrin, atau sakit nelangsa. Ia adalah penyakit yang timbul dari rindu yang pedih, juga perasaan terhina karena tak bisa pulang ke rumah. Ujar Alexia, itu penyakit mematikan yang bahkan membuatnya sampai menyusui bayi-bayinya dengan “air susu kesedihan”[10] Ibid .

    Perlawanan Charlesia di jalanan awalnya nampak membuahkan hasil. Pada tahun 1982, Britania sepakat untuk memberikan kompensasi 6 juta poundsterling pada orang-orang Chagos. Sayangnya, kompensasi itu ternyata muslihat belaka. Bersamaan dengan uang tersebut, mereka dipaksa menandatangani surat pernyataan berbahasa Inggris yang isinya sama sekali tak mereka pahami. Surat itu, ternyata, berisi pernyataan bahwa Orang-orang Chagos tak akan lagi menuntut Right to go home—hak untuk pulang.

    Geram oleh kecurangan tersebut, Charlesia justru membentuk gerakan baru. Pada 1983, ia bersama Lisette Talate dan Olivier Bancoult—putra dari Rita Bancoult—menginisiasi Chagos Refugee Group (CRG), sebuah gerakan yang menuntut terpenuhinya hak pendidikan anak-anak Chagos sekaligus hak untuk pulang[11] Baca: https://www.chagossupport.org.uk/chagos-timeline- diakses pada 1 Desember 2019 .

    Gerakan ini bekerja dengan berbagai manufer baik kultural maupun legal. Di bawah kepemimpinan Olivier Bancoult, CRG menginisiasi berbagai demonstrasi untuk memperluas jangkauan isu yang mereka perjuangkan. Gerakan ini kemudian mendapat dukungan dari banyak tokoh besar seperti Paul Bérenger, Lindsey Collen, Ben Fogle, Benjamin Zephaniah, hingga pemimpin partai buruh Inggris, Jeremy Corbin [12] Ibid .

    Tapi perjuangan CRG butuh waktu yang panjang. Sangat panjang. CRG baru bisa melakukan gugatan resmi ke pengadilan Britania pada tahun 1999. Gugatan itu menuai hasil ketika pada November tahun 2000, Pengadilan Tinggi Britania memutuskan bahwa pengusiran orang-orang Chagos dari Diego Garcia adalah pelanggaran hukum dan penyalahgunaan kekuasaan. Hasilnya, mereka memenangkan gugatan dan mendapat izin untuk kembali ke Diego Garcia [13] Ibid .

    Tapi pasca kemenangan tersebut, perjuangan CRG masih jauh panggang dari api. Sebab selanjutnya, mereka justru dipertontonkan dengan bagaimana cara hukum bekerja di seluruh dunia: manipulatif dan sewenang-wenang.

    Pada Oktober 2003, Pengadilan Tinggi Britania Raya membatalkan kembali keputusannya. Ujar mereka, proses pemindahan orang-orang Chagos akan memakan biaya hingga 5 juta poundsterling—setara harga transfer Mateja Kezman ke Chelsea di masa itu. Sedangkan pajak rakyat, tak selayaknya dianggarkan ke sana.

    Pembatalan ini juga didukung Amerika Serikat yang dengan tegas emoh mengembalikan Diego Garcia. Adapun alasannya, Diego Garcia dianggap berperan penting dalam mencegah terorisme sekaligus menjaga kedamaian di Teluk Arab, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Timur—sebuah pernyataan yang bikin saya ingin menggeprek batok kepala Bush dengan telor burung onta.

    Tapi alih-alih menyerah, CRG justru semakin menolak tunduk. Ini akan menjadi riwayat perlawanan panjang yang secara umum bisa kita singkat sebagai berikut: menuntut ulang dan menang kembali di Pengadilan Tinggi Britania Raya pada 2006. Dituntut balik dan kalah tahun 2008 di depan Dewan Bangsawan. Mengajukan tuntutan ke Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia (ECHR) pada 2012 untuk kemudian tumbang. Sampai akhirnya membawa kasus ini ke PBB dan Mahkamah Internasional Den Haag pada 2016 [14] Owen Bowcott dan Julian Borger, The Guardian, diakses dari https://www.theguardian.com/world/2019/may/22/uk-suffers-crushing-defeat-un-vote-chagos-islands pada tanggal 1 Desember 2019 .

    Yang cukup mengejutkan, pada 25 Februari 2019 lalu, CRG memenangkan tuntutannya. Mahkamah internasional Den Haag memutuskan bahwa tragedi pengusiran orang Chagos adalah bentuk pelanggaran HAM berat. Keputusan ini lalu disusul dengan keputusan Majelis Umum PBB pada 22 Mei 2019 yang memberi batas waktu 6 bulan bagi Inggris dan Amerika Serikat untuk menarik seluruh armadanya dari Diego Garcia.

    Lalu, apa yang terjadi pada November 2019?

    Bisa kita tebak. Inggris dan Amerika Serikat kembali meludahi keputusan Mahkamah Internasional dan Majelis Umum PBB. Keduanya bahkan menyepakati perpanjangan kontrak hingga 2036 mendatang. Secara singkat, orang-orang Chagos masih belum tahu kapan mereka bisa pulang.

    Dan setelah jatuh-bangun itu, apakah perjuangan Chagossiens sia-sia?

    Saya kira ini yang penting kita catat: Sebelumnya, orang-orang Chagos adalah contoh paripurna dari apa yang disebut sebagai kaum subaltern [15] Baca: Spivak, Gayatri, (2010), Can The Subaltern Speak?:Reflections on The History of an Idea, Colombia University Press . Diusir dari rumah dan ditolak di tanah baru, Chagos adalah mereka yang lebih lemah daripada minoritas. Pinggir dari pinggir.

    Tak cukup tertindas dan terdominasi, keterbatasan dalam berbahasa bahkan membuat mereka nyaris secara absolut tak bisa bersuara. 

    Namun hari ini, sejarah mencatat bahwa mereka mampu membuat gerakan dengan semangat perlawanan yang paling tahan rontok. Dengan jumlah keturunan tak lebih dari 10.000—lebih sedikit dari rata-rata jumlah penonton Slank—mereka mampu memperjuangkan nasib mereka hingga Mahkamah Internasional. Orang-orang Chagos, seolah mampu menjawab pertanyaan Gayatri Spivak bahwa subaltern ternyata bisa berbicara.

    Berkaca dari kisah tersebut, saya lantas mengingat betapa sering perjuangan kolektif di Indonesia patah sebelum berkembang. Perjuangan kolektif, seringkali hanya hangat tahi ayam. Ia muncul sebagai euforia, lalu berakhir dengan politik penokohan.

    Belajar dari orang-orang Chagos, barangkali kita perlu menggarisbawahi hal ini: perjuangan yang didukung sedikit orang namun persisten, akan jauh lebih menuai hasil dibanding perjuangan yang didukung jutaan orang tapi cuma tahan seminggu.

    References

    References
    1 Dipna Videlia Putsanara, Tirto, diakses dari https://tirto.id/trump-ancam-serang-52-situs-jika-iran-membalas-kematian-soleimani-eqKe pada tanggal 10 Februari 2020
    2  Pathel, Shenaz, (2018), Le silence des Chagos (Catatan Penutup), Paris: Edition d’Olivier, hlm. 147
    3 Ibid, Catatan Penutup, hlm.146
    4 Baca: Vine, David, (2011), Island of Shame: The Secret History of The U.S.Military Base on Diego Garcia, Princeton University Press
    5 Pathel, Shenaz, Op.cit, Catatan Penutup, hlm. 145
    6 Ibid, hlm.18
    7 Ibid, hlm. 119
    8 Charlesia Alexis, The Times, diakses dari https://www.thetimes.co.uk/article/charlesia-alexis-3902vp9sdlz, pada tanggal  1 Desember 2019
    9 Tonton: Pilger, John, (2004), Stealing a Nation, diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=PjNfXK6QpqY pada tanggal 1 Desember 2019
    10, 12, 13 Ibid
    11 Baca: https://www.chagossupport.org.uk/chagos-timeline- diakses pada 1 Desember 2019
    14 Owen Bowcott dan Julian Borger, The Guardian, diakses dari https://www.theguardian.com/world/2019/may/22/uk-suffers-crushing-defeat-un-vote-chagos-islands pada tanggal 1 Desember 2019
    15 Baca: Spivak, Gayatri, (2010), Can The Subaltern Speak?:Reflections on The History of an Idea, Colombia University Press

  • [Ngibul #111] Paska(h) Pandemi

    author = Andreas Nova

    Barangkali tidak semuanya tahu bahwa
    alih-alih Natal, Hari Raya Paskah justru menjadi hari raya terbesar bagi umat
    Kristiani. Pada hari raya Paskah, umat Kristiani memperingati kebangkitan Yesus
    yang menjadi dasar iman Kristiani. Paskah diawali masa prapaskah yang ditandai
    dengan Rabu Abu, sekitar 40 hari sebelum Hari Raya Paskah. Lalu sepanjang lima
    pekan, umat Katolik khususnya menjalani masa prapaskah dengan puasa dan
    pantang. Pekan terakhir diawali dengan Minggu Palma, yang memperingati masuknya
    Yesus ke Yerusalem sebelum ia disalibkan. Lalu disambung dengan Kamis Putih
    memperingati Perjamuan Terakhir, Jumat Agung memperingati penyaliban dan wafat
    Yesus di kayu salib (biasanya, di saat ini saya sudah mulai banyak menerima
    ucapan Selamat Paskah dari teman-teman non Kristen), disambung dengan malam
    Vigili Paskah, hingga puncaknya pada Hari Raya Kebangkitan Tuhan.

    Perayaan-perayaan tersebut biasanya
    dirayakan dengan gegap gempita, dipenuhi oleh umat yang lebih banyak dari pada
    misa mingguan biasa. Maklum, kami umat katolik terbagi dua, yang rajin ke
    gereja dan kaum napas, alias ke gereja hanya pada masa NAtal dan PASkah. Dalam Ritus Romanus, Misa Malam Natal tak jauh
    beda dari misa mingguan, yang membedakan paling hanya pembacaan Martyrologium (Maklumat Kelahiran Yesus
    Kristus), Doa Keluarga, juga misa yang dirayakan lebih meriah. Tapi dalam
    rangkaian tri hari suci ada tambahan ritual-ritual yang kadang dirasa terlalu
    lama.

    Pada Misa Kamis Putih, ada upacara
    pembasuhan kaki. Pada Misa Jumat Agung ada pembacaan Passio (berasal dari kata
    Latin patio, yang berarti menderita,
    menahan/menanggung (derita)) Kisah Sengsara Yesus Kristus dari ditangkap di
    Taman Getsemani, diadili, didera, disalibkan di Bukit Golgota, wafat, hingga
    diturunkan dari salib. Passio itu tidak hanya dibacakan, tapi dinyanyikan, juga
    ada upacara penghormatan salib. Pada Misa Vigili Paskah, ada upacara cahaya[1],
    lalu prefasi paskah yang panjang, jika beruntung ada dua belas bacaan dari
    Perjanjian Lama dan satu bacaan epistola sebelum bacaan Injil (namun beberapa
    tahun belakangan ini biasanya dipersingkat menjadi tiga bacaan dari perjanjian
    lama dan satu bacaan epistola), sehabis Homili disambung dengan pembaharuan Janji
    Babtis, disambung dengan Doa Umat meriah.

    Tahun ini hal-hal yang membuat
    rangkaian misa tersebut terasa lama dan nggak
    selesai-selesai itu tidak dirasakan. Kenapa? Tentu kita semua tahu sebabnya
    kan? Tahun ini untuk pertama kalinya, saya (dan keluarga) misa secara online di Gereja Santo Youtube. Gereja
    yang nggak perlu IMB untuk
    membangunnya. Tahun ini, saya ketinggalan misa Minggu Palma, tapi saya
    mengikuti secara utuh misa dari Kamis Putih hingga Vigili Paskah. Durasinya
    tentu tidak seperti ketika mengikuti misa secara fisikal. Lebih singkat, bahkan
    ada bagian-bagian opsional yang dihilangkan karena gereja yang mengadakan live streaming tentu mengikuti anjuran
    pemerintah untuk melakukan pembatasan fisik. Misa yang biasanya full team dengan Romo, Putra Altar,
    Diakon, Prodiakon, Lektor, Koor, dan kru lainnya, tahun ini hanya maksimal tiga
    yang hadir dalam kamera. Tahun ini tak ada koor, tak ada madah Gloria yang
    dilagukan, tak ada upacara pembasuhan kaki, Passio hanya dibacakan tanpa
    dilagukan, tak ada upacara penghormatan salib, tak ada upacara cahaya, tidak
    ada kolekte/persembahan (Gereja menganjurkan untuk disumbangkan ke gerakan
    solidaritas peduli pandemik Covid-19), tak ada communio dan tak ada kemeriahan paskah seperti tahun-tahun
    sebelumnya. Dan saya sadar, saya merindukan hal-hal yang hilang, yang dulu
    terasa lama (dan terkadang membosankan) dalam rangkaian misa itu.

    Misa tanpa menerima komuni pada awalnya terasa aneh. Ada kegamangan karena ini adalah hal baru yang dilakukan dari kebiasaan/ritual yang telah dilakukan bertahun-tahun. Ada yang aneh ketika biasanya hanya menonton hiburan di Youtube, kini tak hanya menonton ibadah, namun juga berpartisipasi dengan melantunkan antifon umat selama ibadah daring tersebut. Tak biasa tapi kondisi mengharuskan. Romo Gregorius Kriswanta, Pr, Vikaris Yudisial Keuskupan Agung Semarang dalam sebuah homili pernah berkata bahwa dalam kondisi-kondisi istimewa penuh tekanan seperti ini justru membuka cara-cara baru untuk beriman pada Tuhan. Beriman secara daring mungkin salah satunya. Ketika keadaan tidak memungkinkan seseorang untuk berpartisipasi dalam misa secara fisik, dimungkinkan berpartisipasi secara spiritual. Communio (persekutuan) tanpa menerima hosti menjadi momen untuk menyadari makna simbol itu terbatas, tapi berkat Tuhan tidak terbatasi oleh simbol. Komuni spiritual juga bukan semata-mata muncul dalam masa pandemi ini. Pada masa gereja perdana, masa dimana pengikut Yesus menerima represi dari Kekaisaran Romawi, persekutuan secara spiritual inilah yang menjadi pengikat antara keluarga, komunitas, juga dengan Tuhan.

    Ketika melakukan partisipasi ibadah
    secara spiritual, mau tak mau hati kita dibuka sehingga menjadi lebih peka dari
    biasanya. Ketika Bapa Uskup Robertus Rubiyatmoko memasuki Katedral dalam Misa
    Jumat Agung, saya merasa trenyuh dan nggrantes melihat beliau berjalan
    melalui bangku-bangku gereja yang kosong. Saya merasakan kesendiriannya, saya
    dibawa untuk merasakan kesendirian Yesus ketika disalibkan.

    Dalam masa-masa #stayathome, saya
    banyak dikirimi dan membaca tulisan pemikir-pemikir dunia yang mencoba meraba
    perubahan apa yang akan terjadi selepas pandemi ini berakhir. Ada yang meraba
    pandemi ini akan mengubah cara pandang masyarakat terhadap elit politik. Ada
    juga yang meramalkan perubahan yang positif dari sisi ekonomi paska pandemi.
    Perubahan-perubahan seperti itu tentu saja pasti terjadi, bukan hanya dari sisi
    politik, sosial ekonomi, tapi juga dari budaya, bahkan spiritual. Saya betul
    berharap masa-masa #dirumahaja membuat kita lebih matang secara spiritual,
    dengan lebih banyak waktu untuk beribadah bersama keluarga atau mendekatkan
    diri lebih khusyuk kepada Yang Maha Kuasa. Kematangan spiritual justru membuat
    kita menjadi pribadi lebih toleran terhadap yang berbeda. Mari kita tetap
    #dirumahaja, tetap produktif dari rumah, ikuti anjuran pemerintah walaupun wagu,tetap sehat, dan tetap #mocobenpinter.


    [1] Ritual pemberkatan api dan lilin
    paskah sebagai perlambang cahaya baru (Yesus Kristus) yang menerangi kegelapan,

  • [Ngibul #110] Menyusuri Jejak Zola dan Cézanne di Aix-En-Provence (II)

    author = Bagus Panuntun

    Aventures Textuelles: Antara L’Œuvre, Cézanne, dan Zola

    I

    Pencarian jejak saya akan Zola dan Cézanne tidak berakhir di Tholonet. Secara kebetulan, semester lalu saya harus kembali menemui mereka, namun kali ini dalam lembar-lembar teks. Cerita ini dimulai dari satu mata kuliah bernama Aventures Textuelles, atau yang kalau diterjemahkan secara harfiah: “Petualangan Teks”.

    Secara singkat, mata kuliah ini menugaskan kita untuk meneliti perubahan-perubahan teks sastra sejak pertama ia diterbitkan hingga edisi paling anyar. Latar belakangnya, sebuah buku bisa saja mengalami perubahan bentuk pada setiap terbitannya. Perubahan tersebut misalnya bisa berupa perubahan sampul, penambahan kata pengantar, catatan kaki, epilog, lampiran surat, atau bahkan perubahan isi cerita. Mata kuliah ini menugaskan kita untuk meneliti latar belakang apa yang mendasari perubahan tersebut dan dampak apa yang muncul darinya.

    Saat itu, saya menulis sebuah esai tentang novel L’Œuvre (1886) karya Émile Zola dan kaitannya dengan legenda persahabatan Zola dan Cézanne. Singkat cerita, novel ini hingga sekarang dipercaya banyak orang sebagai penyebab hancurnya persahabatan kedua maestro tersebut. Padahal, keduanya telah saling mengenal selama lebih dari 40 tahun. Pertanyaannya, benarkah mitos itu?

    L’Œuvre bercerita tentang sejarah perkembangan dunia seni lukis Prancis pada paruh kedua abad 19. Kisah ini diceritakan melalui cerita persahabatan dua tokoh utama, Claude Lantier dan Pierre Sandoz. Claude adalah pelukis jenius, penuh talenta, sekaligus ambisius, sedangkan Pierre adalah penulis yang terobsesi menemukan sintesis antara sastra dengan sains. Keduanya bersahabat sejak kecil di Plassane—kota fiktif yang dianggap representasi dari Aix-En-Provence.

    Persahabatan mereka terus berlanjut hingga pada periode 1860-an keduanya mengadu nasib di Paris. Di jantung negeri Prancis itu, Claude bergabung dengan satu kelompok pelukis yang tengah memperkenalkan sebuah aliran seni lukis baru bernama impresionisme. Adapun, Sandoz mulai mengerjakan novel-novelnya sekaligus menjadi kritikus seni.

    Selama karirnya, Claude sering menjadi pelukis yang disalahpahami. Karya-karyanya ditolak berkali-kali untuk ditampilkan di Salon. Akan tetapi, Claude tetap yakin bahwa ia bisa melukis sebuah mahakarya seni yang luar biasa, yaitu sebuah masterpiece yang terinspirasi dari pose telanjang istrinya. Sayangnya, Claude tidak pernah bisa menyelesaikan karya tersebut. Obsesinya yang menggebu justru memunculkan perasaan cemas dan inferioritas yang melemparnya ke jurang depresi. Di akhir novel, Claude Lantier akhirnya menggantung diri di depan lukisan telanjang istrinya yang tak pernah selesai.

    Kisah kegagalan Claude Lantier tersebut kemudian menimbulkan polemik atas novel L’Œuvre. Sebabnya, banyak yang menganggap Claude Lantier adalah representasi Cézanne sedangkan Pierre Sandoz adalah representasi Zola. Kematian Claude di akhir cerita dianggap sebagai olok-olok sekaligus bukti pengkhianatan Zola pada sahabat masa kecilnya.

    Tak selesai sampai di situ, banyak orang yang percaya bahwa sejak novel ini terbit, persahabatan Zola dan Cézanne telah remuk sepenuhnya. Keduanya tak pernah bertemu, bahkan berhenti berkorespondensi. Padahal sebelumnya, kemesraan keduanya seperti dua manusia yang saling melengkapi. Zola yang logis, melengkapi Cézanne yang melankolis. Zola yang penyabar, melengkapi Cézanne yang emosional. Keduanya disatukan oleh dua hal: kenangan masa kecil dan kecintaan sedalam laut pada seni. 

    Atas dasar latar belakang tersebut, saya kemudian menulis esai yang berusaha menelusuri keterkaitan novel L’Œuvre dengan mitos retaknya persahabatan Zola dan Cézanne. Petualangan teks ini saya lakukan dengan meneliti satu manuscrit preparation—manuskrip persiapan novel—dan dua terbitan modern novel L’Œuvre.

    Manuscrit preparation adalah dokumen yang masih berupa tulisan tangan dan berisi rancangan isi novel. Dalam manuskrip ini, terdapat banyak informasi yang belum tentu bisa kita temukan dalam edisi novel. Dokumen yang ditulis tahun 1885—setahun sebelum novel terbit— ini memuat rancangan cerita per bab, penjelasan detil karakter, latar belakang tokoh, penjabaran lokasi cerita, bahkan menyinggung hal-hal detil seperti musik, lukisan, atau potret apa saja yang hadir dalam novel. Manuskrip ini sampai sekarang masih dirawat dengan baik di BNF (Perpustakaan Nasional Prancis), bahkan bisa diakses 24 jam via daring.

    Halaman pertama manuskrip dan lembar keterangan usia masing-masing tokoh.

    Sementara untuk edisi terbitan modern, saya memfokuskan penelitian pada novel terbitan 1996 edisi Livre du Poche dan terbitan 2016 edisi Gallimard. Perbedaan dari kedua terbitan ini terutama terletak pada kata pengantar yang ditulis dua orang berbeda. Mukadimah edisi 1996 ditulis Marie-Ange Voisin-Fougière, profesor Sastra Prancis Orleans University. Sementara yang kedua ditulis Bruno Foucart, profesor sastra Université Paris Sorbonne IV. Edisi Gallimard juga dilengkapi catatan penutup yang ditulis Henri Mitterand, professor Université Paris Nouvelle Sorbonne yang dikenal sebagai ahli karya-karya Zola paling tekun di Prancis. Yang menarik, ketiga peneliti sastra ini sama-sama membahas polemik novel L’Œuvre terkait hubungannya dengan mitos persahabatan remuk tersebut.

    II

    Polemik atas novel L’Œuvre telah lama menjadi perdebatan para cendekiawan. Salah satu yang paling sering dikutip adalah pendapat John Rewald, seorang peneliti karya-karya Cézanne, yang dalam pengantar buku La correspondence de Cézanne (1937) menegaskan bahwa L’Œuvre membuat Cézanne tak pernah sudi lagi menemui Zola. Argumen Rewald terutama didukung oleh selembar surat yang dipercaya sebagai surat terakhir korespondensi antara keduanya. Surat tertanggal 4 April 1886 ini tertulis seperti berikut:

    Je viens de recevoir L’Œuvre que tu as bien voulu m’adresser. Je remercie l’auteur des Rougon-Macquart de ce bon témoignage de souvenir, et je lui demande de me permettre de lui serrer la main en songeant aux anciennes années.

    Tout à toi sous l’impression des temps écoulés.

    Paul Cezanne

    À Gardanne, arrondissement d’Aix (Cézanne, 1886, cité dans Pagès, 2016)

    Aku baru saja menerima L’Œuvre yang kau kirim padaku. Terima kasih untuk penulis Rougond-Macquart atas tanda pengenang ini, dan izinkan aku menjabat tangan sambil menengok kembali ke masa lalu.

    Untukmu, bersama waktu yang terus mengalir.

    Paul Cezanne

    Gardanne, Aix-En-Provence

    Menurut Rewald, surat di atas adalah lettre d’adieu—surat perpisahan—yang menyiratkan kekecewaan mendalam Cézanne pada Zola. Ia misalnya menggarisbawahi sebutan “L’auteur des Rougond-Macquart” alih-alih “Émile” atau “Zola” untuk menyebut nama sahabatnya. Pemilihan diksi itu bagi Rewald tak cuma menunjukkan nuansa yang dingin, tapi sekaligus menunjukkan bahwa Cézanne telah mengambil jarak dari Zola.

    Pendapat Rewald juga didukung oleh Pierre Daix, penulis buku Pour une histoire culturelle de l’art moderne (1971)—Sejarah Seni Modern—yang mendakwa L’Œuvre sebagai “bukti kerabunan Zola terhadap talenta dan kejeniusan Cézanne”. Bernard Fauconnier, penulis buku biografi Cézanne (2006), juga menulis bahwa sejak awal persahabatan mereka, Zola tak pernah paham seni lukis dan terutama potensi Cézanne. Bagi Fauconnier, Zola tak lebih dari seorang oportunis yang berteman dengan Cézanne demi mendekati Manet, pelukis impresionis lainnya. Marcelin Pleynet, penulis biografi Cézanne marginal (2006), bahkan mendakwa Zola dengan lebih agresif. Menurutnya, Zola adalah teman yang justru menghancurkan Cézanne physiquement et socialement—secara fisik maupun sosial. Bagi Pleynet, L’Œuvre adalah karya yang mendiskreditkan segala pencapaian artistik Cézanne.

    Namun berkebalikan dengan para Cézaniennes di atas, para pengkaji karya-karya Zola justru mempercayai hal yang sebaliknya. Bagi mereka, mitos persahabatan remuk ini tak lebih dari sekadar sensasi tanpa cukup bukti. 

    Esai yang ditulis Marie-Ange Voisin-Fougière dalam pengantar edisi Livre du poche, misalnya, merujuk kembali pada dokumen manuskrip persiapan. Dalam manuskrip tersebut, terdapat petunjuk bahwa tokoh Claude Lantier tak hanya terinspirasi dari Paul Cézanne tetapi juga Claude Manet. Ia merujuk pada kalimat yang terdapat pada manuskrip halaman 265, bahwa Claude Lantier terinspirasi dari “Un Manet, un Cézanne dramatisé; plus près de Cézanne”, “Seorang Manet, seorang Cézanne yang didramatisir; namun lebih dekat ke Cézanne”.

    Kita memang bisa menebak bahwa dari Cézanne, Zola mengingat masa kecil mereka di Aix-En-Provence, yang ia hadirkan dalam cerita Claude dan Sandoz di Plassane. Ia juga meminjam karakter Cézanne yang introvert tetapi juga jenius dan obsesional. Sementara dari Manet, Zola mengambil kisah lukisan kontroversial Dejeuner sur l’herbe. Dalam kehidupan nyata, Dejeuner sur l’herbe adalah lukisan bergambar dua orang lelaki berjas hitam tengah berpiknik bersama seorang perempuan berpakaian minim dan seorang perempuan telanjang. Pada tahun 1863, karya ini bikin geger dan menjadi skandal karena dianggap mesum dan vulgar. Dalam L’Œuvre, Zola menghadirkan lukisan Plein air dengan deskripsi yang nyaris sama, di mana lukisan ini menjadi penanda kejeniusan sekaligus sifat eksentrik Claude Lantier.

    Lukisan Dejeuner sur l’herbe, Edouard Manet

    Secara lebih jauh, Fougière menambahkan bahwa  Claude bahkan terinspirasi dari lebih banyak tokoh pelukis, seperti Jules Holtzapfel dan Johan Jongkind. Dari Jules Holtzapfel, Zola mengingat kisah pelukis yang bunuh diri setelah karyanya ditolak Salon. Dari Jongkind, Zola menciptakan Claude Lantier yang begitu mencintai Paris dan Eiffel.

    Tak hanya itu, Claude Lantier bahkan terinspirasi dari tokoh-tokoh pelukis fiktif yang pernah ada sebelumnya. Misalnya tokoh Frenhofer, pelukis tua setengah gila yang bunuh diri di cerpen Le Chef d’œuvre d’inconnu (1931) karya Balzac (Cerpen ini diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Andreas Nova dan diterbitkan Diva Press dengan judul Mahakarya tak Dikenal), juga tokoh Coriolis, pelukis dalam novel Manette Salomon (1867) karya Goncourt yang tiba-tiba kehilangan sensibilitas akan warna.

    Merujuk kembali pada dokumen manuskrip, Fougière mengatakan bahwa Claude Lantier sebenarnya adalah representasi dari Zola sendiri. Ia membangun argumennya berdasarkan kutipan di bawah ini:

    « Avec Claude Lantier je veux prendre la lutte d’artiste contre la nature, l’effort de création dans l’œuvre d’art, effort de sang et de larmes pour donner sa chair, faire de la vie toujours en bataille avec le vrai et toujours vaincu, la lutte contre l’ange. En un mot j’y raconterai ma vie intime de production, ce perpétuel accouchement si douloureux » (Zola, 1885 : 262).

    Dengan Claude Lantier, aku ingin mengambil kisah perjuangan seorang seniman melawan dirinya sendiri, dayanya dalam mencipta, darah dan air mata yang bercucuran, dengan hidup yang tak pernah jauh dari medan perang melawan kecemasannya sendiri—dan ia selalu menang. Singkatnya, aku akan menceritakan kisahku sendiri dalam proses mencipta yang penuh penderitaan. (Zola, 1885 : 262).

    Keterangan tentang karakter Claude Lantier

    Merujuk paragraf di atas, menurut Fougière, kalimat “ aku akan menceritakan kisahku sendiri dalam proses mencipta yang penuh penderitaan»  adalah gambaran kehidupan Zola yang selalu dihantui kecemasan sebagai seorang penulis. Jika kita seorang yang rutin berkarya, entah penulis, musisi, pelukis, atau pekerjaan-pekerjaan seni lainnya, tentu kita paham akan hal ini: ketakutan bahwa di masa depan tak bisa menghasilkan karya yang lebih baik adalah sebuah kesengsaraan.

    Beban dan sakit seperti itulah yang Zola rasakan saat ia takut tak bisa lagi menulis novel sebaik L’assommoir atau selaris Nana.

    Maka merujuk kembali pada L’Œuvre, perjuangan Claude Lantier untuk menyelesaikan lukisannya—meski berakhir dengan mati— adalah gambaran kecemasan Zola yang membuatnya bahkan sampai memampang besar-besar tulisan di rumahnya  “Nulla dies sinea linea”, “Tak ada satu haripun tanpa sebaris tulisan”—Sebuah frasa yang ia yakin bisa membuatnya tetap menulis, entah dengan hasil seburuk apapun.

    III

    Sementara itu, Bruno Foucart dalam pengantar untuk edisi Gallimard menulis pendapatnya dengan mengajak kita memahami kembali aliran naturalisme Zola. Ia pertama-tama menjelaskan bahwa novel-novel Zola memang ditulis dengan pendekatan historis yang teliti. Untuk menulis L’Œuvre, misalnya, Zola melakukan observasi panjang terhadap dunia seni lukis Prancis abad 19. Ia mempelajari teknik-teknik pelukisan, hubungan seni lukis dengan politik, kehidupan personal pelukis-pelukis besar, bahkan terjun langsung menjadi kritikus seni lukis. Observasi itulah yang membuat banyak fragmen dalam novel L’Œuvre sangat mirip dengan kejadian di dunia nyata. Meskipun demikian, kehidupan yang terjadi di dalam novel, adalah kehidupan dalam universe berbeda. Jika L’Œuvre dianggap un roman historique—novel sejarah—ia tetap tak bisa menjadi un livre d’histoire—buku sejarah. Dengan demikian, karya ini tak bisa dianggap sebagai roman à clef atau novel biografis yang seolah harus mempertanggung jawabkan isi novel tepat seperti kehidupan nyata. Bagi Foucart, membaca L’Œuvre sebagai buku sejarah justru akan menjadi pembacaan yang memaksakan sekaligus keliru sejak awal.

    Kedua, naturalisme Zola berpijak pada prinsip determinisme. Prinsip ini percaya bahwa manusia tak bisa lepas dari des forces invisibles—kekuatan-kekuatan tak nampak—yang membentuk manusia, terutama dari faktor-faktor garis keturunan.  Prinsip ini ia uraikan dalam 20 novel Rougond-Macquart yang semua tokoh utamanya adalah keturunan Adélaïde Fouque—tokoh dalam novel La fortune des rougon (1871), seri pertama Rougond-Macquart—yang secara turun-temurun memiliki kelainan psikologis yang disebut fêlure.

    Fêlure sendiri adalah sebuah istilah psychopisiologi yang berarti « lobang ». Ia seperti lobang dalam jiwa yang bisa membuat penderitanya secara tiba-tiba merasa kosong. Perasaan kosong ini kemudian akan terisi dengan gejala yang ganjil, yaitu obsesi pada kematian. Obsesi pada kematian inilah yang menjadi benang merah antar tokoh-tokoh dalam Rougond-Macquart, yang biasanya termanifestasikan dalam hasrat ingin membunuh—entah orang lain atau dirinya sendiri. Berdasarkan penjelasan tersebut, Foucart menyimpulkan bahwa kematian Claude Lantier dalam novel L’Œuvre tidak disebabkan oleh kebencian Zola pada Cézanne, melainkan oleh konsep fêlure tersebut.

    Terakhir, Henri Mitterand dalam catatan penutupnya untuk edisi Gallimard menuliskan satu argumen yang mengejutkan. Ia dengan yakin menyatakan bahwa persahabatan Zola dan Cézanne belum berakhir pada tahun 1886. Argumennya tersebut merujuk pada surat tertanggal 28 November 1887 yang ditulis Cézanne untuk Zola. Surat ini ternyata adalah surat lain yang baru ditemukan pada 2013 lalu. Adapun isi surat tersebut adalah sebagai berikut:

    Paris, 28 Novembre 1887

    Mon cher Émile, 

    Je viens de recevoir de retour d’Aix le volume La Terre, que tu as bien voulu m’adresser. Je te remercie pour l’envoi de ce nouveau rameau poussé sur l’arbre généalogique des Rougon-Macquart. 

    Je te remercie d’accepter mes remerciements et mes plus sincères salutations.

    Paul Cézanne

    Quand tu seras de retour j’irai te voir pour te serrer la main

    Paris, 28 November 1987

    Émile, Sahabatku

    Aku baru saja menerima novel La Terre yang kau kirim padaku ke Aix. Terima kasih telah mengirim cabang baru yang tumbuh dari pohon Les Rougon-Macquart.

    Terimalah ucapan terima kasih dan salam terhangatku.

     

    Paul Cézanne,

    Saat kau pulang nanti, aku akan menjabat tanganmu.

    Surat di atas, ditulis Cézanne sebagai ucapan terima kasih atas dikirimnya novel La Terre (1887) oleh Zola. Dalam surat ini Cézanne tak hanya menulis dengan nada yang jauh lebih tentram dari surat sebelumnya, tapi bahkan mengajak Zola untuk berjumpa. Sampai hari ini kita memang belum tahu apakah pasca surat itu keduanya kembali bersapa. Yang jelas, surat ini telah membuka babak baru yang mematahkan mitos L’Œuvre sebagai biang remuknya persahabatan dua legenda.

    Pertanyaannya, benarkah persahabatan mereka langgeng sampai akhir hayat?

    Tentu saja, kita tak bisa yakin 100 persen untuk menyimpulkannya. Sebab, aventures textuelles terus berkembang. Ia tak pernah selesai, dan terus menuntut kita untuk menemukan teks-teks baru.

    Bibliographies

    Jean, Raymond. (1994). Cézanne et Zola se rencontrent. Actes Sud : Paris

    Michel, Pascal. (2018). L’Œuvre : Appareil Pédagogique. Magnard : Paris

    Mitterand, Henri (2015). Zola et Le Naturalisme. Presses Universitaires de France : Paris

    Zola, Émile. (1885). Premier Manuscrits de L’Œuvre. Édition Gallimard : Paris

    Zola, Émile. (1886). Dossier Préparatoire de L’Œuvre. Édition Gallimard : Paris

    Zola, Émile. (1886). L’Œuvre, L´édition originale. Lib. Charpentier : Paris

    Zola, Émile. (1996). L’Œuvre. Édition Marie-Ange Voisin-Fougère : Paris

    Zola, Émile. (2016). L’Œuvre. Édition Gallimard : Paris

    Internet 

    Pagès, Alain. (2016). Cézanne et Zola, la fin d’une amitié ? sur http://www.societe-cezanne.fr/2016/07/09/cezanne-et-zola-la-fin-dune-amitie/ diakses 20 November 2019

    Chedeville, Francois. (2016). Une fraternité d’artistes : Les lettres croiséses de Cézanne et de Zola (Henri Mitterand), sur http://www.societe-cezanne.fr/2016/12/07/une-fraternite-dartistes-les-lettres-croisees-de-cezanne-et-de-zola-henri-mitterand/ diakses 20 November 2019

    Borély, Jules, (2013). Cézanne et Zola à Aix-En-Provence. sur https://www.terresdecrivains.com/Emile-ZOLA-a-Aix-en-Provence diakses 20 November 2019

    Kennedy, Barbara Noe (2017). How Provence changed the world of Art. sur http://www.bbc.com/travel/story/20170717-how-provence-changed-the-world-of-art diakses 20 November 2019

  • [Ngibul #11] Anak Panah

    author = Andreas Nova

    You are the bows from which your children

    as living arrows are sent forth —Kahlil Gibran, On Children

     

    Kahlil Gibran, penyair berkebangsaan Lebanon – Amerika menuliskan puisi On Children dalam bukunya The Prophet tahun 1923. Buku tersebut ditulis dalam bahasa Inggris dan berisi 26 prosa, puisi dan fabel. The Prophet bercerita tentang Sang Nabi, Almustafa yang tinggal di Orphalese selama 12 tahun. Ketika akan menaiki kapal yang hendak membawanya pulang, ia bertemu dengan sekelompok orang yang kemudian membahas hal-hal yang berkaitan tentang hidup dan kondisi manusia.

     

    Buku ini dibagi menjadi beberapa bab yang membahas tentang cinta, pernikahan, anak-anak, sedekah, makan minum, bekerja, suka duka, rumah, pakaian, jual beli, kejahatan dan ganjaran, hukum, kebebasan, rasa sakit, pengetahuan, pengajaran, persahabatan, baik dan jahat, doa, agama, dan kematian. Kurang lebih banyak nasihat yang baik disampaikan oleh sang Nabi dalam buku ini. Mungkin sedikit banyak akan sama ketika anda membaca novel Alkudus karya rekan saya, Asef Saeful Anwar.

     

    Salah satu isi dari karya yang telah diterjemahkan lebih dari empat puluh bahasa, dan terjual lebih dari satu juta kopi ini adalah On Children yang saya kutip di atas. Ia mengandaikan anak-anak adalah panah hidup yang meluncur dari busur yang merupakan metafora dari orangtua. Bagi Gibran, orangtua hanyalah busur yang akan memiliki makna ketika ia melepaskan anak-anaknya untuk meraih cita-cita si anak panah. Tugas orangtua hanya membimbing anak-anaknya supaya bisa meraih cita-cita si anak, bukan cita-cita si orangtua.

     

    Sebenarnya saya kurang setuju dengan metafora orang tua sebagai busur. Seolah, orang tua hanyalah alat yang dipakai untuk meluncurkan anak menuju cita-cita. Saat Gibran menggunakan metafora ini, ia menghilangkan kehendak bebas (free will) yang dimiliki manusia –orangtua dalam konteks ini. Namun sepertinya Gibran memang sengaja memberikan peran lebih besar pada sang pemanah –yang merupakan metafora dari Sang Pemilik Takdir– daripada busur yang bersinggungan langsung dengan sang anak panah. Arah, tujuan, dan apa yang menjadi bidikan sang pemanah, bukanlah urusan si busur yang tugasnya meluncurkan anak panah. Jadilah si busur menjadi sekadar alat untuk meluncurkan anak-anak panah, membiarkannya melaju bebas menuju bidikan Sang Pemanah Agung.

     

    Jika anda menolak pendapat Gibran tersebut, sudah pasti anda akan dicap sebagai orangtua yang otoriter. Anak harus menurut pada orangtuanya. Namun jika anda seratus persen setuju dengan pendapat Gibran tersebut, justru saya yang meragukan apakah anda mampu melakukan itu. Apakah anda bisa melepaskan anak panah tanpa pamrih?

     

    Sebagian besar manusia mengharapkan adanya hubungan yang resiprokal. Jika saya memberi, maka saya harus diberi juga. Jika saya mencintai, maka saya harus dicintai juga. Jika saya keluar modal lima puluh ribu, maka saya harus mendapat keuntungan –minimal– lima puluh ribu juga. Semua mengharapkan timbal balik yang minimal sama dengan yang telah dilakukan. Ketika anda diberi amanah untuk merawat seorang anak, lalu membesarkannya dengan penuh kasih sayang, sedikit banyak anda mengharapkan kelak anak anda akan mengasihi anda dan merawat anda di kemudian hari.

     

    Orangtua yang ideal terdiri dari seorang ayah dan seorang ibu. Keduanya memiliki perannya sendiri, namun kasih sayang kepada anak tetaplah harus sama. Kasih ibu tak terhingga sepanjang masa. Saya tidak meragukan kasih ibu, namun apakah kasih ayah juga sama tak terhingganya dengan ibu? Dengan kodrat laki-laki yang kebanyakan mendahulukan rasional alih-alih emosional, saya rasa wajar jika para ayah –dan mungkin calon ayah– menginginkan timbal balik yang –minimal– sama dengan apa yang telah diberikannya.

     

    Dalam narasi fiksi, banyak sekali contoh keluarga yang ideal, seperty keluarga Arthur dan Molly Weasley dalam seri Harry Potter-nya J.K Rowling, atau Keluarga Little dalam Stuart Little-nya E.B White yang mengadopsi seekor tikus, atau malah beruang Baloo dan Bagheera si macan kumbang yang membesarkan Mowgli dalam The Jungle Book-nya Rudyard Kipling. Ketiga contoh tersebut mungkin adalah keluarga yang ideal meskipun ada hubungan inter–spesies di dalamnya. Hubungan tersebut justru menunjukkan bahwa keluarga itu bisa dibentuk tanpa mengenal batas. Beda spesies pun tidak menghalangi kasih sayang yang diberikan orangtua pada anaknya.

     

    Selain orangtua yang ideal, ada juga hubungan orangtua–anak yang terkesan tidak sempurna, namun justru ada ketulusan untuk melepaskan anak panah tersebut. Saya akan memberikan contoh dari film Logan (2017) yang disutradarai James Mangold dan novel Pulang (2012) karya Leila S. Chudori. Sebenarnya saya ingin menambahkan novel Father and Son (1862) karya Ivan Turgenev, namun karena novel tersebut belum selesai saya baca sehingga saya ragu untuk bisa memberikan contoh yang utuh dari karya tersebut.

     

    Dalam film Logan, hubungan tersebut terjadi dalam diri Logan (Hugh Jackman) dan Laura (Dafne Keen). Laura bukan anak biologis Logan, keduanya hanya memiliki hubungan genetis, karena Laura adalah klon dari Logan. Logan yang digambarkan pemberang, tidak bisa lepas dari minuman keras di masa senjanya tentu bukan karakter orangtua yang ideal bagi Laura. Bahkan jika melihat sejarah hidup Logan di media cerita bergambar, Logan bahkan menghabisi 23 klon dirinya.

     

    Ada sebuah adegan dimana Laura akan membunuh penjaga toko, namun dicegah Logan. “Not Good!” serunya. Di sini Logan sudah meletakkan dirinya sebagai pembimbing –selain menghindari meninggalkan jejak bagi pemburunya–  namun ia masih bingung untuk mengarahkan anak panahnya. Bahkan ketika Xavier terbunuh, sebenarnya Logan sudah tidak punya alasan untuk mengantarkan Laura ke North Dakota, tempat tujuannya. Tapi Logan tetap mengantarkan Laura walaupun dengan dongkol. Bahkan ketika Logan mati-matian melindungi Laura dan teman-teman mutant lainnya, Logan tidak mengharapkan Laura juga akan bertarung saling melindungi dari The Reavers pengejarnya. Hubungan orangtua–anak yang tidak lazim ini justru membuat film Logan menjadi film bersubgenre superhero yang lebih manusiawi daripada film bertema serupa.

     

    Lain lagi dengan novel Pulang karya Leila S. Chudori. Novel yang menceritakan kehidupan eksil Indonesia paska peristiwa 1965 ini memiliki banyak hubungan orangtua–anak diantara tokoh-tokohnya. Novel menyoroti imbas peristiwa 1965 dalam dua generasi. Generasi pertama yang merasakannya langsung dan generasi kedua yang menerima imbas dari apa yang dialami generasi pertama. Hubungan orangtua–anak terjadi pada dua tokoh yang menjadi karakter pilar dalam novel ini, Dimas Suryo, mantan istrinya Vivienne Deveraux dan Lintang Utara. Selain itu beberapa karakter sekunder juga memiliki hubungan orangtua–anak seperti Nugroho, mantan istrinya Rukmini dan Bimo, Hananto Prawiro (alm.), istrinya Surti dan Segara Alam.

     

    Nama-nama tersebut memiliki kecacatan dalam hubungan ideal orangtua–anak. Dimas Suryo bercerai dengan Vivienne Deveraux, ibu Lintang Utara. Bahkan Lintang sendiri sempat tidak mau menemui Dimas selama enam bulan. Nugroho tidak pernah bertemu dengan Bimo yang tinggal bersama ibu dan ayah tirinya yang seorang tentara. Dalam novel tersebut diceritakan hanya sekali Nugroho bertemu dengan Bimo di Singapura, karena Nugroho tidak memiliki visa untuk kembali ke tanah airnya. Terakhir, Hananto Prawiro dihukum mati tanpa peradilan, sehingga Alam hanya mengenalnya dari cerita ibu dan kakak-kakaknya.

     

    Namun hubungan yang cacat ini malah membuat sang orangtua –terutama ayah– dapat melepaskan anak panahnya dengan sempurna. Dimas Suryo sangat mendukung Lintang untuk melakukan tugas akhir kuliahnya di Indonesia. Meskipun kondisi politik Indonesia dalam novel tersebut diceritakan sedang memanas menjelang peristiwa Mei 1998. Ia melakukan itu tanpa pamrih, walaupun di dalam hatinya ia sangat ingin pulang dan (kelak) dimakamkan di Karet. Ia hanya ingin anaknya, darah dagingnya mengenal tanah air tempat ia dilahirkan dan dibesarkan meskipun pemerintah saat itu tidak memberikannya izin untuk kembali pulang. Dimas membebaskan Lintang untuk memetik makna dari Indonesia sendiri.

     

    Kebanyakan orangtua menginginkan kelak di masa tua, hidupnya dijamin oleh anaknya. Orangtua membesarkan anaknya dengan kasih sayang, diberi pendidikan yang baik –dengan segala cara– sehingga mampu mendapatkan pekerjaan yang layak –dan bergaji besar, sangat besar– dinikahkan dengan lawan jenisnya yang sudah dipilah bibit, bobot, bebet-nya, sehingga hidupnya nyaman tenang dan ketika orangtuanya sudah memasuki masa senja, sang anak mampu menjamin kehidupan orangtuanya.
    Pemikiran seperti itu bagi saya justru tidak menunjukkan ketulusan orangtua. Apakah anak wajib mengasihi orangtuanya? Mungkin bagi anda jawabannya adalah ya. Bagi saya justru jawabannya adalah tidak. Cinta kasih tanpa kesadaran dan ketulusan untuk mencintai, tidak akan menghasilkan kasih yang tulus. Saya mengasihi orangtua saya bukan karena saya wajib mengasihi beliau, namun karena mereka sudah mengasihi saya dan saya dengan ikhlas, tulus dan sadar diri mengasihi mereka. Begitu juga ketika saya mengasihi anak saya, saya tidak mewajibkan ia mengasihi orangtuanya, saya memberi cinta kasih sebesar yang saya mampu dan saya yakin hal itu akan kembali kepada saya tanpa memintanya kembali.

     

    *Foto oleh Ika Dianti Paramitasari

    **Model dalam foto adalah Budi Hermawan

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    Andreas Nova
    Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
    Sarjana Sastra dengan susah payah.
  • [Ngibul #109] Menyusuri Jejak Zola dan Cézanne di Aix-En-Provence (I)

    author = Bagus Panuntun
  • [Ngibul #108] Di Balik Dapur Restaurant Indonesia, Sepenggal Kisah dari ‘Lintang Utara’

    author = Bagus Panuntun