Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #111] Paska(h) Pandemi

author = Andreas Nova

Barangkali tidak semuanya tahu bahwa
alih-alih Natal, Hari Raya Paskah justru menjadi hari raya terbesar bagi umat
Kristiani. Pada hari raya Paskah, umat Kristiani memperingati kebangkitan Yesus
yang menjadi dasar iman Kristiani. Paskah diawali masa prapaskah yang ditandai
dengan Rabu Abu, sekitar 40 hari sebelum Hari Raya Paskah. Lalu sepanjang lima
pekan, umat Katolik khususnya menjalani masa prapaskah dengan puasa dan
pantang. Pekan terakhir diawali dengan Minggu Palma, yang memperingati masuknya
Yesus ke Yerusalem sebelum ia disalibkan. Lalu disambung dengan Kamis Putih
memperingati Perjamuan Terakhir, Jumat Agung memperingati penyaliban dan wafat
Yesus di kayu salib (biasanya, di saat ini saya sudah mulai banyak menerima
ucapan Selamat Paskah dari teman-teman non Kristen), disambung dengan malam
Vigili Paskah, hingga puncaknya pada Hari Raya Kebangkitan Tuhan.

Perayaan-perayaan tersebut biasanya
dirayakan dengan gegap gempita, dipenuhi oleh umat yang lebih banyak dari pada
misa mingguan biasa. Maklum, kami umat katolik terbagi dua, yang rajin ke
gereja dan kaum napas, alias ke gereja hanya pada masa NAtal dan PASkah. Dalam Ritus Romanus, Misa Malam Natal tak jauh
beda dari misa mingguan, yang membedakan paling hanya pembacaan Martyrologium (Maklumat Kelahiran Yesus
Kristus), Doa Keluarga, juga misa yang dirayakan lebih meriah. Tapi dalam
rangkaian tri hari suci ada tambahan ritual-ritual yang kadang dirasa terlalu
lama.

Pada Misa Kamis Putih, ada upacara
pembasuhan kaki. Pada Misa Jumat Agung ada pembacaan Passio (berasal dari kata
Latin patio, yang berarti menderita,
menahan/menanggung (derita)) Kisah Sengsara Yesus Kristus dari ditangkap di
Taman Getsemani, diadili, didera, disalibkan di Bukit Golgota, wafat, hingga
diturunkan dari salib. Passio itu tidak hanya dibacakan, tapi dinyanyikan, juga
ada upacara penghormatan salib. Pada Misa Vigili Paskah, ada upacara cahaya[1],
lalu prefasi paskah yang panjang, jika beruntung ada dua belas bacaan dari
Perjanjian Lama dan satu bacaan epistola sebelum bacaan Injil (namun beberapa
tahun belakangan ini biasanya dipersingkat menjadi tiga bacaan dari perjanjian
lama dan satu bacaan epistola), sehabis Homili disambung dengan pembaharuan Janji
Babtis, disambung dengan Doa Umat meriah.

Tahun ini hal-hal yang membuat
rangkaian misa tersebut terasa lama dan nggak
selesai-selesai itu tidak dirasakan. Kenapa? Tentu kita semua tahu sebabnya
kan? Tahun ini untuk pertama kalinya, saya (dan keluarga) misa secara online di Gereja Santo Youtube. Gereja
yang nggak perlu IMB untuk
membangunnya. Tahun ini, saya ketinggalan misa Minggu Palma, tapi saya
mengikuti secara utuh misa dari Kamis Putih hingga Vigili Paskah. Durasinya
tentu tidak seperti ketika mengikuti misa secara fisikal. Lebih singkat, bahkan
ada bagian-bagian opsional yang dihilangkan karena gereja yang mengadakan live streaming tentu mengikuti anjuran
pemerintah untuk melakukan pembatasan fisik. Misa yang biasanya full team dengan Romo, Putra Altar,
Diakon, Prodiakon, Lektor, Koor, dan kru lainnya, tahun ini hanya maksimal tiga
yang hadir dalam kamera. Tahun ini tak ada koor, tak ada madah Gloria yang
dilagukan, tak ada upacara pembasuhan kaki, Passio hanya dibacakan tanpa
dilagukan, tak ada upacara penghormatan salib, tak ada upacara cahaya, tidak
ada kolekte/persembahan (Gereja menganjurkan untuk disumbangkan ke gerakan
solidaritas peduli pandemik Covid-19), tak ada communio dan tak ada kemeriahan paskah seperti tahun-tahun
sebelumnya. Dan saya sadar, saya merindukan hal-hal yang hilang, yang dulu
terasa lama (dan terkadang membosankan) dalam rangkaian misa itu.

Misa tanpa menerima komuni pada awalnya terasa aneh. Ada kegamangan karena ini adalah hal baru yang dilakukan dari kebiasaan/ritual yang telah dilakukan bertahun-tahun. Ada yang aneh ketika biasanya hanya menonton hiburan di Youtube, kini tak hanya menonton ibadah, namun juga berpartisipasi dengan melantunkan antifon umat selama ibadah daring tersebut. Tak biasa tapi kondisi mengharuskan. Romo Gregorius Kriswanta, Pr, Vikaris Yudisial Keuskupan Agung Semarang dalam sebuah homili pernah berkata bahwa dalam kondisi-kondisi istimewa penuh tekanan seperti ini justru membuka cara-cara baru untuk beriman pada Tuhan. Beriman secara daring mungkin salah satunya. Ketika keadaan tidak memungkinkan seseorang untuk berpartisipasi dalam misa secara fisik, dimungkinkan berpartisipasi secara spiritual. Communio (persekutuan) tanpa menerima hosti menjadi momen untuk menyadari makna simbol itu terbatas, tapi berkat Tuhan tidak terbatasi oleh simbol. Komuni spiritual juga bukan semata-mata muncul dalam masa pandemi ini. Pada masa gereja perdana, masa dimana pengikut Yesus menerima represi dari Kekaisaran Romawi, persekutuan secara spiritual inilah yang menjadi pengikat antara keluarga, komunitas, juga dengan Tuhan.

Ketika melakukan partisipasi ibadah
secara spiritual, mau tak mau hati kita dibuka sehingga menjadi lebih peka dari
biasanya. Ketika Bapa Uskup Robertus Rubiyatmoko memasuki Katedral dalam Misa
Jumat Agung, saya merasa trenyuh dan nggrantes melihat beliau berjalan
melalui bangku-bangku gereja yang kosong. Saya merasakan kesendiriannya, saya
dibawa untuk merasakan kesendirian Yesus ketika disalibkan.

Dalam masa-masa #stayathome, saya
banyak dikirimi dan membaca tulisan pemikir-pemikir dunia yang mencoba meraba
perubahan apa yang akan terjadi selepas pandemi ini berakhir. Ada yang meraba
pandemi ini akan mengubah cara pandang masyarakat terhadap elit politik. Ada
juga yang meramalkan perubahan yang positif dari sisi ekonomi paska pandemi.
Perubahan-perubahan seperti itu tentu saja pasti terjadi, bukan hanya dari sisi
politik, sosial ekonomi, tapi juga dari budaya, bahkan spiritual. Saya betul
berharap masa-masa #dirumahaja membuat kita lebih matang secara spiritual,
dengan lebih banyak waktu untuk beribadah bersama keluarga atau mendekatkan
diri lebih khusyuk kepada Yang Maha Kuasa. Kematangan spiritual justru membuat
kita menjadi pribadi lebih toleran terhadap yang berbeda. Mari kita tetap
#dirumahaja, tetap produktif dari rumah, ikuti anjuran pemerintah walaupun wagu,tetap sehat, dan tetap #mocobenpinter.


[1] Ritual pemberkatan api dan lilin
paskah sebagai perlambang cahaya baru (Yesus Kristus) yang menerangi kegelapan,