Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #110] Menyusuri Jejak Zola dan Cézanne di Aix-En-Provence (II)

author = Bagus Panuntun

Aventures Textuelles: Antara L’Œuvre, Cézanne, dan Zola

I

Pencarian jejak saya akan Zola dan Cézanne tidak berakhir di Tholonet. Secara kebetulan, semester lalu saya harus kembali menemui mereka, namun kali ini dalam lembar-lembar teks. Cerita ini dimulai dari satu mata kuliah bernama Aventures Textuelles, atau yang kalau diterjemahkan secara harfiah: “Petualangan Teks”.

Secara singkat, mata kuliah ini menugaskan kita untuk meneliti perubahan-perubahan teks sastra sejak pertama ia diterbitkan hingga edisi paling anyar. Latar belakangnya, sebuah buku bisa saja mengalami perubahan bentuk pada setiap terbitannya. Perubahan tersebut misalnya bisa berupa perubahan sampul, penambahan kata pengantar, catatan kaki, epilog, lampiran surat, atau bahkan perubahan isi cerita. Mata kuliah ini menugaskan kita untuk meneliti latar belakang apa yang mendasari perubahan tersebut dan dampak apa yang muncul darinya.

Saat itu, saya menulis sebuah esai tentang novel L’Œuvre (1886) karya Émile Zola dan kaitannya dengan legenda persahabatan Zola dan Cézanne. Singkat cerita, novel ini hingga sekarang dipercaya banyak orang sebagai penyebab hancurnya persahabatan kedua maestro tersebut. Padahal, keduanya telah saling mengenal selama lebih dari 40 tahun. Pertanyaannya, benarkah mitos itu?

L’Œuvre bercerita tentang sejarah perkembangan dunia seni lukis Prancis pada paruh kedua abad 19. Kisah ini diceritakan melalui cerita persahabatan dua tokoh utama, Claude Lantier dan Pierre Sandoz. Claude adalah pelukis jenius, penuh talenta, sekaligus ambisius, sedangkan Pierre adalah penulis yang terobsesi menemukan sintesis antara sastra dengan sains. Keduanya bersahabat sejak kecil di Plassane—kota fiktif yang dianggap representasi dari Aix-En-Provence.

Persahabatan mereka terus berlanjut hingga pada periode 1860-an keduanya mengadu nasib di Paris. Di jantung negeri Prancis itu, Claude bergabung dengan satu kelompok pelukis yang tengah memperkenalkan sebuah aliran seni lukis baru bernama impresionisme. Adapun, Sandoz mulai mengerjakan novel-novelnya sekaligus menjadi kritikus seni.

Selama karirnya, Claude sering menjadi pelukis yang disalahpahami. Karya-karyanya ditolak berkali-kali untuk ditampilkan di Salon. Akan tetapi, Claude tetap yakin bahwa ia bisa melukis sebuah mahakarya seni yang luar biasa, yaitu sebuah masterpiece yang terinspirasi dari pose telanjang istrinya. Sayangnya, Claude tidak pernah bisa menyelesaikan karya tersebut. Obsesinya yang menggebu justru memunculkan perasaan cemas dan inferioritas yang melemparnya ke jurang depresi. Di akhir novel, Claude Lantier akhirnya menggantung diri di depan lukisan telanjang istrinya yang tak pernah selesai.

Kisah kegagalan Claude Lantier tersebut kemudian menimbulkan polemik atas novel L’Œuvre. Sebabnya, banyak yang menganggap Claude Lantier adalah representasi Cézanne sedangkan Pierre Sandoz adalah representasi Zola. Kematian Claude di akhir cerita dianggap sebagai olok-olok sekaligus bukti pengkhianatan Zola pada sahabat masa kecilnya.

Tak selesai sampai di situ, banyak orang yang percaya bahwa sejak novel ini terbit, persahabatan Zola dan Cézanne telah remuk sepenuhnya. Keduanya tak pernah bertemu, bahkan berhenti berkorespondensi. Padahal sebelumnya, kemesraan keduanya seperti dua manusia yang saling melengkapi. Zola yang logis, melengkapi Cézanne yang melankolis. Zola yang penyabar, melengkapi Cézanne yang emosional. Keduanya disatukan oleh dua hal: kenangan masa kecil dan kecintaan sedalam laut pada seni. 

Atas dasar latar belakang tersebut, saya kemudian menulis esai yang berusaha menelusuri keterkaitan novel L’Œuvre dengan mitos retaknya persahabatan Zola dan Cézanne. Petualangan teks ini saya lakukan dengan meneliti satu manuscrit preparation—manuskrip persiapan novel—dan dua terbitan modern novel L’Œuvre.

Manuscrit preparation adalah dokumen yang masih berupa tulisan tangan dan berisi rancangan isi novel. Dalam manuskrip ini, terdapat banyak informasi yang belum tentu bisa kita temukan dalam edisi novel. Dokumen yang ditulis tahun 1885—setahun sebelum novel terbit— ini memuat rancangan cerita per bab, penjelasan detil karakter, latar belakang tokoh, penjabaran lokasi cerita, bahkan menyinggung hal-hal detil seperti musik, lukisan, atau potret apa saja yang hadir dalam novel. Manuskrip ini sampai sekarang masih dirawat dengan baik di BNF (Perpustakaan Nasional Prancis), bahkan bisa diakses 24 jam via daring.

Halaman pertama manuskrip dan lembar keterangan usia masing-masing tokoh.

Sementara untuk edisi terbitan modern, saya memfokuskan penelitian pada novel terbitan 1996 edisi Livre du Poche dan terbitan 2016 edisi Gallimard. Perbedaan dari kedua terbitan ini terutama terletak pada kata pengantar yang ditulis dua orang berbeda. Mukadimah edisi 1996 ditulis Marie-Ange Voisin-Fougière, profesor Sastra Prancis Orleans University. Sementara yang kedua ditulis Bruno Foucart, profesor sastra Université Paris Sorbonne IV. Edisi Gallimard juga dilengkapi catatan penutup yang ditulis Henri Mitterand, professor Université Paris Nouvelle Sorbonne yang dikenal sebagai ahli karya-karya Zola paling tekun di Prancis. Yang menarik, ketiga peneliti sastra ini sama-sama membahas polemik novel L’Œuvre terkait hubungannya dengan mitos persahabatan remuk tersebut.

II

Polemik atas novel L’Œuvre telah lama menjadi perdebatan para cendekiawan. Salah satu yang paling sering dikutip adalah pendapat John Rewald, seorang peneliti karya-karya Cézanne, yang dalam pengantar buku La correspondence de Cézanne (1937) menegaskan bahwa L’Œuvre membuat Cézanne tak pernah sudi lagi menemui Zola. Argumen Rewald terutama didukung oleh selembar surat yang dipercaya sebagai surat terakhir korespondensi antara keduanya. Surat tertanggal 4 April 1886 ini tertulis seperti berikut:

Je viens de recevoir L’Œuvre que tu as bien voulu m’adresser. Je remercie l’auteur des Rougon-Macquart de ce bon témoignage de souvenir, et je lui demande de me permettre de lui serrer la main en songeant aux anciennes années.

Tout à toi sous l’impression des temps écoulés.

Paul Cezanne

À Gardanne, arrondissement d’Aix (Cézanne, 1886, cité dans Pagès, 2016)

Aku baru saja menerima L’Œuvre yang kau kirim padaku. Terima kasih untuk penulis Rougond-Macquart atas tanda pengenang ini, dan izinkan aku menjabat tangan sambil menengok kembali ke masa lalu.

Untukmu, bersama waktu yang terus mengalir.

Paul Cezanne

Gardanne, Aix-En-Provence

Menurut Rewald, surat di atas adalah lettre d’adieu—surat perpisahan—yang menyiratkan kekecewaan mendalam Cézanne pada Zola. Ia misalnya menggarisbawahi sebutan “L’auteur des Rougond-Macquart” alih-alih “Émile” atau “Zola” untuk menyebut nama sahabatnya. Pemilihan diksi itu bagi Rewald tak cuma menunjukkan nuansa yang dingin, tapi sekaligus menunjukkan bahwa Cézanne telah mengambil jarak dari Zola.

Pendapat Rewald juga didukung oleh Pierre Daix, penulis buku Pour une histoire culturelle de l’art moderne (1971)—Sejarah Seni Modern—yang mendakwa L’Œuvre sebagai “bukti kerabunan Zola terhadap talenta dan kejeniusan Cézanne”. Bernard Fauconnier, penulis buku biografi Cézanne (2006), juga menulis bahwa sejak awal persahabatan mereka, Zola tak pernah paham seni lukis dan terutama potensi Cézanne. Bagi Fauconnier, Zola tak lebih dari seorang oportunis yang berteman dengan Cézanne demi mendekati Manet, pelukis impresionis lainnya. Marcelin Pleynet, penulis biografi Cézanne marginal (2006), bahkan mendakwa Zola dengan lebih agresif. Menurutnya, Zola adalah teman yang justru menghancurkan Cézanne physiquement et socialement—secara fisik maupun sosial. Bagi Pleynet, L’Œuvre adalah karya yang mendiskreditkan segala pencapaian artistik Cézanne.

Namun berkebalikan dengan para Cézaniennes di atas, para pengkaji karya-karya Zola justru mempercayai hal yang sebaliknya. Bagi mereka, mitos persahabatan remuk ini tak lebih dari sekadar sensasi tanpa cukup bukti. 

Esai yang ditulis Marie-Ange Voisin-Fougière dalam pengantar edisi Livre du poche, misalnya, merujuk kembali pada dokumen manuskrip persiapan. Dalam manuskrip tersebut, terdapat petunjuk bahwa tokoh Claude Lantier tak hanya terinspirasi dari Paul Cézanne tetapi juga Claude Manet. Ia merujuk pada kalimat yang terdapat pada manuskrip halaman 265, bahwa Claude Lantier terinspirasi dari “Un Manet, un Cézanne dramatisé; plus près de Cézanne”, “Seorang Manet, seorang Cézanne yang didramatisir; namun lebih dekat ke Cézanne”.

Kita memang bisa menebak bahwa dari Cézanne, Zola mengingat masa kecil mereka di Aix-En-Provence, yang ia hadirkan dalam cerita Claude dan Sandoz di Plassane. Ia juga meminjam karakter Cézanne yang introvert tetapi juga jenius dan obsesional. Sementara dari Manet, Zola mengambil kisah lukisan kontroversial Dejeuner sur l’herbe. Dalam kehidupan nyata, Dejeuner sur l’herbe adalah lukisan bergambar dua orang lelaki berjas hitam tengah berpiknik bersama seorang perempuan berpakaian minim dan seorang perempuan telanjang. Pada tahun 1863, karya ini bikin geger dan menjadi skandal karena dianggap mesum dan vulgar. Dalam L’Œuvre, Zola menghadirkan lukisan Plein air dengan deskripsi yang nyaris sama, di mana lukisan ini menjadi penanda kejeniusan sekaligus sifat eksentrik Claude Lantier.

Lukisan Dejeuner sur l’herbe, Edouard Manet

Secara lebih jauh, Fougière menambahkan bahwa  Claude bahkan terinspirasi dari lebih banyak tokoh pelukis, seperti Jules Holtzapfel dan Johan Jongkind. Dari Jules Holtzapfel, Zola mengingat kisah pelukis yang bunuh diri setelah karyanya ditolak Salon. Dari Jongkind, Zola menciptakan Claude Lantier yang begitu mencintai Paris dan Eiffel.

Tak hanya itu, Claude Lantier bahkan terinspirasi dari tokoh-tokoh pelukis fiktif yang pernah ada sebelumnya. Misalnya tokoh Frenhofer, pelukis tua setengah gila yang bunuh diri di cerpen Le Chef d’œuvre d’inconnu (1931) karya Balzac (Cerpen ini diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Andreas Nova dan diterbitkan Diva Press dengan judul Mahakarya tak Dikenal), juga tokoh Coriolis, pelukis dalam novel Manette Salomon (1867) karya Goncourt yang tiba-tiba kehilangan sensibilitas akan warna.

Merujuk kembali pada dokumen manuskrip, Fougière mengatakan bahwa Claude Lantier sebenarnya adalah representasi dari Zola sendiri. Ia membangun argumennya berdasarkan kutipan di bawah ini:

« Avec Claude Lantier je veux prendre la lutte d’artiste contre la nature, l’effort de création dans l’œuvre d’art, effort de sang et de larmes pour donner sa chair, faire de la vie toujours en bataille avec le vrai et toujours vaincu, la lutte contre l’ange. En un mot j’y raconterai ma vie intime de production, ce perpétuel accouchement si douloureux » (Zola, 1885 : 262).

Dengan Claude Lantier, aku ingin mengambil kisah perjuangan seorang seniman melawan dirinya sendiri, dayanya dalam mencipta, darah dan air mata yang bercucuran, dengan hidup yang tak pernah jauh dari medan perang melawan kecemasannya sendiri—dan ia selalu menang. Singkatnya, aku akan menceritakan kisahku sendiri dalam proses mencipta yang penuh penderitaan. (Zola, 1885 : 262).

Keterangan tentang karakter Claude Lantier

Merujuk paragraf di atas, menurut Fougière, kalimat “ aku akan menceritakan kisahku sendiri dalam proses mencipta yang penuh penderitaan»  adalah gambaran kehidupan Zola yang selalu dihantui kecemasan sebagai seorang penulis. Jika kita seorang yang rutin berkarya, entah penulis, musisi, pelukis, atau pekerjaan-pekerjaan seni lainnya, tentu kita paham akan hal ini: ketakutan bahwa di masa depan tak bisa menghasilkan karya yang lebih baik adalah sebuah kesengsaraan.

Beban dan sakit seperti itulah yang Zola rasakan saat ia takut tak bisa lagi menulis novel sebaik L’assommoir atau selaris Nana.

Maka merujuk kembali pada L’Œuvre, perjuangan Claude Lantier untuk menyelesaikan lukisannya—meski berakhir dengan mati— adalah gambaran kecemasan Zola yang membuatnya bahkan sampai memampang besar-besar tulisan di rumahnya  “Nulla dies sinea linea”, “Tak ada satu haripun tanpa sebaris tulisan”—Sebuah frasa yang ia yakin bisa membuatnya tetap menulis, entah dengan hasil seburuk apapun.

III

Sementara itu, Bruno Foucart dalam pengantar untuk edisi Gallimard menulis pendapatnya dengan mengajak kita memahami kembali aliran naturalisme Zola. Ia pertama-tama menjelaskan bahwa novel-novel Zola memang ditulis dengan pendekatan historis yang teliti. Untuk menulis L’Œuvre, misalnya, Zola melakukan observasi panjang terhadap dunia seni lukis Prancis abad 19. Ia mempelajari teknik-teknik pelukisan, hubungan seni lukis dengan politik, kehidupan personal pelukis-pelukis besar, bahkan terjun langsung menjadi kritikus seni lukis. Observasi itulah yang membuat banyak fragmen dalam novel L’Œuvre sangat mirip dengan kejadian di dunia nyata. Meskipun demikian, kehidupan yang terjadi di dalam novel, adalah kehidupan dalam universe berbeda. Jika L’Œuvre dianggap un roman historique—novel sejarah—ia tetap tak bisa menjadi un livre d’histoire—buku sejarah. Dengan demikian, karya ini tak bisa dianggap sebagai roman à clef atau novel biografis yang seolah harus mempertanggung jawabkan isi novel tepat seperti kehidupan nyata. Bagi Foucart, membaca L’Œuvre sebagai buku sejarah justru akan menjadi pembacaan yang memaksakan sekaligus keliru sejak awal.

Kedua, naturalisme Zola berpijak pada prinsip determinisme. Prinsip ini percaya bahwa manusia tak bisa lepas dari des forces invisibles—kekuatan-kekuatan tak nampak—yang membentuk manusia, terutama dari faktor-faktor garis keturunan.  Prinsip ini ia uraikan dalam 20 novel Rougond-Macquart yang semua tokoh utamanya adalah keturunan Adélaïde Fouque—tokoh dalam novel La fortune des rougon (1871), seri pertama Rougond-Macquart—yang secara turun-temurun memiliki kelainan psikologis yang disebut fêlure.

Fêlure sendiri adalah sebuah istilah psychopisiologi yang berarti « lobang ». Ia seperti lobang dalam jiwa yang bisa membuat penderitanya secara tiba-tiba merasa kosong. Perasaan kosong ini kemudian akan terisi dengan gejala yang ganjil, yaitu obsesi pada kematian. Obsesi pada kematian inilah yang menjadi benang merah antar tokoh-tokoh dalam Rougond-Macquart, yang biasanya termanifestasikan dalam hasrat ingin membunuh—entah orang lain atau dirinya sendiri. Berdasarkan penjelasan tersebut, Foucart menyimpulkan bahwa kematian Claude Lantier dalam novel L’Œuvre tidak disebabkan oleh kebencian Zola pada Cézanne, melainkan oleh konsep fêlure tersebut.

Terakhir, Henri Mitterand dalam catatan penutupnya untuk edisi Gallimard menuliskan satu argumen yang mengejutkan. Ia dengan yakin menyatakan bahwa persahabatan Zola dan Cézanne belum berakhir pada tahun 1886. Argumennya tersebut merujuk pada surat tertanggal 28 November 1887 yang ditulis Cézanne untuk Zola. Surat ini ternyata adalah surat lain yang baru ditemukan pada 2013 lalu. Adapun isi surat tersebut adalah sebagai berikut:

Paris, 28 Novembre 1887

Mon cher Émile, 

Je viens de recevoir de retour d’Aix le volume La Terre, que tu as bien voulu m’adresser. Je te remercie pour l’envoi de ce nouveau rameau poussé sur l’arbre généalogique des Rougon-Macquart. 

Je te remercie d’accepter mes remerciements et mes plus sincères salutations.

Paul Cézanne

Quand tu seras de retour j’irai te voir pour te serrer la main

Paris, 28 November 1987

Émile, Sahabatku

Aku baru saja menerima novel La Terre yang kau kirim padaku ke Aix. Terima kasih telah mengirim cabang baru yang tumbuh dari pohon Les Rougon-Macquart.

Terimalah ucapan terima kasih dan salam terhangatku.

 

Paul Cézanne,

Saat kau pulang nanti, aku akan menjabat tanganmu.

Surat di atas, ditulis Cézanne sebagai ucapan terima kasih atas dikirimnya novel La Terre (1887) oleh Zola. Dalam surat ini Cézanne tak hanya menulis dengan nada yang jauh lebih tentram dari surat sebelumnya, tapi bahkan mengajak Zola untuk berjumpa. Sampai hari ini kita memang belum tahu apakah pasca surat itu keduanya kembali bersapa. Yang jelas, surat ini telah membuka babak baru yang mematahkan mitos L’Œuvre sebagai biang remuknya persahabatan dua legenda.

Pertanyaannya, benarkah persahabatan mereka langgeng sampai akhir hayat?

Tentu saja, kita tak bisa yakin 100 persen untuk menyimpulkannya. Sebab, aventures textuelles terus berkembang. Ia tak pernah selesai, dan terus menuntut kita untuk menemukan teks-teks baru.

Bibliographies

Jean, Raymond. (1994). Cézanne et Zola se rencontrent. Actes Sud : Paris

Michel, Pascal. (2018). L’Œuvre : Appareil Pédagogique. Magnard : Paris

Mitterand, Henri (2015). Zola et Le Naturalisme. Presses Universitaires de France : Paris

Zola, Émile. (1885). Premier Manuscrits de L’Œuvre. Édition Gallimard : Paris

Zola, Émile. (1886). Dossier Préparatoire de L’Œuvre. Édition Gallimard : Paris

Zola, Émile. (1886). L’Œuvre, L´édition originale. Lib. Charpentier : Paris

Zola, Émile. (1996). L’Œuvre. Édition Marie-Ange Voisin-Fougère : Paris

Zola, Émile. (2016). L’Œuvre. Édition Gallimard : Paris

Internet 

Pagès, Alain. (2016). Cézanne et Zola, la fin d’une amitié ? sur http://www.societe-cezanne.fr/2016/07/09/cezanne-et-zola-la-fin-dune-amitie/ diakses 20 November 2019

Chedeville, Francois. (2016). Une fraternité d’artistes : Les lettres croiséses de Cézanne et de Zola (Henri Mitterand), sur http://www.societe-cezanne.fr/2016/12/07/une-fraternite-dartistes-les-lettres-croisees-de-cezanne-et-de-zola-henri-mitterand/ diakses 20 November 2019

Borély, Jules, (2013). Cézanne et Zola à Aix-En-Provence. sur https://www.terresdecrivains.com/Emile-ZOLA-a-Aix-en-Provence diakses 20 November 2019

Kennedy, Barbara Noe (2017). How Provence changed the world of Art. sur http://www.bbc.com/travel/story/20170717-how-provence-changed-the-world-of-art diakses 20 November 2019