Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Émile Zola (1840-1902) pernah tinggal di Aix-En-Provence selama 15 tahun. Sebelum dikenal sebagai peletak dasar aliran sastra naturalisme, Zola kecil tinggal di Rue Silvacanne, jalan yang sama dengan alamat kos saya sekarang.
Jika Anda belum mengenal Zola, ia adalah jenis manusia super dengan daya tahan seperti lumut purba. Bayangkan saja. Selama hidupnya, ia berhasil menulis satu seri besar bertajuk Les Rougond-Macquart. Sei ini adalah 20 jilid novel yang bercerita tentang kondisi sosial masyarakat Prancis di bawah le second empire—rezim kekaisaran kedua.
Zola juga sosok yang memperkenalkan aliran sastra naturalisme, yaitu gerakan sastra abad 19 yang percaya bahwa karya sastra harus mampu menggambarkan realitas dunia yang sebenarnya—bukan yang seharusnya. Aliran ini ditandai dengan novel yang ditulis berdasarkan penelitian yang jeli dan akurat. Artinya, novel-novel Zola sangat dekat dengan fakta saintifik maupun fakta historis. Untuk menulis novel-novelnya, Zola melakukan pendekatan multidisiplin dengan mempelajari berbagai pengetahuan, mulai dari sejarah, politik, kimia, biologi, kedokteran, hingga psikologi. Hasil penelitiannya tersebut, kemudian ia tuangkan dalam novel yang ditulis dengan model narasi yang realis, detil, rigid, dan ilmiah.
Jika Anda belum sempat membaca karya-karya Zola, Anda bisa menemukan dengan mudah beberapa novelnya yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia seperti Germinal, Nana, Thérèse Raquin, Hati Iblis (La Bête humaine), dan The Belly of Paris (Le ventre de Paris).
Adapun Paul Cézanne (1839-1906) adalah pelukis post-impressioniste yang lahir dan melewatkan hampir seluruh hidupnya di Aix-En-Provence. Ia termasuk anggota kelompok pelukis yang pada periode 1860-an mendobrak dunia seni lukis Prancis dengan memperkenalkan aliran impresionisme. Bersama Claude Monet, Edouard Manet, Camille Pissarro, Gustave Courbet, dan beberapa pelukis lainnya, Cézanne memperkenalkan pada publik model lukisan yang menentang pakem lukisan populer saat itu. Di saat lukisan yang dianggap berselera tinggi adalah lukisan bergaya realis bertema sejarah atau agama, Cézanne dkk justru melukis dengan menjauhi keakuratan sekaligus melukis objek yang keluar dari tema tersebut. Alih-alih melukis tentang kehidupan para raja di istana atau keluhuran Yesus dan malaikat kecil di sekelilingnya, mereka justru menjadikan pemandangan, benda mati, atau figur orang biasa sebagai objeknya. Cézanne misalnya terkenal dengan lukisan-lukisannya tentang gunung (Montagne Saint Victoire), buah-buahan (La corbeille de pommes), atau potret manusia (Portrait d’Émile Zola). Selain itu, pembaharuan mereka juga ditandai dengan gaya lukis yang menitikberatkan pada impresi alih-alih ketepatan bentuk objek. Para pelukis impresionis melukis dengan gerakan kuas yang cepat untuk menangkap secepat mungkin impresi yang ia dapat akan suatu benda.
Di kemudian hari, Cézanne akan menjadi pelukis yang dijuluki Pablo Picasso sebagai Bapak Seni Modern. Betapa kagumnya Picasso pada Cézanne, ia bahkan rela membeli sebuah rumah di Aix-En-Provence yang kelak akan menjadi persinggahan terakhirnya. Kedekatan Cézanne dengan kota inilah yang membuat Aix-En-Provence kini dijuluki La Terre de Cézanne—Tanah Cézanne.
Yang tidak banyak orang tahu, kedua legenda ini pernah tinggal dan melewatkan masa kecil bersama di Aix-En-Provence. Mereka duduk di kelas yang sama, bersahabat seperti rumput dan semak, dan di setiap akhir pekan, keduanya hobi keluyuran ke Tholonet—sebuah desa kecil di pinggiran Aix. Di desa inilah, kedua bocah ini kerap menghabiskan hari untuk naik-turun bukit, berburu kelinci, berendam di sungai, lalu mengagumi indahnya Gunung Saint-Victoire.
Berbeda dengan Cézanne yang memang terlahir di Aix-En-Provence, Zola baru datang di kota ini pada tahun 1843. Kala itu usianya baru 3 tahun. Ia mengikuti ayahnya, François Zola, seorang arsitektur kelahiran Italia yang mendapat undangan dari pemerintah Aix untuk membangun sebuah waduk. Adapun waduk ini dibangun untuk mengatasi masalah kekeringan, sanitasi, dan wabah kolera yang menghantam Aix selama satu dasawarsa terakhir. Kelak, waduk rancangan Ayah Zola ini akan mengubah wajah Aix sepenuhnya hingga menjadi Kota Seribu Air Mancur seperti sekarang.
Sepenggal cerita tentang Cézanne dan Zola kecil itu, di kemudian hari membuat saya penasaran untuk menyusuri jejak-jejak mereka. Kesempatan itu akhirnya datang pada pertengahan Oktober lalu—di masa peralihan musim panas menuju gugur—saat saya bersama Danu, Aldrina, dan Perli—tiga teman PPI di Aix—berangkat menuju Tholonet untuk melihat Gunung Saint Victoire sekaligus waduk rancangan Ayah Zola, Le Barrage Zola.
Tholonet adalah desa kecil di kaki gunung Saint Victoire. Selain terkenal dengan gereja abad pertengahan dan kafe-kafe kecilnya, desa ini juga ramai dikunjungi wisatawan yang sebagian besar ingin melakukan randonnée atau trekking seperti kami. Jalur trekking ini membentang mulai dari pintu masuk desa, mendaki bukit selama satu jam sampai padang rumput—dengan latar Gunung Saint Victoire—, dan berakhir di Le Barrage Zola. Saya menyebut trek ini sebagai Jalur Napak Tilas Cézanne dan Zola.
Siang itu, perjalanan kami dimulai dengan menempuh jalan berbatu dan menanjak. Jalur ini sebenarnya cukup gampang saja. Jalanan kering dan tingkat kemiringan tak terlalu terjal. Kami menempuh jalan yang di sampingnya adalah pemandangan Desa Tholonet dengan atap-atap rumah berwarna merah yang dikelilingi bentangan hijau hutan pinus. Tak banyak kesulitan yang kami hadapi, kecuali godaan untuk mengambil foto setiap 200 meter jarak tempuh—bangsa Romawi konon ganas dalam berperang, bangsa Cina ganas dalam berdagang, sedang bangsa Indonesia, saya yakin, ganas dalam berswafoto.
Pemandangan terindah di jalur ini ada ketika kami sampai di padang luas yang tak cuma dihuni semak rumput, pohon olive, dan bunga-bunga liar berkelopak ungu, tetapi juga menghadap langsung ke Saint Victoire, sebuah gunung yang menjadi termasyhur berkat Paul Cézanne.
Siang itu, kami bersandar di bawah pohon Oak, menikmati betapa mempesonanya kaki gunung yang dihidupi ribuan pinus Alep—spesies pinus dengan warna daun hijau muda—, sembari mendengarkan instrumen harmonika Jean de Florette. Diiringi desau angin dan pemandangan Saint Victoire, ingatan saya terbang ke masa saat Cézanne memperkenalkan gunung ini ke mata dunia.
Seumur hidupnya, Cézanne melukis gunung ini sebanyak 87 kali. Kecintaan Cézanne pada gunung ini ia tunjukkan dengan mengabadikan setiap perubahan Saint Victoire yang dipengaruhi oleh musim, intensitas cahaya, warna tanah, hingga vegetasi tumbuhan di atasnya. Semakin sering ia melukis gunung tersebut, semakin ia menjauhi perspektif akurat dari waktu ke waktu. Saint Victoire nampak semakin abstrak dengan bentuk yang semakin jauh dari aslinya.
Cara Cézanne melukis Saint Victoire, kelak akan menginspirasi lahirnya karya seni modern yang menekankan ekspresi kebebasan. Ia turut mempengaruhi lahirnya fauvisme, kubisme, hingga karya seni abstrak abad 20. Kisah tentang Cézanne dan Saint Victoire pula yang membuat Barbara Noe Kennedy, jurnalis BBC, menyebut Saint Victoire sebagai “gunung di Prancis yang mengubah dunia seni”.
Tak jauh dari tempat kami memandang Saint Victoire, terdapat satu waduk yang juga menyimpan cerita tentang hubungan seorang seniman besar dengan sebuah kota. Namun berbanding terbalik dengan Cézanne dan Saint Victoire—yang telah menempatkan nama Aix tinggi-tinggi di mata dunia—waduk ini justru menyembunyikan rahasia kurang elok tentang bagaimana hubungan Émile Zola dan Aix-En-Provence.
Le Barrage Zola dirancang oleh François Zola pada 1843 dan rampung pada 1854. Sayangnya sebelum waduk ini kelar, François dihajar pneumonia dan wafat pada 1847. Kepergian François membuat ekonomi keluarganya empot-empotan. Ia membuat Zola kecil harus bersusah payah bersama Ibunya sampai akhirnya hijrah ke Paris pada 1858.
Kenangan pahit itu kelak akan semakin bertambah saat Aix menamai waduk ini Le Barrage d’Aix-En-Provence. Zola naik pitam. Ia menganggap Aix sengaja menghapus nama ayahnya dari catatan sejarah. Apalagi, waduk ini telah mengubah wajah Aix seutuhnya. Air yang mengalir dari waduk ini tak hanya membuat Aix beres urusan sanitasi dan ledeng. Tapi juga menyulap Aix menjadi La ville de mille fontaine—Kota Seribu Air Mancur—dan membuatnya menjadi kota termahal kedua di Prancis setelah Paris.
Kelak ketika Zola telah sukses menjadi penulis, ia akan membawa perkara ini ke pengadilan di mana ia akhirnya memenangkan tuntutannya. Sejak itulah, sampai hari ini, waduk ini resmi bernama Le Barrage Zola.
Di Le Barrage Zola, kami makan siang sambil melihat birunya air yang mengalir dari pintu kanal. Ada banyak pengunjung kala itu. Meski demikian, saya tak yakin apakah mereka tahu bahwa waduk ini dibangun oleh ayah dari seorang legenda. Tak ada papan keterangan, tak ada apapun yang memberi kita petunjuk sejarah tentang tempat ini.
Cara Aix mengingat Zola memang berkebalikan dengan caranya mengenang Cézanne. Di saat nama Cézanne terpampang di tiap sudut kota, nama Zola seolah diselipkan dengan sembunyi-sembunyi. Memang, Francois menjadi nama waduk, dan Émile menjadi nama salah satu ruang di perpustakaan kota. Tapi itu tak sebanding dengan Cézanne yang menjadi simbol kota, nama bioskop, kafe, dan sekolah. Patung Cézanne bahkan didirikan tepat di pusat kota.
Namun, setali tiga uang, Zola juga selalu mengenang Aix-En-Provence dengan ungkapan yang meradang:
Magnifique endroit, gens détestables—tempat mengesankan dengan penghuni yang layak dibenci.
Aucune ville n’avait mieux conserve le caractère dévot et aristocratique des anciennes cites provencales—Dalam hal mempertahankan karakter hipokrit dan aristokratik masyarakat provencal abad pertengahan, kota ini tak punya saingan.
Bersambung ….