Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Setelah memastikan memesan seporsi nasi rendang, saya menyapa Ibu penjaga restoran itu, “Ibu asli Indonesia?”.
Ia tersenyum lebar dan balik bertanya, “Coba tebak”.
“Emm.. Ibu keturunan campuran Indonesia-Prancis. Tapi didengar dari logatnya, Ibu pasti lahir di Prancis”.
“Bukan. Bapak dan Ibu saya orang Indonesia. Mereka asli Sumatra. Saya lahir di China, tapi besar di Prancis”.
“HAH? Jangan-jangan putrinya Almarhum Sobron Aidit?”
“Perssis”, balasnya dengan desis “ss” yang tebal sebagaimana cara berbicara orang Prancis .
Lalu teman saya, Mbak Anggie, terperanjat dan segera menyahut “Lho, berarti Ibu ini Lintang Utara dong?”
“Haha, ya 20 sampai 30 persen lah”.
Tokoh fiksi adalah tokoh fiksi dan tokoh nyata adalah adalah tokoh nyata. Keduanya hidup dan hadir dalam dunia berbeda meski bukan tak mungkin salah satunya menginspirasi.
Saya tentu tahu bahwa ia bukan Lintang Utara. Lintang Utara adalah putri Dimas Suryo dan Vivienne Deveroux, tokoh-tokoh fiksi dalam novel Pulang (2013) karya Leila S Chudori. Sementara ia adalah Wanita “Anita” Putri Pertiwi, putri Almarhum Sobron Aidit—sastrawan Indonesia, adik Almarhum DN Aidit, dan salah satu pendiri Restaurant Indonesia, restoran Indonesia pertama yang ada di Paris.
Meski demikian, ada beberapa kisah dalam hidupnya yang saya kira beririsan dengan kisah Lintang Utara. Hal itu sedikit saya pahami setelah hampir 2 jam mendengarkan cerita-ceritanya
Saya bertemu dengannya di Restaurant Indonesia, Jalan Vaugirard no 12, Paris. Restoran yang berdiri tahun 1981 ini terkenal karena kisahnya sebagai restoran yang didirikan oleh para pelarian politik dampak tragedi G-30 S 1965.
Saya datang ke sana bersama Mbak Anggie, Idham, dan Tohir—teman-teman saya yang tinggal di Paris. Sejak mula, kami memang memilih tempat ini karena penasaran seperti apa bentuk dari restoran yang menginspirasi penulisan novel Pulang ini.
Ketika pertama memasukinya, nuansa keIndonesiaan di restoran ini memang begitu kental. Dinding yang dilapisi anyaman bambu, lukisan wayang, peta Indonesia, topeng barong Bali, toples berisi rempah, angklung, musik keroncong, dan tentu saja bir bintang. Namun bukan ornamen-ornamen ini yang membuat restoran ini serasa sangat Indonesia, melainkan keramahan Anita yang bisa membuat kami merasa akrab dalam sekejap.
Hari itu, perempuan yang menguasai 7 bahasa ini (Indonesia, Belitong, China, Prancis, Belanda, Inggris, dan Jerman) bercerita banyak sekali hal terutama tentang sejarah restoran, Sobron Aidit, dan sepenggal kisah pribadinya.
Anita pertama kali menginjakkan kaki di Paris saat usianya 17 tahun. Saat itu kemampuan bahasa Prancis-nya masih kosong mlompong. Sebelumnya, ia lahir dan tinggal di China, mengikuti ayahnya yang menjadi pelarian politik. Sobron, ayahnya, adalah satu dari ribuan diaspora Indonesia yang dicabut kewarganegaraannya oleh Orde Baru karena dianggap bersimpati pada Soekarno. Khusus Sobron, namanya jelas digarismerah tebal-tebal, sebab ia adalah adik dari DN Aidit, ketua committee central PKI.
“Saat tragedi 1965 terjadi, Ayah masih menjadi dosen sastra Indonesia di Beijing. Saat itu, Ayah dikirim Presiden Soekarno untuk menjalankan misi akademis. Jadi, nggak ada itu kepentingan-kepentingan politik. Tapi tetep aja kami nggak boleh pulang”.
Anita lalu bercerita tentang bagaimana ayahnya mendidiknya sejak kecil. Juga bagaimana kecintaan Sobron pada Indonesia meski negara dengan sangat kejam telah merampas haknya, mencerabutnya dari akar.
“Ayah itu selalu menyebut Indonesia dengan Tanah Air” ujarnya sambil menekankan kata Tanah Air. “Tanahh Air!”.
“Satu langkah kaki masuk rumah, artinya kami sudah berada di Tanah Air. Harus berbahasa Indonesia, harus belajar budaya Indonesia. Ayah selalu berpesan kalau anak cucunya harus tetap tahu akarnya. Tu veux ou tu veux pas—mau nggak mau—ada darah Indonesia dalam tubuh kita”.
“Jadi, anak Ibu bisa berbahasa Indonesia juga dong?”, sambung Idham.
“Perssis. Anak saya lancar membaca dan menulis bahasa Indonesia”.
Anita tinggal di China hingga tahun 1981 saat keluarganya harus mencari negara suaka baru. Kata Anita, saat itu pemerintah Soeharto hendak melakukan kerjasama bisnis dengan pemerintah China. Untuk mewujudkan kerjasama tersebut, salah satu persyaratan yang diajukan rezim Soeharto adalah dikembalikannya para pelarian politik ke Indonesia.
Namun pemerintah China saat itu menolaknya dan memberi solusi pada para eksil untuk memilih dua hal: menjadi warga negara China atau mencari negara suaka baru.
Karena kecintaannya pada Indonesia, Sobron enggan menjadi warga negara China. Dengan bantuan pemerintah China dan kawannya yang tinggal di Paris, Umar Said, ia akhirnya memilih mengajukan suaka ke negeri Prancis.
“Waktu di China, kami itu ditempatkan di satu pemukiman yang isinya orang Indonesia semua. Mungkin ada ratusan orang ya. Karena peristiwa tahun 80-an itu, akhirnya kami terpaksa harus terpisah. Ada yang di Prancis, Belanda, Jerman, dan lain-lain. Yang paling susah itu yang memilih tinggal di Prancis karena pemerintah Prancis hanya kasih jaminan uang dua tahun, setelah itu kami harus urus segala sesuatunya sendiri”.
“Lalu begitu sampai Prancis, Pak Sobron langsung bikin Restauran Indonesia?”, tanya kami penuh penasaran.
Tepat di tahun itu pula, Restaurant Indonesia langsung didirikan oleh Sobron dan ketiga temannya sesama eksil. Kata Anita—selain dengan kenekatan— restoran ini juga dibangun dengan kerinduan yang begitu besar pada tanah air. “Ini kerinduan yang immense—luhur”, ujarnya.
Ia bercerita bahwa mulanya Om-om (begitu ia selalu menyebut para eksil ini) ingin membangun sebuah restoran yang bukan cuma tempat untuk cari duit, tapi juga tempat untuk merasa pulang. Om-om ini rindu suasana rumah, di mana mereka bisa selalu mencium bebauan rempah Indonesia dan berbagi segala kisah ngalor-ngidul tentang negerinya.
Pertanyaannya, bagaimana cara membangun restoran tersebut?
Syahdan, Sobron dan Om-om lainnya mulai mengajukan proposal bantuan pada pemerintah Belanda, Prancis, gereja-gereja katolik, dan berbagai lembaga. Tanpa dinyana, permohonan mereka mendapat respons positif dari banyak pihak. Salah satunya dari pemerintah Prancis, yang saat itu dipimpin oleh Francois Mitterand, Presiden Prancis dari Partai Sosialis.
Lucunya, mereka belum juga tahu bagaimana restoran ini akan dijalankan. Anita lalu menceritakan anekdot-anekdot yang membuat kami tertawa ngakak saat mendengarnya.
“Jadi, Om-om ini kan intelektual semua. Ada yang paham sastra, politik, ekonomi, bahkan kedokteran. Mereka orang yang pintar-pintar sekali. Tapi kalau biasanya mereka pegang buku, eh tiba-tiba harus pegang pisau. Terus siapa yang mau masak? Siapa yang urus keuangan? Siapa ketuanya?”.
Akhirnya mereka mencoba berembug secara demokratis. Mereka sepakat bahwa Sobron Aidit menjadi koki pertama restoran. Sementara sistem restoran mereka jalankan dengan prinsip sosialis. Tidak ada ketua, tidak ada bawahan, semua anggota setara dan setiap keputusan harus diambil bersama.
“Saking demokratisnya, waktu pertama dapat pelanggan, Om-om ini sampai musyawarah dulu. Bawangnya segini ya? Porsinya segini ya? Setuju ya? Setuju? Setuju? Ok, DEAL!”.
Kami terbahak keras sekali saat mendengar cerita tersebut.
Kalau bukan karena Restaurant Indonesia, barangkali Anita tak akan pernah sadar kalau dirinya “berbeda”.
Sejak lahir hingga tiba di Paris, ia selalu percaya bahwa ia orang Indonesia. Di saat kebanyakan anak kecil mendengar cerita Putri Salju atau Pangeran Katak sebagai dongeng pengantar tidur, ayahnya justru lebih kerap bercerita tentang keindahan tanah lahirnya. Tentang laut-laut berpasir putih di Belitong, tentang rimba di Kalimantan, tentang kayanya adat istiadat di Bali.
Ia juga selalu percaya kalau semua orang Indonesia ramah dan cerdas. Ia mempelajari itu dari Om-om yang sering berkunjung ke rumahnya. Kata Anita, Om-om ini ada yang ahli arsitek, ahli senjata, fisikawan, sosiolog, bahkan pakar bom atom. Dan kalau mereka sudah ngobrol dengan ayahnya, Om-om ini bisa betah duduk dari sore sampai pagi.
Tapi pengalaman hidup di Paris memberitahunya bahwa imajinya tentang orang Indonesia tak selalu tepat.
Pada awal berdirinya Restaurant Indonesia, Anita melihat bahwa ayahnya seringkali mendapat telfon dari orang Indonesia yang berisi perintah dan ancaman untuk menutup usahanya. Peristiwa itu membuat ia mulai bertanya-tanya, kenapa ada orang Indonesia tapi tak suka dengan Restaurant Indonesia?
Ia juga mulai mendengar cerita tentang dilarangnya orang-orang Kedubes untuk makan di sini. Konon, di dinding Kedubes Paris pada masa itu, terpampang papan besar-besar yang berisi larangan bagi para staf untuk makan di Restoran Indonesia. Barang siapa yang ketahuan makan di sini, konsekuensinya akan masuk daftar hitam.
Tak jarang pula ia berpapasan dengan sesama orang Indonesia yang tengah berlibur di Paris. Namun pertemuan itu justru lebih kerap membuatnya masygul.
“Kalau bertemu orang Indonesia dan ditanya orang mana, saya selalu bilang saya orang Indonesia. Tapi mereka selalu balas, orang Indonesia kok logatnya aneh? Pasti bukan orang Indonesia ya?”.
Dari situlah ia mulai mempertanyakan jati dirinya. Ia juga mencari tahu tentang sejarah hidup ayah dan sahabat-sahabatnya. Ia pun mulai menyadari bahwa Om-om yang selama ini ia kenal adalah satu generasi intelektual Indonesia yang hilang. Hampir semua Om-om ini dulunya dikirim Soekarno untuk mendapat beasiswa di luar negeri. Di era sekarang, mereka persis seperti mahasiswa LPDP yang harus belajar lalu pulang. Namun karena kepentingan politik yang kejam, mereka tak pernah mendapat kesempatan untuk mengabdi.
Dahulu, Om-om yang ia sebut sebagai “generasi nostalgie” ini hampir saban hari datang ke restoran untuk saling merawat ingatan.
“Biasanya mereka ngomongin politik. Dulu kadang ada tamu yang kasih majalah Kompas atau Tempo. Kalau ada majalah itu, mereka akan fotokopi satu-persatu. Kadang mereka juga cerita tentang masa lalunya. Sedihnya, Om-om ini banyak yang waktu berangkat masih punya pacar di Indonesia, tapi akhirnya nggak pernah bisa ketemu lagi dan ditinggal menikah”.
Waktu mendengar bagian tersebut, saya langsung mengaduh sambil memukul-mukul paha secara tak sadar. Getir nian nasib mereka. Di samping saya, Tohir bahkan sampai melepas kacamatanya dan menyeka pelupuk mata.
Dalam novel Pulang, Leila S Chudori menghadirkan tokoh Lintang Utara sebagai remaja yang selalu bertanya-tanya tentang identitasnya. Kegamangan identitas inilah yang saya kira Leila ambil dari kisah Anita. Keinginan Lintang yang begitu besar untuk melihat langsung tanah airnya, juga persis seperti keinginan Anita. Anita sendiri baru bisa pergi ke Indonesia pada tahun 1993 saat keluarganya sudah memutuskan menjadi warga negara Prancis.
Pada kunjungan pertamanya ini, mereka datang secara sembunyi-sembunyi. Terutama Sobron yang sudah mengganti nama menjadi Simon. Kami sempat bertanya apakah mereka mengunjungi rumah sahabat ayahnya seperti sastrawan Rivai Apin atau Pramoedya Ananta Toer. Tapi kata Anita, ayahnya tak berani ke sana meski rindunya setengah mati.
“Kalau Ayah ke sana, kasihan teman-temannya. Nanti mereka yang diincar intel. Ayah selalu bilang, nggak masalah kalau Ayah yang mati, tapi jangan sampai teman-temannya. Apalagi waktu itu, ada orang yang langgam-langgamnya selalu mengikuti kami”.
Kunjungan ini pada akhirnya menginspirasi Sobron untuk menulis sebuah cerpen berjudul Intel. Sedangkan bagi Anita, kunjungan ini seolah menjadi bukti bahwa Indonesia mungkin tak akan pernah bisa sepenuhnya menjadi tempat untuk pulang.
Pada tahun 2000, Gus Dur mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2000 yang berisi imbauan pada para eksil untuk pulang ke Indonesia dan negara akan bertanggungjawab untuk merehabilitasi nama mereka.
Sejak saat itu Sobron dan Anita jadi lebih kerap berkunjung ke Indonesia. Pada tahun 2006, Sobron bahkan diundang untuk bercerita tentang pengalamannya menjadi eksil oleh Kick Andy—sayangnya saya tidak bisa menemukan video tersebut di Youtube. Beberapa hari sebelum siaran itu, ia sempat menjenguk sahabatnya, Pramoedya Ananta Toer. Pertemuan itu menjadi perjumpaan terakhir dua sastrawan ini sebab Pram wafat tahun itu juga dan Sobron wafat setahun setelahnya.
Sejak runtuhnya Orde Baru pula, makin banyak orang Indonesia yang bebas berkunjung ke restoran. Gus Dur bahkan sudah tiga kali bersantap di sini. Anita selalu mengenang Gus Dur sebagai satu dari tiga tokoh besar dunia yang kerap berkunjung ke restorannya.
“Saya sangat suka Gus Dur karena langgam-langgamnya Gus Dur itu nggak seperti Presiden. Beliau seperti kalian saja, banyak bercerita dan tertawanya keras-keras. Selain Gus Dur, Francois Mittérand juga beberapa kali makan di sini. Lalu ada Xanana Gusmao. Xanana bahkan pernah tinggal di sini selama beberapa bulan. Dia tinggal di lantai bawah, itu di ruangan sebelah toilet”.
Citra restoran ini sebagai restoran terlarang perlahan juga mulai usang. Kini, orang justru mengenal Restaurant Indonesia sebagai salah satu tempat paling berjasa yang memperkenalkan budaya Indonesia di Prancis.
Saat berada di sana, saya bahkan melihat stiker berlogo “Wonderful Indonesia” yang dipajang di kaca pintu. Kata Anita, restoran ini kini telah resmi bekerjasama dengan KBRI.
Dalam novel Pulang, tokoh Dimas Suryo pernah berucap “Rumah adalah tempat di mana aku merasa bisa pulang”. Setelah menyantap rendang yang aduhai nikmat, setelah hampir dua jam ngobrol dengan sang pemilik, saya kemudian menyadari bahwa berada di Restaurant Indonesia membuat saya seperti berada di rumah.
Selama berada di Prancis, saya kerapkali harus berurusan dengan berbagai instansi, lembaga, atau tempat makan yang memakai nama “Indonesia”. Sayangnya, relasi antara saya dengan orang-orang di dalamnya selalu tak lebih dari relasi owner-klien. Bahkan tak jarang, selalu ada pihak yang menempatkan diri sebagai “yang lebih dibutuhkan”. Akhirnya, urusan dengan sesama diaspora pun seringkali lebih bersifat birokratis daripada humanis.
Tapi siang itu, Restaurant Indonesia memberi saya pelajaran berharga. Bahwa menjadi Indonesia tak cukup dengan hanya memajang nama negara—entah di KTP atau papan nama raksasa. Lebih dari itu, menjadi Indonesia berarti menunjukkan keramahtamahan yang tulus sebagaimana selalu kita anggap sebagai bagian budaya kita.
Sebelum wafat, Sobron Aidit pernah berkata “Bagi saya, tidak apa tidak diterima pemerintah Indonesia asalkan diterima oleh orang Indonesia”.
Andai saja Sobron Aidit masih ada, saya betul-betul ingin berkata padanya, “Bung, kau bukan saja harus kami terima. Tapi kepadamu, kami juga harus berterimakasih. Sebab berkatmu, kami bisa menemukan rumah di Paris”.