Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #112] Chagos: Yang Terbungkam, Lalu Melawan

author = Bagus Panuntun

Pasca pembunuhan Qassem Soleimani dan serangan balasan Iran ke kamp militer Amerika Serikat di Baghdad, satu kemungkinan besar yang bisa membuat Perang Dunia III benar-benar terjadi adalah serangan balik Amerika Serikat ke 52 situs budaya Iran[1] Dipna Videlia Putsanara, Tirto, diakses dari https://tirto.id/trump-ancam-serang-52-situs-jika-iran-membalas-kematian-soleimani-eqKe pada tanggal 10 Februari 2020 .

Serangan itu memang belum terjadi. Ia baru keluar dari congor Donald Trump sebagai ancaman jika Iran tetap mengarahkan rudal-rudalnya ke kamp militer AS di Timur Tengah—Afghanistan, Kuwait, Qatar, UEA, Iran, Turki, dan Yordania. Namun yang jelas, gertakan itu Trump ungkapkan penuh percaya diri. Seolah tinggal butuh pencet tombol saja untuk melakukannya.

Yang menjadi pertanyaan, senjata rahasia apa yang AS miliki sehingga Trump masih begitu jumawa menggertak Iran?

Tentu saja ada banyak faktor, tapi salah satu jawabannya adalah Pulau Diego Garcia, sebuah pangkalan militer AS yang terletak di tengah Samudra Hindia.

Pangkalan ini menjadi sangat penting. Sebab, selain menyimpan senjata-senjata mahacanggih, lokasinya juga tak tak terjangkau oleh misil-misil Iran. Artinya, jika perang harus terjadi, Diego Garcia telah memiliki amunisi lengkap untuk menggempur Iran. Sedangkan Iran, sebaliknya, tak punya teknologi yang cukup untuk melakukan serangan balik.

Diego Garcia adalah tempat disimpannya pesawat-pesawat tempur B-52. Itu adalah jenis pesawat super dengan harga satuan 3 milyar dolar yang mampu mengangkut senjata hingga 350 ton, dengan kecepatan terbang 650 km/jam, daya jangkau 8800 mil, dan daya ketinggian 50.000 kaki. Pada periode awal tahun 2.000-an, pesawat inilah yang digunakan untuk membombardir Irak sekaligus Afganistan pasca 9/11 [2]  Pathel, Shenaz, (2018), Le silence des Chagos (Catatan Penutup), Paris: Edition d’Olivier, hlm. 147.

Diego Garcia saat ini menjadi salah satu pangkalan udara paling krusial milik Amerika Serikat. Lokasinya yang berada di antara Afrika, Timur Tengah, sekaligus Asia Tenggara memungkinkannya untuk mengontrol konflik Israel-Palestina, India-Pakistan, bahkan mengintervensi urusan negara lain termasuk Australia dan Indonesia [3] Ibid, Catatan Penutup, hlm.146

Namun yang tak banyak orang tahu, pulau ini tak sekadar menyimpan cerita kedigdayaan negara—yang menjuluki dirinya—super power tersebut. Sebaliknya, ia justru memendam riwayat kelam yang membuat pulau ini dijuluki Island of Shame[4]Baca: Vine, David, (2011), Island of Shame: The Secret History of The U.S.Military Base on Diego Garcia, Princeton University Press.

Dan riwayat ini, adalah cerita tentang kebiadaban Amerika Serikat dan Inggris mengusir orang-orang Chagos.

Terbungkam

Kalau bukan karena mata kuliah L’étude du silence/Study of Silent semester lalu, barangkali saya tak akan mengenal nama Diego Garcia apalagi Chagos. Jangankan mengenal, membaca selintas namanya di koran pagi, atau kertas bungkus gorengan, pun belum tentu pernah.

Dalam perkuliahan yang mengajak kami memperdebatkan makna silence itu—silence bisa berarti diam, sunyi, senyap, atau terbungkam—, kami mendapat satu tugas untuk meresensi novel Le silence des chagos karya Shenaz Pathel, sastrawan francophone sekaligus jurnalis asal Mauritius. Pathel sendiri adalah salah satu sastrawan francophone paling berpengaruh di kawasan negara Pesisir Samudra Hindia selain Jean-Marie Gustave Le Clezio (Prancis-Mauritius), Ananda Devi (Mauritius), Rabearivelo (Madagaskar), dan Evariste Pasny (Réunion).

Le silence des chagos adalah novel sejarah yang bercerita tentang 2000 orang suku Chagos yang pada 1967-1973 diusir paksa dari Pulau Diego Garcia. Pengusiran ini dilakukan oleh kolonial Inggris setelah ia sepakat untuk menyewakan pulau ini pada Amerika Serikat untuk dijadikan pangkalan militer selama 50 tahun (1966-2016). 

Suku Chagos sendiri adalah sebutan untuk orang-orang yang menghuni gugusan kepulauan Chagos—gugusan yang terdiri dari 56 pulau kecil dan terletak di tengah Samudra Hindia.

Suku ini pada mulanya adalah sekumpulan budak dari Mozambik dan Madagaskar yang diangkut kolonial Prancis pada 1783 untuk proyek tanam paksa—khususnya untuk memproduksi minyak kelapa. Mereka lalu diperkuda oleh pemerintah kolonial sampai akhirnya bebas ketika sistem perbudakan dihapus pada 1835[5] Pathel, Shenaz, Op.cit, Catatan Penutup, hlm. 145 .

Sedari 1835, para bekas budak ini lalu menjadi penghuni tetap kepulauan Chagos di mana sebagian besar tinggal di Diego Garcia. Suku yang dijuluki Les Chagossiens ini hidup berkecukupan dengan menjual kopra, bertani, beternak, dan menjaring hasil-hasil laut. Ujar Pathel, dalam novelnya, Orang-orang Chagos “selalu menyantap makanan segar dan tak pernah memakan hal yang sama dua hari berturut-turut”[6] Ibid, hlm.18 .

Seiring berjalan waktu, mereka juga mampu membentuk budayanya sendiri. Salah satunya adalah bahasa Prancis-Kreol—bahasa yang terbentuk dari campuran bahasa Prancis dan bahasa asli para budak. Bahasa ini terbentuk dari keadaan yang memaksa mereka berkomunikasi meski tumbuh dengan bahasa yang berbeda-beda. Bermodal curi dengar bahasa Prancis dari kaum kolonial sekaligus mencampur-adukkan bahasa-bahasa asal Mozambik dan Madagaskar, lama-kelamaan mereka bisa membentuk bahasanya sendiri dengan struktur linguistik yang sistematis. Dalam Le silence des Chagos, Pathel juga menyisipkan bahasa Prancis-Kreol ini:

Ki to pansé si nou fer séga lakaz sa samdi la? (Phatel, 2018 : 42)

Qu’est-ce que tu penses si nous faisons séga à la plage ce samedi là ? (Phatel, 2018 : 42)

Bagaimana kalau malam minggu ini kita mengadakan sega (musik dan tarian khas Chagos) ? (Phatel, 2018 : 42)

Dalam Le silence des chagos, Pathel merekam fragmen-fragmen kecil yang mengajak kita memahami mengapa pengusiran orang-orang Chagos adalah sebentuk aib dan tindakan sangat memalukan yang pernah dilakukan Amerika Serikat dan Inggris.

Fragmen-fragmen itu ia ceritakan melalui kisah hidup tokoh Charlesia, perempuan lokal yang menjadi korban pengusiran tersebut.

Charlesia misalnya menceritakan bagaimana pengusiran ini dilakukan dengan perlahan namun sangat memedihkan. Sejak 3 tahun sebelum pengusiran massal 1971, Inggris telah mengisolasi Diego Garcia dengan menghentikan stok daging, susu, sayur, garam, minyak, hingga obat-obatan. Sambil melangsungkan isolasi itu, Inggris juga menyebar kabar burung tentang pengusiran orang-orang Chagos. Kabar ini, merambat seperti api melahap tisu. Ia menyambung dari mulut ke mulut dan membuat semua orang diteror khawatir.

Sampai akhirnya pada 1971, Inggris memerintahkan tindakan memalukan ini : menangkap 1.500 ekor anjing milik orang-orang Chagos, menumpasnya dengan gas beracun, lalu membakarnya dalam satu tumpukan. Kata Charlesia, ratusan anak-anak menangis histeris saat melihat peliharaan mereka berubah menjadi bumbungan asap hitam.

Tak butuh waktu lama setelah pembunuhan anjing-anjing itu, orang-orang Chagos lalu diangkut-paksa menggunakan kapal Nordvaer menuju Mauritius. Perintah itu datang begitu cepat sampai-sampai tak ada detik untuk memilah harta benda kecuali kain yang menempel di badan.

Il fallait partir. Là. Maintenant. Tout de suite. C’était un ordre. Sans discussion. Sans appel. Sans raison. Il fallait partir. (Pathel, 2018 : 87)

Kami harus berangkat. Kesana. Sekarang. Detik ini juga. Ini perintah. Tanpa diskusi. Tanpa banding. Tanpa alasan. Kami harus berangkat. (Pathel, 2018 : 87)

Sesampainya di Mauritius, nasib mereka tak kunjung membaik. Orang-orang Chagos ditelantarkan. Mereka terpaksa mencari gedung-gedung bobrok tak berpenghuni. Di sana, mereka tinggal di bangunan dengan dinding-dinding berjamur, atap yang rembes, tanpa pintu dan jendela, bahkan nihil listrik dan sanitasi.

Singkat kata, orang-orang Chagos hidup di tempat yang lebih pas untuk bunuh diri pelan-pelan, dibanding menata kehidupan.

Novel ini juga menceritakan fragmen lain tragedi Chagos melalui kisah tokoh Désiré. Ia adalah anak yang terlahir di atas kapal ketika orang tuanya tengah diangkut paksa.

Ketika beranjak dewasa, ia terpaksa harus menyembunyikan identitasnya sebagai “îloas” atau “orang pulau”. Sebab jika tidak, ia bakal sulit mendapat kerja bahkan sekadar menjadi kuli.

Berbeda dengan Charlesia yang mewakili generasi terakhir yang lahir di kepulauan Chagos, Désiré mewakili generasi baru yang tak pernah sekalipun melihat tanah moyangnya. Ia adalah generasi yang tersiksa krisis identitas. Di satu sisi, ia tak mengenal Chagos, namun di sisi lain, ia tak diakui sebagai orang Mauritius. Ia adalah orang yang “dicampakkan laut, namun ditolak tanah”[7] Ibid, hlm. 119 . Krisis identitas ini misalnya bisa kita baca dalam kutipan di bawah ini:

Désiré ne savait plus où il en était. Mauricien ? Il avait toujours vécu ici, mais n’en avait pas la nationalité. Seychellois ? Il n’avait jamais vu ce pays. Britannique ? On voudrait encore moins de lui là-bas ? Chagossien ? Il ne connaissait pas ces iles où il aurait dû le jour. Son lieu de naissance était un bateau, qui avait disparu (Pathel, 2018 : 122)

Désiré tak tahu lagi siapa ia. Orang Mauritius ? Ia selalu hidup di sini, tapi tanpa kewarganegaraan. Orang Seychelle ? Ia bahkan tak pernah melihat negara itu. Britania Raya ? Adakah mereka akan menerimanya walau sedikit ? Orang Chagos ? Ia tak tahu apapun tentang kepulauan itu—tempat seharusnya ia tinggal sekarang. Tempatnya lahir adalah sebuah kapal. Yang kini sudah tak ada lagi (Pathel, 2018 : 122)

Melawan

C’est Maurice, les Anglais, et les Américains qui ont fait de nous de morts-vivants […] Anglais et Américains avaient arrangé leur affaire. Et Maurice n’a rien fait pour nous défendre. Trop contente d’avoir son indépendance (Pathel, 2018 : 136)

Adalah Mauritius, Inggris, dan Amerika yang telah membuat kita menjadi mayat hidup. Inggris dan Amerika merancang bisnisnya. Sementara Mauritius tak berbuat apapun untuk membela kita. Mereka terlalu girang atas kemerdekaannya (Pathel, 2018 : 136)

Darimana ide penulisan novel Les silence des chagos?

Menurut Pathel, penulisan novel ini mulanya terinspirasi dari kisah perlawanan perempuan-perempuan Chagos. Salah satu perlawanan ini terutama digagas Charlesia Alexis, sosok sesungguhnya yang menginspirasi tokoh Charlesia dalam novel.

Kisahnya berangkat pada periode awal 1980. Charlesia, bersama Lisette Talate dan Rita Bancoult, menggagas gerakan pieds-nus atau gerakan kaki telanjang. Gerakan ini mengajak para perempuan Chagos untuk berjalan tanpa alas kaki menuju Pelabuhan Port Louis. Di atas aspal yang membara, mereka lalu melakukan mogok makan sambil menggugat pemerintah Inggris, Amerika Serikat, dan Mauritius yang telah menelantarkan mereka.

Gerakan ini mulanya hanya diikuti perempuan saja. Faktor keamanan menjadi alasan utama. Sebab kita tahu bahwa polisi di seluruh dunia akan berlagak paling berani saat diminta menggilas bapak-bapak melarat. Namun ketika Charlesia akhirnya dibekuk aparat pada 1981, gerakan ini lalu diikuti semua kalangan terlepas dari faktor gender[8] Charlesia Alexis, The Times, diakses dari https://www.thetimes.co.uk/article/charlesia-alexis-3902vp9sdlz, pada tanggal  1 Desember 2019 .

Adapun perlawanan Charlesia tidak datang tiba-tiba. Ia adalah endapan rasa marah, getir, dan sengsara yang disepuh bau kematian. Perlawanannya muncul setelah ia melihat kengerian-kengerian yang membeliak di depan matanya selama lebih dari 10 tahun: Perempuan-perempuan yang terpaksa menjadi pelacur. Bayi-bayi kedinginan yang tidur dalam kardus. 1 ruang kecil berpenghuni 25 orang. Juga 26 orang Chagos yang mati kelaparan dan 9 temannya yang bunuh diri pada 1975[9] Tonton: Pilger, John, (2004), Stealing a Nation, diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=PjNfXK6QpqY pada tanggal 1 Desember 2019 .

Dalam film dokumenter Stealing a Nation (2004) karya John Pilger, Charlesia bahkan menyebut satu wabah yang menurutnya hanya diderita orang-orang Chagos. Mereka menyebutnya lasagrin, atau le chagrin, atau sakit nelangsa. Ia adalah penyakit yang timbul dari rindu yang pedih, juga perasaan terhina karena tak bisa pulang ke rumah. Ujar Alexia, itu penyakit mematikan yang bahkan membuatnya sampai menyusui bayi-bayinya dengan “air susu kesedihan”[10] Ibid .

Perlawanan Charlesia di jalanan awalnya nampak membuahkan hasil. Pada tahun 1982, Britania sepakat untuk memberikan kompensasi 6 juta poundsterling pada orang-orang Chagos. Sayangnya, kompensasi itu ternyata muslihat belaka. Bersamaan dengan uang tersebut, mereka dipaksa menandatangani surat pernyataan berbahasa Inggris yang isinya sama sekali tak mereka pahami. Surat itu, ternyata, berisi pernyataan bahwa Orang-orang Chagos tak akan lagi menuntut Right to go home—hak untuk pulang.

Geram oleh kecurangan tersebut, Charlesia justru membentuk gerakan baru. Pada 1983, ia bersama Lisette Talate dan Olivier Bancoult—putra dari Rita Bancoult—menginisiasi Chagos Refugee Group (CRG), sebuah gerakan yang menuntut terpenuhinya hak pendidikan anak-anak Chagos sekaligus hak untuk pulang[11] Baca: https://www.chagossupport.org.uk/chagos-timeline- diakses pada 1 Desember 2019 .

Gerakan ini bekerja dengan berbagai manufer baik kultural maupun legal. Di bawah kepemimpinan Olivier Bancoult, CRG menginisiasi berbagai demonstrasi untuk memperluas jangkauan isu yang mereka perjuangkan. Gerakan ini kemudian mendapat dukungan dari banyak tokoh besar seperti Paul Bérenger, Lindsey Collen, Ben Fogle, Benjamin Zephaniah, hingga pemimpin partai buruh Inggris, Jeremy Corbin [12] Ibid .

Tapi perjuangan CRG butuh waktu yang panjang. Sangat panjang. CRG baru bisa melakukan gugatan resmi ke pengadilan Britania pada tahun 1999. Gugatan itu menuai hasil ketika pada November tahun 2000, Pengadilan Tinggi Britania memutuskan bahwa pengusiran orang-orang Chagos dari Diego Garcia adalah pelanggaran hukum dan penyalahgunaan kekuasaan. Hasilnya, mereka memenangkan gugatan dan mendapat izin untuk kembali ke Diego Garcia [13] Ibid .

Tapi pasca kemenangan tersebut, perjuangan CRG masih jauh panggang dari api. Sebab selanjutnya, mereka justru dipertontonkan dengan bagaimana cara hukum bekerja di seluruh dunia: manipulatif dan sewenang-wenang.

Pada Oktober 2003, Pengadilan Tinggi Britania Raya membatalkan kembali keputusannya. Ujar mereka, proses pemindahan orang-orang Chagos akan memakan biaya hingga 5 juta poundsterling—setara harga transfer Mateja Kezman ke Chelsea di masa itu. Sedangkan pajak rakyat, tak selayaknya dianggarkan ke sana.

Pembatalan ini juga didukung Amerika Serikat yang dengan tegas emoh mengembalikan Diego Garcia. Adapun alasannya, Diego Garcia dianggap berperan penting dalam mencegah terorisme sekaligus menjaga kedamaian di Teluk Arab, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Timur—sebuah pernyataan yang bikin saya ingin menggeprek batok kepala Bush dengan telor burung onta.

Tapi alih-alih menyerah, CRG justru semakin menolak tunduk. Ini akan menjadi riwayat perlawanan panjang yang secara umum bisa kita singkat sebagai berikut: menuntut ulang dan menang kembali di Pengadilan Tinggi Britania Raya pada 2006. Dituntut balik dan kalah tahun 2008 di depan Dewan Bangsawan. Mengajukan tuntutan ke Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia (ECHR) pada 2012 untuk kemudian tumbang. Sampai akhirnya membawa kasus ini ke PBB dan Mahkamah Internasional Den Haag pada 2016 [14] Owen Bowcott dan Julian Borger, The Guardian, diakses dari https://www.theguardian.com/world/2019/may/22/uk-suffers-crushing-defeat-un-vote-chagos-islands pada tanggal 1 Desember 2019 .

Yang cukup mengejutkan, pada 25 Februari 2019 lalu, CRG memenangkan tuntutannya. Mahkamah internasional Den Haag memutuskan bahwa tragedi pengusiran orang Chagos adalah bentuk pelanggaran HAM berat. Keputusan ini lalu disusul dengan keputusan Majelis Umum PBB pada 22 Mei 2019 yang memberi batas waktu 6 bulan bagi Inggris dan Amerika Serikat untuk menarik seluruh armadanya dari Diego Garcia.

Lalu, apa yang terjadi pada November 2019?

Bisa kita tebak. Inggris dan Amerika Serikat kembali meludahi keputusan Mahkamah Internasional dan Majelis Umum PBB. Keduanya bahkan menyepakati perpanjangan kontrak hingga 2036 mendatang. Secara singkat, orang-orang Chagos masih belum tahu kapan mereka bisa pulang.

Dan setelah jatuh-bangun itu, apakah perjuangan Chagossiens sia-sia?

Saya kira ini yang penting kita catat: Sebelumnya, orang-orang Chagos adalah contoh paripurna dari apa yang disebut sebagai kaum subaltern [15] Baca: Spivak, Gayatri, (2010), Can The Subaltern Speak?:Reflections on The History of an Idea, Colombia University Press . Diusir dari rumah dan ditolak di tanah baru, Chagos adalah mereka yang lebih lemah daripada minoritas. Pinggir dari pinggir.

Tak cukup tertindas dan terdominasi, keterbatasan dalam berbahasa bahkan membuat mereka nyaris secara absolut tak bisa bersuara. 

Namun hari ini, sejarah mencatat bahwa mereka mampu membuat gerakan dengan semangat perlawanan yang paling tahan rontok. Dengan jumlah keturunan tak lebih dari 10.000—lebih sedikit dari rata-rata jumlah penonton Slank—mereka mampu memperjuangkan nasib mereka hingga Mahkamah Internasional. Orang-orang Chagos, seolah mampu menjawab pertanyaan Gayatri Spivak bahwa subaltern ternyata bisa berbicara.

Berkaca dari kisah tersebut, saya lantas mengingat betapa sering perjuangan kolektif di Indonesia patah sebelum berkembang. Perjuangan kolektif, seringkali hanya hangat tahi ayam. Ia muncul sebagai euforia, lalu berakhir dengan politik penokohan.

Belajar dari orang-orang Chagos, barangkali kita perlu menggarisbawahi hal ini: perjuangan yang didukung sedikit orang namun persisten, akan jauh lebih menuai hasil dibanding perjuangan yang didukung jutaan orang tapi cuma tahan seminggu.

References

References
1 Dipna Videlia Putsanara, Tirto, diakses dari https://tirto.id/trump-ancam-serang-52-situs-jika-iran-membalas-kematian-soleimani-eqKe pada tanggal 10 Februari 2020
2  Pathel, Shenaz, (2018), Le silence des Chagos (Catatan Penutup), Paris: Edition d’Olivier, hlm. 147
3 Ibid, Catatan Penutup, hlm.146
4 Baca: Vine, David, (2011), Island of Shame: The Secret History of The U.S.Military Base on Diego Garcia, Princeton University Press
5 Pathel, Shenaz, Op.cit, Catatan Penutup, hlm. 145
6 Ibid, hlm.18
7 Ibid, hlm. 119
8 Charlesia Alexis, The Times, diakses dari https://www.thetimes.co.uk/article/charlesia-alexis-3902vp9sdlz, pada tanggal  1 Desember 2019
9 Tonton: Pilger, John, (2004), Stealing a Nation, diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=PjNfXK6QpqY pada tanggal 1 Desember 2019
10, 12, 13 Ibid
11 Baca: https://www.chagossupport.org.uk/chagos-timeline- diakses pada 1 Desember 2019
14 Owen Bowcott dan Julian Borger, The Guardian, diakses dari https://www.theguardian.com/world/2019/may/22/uk-suffers-crushing-defeat-un-vote-chagos-islands pada tanggal 1 Desember 2019
15 Baca: Spivak, Gayatri, (2010), Can The Subaltern Speak?:Reflections on The History of an Idea, Colombia University Press