Seorang sahabat yang kebetulan berprofesi sebagai seorang guru pernah bertanya kepada saya perihal karya sastra yang tepat untuk usia sekolah menengah pertama (SMP). Awalnya saya tidak begitu berpikir panjang tentang hal tersebut. Sambil lalu saya meminta waktu untuk sekedar mencari referensi. Setelah saya mencoba menjawab, saya begitu kewalahan mencari karya sastra yang khas SMP. Saya memulai mencari puisi yang cocok untuk anak SMP. Saya menemui karya-karya Chairil Anwar dan WS Rendra. Kawan saya pun menanyakan perihal karya lain Chairil dan Rendra, dia mengatakan kesulitan jika harus menjelaskan makna di balik diksi-diksi “liar” nan “garang” karya penyair tersebut, menyerahlah saya. Kemudian bertanya lagi kawan guru terkait novel. Saya semakin bingung, karena tidak satu pun saya menemukan novel dengan latar dunia SMP. Hanya beberapa karya Hilman, yakni Lupus ketika usia SD dan SMP. Saya kesulitan mencari yang lain. Kehadiran sastra untuk usia SMP menjadi saya pertanyakan.
Sebagai manusia dewasa sudah menjadi tugas kita untuk membimbing adik atau anak-anak dan memberikan informasi tentang dunia ini. Salah satu cara menyampaikan informasi adalah melalui cerita. Semua orang menyukai cerita, jika direfeksikan banyak hal yang mempengaruhi kehidupan kita sekarang yang berasal dari cerita. Pendampingan bacaan anak harus dilakukan secara berkelanjutan sesuai kebutuhan dan tahap perkembangan anak.
Selama ini sastra anak banyak dibahas dalam tataran usia dini hingga usia sekolah dasar. Sejatinya masa sekolah menengah pertama yakni masa remaja awal juga merupakan usia yang rentan dan butuh bimbingan. Kajian sastra untuk usia remaja awal inilah yang mengalami kekosongan. Kekosongan tersebut dapat dilihat dari tidak tersedianya bacaan khas untuk usia siswa sekolah menengah pertama. Saya mempunyai gagasan untuk memasukkan usia remaja awal dalam naungan sastra anak.
Kekosongan bacaan sastra masa remaja awal (masa transisi)
Sastra anak adalah karya sastra yang dibuat oleh orang dewasa atau oleh anak-anak dengan konteks dunia anak, bahasa anak, dan minat anak. Sepemahaman saya sastra anak mempertimbangkan sisi pendidikan dan pesan dalam setiap karyanya. Bahasanya pun sederhana. Sastra anak memiliki dimensi mulai dari usia yang belum begitu jelas.
Selama ini batasan usia sastra anak berhenti pada usia 12 tahun yakni usia SD kelas 6. Hal ini didasari teori Piaget tentang tahap perkembangan anak, dimulai dari pra-operasional, operasional konkret, dan operasional formal. Usia 12 tahun ke atas dianggap masuk dalam wilayah operasional formal. Pembagian usia sastra anak mengikuti alur berpikir tersebut sehingga usia siswa kelas 6 SD hingga usia dewasa digolongkan dalam zona “sastra formal”. Tentunya hal ini tidak sesuai dengan realitas yang terjadi. Sastra dewasa, sebut saja demikian, memiliki kompleksitas ide yang kadang tidak sesuai, misalnya, untuk anak SD kelas 6 ataupun SMP kelas 7 dan kelas 8. Penggolongan usia dalam sastra anak perlu memiliki kekhasan dengan melihat situasi dalam konteks Indonesia. Saxby (1991:4) mengatakan bahwa sastra pada hakikatnya adalah citra kehidupan, gambaran kehidupan. Citra kehidupan (image of life) dapat dipahami sebagai penggambaran secara konkret tentang model-model kehidupan sebagaimana yang dijumpai dalam kehidupan faktual sehingga mudah diimajinasikan sewaktu dibaca. Begitu pula dengan sastra anak, sastra anak perlu menggambarkan konteks mereka sesuai tahap perkembangannya. Jika usia 12 tahun ke atas dianggap telah dewasa, maka diberikan kebebasan bagi mereka untuk memilih bacaannya. Tentunya hal ini tidak dapat diterima begitu saja. Usia remaja awal masih sangat memerlukan bimbingan orang dewasa, khususnya dalam memilih karya sastra.
Pemahaman tentang tahap perkembangan anak sangat penting untuk memilih karya sastra yang sesuai. Pilihan bacaan anak untuk usia sekolah dasar sangatlah melimpah. Secara garis besar, Lukens (1999:14-30) mengelompokkan genre sastra anak ke dalam enam macam, yaitu realisme, fiksi formula, fantasi, sastratradisional, puisi, dan nonfiksi dengan masing-masing mempunyai beberapa Jenis lagi. Genre drama sengaja tidak dimasukkan arena menurutnya, drama baru lengkap setelah dipertunjukkan dan ditonton, dan bukan semata-mata urusan bahasa-sastra. Genre sastra anak tersebut memberikan batasan yang sangat luas terhadap semua buku anak, dengan kata lain semua buku anak adalah sastra anak. Misalnya, pada usia dini (2-4 tahun) seorang anak belum dapat mengenali huruf dan belum dapat membaca, tetapi anak sudah dapat memahami bahwa ada buku yang berisi sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Hal itu terjadi karena anak biasa melihat aktivitas dewasa yang sering memegang buku dan membaca serta membacakan isi buku itu kepadanya. Lewat buku-buku tersebut anak dapat melihat berbagai gambar -gambar-gambar yang sengaja dirancang untuk diberikan. Oleh karena itu, dalam rentang usia dini buku bergambar, pengenalan warna, hewan, huruf-huruf (alfabet) pun dapat dikategorikan sebagai sastra anak.
Sastra anak untuk usia sekolah dasar juga memiliki banyak ragam, misalnya: dongeng, cerita rakyat, buku cerita bergambar, puisi, pantun, cerita pendek, maupun novel. Novel untuk siswa sekolah dasar yang saat ini populer adalah Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK), siswa sekolah dasar yang menjadi pembaca sekaligus penulis karya novel tersebut. Gairah menulis dan perkembangan sastra anak khususnya di usia sekolah dasar menunjukkan arah positf. Karya sastra tulisan anak-anak mulai banyak diterbitkan. Dengan ditulis oleh anak, maka gambaran dunia anak akan lebih orisinal, termasuk ekspresi bahasa yang digunakan. Di samping itu, tokoh anak dalam novel tersebut, akan memberikan contoh kepada pembaca, anak, bagaimana menjadi seorang anak yang berkualitas secara intelektual, moral, dan spiritual sebagai ciri pribadi yang berkarakter.
Fenomena ironis terjadi pada sastra untuk usia sekolah menengah atau dapat kita sebut usia SMP, jika kita menelisik lebih jauh, tidak dapat kita temukan karya sastra yang khas usia SMP. Perpustakaan SMP dipenuhi buku-buku novel remaja percintaan, novel sastra dewasa, atau justru cerita-cerita anak-anak SD. Seolah tidak ada pengarang sastra yang ingin mendalami permasalahan usia SMP. Sastra tidak memberikan perannya secara maksimal sebagai sarana pendidikan karakter untuk anak usia SMP. Dapat dilihat pula jarang ditemukan prosa mupun karya lain yang tokoh utamanya berusia SMP. Sebut saja kisah Dilan yang saat ini sedang booming, latar ceritanya adalah usia SMA. Tidak hanya Dilan, kita mengenal Lupus, Olga Sepatu Roda, dan sebagainya merupakan novel dengan setting SMA. Sejauh pengetahuan saya, belum ada novel dengan tokoh utama anak SMP. Selain itu, jika melihat buku paket SMP kita akan menemukan contoh-contoh puisi dan prosa dewasa. Tidak salah mengajarkan sastra dewasa dengan nilai-nilai luhur tetapi perlu dikaji tentang minat siswa terhadap isu terkait, kompleksitas alur dan permasalahannya, kompeksitas gramatikal bahasa, kompleksitas tokoh, dan sebagainya.
Alternatif Penggolongan Sastra Anak berdasarkan Usia
Sub bab ini diberikan judul alternatif sebab pada dasarnya pembahasan tahap perkembangan anak khususnya dalam sastra anak telah banyak dibahas. Perkembangan kognitif berpedoman pada teori Piaget, perkembangan moral berpedoman pada teori Kohlberg. Bapak Burhan Nurgiantoro dalam banyak tulisannya pun banyak membahas secara detail hal ini. Tahap perkembangan tersebut dibahas dalam rangka memilih karya sastra yang sesuai dengan tingkat usia anak. Pemilihan karya sastra untuk anak adalah tanggung jawab orang dewasa. Pengetahuan tentang tahapan perkembangan anak akan memberikan gambaran pada sifat, karakter, dan kebutuhan anak kemudian dicocokan dengan karya sastra yang sesuai.
Motivasi saya di sini menggolongkan sastra anak adalah memberi usulan untuk merangkul secara pasti, jelas, dan mantab bahwa usia SMP adalah termasuk zona tanggung jawab sastra anak. Maka penggelut dunia sastra anak memiliki tanggung jawab untuk meluaskan target sasaran ke jenjang SMP. Hal ini diharapkan akan menggelorakan sastra di jenjang SMP.
Penggolongan sastra anak berdasarkan usia yang diusulkan adalah: (1) Sastra anak usia awal (0-7 tahun); (2) Sastra anak usia menengah (8-11 tahun); dan (3) Sastra anak usia lanjut (13-15 tahun).
Sastra Anak Usia Awal (0-7 tahun)
Tahap ini berdasar pada tahap sensorial dan pra-operasional menurut Piaget. Bacaan yang bersifat dasar dan pengenalan huruf, kalimat dan cara membaca tepat. Karena dalam tahapan ini masih baru mengenal bacaan sehingga perlu bimbingan khusus dari guru dan orangtua dalam membaca bacaannya yang mungkin memang masih belum lancar dalam membaca. Bentuk bacaan dapat berupa gambar, pengenalan huruf, pengenalan warna, hewan, sayuran, pengenalan bunyi, pengenalan emosi, pengenalan kalimat sederhana, membaca-menulis permulaan, dll.
2. Sastra Anak Usia Menengah (7-11 tahun)
Tahap ini berdasar pada tahap operasional konkret menurut Piaget. Bacaan narasi atau eksplanasi yang mengandung urutan logis dari yang sederhana ke yang lebih kompleks. Bacaan yang menampilkan cerita yang sederhana baik yang menyangkut masalah yang dikisahkan, cara pengisahan, maupun jumlah tokoh yang dilibatkan. Bacaan yang menampilkan berbagai objek gambar secara bervariasi, bahkan mungkin yang dalam bentuk diagram dan model sederhana. Bacaan narasi yang menampilkan narator yang mengisahkan cerita, atau cerita yang dapat membawa anak untuk memproyeksikan dirinya ke waktu atau tempat lain. Dalam masa ini anak sudah dapat terlibat memikirkan dan memecahkan persoalan yang dihadapi tokoh protagonis atau memprediksikan kelanjutan cerita.
3. Sastra Anak Usia Lanjut (11-15 tahun)
Tahap ini sesuai dengan tahapan operasional formal menurut Piaget. Anak telah memiliki pengetahuan abstrak. Topik/tema yang sesuai dengan lingkungan dan usia siswa, misalnya tema persahabatan, petualangan, informasi tentang trend kegiatan positif di zaman yang sedang berkembang, semangat kebangsaan, cinta tanah air, kerja keras, jujur dan bertanggung jawab, serta pilihan hidup yang sesuai dengan keyakinannya. Tingkat kerumitan gramatika yang tidak begitu kompleks, bahasa yang mudah dipahami, bahasa perlu mempertimbangkan aspek kesopanan dan kesantunan. Panjang pendek karya sastra yang tidak banyak memerlukan waktu untuk memahaminya. Kerumitan konflik atau alur cerita yang tidak begitu kompleks dan absurd. Kerumitan perwatakan, termasuk jumlah tokoh, yang tidak begitu panyak penafsiran; dan Tingkat pemicu imajinasi yang dapat cepat menggerakan pikiran siswa pada hal-hal yang dihadapinya sehari-hari.
Penutup
Kekosongan sastra usia SMP perlu mendapatkan perhatian penggiat sastra. Usia sekolah menengah adalah usia kompleks, masa transisi dari anak-anak ke remaja. Dalam dirinya masih terdapat jiwa anak-anak yang belum dapat lepas begitu saja. Usia SMP sangat memerlukan pendampingan orang dewasa. Karya sastra dapat menjadi sarana pendampingan karakter. Karya sastra dapat secara efektif merasuk dalam pribadi usia SMP dikarenakan sifatnya yang tidak menggurui. Pembaca akan larut dan dapat bersentuhan dengan pesan moral serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sebagai usaha merangkul kembali sastra untuk usia SMP, diusulkan untuk memasukkan rentang usia SMP ke dalam kajian sastra anak. Dengan demikian diharapkan pengkajian sastra anak dengan rentang usia sekolah menengah pertama dapat semakin banyak diminati.
Daftar Pustaka
Huck, Charlotte S, Susan Hepler, dan Janet Hickman. 1987. Children’s Literature in The Elementary School. New York: Holt, Rinehart and Winston. Lukens, Rebecca J. 1999. A Critical Handbook of Children Literature. New York: Longman. Nurgiantoro, Burhan. Tahapan Perkembangan Anak dan Pemilihan Bacaan Sastra Anak. Cakrawala Pendidikan, Th. XXIV, No. 2, Juni 2005 Nurgiantoro, Burhan. Sastra Anak di Usia Awal dan Literasi. DIKSI, Vol 12, No 1, Januari 2005 Nurgiantoro, Burhan. Sastra Anak: Persoalan Genre. Humaniora Volume 16, No. 2, Jun/ 2004: 107-122 Saxby, Maurice dan Gordon Winch (eds). 1991. Give Them Wings, The Experience of Children’s Literature. Melbourne: The Mac- millan Company.
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi
author = About Olav Iban
Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.
View all posts by Olav Iban →
Selalu ada yang menarik tentang Indonesia. Sejak pertama kali Cornelius de Houtman melintasi selat Malaka, menepi di Banten, dan kemudian tewas di pantai Aceh tahun 1599, begitu banyak kekaguman bangsa asing terhadap kehebatan bangsa kita. Silakan cek sendiri di tiap-tiap bibliotek negeri Belanda jika mental inferior Anda menyangsikannya.
Sebagai suatu misal, sehingga bisa Anda bayangkan kehebatan Indonesia di mata luar, adalah bagaimana merindingnya bulu kuduk para anak buah Stamford Raffles melihat gundukan tanah raksasa yang rimbun semak belukar berserakkan batu-batu candi dan stupa-stupa di desa Borobudur. Kekaguman yang tidak mengada-ada jika Anda membaca data bahwa delapan cikar penuh arca (tentunya arca yang paling bagus tak bercacat) diberikan sebagai hadiah dari pemerintah kolonial kepada Raja Chulalangkon dari Thailand tahun 1896. Atau bagaimana suatu hari kepala patung Bodhisatwa dari Candi Plaosan hilang dipenggal orang tak dikenal, dan dua tahun kemudian kepala tersebut sudah berada di Kopenhagen. Menakjubkan, bukan? Itu Indonesia.
Candi dalam konteks ini serupa dengan karya sastra, adat istiadat, ritual, maupun bahasa. Mereka (tanpa mengurangi substansi di dalamnya) hanyalah suatu bentuk atau ekspresi yang merepresentasikan kebijaksanaan tertinggi manusia penciptanya. Jika begitu tingginya nilai sebongkah batu candi, sudah tentu tak disangsikan lagi begitu-lebih-tingginya penilaian bangsa asing terhadap manusia yang menciptakannya, manusia Indonesia.
Manusia Sentralis yang Jauh dari Raja
Kita, manusia Indonesia masa kini, tidak dapat lepas dari keterikatan historis dengan manusia penghuni Kepulauan Nusantara di masa-masa sebelumnya. Menurut Armijn Pane, di tahun 140 M sudah ada perhubungan antara India dan Nusantara yang kemudian berkembang pesat hingga menumbuhkan dua kerajaan besar, Sriwijaya dan Majapahit, pada masanya sendiri.
Menarik untuk diamati bagaimana pengaruh dua kerajaan besar ini bagi manusia Indonesia modern. Secara teoritis mudah dibedakan yaitu Sriwijaya sebagai kerajaan maritim dan Majapahit sebagai kerajaan agraris, dan dalam perkembangannya sejarah kerajaan Majapahit lebih menonjol. Menurut Ridwan Saidi, sedikit banyak pengaruh dari kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Nusantara ikut membentuk warna kehidupan politik kita sekarang. Pada kerajaan agraris terdapat kecenderungan sentralisasi kekuasaan, yang berbeda dengan kerajaan maritim yang cenderung dekonsentrasi. Hal ini karena secara teoritis, pada kerajaan yang agraris, seluruh yang berada di bawah raja: rakyat, ternak, tanaman serta segala bentuk kekayaan berada pada suatu wilayah yang sama, tidak terpencar-pencar, sehingga dapat dipahami bila kecenderungan wataknya sentralistis.
Para founding father kita memilih untuk menerapkan sistem sentralisasi bukan tanpa alasan serta pertimbangan. Maraknya perkumpulan pemuda, organisasi masa dan kelompok intelektual pada kurun itu dirasa perlu dipersatukan. Suatu pergerakan kemerdekaan yang separatis tidak mungkin mencapai tujuan kemerdekaan itu sendiri, harus ada rasa kebangsaan di atas hasrat kedaerahan. Kongres Pemuda II 1928 membuktikan kebenarannya. Tujuan asalinya adalah mendekatkan yang tercerai, dan merekatkan yang dekat.
Menurut Niccolo Machiavelli, sistem pemerintahan yang terpusat akan sangat menyulitkan kerajaan lain menyerang. Jika ingin merebut kerajaan seperti itu diperlukan suatu kekuatan masif dari pasukannya sendiri, dan tidak berharap kekacauan di pihak lawan. Keuntungan dari keterpusatan seperti ini adalah jika saja kerajaan itu berhasil dikalahkan dengan kekuatan senjata yang besar, maka selanjutnya akan mudah mempertahankan wilayah kekuasaan baru tersebut dalam jangka waktu yang sangat lama. Berkebalikan dengan pemerintahan yang bersifat dekonsentratif yang sangat mudah ditaklukan sekaligus sangat susah dipertahankan. Menurutnya, dua fenomena ini terjadi berdasar pada kedekatan fisik antara raja dan rakyat. Semakin dekat rakyat dengan rajanya (secara fisik maksudnya mudah ditemui, tidak jauh jaraknya dan tidak sulit syaratnya), semakin rakyat merasa aman. Semakin rakyat merasa aman, semakin cinta rakyat itu kepada rajanya. Semakin cinta rakyat itu kepada rajanya, semakin setialah mereka, dan semakin sulitlah musuh menghasut pemberontakan untuk merontokkan kerajaan itu dari dalam.
Terdapat satu kekurangan vital saat sistem sentralisasi kekuasaan diterapkan di Indonesia yang republik: yaitu, bilamana jangkauan raja tidak sepanjang yang diharapkan? Sungguh memalukan sebenarnya mengingat gagasan sentralisasi kekuasaan di masa pra-kemerdekaan dipakai untuk mendekatkan rakyat kepada raja justru sekarang malah mejauhkan raja dari rakyatnya. Penjelasan mengenai hal ini nanti akan saya jabarkan lebih lanjut.
Para negarawan pemikir telah menutupi kekurangan ini dengan suatu jejaring pemerintahan yang disebut birokrasi. Ketika jangkauan raja (dalam hal ini Presiden Republik Indonesia) tidak cukup jauh merangkul rakyatnya, ia harus memanfaatkan sistem birokrasi itu untuk menjangkau hingga lapisan rakyat terendah, sehingga boleh dikata semua aktivitas dari sektor yang tradisionil hingga yang sangat modern tak dapat dilakukan tanpa melintasi jalur birokrasi. Namun, apakah gagasan tentang birokrasi akan sejajar dengan kebutuhan rakyat untuk dekat pada pemimpinnya?
Birokrasi hingga detik ini bukanlah jawaban sempurna dalam rangka menambal kesalahan-pakai sebuah sistem pemerintahan. Mari seksama kita cek definisi birokrasi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Anda akan temukan dua makna yang berbeda walau tidak berseberangan. Pertama adalah: sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan, dan yang kedua adalah: cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dsb) yang banyak liku-likunya. Definisi pertama menggambarkan makna universal dari birokrasi, sementara definisi berikutnya lebih pada pemaknaan personal-kolektif sebagai tanggapan ketidakpuasan atasnya. Dari sini saja sebenarnya sudah cukup sahih bagi siapa saja termasuk Presiden Indonesia (yang memahami rakyat) untuk sepakat ketidakefektifan sistem tersebut. Jika Anda berpikiran pragmatis, pengebirian jalan birokrasi guna mempermudah bukan solusi bijak mengingat di dalam jalan birokrasi digantungkan banyak nasib manusia-manusia pegawai negeri sipil, sehingga hanya akan menghasilkan pemecatan besar-besaran di Indonesia raya yang mungkin saja berujung coup d’etat dadakan versi KORPRI.
Jalan ke-Indonesia-an
Lantas demikian, apa solusi efektif untuk menutupi kekurangan dalam sistem sentralisasi kekuasaan di bangsa ini? Menurut saya, terdapat empat jalan untuk menghasilkan satu bangsa Indonesia yang benar madani di kemudian hari. Jalan pertama adalah kembali kepada kearifan lokal nusantara: gotong royong. Gotong royong sebagai pegangan berbangsa erat kaitannya dengan Dekrit Presiden 1959. Walau di sini saya sengaja melepasnya dari nafas NASAKOM, tetapi perlu dijabarkan bagaimana Soekarno memeras Pancasila menjadi Trisila, yaitu sosionasionalisme (kebangsaan dan peri kemanusiaan), sosiodemokrasi (demokrasi dan kesejahteraan sosial), dan ke-Tuhan-an. Trisila ini diperas lagi menjadi Ekasila, yang tidak lain ialah gotong royong. Dari sini ternyatalah bahwa konsepsi gotong royong adalah intisari ke-Indonesia-an.
Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mencetuskan demikian: “Sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan negara Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia! Semua buat semua! Alangkah hebatnya. Negara Gotong Royong!”
Menurut Soekarno, gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis daripada kekeluargaan. Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan. Gotong royong ialah soekardjo dalam istilah Soekarno, yaitu satu karyo satu gawe. Gotong royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua untuk kepentingan semua, keringat semua bagi kebahagiaan semua. Gotong royong adalah holopis-kuntul-baris untuk kepentingan bersama.
Semangat gotong royong dalam suatu sistem budaya atau adat istiadat tidak selalu ada di setiap kebudayaan dunia. Menurut Kluckhorn via Koentjaraningrat, setiap kebudayaan mengenal lima masalah dasar manusia, yaitu: (1) hakekat hidup, (2) hakekat karya, (3) persepsi tentang waktu, (4) persepsi tentang alam, dan (5) hakekat hubungan antarmanusia. Mengenai masalah kelima, terdapat kebudayaan-kebudayaan yang sangat mementingkan hubungan vertikal di sosial masyarakatnya: yang dalam tingkah-lakunya sangat berpedoman pada tokoh-tokoh pemimpin, atasan, atau senior. Sedang di kebudayaan lain yang lebih mengedepankan hubungan horizontal: yang sangat bergantung pada sesamanya, dan berpikiran bahwa usaha untuk memelihara hubungan baik dengan tetangganya merupakan suatu hal yang dianggap sangat penting dalam hidup. Kecuali itu, ada pula kebudayaan yang tidak membenarkan anggapan bahwa manusia bergantung pada orang lain dalam hidupnya. Kebudayaan seperti itu menjunjung tinggi individualisme, dan sedapat mungkin mencapai tujuan hidup dengan bantuan manusia lain sedikit mungkin.
Penjabaran di atas memilah kebudayaan menjadi tiga dilihat dari hakekat hubungan antarmanusia. Tipe terakhir, sangat tidak Indonesia. Tipe pertama, setengah Indonesia. Dan tipe kedua, sangat Indonesia. Inilah yang saya maksudkan gotong royong sebagai pengganti kegagalan seorang pemimpin merangkul rakyatnya. Gotong royong secara progresif dapat membuat kondisi ‘lupa-kekurangan-pemimpin’. Setiap masalah di intra masyarakat (terlepas dari masalah eksternal seperti serangan negara asing) tidak perlu lagi diselesaikan dengan jalan birokratis. Cukup dengan mengubah peranan pemerintah daerah yang semula melapor ke atas menjadi wadah pelaksanaan gotong royong masyarakatnya.
Dalam wadah ke-gotong-royong-an terdapat musyawarah, dialog (yang bukan monolog ataupun duolog) untuk menemukan satu kemufakatan. Jalur gotong royong yang membawa rembug, musyawarah, dan kemudian mufakat, sudah cukup untuk menghindari rumitnya jalan birokrasi. Tak perlu lagi di situasi desa (misalnya pencuri ayam) didahulukan proses ketimbang esensi. Proses yang terlalu panjang hanya akan menyebabkan khilaf akal terhadap tujuan pertama, sehingga menghasilkan tujuan-tujuan turunan yang belum tentu seirama dengan tujuan utama.
Indoktrinasi tentang “berproses” selama ini menggelikan. Dalam forum-forum mahasiswa sekarang selalu terdengar selentingan ‘yang penting prosesnya, terserah baik jelek hasilnya’. Paham ini benar, tapi sedikit. Sama halnya seperti ajakan untuk bersholat, yang penting sholat lima waktu, cukup. Tetapi lupa bahwa itu sekadar kulit ari. Tugas sesungguhnya adalah menemukan makna sholat itu sendiri, dan menyempurnakannya di setiap lelaku. Sama, proses itu sungguhlah penting. Lupakan dulu tujuan sehingga berpusat pada pengerjaan. Namun selepas itu akan terjadilah penemuan makna tujuan sesungguhnya sehingga penting untuk mengedepankan kesempurnaan hasil ketimbang cacat. Maka ambillah kesimpulan bahwa proses tidak untuk diidolakan, birokrasi sebagai proses tak perlu dikedepankan, pakailah hati dan otak untuk menggantikannya. Masa Anda membiarkan seorang nenek antri berdiri berjam-jam dan mendahulukan pemuda tanggung hanya karena pemuda itu duluan datang. Jangan sampai harta kearifan lokal nusantara yang horizontal dan gotong royong membusuk tertutup kosmetik civilization.
Mudahnya Rakyat Bertemu Pemimpin
Jalan Kedua, selain penanaman jiwa gotong royong sebagai solusi efektif membangun kembali Indonesia, adalah: keberadaan pemimpin yang mudah dijangkau rakyatnya. Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, betapa kontradiktif peranan raja atau pemimpin atau presiden Indonesia aktual. Satu sistem besar kenegaraan yang telah dibentuk jauh hari sejak Hayam Muruk diangkat sumpah (bahkan sebelumnya), sejak gerakan tahun 20-an mencetuskan persatuan nusantara, memilih kekuasaan terpusat sebagai jalan paling harmonis bagi rakyat dan pemimpin. Namun lihat keadaannya sekarang, sangat berkebalikkan.
Impresi yang saya tangkap pada presiden Indonesia sekarang, Susilo Bambang Yudhoyono, adalah pemimpin yang susah ditemui rakyatnya. Kehadirannya di publik hanya sebatas press release, pidato-pidato kenegaraan, kunjungan-kunjungan rutin yang protokoler.
Saya sebenarnya ingin menggunakan istilah ‘sarang persembunyian’ untuk Puri Cikeas, tetapi sepertinya tidak etis. Mungkin akan lebih tepat jika disebut sebagai tempat nyaman presiden untuk menerima tamu-tamunya. Kehadiran Puri Cikeas seakan merepresentasikan dualisme dalam diri SBY, yaitu sebagai pemimpin Partai Demokrat selain sebagai Presiden Republik Indonesia. Sadar tidak sadar, rakyat memahami adanya dikotomi Istana Merdeka dan Puri Cikeas, sehingga berakibat SBY memiliki dua wajah yang berarti: rakyat berpikir (secara bias) bahwa terdapat tendensi perbuatan saling menguntungkan di antara kedua Istana tersebut, di bawah meja maupun di atas meja.
Kendatipun memiliki dua Istana, bukan berarti mudah untuk menemui seorang SBY, apalagi jika Anda hanya kelas medioker. Bisa jadi pernyataan ini hanya karena saya yang terlalu bodoh (atau memang banyak orang yang) tidak tahu bagaimana caranya berjumpa dengan presiden. Apakah jika saya datang ke Istana Negara, kulo nuwun, dipersilakan masuk, diberi suguhan teh hangat lalu tunggu sebentar, barulah presiden mendatangi? Atau seperti bertemu Sultan di masa lalu yang haruslah duduk bersila di Alun-alun Selatan menunggu sampai Sinuwun merestui kedatangan saya? Entahlah, saya sendiri belum pernah bertemu seorang presiden.
Terlepas dari itu semua, bukanlah hal bijak jika pemimpin Indonesia yang hakekat masyarakatnya horizontal menjadi susah ditemui oleh rakyatnya sendiri. Contoh baik dapat ditemukan dalam model kepemimpinan Soekarno yang membangun banyak istana di berbagai wilayah Indonesia sebagai simbol kedekatannya dengan rakyat di mana saja. Berpidato di tengah keramaian berjarak centimeter dengan audience sebagai simbol kedekatannya dengan rakyat kelas mana saja. Selain itu ada Sutan Sjahrir memperlihatkan model kepemimpinannya yang bersepeda ke kantor saat menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia sembari menyapa pedagang-pedagang yang hendak ke pasar. Atau mungkin model kepemimpinan Soeharto yang sering melakukan perjalan incognito (bersembunyi-sembunyi) ke desa-desa pelosok, bercengkrama dan menginap bahkan ikut macul (mencangkul) bersama rakyat kecil sekadar memastikan bahwa rakyatnya baik-baik saja. Model kepemimpinan seperti inilah yang paling nyata sangat dibutuhkan rakyat Indonesia.
Iklim Berpikir Kritis
Jalan Ketiga adalah: menciptakan iklim berpikir kritis di kalangan rakyat manapun. Berpikir kritis bukan berarti berdiri di sudut negatif dalam memandang segala hal. Berpikir kritis tidak selalu melontarkan kritik, opini tandingan, atau pikiran ekstrim. Berpikir kritis di sini adalah gaya berpikir yang selalu menyajikan dua atau lebih points of view, mampu menjadi neraca dialektika, dan tidak menerima mentah-mentah segala bentuk opini.
Pembentukkan iklim kritis berpikir di kalangan rakyat mampu mengurangi ketergantungan bernalar pada kaum intelektual (yang hanya ada di pusat-pusat kekuasaan). Selama ini rakyat kelas bawah menaruh kepercayaan terlalu besar kepada kaum intelektual yang berkuasa di negeri ini. Bagaimana jika sesungguhnya mereka tidak pantas diberi kepercayaan berpikir dan bekerja? Bagaimana jika mereka itu anjing? Ketergantungan rakyat seperti ini mengakibatkan banyak peluang-peluang kemajuan sirna begitu saja, dimanfaatkan oleh mereka demi kesejahteraan kaum-kaum tertentu. Bayangkan saja jika seorang tukang becak menarik kembali hak berpikirnya dari tangan intelektual yang berkuasa. Bayangkan tukang becak itu berada di iklim berpikir yang kritis. Setiap siang ia berkumpul bersama tukang-tukang becak lainnya di depan Taman Sriwedari untuk bermain catur sambil berdiskusi tentang kemajuan negeri. Maka, saya sangat yakin, ia akan menemukan titik sejati bahwa kemajuan negeri juga adalah kemajuan dirinya dan keluarga. Bahwa untuk memajukan negeri ini, ia harus memajukan pula dirinya dan keluarga. Iklim seperti itu dapat mengubah tukang becak yang hanya tahu nama jalan menjadi juga tahu sejarah tiap area yang dilewati sebagai modal peningkatan pariwisata setempat sekaligus peningkatan nilai jasanya dalam rupiah.
Saya beri contoh lain yang lebih membumi terhadap penerapan iklim berpikir kritis, yaitu bagaimana mengubah Universitas Palangka Raya (misalnya) menjadi universitas sekelas Universitas Gadjah Mada. Pertanyaan ini sering saya lontarkan dalam diskusi-diskusi kecil tentang kemajuan bangsa yang sifatnya merata. Apakah dengan mengubah tenaga pengajarnya? Mengubah sarana belajarnya? Mengubah silabus kuliahnya? Mengubah iklim belajarnya? Atau semua pilihan benar? Kebanyakan peserta diskusi memilih yang terakhir. Perlu ada perubahan menyeluruh di tiap sisi. Tapi, andaikanlah ini: bagaimana jika seluruh tenaga pengajar dari UGM sekaligus tenaga administratifnya termasuk jajaran rektorat kita pindahkan ke Universitas Palangka Raya. Bentuk gedung tiap fakultas, tata ruang, pohon-pohon penghijau, hingga letak bak sampahnya kita samakan dengan kondisi di UGM. Silabus serta metode belajar kita buat sama persis. Bahkan kita ubah suasana kota Palangkaraya serupa dengan Yogyakarta. Kita pindahkan penduduk Yogyakarta ditukar dengan penduduk Palangka Raya untuk menciptakan iklim belajar yang sama. Pertanyaannya, andai semua itu sudah dilakukan, apakah Universitas Palangka Raya mampu, minimal, menyamai ranking UGM di tingkat nasional dan internasional? Semua menjawab: tentu tidak. Lalu perubahan seperti apa sebenarnya yang diperlukan?
Tidak ada sangkalan UGM adalah universitas ranking atas di Indonesia. Berbeda dengan Universitas Palangka Raya yang kelasnya jauh di bawah. Maka tentunya mereka memiliki input mahasiswa yang berbeda pula. Pada prinsip pukul-rata, mahasiswa yang diterima di UGM adalah siswa lulusan SMA-SMA terbaik dari seluruh penjuru Indonesia. Siswa SMA-SMA terbaik tersebut berasal dari SMP-SMP terbaik, dari SD-SD terbaik, dan dari TK-TK terbaik, hingga dari keluarga-keluarga terbaik. Syahdan, terjawablah sudah bahwa perubahan yang diperlukan untuk membangun Universitas Palangka Raya menjadi sekelas UGM adalah dengan satu perubahan subtantif, seratus perubahan kolektif, dan seribu perubahan organitatif. Selain dengan perubahan yang sifatnya internal (tenaga pengajar, silabus, struktur rektorat, fisik bangunan, dll.), perlu adanya perbaikan pedagogi massal (dari cara mengajar sampai bahan ajaran) di TK, SD, SMP, SMA di kota Palangka Raya sehingga mampu menelurkan output berkualitas yang nantinya menjadi bibit Universitas Palangka Raya baru—mungkin bahkan Indonesia baru.
Sampah Masyarakat
Hingga Jalan Ketiga, semua terlihat mudah dileweati dan (yang terpenting) tidak terlalu utopis. Dari kacamata ini, penguasa di Indonesia melakukan tiga pokok kesalahan, yaitu: (1) tidak terciptanya kondisi sosial-politik-ekonomi yang gotong royong di negara kita, (2) posisi pemimpin negara yang sulit dijangkau serta tidak manusiawi, dan (3) semakin maraknya ketumpulan berpikir rakyat akibat ketergantungan intelektual. Namun, kesalahan tersebut tidak sampai mencelakakan bangsa seandainya penguasa Indonesia tidak membuat kesalahan yang keempat, yakni: membiarkan sampah masyarakat bertebaran di segala golongan.
Tidak perlu panjang lebar apa dan siapa sampah masyarakat itu. Anda seharusnya sadar hanya dengan melihat media cetak ataupun elektronik akhir-akhir ini. Mana yang sampah, mana yang tidak. Mana yang berpikir untuk sesama, mana yang untuk pribadi. Mana yang menabur kebaikan, mana yang menabur kebencian.
Dan, selama Anda membiarkan dikotomi itu ada, dan tanpa sadar ikut pula masuk ke posisi sampah itu, maka ketiga jalan yang telah saya kemukakan di atas tidak akan mekar berbunga. Hama perusak menyebar di semua sudut taman—takkan ada satu bunga pun yang mekar. Maka dari itu, dengan singkat saya katakan: Maknai benar-benar apa maksud adagium: pemuda penerus bangsa, harapan bangsa, masa depan bangsa. Itu saja untuk sub-bab ini.
Manusia dan Indonesia Idaman
Jelas posisi saya di sini bukan sebagai pendukung pemerintah maupun oposisi. Sehingga jika sekarang kita membicarakan kemajuan bangsa, saya tidak menaruh harapan besar kepada orang-orang yang berkuasa di negeri ini. Pula saya tidak berharap mereka akan peka terhadap apa yang seharusnya mereka perbuat demi mengembalikan tujuan dasar berdirinya Republik Indonesia. Dan tentu saja, saya sangsi bahwa mereka tahu cita-cita sejati berdirinya bangsa ini.
Cita-cita Indonesia berdasar apa yang tertuang dalam Pancasila dan UUD’45 menurut Soekarno adalah: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Proklamasi, sesuai dengan fungsinya, hanya sebagai pengantar ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Salah satu contohnya terdapat di UUD’45 khususnya pasal 33 yang berbunyi: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Itulah cita-cita dan tujuan berdirinya negara Indonesia, suatu keadilan mutlak, ya sosialnya, ya ekonominya, ya politiknya. Perlu saya kutipan perkataan Moh. Hatta yang demikian, “Tumpahkanlah pikiran sepenuh-penuhnya kepada Pasal 33 UUD ’45, yang sebenarnya menjadi dasar pembangunan perekonomian negara kita.” Dan mengutip Sindhunata, “Visi keadilan sosial adalah visi pembentukan negara. Sampai kini kita terus tertatih-tatih membentuk negara ini, mungkin karena kita selalu melalaikan visi keadilan sosial dalam Pasal 33 UUD ’45 itu.”
Bagi Soekarno, menurut Ruslan Abdulgani, penjabaran cita-cita politik, ekonomi dan sosial Indonesia sebagai berikut: Keadilan politik Indonesia ideal ialah Indonesia yang panjang punjung—panjang pocapane punjung kawibawane, yang berarti negeri yang begitu masyur sehingga diceritakan orang panjang lebar bahwa negeri itu berwibawa tinggi. Sedangkan keadilan ekonominya digambarkan serupa: Hapasir hawukir ngadep segara kang babandaran, hanengake pasabinan. Bebek ayam rajakaya, enjang medal ing pangonan, surup bali ing kandange dewe-dewe. Wong kang lumaku dagang rinten dalu tan wonten pedote, lebet saking tan wonten sangsayaning margi, yang berarti: Suatu negeri yang penuh dengan bandar-bandar sawah, begitu makmur hingga tak ada pencuri itik, ayam. Ternak pagi-pagi keluar sendiri ke tempat merumput, saat magrib pulang sendiri ke kandangnya. Orang berjalan berdagang siang malam tak ada putusnya karena tak ada gangguan di jalan. Dan terakhir, keadilan sosial Indonesia ideal adalah tata tentrem, kerta raharja, gemah ripah loh jinawi, yang berarti: Negeri yang teratur, tenteram, orang bekerja dengan aman, penduduknya ramah-ramah, berjiwa kekeluargaan, dan subur tanahnya.
Demikianlah telah terjabar cita-cita berdirinya negeri kita. Namun dalam hidup selalu saja ada das sollen (seharusnya) dan das sein (senyatanya). Seharusnya kita menuju kemerdekaan sosial dan keadilan rakyat, tetapi senyatanya kita dikekang oleh bangsa sendiri dengan ketidakadilan. Menghadirkan kembali exploitation l’homme par l’homme dalam rupa berbeda. Bukan menjajah dengan membentuk koloni, tetapi menjajah dengan membentuk opini. Opini tak terpatahkan yang monoton digaunkan berulang bahwa Indonesia itu terbagi dari pemerintah dan rakyat. Ini salah besar. Janganlah lupa bahwa dalam sebuah republik rakyatlah yang memerintah. Pemerintah adalah bagian dari rakyat. Golongan elit, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, ketiganya adalah rakyat itu sendiri.
Pemimpin suatu republik adalah rakyatnya sendiri. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah ketika tambang emas di tanah Nusa Tenggara Barat tetap milik orang Sumbawa, bukan orang Jawa yang mengaku pemerintah, bukan orang Batak yang mengaku pengadilan, apalagi orang kulit putih yang mengaku pemilik bumi ini. Kita memang bangsa yang kaget merdeka, dan sedikit bodoh, tapi bukan bangsa yang melakukan exploitation de l’homme par l’homme antarsaudara.
Exploitation di sini telah dibenturkan dengan dominasi kedaerahan (suku atau agama) sehingga sangat memungkinkan munculnya tindakan-tindakan tidak wajar seperti menjajah bangsa sendiri. Berdasar data sensus tahun 2000 di situs CIA, negeri ini dipenuhi Javanese 40.6%, Sundanese 15%, Madurese 3.3%, Minangkabau 2.7%, Betawi 2.4%, Bugis 2.4%, Banten 2%, Banjar 1.7%, other or unspecified 29.9%. Jika Anda orang Indonesia dan bukan dari suku yang disebut di atas, saya yakin Anda mengerti apa yang saya maksud dengan “dominasi” tersebut. Walau tidak menutup kemungkinan adanya aspek lain seperti kontak lama di organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan, jaringan alumni perguruan tinggi, keanggotaan ormas dan keagamaan, tetap saja jaringan kekerabatan dan kedaerahan sangat kuat pengaruhnya bagi tiap-tiap kaum yang berkuasa di Indonesia. Bukan berarti yang mendominasi lebih pintar daripada yang terdominasi. Bukan berarti di Indonesia ada masyarakat pintar dan masyarakat bodoh, namun, bangsa kita ini seakan haus kuasa. Mungkin setelah lama kita dipimpin orang lain sehingga menjadi habitus kita untuk bernafsu sedemikian hingga.
Jika rakyat dalam suatu negeri adalah bodoh kesemuanya, hukum alam akan melahirkan pemimpin-pemimpin natural dan gifted.Menurut Rosihan Anwar, terdapat suatu masa di mana terdapat kelompok orang yang disebut men of words, manusia kata-kata, yang memperdengarkan suara mereka untuk membela golongan lemah dan tertindas.
Pada Abad ke-8 SM, bangsa dari Ibrani Purba di pantai timur Laut Tengah mengalami penggabungan keadaan yang kurang begitu jelas memperlihatkan penyimpangan aneh dibanding dengan bangsa-bangsa lain di masanya. Di sana muncul serangkaian manusia luar biasa yang melawan elit pemerintah serta melawan tertib sosial pada masa itu. Manusia-manusia ini dinamakan the prohets, nabi-nabi, yang dalam banyak hal adalah prototype intelektual modern dan militan. Manusia-manusia ini juga disebut open-air journalist yang membacakan pendapat-pendapatnya di jalan, di pasar, dan di pintu gerbang kota. Mereka diidentifikasikan tidak bersekutu dengan golongan manapun, baik pemerintah maupun sistem hirarki agama. Kedudukan mereka tidak jelas.
Dalam tatanan sosial sekarang, kekuasaan dan pengaruh sebagian besar orang berada dalam tangan kaum industrialis, orang bisnis, bankir, tuan tanah, militer. Sementara kaum open-air journalist berada (dan berasa) di luar semua itu. Kehadiran mereka di masa sekarang pastilah senantiasa mengusahakan apakah borjuis, petani, proletar, penjahat, pedagang, dokter, atau kaum pribumi negara kolonial menjadi bersatu kekuatan demi kebaikan bersama. Bergabungnnya sang intelektual dengan massa rakyat merupakan kombinasi hebat, dan tidak dapat disangkal dia akan (telah) menyebabkan kemajuan zaman tiada taranya.
Bukannya saya mengharapkan akan lahirnya seorang nabi di tanah nusantara, tetapi kita memang membutuhkan kehadiran men of words yang berjuang membawa pemikiran-pemikiran baru sebagai pembentukan tatanan kekuasaan yang lebih baik, sekaligus membawa suatu eksistensi material keadilan sosial yang nyata. Akui saja rakyat kita sekarang butuh sesuatu yang nyata, tak sebatas ide. Indonesia membutuhkan men of words yang tidak berusaha jelas menyatakan posisi dan keberpihakan tanpa kepentingan. Men of words yang tidak memperjuangkan satu kelas. Men of words yang dapat menjadi bapak bangsa Indonesia baru.
Bagi saya, men of words pernah lahir sebagai manusia nusantara. Kelahiran mereka di pada kohort yang sama mengakibatkan Indonesia memiliki satu generasi gemilang yang belum pernah ada sebelumnya. Dan pada kurun itulah diproklamirkan nusantara sebagai suatu negara merdeka.
Soekarno, di usia 25 tahun, terlepas setuju atau tidak terhadap aliran politik yang diyakininya, telah mencoba meramu ideologi-ideologi besar yang menjadi paham berbagai golongan yang hidup subur saat itu. Soekarno mencoba persatukan pikiran para tokoh pergerakan untuk menjadi penghantar sebuah semangat, mendirikan sebuah negeri bernama Indonesia. Di sudut lain terdapat Mohammad Hatta yang di usia 25 tahun telah menjadi kampiun kalangannya. Pada usia semuda itu, Hatta bersama teman-temannya seperti Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojodiningrat berjuang merealisasikan apa yang terbaik untuk bangsanya. Hal ini dibuktikannya dalam salah satu pidatonya di Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan di Gland, Swiss, 1927, berjudul L’Indonesie et son Probleme de I’ Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).
Pada sudut yang lain lagi, Sutan Sjahrir, di umur 18 tahun telah termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang di tahun berikutnya menelurkan kongres paling monumental Indonesia, Konger Pemuda Indonesia dengan Sumpah Pemuda-nya. Atau lihat sudut Tan Malaka yang di umur 28 tahun telah menulis Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia) kemudian mendirikan Partai Republik Indonesia di Bangkok, pada tahun 1927, demi memperjuangkan kemerdekaan internasional Indonesia. Di usia 25 tahun, Tan Malaka sudah berani tampil di depan Kongres Komunis Internasional ke-4 tahun 1922. Tidak main-main, pidatonya tentang Komunis dan Pan-Islamisme menentang tesis yang didraf oleh Lenin pada Kongres sebelumnya.
Mereka yang tersebut di atas hanya secuil dari banyak pemuda generasi gemilang Indonesia. Pemuda Indonesia yang tidak asal berani melawan dan berteriak, tetapi juga cerdas tiada tara dan mendukung kerakyatan. Untuk membangun bangsa yang besar dan bermartabat bangsa ini tak hanya butuh politikus, tetapi juga sastrawan, agamawan dan budayawan. Manusia-manusia seperti Hamka (44 tahun saat 1945), Armijn Pane (44), Marah Roesli (56), Nur Sutan Iskandar (52), Sutan Takdir Alisjahbana (44), Chairil Anwar (23), Mohammad Yamin (42), A.A. Maramis (48), Achmad Soebardjo Djojoadisurjo (49), Abikoesno Tjokrosoejoso (48), Mohammad Natsir (37), Sutan Syahrir (36), Mr. Mohammad Roem (37), dan KH. Wahid Hasyim (31 tahun), dll. Merekalah generasi gemilang, pintar, rendah diri, banyak akal, tahu rakyat, pemikir dan pemberani. Dari hasil kerja keras orang-orang seperti mereka, pagi hari di bulan puasa, Jumat Legi, 17 Agustus 1945, Republik Indonesia menjadi senyata matahari yang tak akan mau tenggelam. Akankah generasi ini berulang? Wallahualam. Mari kita mulai membangun Indonesia baru, setidaknya dari jalan pertama: Gotong Royong.
Juni 2011
Referensi
Djalan Sedjarah Dunia. Armijn Pane, 1954.
Kepala Negara. Niccolo Machiavelli, 1959.
Menulis Dalam Air. Rosihan Anwar, 1983.
Pak Harto: The Untold Stories, 2011.
Pengantar Ilmu Antropologi. Koentjaraningrat, 1989.
Perkisahan Nusa. Rosihan Anwar, 1986.
Sosialisme Indonesia. Ruslan Abdulgani, 1961.
Tokoh-Tokoh Muda Diperlukan. Imam B. Prasodjo dalam Garuda Inflight Magazine.
Zamrud Khatulistiwa. Ridwan Saidi, 1993.
Masalalu Selalu Aktual. P. Swantoro, 2007
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribus
https://kibul.in/opini/risalah-keindonesiaan/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/featolav14.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/featolav14-150×150.jpgOlav IbanOpiniBudaya,Indonesia,kibul,Olav Iban,OpiniSelalu ada yang menarik tentang Indonesia. Sejak pertama kali Cornelius de Houtman melintasi selat Malaka, menepi di Banten, dan kemudian tewas di pantai Aceh tahun 1599, begitu banyak kekaguman bangsa asing terhadap kehebatan bangsa kita. Silakan cek sendiri di tiap-tiap bibliotek negeri Belanda jika mental inferior Anda menyangsikannya.
Sebagai suatu…Olav IbanOlav Ibanolaviban@icloud.comEditorLulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.Kibul.in
Imagine yourself suddenly set down surrounded by all your gear, alone on a tropical beach close to a native village, while the launch or dinghy which has brought you sails away out of sight
Malinowski, 1987:4
Ungkapan tersebut merupakan deskripsi awal Malinowski, seorang etnografer Eropa yang melakukan kerja penelitian etnografi di kalangan masyarakat Kepulauan Trobriand, kira-kira satu abad yang lalu. Bagi saya, deskripsi Malinowski yang terlewat lampau itu tetap menghadirkan sensasi rasa yang relevan, paling tidak sampai terakhir kali saya melakukan penelitian etnografi setahun lalu. Dari deskripsi singkat itu, Malinowski berhasil melahirkan nuansa reflektif yang personal untuk saya. Dari ungkapannya, hadir suatu pengalaman ‘keterasingan’ yang bangkit dari jarak terbentang: antara realitas yang biasa peneliti hayati sehari-hari dengan realitas berbeda yang dihidupi oleh subjek yang diteliti.
Deskripsi singkat Malinowski juga menghadirkan rasa ‘berjarak’ (sense of detachment) yang lazim dari kerja penelitian etnografi yang pernah saya tempuh maupun yang pernah saya alami melalui proses membaca. Baik disadari atau tidak, ke-berjarak-an kerap melahirkan frustrasi, kegelisahan, bahkan kesepian yang menyeruak, seiring “perahu yang membawamu pergi perlahan sirna dari pandangan matamu”, ungkap Malinowski. Secara pribadi, saya menganalogikan perahu Malinowski sebagai realitas sehari-hari peneliti yang sudah dikenal akrab: memberi rasa aman dan stabil, kemudian perlahan dibenturkan oleh kompleksitas realitas subjek peneliti yang amat berbeda.
Menyoal Isu Buruh Perempuan
Sebagai mahasiswa jenjang S1 pada awal tahun 2019 lalu, saya memperoleh kesempatan penelitian mengenai perempuan buruh industri tekstil dan produk tekstil di Yogyakarta. Penelitian ini merupakan bentuk kerja sama riset Departemen Antropologi UGM bersama Department of Development Studies, University of Agder, Norwegia. Pengalaman ini merupakan pengalaman penelitian pertama saya mengenai buruh perempuan. Tema buruh langsung membuka laci-laci pikiran saya yang diisi oleh lembar-lembar narasi ‘besar’ mengenai buruh perempuan. Layaknya mesin, sekejap saya langsung ingat wajah bapak berkumis tebal bernama Marx selain mengingat pula ketimpangan struktural yang kerap mewarnai relasi buruh dengan si pemberi kerja. Narasi mengenai stereotip gender, ketidakadilan sistem upah, ‘beban’ ganda perempuan, hanya sebagian dari tema-tema besar lain yang telah mengisi rentetan kajian mengenai buruh perempuan. Dalam benak saya saat itu, buruh perempuan merupakan subjek rentan: terutama dalam relasi industrial maupun relasi patriarkis yang melingkupi kehidupan sehari-hari buruh perempuan. Dengan kata lain, segala pengetahuan yang terakumulasi dalam benak saya membangun suatu cara pandang yang menempatkan buruh perempuan sebagai subjek yang amat problematis pada awalnya.
Ketika perjalanan penelitian etnografi saya lakoni, saya sempat berjumpa dengan dua buruh perempuan: Ibu Rifka (37) dan Ibu Irawati (38) (bukan nama sebenarnya) yang sama- sama berkecimpung dalam industri produk tekstil. Ibu Rifka merupakan buruh jahit borongan di sebuah pabrik garmen di Berbah, Kabupaten Sleman. Sebagai buruh borongan, upah yang diperoleh ditentukan menurut jumlah satuan hasil pakaian yang diproduksi. Dalam sehari, Ibu Rifka mampu memproduksi 50 hingga 70 potong pakaian kaos. Kaos dihargai sebesar Rp3.000,00-Rp8.000,00 sementara kemeja jatuh pada kisaran Rp13.000,00-Rp22.500,00 dengan waktu produksi lebih lama. Berbeda dengan Ibu Rifka, Ibu Irawati merupakan buruh jahit tetap di sebuah pabrik sarung tangan. Setiap bulannya, ia mendapat gaji setara dengan UMK Kabupaten Sleman.
Sebagai perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak, Ibu Rifka dan Ibu Irawati sama-sama menjalankan dualitas peran yang amat strategis: menjadi perempuan pekerja berbayar sekaligus bergelut dengan kerja-kerja reproduktif dalam domain domestik. Meskipun dalam tataran ideologis (de jure), keduanya sama-sama mengakui bahwa laki-laki/suami merupakan kepala rumah tangga utama yang menjadi garda terdepan mencari nafkah. Persinggungan perempuan dengan domain privat (domestik) dan domain pasar (market) acapkali dinarasikan sebagai realitas yang juga problematis: perempuan dihadapkan pada keterbatasan ruang gerak karena dualitas peran itu. Cara pandang ini pula yang tanpa sadar saya bawa, setidaknya sebelum saya berjumpa langsung secara personal dengan buruh perempuan. Dengan perlahan saya mencoba mengetahui, apa sebenarnya harapan di balik jalan kerja menjadi buruh? Ibu Rifka, contohnya, mengekspresikan harapan kerja dengan demikian:
“Lumayan Mbak, (penghasilan pabrik) bisa buat jajan anak-anak. Jadi, nggak minta suami terus. Kan malu kalau minta melulu. Lagipula, jahit sudah jadi hobi saya. Saya bingung dan bosan kalau di rumah, mending kerja aja” (wawancara 8 Februari 2019).
“Kalau bisa saya pengen punya mesin jahit sendiri di rumah. Bisa kerjain kerjaan pabrik sambil urus anak” (wawancara 17 Februari 2019)
Sementara itu, Ibu Irawati menerjemahkan harapan kerja dengan senada sekaligus berbeda pada saat yang sama:
“Kan perempuan ya suka beli make up, (dan) sepatu. (Saya) malu kalau minta uang suami. Minimal saya kerja lah, Mbak, untuk jajan anak-anak juga” (wawancara 10 Maret 2019).
“Saya pengennya jadi ibu rumah tangga aja. Tinggal melayani suami kalau dia pulang kerja. Pengen bisa antar-jemput anak sekolah. Nggak perlu kerja seharian di pabrik jadi kuli…” (wawancara 10 Maret 2019)
Rasa malu merupakan ekspresi yang sangat dominan ketika Ibu Rifka dan Ibu Irawati menerjemahkan kepentingan kerjanya. Bagi saya, ungkapan keduanya sama-sama menunjukkan suatu sikap mendua: Ibu Rifka maupun Ibu Irawati mengamini bahwa laki-laki- yang diwakili suami-merupakan penanggung jawab utama mencari nafkah. Namun, keduanya toh sama-sama merasa malu apabila tidak menghasilkan upah. Pada akhirnya, persetujuan ideologis itu tidak sejalan dengan praktek sehari-hari (de facto). Kerja produktif, yang kerap diasosiasikan dengan pencarian upah, tidak semata-mata jatuh di tangan laki-laki.
Tentu saja, tantangan ekonomi rumah tangga merupakan salah satu alasan di mana kerja menjadi buruh ditempuh dengan sadar. Tak hanya itu, saya mengamati bagaimana jalan kerja sebagai buruh justru memperoleh makna melalui keterhubungan eratnya dengan kerja reproduktif yang dianggap inheren bagi perempuan. Kerja reproduktif yang diekspresikan itu adalah memenuhi kebutuhan anak dalam rumah tangga. Dalam konteks ini, jalan kerja menjadi buruh turut tampak menjadi suatu mekanisme untuk bertahan hidup secara sosial: sebagai jalan pengayaan identitas perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak yang harus dipenuhi kebutuhannya.
Dengan status gender, latar belakang ekonomi, status kerja, serta latar belakang rumah tangga yang serupa, Ibu Rifka dan Ibu Irawati ternyata memberi nilai yang sungguh berbeda atas status kerja mereka sebagai buruh. Ibu Rifka tetap ingin kerja jahit sembari mengurus anak di rumah. Kesempatan bekerja dianggap sebagai sebuah keistimewaan: hitung-hitung bisa menjadikan hobi jahit sebagai kegiatan yang mendatangkan upah. Lain halnya dengan Ibu Irawati yang ingin menjadi ibu rumah tangga tanpa perlu bekerja menjadi buruh. Dari ungkapannya, terasa ada devaluasi terhadap status kerjanya sendiri yang diekspresikan melalui kata ‘kuli’. Ekspresi ini merupakan buah kesadaran terhadap suatu otoritas yang lebih besar di luar dirinya sendiri: suatu otoritas yang membatasi dirinya untuk menuntaskan tanggung jawab domestik yang dianggap inheren. Kesadaran ini ternyata turut dibentuk oleh modal sosial yang Ibu Irawati miliki melalui sepak terjangnya dalam serikat pekerja. Sementara bentuk modal sosial semacam ini tidak dialami Ibu Rifka.
Kepingan kisah tersebut hanya sebagian kecil saja dari lembaran kisah lain yang justru menghantam bangunan pengetahuan saya sebelumnya. Pada akhirnya, dengan perlahan saya menyadari bahwa jalan kerja menjadi buruh tidak pernah cukup dipandang secara hitam dan putih. Buruh perempuan bukan merupakan kelompok sosial yang homogen: di sepanjang jalan kerja yang ditempuh, terdapat interkoneksi kompleks antara status gender, latar belakang rumah tangga, kelas ekonomi, hingga pengalaman sosiologis serta proses mental yang berbeda di balik status kerja yang sama. Melalui pengalaman penelitian ini, saya menjumpai kisah- kisah personal yang kerap terhimpit di antara narasi-narasi besar mengenai buruh perempuan.
Baru kemudian saya tersadar bahwa bingkai problematis yang selama ini saya bawa mengenai buruh perlu ditempatkan dengan amat hati-hati. Tanpa disadari, akumulasi pengetahuan serta posisi saya sebagai peneliti acap kali menciptakan ‘ke-berjarak-an’ yang membuat saya merasa begitu asing. Mungkin, ini pula yang turut dirasakan Malinowski saat itu: sebagai seorang etnografer Eropa dengan segala pengalaman serta bayangan akan ‘kemajuan’, dihadapkan pada realitas orang-orang Trobriand yang amat berbeda. Ketika keterasingan itu tercipta,
“you cannot help but compare all you see, hear and feel against the accumulated total of your previous experiences. Like all humans, you make sense of what you learn through contrast and comparison”
Blasco dan Wardle, 2007:13
Proses membandingkan, menimbang-nimbang, juga rasa gelisah adalah perjalanan yang ‘valid’ ketika proses penelitian etnografi dilakukan. Dari pengalaman itu pula, lahir sebuah inspirasi penelitian baru kemudian, saya menghadirkan suatu penelitian yang seimbang sekaligus adil bagi buruh perempuan? Dengan tidak semata menegaskan kerentanan buruh melainkan pertama-tama memandang buruh perempuan sebagai subjek aktif atas hidupnya sendiri. Sebagai buruh perempuan yang tidak lepas dari jerat relasi industrial maupun relasi sosio-kultural yang berkelindan, saya tak ingin mengabaikan kemampuan buruh perempuan membaca peluang, kemampuan membahasakan sendiri peran kerja yang dijalani, atau mungkin kemampuan bermain-main di antara celah-celah sistem yang telah mapan.
Kajian-kajian terhadap buruh perempuan yang berorientasi pada subjek tentu bukan tidak ada. Salah satunya, jalan kajian itu dilebarkan oleh Suryomenggolo (2012) yang menganalisis pembelaan Ida Irianti: seorang buruh perempuan sekaligus kepala serikat pekerja PT Sinar Sosro. Lebih dari sekadar naskah politik, pembelaan Irianti merupakan cara buruh perempuan menerjemahkan pengalaman kerjanya sendiri. Konteks pembelaan Irianti ini luar biasa bukan saja karena dilakukan di tengah kebijakan ekonomi Orde Baru yang korporatif namun juga, keterlibatan perempuan dalam serikat masih merupakan sebuah kelangkaan saat itu. Corak karya Saptari (2008) yang membahas serangan buruh PT Mayora juga demikian adanya: terdapat kelompok buruh perempuan yang bahkan menjadi free rider. Mereka mampu membaca peluang keuntungan kerja tanpa perlu terlibat demonstrasi melawan korporasi yang menindas.
Tentu saja, segala pengetahuan dan pengalaman yang dibawa sebagai peneliti adalah realitas yang sah. Namun, saya menyadari perlunya suatu proses reflektif panjang untuk menyadari bahwa realitas itu pada akhirnya dapat pula menjadi bumerang. Dibutuhkan suatu proses belajar yang panjang untuk lagi-lagi memahami bahwa sebagai peneliti, kita pun dapat terjebak dalam sebuah menara gading yang tidak kita sadari ketinggiannya.
Referensi Blasco, Paloma Gay Y. dan Huan Wardle. 2007. How to Read Ethnography. New York: Routledge Malinowski, Bronislaw. 1987. Agronauts of the Western Pacific: an account of native enterprise and adventure in the archipelagos of Melanesian New Guinea. London: Routledge Saptari, Ratna. 2008. The Politics of Workers’ Contention: The 1999 Mayora Strike in Tangerang, West Java dalam International Instituut voor Sociale Geschiedenis, pp. 1-35 Suryomenggolo, Jafar. 2012. Factory Employment, Female Workers’ Activism, and Authoritarianism in Indonesia dalam Critical Asian Studies, 44:4, pp. 597-626
Silampukau membuka lagu “Sang Juragan” dengan sebuah siulan, siulan yang merdu dan singkat seperti sedang menyiul burung peliharaan di beranda rumah. Lalu dengan karakter musik indie folk-nya, mereka membuka lagu dengan lirik yang tajam, apa adanya dan lugas, Hidup ini memang keras // Apa salahnyakujual miras? // Anggur, vodka, arak beras // Dijamin murni tanpa potas. Ketikapertama kali mendengarkan lagu ini, tanpa basa-basi Silampukau mengajak pendengar untuk langsung menyepakati bait pertama dari lirik lagu ini, Hidup inimemang keras, kita semua setuju bahwa memang kehidupan ini teramat keras. Tapi,keras yang seperti apa? Dan dalam kacamata siapa hidup ini begitu keras? Di bait lirik selanjutnya kita langsung diberikan jawaban dari semua itu. Apa salahnyakujual miras? Setelah menyepakati bahwa hidup ini memanglah keras, Silampukaumengambil sudut pandang penjual miras (minuman keras) dalam lagu ini yang menjual berbagai macam minuman keras, seperti Anggur, vodka, arak beras. Terdapat berbagai jenis minuman yang dijual oleh Si Penjual Miras ini, mulai dari buatan pabrik, import hingga lokalan. Seperti Anggur1, Vodka2 dan Arak Beras3. Seperti layaknya seorang pedagang yang menawarkan dagangannya, Si Penjual Miras ini langsung memberikan embel-embel penenang bahwa miras yang ia jual bukanlah miras oplosan, Dijamin murni tanpa potas4. Potas sendiri menjadi polemik dalam “fenomena” minum-minum di Indonesia. Pasalnya, potas merupakan zat kimia yang berbahaya untuk dikonsumsi, apalagi bersama dengan miras, efeknya luar biasa, mulai dari kebutaan hingga kematian. Silampukau di lirik-lirik awal dari lagu ini menggambarkan kenyataan yang hadir di masyarakat, dalam hal ini masyarakat Surabaya yang menjadi kebanyakan tema dari lagu-lagu mereka. Mereka pun menggunakan rima yang berakhiran -as, pada bait-bait lirik awal ini. Seperti; keras, miras, beras, potas, menjadikan pembuka lirik lagu yang sangat menarik bagi saya.
Di lirik selanjutnya, Silampukau menggambarkan situasi kapan Si Penjual Miras ini beroperasi. Datang kapan saja silahkan // Siang-malam tak usah sungkan. Ini adalah realita yang hadir di tengah masyarakat kita, bahwa pedagang miras memang selalu beroperasi siang dan malam, tidak seperti pedagang-pedagang lain yang mempunyai batas waktu ketika berjualan, pedagang miras terkesan sangat flexible untuk menjajakan minuman kerasnya. Kenapa seperti itu? Mungkin karenaminuman keras sendiri sudah bukan lagi dijadikan sebagai alat untuk mabuk-mabukan. Ada yang digunakan untuk minuman herbal menjadi jamu pegal-pegal, ada yang untuk relaksasi, bahkan untuk bahan makanan. Pada lirik selanjutnya ada semacam kode untuk para pelanggan yang ingin memesan minuman keras di tempatnya, Sekali siul dua ketukan // Biar ku tahu pasti itu pelanggan. Lalu terdengar siulan dan dua ketukan di lagu itu, ini bagian paling menarik sekaligus menggelikan bagi saya dari lagu ini. Seakan para pelanggan paham dari “kode etik” yang diberikan Si Penjual Miras ini, sekaligus sangat menggelitik karena di lirik sebelumnya, para pelanggan bebas untuk datang kapan saja dan tak usah sungkan, lalu di lirik ini para pelanggan harus paham “kode etik” untuk membeli miras, tanda bahwa Si Penjual Miras ini sembunyi-sembunyi dalam menjual mirasnya. Di lirik-lirik ini pun Silampukau menggunakan rima yang berakhiran -an. Seperti; silahkan,sungkan, ketukan, pelanggan, pengulangan rima yang berakhiran sama ini menjadimenarik, tetapi juga berbahaya bagi lirik lagu jika terlalu dipaksakan dengan tujuan mencari bunyi yang sama.
Gambaran ironi hadir juga di lirik-lirik selanjutnya, Sekali waktu datang merekayang berseragam // Turun dari mobil, pasang tampang sok seram // Sedikit bangkrut aku tiap mereka datang. Silampukau dengan berani menyindir rahasiaumum di masyarakat tentang penarikan “jatah keamanan” yang dilakukan oleh oknum aparatur negara. “Jatah keamanan” ini cukup merugikan para penjual miras yang seringkali tidak mendapatkan untung yang cukup karena selalu ditagih oleh para oknum aparatur negara ini, jika kurang atau telat membayar “jatah keamanan” bisa dipastikan setelahnya toko miras itu akan digerebek dan diambil semua mirasnya sebagai barang bukti yang disita oleh negara. Lebih ironisnya lagi, baru-baru ini di Indonesia sedang ramai-ramai dibahas RUU Larangan Minuman Beralkohol (minol) yang terdiri dari tujuh bab dan dua puluh empat pasal. Yang isinya antara lain; definisi minuman beralkohol, tata laksana pelarangan, pengawasan, hingga tindak pidana bagi yang melanggar. Jika RUU ini sah menjadi UU, maka setiap orang yang memproduksi, menjual, menyimpan, mengkonsumsi alkohol bisa terancam pidana. Mulai dari golongan minuman beralkohol A,B, dan C (Anggur Merah, Vodka, Cap Tikus). Juga minuman oplosan hingga minuman alkohol tradisional (seperti Ciu Bekonang, Arak Beras) semua akan diatur oleh negara. Lagu ini pun akhirnya menjadi sangat relate dan dekat, karena seperti inilah realisme najis yang ada di masyarakat kita, negara terlalu mencampuri urusan setiap warganya, seperti hak untuk mengkonsumsi alkohol, misalnya. Dampak ini pun sangat dirasakan oleh para penjual miras, seperti di lirik selanjutnya, Yang pentingbisnis aman. Begitulah gambaran realisme najis yang sadar atau tidak kita sadarihadir dan berkembang di tengah masyarakat kita.
Realisme najis adalah istilah yang pertama kali dicetuskan oleh Bill Buford untuk mendefinisikan gerakan sastra Amerika Utara (bergerak pada karya fiksi), realisme najis adalah subgenre dari realisme, yang memandang kehidupan dengan apa adanya, tanpa metafora-metafora yang indah, kata-kata yang dihadirkan sangat menggangu, ironis, bahkan biadab. Tetapi selalu penuh kasih sayang. Saya mengkategorikan lagu “Sang Juragan” masuk ke dalam realisme najis dengan napas musik indie folk khas Silampukau. Menariknya Silampukau memang mengangkat berbagai macam tema permasalahan sosial, kerinduan seorang perantau, nostalgia masa kecil, hingga kritik terhadap media televisi hadir di dalam lagu-lagu Silampukau. Sehingga lagu-lagu Silampukau begitu dekat dan terasa hadir di tengah kita.
Belum selesai ke-ironi-an itu dibahas, di lirik selanjutnya dijelaskan dimanakah tempat Si Penjual Miras itu menjual dagangannya, Dari sungai yang berkarat //Susuri arah menuju barat // Di seberang kantor wakil rakyat // Di sanalah aku bertempat. Kita bahas dari nalar lirik lagu Dari sungai yang berkarat, entah apamaksudnya “sungai yang berkarat” itu, apakah sungai yang dipenuhi zat besi yang korosif? Atau sungai yang tidak ada airnya? Sungai yang berkarat ini bagi saya tidak menggambarkan apa-apa, sekali lagi seperti yang saya bilang di awal tadi, penggunaan rima yang berakhiran sama, bisa saja bagus dan bisa saja menjadi senjata makan tuan jika hanya mencari bunyi yang sama. Seperti -at pada berkarat,barat, rakyat, bertempat. Nalar saya terputus pada “sungai yang berkarat” itu,apakah Silampukau ingin berfokus pada ironi Si Penjual Miras? Yang berjualan jauh dari jalanan sampai harus menyusuri “sungai yang berkarat” itu? bagi saya tidak perlu, “sungai yang berkarat” tidak mengartikan apa-apa, jika referensinya adalah sungai yang kotor, mungkin akan sesuai dengan nalar lagu, tapi sungai yang berkarat adalah metafora yang seharusnya tidak perlu dihadirkan, jika ingin mencari keironian dari penggambaran kenyataan tentang Si Penjual Miras dan tempat berjualannya. Tapi, lagi-lagi hal ini menjadi senjata makan tuan, karena terlalu memaksakan rima yang berakhiran sama, sehingga konstruksi nalar lagu yang telah dibangun dari awal lirik menjadi tidak nyambung.
Tidak hanya ironi yang hadir di lagu “Sang Juragan” tetapi juga paradoks sosial, terdapat pada lirik, Kadang datang juga mereka yang terpinggirkan // Wajahkurang makan, ngotot beli minuman // Tak habis pikir aku tiap mereka datang. Mengapa ini saya mengatakan paradoks? Jika tadi Silampukau menampilkan oknum aparatur negara yang sering meminta jatah kepada Si Penjual Miras, di lirik ini ada sedikit kegetiran dan ditunjukan moral dari Si Penjual Miras yang ia pendam sendiri, ketika melihat ada “mereka yang terpinggirkan” atau yang saya artikan sebagai “kaum marjinal kota” seperti gelandangan, pengamen bahkan anak-anak punk, yang ingin berbahagia dengan menenggak minuman keras. Alih-alih melarang atau tidak mengizinkan untuk membeli minuman, moral Si Penjual Miras, hanya sebatas rasa getir di dalam diri, pada akhirnya Si Penjual Miras akan mengizinkan untuk membeli minumannya, seperti lirik Ya sudahlah silahkan! Bernada pasrah tanpa menghakimi si pelanggan.
Di lirik-lirik terakhir dari lagu ini, Hidup ini tambah keras // Semenjak naiknyaharga miras // Anggur, vodka, arak beras // Lebih hemat campur potas. Silampukaumemberikan tawaran “jalan pintas” karena hidup yang semakin tambah keras dan harga miras yang terus melambung tinggi maka jalan keluarnya adalah miras yang dicampur dengan potas, sehingga menjadi minuman oplosan. Harga menjadi lebih murah, dengan tujuan mabuk yang instan.
Barangkali seperti itulah seharusnya kita menyikapi kehidupan yang tidak pernah menguntungkan kita ini, kita dituntut untuk selalu beradaptasi dengan keadaan, sehingga menghasilkan “jalan pintas” yang cemerlang, atau sangat berbahaya bagi kehidupan. Silampukau bagi saya telah berhasil menggambarkan realisme najis yang terjadi di kota-kota besar, dalam hal ini Surabaya, Silampukau berhasil menggambarkan kondisi sosial Surabaya dengan kaum marjinal yang tersisihkan, bagi saya, seperti inilah percampuran antara realisme najis dengan spirit indie folk, menghadirkan musik-musik yang menyentil hingga mengganggu ketenangan para pendengarnya, karena kita dituntut untuk terus memperhatikan kenyataan di dalam diri dan di luar diri.
Dalam perspektif klasik, puisi merupakan pernyataan moral dari penulis yang ditarik dari pengalaman empirik yang faktual dan dihadirkan dengan bentuk yang fiksional [1]Eagleton, Terry. 2007. How to Read a Poem. USA: Blackwell Publishing. P. 25.. Untuk menghadirkan bentuk yang demikian, tulisan harus diputus dari keberlangsungan atau hubungannya dengan konteks empirik dan diletakkan dalam ruang yang lebih general. Namun terdapat pula kemungkinan bahwa puisi-puisi menunjukkan kecenderungan yang sebaliknya seperti halnya puisi-puisi Hadiwinata dalam kumpulan berjudul Sepanjang Jalan Kesedihan ini. Dalam catatan pembukanya, Hadiwinata mengatakan bahwa:
“Aku menulis sambil bekerja. sambil mencatat hasil produksi, diam-diam aku menulis di catatan kecil. aku menulis puisi-puisi pendek. bahkan terkadang di waktu aku kerja malam. barangkali hasilnya biasa saja, banyak kekurangan di sana-sini. juga masih banyak peristiwa-peristiwa yang tak tercatat di buku ini. aku sadar itu. namun, setidaknya buku ini mewakili cerita-cerita itu.”
Dari kutipan di atas kita mengerti bahwa Hadiwinata justru mendekatkan puisi dengan konteksnya. Ia tidak memutus atau memisahkan tetapi menyatukannya. Puisi-puisinya diciptakan langsung sebagai bagian dari pengalaman-pengalaman yang ia lewati yang menjadi sumber penciptaannya. Seperti yang ia tekankan, puisinya pendek-pendek, ditulis di sela-sela mencatat hasil produksi. Jadi puisi dan catatan hasil produksi berada berdampingan. Seperti halnya catatan hasil produksi, puisi juga menjadi sumber catatan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar aktivitas kerjanya. Secara bentuk, hal ini juga tersirat dalam keseluruhan presentasi puisi-puisinya yang tidak diawali dengan huruf besar dan tidak diakhiri dengan titik, cuma ada jeda dan spasi. Pilihan penyajian ini bisa diartikan tidak adanya pemisahan, tidak adanya awal dan akhir, baik di antara puisi satu dengan yang lain, maupun dari satu puisi ke satu pengalaman yang menjadi sumber penceritaanya.
Sebagai contoh, saya kutipkan satu puisinya yang bisa dikatakan sangat performatif di bawah ini.
permainan
buat nelson
di dalam kilang ini permainan apa yang kita lakukan
adakah kejar-kejaran? kami yang berlari mencari-cari bahan
di antara mesin-mesin besi nan berisik
mencipta plywood yang berharga selangit itu lalu kau di belakang mengejari kami ke mana pun seraya berteriak dan memaki
atau sembunyi-sembunyian?
kami yang bersembunyi di balik mesin, toilet, plywood
serta tiang penyangga
karena pekerjaan yang tiada henti
dan kau yang berjaga
lalu sebagai hukumannya ketika kami tertangkap oleh mata dan mulutmu yang sampah
cacian demi cacianlah yang mesti kami terima atau ludahan atau sesekali pukulan
tetapi apabila hal itu terus terjadi takkan ada lagi hukuman yang akan kau berikan
kecuali memberhentikan permainan ini dan menyuruh kami pulang ke kampung halaman
bintulu, 2018
Pada puisi di atas, kita menangkap suasana kerja, melihat barang-barang yang ada di pabrik, dan merasakan hubungan antara mandor dan pekerja. Semua objek dan situasi yang ditangkap pembaca hampir sama dengan yang dirasakan penulis dan pekerja yang lain. Pembaca disuguhi sebuah pertunjukkan kejar-kejaran, sembunyi-sembunyian, rasa khawatir dan muak atas cacian, dan seterusnya. Kalimat-kalimatnya yang lancar, jelas dan eksplanatif juga semakin menipiskan perbedaan antara puisi dan ungkapan perasaan sehari-hari Hadiwinata sebagai pekerja.
Puisi Hadiwinata, proses penciptaannya, dengan demikian dalam beberapa derajat tertentu melawan konvensi klasik penciptaan sebuah puisi, yang membutuhkan ketidaklangsungan, estrangement, defamiliarisasi dan deformasi dari bahasa sehari-hari [2]Beberapa doktrin Formalis Rusia terkait karakteristik bahasa puisi..
Namun jika demikian, apakah puisi-puisi Hadiwinata bukan lagi puisi? Apakah puisi itu tidak lagi bisa dibedakan dari keluhan sehari-harinya di tempat kerja? Apakah puisi itu tidak lagi puitik? Menurut saya tidak sama sekali, yang terjadi justru berlawanan. Ada dua kemungkinan yang bisa kita andaikan terkait puisi-puisi Hadiwinata ini. Pertama, dunia empirik menjadi berkarakter puitik. Hadiwinata menarik dunia yang ada di sekitarnya dalam ruang yang keseluruhannya estetis dan memunculkan sesuatu dalam komunikasinya sehari-hari dalam formasi tertentu yang tidak bisa dihasilkan oleh pembicaraan biasa. Kedua, yang terjadi sesungguhnya adalah puisi muncul sebagai deotomatisasi yang sangat tiba-tiba, menghentikan gerak kerja, menjadi pause di keseluruhan aktivitas kerjanya. Pause dan kejutan tiba-tiba itu hanya bisa tercipta oleh sesuatu yang memang menjadi bagian dari dunia yang dikejutkan itu. Dengan kata lain, tercipta oleh penulisan puisi yang menjadi bagian dari aktivitas kerjanya.
II.
Hal ini akan menjadi semakin terang jika kita melihat perbincangan mengenai bentuk dan isi dalam puisi-puisi Hadiwinata. Isi adalah apa yang hendak puisi-puisinya katakan, sementara bentuk adalah cara yang dipilih Hadiwinata untuk mengungkapkannya. Asumsi sederhananya, bentuk tertentu dalam puisi Hadiwinata, membawa isi, membawa gagasan yang tidak bisa atau tidak mungkin disampaikan, dengan cara muncul sebagai pause, sebagai jeda.
Seperti sudah saya ungkapkan, terdapat satu aspek dalam puisi Hadiwinata yang sangat dekat dengan konteksnya. Aspek itu adalah proses penciptaan dan isi atau ceritanya. Ada kedekatan dan kelangsungan yang sangat jelas. Namun, isi itu diceritakan dengan bentuk yang—meskipun seperti saya katakan di awal, tersusun dari kata-kata yang sehari-hari—tetapi dihadirkan dengan sangat spesifik dan berbeda. Sebagai ilustrasi, saya kutipkan salah satu bagian dari puisinya berjudul “Pekerja Perempuan buat Nasmira” sebagai berikut:
di tanah ini perempuan bekerja serupa lelaki dari hari ke hari yang dimulai sejak terbit matahari
sampai ia telah jauh meninggalkan pergi
seperti perempuan sulawesi itu yang datang ke tanah ini hanya untuk mengakat dan menyeleksi beribu plywood
dan menerima upah yang terkadang tak sampai 1000 ringgit malaysia
hingga demam hampir tiap hari melanda
seluruh tubuh begitu kencang, keram
sakit di malam hari bahkan telat menstruasi
…
Bentuk dari kutipan puisi di atas, yang terdiri atas berbagai aspek seperti suasana (tone), ritma, rima, sintaksis, asonansi, dan bahkan tata bahasanya dihadirkan sedemikian rupa untuk ‘melengkapi’ isi yang hendak disampaikan. Misalnya, rima yang cukup rapi, yang memancing irama yang teratur dalam kutipan di atas, mengarahkan pembaca untuk menekankan informasi-informasi tertentu. Perempuan bekerja serupa lelaki/dari hari ke hari/yang dimulai sejak terbit matahari/sampai ia terlah jauh meninggalkan pergi, adalah larik-larik yang selain menyampaikan informasi juga menekankan suasana tertentu. Seperti juga larik-larik ini: seluruh tubuh begitu kencang/keram sakit di malam hari/bahkan telat menstruasi, yang pendek-pendek dalam susunannya namun tetap berima, seperti halnya menyampaikan sebuah kesedihan yang memang sulit digambarkan dengan kalimat panjang. Kesingkatan itu juga mengarahkan pada fungsi pause dan kejutan yang sudah saya ungkap di atas, yang membawa makna/suasana kesedihan dan penderitaan dalam situasi kerja yang ia ceritakan.
Dari contoh di atas kita mengerti bahwa bentuk tidak sekadar refleksi atau mimesis dari makna, melainkan konstituennya. Bentuk adalah sesuatu yang harus ada, yang membangkitkan sebuah makna. Bisa dikatakan, modifikasi yang dilakukan terhadap bentuk di atas juga bisa memodifikasi maknanya.
Dalam bahasa sehari-hari, manusia adalah pemburu konten. Setiap orang menjadi content-analysis. Yang paling utama dalam komunikasi akhirnya adalah makna dari isi tersebut, tanpa peduli dengan pertimbangan bahasanya. Namun melalui puisi-puisi Hadiwinata, kita membaca isi dan bentuknya secara bersamaan. Kita membaca sebuah proses di mana makna terbentuk melalui relasi antara bentuk dan isi tersebut. Proses inilah yang tidak kita tandai benar-benar dalam komunikasi sehari-hari, yang mungkin tidak Hadiwinata sadari dalam keseharian kerjanya, kecuali ketika menulis puisi. Melalui puisi, kita mau tidak mau harus mencermati kata-kata, mencermati bentuk, sebagai bagian untuk mendapatkan isi dan makna. Kita benar-benar mengalami dan menyadari medium dari pengalaman kita. Dan dalam puisi Hadiwinata, bentuknya yang berbeda dengan misal obrolan di sela kerja atau catatan produksinya, membawa isi lengkap dengan maknanya. Membawa cerita tentang kerja lengkap dengan suasana kesedihannya.
Bagi Hadiwinata sendiri, secara praktis, dalam kejenuhan kerja, menulis puisi, menjadi sarana untuk menyadarkan dirinya akan kondisi di sekitarnya. Tulisan dan kata-kata dalam puisinya adalah medium untuk membawanya pada kesadaran makna, kesadaran akan kondisi yang dialaminya sebagai pekerja. Pikiran yang jenuh disegarkan dengan menulis puisi. Namun dengan menulis puisi juga, Hadiwinata seperti selalu menjaga kewaspadaan dan kesadaran bahwa yang dilewatinya bukan sesuatu yang mudah, ada penderitaan, ada kesedihan. Oleh karena itu, menulis puisi menjadi penyelamatnya akan kelarutan total akan kondisi kerja yang menyedihkan, yang juga berarti menyadarkannya atas kesedihan itu. Puisi menjadi jalan keluar sekaligus jalan masuk menuju kesedihan.
Meskipun tampak seperti paradoks yang tidak mudah bahkan penuh derita, kekuatan puisi-puisi Hadiwinata justru ada di sini. Puisi-puisi yang dihasilkannya bukan sekadar produk estetis di kamar kosong yang sunyi, tetapi juga bagian dari aksi yang menghubungkan secara langsung pengalaman dengan representasinya yang paling lengkap. Sebagai bagian dari aktivitas kerja, puisi muncul sebagai momen jeda di mana dirinya yang berada pada situasi yang otomatis dan dehumanis, dihayati dan dikontemplasikan untuk dikembalikan pada kemanusiaannya.***
Hamburg, September 2020
ditulis sebagai pengantar Buku Puisi karya Hadiwinata yang berjudul Sepanjang Jalan Kesedihan terbitan Penerbit Kabisat
References[+]
References
↑1
Eagleton, Terry. 2007. How to Read a Poem. USA: Blackwell Publishing. P. 25.
↑2
Beberapa doktrin Formalis Rusia terkait karakteristik bahasa puisi.
Siang itu di sebuah kelas yang
terletak di pojok gedung tua kampus tertua di Yogyakarta, seorang sejarawan
yang mendalami sejarah kriminalitas berkata, “Pelacur, mata-mata, dan serdadu
adalah tiga pekerjaan tertua seumur peradaban manusia.” Beberapa tahun terakhir
masa kuliah, ucapan dosen tadi menggenapi teori Jared Diamond tentang bisnis
seks sebagai bagian dari petualangan hidup manusia. Selama manusia hidup dengan
nafsunya, di sanalah penjaja seks akan hadir melekat layaknya bakteri dalam
tubuh. Ia bukanlah patogen pembawa penyakit, namun bagian dari mikro-organisme
yang menyusun tubuh kehidupan.
Berbicara mengenai penjaja seks,
ingatanku menarik memori masa silam pada sebuah tempat. Tempat itu hanya
selemparan tombak dari tempat tinggalku di pesisir utara Jakarta. Tak elok bila
hanya disebut ‘tempat’, lebih tepatnya lagi kawasan. Kawasan yang menjadi
tujuan para petualang cinta satu malam. Kramat Tunggak yang melegenda.
Adalah Ali Sadikin yang
‘menciptakan’ Kramat Tunggak. Pada saat ia menjadi orang nomor satu di Jakarta,
ia gusar akan kehadiran para pelacur yang berkeliaran hingga ring satu ibukota.
Pelacur-pelacur yang awalnya hanya menjajakan diri di sekitar Segitiga Emas
Senen, berani merambah hingga Sarinah dan Menteng. Sepulang dari lawatan ke Bangkok,
Ali Sadikin lantas membuat lokalisasi tersendiri yang menampung para pelacur
itu agar mudah dikontrol dan mengurangi efek kumuh ibukota. Maklum dibawah Orde
Baru developmentalism adalah
panglima, sehingga apapun yang mengganggu estetika pembangunan akan ‘ditata’.
Kawasan Kramat Tunggak ini berada di
wilayah Koja, Jakarta Utara. Hanya sepertiga gowesan sepeda jengki dari muka Pelabuhan Tanjung
Priok. Kala itu, Kramat Tunggak pernah diklaim sebagai lokalisasi terbesar di
Asia Tenggara mengalahkan Patpong di Thailand. Klaim ini dengan bangga
didengungkan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota sebagai branding wisata lucah di Jakarta. Bak daya tarik magnet pula,
perempuan berduyun-duyun datang ke Kramat Tunggak untuk ikut ambil bagian dalam
semarak rengkuhan birahi. Tak dipungkiri, sebagian besar dari mereka terjebak
dalam masalah ekonomi. Kebanyakan diiming-imingi tawaran bekerja di pabrik
dekat pelabuhan, namun nasib memperdaya mereka di tangan mucikari.
Perempuan-perempuan itu kebanyakan datang dari daerah-daerah sekitar Pantai
Utara Jawa.
Kramat Tunggak menjelma menjadi
sebuah kata kunci nun sakti yang semua orang Tanjung Priok paham. Bila para
pelaut-pelaut itu sudah mendarat, tukang ojek sepeda dengan tangkas
mengantarkan mereka ke mami-mami di
sekitar pondok cinta. Sekali tarik layar, dalam semalam pelaut dan pelacur itu
sudah mengarungi samudera nafsu. Lepas itu, giliran buruh-buruh pabrik sekitar
pelabuhan yang datang menjajal keperkasaan mereka. Silih berganti kelas bawah
pekerja membuang lendir di Kramat Tunggak. Begitu terus setiap hari.
***
Pada tahun 1980-an, sebuah langgar
kecil berdiri hanya lima langkah kaki di depan bilik asmara. Dalam langgar itu,
bermukim seorang alim yang biasa dipanggil Kang Ali. Ia adalah santri jebolan
pondok di Tasikmalaya. Pada awal kedatangannya, Kang Ali seolah ditelanjangi
oleh tatapan sinis para mucikari. Mucikari ini seakan bertanya pada Tuhan, “Bagaimana mungkin di taman surga dunia,
Engkau turunkan wali? Salah tempat bukan?”
Langgar kecil itu tak pernah
berisik. Azan yang berkumandang selalu terasa senyap dibanding lenguhan dan
desahan yang terdengar lantang. Pelita yang ada dalam langgar, juga tak kalah
redup dengan keremangan bilik di kanan-kirinya. Kang Ali adalah anomali.
Beberapa waktu berselang, segelintir
gadis tanggung datang menemui Kang Ali. Mereka ingin belajar agama setelah
merasa hari-harinya penuh berlumur dosa. Kang Ali hanya tersenyum, senyum yang
tak menghakimi nasib mereka. Sore itu, ia berkisah tentang seorang pelacur yang
dijamin surga oleh Tuhan lantaran berbuat kebaikan. Begitupun mereka, Tuhan tak
pernah memilih-milih dalam berkasih sayang.
Tatkala aparat militer Orde Baru
merangsek masuk mengusik kehidupan malam Kramat Tunggak, tak ada siapapun yang
berani menghentikan laju sepatu lars mereka. Para preman dan centeng yang biasanya memasang tampang
garang di depan pondok cinta, ciut bagaikan kerupuk yang tersiram air.
Aparat-aparat itu meminta retribusi tinggi seraya menggerayangi para pelacur.
Kang Ali berdiri tegak melawan kesewenang-wenangan itu. Nada suaranya keras,
mengutuk tindakan biadab dengan qira’at
tertinggi seorang santri. Sayup-sayup pemerintah pusat menengok berita tentang
ini. Kontrol militer atas kawasan ini dikurangi, kontrol kesehatan ditingkatkan
demi melindungi para penjaja seks di sana.
Ketika Ramadhan tiba, lambat laun
Kramat Tunggak mulai berbenah. Bila sebelumnya bulan suci itu tak ada berbeda
dengan sebelas bulan lainnya, saat Ramadhan pondok-pondok cinta berangsur
menutup tirainya. Perlahan walau sedikit yang memulai, jam operasional hotel esek-esek dikurangi jam tidurnya.
Gadis-gadis dengan terbata melantunkan bait demi bait firman Tuhan. Sebagian
besar dari mereka berpuasa, hal yang sebelumnya tak pernah terbayangkan oleh
mereka.
Tak lupa Kang Ali berbagi
pengetahuan akan ketrampilan hidup. Beberapa gadis diajarkan untuk mengolah
masakan dengan bantuan ibu-ibu pengajian kampung sebelah. Tak ketinggalan
mereka juga diajarkan menjahit dan mengelola binatu. Dalam hati kecil Kang Ali,
ia yakin suatu saat keterampilan ini berguna bagi mereka.
Kehadiran Kang Ali yang sempat
dianggap anomali, pada akhirnya mengetuk sanubari. Ia tak kenal aji mumpung untuk membuat para pelacur
itu hijrah kembali di jalan yang benar.
Baginya, hidup adalah pilihan. Seperti tukang gorengan yang menjajakan makanan,
begitu pun pekerjaan pelacur-pelacur itu. Siapapun tak pernah punya impian
menjadi tukang gorengan atau bahkan pelacur. Nasib dan takdir membawa mereka
pada pilihan berbeda. Sekali lagi bukan salah mereka, nasib ini hanya sedikit
karunia Tuhan di dunia. Walaupun terkadang misoginis, Kang Ali selalu punya
cara mengangkat harkat dan martabat para pelacur sebagai perempuan. Perempuan
yang menduduki singgasana mulia dalam Islam. Itu yang sering diulang.
Nun jauh di sana, Tuhan mengutus
manusia jatmika seperti Kang Ali. Hidup bersama kaum marjinal perkotaan,
menjadi bagian dari masyarakat yang terpinggirkan. Tersisih dan dikerdilkan
oleh rezim pembangunan. Ya, di Yogyakarta bermukim seorang wali kinasih sohor dengan nama Sang Burung Manyar.
***
Saat Sutiyoso menjabat Gubernur
Jakarta, ia dengan bangganya meratakan Kramat Tunggak lantas menggantinya
dengan sebuah bangunan megah bernama Jakarta Islamic Centre.
Perempuan-perempuan penghuni bilik asmara, tercerai dari induk semangnya.
Mereka terdesak dan semakin termarjinalkan. Pekerjaan hilang, begitupun dengan
rumah mereka. Sebagian yang beruntung dapat menyambung hidup kembali di
klub-klub karaoke seberang pelabuhan. Atlantika, Presiden, Borneo, dan sederet
nama lain dari ‘rumah’ baru mereka. Tak sedikit pula dari mereka lari ke Rawa
Malang, suaka baru yang bisa memberikan penghidupan.
Bangunan megah bernama Jakarta
Islamic Centre itu resmi berdiri tahun 2003. Masjid itu menjadi lambang
kemenangan orang-orang suci memberantas najis di hadapan mereka. Najis-najis itu tercabut dari
kehidupannya setelah nasib baik tak pernah berpihak. Kali kedua mereka
dikalahkan lagi oleh kuasa patriarki. Dicabuli oleh negara setelah sebelumnya
oleh lelaki ‘pelanggan’ mereka. Apakah yang lebih menyedihkan dari setelah
diperkosa, diusir dari rumah, dan menjadi papa?
Toh nyatanya setelah aku beranjak dewasa, aku sering mendengar
transaksi birahi di sekeliling bedeng-bedeng
yang menempel pada tembok tinggi masjid. Pemukiman kumuh yang selalu kebanjiran
saat musim penghujan, sangat kontras dengan hijaunya rumput di halaman masjid.
Anak-anak kecil berperut buncit berlarian dengan riang di belakang tembok itu.
Saluran air yang mampat dan menghitam, jelas menghantarkan aroma tersendiri
pada indera penciuman. Tak ada lagi pelacur-pelacur Kramat Tunggak, mereka
sudah menjadi “mantan pelacur” di kampung kumuh itu. Begitulah pemandangan
sehari-hari yang aku ulangi sepulang sekolah dengan seragam putih abu-abu
melintasi kawasan tersebut.
Masjid besar itu bukanlah langgar yang sebelumnya didirikan Kang Ali. Bangunan hanya semiotika belaka. Simbol transformasi tempat ‘kotor’ menjadi tempat ‘suci’. Ia hanya sekadar tempat sujud orang-orang beriman tanpa pernah menyisakan sedikit bentangan sajadah untuk para mustadh’afin yang tersisihkan. Kotak-kotak amal dengan gembok besar mengingatkan pada peti-peti harta milik Qarun. Si miskin yang tak bisa mencicipi hak miliknya. Masjid besar merepresentasikan ketaatan agung terhadap Tuhan, tapi terkadang abai dengan perkara minor kemanusiaan. Kembali lagi, sekali lagi, dan untuk terakhir kali, para pelacur itu ‘hilang’ dari kisah mereka sendiri.
Sungguh
puasa terakhir para pelacur di Kramat Tunggak adalah saat Kang Ali masih hidup.
Mungkin, mereka akan belajar berpuasa kembali saat Imam Mahdi turun ke bumi.
Entahlah.
Suatu hari saya bertanya pada kawan perempuan saya,
“Apa yang kamu pikirkan ketika kamu melihat foto ini?”
“Jijik ih. Ngapain coba lagi hamil difoto-foto”, ujarnya.
“Jijiknya kenapa?”, tanya saya lebih lanjut.
“Ya kan kalau sedang hamil badan sedang kelebihan.”
“Kelebihan? Maksudmu, jadi gak estetis dilihat?”
“Iya, betul ga estetis.”
Bisa jadi hal yang serupa juga ada di pikiran sebagian orang di era 90an yang menghujat tajam sampul majalah Vanity Fair edisi Agustus 1991. Mengusung headline More Demi Moore, edisi tersebut menampilkan Demi Moore yang dengan bangga (dilihat dari tatapan matanya) menunjukkan dengan apa adanya perut besar berisi anak kedua. Foto tersebut diambil oleh Annie Leibovitz, fotografer ternama langganan para selebriti Hollywood, yang juga teman baik keluarga Demi Moore. Bukan pertama kalinya Leibovitz mengambil potrait Demi dan anak-anaknya. Pada hari pemotretan tersebut pun, tidak ada konsep awal yang diusung. Semua mengalir begitu saja saat Demi tiba-tiba memutuskan untuk menanggalkan baju dan kain satin yang disediakan, hanya berhiaskan cincin dan anting berlian, serta menutup puting dan memeluk perut besarnya yang berusia tujuh bulan.
Majalah TIME menobatkan foto tersebut menjadi salah satu dari 100 foto paling berpengaruh sepanjang masa. Mengutip dari laman TIME, “foto itu adalah gambar media massa pertama yang menonjolkan seksualitas dalam kehamilan, dan banyak yang merasa terkejut dengan adanya foto seperti itu di kios koran. Beberapa rantai toko kelontong menolak menerbitkan, sementara yang lain menutupinya dengan kertas seperti majalah pornografi. Tentu saja tidak, itu adalah sampul majalah yang provokatif, dan melakukan apa yang sampul terbaik bisa lakukan: mengubah budaya. Kehamilan adalah urusan yang relatif pribadi, bahkan untuk tokoh masyarakat. Setelah gambar Leibovitz, kehamilan selebriti, foto telanjang kehamilan dan paparazzi yang membidik perut buncit mereka telah menjadi industri. Foto tersebut mendobrak apriori-apriori berbasis moral dan dogma mengenai wanita dan kehamilan serta disaat yang bersamaan menciptakan sebuah industri baru yang berjaya hingga saat ini.
Jika dilihat secara sepintas, tidak ada yang benar-benar menarik secara visual – kecuali ketelanjangan – di foto sampul tersebut. Demi Moore termasuk deretan artis papan atas pada jamannya, tentu saja, menjadi salah satu aspek yang diperhitungkan jika ingin menilik kenapa foto tesebut menjadi sensasional. Secara estetika, bahkan Leibovitz sendiri mengakui jika foto tersebut bukanlah “foto yang bagus[1]Dikutip dari reportase Andrew Tavani: Dalam esai tahun 2008 di mana dia merefleksikan beberapa foto paling terkenalnya, Leibovitz memikirkan bagaimana ia mengagumi foto sampul Demi Moore dan … Continue reading”. Foto tersebut menjadi luar biasa ketika itu dibaca sebagai gambar yang berbicara. Menjadi sesuatu yang ada ketika foto itu dipahami sebagai penghancur mitos dan di saat bersamaan menciptakan sebuah mitos baru. Lantas kemudian, mitos apa yang dihancurkan dan dibangun ulang[2]Hal ini sesuai dengan sistem mitos seperti yang diutarakan Barthes: setiap usaha yang kita lakukan untuk menghindari cengkraman mitos pada gilirannya berubah menjadi mangsa mitos; mitos dapat selalu, … Continue reading?
Mitos, menurut Roland Barthes, adalah suatu nilai atau sistem umum. Maka terkait foto ini kita harus melihat latar belakang kultural era di mana foto ini dibuat untuk memahami nilai-nilai yang berlaku. Ada dua hal dalam foto tersebut yang paling utama untuk diperhatikan. Pertama, menampilkan kehamilan merupakan kultural tabu – terutama di film dan fotografi – ambil contoh foto Demi Moore yang menyebabkan skandal publik. Meskipun di dunia Barat ketelanjangan (nudity) merupakan hal yang lumrah dan diterima masyarakat umum, kehamilan masih digambarkan sebagai sesuatu yang tidak layak ditonton sehingga harus ditutupi. Objektifitas badan wanita hanya layak dinikmati publik terbatas hanya jika wanita tersebut memiliki bentuk badan ‘ideal’ (baca: tinggi semampai sensual). Kehamilan, di satu sisi, menampilkan perubahan bentuk badan wanita disaat ‘kelebihan lemak’ sehingga ‘tidak pantas’ jika anomali tersebut dipublikasikan ke khalayak ramai. Di sisi lain, kehamilan merupakan sesuatu yang sakral secara dogmatis juga sebuah perkara privat yang secara moral dan tradisi tidak sepatutnya menjadi konsumsi publik.
Kedua, adalah seorang Demi Moore yang memamerkan bukan saja lekuk badan tanpa busana namun juga kehamilannya. Hal ini bukan yang pertama kali bagi Demi untuk mendokumentasikan masa kehamilannya dengan jalan kreatif. Saat melahirkan anak pertama, proses tersebut tidak hanya dilihat langsung oleh beberapa orang teman dan kerabat dekat, namun juga direkam oleh tiga juru kamera sekaligus. Demi melakukan itu untuk dokumentasi pribadi, begitu juga dengan foto sampul itu awalnya ditujukan untuk hal yang sama sebelum akhirnya diputuskan untuk dikirim ke majalah. Demi, Lebovitz dan Tina Brown (editor Vanity Fair saat itu) tidak menyangka jika hal itu menjadi sensasi media tidak hanya di Amerika tapi juga seluruh dunia. Hal yang sangat berbeda tentu saja bisa terjadi jika yang dipotret bukanlah seorang Demi Moore atau satu dari kalangan artis papan atas yang lain. Ibu rumah tangga biasa dari daerah suburban Manhattan tidak akan menjadi berita menarik semenarik cerita Demi Moore. Aspek selebritas menjadi alasan utama kenapa foto itu menjadi sensasional.
Maka, aspek selebritas lah yang kemudian mendasari kesuksesan foto ini mengubah suatu budaya. Tindakan pregnancy fetishism[3]Salah satu bentuk budaya populer, yaitu saat sebuah konteks kehamilan dilihat sebagai fenomena erotis oleh individu atau kultur.yang dilakukan Demi Moore menandai periode ketika proses kehamilan yang ditampilkan oleh selebriti dilihat sebagai salah satu representasi kehidupan glamor, serta di saat yang sama membentuk pasar bagi para fotografer untuk menciptakan imaji-imaji wanita hamil dan bagi pengarah gaya untuk mengenalkan konsep “pregnancy styling” ke dalam bisnisnya. Sudah tak terhitung lagi, selebriti maupun kalangan umum, melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Demi. Jika Demi bisa, kenapa saya tidak? Begitu mungkin pikirnya. Hilangnya sekat privat selebriti dan khalayak umum juga menjadi pendorong terciptanya bentuk baru consumer culture ini. Merayakan kehamilan dan menunjukkan pada dunia jika wanita masih terlihat ‘menarik’ bahkan ketika sedang hamil sekalipun, menjadi suatu keharusan bagi wanita hamil masa kini.
Referensi: Annie Gets Her Shot | Vanity Fair. (2008). Diambil 22 Januari 2018, dari sini Barthes, R. (2007). Membedah mitos-mitos budaya massa : semiotika atau sosiologi tanda, simbol dan representasi. (D. L. Subandi, Ed.). Yogyakarta: Jalasutra. Celebrities make pregnancy seem glamorous – TODAY.com. (2006). Diambil 22 Januari 2018, dari sini Demi Moore | 100 Photographs | The Most Influential Images of All Time. (n.d.). Diambil 23 Januari 2018, dari sini Longhurst, R. (2006). A Pornography of Birth: Crossing Moral Boundaries. Diambil 22 Januari 2018, dari sini Rupprecht, C. (2013). Womb Fantasies: Subjective Architectures in Postmodern Literature, Cinema … – Caroline Rupprecht – Google Books. Northwestern University Press. Tavani, A. (2016). 1991 Vanity Fair cover featuring pregnant Demi Moore named 1 of most influential images of all time. Diambil 22 Januari 2018, dari sini
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi
References[+]
References
↑1
Dikutip dari reportase Andrew Tavani: Dalam esai tahun 2008 di mana dia merefleksikan beberapa foto paling terkenalnya, Leibovitz memikirkan bagaimana ia mengagumi foto sampul Demi Moore dan bagaimana dia melihat gambar itu dalam retrospeksi. “Itu adalah gambar yang populer dan itu menjadi dasar, tapi menurut saya ini bukan foto bagus. Ini sampul majalah,” Leibovitz menambahkan, “Jika itu potret yang bagus, dia tidak akan menutupi payudaranya.” Bayangkan keributan yang akan terjadi jika memang begitu.
↑2
Hal ini sesuai dengan sistem mitos seperti yang diutarakan Barthes: setiap usaha yang kita lakukan untuk menghindari cengkraman mitos pada gilirannya berubah menjadi mangsa mitos; mitos dapat selalu, sebagai usaha terakhir, menunjukkan penentangan yang ditujukan kepadanya.
↑3
Salah satu bentuk budaya populer, yaitu saat sebuah konteks kehamilan dilihat sebagai fenomena erotis oleh individu atau kultur.
Membaca keramaian tentu saja tidak dapat dilepaskan dari terjadinya interaksi antarperson yang terlibat di dalamnya. Singgungan-singgungan yang terus terjadi memunculkan aksi dan reaksi yang menghasilkan lanskap unik tentang bagaimana memaknai kebebasan. Manusia seolah menjadi liar ketika ia ‘dikeluarkan’ dari rutinitasnya. Warung kopi, sebuah ruang yang tak lagi sekedar menjadi tempat untuk menikmati minuman pelega dahaga tetapi telah menjelma menjadi sebuah ruang interaksi. Warung kopi seringkali hanya dibungkus dengan kemasan sederhana dan menyuguhkan menu dengan harga yang tak seberapa namun ternyata memiliki kekuatan untuk mengundang dan menyihir para ‘makhluk nokturnal’ untuk berwacana dan berdialektika.
Sebagaimana yang kita ketahui, riuh rendah keramaian di warung kopi kini bukanlah suatu keniscayaan, karena memang seperti itulah adanya. Akan tetapi, jika ditelisik lebih jauh, fenomena keramaian di warung kopi ini menjadi pintu pembuka tentang bagaimana manusa secara alamiah membuka sekian potensinya untuk bertemu, mengenali, dan menerjemahkan sensitivitas terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.
Di warung kopi, terdapat banyak ‘lingkaran’ yang saling berkutat dengan wacana dan kepentingan sendiri-sendiri. Lantas, apa yang menarik dari pemandangan tersebut? Bukankah suatu pembicaraan serius seharusnya membutuhkan ruang sepi tanpa hiruk pikuk? Diskusi yang masif bukankah semestinya memisahkan diri dari hingarbingar dan ketidakteraturan? Akan tetapi, seringkali kenyataan yang tampak sungguh berbeda. Di beberapa (baca: sebagian besar) lingkaran ternyata bukanlah sekedar ketawa ketiwi menikmati teh hangat atau kopi. Mereka secara anatomis membuat gerakan kerenyit dahi sambil sesekali memainkan jemarinya di keyboard cadas laptop pintarnya. Artinya, mereka melakukan kegiatan serius di tengah keramaian.
Dari pembacaan tersebut, keramaian menjadi ‘yang dirindukan’ untuk mengasah kepekaan. Ruang sepi mungkin tak lagi menjadi teman baik retas wacana. Sebagai subyek berpikir, kognitif manusia bergerak dinamis merespon segala suasana. Warung kopi agaknya menjadi sebuah wahana yang mampu menjadi pasar yang menyediakan berbagai macam kebutuhan. Seperti halnya yang terjadi pada saya malam ini, niat menulis (baca: iseng) muncul dengan tiba-tiba. Aktivitas diskusi dan menulis, tawa dan teriakan, ternyata mampu menumbuhkan kekuatan untuk menyikapi sesuatu, dengan menulis tentunya. Dalam hal ini, konten tidaklah penting, tetapi respon membuktikan bahwa otak menerima rangsang untuk bekerja dalam porsinya. Dalam pengamatan lain, dapat dikatakan bahwa otak memerintahkan seluruh ragam organnya untuk bergerak. Pertanyaan berikutnya, mengapa hal ini justru muncul di tengah keramaian? Mungkin kalimat umum yang sering didengar adalah “inspirasi bisa datang dari mana saja. Tetapi, satu yang tak disadari adalah bahwa manusia adalah animal symbolicum, binatang yang berpikir. Meskipun menegaskan dirinya berbeda dengan binatang –karena dapat berpikir –unsur kebinatangan secara naluriah adalah berburu, berlomba, mengalahkan, dan memenangkan: survive. Dengan demikian, persaingan atau kompetisi memantik otak untuk memberikan respon lebih ketika dalam ketidakberaturan semua mencoba menunjukkan eksistensinya. Mereka yang serius, yang santai, yang mengerenyitkan dahi, yang ketawa ketiwi, ternyata adalah ‘serigala’ (homo homini lupus) yang harus dikalahkan dengan melakukan kegiatan yang lebih, atau setidaknya sama.
Membincang tentang kompetisi tadi, dalam kaitannya dengan keramaian, terdapat dua pilihan jika ingin mempertahankan eksistensi, yaitu; menjadi yang hilang, atau menjadi yang lebih ramai. Dari sinilah kemudian muncul reaksi atas semua aksi yang seolah-olah alami terjadi. Inspirasi yang muncul ditengah keramaian sebenarnya bukanlah an sich kemampuan manusia yang mengeksplorasi potensinya, akan tetapi naluri kebinatangannya yang mengharuskan untuk bertahan. Dalam bagian ini unsur ‘berpikir’ dimanfaatkan yang kemudian termanifestasi pada tindakan berupa ‘menggunakan potensi kecerdasan/pengetahuan’.
Hingga pada bahasan ini, Warung kopi tidak lagi dapat dipandang sebagai warung biasa dengan harga tak seberapa. Warung kopi memungkinkan dirinya untuk menjadi belantara hijau yang mampu mengundang para binatang liar untuk datang dan bertemu. Sementara itu, sebagai arena ia menyediakan alat-alat perang yang membuat para binatang tersebut untuk saling mengaum, bahkan berbunuh-bunuhan. Dari kenyataan ini, apakah ada tempat yang benar-benar aman bagi manusia? Jika dalam pembahasan dangkal keamanan adalah terjaganya tubuh dari kekerasan aniaya, malam ini Warung kopi menyuguhkan pandangan lain bahwa aman bukan lagi sekedar tidak disakiti secara fisik, tetapi terjaga dari keterjajahan pikiran yang disebabkan oleh insting kompetisi yang tak terkendali. Dan oleh karenanya, Warung kopi mungkin tak sekedar warung tempat menyantap hidangan saja akan tetapi sudah dalam batasan yang ‘melampaui’. Post-warung kopi’??? mungkin saja.
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi
author = About Asef Saeful Anwar
Penyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.
View all posts by Asef Saeful Anwar →
“Barangsiapa ingin tahu peta perpuisian Indonesia kontemporer wajib membaca buku ini.”
Bayangkan, kalimat itu ada di sampul depan sebuah buku puisi. Kalimat itu disusul nama seseorang yang masyhur sebagai sastrawan atau kritikus sastra. Apakah kamu akan tertarik membeli dan membaca buku itu? Bagaimana jika setelah membacanya kamu tidak menemukan kebenaran pernyataan tersebut? Apakah kamu akan kecewa dan memaki-maki penulis endorsement itu sebagai tukang kibul nomor wahid yang gonggongannya membuat kamu percaya bahwa dia sejenis hewan yang suka menjilat?
Bila kita memahami hakikat keberadaan endorsement, kemarahan semacam itu tak perlu tumpah. Bahkan, bisa saja kita tidak membeli buku itu sebab telah mengerti bahwa pernyataan muluk-muluk tentangnya hanyalah salah satu bentuk promosi. Ah, betapa sering manusia kecewa karena pariwara meskipun mereka tahu apa yang terdapat di dalamnya murni promosi dengan simbol-simbol yang melenakan.
Secara sederhana endorsement dapat diartikan sebagai pernyataan promosi yang biasa terdapat di sampul buku. Sebagaimana galibnya, promosi bersifat persuasif yang menuntut calon konsumen (dalam hal ini pembaca) untuk terpengaruh. Dalam endorsement, kekuatan daya pengaruh ini didukung oleh sesiapa yang menerakannya. Tidak sembarang orang bisa mengisinya, kecuali fungsinya sebagai promosi akan gagal. Buku, sebagai benda yang melekatkan nilai-nilai intelektualitas, harus dipromosikan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya, baik praktisi maupun akademisi. Ini yang membedakan promosi buku dengan barang-barang lain yang kadang amat ketara ketidaklogisannya: seorang pemain sinetron striping menjadi bintang iklan deterjen (Apa dia punya waktu untuk mencuci? Apa dia mau mencuci? Masak dia nggak punya asisten rumah tangga?) atau pemain sepakbola yang jadi bintang iklan pelumas (Apakah kecepatan larinya yang penuh presisi di lapangan karena habis minum pelumas itu sebelum bertanding?).
Dalam dunia sastra, sastrawan dan kritikus sastra adalah orang-orang yang diberi kepercayaan untuk menulis endorsement. Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang masih memandang kuatnya makna pernyataan dari siapa yang mengucapkannya, maka kadang se-wagu apa pun kalimat endorsement dari mereka akan dipercayai sebagai pernyataan sahih tentang buku terkait. Celakanya, endorsement kini telah dianggap sebagai penilaian utuh dan penuh dari seorang sastrawan atau kritikus. Maka, ketika tak sesuai dengan isi buku dianggap sebagai pernyataan yang menyesatkan hingga menimbulkan kegemparan. Penulis endorsement pun seolah menjadi tertuduh atas kasus “pembohongan publik”.
Itulah yang barangkali pernah dialami Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri karena pernah menulis endorsement untuk sebuah buku puisi. Tanpa bermaksud membela keduanya, apa yang dilakukan mereka dan sejumlah sastrawan atau kritikus yang pernah menulis endorsement lainnya, bagi saya adalah wajar. Mereka tahu bahwa pernyataannya akan digunakan sebagai bahan promosi sehingga harus memilih kalimat yang dapat menarik minat pembaca untuk membeli buku terkait. Mengapa mereka mau melakukannya? Mungkin itu yang menjadi pertanyaan bagi sejumlah peminat sastra yang kecewa. Dan uang menjadi salah satu jawaban yang paling memungkinkan.
Jika uang yang menjadi motif dari penulisan endorsement, ada ruang pekerjaan baru bagi sastrawan dan kritikus: menulis endorsement. Jadi, sastrawan dan kritikus kini mulai dapat menjadi selebritas yang dapat menuliskan kalimat-kalimat canggih untuk menarik minat para pembeli/pembaca. Menulis endorsement tak ubahnya menjadi bintang iklan sebuah produk shampo atau obat batuk. Sastrawan bisa seperti Lionel Messi yang menjadi bintang iklan shampo yang mungkin tak pernah dipakainya saat berkeramas. Dan kritikus sastra seolah menjadi profesor penemu formula obat batuk yang diiklankannya, obat yang mungkin tak pernah ia minum sebab tenggorokannya senantiasa sehat.
Meskipun seorang selebritas tidak suka atau tidak pernah memakai produk yang diiklankannya, haruslah ia menyatakan bahwa produk terkait adalah baik dan bagus untuk dikonsumsi. Bahkan, melanggar hukum apabila setelah membintangi iklan (baca: menulis endorsement) sang selebritas menyatakan tak menyukai produk terkait. Pada titik ini, nilai-nilai kejujuran mulai digantikan nilai-nilai profesionalisme.
Apa pun yang dikatakan oleh seorang sastrawan atau kritikus sastra dalam endorsement tidaklah dapat dianggap sebagai penilaian yang sahih terhadap buku terkait. Sebaik dan seunik apa pun pernyataannya haruslah dianggap sebagai sebatas promosi. Tidak lebih dari itu. Tidak mungkin sebuah buku yang tebalnya minimal puluhan halaman bisa dinilai secara sahih dengan beberapa kata atau kalimat.
Sayangnya, publik sastra terlanjur menganggap endorsement sebagai kata-kata suci dari seorang sastrawan atau kritikus sastra. Endorsement telah dianggap sebagai hasil perasan perasaan dan pikiran sastrawan atau kritikus setelah membaca sebuah buku sastra. Endorsement tidak dipahami sebagai bagian politik ekonomi penjualan. Padahal, bila dilihat dengan lebih jeli kita akan tahu adanya motif ekonomi di setiap keberadaan endorsement. Misal, penulis senior yang bukunya banyak diterbitkan Penerbit X akan menulis endorsement untuk buku penulis muda yang akan diterbitkan penerbit yang sama. Selain itu, kalimat-kalimat endorsement cenderung merupakan pernyataan umum tapi dikerucutkan seolah hanya berlaku pada satu buku, semisal kalimat berikut: “Buku ini membawa banyak manfaat bagi siapa pun yang membacanya”. Kalimat itu mengerucutkan persepsi manfaat buku hanya pada buku terkait, seolah-olah buku yang lain tidak banyak bermanfaat bagi pembacanya. Maka, jika kamu membaca endorsement di sebuah sampul buku, pikirkan apakah itu penyataan umum yang coba disempitkan dan apakah penulis endorsement itu bukunya pernah diterbitkan oleh, atau memiliki afiliasi dengan, penerbit buku yang tengah kamu pegang itu?
Dengan dua pertanyaan sederhana itu, kita akan mengerti bagaimana cara kerja endorsement. Memahami cara kerjanya akan turut mengubah paradigma yang terlanjur mengakar bahwa endorsement adalah pernyataan yang telah melalui proses pembacaan dan perenungan. Tidak, tidak sedalam itu. Endorsement sebaiknya mulai dipandang sebagaimana hakikat kemunculannya: untuk melariskan sebuah buku. Endorsement bagai bingkai sebuah lukisan. Ia bisa lebih bagus daripada lukisan yang dibingkainya. Endorsement tak ubahnya sebuah bungkus kado yang indah dan rapi, tetapi harus dirobek untuk tahu isinya.
Apa pun pernyataan seorang sastrawan atau kritikus sastra sejauh itu dalam bentuk endorsement tak patut dipermasalahkan. Tanggung jawab seorang penulis endorsement, siapa pun itu, adalah pada kelarisan buku, bukan pada pembaca bukunya. Apa yang menjadi masalah adalah ketika seorang sastrawan atau kritikus menulis sebuah karangan, semisal esai atau makalah, yang sengaja ia komersilkan untuk menyanjung karya-karya tertentu. Karangan itu pasti akan jauh dari nilai-nilai ilmiah, jauh dari objektivitasnya. Inilah yang patut dicegat dan digugat.
Ketika penerbit buku-buku sastra mulai banyak membutuhkan endorsement sebagai alat jualan, saat itu juga sastrawan ternama dan kritikus yang telah mapan berada pada posisi penawaran—untuk tidak mengatakan ditawarkan—sebagai selebritas. Menjadi pilihan bagi mereka untuk menjajal pekerjaan tambahan sebagai selebritas yang profesional. Sementara itu, dari sisi pembaca sastra, kesadaran baru harus segera dibangun dengan cara mengembalikan hakikat endorsement sebermula kehadirannya sebagai alat promosi, bukan alat legitimasi.
Setidaknya, dari keberadaan endorsement kita dapat belajar bahwa jangan lagi terburu memahami sebuah pernyataan hanya dari siapa yang mengatakan atau apa yang dikatakan, tetapi lihat juga di mana hal itu dikatakan. Dan patut diingat bahwa endorsement adalah bagian dari sampul sementara pepatah lama belum kunjung berubah: don’t judge a book by its cover.
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/
https://kibul.in/opini/politik-endorsement-buku-sastra/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/05/featasep1-1.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/05/featasep1-1-150×150.jpgAsef Saeful AnwarOpiniAsef Saeful Anwar,Budaya,buku,Endorsement,kibul,Opini,Penerbit,Sastra,Sastra Indonesia“Barangsiapa ingin tahu peta perpuisian Indonesia kontemporer wajib membaca buku ini.”
Bayangkan, kalimat itu ada di sampul depan sebuah buku puisi. Kalimat itu disusul nama seseorang yang masyhur sebagai sastrawan atau kritikus sastra. Apakah kamu akan tertarik membeli dan membaca buku itu? Bagaimana jika setelah membacanya kamu tidak menemukan kebenaran…Asef Saeful AnwarAsef Saeful Anwarasaefulanwar@gmail.comEditorPenyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.Kibul.in
Bahasa menjadi salah satu unsur paling penting bagi sastra. Tanpa bahasa, sastra hanya akan berhenti pada tataran ide belaka. Dengan kata lain, sastra menjadi (ada), terekspresi dan diterima oleh masyarakat pembaca karena bahasa hadir sebagai medianya. Akan tetapi, bahasa sebagai media itu juga memiliki kompleksitas dan bukan tanpa persoalan. Bahasa yang digunakan oleh manusia bukan hanya untuk berkomunikasi satu sama lain melainkan lebih jauh untuk mengenal dunia itu terus mengalami perkembangan. Perkembangan ini pada akhirnya menuntut manusia untuk beradaptasi dengan kondisi kebahasaan yang dihadapinya. Perkembangan itu bisa berwujud munculnya istilah-istilah baru, pergantian makna kata atau yang lain. Dahulu dalam penggunaan bahasa sehari-hari, orang menyebut pakaian yang hendak dicuci, dengan kata cucian. Tapi sekarang ini ada kata ganti yang diadopsi dari bahasa Inggris sehingga orang banyak menyebutnya dengan laundry-an (dalam KBBI disebutkan bahwa laundrian diganti dengan istilah penatu, meskipun tidak merujuk pada pakaian yang dicuci tapi pada jenis usaha/orang yang bergerak di bidang pencucian (penyetrikaan) pakaian), misalnya. Selain itu, dalam perkembangannya, bahasa pun selalu mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Sejak ditemukannya aksara, bahasa kemudian masuk ke dalam ruang visual dan menciptakan ruang baru bernama bahasa tulis. Begitu juga saat teknologi informasi-komunikasi semakin berkembang pesat, keberadaan radio, televisi, komputer dan kemudian muncul internet membawa bahasa ke ranah yang semakin luas yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Namun, perkembangan itu bukan tidak menimbulkan masalah bagi bahasa. Bahasa kemudian semakin termediasi, berjarak dan “lepas” dari penuturnya. Pada taraf ini, kemungkinan keterpelesetan dalam pemahaman terhadap bahasa khususnya pada fungsinya sebagai alat komunikasi bisa saja hadir.
Permasalahan mengenai kebahasan sudah akan kita temukan sejak pada tataran sistem kebahasaan tingkat pertama (Primary modeling system) yakni bahasa lisan. Bahasa lisan sebagai ekspresi bahasa alamiah (sebagai bawaan biologis) manusia hadir melalui artikulasi suara. Ia hadir secara alami sekaligus dipakai dan diwariskan oleh pengguna bahasa. Seorang anak, pertama kali belajar bahasa ibu dari mendengarkan suara yang keluar melalui tuturan. Karena bersifat alamiah, bahasa lisan cenderung lebih mudah dipahami meskipun juga bukan tanpa persoalan. Dalam tataran praktisnya, keterpelesetan memahami makna dari satu penutur ke pendengar bisa saja muncul. Misal saja ketika seorang yang berasal dari suku Batak datang ke Yogyakarta, ketika dia menyampaikan sesuatu dengan bahasa Indonesia logat Batak, apa yang diucapkannya bisa dianggap terlalu kasar akibat intonasi yang dianggap terlalu tinggi dan kurang cocok di telinga masyarakat Jawa. Atau saat menyampaikan sesuatu, ekspresi wajahnya (yang menjadi bagian dalam sistem bahasa lisan) terlihat “kecut” atau datar sehingga membuat lawan bicaranya berpikir macam-macam. Kejadian seperti ini pernah dialami kawan saya sewaktu memesan makanan. Karena nada bicaranya terlalu tinggi, teman-temannya yang orang Jawa menganggap bahwa ia terlalu memaksa penjualnya melayaninya dengan cepat, padahal menurutnya ia tak bermaksud demikian.
Sementara itu, bahasa tulis sebagai gejala kedua (Secondary modeling system) yang bersifat kultural (karena merupakan ciptaan manusia) juga hadir bukan tanpa persoalan. Di satu sisi, bahasa tulis sebagai penemuan terbesar manusia yang mengubah peradaban (kemudian muncul istilah zaman sejarah dan prasejarah) semakin mengembangkan penggunaan bahasa karena ia berhasil mengatasi permasalahan bahasa lisan yang selama ini sangat mengandalkan ingatan saja (mnenomik). Bahasa tulis bisa dikatakan semakin memperluas kehidupan manusia. Akan tetapi bahasa tulis yang mengubah mekanisme bahasa dari yang awalnya audio kemudian menjadi visual juga menghadirkan problematika tersendiri. Teks sama sekali lepas dari penuturnya. Teks kemudian menjelma menjadi sebuah dunia yang mandiri. Seorang yang buta huruf tak akan bisa menerima gagasan yang disampaikan seseorang melalui teks, menyebabkan adanya alienasi terhadap mereka-mereka yang tidak memiliki kemampuan memahami bahasa tulis. Dunia teks yang dibangun melalui aksara juga memiliki konvensi-konvensi yang mesti dipahami oleh masyarakat penggunanya. Pengguna bahasa harus terus menerus beradaptasi dengan bahasa itu sendiri. Dalam bahasa Indonesia misalnya, dahulu orang menulis kata Jarum dengan ‘Djarum’. Nama orang, misal “Suharto” ditulis dengan “Soeharto”. Perbedaan penggunaan aksara ini sekaligus mencerminkan bagaimana hubungan antara bunyi dan aksara ini bersifat arbitrer tapi sekali lagi tetap berkaitan dengan konvensi.
Permasalahan kebahasaan ini menjadi semakin menarik ketika dihubungkan dengan kehidupan sastra. Sejak jaman dahulu, sastra telah menjadi media bagi penyampaian ide dan gagasan mengenai dunia. Sastra bahkan dalam taraf tertentu membentuk gagasan mengenai dunia yang ideal. Ia sering muncul sebagai bayangan yang memberi pemahaman baru tentang realitas. Salah satu hal yang membuat sastra memiliki kemampuan menciptakan dunia yang sama sekali lain adalah adanya ideologi tentang kebebasan kreatif. Yang menarik justru ketika bahasa terus-menerus mengalamami standardisasi, sastra malah seringkali hadir sebagai ekspresi penyelewengan/deotomatisasi terhadap bahasa yang menjadi mediumnya. Dalam taraf ini, kemudian muncul istilah yang kita kenal sebagai Licentia of Poetica, saat sastra punya kebebasan yang tak sepenuhnya terikat dengan bahasa. Dalam tradisi sastra Indonesia, berbagai upaya melepaskan diri dari konvensi bahasa ini bisa dilihat dari ketakgramatikalan kebahasaan, khusunya dalam puisi. Bahkan berbagai “pelanggaran” terhadap bahasa sehari-hari, justru menjadikan puisi menjadi benar-benar “puitik”. Penyair Chairil Anwar misalnya, menggunakan kata “pohonan”, bukan pepohonan atau pohon-pohon.
Lebih jauh, persoalan kebahasaan nampaknya menjadi bagian tak terpisahkan bahkan cenderung dijadikan penanda dalam tradisi sastra Indonesia. Bahasa dan sastra seringkali membaur dalam istilah yang estetika bahasa-sastra.
Perlawanan estetika bahasa-sastra nampak muncul sebagai respon dari tradisi yang sudah ada sebelumnya. Dalam sejarah sastra Indonesia (modern), nampak bahwa para penyair periode awal mulai melepaskan diri dari tradisi sastra-bahasa Melayu, untuk membentuk sebuah tradisi kesastraan yang baru dan otonom. Dalam contoh lain, salah satu penyair Indonesia, Chairil Anwar muncul dengan melakukan perlawanan terhadap tradisi penyair Pujangga Baru. Ia sebagai wakil dari generasinya kemudian dianggap sebagai tonggak dan penanda lahirnya sebuah angkatan. Hal yang sama juga terjadi pada kasus puisi-puisi Sutadji Calzum atau Afrizal Malna,misalnya. Mereka kemudian dipercaya bahkan dimitoskan menjadi tonggak perkembangan dalam sastra Indonesia karena dianggap menawarkan kebaharuan dalam segi estetika bahasa-sastra.
Pada titik inilah saya mencoba untuk mendekati puisi-puisi Shiny Ane El Poesya (selanjutnya disebut Shiny) dalam antologi puisi Kotak Cinta. Ketika pertama kali membaca puisi-puisi Shiny, saya merasa dihadapkan pada sesuatu yang “aneh”. Aneh karena puisi Shiny cenderung menampilkan sesuatu yang tak lazim, berbeda dengan puisi-puisi Indonesia yang sering muncul akhir-akhir ini. Meskipun tetap menggunakan bahasa Indonesia, namun dari segi bentuk terlihat ada penyimpangan, khusunya pada kaidah kegramatikalan bahasa. Puisi-puisi Shiny seolah mencoba keluar dari konvensi, mencoba mencari ekspresi puitik melalui estetika/gaya bahasa yang berbeda (baru?). Ketika membaca puisi Shiny, saya tak bisa memungkiri bahwa saya menemukan jejak-jejak yang telah telah ditinggalkan oleh penyair-penyair sebelumnya. Meskipun memiliki sejumput perbedaan, puisi Shiny mengingatkan saya pada puisi-puisi Sutadji Calzum Bahri. Dalam kredonya, Sutardji menyatakan bahwa “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukanlah seperti pipa yang menyalurkan air. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri.” Sutardji melalui kredonya menganggap bahasa haruslah dibebaskan. Kata haruslah dibebaskan dari belenggu makna. Upaya yang dilakukan Sutardji kemudian adalah menghadirkan puisi-puisi yang menggunakan kata-kata dengan tidak ditemukan dalam aturan bahasa (misalnya kata yang terdapat dalam kamus bahasa). Dengan kata lain, Sutardji berusaha melawan kaidah kebahasaan formal yang selama ini digunakan oleh masyarakat pengguna bahasa.
Usaha untuk melawan bahasa sehari-hari juga dilakukan oleh Shiny dalam puisi-puisinya. Puisi-puisi Shiny adalah sebuah eksperimentasi yang cenderung memfokuskan diri pada persoalan kebahasaan khususnya bahasa tulis. Eksperimen yang dilakukan oleh Shiny melalui puisi-puisinya di buku ini tidaklah tunggal. Ada puisi yang menonjolkan aspek tipografi. Ada juga puisi simbolik yang menggunakan simbol-simbol kebahasaan di luar aksara seperti tanda baca, emoticon, juga simbol aksara tak terbaca oleh komputer (biasanya terjadi pada penggantian font di software microsoft word yang menyebakan munculnya simbol kotak-kotak). Meskipun terdapat berbagai jenis eksperimen, sebagian besar puisinya masih berhubungan dengan permasalahan kebahasaan, bukan hanya pada ekspresi bentuk saja namun juga menyangkut tema puisi-puisinya.
Puisi pertama dalam buku Kotak Cinta berjudul “Morfeum” dengan penanda “U” fonetik nampak menunjukkan persoalan kebahasaan itu khususnya mengenai bahasa tulis terlebih dalam persoalan mengenai morfem dan fonem.
Morfeum
“memberi kannyabertjinta”
meberditersepeke anakan
memberi beri
meber? kani
tjintacintacinta tjinta tjinta
mentintaiditjintai sectinta
bercintabercinta cintacni
(Kotak Cinta: Mukadimah)
2014
Dari judul puisinya, nampak bahwa persoalan kebahasaan (linguistik) menjadi topik yang sejak semula dihadirkan dalam puisi Shiny. Puisi pada halaman awal itu hadir sebagai pintu masuk untuk melihat lebih dalam dan lebih jauh terhadap puisi-puisi Shiny. Dalam kacamata saya, judul tersebut mengandung dua hal, yang pertama persoalan tentang morfem sekaligus secara implisit yakni mengenai fonem.
Morfem (bahasa Inggris: Morpheme) secara sederhana dapat didefinisikan sebagai satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna. Gabungan Morfem-morfemlah yang kemudian membentuk bahasa dalam tataran (strukrural) yang lebih luas. Dengan kata lain Morfem hadir menjadi inti/awal dari bahasa (struktural). Lebih lanjut melalui puisinya, Shiny tampak menghadirkan dan menjabarkan persoalan morfem ini. Pada bagian awal puisi, Ia nampak menunjukkan bagian yang diistilahkan sebagai morfem terikat. Ini terlihat pada baris berikut:
meberditersepeke ankani
Jika kita lihat larik tersebut, maka segera kita lihat terdapat jajaran morfem terikat (dalam hal ini berupa imbuhan-awalan-sisipan-akhiran dalam bahasa Indonesia). Pada baris berikutnya ia kemudian menguraikan proses pembentukan kata, penggabungan antara morfem bebas dengan morfem terikat.
Memberi (me-beri)
Pada larik selanjutnya, ia mulai mempertanyanyakan proses pembentukan kata itu, kenapa “M” (nasal) hadir di antara gabungan dua morfem tersebut. Nampaknya, Shiny melihat ada persoalan sekaligus keunikan dalam bahasa (khususnya bahasa Indonesia yang juga menjadi media bahaaa puisi Shiny).
Masih dalam puisi yang sama, nampak bahwa Shiny juga melihat persoalan perubahan dalam struktur kebahasaan, terutama bahasa tulis.
pada larik:
“tjintacintacinta tjintatjinta”
Setidaknya ada dua diski dalam baris itu yang diulang, yakni “Tjinta” dan “cinta” yang merujuk pada penggunaan diksi “‘cinta” yang lazim digunakan masyarakat bahasa sekarang ini. Dua diksi tersebut setidaknya merepresentasikan adanya perubahan dalam bahasa,khusunya bahasa tulis. Jika pada tradisi penulisan di Indonesia sebelum ada perubahan, vokal “C” masih ditulis dengan “Tj” maka pada masa sekarang digunakan simbol “C”. Ferdinand de Sausurre pernah membahas persoalan sistem aksara. Dalam pembahasannya, Sausurre membagi 2 sistem aksara, yakni sistem ideografi dan sistem fonetis. Yang pertama merupakan lambang tunggal yang tidak ada hubungannya dengan bunyi (misal aksara Cina) sementara yang kedua terkait dengan unsur bunyi. Sistem yang kedua inilah yang muncul dalam puisi Shiny di atas sebagaimana juga yang digunakan dalam bahasa Indonesia dengan aksara latinnya. Dari sini dapat kita lihat bahwa puisi Shiny menyinggung masalah-masalah kebahasaan khususnya bahasa Indonesia.
Pada baris terakhir, persepsi kita mengenai diksi yang utuh dan lazim terganggu ketika muncul kata” cintacni”. Tentu, kita akan bertanya-tanya apa maksud kata tersebut. Tetapi jika kita mempelajari fonologi maka kita akan segera tahu bahwa “C” yang kedua secara fonetik bisa dibaca “se” sehingga dari sini kita pun bisa melihat bahwa “cintacni” mengandung dua kata yakni cinta dan seni, walaupun dalam pengucapannya sesungguhnya juga bermasalah.
Pada puisi berikut, Shiny mencoba melakukan ekperimen dengan menggabungkan dua kata yang secara leksikal memiliki makna menjadi sebuah kata baru yang sama sekali tidak memiki makna secara leksikal.
Mati Dua Kali
Matimati matimati matimati
mati berkaliitu deraskali
mati-dua kaliitu, rindusekali
(Kotak Cinta:24)
Pada puisi di atas, Shiny nampak “bermain-main” dalam bentuk puisinya yakni dengan menggabungkan diksi-diksi yang ada. Dua diksi yang memiliki makna masing-masing kemudian menyatu membentuk satu kata yang baru yang “sama sekali” tak memiliki makna lagi. Jika kita mempercayai kredo Sutadji yang disampaikan di atas, maka kita akan melihat bahwa penggabungan kata yang membentuk kata baru dalam puisi Shiny akan menjadikan kata baru itu memiliki artinya sendiri. Kata-kata itu kemudian bukan bermaksud menyampaikan sesuatu yang lain. Tapi pertanyaannya apakah puisi yang demikian akan bisa dipahami? Lalu apa yang harus dilakukan agar kita bisa memahami puisi Shiny?
Apabila kita menggunakan logika bahasa tulis yang sepenuhnya visual, maka kita hanya bisa menikmati keindahan puisi Shiny dengan melihatnya secara visual saja. Kemungkinan yang kita dapat adalah estetika puisi Shiny adalah pada tipografinya. Melihat puisi Shiny seolah kita melihat karya seni rupa seperti lukisan, patung atau yang lain. Hal ini terjadi karena kita sudah tidak mampu lagi memahami diski-diksi yang dihadirkannya. Tetapi jika kita menggunakan logika bahasa lisan maka segera mendapati bahwa puisi Shiny tetap masih bisa dibaca. Jika kita menggunakan metode kelisanan kedua yakni dengan melakukan performa pembacaan secara lisan terhadap puisi Shiny maka kita akan mampu untuk membacanya.
“Matimati matimati matimati
mati berkaliitu deraskali
mati-dua kaliitu, rindusekali”
Bisa kita ucapkan menjadi:
“mati/ mati/mati/mati/mati/mati/ mati/berkali/itu/deras/ sekali/ mati/ dua/kali/itu/ rindu/sekali” ataupun dengan pola lain yang sama-sama gramatikal.
Gejala permainan bahasa dengan penggabungan beberapa diksi nampak menonjol dalam puisi-puisinya yang lain.
Puisi di atas nampak tidak gramatikal disebabkan adanya penggabungan diksi-diksi yang dalam bahasa sehari-hari (tulis) seharusnya dipisah (dengan spasi). Nampaknya, pada puisi ini (dan sebagian besar puisi yang lain) terdapat kesengajaan untuk menghabungkan diski-diksi tersebut. Meskipun belum sampai dalam pemahaman makna, dengan menggunakan kelisanan kedua kita akan kembali menemukan ekspresi bahasa yang lebih bisa kita pahami dibanding hanya menikmatinya sebagai sebuah teks yang mandiri. Tentu dalam titik ini kita bisa melihat bahwa meskipun teks merupakan sesuatu yang mandiri, ia juga tetap merupakan kelanjutan dari bahasa lisan. Puisi Shiny memang akan lebih mudah dipahami dengan membacanya secara lisan (dengan suara). Dengan membacanya menggunakan suara, maka apa yang seolah kabur dalam bahasa tulisnya menjadi hilang. Puisi yang awalnya nampak gelap menjadi terang. Hal ini pun membawa kita melihat persoalan kebahasaan. Yang menjadi pertanyaan, mengapa Shiny tidak melakukan “kekacaun” secara ekstrem? Misalnya dengan melakukan pemenggalan dengan memisah antara morfem bebas dengan yang terikat, atau bahkan memenggal morfem bebasnya? Menurut pengamatan saya, melalui puisi-puisinya,nampak bahwa Shiny tak mau melepaskan sastra dari bahasa. Artinya, ia sepakat puisi sebegitu “njlimet”nya sebisa mungkin tetap terbaca. Tapi resiko pembacaan dengan menggunakan kelisanan kedua juga bukan tanpa persoalan. Dengan kekacauan yang telah dibuat Shiny, kita tak mungkin lagi bisa benar-benar memahami puisi Shiny. Hal ini karena bagaimanapun performa pembacaan kita tetap tak bisa dipisahkan dari teksnya yang kacau. Konsekuensi yang kedua, kalau kita membaca dengan logika bahasa sehari-hari, pemenggalan pembacaan perdiksi atas apa yang kita lakukan terhadap teks mungkin juga tidak tepat. Pada titik ini, pembaca hanya akan masuk bukan hanya dunia kemungkinan pemakanaan tetapi juga kemungkinan pembacaan yang bisa benar-bisa salah.
Dari sini, saya menyimpulkan bahwa puisi-puisi Shiny telah menjadi sebuah teks yang disatu sisi gelap nyaris tak terbaca. Ia kemudian menjelma selayaknya puisi mantra (meski secara teknik ada perbedaan) yang maknanya bukan lagi ditentukan lewat makna tiap kata dan rangkaian kata. Ia akan dibaca menjadi selayaknya kata yang maksudnya adalah kata itu sendiri. Konsekuensi kedua, kita masih bisa membaca puisi Shiny dengan logika kebahasaan natural yang kita sudah memiliki. Hal ini karena sebagai penutur bahasa kita masih disuguhkan diksi-diksi yang sebelum dikacaukan masih kita kenal. Hanya dengan cara demikian kita masih memiliki kesempatan untuk memahami dan menangkap makna di balik puisi-puisi Shiny. Pada persoalan-persoalan inilah, Shiny mengambil jalan yang cukup riskan, menyuguhkan puisi-puisi yang secara bentuk kebahasaan sudah sebegitu menyimpang dan problematik.
Permainan bentuk ekspresi kebahasaan yang dilakukan Shiny memang sangat menonjol dalam puisi-puisinya. Dengan kata lain, Shiny melakukan eksperimentasi pada tataran bentuk. Akan tetapi karena terlalu menonjolkan aspek bentuk, Shiny nampaknya kurang peduli terhadap tataran yang lebih dalam. Kalau kita amati, diksi-diksi awal (sebelum dikacaukan) adalah diksi-diksi yang relatif sederhana. Misal saja untuk mengekspresikan sepi maka ia menggunakan kata “sepi”. Untuk mengekspresikan cinta ia menggunakan kata “cinta”. Dari sana nampak bahwa Shiny tidak mengekspresikan konsep yang abstrak itu menjadi konkret. Yang abstrak itu tetap menjadi abstrak. Penggunaan diksi yang demikian juga mengacaukan pemahaman kita tentang ketaklangsungan puisi yang selama ini kita kenal dengan mengekspresikan sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Mengapa Shiny memilih menghadirkan kekacauan yang demikian? Jika dikaitkan dengan tema-tema cinta yang nyaris muncul dalam setiap puisinya apakah ia ingin mengatakan bahwa cinta memang tidak bisa diuraikan dengan bahasa yang lain? Cinta adalah cinta. Cinta bukanlah Bunga mawar yang mekar atau purnama yang bulat atau ekspresi-ekspresi yang lain?
Dalam salah satu puisinya berjudul “Doa Penutup”, Shiny juga melakukan eksperimen dengan menghadirkan puisi simbolik dengan menghadirkan simbol-simbol aksara yang tak terbaca. Dalam kasus penulisan khususnya di komputer menggunakan software MS Word atau yang lain, kasus ini biasanya terjadi saat kita memindahkan file ke komputer atau software lain yang fontnya tidak ada sehingga tulisan menjadi tak terbaca. Pada titik ini, meskipun puisi dengan gaya demikian menjadi sama sekali tak terbaca (apalagi puisi dihadirkan dalam bentuk cetak (hardfile) mungkin jika dihadirkan dengan bentuk softfile masih ada kemungkinan terbaca), Shiny setidaknya memberi gambaran pada kita bahwa dunia digital yang sedemikian canggih mengawal bahasa masih membuka kemungkinan adanya “error”. Hal itu menandakan bahwa ada keterbatasan atas media komputer yang saat ini lebih banyak kita gunakan. Apakah puisi yang demikian dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa bahasa yang semakin termediasi namun tetap digunakan oleh manusia saat ini tak lagi mampu mewakili ide, perasaan dan cinta yang dimiliki manusia?
Fenomena puisi-puisi Shiny sekaligus membuat kita mempertanyakan kembali keberadaan bahasa dan sastra. Apakah puisi Shiny adalah puisi yang hadir dengan tetap menggunakan bahasa konvensional yang selama ini kita pakai ataukah hanya meminjam bentuknya saja meski fungsinya menjadi sama sekali berbeda? Apakah puisi Shiny adalah puisi sebagaimana kita kenal dan pahami saat ini? Kita pun kemudian akan bertanya bahasa itu apa dan sastra itu apa? Bahasa itu bagaimana, sastra itu bagaimana? Bahasa itu untuk apa dan sastra itu untuk apa? Dan seterusnya, dan seterusnya…
April 2018
Sumber Bacaan El’Poesya, Shiny.Ane. 2017. Kotak Cinta. Jakarta: Mata Aksara. Ong, Walter.J. 2003. Kelisanan dan Keberaksaraan. Yogyakarta: Gading Publishing. Saussure, Ferdinand de. 1996. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.