Author: Tobma

  • Tentang Sulli, Bunuh Diri, dan Kesehatan Mental

    author = Dima Hana Mahsunah

    Waktu saya diminta oleh Bagus Panuntun untuk menulis di Kibul mumpung saya sedang studi S2 di Korea, sejujurnya saya bingung mau nulis apa. Hal-hal yang ada di Korea sepertinya sudah diketahui oleh banyak orang di Indonesia—terima kasih, K-drama! Tidak ada hal yang cukup menarik untuk saya tulis, sampai akhirnya penyanyi dari girl-band f(x), Sulli, ditemukan tewas bunuh diri 14 Oktober lalu. Bunuh dirinya Sulli ini tak hanya menggemparkan warga Korea Selatan saja, tapi juga orang-orang Indonesia.

    Laku bunuh diri para artis di Korea memang bukan hal baru. Kurang dari dua tahun lalu, Jonghyun SHINEE juga melakukannya. Baik Jonghyun ataupun Sulli memang sama-sama tertekan oleh profesi yang mereka jalani, namun ada perbedaan mencolok yang di-highlight oleh banyak orang terkait kematian Sulli. Sementara Jonghyun adalah artis yang dicintai banyak penggemarnya, Sulli justru selalu mendapat banyak komentar jahat dari netizen yang kemungkinan besar memperburuk keadaan mentalnya sebelum akhirnya ia mengakhiri hidupnya.

    Sampai di sini, saya kemudian berpikir, alangkah miripnya kasus Sulli ini dengan topik skripsi yang saya selesaikan Agustus tahun lalu; perihal cyberbullying. Karena itulah saya jadi punya ide untuk menulis tentang cyberbullying beserta bentuk-bentuk dan dampak negatifnya. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran akan perilaku cyberbullying, dan—semoga setelah itu—orang-orang akan lebih berhati-hati menggunakan internet supaya tidak melukai orang lain.

    Apa sih Cyberbullying itu?

    Cyberbullying atau dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai perundungan siber, sederhananya adalah bullying yang dilakukan melalui perangkat elektronik. Richard Donegan (2012: 34) mengatakan bahwa cyberbullying adalah hasil evolusi dari traditional bullying dan merupakan dampak negatif dari evolusi teknologi.

    Karena menggunakan perantara elektronik, si pelaku menyembunyikan identitasnya secara anonim dan tidak bisa melihat secara langsung reaksi korban. Hal ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan cyberbullying justru lebih berbahaya ketimbang traditional bullying, karena tidak ada efek psikologis yang dirasakan pelaku. Selain itu, si pelaku juga bisa dengan gampang lepas tangan dari apa yang diperbuatnya karena merasa identitasnya sudah terlindungi. Faktor lain adalah seseorang bisa terkena cyberbullying kapan saja dan di mana saja, tidak ada batasan waktu dan tempat. Internet telah memungkinkan kita bisa berbicara tanpa bertatap muka, dan ini malah menjadi pisau bermata dua untuk penggunanya.

    Komentar jahat hanya salah satu dari bentuk-bentuk cyberbullying yang ada. Menurut Nancy Willard dalam bukunya “Cyberbullying and Cyberthreatsâ€? (2007), ada tujuh bentuk cyberbullying:

    1. Flaming yang bisa diterjemahkan sebagai ‘memancing’. Flaming didefinisikan sebagai perbuatan memancing amarah dengan menggunakan bahasa yang agresif dan kasar. Contoh perbuatan flaming yang saya tulis dalam skripsi saya adalah player killing atau ‘현피’ (hyeonpi). Hyeonpi sendiri adalah singkatan dari ‘현실 피해ì??’ (hyeonsil pihaeja) yang bisa diterjemahkan sebagai “korban di dunia nyataâ€?. Jadi lingkupnya sudah bukan di ranah dunia maya lagi, tetapi sudah berlanjut hingga timbul korban di dunia nyata. Kasus hyeonpi ini terjadi di Korea tahun 2013, ketika seorang anak SD menusuk temannya dengan pisau setelah bertengkar lewat KakaoTalk (semacam LINE di Korea). Hal ini sungguh tragis, mengingat mereka masih berusia belasan namun sampai tega melakukan kejahatan yang biasa dilakukan orang dewasa hanya karena pertengkaran di dunia maya.
    2. Harassment (pelecehan) didefinisikan Nancy Willard sebagai pengiriman pesan yang berulang-ulang yang bersifat kasar, menyerang dan menghina. Dalam harassment, Nancy tidak menyebutkan secara spesifik bahwa penghinaan yang dimaksud harus bersifat seksual. Hal ini paling banyak dijumpai dalam bentuk malicious comment alias komentar jahat atau dalam Bahasa Korea disebut ‘악플’ (akpeul). Tidak hanya Sulli, artis-artis Korea lain juga merupakan korban dari komentar buruk ini. Salah satunya adalah Lee Hwi Jae, yang merupakan ayah dari anak kembar Lee Seo Eon dan Lee Seo Jun yang terkenal lewat reality show “The Return of Supermanâ€?. Ayah Lee mengidap Alzheimer dan hal ini sempat ditayangkan lewat reality show tersebut. Namun, netizen menganggap bahwa hal itu semua cuma bohong belaka alias settingan. Lee kemudian memutuskan untuk mengambil jalur hukum dan melaporkan 8 orang yang berkomentar jahat mengenai ayahnya. Tak hanya Lee Hwi Jae, IU, salah satu penyanyi paling terkenal di Korea juga mendapatkan banyak komentar jahat. Sepertinya artis-artis memang rentan terkena serbuan akpeul. IU bahkan pernah melaporkan 82 orang yang melayangkan komentar buruk kepadanya di tahun 2015.
    3. Denigration adalah proses mengumbar keburukan seseorang di internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang tersebut. Kasus ini dialami oleh Tablo, penyanyi dan penulis lagu asal Korea Selatan tahun 2010 silam, yang saking parahnya sampai ada satu jurnal yang khusus membahas pencemaran nama baik yang dialami oleh Tablo. Singkatnya, netizen di Korea tidak percaya bahwa Tablo pernah berkuliah di Stanford University dan membuat dua forum (semacam forum di Kaskus mungkin ya) yang khusus membahas sekaligus mencari ‘bukti-bukti’ bahwa Tablo berbohong. Bukti-bukti tersebut antara lain rekaman imigrasi, nilai SAT (nilai standarisasi masuk perguruan tinggi di Amerika Serikat), transkrip akademik, hingga foto buku tahunan. Mereka juga menuduh Tablo sengaja mempertahankan kewarganegaraan ganda agar terhindar dari wajib militer. Gara-gara ini, karir Tablo hancur dan dia harus menjalani perawatan untuk kesehatan mentalnya. Tablo mencoba membuat klarifikasi dengan menunjukkan transkrip nilai yang ia terima dari Stanford, namun tidak ada yang mempercayainya. Tablo nyaris mengakhiri nyawanya, namun ia kemudian melaporkan 22 orang dedengkot yang paling aktif mem-bully-nya. Sedihnya, baru-baru ini saya melihat fenomena yang mirip dialami oleh Tablo. Di Twitter, seorang perempuan belia yang mengaku sedang kuliah di Jerman di-bully oleh netizen karena beberapa netizen tidak percaya dia berkuliah di sana. Semua orang kemudian berlomba-lomba mencari tahu apakah perempuan itu benar berkuliah di Jerman atau tidak. Mereka mengaku jurusan yang dikatakan oleh perempuan itu tidak ada di universitas yang dimaksud, hingga si perempuan akhirnya memberikan nama jurusannya lengkap dalam Bahasa Jerman. Maksud saya, apa sih urusan mereka sampai harus tahu mbak itu sungguh-sungguh kuliah di Jerman atau tidak? Haruskah sampai segitunya? Saya kira, rasa ingin tahu netizen kita memang sudah kelewatan. Mungkin inilah salah satu bahaya paling besar dalam cyberbullying: mereka tidak sadar sedang melakukannya.
    4. Impersonation atau peniruan, adalah saat seseorang berpura-pura menjadi orang lain dan beraktivitas seolah-olah dia adalah pemilik akun yang asli. Biasanya ini berujung pada penipuan, yang saya sering lihat kasus-kasusnya di Instagram. Si pembajak akan mengirim pesan kepada teman-teman korban yang isinya minta ditransfer sejumlah uang ke rekeningnya.
    5. Outing didefinisikan sebagai tindakan membocorkan informasi pribadi seseorang (atau bisa juga sekelompok orang) seperti tanggal lahir, alamat rumah, alamat e-mail, nomor KTP, dan sebagainya tanpa persetujuan yang bersangkutan. Kasus yang mirip bentuknya seperti ini pernah diungkap pemilik akun twitter @hendralm. Dalam cuitannya, @hendralm menunjukkan bukti jual beli data KTP yang parahnya  diduga dilakukan oleh orang dalam Kemendagri. Gara-gara mengungkap sindikat ini, pemilik akun @hendralm terancam dipolisikan karena dianggap mencemarkan nama baik. Namun karena kasus ini viral dan apa yang dilakukan Kemendagri banyak mendapatkan hujatan dari masyarakat, Kemendagri kemudian menarik tuntutannya.
    6. Exclusion adalah tindakan mengucilkan seseorang secara sengaja dalam sebuah grup dalam jaringan. Di Korea sendiri, ada yang disebut sebagai ‘카카오톡 왕따’ (KakaoTalk wangtta) yaitu pengucilan di dalam grup KakaoTalk, aplikasi yang biasanya digunakan oleh anak-anak muda Korea untuk berkomunikasi. Ada satu kasus sangat menyedihkan yang terjadi pada Agustus 2012, di mana seorang siswi SMA gantung diri karena dia di-bully oleh 16 orang temannya dalam grup KakaoTalk. Yang mengerikan dari KakaoTalk wangtta ini adalah, para pelaku biasanya membuat grup kemudian meng-invite korban ke dalam grup tersebut. Jika korban menolak untuk bergabung, biasanya dia akan diancam, dipukuli, dikeroyok, dan di-invite terus-menerus sampai ia bergabung dalam grup tersebut. Karena biasanya yang melakukan ini adalah teman-teman sekolah korban sendiri, sangat mudah bagi mereka untuk mengintimidasi korban. Kalau kalian menonton drama-drama Korea yang bertema sekolah seperti Angry Mom, School 2015, Boys Over Flower, kalian pasti punya gambaran separah apa bullying di area sekolah.
    7. Cyberstalking adalah bentuk cyberbullying terakhir dari Nancy Willard. Persis seperti artinya, cyberstalking adalah penguntitan digital. Lagi-lagi, dari Twitter (frekuensi penggunaan Twitter saya sepertinya sudah dalam tahap mengkhawatirkan) saya menemukan kasus yang merupakan salah satu bentuk dari cyberstalking. Singkat cerita, mbak ini putus dengan pacarnya (sekarang statusnya jadi mantan), tapi mantannya terus-menerus meneror dia untuk mengajak bertemu, padahal si mbak sudah tidak mau. Sang mantan membuat akun baru hampir setiap hari kemudian mengirimkan DM ke akun Instagram korban. Korban kemudian menghapus akun Instagram-nya, namun tidak ada gunanya karena sang mantan kemudian meneror teman-teman korban hingga menyebarkan kabar-kabar bohong. Sang mantan juga mengancam akan menemui korban di lingkungan tempat kerjanya. Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan kejadian ini, tapi terakhir update dari teman korban yang bercerita di Twitter sepertinya sang mantan sudah nyaris kapok karena dihujat netizen. Pertanyaannya: benarkah tindakan membalas cyberbullying dengan cyberbullying bisa berakhir dengan solusi? Apakah ini menandakan bahwa penegak hukum tidak bisa diandalkan atau minimal, tidak mendapatkan kepercayaan publik dalam menangani cyberbullying?

    Bahaya Cyberbullying

    Dalam pembahasan mengenai bentuk-bentuk cyberbullying di atas, mungkin pembaca bisa mendapatkan gambaran mengenai bahaya cyberbullying. Hal-hal ini merupakan beberapa dampak negatif dari cyberbullying:

    • Mengucilkan diri dari lingkungan sosial. 

    Dampak dari cyberbullying pada korban biasanya kepercayaan diri yang rendah, merasa dirinya tidak pantas dan tidak berharga, dan cenderung menarik diri dari pergaulan.

    • Mendapat tekanan secara mental, yang tidak sering berujung pada depresi. Dalam kasus Sulli, cyberbullying merupakan salah satu faktor yang memperparah penyakit depresinya.
    • Menjadi pelaku cyberbullying.

    Dalam film yang berjudul Socialphobia (2015) yang menjadi obyek dari skripsi saya, korban berbalik menyerang pelaku yang sudah membuat reputasinya hancur lewat internet. Menurut saya, hal ini merupakan sisi paling menyedihkan dari cyberbullying, karena ia bisa mengubah korban jadi pelaku, dan dendam membuat tindakan cyberbullying tidak ada habisnya, seperti devil’s circle.

    • Timbul rasa takut dan tidak aman, karena merasa seseorang di luar sana bisa membahayakan dirinya, walaupun mungkin tidak secara langsung. Tidak terbatasnya teknologi memungkinkan siapa saja untuk melukai kita, tanpa ada batasan waktu. Bahkan cara melukainya pun beragam. Bisa saja mantan yang balas dendam dengan porn revenge, atau seseorang yang bahkan tidak diketahui identitasnya membajak akun Instagram kemudian menyalahgunakannya, atau tiba-tiba mendapat komentar yang melecehkan tanpa merasa melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.
    • Mengakibatkan bunuh diri.

    Mungkin ini adalah akibat paling mengerikan dari cyberbullying. Kata-kata yang seolah tidak berarti, yang ditemukan dalam dunia maya pula, bisa mengambil nyawa seseorang. 

    Sulli, gadis SMP yang gantung diri itu hanyalah contoh saja. Tapi seberapa banyak kehidupan yang harus terenggut untuk mengubah sikap kita terhadap orang lain, baik itu di dunia nyata maupun di internet semata? Kita tidak pernah tahu dampak perkataan kita terhadap orang lain. Kita juga tidak tahu situasi macam apa yang dia hadapi, dalam kondisi seperti ada dia sekarang. Lebih baik apabila menyaring kata-kata yang kita lontarkan (atau ketik) terlebih dahulu, dan menggunakan sosial media untuk hal-hal yang menyenangkan saja, seperti melihat video kucing digoda ondel-ondel komplek, menyaksikan Aries Susanti Rahayu memecahkan rekor dunia di speed climbing, dan jangan lupa nanti kita sambat hari ini (karena sambat itu menyenangkan!).

    Tentang Sulli, Bunuh Diri, dan Kesehatan Mental

    Sejujurnya, saya sedikit kaget saat mengetahui Sulli memutuskan untuk bunuh diri. Sebab, baru-baru ini dia muncul di drama Hotel Del Luna. Meskipun Sulli memang sudah diketahui sejak lama mengidap depresi, namun ketika dia mengambil peran di drama tersebut, saya pikir dia sudah cukup membaik dan mulai bisa merintis karirnya lagi.

    Dari channel Youtube Asian Boss, banyak orang Korea yang bersedih dan menyayangkan keputusan bunuh diri Sulli. Gadis yang begitu muda, dengan paras yang rupawan, cerdas,  punya banyak potensi, punya masa depan yang masih panjang, memutuskan untuk mengakhiri hidupnya begitu saja. Saya punya teman yang suicidal, dan dia bilang bahwa orang-orang yang suicidal itu punya rasa sakit yang terus-menerus ada, dan mereka tidak tahu bagaimana caranya agar bisa lepas dari rasa sakit itu. Satu-satunya jalan keluar yang terpikirkan adalah mati. Kalau mati, mereka akan terbebas dari rasa sakit. Mungkin ini adalah salah satu cara untuk memahami jalan pikiran Sulli. Orang-orang mungkin bisa dengan mudah menyuruh mereka bicara, tapi Sulli sudah berusaha bicara, lalu lihat apa yang ia terima. Dari yang saya baca, Sulli di-bully di segala aspek kehidupannya: mulai dari dari cara memegang anjingnya, bentuk tangannya, keluarganya, bahkan mantan-mantannya pun tidak lepas dari cacian netizen.

    Selain itu, mental health awareness di Korea juga sama saja seperti di Indonesia: buruk. Tidak mudah bagi seseorang yang punya kondisi psikologis tertentu untuk mengatakan kondisinya pada orang lain. Padahal, orang Korea punya kecenderungan yang tinggi untuk mengidap depresi. Biaya hidup di sini lebih mahal, work pace-nya cepat dan padat. Di Indonesia, orang mungkin bisa tidur di jalan kalau tidak punya rumah, tapi di sini, tidak punya rumah berarti mereka akan mati di musim dingin. Dua tahun lalu ketika saya berada di sini untuk language training, teman saya dari Palestina menyadari betapa orang Korea sering sekali menyebutkan kata ‘stress’ sehingga kita semua terbawa. 

    Buku-buku di Korea juga banyak yang menceritakan pengalaman depresi. Beberapa di antaranya berjudul “Mau Mati Tapi Mau Makan Topokki Duluâ€? karya Baek Se Hee yang merekam konsultasi si pengarang dengan psikiaternya (buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia), “Buku yang Harus Kau Baca Ketika Ingin Melarikan Diriâ€? karya Isihara Kazuk yang menekankan bahwa setiap orang perlu istirahat, dan “Ulang Tahun ke-29 dan Memutuskan Untuk Mati Satu Tahun Setelahnyaâ€? karya Hayama Amari yang berisikan esai pengarang selama 1 tahun sejak hari ulang tahunnya yang ke-29. Buku-buku ini, saya pikir, mencerminkan keadaan psikologis orang Korea, karena sastra adalah cerminan dari realita sosial masyarakatnya.

    Sampai di sini, saya harap kita semua punya kesadaran untuk selalu bertindak hati-hati di manapun dan kapanpun, di dunia nyata dan di dunia maya. Dalam naskah International Covenant on Civil and Political Rights yang diadopsi oleh PBB pada tahun 1966, hak untuk menyampaikan pendapat dan kebebasan berekspresi yang tercantum dalam Pasal 19 ditambahkan dengan catatan “… the exercise of the rights […] carries with it special duties and responsibilities.â€? Artinya, kalian punya hak untuk berpendapat dan kebebasan berekspresi, namun itu semua harus dilakukan dengan penuh pertanggungjawaban. Saya masih melihat banyak sekali yang menyepelekan permasalahan ini. 

    Orang tua saya pernah bilang, “Jangan sampai buat jejak digital yang jelek.” Bagi mereka, apa yang saya lakukan di internet ini juga menjadi portofolio yang akan dilihat entah oleh perusahaan yang saya lamar, atau sebagai pertimbangan lolos atau tidaknya beasiswa. Berbuat seenaknya di sosial media tidak hanya merugikan orang lain, namun juga diri sendiri. Ingat: saya, kalian, kita semua bisa berada di posisi sebagai orang yang di-bully. Tidak ada jaminan pelaku bullying tidak bakal diserang balik oleh netizen. Jadi sebaiknya pikir terlebih dahulu seribu kali sebelum mencaci orang lain. Kepuasan sesaat ketika kita mengata-ngatai orang lain itu sungguh tidak sebanding dengan akibat yang akan diterima.

    Lalu, untuk semua orang yang membutuhkan pertolongan, untuk mereka yang merasa perlu didengar, suarakanlah kegelisahan dan keresahan kalian. Sampaikan kalau kalian memang butuh pertolongan. Saya yakin, di suatu tempat, pasti ada yang mau mengulurkan tangan. Pasti ada yang mau mendengarkan. Kalian tidak sendirian.

  • Tentang Naik Haji, Kristianitas, dan Sentimen Perbedaan

    author = About Olav Iban
    Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.

    View all posts by Olav Iban →

    Mungkin karena saya seorang Nasrani, sehingga keanggunan naik haji begitu menarik minat saya. Seandainya saja saya terlahir Hinduis, bisa jadi pada inkarnasi sebelum ini saya adalah seorang haji. Haji mardud rasanya, karena masih hidup lagi dan berdosa lagi.

    Sebagai mantan civitas akademika yang dididik dengan paradigma positivistik, mulanya saya memahami teologi berhaji sebagai ritus dari masa lampau yang sama asingnya dengan Trinitas suci Kristen. Ada kecanggungan arkaik yang tidak masuk akal. Mungkin rasa canggung yang sama yang dialami pengikut Yesus ketika berupaya memahami reinkarnasi Hinduisme: misalnya, dari seorang gembala —karena buruk laku hidupnya, maka dia bereinkarnasi menjadi seekor domba. Atau mungkin secanggung penganut Hindu —yang memuliakan Nandi— saat menyaksikan sapi-sapi disembelih tiap-tiap Idul Adha. Atau mungkin seperti seorang Muslim yang kikuk melihat umat Kristen minum-minum anggur di gereja sementara si pendeta berkata anggur itu adalah darah.

    Sekonyol apapun itu, bagi saya aroma lampau yang menyelubungi Ka’bah dengan kabut kisah-kisah unik nan gaib sungguh memikat hati. Naik haji itu mempesona.

    Walau sekalipun belum pernah naik haji, akan tetapi kisah-kisahnya selalu mencandu seperti yang saya baca dalam tiga jilid buku Naik Haji di Masa Silam (Henri Chambert-Loir, 2013). Ada haji yang berkisah bahwa anjing biasa berkeliaran santai layaknya pelancong di Mekkah. Sebagai penjaga, katanya. Orang kafir pasti terendus dan digigit anjing sampai mati jika berani-beraninya menerobos ke Mekkah yang suci itu. Entah benar entah tidak, belum pernah saya ke Mekkah dan digigit anjing.

    Ada juga haji yang berkisah tentang isi Ka’bah yang melompong kecuali dua tiang penyangga. Dan menggelantung di langit-langitnya: perkakas rumah tangga kuno seperti kendi kuningan, baskom, dan sejenisnya, yang konon milik Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Sungguh kesederhanaan yang patut dikagumi mengingat Ka’bah adalah pusat dunia Islam.

    Dan yang paling mempesona, ada haji yang bercerita tentang seorang syekh mata duitan (sebenarnya bukan syekh tapi mutawif) yang menarik sekurangnya satu ringgit untuk mengucapkan, “Sammaituka sammakallah, bil Haji Fulan; falyaj’al hajjaka mabruran wa sa’yan mashkuran”  (Aku namai engkau, dan Allah menamai engkau Haji Anu. Moga-moga dijadikan-Nya hajimu berpahala dan sa’imu yang disyukuri) kepada jemaahnya yang linglung berharap ganti-nama dapat menghapus dosa-dosanya.

    Kalau tidak salah, ialah Buya Hamka yang bercerita begitu dengan geram tidak setuju. “Nama yang telah diberikan ayahku kepadaku tidak akan kutukar!” begitu ucap Buya seperti yang dicatat Henri Chambert-Loir.

    Bukan maksud hati berlawanan dengan Buya, namun tradisi mengganti nama setelah tuntas berhaji justru yang paling menarik minat saya. Bila mana dihendaki menukar nama di Mina pada hari kesepuluh sesudah rambut dicukur, saya tidak akan enggan dibaiat dengan nama baru: Abdul Latif “hamba yang lemah lembut.” Aduhai, sungguh nama yang Kristiani.

    Bagi sementara orang, Kristianitas dan naik haji adalah dua hal berseberangan. Bukan tanpa sebab lebaran haji disebut juga Idul Adha, hari raya kurban —suatu pengulangan kembali kisah Nabi Ibrahim mengurbankan anaknya. Bagian uniknya, umat Islam meyakini ialah Ismail anak Siti Hajar yang diminta Allah untuk direlakan Ibrahim sebagai kurban. Sedangkan dalam dogma Kristen —juga Yahudi— adalah Ishak anak Sara-lah orangnya.

    Efek kupu-kupu dari perbedaan ini meliuk-liuk sampai pada legitimasi ‘ilahiah’ tokoh terbesar dan terpenting dalam dua keyakinan itu, yakni Nabi Muhammad (keturunan Ismail) dan Yesus Kristus (keturunan Ishak). Kedua tokoh super ini memiliki banyak kemiripan, namun sayang tiap-tiap pengikutnya memandang dengan cara yang berseberangan. Mungkin bagi sementara orang hal itu dianggap selisih paham, namun kebanyakan orang Kristen tidak terlalu memperdebatkannya. Bagi mereka, terserah Ishak atau Ismail, yang pasti Allah memberi seekor domba (atau kambing, bebas saja) sebagai ganti kurban persembahan, dan itulah representasi Kristus yang mati disalib menebus dosa manusia. Sementara bagi sebagian umat Muslim, perbedaan ini juga tidak terlalu dipusingkan. Seperti celetukan Gus Dur kepada warga nahdliyin supaya tidak terlalu mempermasalahkan siapa yang dipilih antara Ismail atau Ishak, toh dua-duanya tidak jadi dikorbankan, kenapa harus ribut? Tapi sudahlah, tulisan ini bertujuan lain. Intinya, sebagian dari kita menganggap Kristianitas dan naik haji tidaklah nyambung.

    Tetapi justru dengan merenungi naik haji-lah (tanpa bermaksud mengatakan ‘dengan naik haji’, karena memang belum pernah berhaji) saya dapat melihat Kristianitas terjun dari menara gadingnya yang biasanya terlalu tinggi untuk dimengerti.

    Kendati sudah Kristen dari lahir, dan telah mengikuti ribuan kali Sekolah Minggu hingga baptis dewasa, tetap saja Kristianitas adalah hal yang rumit bagi saya. Pikir punya pikir, akhirnya saya coba teguhkan diri mengkategorikan Kritianitas sebagai satu dari sekian banyak gaya berenang.

    Ketika Kapal Van der Wijck mengalami bocor lambung, ribuan orang berlompatan ke laut, berenang menjauh menggapai-gapai segala hal yang bisa dipakainya mengapung. Ada yang memakai gaya bebas sambil dagu tetap di permukaan. Ada gaya katak yang sesekali menyelam. Ada yang memilih pakai gaya punggung supaya bisa menyaksikan raksasa Van der Wijck perlahan karam di belakangnya. Dan ada pula yang tidak bergaya karena memang tidak bisa berenang. Semuanya sama, sama-sama mencari keselamatan. Begitulah Kristianitas menurut saya.

    Tapi pendapat itu ternyata salah. Begini ceritanya.

    Dua tahun lalu, sesaat setelah serangan teror di Paris pada malam 13 November 2015, saya sangat terkejut pada dua hal. Pertama, reaksi kartunis Majalah Charlie Hebdo —yang karyanya memicu teror ini— yang men-tweet: “Friends from the whole world, thank you for #prayforparis, but we don’t need more religion. Our faith goes to Music! Kisses! Life! Champagne and Joy!” (Teman-teman dari seluruh dunia, terimakasih atas doa kalian untuk Paris, tetapi kita tidak memerlukan agama lagi. Keimanan kami tertuju pada musik, ciuman, hidup, sampanye, dan kegembiraan!).

    Yang kedua adalah kisah supir taksi di New York yang mengucapkan terimakasih sambil menangis kepada penumpang pertamanya setelah berjam-jam tidak ada yang berani memakai jasa taksinya hanya karena ia seorang Muslim.

    Dari dua kejutan itulah saya tersadar bahwa pemaknaan agama di zaman posmo ini mulai absurd. Agama bukan lagi sekadar jalan keselamatan, tapi dipakai sebagai alasan untuk menjatuhkan mereka yang liyan, yang berbeda, yang bukan mereka.

    Saya bayangkan ketika Van der Wijck tenggelam dalam gelapnya malam dan dinginnya Laut Jawa, para penumpangnya justru saling menenggelamkan. Berenang untuk bertahan hidup bukan lagi tujuan mereka, karena justru mati tenggelam adalah keselamatan (asal harus bisa membuat tenggelam penumpang yang lain). Dan pada akhirnya, tidak ada satu pun penyintas.

    Kemudian bayangkan setelah tim SAR mengumumkan bahwa tidak ada korban selamat, akan muncul dua jenis keluarga korban yang masing-masing punya respon tersendiri mengenai tenggelamnya kapal Van der Wijck.

    Keluarga korban jenis pertama adalah mereka yang marah dan menyalahkan paham keselamatan radikal di otak orang-orang yang menenggelamkan sesama penumpang itu. Saking marahnya, mereka lalu men-generalisir bahwa semua orang dari ras A pasti pandangannya radikal. Dalam dunia nyata, jenis keluarga korban yang seperti ini adalah para calon penumpang taksi di New York yang batal naik karena sopirnya seorang Muslim.

    Jenis keluarga korban yang kedua adalah mereka yang sinis dan menyalahkan konsep ‘berenang’ ketimbang menyalahkan orang-orang yang saling menenggelamkan tadi. Mereka beranggapan bahwa ‘berenang’ itu kuno. Penumpang mestinya memakai sekoci penyelamat ketika terjadi bencana —lebih rasional, modern, dan tingkat kemungkinan bertahan hidupnya tinggi. Jenis keluarga korban ini adalah Charlie Hebdo dengan pemikiran ateistiknya.

    Lalu, pikir-pikir, pada jenis manakah saya —seorang Kristen di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia?

    Saya tumbuh dan dibesarkan di Jawa Timur yang  pengikut NU-nya menganut doktrin toleransi yang kuat. Kemudian hampir 10 tahun berikutnya saya habiskan di Yogyakarta yang pengikut Muhammadiyah-nya berpendidikan cukup tinggi untuk memahami perbedaan sebagai keindahan. Dari sini saya mulai lagi merenungkan tentang makna Kristianitas dalam hidup saya lewat cermin toleransi yang saudara-saudara Muslim telah lakukan, yang memantulkan makna cinta kasih kepada kaum Kristiani yang minoritas di negara ini.

    Haruskah saya seperti Charlie Hebdo yang menyalahkan konsep Tuhan dalam wacana agama? Atau seperti kaum ultra-kanan yang radikal menyalahkan pemeluk keyakinan lain?

    Tumbuh besar di negara dengan penduduk Muslim terbesar membuat saya banyak bersahabat dengan teman-teman Muslim, dan sedikit banyak memahami bahwa sentimen perbedaan bukan hal yang patut dipermasalahkan mereka.

    Seperti naik haji di mana semua ras, suku, bahasa, adat-budaya, hingga warna rambut dari timur barat bumi berkumpul jadi satu di Mekkah dalam satu keyakinan bernama Islam, maka begitu pula hidup di dunia: apapun keyakinanmu (beragama atau pun ateis) kita sama-sama berkumpul di planet Bumi dalam satu keyakinan bernama kemanusiaan.

    Bagi sebagian orang, naik haji adalah idaman, dambaan, harapan, cita-cita yang mesti terwujud sebelum hayat berakhir. Suatu momentum ragawi akan kecintaan manusia kepada Tuhannya. Namun bagi saya (yang amatlah kecil memiliki kesempatan ke Mekkah), naik haji adalah perenungan yang sangat dalam tentang manusia. Betapa sebenarnya saya iri ingin sama seperti mayoritas penduduk negeri ini yang mengantri puluhan tahun untuk berhaji, iri menghadiri tahlilan, iri ikut keliling kampung menabuh bedug meneriakan takbir, mengucap tahmid ketika perut kekenyangan, atau membatin tasbih ketika melihat gadis ayu. Tapi siapalah saya? Hanya seorang kufur. Apalah yang saya bisa selain merenungi bahwa inilah indahnya perbedaan.

     

    Palangka Raya, Februari 2017

     

    *Foto adalah screenshot dari iklan Amazon Prime. Versi penuh dapat dilihat di sini

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    https://kibul.in/opini/tentang-naik-haji-kristianitas-dan-sentimen-perbedaan/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/02/EsaiOlav.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/02/EsaiOlav-150×150.jpgOlav IbanOpiniAgama,Budaya,Esai,Haji,kibul,Kristen,Muslim,Olav Iban,PerbedaanMungkin karena saya seorang Nasrani, sehingga keanggunan naik haji begitu menarik minat saya. Seandainya saja saya terlahir Hinduis, bisa jadi pada inkarnasi sebelum ini saya adalah seorang haji. Haji mardud rasanya, karena masih hidup lagi dan berdosa lagi.
    Sebagai mantan civitas akademika yang dididik dengan paradigma positivistik, mulanya saya memahami…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Teknologi: Kawan atau Lawan?

    author = Intan Puri Hapsari

    Berulang kali saya mencoba untuk mengosongkan pikiran dan hanya menikmati alam semesta, namun gagal lagi untuk kesekian kalinya. Entah apakah itu karena keinginan kuat saya untuk melihat ponsel saya untuk sekedar mengintip social media, chat ataupun melihat berita terhangat hari ini. Saya bingung, mengapa otak saya ini terasa penuh dengan semua pikiran dan keinginan yang bertautan tanpa henti. Tanpa disadari, kita ini hidup di era yang serba cepat, revolusi 4.0 yang sedang hits akan lebih mempercepat fungsi kerja kita. Tampaknya, waktu yang dipertaruhkan dalam teknologi ini akan menjadi lebih singkat dan efektif berkat robotisasi dan penggunaan internet. 

    Saya pernah berkecimpung di dunia pariwisata, revolusi 4.0 ini juga berkontribusi dalam mempromosikan sebuah destinasi atau tempat wisata. Bayangkan, berkat Augmented Reality (AR) kita bisa pergi ke suatu tempat tanpa harus benar-benar pergi secara fisik. Hanya melalui sebuah layar, otak kita pun dapat berkelana ke dunia tiga dimensi yang tampak nyata merasuki tubuh kita. Kalau dahulu teknologi tiga dimensi masih berjarak dan hanya melalui layar bioskop atau televisi saja. Sekarang, jarak itu ditiadakan dan kita pun terperangkap di antara dunia tiga dimensi itu. Apakah ini adalah tujuan dari teknologi dengan meniadakan jarak? Seperti otak kita tidak boleh lagi memiliki jarak untuk berpikir dan dikondisikan untuk mengadopsi teknologi sebagai bagian dari hidup kita.

    Waktu yang selalu diperbincangkan dan diolah agar lebih efektif, pada akhirnya menemui titik jenuh. Mungkin tidak untuk semua orang, namun berlaku untuk saya. Kita yang telah dikelilingi oleh berbagai macam informasi yang bisa diakses secara bebas. Ponsel yang memfasilitasi pencarian informasi tentang dunia ataupun berita seorang kawan serasa telah menjadi bagian dari anggota tubuh kita. Berbagai push notification tentang hot news, likes di social media ataupun Google Agenda menghiasi layar ponsel sehari-hari. Kalau mau jujur pada diri sendiri, apakah mungkin melewati satu hari tanpa kehadiran ponsel? Secara perlahan tapi pasti, teknologi telah memonopoli hidup kita. Saya bicara teknologi secara luas, bahwa fungsi teknologi itu adalah membantu hidup kita untuk mengerjakan hal lebih singkat. Secara logika, waktu senggang seharusnya lebih bertambah berkat kehadiran teknologi? Namun nyatanya, waktu senggang ini pun bisa dijadikan peluang bisnis! Di sela-sela waktu senggang kita, ponsel yang sudah tak asing lagi jadi teman hidup akan memanggil- manggil empunyanya melalui berbagai push notification. Dan otak pun kembali berputar-putar di sekitaran informasi tersebut. Otak ini seperti tidak ada jarak untuk berpikir, seperti layaknya turbin air pembangkit listrik yang terus berputar selama 24 jam. 

    Saya kira, manusia sekarang seperti dikondisikan untuk tergesa-gesa dan melakukan berbagai hal di waktu yang bersamaan. Kata-kata “waktu adalah uang” sudah diimplementasikan oleh banyak orang, sampai interaksi untuk bertanya jalan ketika tersesat pun akan dijawab oleh Google Maps. Sampai di titik ini saya bertanya “individualis tercipta karena teknologi atau teknologi tercipta karena manusia pada dasarnya individualis?”.

    Kalau berbicara manusia secara umum, pada zaman abad pertengahan, para filsuf seperti Socrates dan Plato menggambarkan individualitas manusia terjadi karena sebuah ketidaksengajaan. Pada dasarnya manusia saling membutuhkan satu sama lain secara natural sebagai penggambaran diri mereka yang seutuhnya. Mereka bertemu bukan hanya karena memiliki persamaan diri. Namun, teori ini pun dikaji ulang oleh filsuf teologi yang dipelopori oleh Thomas Aquinas pada abad ke-13. Doktrin kristenisasi yang menjalar di Negeri Barat pada saat itu merumuskan manusia bukan lagi dilihat sejatinya sebagai seorang individu namun ia juga dinilai sebagai individu spiritual. Kali ini, individu akan saling mencari dan membutuhkan karena adanya persamaan ideologi hidup. Ketika persamaan itu nyata terbentang, barulah terjadi interaksi dengan sesamanya. Jika saya mengambil logika ini maka dapat disimpulkan bahwa individualitas semakin menderu di era yang baru ini. Samuel Huntington dalam bukunya “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order” menyatakan dengan lantang bahwa dunia ini telah terbagi dalam delapan major civilisations : Sinic civilisation (yang berhubungan dengan Cina dan komunitas Cina di Asia Tenggara termasuk Vietnam dan Korea), Japanese civilisation, Hindu civilisation, Islamic civilisation, Western civilisation, Latin American civilisation, Africa civilisation dan Orthodox civilisation. Setelah jatuhnya tembok Berlin yang memisahkan dua ideologi, simbol persatuan ini malah melahirkan dunia yang lebih kompleks. Dunia yang sebelumnya bipolar, ibaratnya hanya ada dua kubu Amerika atau Uni Soviet, sekarang telah berubah menjadi multi polar dan multi civilisations

    Jikalau benar perbedaan hanya akan membuat manusia untuk tidak saling bertemu dan berinteraksi, maka saya hanya bisa berbelasungkawa dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat. Algoritma dan Big Data yang merupakan proyek besar dari revolusi 4.0, saya rasa dapat membuat manusia semakin terperangkap di dunianya masing-masing. Saat ini, sebagai pengguna internet, Google lebih mengenal saya dari pada keluarga saya sendiri. Melalui analisis secara algoritmik, data pribadi saya pun dapat terkuak melalui perkembangan Artificial Intelligence (AI) ini. Iklan-iklan yang mungkin akan menarik perhatian saya dengan bebas berkeliaran di layar ponsel atau komputer. Saya tidak menyalahkan cara kerja sistem algoritmik ini, tapi saya khawatir sistem ini akan membuat orang hanya terpaku di dunia yang mereka suka. Kalau semua orang hanya akan mengenal dan terjebak di dunia mereka masing-masing, bagaimana mereka bisa menghargai perbedaaan? Karena mereka tidak akan terbiasa melihat perbedaan bahkan di layar ponsel mereka sekali pun. Dan ketika perbedaan itu suatu hari akan tampak, akankah toleransi sebagai penengah dapat dipelajari melalui internet? 

    Bagaimana otak bisa berhenti berpikir dan terkontaminasi kalau di layar ponsel hanya ada informasi yang sesuai dengan kegemaran kita? Sistem algoritme bisa mengeluarkan iklan yang tepat di saat yang tepat yaitu : waktu senggang kita! Kalau sudah begini, saya bisa menyimpulkan bahwa kemajuan teknologi hanya akan membuat kita mabuk kepayang sehingga kita bergantung olehnya. Otomatis teknologi serta merta memanjakan kita untuk selalu berada di zona nyaman. Nyaman di dunia kita sendiri, di mana semua yang berputar di sekitar kita hanya tentang kita dan untuk kita. Tidakkah hal ini akan menimbulkan sikap individualisme? Alexis de Tocqueville, seorang filsuf politik menggambarkan individualisme sebagai sikap yang berasal dari sebuah pemikiran yang matang dan bukan berasal dari insting buta atau pun pengambilan keputusan yang salah. Melalui penjabaran ini, sudah sewajarnya individualitas menjadi hal yang biasa di dunia modern. Hal ini dikarenakan penduduk di dunia modern akan berusaha mengedepankan rasional dengan mengabaikan insting manusia yang sifatnya abstrak. 

    Di era yang serba instan ini, internet menawarkan solusi untuk mencari pasangan hidup atau teman yang sesuai kriteria kita. Manusia pun seperti diharuskan untuk tertarik kepada sesamanya jikalau persamaan itu ada. Dunia yang telah terkotak-kotakkan menjadi multi civilisations sekarang bermutilasi lagi menjadi multi identitas. Kelab-kelab yang mengedepankan persamaan dibungkus dengan persamaan hobi menjadi tempat mencari teman. Tampaknya sudah jarang, percakapan yang terbentuk hanya karena manusia itu sendiri berada di tempat yang sama pada waktu yang sama. Pada zaman ini, percakapan lebih dapat tercipta berkat persamaan identitas, rasa ataupun filsafat hidup.

    Saya sangat menyayangkan jika manusia sebagai pencipta teknologi pada akhirnya berbalik terkontrol oleh teknologi itu sendiri. Kasihanilah otak kita yang sudah terlalu banyak bekerja, berilah dia ruang dan jarak untuk beristirahat. Abaikan keinginan untuk selalu memanfaatkan waktu yang berlalu dengan sejuta hal secara bersamaan. Mungkin dengan begitu kita akan lebih bisa peduli akan sekitar kita, paling tidak untuk bernafas sejenak dan menikmati indahnya alam semesta. Atau bahkan untuk sekedar berinteraksi secara alamiah dengan sesama tanpa memiliki judgement bahwa manusia itu harus selalu sama.

  • Superhero Indonesia?

    author = Andreas Nova

    Apa genre film yang hampir dipastikan hadir dalam daftar film yang ditayangkan di bioskop kesayangan anda ketika liburan tengah tahun, atau menjelang liburan akhir tahun? Genre—lebih tepatnya subgenre—yang pasti ada adalah superhero. Superhero didefinisikan sebagai sosok pahlawan dalam fiksi populer yang memiliki kekuatan yang melebihi manusia, terkadang mereka menggunakan kostum tertentu untuk menutupi identitasnya. Umumnya mereka mendedikasikan hidupnya untuk memerangi kejahatan dan melindungi masyarakat.

    Superhero adalah orok yang lahir dari rahim cerita bergambar. Kekuatan super para tokohnya akan sangat mudah—dan murah—saat diekspresikan secara visual melalui gambar daripada melalui beberapa paragraf deskripsi. Apalagi Superhero memang pada awalnya adalah genre yang menyasar pangsa pasar anak-anak yang lebih menyukai cerita penuh ilustrasi daripada membaca teks yang mungkin bagi mereka membosankan. Pangsa ini memiliki penggemar yang fanatik, karena komik adalah satu-satunya hiburan pada masa itu—lagi pula saat itu politik dunia memanas jelang Perang Dunia II, maka tak heran tokoh-tokoh superhero tersebut menjadi populer.

    Adalah Stanley Martin Lieber, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Stan Lee, seorang editor Timely Publication (cikal bakal Marvel Comics) yang merevolusi genre superhero. Dari tangannya naskah-naskah superhero Marvel diolah dan ditujukan kepada pembaca yang lebih dewasa. Stan Lee menciptakan karakter superhero yang lebih manusiawi, tidak tampan, gagah, sempurna, tak terkalahkan namun rapuh di balik kekuatan super yang dimilikinya.

    Ketertarikan terhadap superhero sebagian besar berdasarkan pada ketertarikan yang sama terhadap narasi petualangan dan eskapisme yang ditawarkannya. Film-film ini dibangun berdasarkan mitologi dan busur narasi yang melibatkan pencarian akan suatu hal, dan terkadang takdir khusus yang disematkan pada tokoh utamanya-yang biasanya berpikir mereka adalah orang pada umumnya.

    Peter Parker, Steve Rogers, Luke Skywalker, Harry Potter bahkan beberapa film populer di luar subgenre superhero memiliki busur narasi serupa. Tokoh utama adalah orang biasa, namun tiba-tiba ada suatu hal yang mendorong mereka pada hal luar biasa. Mereka harus bertarung mewakili kebaikan melawan kejahatan, dimana terkadang tokoh utama harus melewati tantangan tertentu dan membuktikan bahwa mereka layak menjadi pahlawan.

    Berkali-kali elemen narasi ini diulang sejak masa mitologi Yunani hingga mitologi tersebut beralih ke dalam gedung bioskop. Ini bukan suatu hal yang baru, kita bisa melihat kemiripan antara Oedipus dan Sangkuriang yang sama-sama mencintai ibunya, atau kisah kasih tak sampai antara Romeo dan Juliet, Sam Pek dan Eng Tai, hingga Saijah dan Adinda. Narasi-narasi yang sama ditemukan di waktu dan tempat yang berbeda, namun lagi-lagi, manusia suka menikmati hal yang pernah dinikmatinya sebelumnya. Sehingga tak heran narasi-narasi ini menjadi populer dan mengendap cukup lama di kehidupan manusia.

    Adapun di Indonesia, memunculkan mitos tokoh pahlawan super sudah berkali-kali dilakukan. Mulai dari Sri Asih (1950) karya R.A Kosasih, Godam dan Aquanus (1969) ciptaan Wid NS, Gundala Putra Petir dan Pangeran Mlaar (1969) ciptaan Hasmi, hingga superhero yang muncul di masa kejayaan layar kaca seperti Saras 008, Panji Manusia Millenium dan tokoh Tokusatsu hasil kerjasama dengan Ishimori Pro —produser serial tokusatsu di Jepang seperti Kikaider dan serial Kamen Rider, Bima Satria Garuda.

    Pahlawan-pahlawan super tersebut sangat dipengaruhi tokoh superhero dari Amerika Serikat, khususnya Marvel dan DC. Sri Asih kerap dibandingkan dengan Wonder Woman, Godam dengan Superman, Aquanus dengan Aquaman, Gundala dengan Flash, Pangeran Mlaar dengan Mr. Fantastic—pimpinan Fantastic Four. Bahkan superhero lokal di era layar kaca seperti Saras 008 dan Panji Manusia Millenium juga mirip dengan Catwoman dan Robin. Kostum Panji, entah sengaja atau tidak, sangat mirip dengan Robin di film Batman Forever (1995) dan Batman & Robin (1999) yang disutradarai Joel Schumacher. Bima Satria Garuda pun tidak lepas dari pengaruh tokusatsu Jepang, terutamanya seri Kamen Rider—lebih dikenal di Indonesia dengan sebutan Ksatria Baja Hitam. Bahkan film superhero layar lebar yang terbaru, Garuda Superhero (2015), lagi-lagi kostumnya mirip dengan kostum Batman-nya Christopher Nolan. Superhero-superhero lokal tersebut menunjukkan jika kreator di Indonesia belum bisa melepaskan pengaruh komik atau superhero luar negeri di dalam karyanya.

    Genre superhero tersebut pada awalnya bersaing dengan genre cerita silat lokal, dengan tokoh pendekar yang dianugerahi daya ‘lebih’ semacam Jaka Sembung (1968) karya Djair Warni, Si Buta dari Gua Hantu (1967) karya Ganes TH, juga Panji Tengkorak (1968) karya Hans Jaladara hingga Wiro Sableng (1989 dalam bentuk novel berseri) karya Bastian Tito, yang justru lebih populer dan terasa nuansa kearifan lokalnya daripada nama-nama yang disebutkan sebelumnya.

    Kepopuleran para pendekar tersebut tentu saja tidak lepas dari pengaruh cerita silat Tiongkok yang lazim disebut wuxia. Di negeri asalnya, genre ini berakar sejak Dinasti Tang (618-907) dan berkembang hingga masa Dinasti Ming (1368-1644), yang menghasilkan Roman Tiga Kerajaan dan Tepi Air, dua dari empat karya sastra klasik tiongkok—dua lainnya adalah Perjalanan ke Barat dan Impian Paviliun Merah—keduanya ditulis pada masa Dinasti Qing. Wuxia modern dikenal di Indonesia melalui karya Louis Cha atau lebih dikenal dengan nama penanya Jin Yong (Chin Yung). Beliau dikenal dengan karyanya Trilogi Pendekar Rajawali—Pendekar Pemanah Rajawali (1957), Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali (1959) dan Golok Pembunuh Naga (1961), yang sempat populer kembali melalui adaptasi serial televisi pada tahun 1990-an di Indonesia.

    Awalnya cerita silat muncul sebagai terjemahan dari karya-karya penulis terkenal Tiongkok. Para penerjemah Indonesia keturunan Tiongkok menerjemahkan kisah-kisah ini untuk dimuat di surat kabar berbahasa tiongkok untuk WNI keturunan di Indonesia. Tetapi karena kisah-kisah ini kemudian disukai banyak kalangan, akhirnya dibuatkan cetakan tersendiri berupa buku. Kisah-kisah petualangan para pendekar dunia persilatan ini amat sangat digemari, bahkan konon mantan Presiden Soeharto juga menggemari novel silat berjudul ‘Luxiang Hudie Jian‘ karya novelis Gu Lung (Khu Lung) yang diterjemahkan dalam judul Antara Budi dan Cinta (1973).

    Karya-karya wuxia rata-rata memiliki kesamaan busur narasi. Biasanya menampilkan seorang tokoh protagonis laki-laki muda yang mengalami tragedi —seperti kehilangan orang yang dicintainya— dan terus menerima cobaan dan kesengsaraan sebelum belajar beberapa bentuk seni bela diri dari pendekar yang lebih senior atau belajar secara mandiri dari sebuah kitab kuno. Di akhir cerita, ia muncul sebagai pendekar yang kuat. Dia menggunakan kemampuannya untuk berbuat kebajikan. Busur narasi yang sama ditiru oleh cerita silat Indonesia. Panji Tengkorak, Si Buta dari Gua Hantu adalah contoh karya yang memiliki busur narasi serupa.

    Salah satu karya yang kental dengan elemen-elemen wuxia adalah karya-karya Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo. Karya-karya populer tersebut menginisiasi genre cerita silat yang kemudian membuat penulis-penulis lain seperti S.H Mintardja (terkenal dengan cerbung Api di Bukit Menoreh dan cerbung Nagasasra dan Sabukinten), Arswendo Atmowiloto (karyanya Senopati Pamungkas), S. Tidjab (Tutur Tinular), Motinggo Busye (Tujuh Manusia Harimau) menghasilkan karya dengan genre serupa.

    Mistisisme yang kental, latar sejarah nusantara, dan asimiliasi dengan legenda nusantara menjadi beberapa faktor yang membuat pendekar-pendekar tersebut populer. Ditambah dengan pemakaian istilah yang disesuaikan dengan selera lokal membuat Jurus Kunyuk Melempar Buah-nya Wiro Sableng, atau Kliwon sebagai sidekick dari Si Buta dari Gua Hantu, lebih dikenal daripada nama-nama futuristik yang terkesan dipaksakan di genre superhero Indonesia. Menjadi superhero dengan menggunakan bahan kimia (seperti Captain America), atau mengenakan zirah canggih (seperti Iron Man), atau digigit hewan yang bermutasi (seperti Spider-Man) kalah logis dibandingkan menjadi pendekar yang sakti mandraguna dengan cara bertapa, menggunakan pusaka peninggalan leluhur dan mempelajari ilmu-ilmu gaib.

    Sama halnya dengan watak sebagian orang Indonesia yang gemar dengan budaya instan, karakter-karakter tersebut tidak disemai dengan baik untuk mendapatkan popularitas lebih di kemudian hari. Pada umumnya mereka mati seiring dengan redupnya sang kreator yang sudah tak memiliki dana dan dukungan untuk menerbitkan karyanya atau bahkan dipandang buruk karena dianggap meniru superhero dari luar negeri. Dan pada titik inilah superhero Indonesia mati.

     

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Sikap Chairil di Hadapan Komunalisme

    author = Asef Saeful Anwar

    “Partai apakah yang akan dimasuki Chairil Anwar jika dirinya masih hidup di alam Demokrasi Terpimpin?” demikian pertanyaan yang banyak diajukan kepada Ajip Rosidi sehingga ia memerikan jawabannya dalam karangannya “Chairil Anwar dan Politik” yang termuat dalam buku Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia. Pada zamannya, pertanyaan serupa itu muncul seiring dengan banyaknya sastrawan dan seniman yang bergabung dalam wadah kesenian yang dimiliki partai-partai peserta pemilu 1955.

    Ajip lalu menyorot sajak saduran “Krawang-Bekasi” dan sajak “Persetujuan Dengan Bung Karno”. Munculnya nama Bung Karno dalam kedua sajak itu buru-buru ditanggapi Ajip sebagai simbol pemimpin impian masa itu. Menurutnya, kemunculan nama tersebut terjadi karena pada masa perjuangan meraih kemerdekaan Bung Karno merupakan lambang eksistensi bangsa Indonesia. Rakyat pada masa perjuangan meraih kemerdekaan butuh figur seorang pemimpin untuk menyatukan perasaannya sehingga wajar jika Chairil menyebut nama Bung Karno, selain juga nama Hatta dan Sjahrir. Dengan alasan ini, di akhir karangannya Ajip menyimpulkan bahwa Chairil pasti akan memilih kebebasan, yang tentu mengandung arti tidak bersepakat lagi dengan Bung Karno yang saat itu mulai condong ke Partai Komunis Indonesia dan dengan cara kepemimpinannya yang mulai tidak demokratis—sampai-sampai Hatta pun mematahkan ke-dwitunggal-an mereka.

    Pendapat Ajip sejajar dengan sikap hidup Chairil yang dengan tegas mengemukakan bahwa “keindahan adalah pertimbangan perpaduan dan getaran-getaran hidup” dan “…vitalitas adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan dalam mencapai keindahan,” serta lebih lanjut: “seniman adalah tanda dari hidup yang melepas-bebas”. Ya, hidup yang melepas-bebas, berkarya yang melepas-bebas, atau dalam bahasanya bebas dari segala merdeka…

    Jika Chairil masih hidup pada waktu itu sepertinya ia memang tidak akan bergabung dengan Sitor Situmorang dalam Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) bentukan Partai Nasional Indonesia, tidak juga akan masuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) untuk bergabung dengan karibnya Rivai Apin di PKI, dan tidak pula akan masuk ke dalam Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) milik Partai Nahdlatul Ulama untuk bergabung dengan Usmar Ismail dan Asrul Sani. Sebab telah jelas, lembaga-lembaga tersebut secara tak langsung akan mengikat—untuk tidak dikatakan mengekang—hasil karya para seniman sehingga karya yang muncul tidaklah murni timbul dari mata batin seniman. Lembaga kesenian dalam sebuah partai tak ubahnya sekat bagi para seniman di dalamnya yang menyebabkan karya yang mereka hasilkan bersifat komunal, tidak individual, karyanya cenderung pragmatis daripada idealis. Maka, jelas Chairil memilih bebas dengan prinsip individualisme yang dipegangnya teguh.

    Individualisme yang diperjuangkan Chairil ini bukanlah dalam arti sempit. Chairil memandang individualisme sebagai sebuah jalan keluar bagi kebekuan dan kebakuan komunalisme yang cenderung menyeragamkan. Selain itu, apa yang dibincangkan dalam ruang-ruang formal seperti rapat, diskusi, seminar, dan lain sebagainya kebanyakan adalah hasil-hasil permenungan ketika seorang manusia menyendiri sehabis bergumul dengan lingkungan sosialnya. Dalam hal berkesenian, Chairil tidak setuju dengan cara beberapa seniman sezamannya—terlebih dengan generasi sebelumnya—yang begitu mendapat inspirasi mereka langsung membuat sebuah karya lalu menganggap pekerjaan sudah selesai. Bahkan, ada banyak dari mereka yang bangga akan kerja semacam itu, yang tak segan menganggap inspirasi yang diterimanya itu sebagai “wahyu”. Cara kerja semacam ini sejatinya justru menihilkan kemampuan berpikir para seniman yang dituntun sesuatu yang tak diketahuinya merasuk begitu saja lalu “menjajahnya” dalam berkarya.

    Bagi Chairil, pekerjaan seorang seniman dalam mencipta tak sesederhana hanya mencari, menerima, dan menuangkan inspirasi dalam sebuah karya. Apa yang membedakan profesi seorang seniman dengan profesi-profesi lainnya justru terletak pada bagaimana ia dapat mengendapkan inspirasi yang didapatkannya untuk kemudian mengkaji dan merefleksikannya sebagai karya. Dan proses yang demikian panjang ini tentu akan terganggu bila ia menjadi anggota sebuah partai. Maka wajar ketika banyak kawan senimannya bergabung dalam partai-partai politik, ia memilih tetap sendiri demi elan vitalisme kerja berkeseniannya. Selain karena cara hidupnya yang demikian, kesan individualisme yang melekat pada dirinya hingga kini tak terlepas juga karena sajak “Aku”. Sajak yang menyimpan hidupnya itu ditulis tiga tahun sebelum dia wafat pada 1949. Kini, telah bertahun-tahun dirinya rutin dihidupkan dalam peringatan-peringatan yang sengaja dihadirkan pada tanggal kematiannya; 28 April.

    Menariknya, peringatan-peringatan itu dilakukan secara bersama-sama, kumpul bareng, guyub, dan seremonial, jauh dari kesan individualisme. Tentu, cara peringatan semacam itu baik, tapi tak ada salahnya juga bila memperingati hari Chairil Anwar dengan cara menyendiri, merenung, dan berkarya, sebab kita, warga negara Indonesia, terlalu banyak memiliki hari untuk diperingati, hingga lupa sejatinya kita diminta untuk mengingat, bukan sekadar merayakan.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Siapkah Kita Kehilangan Taman Sriwedari? Ah, Mungkin Sudah

    author = Tyassanti Kusumo

    Menawi malem Jumuwah sarta malem Ngahad mawi tetingalan gambar sorot, ringgit tiyang, manawi Ngahad siyang, ringgit tiyang inggih main. Ingkang dhateng ningali boten ngemungaken bangsa Jawi kemawon, bangsa Cina, Koja, Jepan, Kaji, Arab, Wlanda punapadene bangsa sabrang sanesipun” –Yasahardjana, Babad Sriwedari, 1926.

    “Ketika Malam Jumat dan Malam Minggu, ada pemutaran film (kain putih yang disorot gambar), wayang orang; pun di Minggu Siang wayang orang juga main. Yang datang menonton bukan hanya orang Jawa, ada orang Cina, Koja, Jepang, Haji, Arab, Belanda dan bangsa-bangsa asing lainnya”

    Sumber: KITLV

    Siapa warga Solo yang tak tahu Sriwedari? Tentu hampir semua tahu, terlebih dengan ramainya kawasan ini beberapa minggu terakhir, baik di media cetak, daring maupun di lokasi karena isu pembangunan Masjid Taman Sriwedari. Alih-alih membahas sengketa lahan yang tak jelas juntrungnya atau pihak mana saja yang terlibat dan berkepentingan dalam pemanfaatan dan pembangunan yang ada di kawasan ini, akan lebih baik jika kita coba mulai mengenal lebih dekat Taman Sriwedari. Bicara mengenai tahu, boleh jadi hampir semua tahu, bahkan dari berbagai kalangan usia dan status yang disandang, tetapi, bicara masalah kenal, siapa yang begitu kenal? Padahal, tak kenal maka tak sayang. Nah! Tamat sudah!

    Terletak di daerah yang dulunya bernama Desa Talawangi, Sriwedari menjadi pusat hiburan dan plesir seluruh masyarakat kala itu. Bahkan beberapa tahun belakangan, masih cukup ramai dipadati dengan berbagai keluarga yang mengajak anaknya menjajal seluruh wahana permainan di Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari atau sekadar menonton Orkes Melayu dan Koes Plus-an. Sanggar-sanggar seni yang ada di kawasan inipun masih ramai dan aktif digunakan, pun pertunjukan Wayang Wong yang rutin digelar tiap harinya dengan harga tiket sangat terjangkau, antara Rp 5.000,00 – Rp 10.000,00. Percik keramaian yang kita lihat sekarang hanya sekelumit dari keramaian tahun-tahun awal dan masa kejayaan Taman Sriwedari.

    Dibangun pada masa pemerintahan Paku Buwana X (PB X) di tahun 1899 dan diresmikan pada 1901, penggagas Taman Sriwedari sebenarnya adalah  Pepatih dalem Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat atau yang lebih dikenal dengan Kanjeng Ageng atau Sosrodiningrat I, sosok kepercayaan kerajaan yang juga ahli kebudayaan (Koran Mekar Sari, 15 Juli 1986). Kompleks taman yakni meliputi Museum Radya Pustaka hingga yang kini direncanakan menjadi Masjid. Taman ini sengaja dibangun di luar dinding keraton sebagai tempat plesir keluarga raja dan juga masyarakat Surakarta kala itu, sehingga kerap disebut sebagai Bonrojo (akronim dari Kebon Rojo alias Kebunnya Raja). Dalam Babad Sriwedari digambarkan tentang kondisi Taman yang sejuk, penuh pepohonan dengan jalan berkelok di tengahnya

    ing nglebet cinithak margi menggak-menggok malengkung.. adamel lam-laming para ingkang sami lalangen, dening wasising pangrukti, pantes sinudarsana. Urut pinggiring margi kataneman wit camara sineling palem lan trembesi punapadene kenari” (Yasahardjana, 1926:7)

    Selain tetumbuhan rindang dan udara yang sejuk, sebuah taman tentu memiliki unsur air. Unsur air bisa kita temui di Segaran yang letaknya di sebelah selatan taman dan juga di kebun binatang, yakni di tempat kandang Buaya, belibis, angsa, bangau dan penyu. Segaran merupakan kolam buatan yang berbentuk lingkaran dengan sebuah ‘pulau’ kecil di tengah-tengahnya. Di pulau ini dibangunlah Panti Pangaksi, tempat peristirahatan sekaligus tempat raja dan keluarga melihat-lihat pemandangan yang ada di Sriwedari. Di bawah Panti Pangaksi juga ada bangunan lain, yakni Gua Swara yang dipergunakan untuk menyimpan gamelan Santiswara milik Keraton. Gamelan ini diletakkan di sana untuk mengiringi acara-acara yang diadakan di Sriwedari, seperti Malam Selikuran dan perayaan ulang tahun naik tahta seorang raja. Meski Panti Pangaksi lebih banyak diakses oleh keluarga raja, tetapi pada tahun 1950, tempat ini pernah dijadikan tempat pentas Keroncong PERSOB (Persatuan Orang Buta), pun area sekitarnya juga bisa digunakan masyarakat untuk bersenang-senang. Dalam Babad Sriwedari halaman 9, tertulis bahwa tersedia wahana berperahu mengelilingi Segaran, dan banyak pula yang berjalan kaki di sekelilingnya. Coba kita bayangkan betapa menyenangkannya kondisi Taman Sriwedari di kala itu!

    Fasilitas-fasilitas di Sriwedari memang diperuntukkan sebagai sarana plesir dan hiburan, bahkan Raja membuat kebun binatang agar masyarakat bisa menikmati dan berinteraksi dengan hewan-hewan tersebut. Jenis binatang yang ditaruh di sana beraneka ragam. Ada kancil, babi, sapi, banteng, ayam emas, ayam tembagi, macan gembong, macan tutul, macan kumbang, kera, landak, monyet, anjing, aneka burung warna-warni, bajing, burung kuntul, buaya, bangau, kambing dan gajah. Namun sayang, di tahun 1983, para hewan akhirnya dipindah ke Taman Satwa Taru Jurug, daerah Kentingan, agar perawatan dan pengelolaannya lebih baik. Kemudian di tahun 1909, Raja memberi palilah pada seorang pangeran yang pandai menari untuk menari di Sriwedari sampai kemudian dibukalah Gedung Wayang Orang di sana1. Ada pula fasilitas gedung bioskop yang bisa dinikmati semua kalangan hanya dengan membayar lima sampai sepuluh sen saja. Budaya menonton film ini tak lain dan tak bukan juga turut berkembang karena para masyarakat asing yang tinggal di Surakarta.

    Selain mengampu fungsi sebagai taman hiburan, Sriwedari juga menjadi pusat tontonan budaya dengan pertunjukan Wayang Orangnya. Surat Kabar Darmo Kondo tanggal 29 Januari 1935 memberitakan tentang persiapan pegawai Sriwedari untuk menyambut para turis asing dari Amerika yang akan merekam pertunjukan wayang orang. Para turis ini datang berduyun-duyun menaiki auto lalu merekam pertunjukan yang sedang dimainkan saat itu. Jelas fenomena ini perlu kita jadikan refleksi bahwa Sriwedari sudah benar-benar kawentar di masa tersebut, dengan fungsi publik sebagai tempat hiburan dan budaya. Fungsi lain taman Sriwedari bisa kita temukan di pembahasan Skripsi Umaira Fambayun, alumni prodi Arkeologi UGM. Dalam skripsinya yang berjudul Taman-taman Kota (Taman Sriwedari, Taman Balekambang, dan Villapark): Elemen Penting Pembentuk Keindahan Kota Surakarta Awal Abad ke-20, Umaira membahas tentang Taman Sriwedari yang memiliki fungsi politik, yakni sebagai perwujudan kuasa dan kebesaran lewat pendirian (wujud) sebuah taman sebagai fasilitas umum masyarakat Surakarta pada masa kolonial. Disebut masa kolonial karena memang saat itu Belanda menguasai wilayah di area Benteng Vastenburg serta Banjarsari (daerah sekitar Monumen 45 dahulu adalah wilayah yang bernama Villapark, milik Belanda)  dan bisa mengatur kebijakan dalam kerajaan. PB X ingin menunjukkan kemampuannya untuk memperindah kota dan menyejahterakan rakyatnya melalui hiburan-hiburan yang disajikan di Taman Sriwedari. Tidak hanya itu saja, taman hiburan rakyat ini juga berhasil menarik masyarakat dari berbagai etnis untuk datang kesana (Fambayun, 2016:84), bahkan pernah digunakan sebagai tempat merayakan lahirnya putri di negeri Belanda (Prinses van Oranje). Taman Sriwedari riuh dipenuhi semua kalangan masyarakat yang turut menyemarakkan kelahiran Prinses van Oranje. Selama sehari semalam, Taman dipenuhi dengan orang yang mencari hiburan dan berjualan. Banyak lapak dan kios makanan yang turut berjualan di sana2.

    Namun itu dulu. Setelah PB X meninggal, keberadaan Taman Sriwedari dan unsur-unsur di dalamnya, baik unsur tanaman, air, hewan dan bangunan mulai tergusur keberadaan dan nilainya. Yang masih bisa kita jumpai hingga sekarang mungkin hanya museum Radya Pustaka yang ada di sebelah barat kompleks, kemudian Gedung Wayang Orang. Gedung kesenian yang dahulu juga difungsikan sebagai tempat menonton film sudah dibongkar pada 2016 silam. Sedang bangunan yang sudah lama tidak ada ialah Panti Pangaksi, Gua Swara dan Kandang Binatang. Sejak tahun 1980-an, keberadaan Panti Pangaksi memang telah lama tak ada, bahkan kemudian menjadi restoran Wisma Boga yang sekarang pun telah dibongkar. Keberadaan Gua Swara di bawahnya pun entah tak ada kabar. Perahu-perahu yang dulu pernah mengelilingi segaran kini entah ke mana; Segaran telah berubah menjadi kolam dangkal yang kotor dan tak terawat. Ada pula bangunan yang nyempil di tengah-tengah antara taman dan museum, yakni Graha Wisata Niaga yang entah mengapa ada di sana. Sriwedari berubah terlalu cepat, kita tidak menyadarinya. Keindahan dan keramaian yang dulu pernah ada sekarang bagai tak bersisa. Transformasi budaya, fisik dan nilai tidak bisa dihindari, bahkan sejak dulu. Penataan kawasan ini seperti bergeser dari nilai utama yang melandasi pembangunannya dahulu sebagai taman dan tempat hiburan masyarakat. Meski Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta berdalih bahwa akan merevitalisasi kawasan ini, nyatanya yang justru ditonjolkan dan jadi proyek awal adalah pembangunan Masjid Taman Sriwedari. Sekarang pertanyaan yang muncul, di mana nilai Bonrojo yang akan direvitalisasi jika pembangunan yang mengokupasi lahan seluas 17,200 meter persegi dengan lima menara, termasuk di antaranya mencapai tinggi 114 meter ini benar-benar terwujud? Tidakkah ini menjadi cerminan bahwa value atau nilai penting Bonrojo justru dikikis dan dikalahkan dengan wacana baru tentang pembangunan masjid? Siapa bisa menjamin Taman yang telah berstatus Cagar Budaya dengan SK Walikota no 646/1-2/1/2013 ini bisa ‘hidup kembali’ dengan revitalisasi yang tercerabut dari nilai awalnya? Sejak awal Bonrojo difungsikan sebagai tempat plesir, melepas penat serta bersukaria dengan unsur-unsur yang ada di dalamnya, tetapi bukan unsur tempat ibadah seperti yang sedang dalam proses pembangunan sekarang. Selain Masjid, proyek selanjutnya yang masuk dalam proses penataan adalah Gedung Wayang Orang (GWO). Pemkot akan membangun ulang GWO dan membangun museum Wayang Orang. Namun pembangunan seperti ini tidak akan efektif bila belum didukung dengan upaya membangun budaya apresiasi pada pertunjukan ini. Justru seperti sia-sia saja jika gedung telah terbangun bagus tetapi tidak ada upaya untuk menggenjot minat warga pada pertunjukan ini. Pembangunan akan terasa kering kerontang tanpa adanya ruh yang menyertai kesadaran pada pentingnya substansi yang ditampilkan, yakni pertunjukan wayang wong tersebut.

    Sriwedari berubah, banyak. Kita yang berdinamika di area sekitarnya terbuai tanpa sadar. Nilai pentingnya tak pernah diwacanakan. Sadarkah kita akan kehilangan tersebut? siapkah kita menyongsongnya? Barangkali benar, kita tak begitu sayang, sehingga sudah sedari dulu kita bertemu kehilangan tersebut.

     

    Catatan
    1: Masjid dan Memori tentang Bon Raja, Hijriyah Al Wakhidah. Solopos, 24 Januari 2018
    2: Kebon Raja Menggugat, Heri Priyatmoko. Solopos, 18 Januari 2018

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Setelah Inferno, Dante Mengajak Ke Purgatorio.

    author = Bambang Widyonarko

    Abaikan semua harapan dan kenangan, wahai semua yang masuk di sini, selamat datang di Inferno. Begitulah kalimat pembuka kidung Inferno karya Dante Alighieri. 

    Dante adalah orang yang dengan gamblang menggambarkan neraka lebih dari Yesus sang pekabar Injil. Berkat Dante, Salvador Dali dapat melukiskan neraka dengan gambar yang “sesungguhnya”. Batas antara Mundus (dunia) dengan Inferno digariskan dengan sesuatu yang tegas. Antara nasib, pengharapan, dan kegilaan manusia.

    “Yang kaya melindungi yang miskin, agar hidup dengan wajar. Yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakit,” adalah satu dari sekian sabda kontroversial yang dikemukakan Achmad Yurianto, pejabat yang ditunjuk pemerintah untuk berbicara di depan publik mengenai penanganan Covid-19. Di balik carut marut pemerintah dalam menangani wabah ini, ucapan Achmad Yurianto tentu memperparah keadaan. Ucapan bias kelas ini bisa jadi merepresentasikan negara sesungguhnya. Bagi negara kapitalis cum patriarkis, orang miskin ialah momok mematikan yang harus dibasmi. Terlebih si miskin yang sakit, yang akan menyusahkan si kaya. Sungguh paripurna bebalnya negara!

    Beberapa kota dan wilayah perdesaan dengan inisiatif pribadi melakukan lockdown demi mengurangi laju penyebaran wabah ini. Langkah ini lebih jelas dibandingkan langkah negara yang menggelontorkan dana Rp. 72 milyar untuk influencer demi mendongkrak pertumbuhan wisata di tengah pandemi korona. 

    Beberapa rumah sakit bahkan dikabarkan kewalahan ketika menangani pasien dengan indikasi klinis mengarah ke Covid-19. Dante mengintip dari jendela kayu di seberang jalan seraya berkeluh, “Oh kasihan Indonesia, kini ia menjadi Inferno.”


    Sore, di Jum’at, 27 Maret 2020. Pintu kamarku diketuk oleh omku. Raut wajahnya cemas menyiratkan ada sesuatu yang tak wajar. Saat membuka obrolan, ia mengawali dengan suara berat. Hasil uji laboratorium Dinas Kesehatan menyatakan aku positif terjangkit virus Covid-19. Aku mendengar dari balik tembok, mereka menangis tersedu-sedu. Aku tetap tersenyum dan mengatakan kepada mereka bahwa, “I’m okay, everything gonna be alright.” Pintu kamar kututup dengan senyum menyeringai. Brengsek!

    Dante mengintipku dari balik pintu. Sepertinya ia tak sabar untuk mengajakku ke langkah selanjutnya setelah Inferno. Ia mengajakku menuju Purgatorio, sebuah tempat yang berisi api penyucian dosa. Tempat paling menyakitkan, lebih sakit dari neraka..

    Aku menjadi satu dari sekian ribu orang yang terpapar Covid-19. Bagiku ini adalah bagian dari sebuah pengakuan dosa. Layaknya salah satu liturgi Katolik Roma, seperti itu pula Purgatorio berjalan. Penyakit ini bukan aib yang harus ditutupi. 

    Bagi negara mungkin aku hanya angka statistika belaka. Toh, apa gunanya manusia miskin sakit pula? Tak mampu membayar BPJS kelas satu, lantas sekarang sakitnya juga nomor satu.


    Setelah menyandang status positif, keluargaku harus menjalani karantina pribadi di rumah. Malam itu seorang tetangga mengetuk pintu seraya memberikan beras dan beberapa kebutuhan pokok lainnya. Ia adalah seorang Protestan yang taat. Sebagaimana pembaca Alkitab yang lain, ia mengimani ucapan Kristus dalam Galatia 6:2, Bertolong-tolonglah dalam menanggung bebanmu. Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus”. 

    Saat terberat seperti ini teringat sekali lagi akan ketabahan Nabi Ayyub dalam menjalani hidup. Sebagai pesakitan, ia hanya ditemani oleh Tuhan. Dominus vobiscum.

    Minggu malam, ambulan menjemputku menuju rumah sakit pemerintah yang difungsikan sebagai rujukan dalam penanganan wabah. Jalanan terasa lengang dengan sirine ambulan yang meraung memecah keheningan malam. 

    Di sebuah ruang isolasi, aku ditempatkan bersama lima pasien positif lainnya. Pukul 12 malam, seorang kakek yang berbaring layu di sebelah kasurku dipanggil Sang Pemilik Kehidupan. 

    Dalam lima jam terakhir, sudah dua jenazah terbungkus plastik kami lihat hilir mudik keluar dari ruang isolasi yang lain. Bagi kami para pasien positif, hal ini hanya masalah waktu, bisa jadi dalam jam selanjutnya kami yang dibungkus plastik itu. Berharap-harap cemas sembari menunggu undian hidup. Bagi malaikat maut , ia sedang memanen nyawa.

    Sorak-sorai semangat membanjiri pesan di gawaiku. Sanak saudara dan kawan baik silih berganti memberi dukungan. Mereka suporter terbaik saat ini. Ada sedikit harapan berkat mereka dalam menjalani Purgatorio ini.

    Sungguh benar Dante yang akhir-akhir ini datang untuk menengokku. Ia sudah mengajak aku melalui api penyucian yang mana ini merupakan fase terberat dalam perjalanan melihat neraka. Di sinilah semua hal tak menyenangkan terjadi. Dante selalu tersenyum di balik pintu itu. Ia menahan malaikat maut masuk untuk mengambil nyawaku. Bila Dante sudah tak lagi menahannya, aku akan berkata pada malaikat, “Izinkan aku menulis satu kalimat lagi.”

    Jakarta, 31 Maret 2020

  • Seperempat Abad Mencerca Dunia

    author = Bambang Widyonarko

    Penghujung malam Jum’at Pahing, aku mengayuh sepeda menuju suatu tempat di kaki Gunung Halimun untuk menyepi. Malam yang pekat itu, kuhabiskan waktu bersama gemericik air diselingi suara satwa penghuni hutan. Menuju sepertiga malam, aku bermunajat pada Tuhan, “terima kasih Tuhan atas segala karunia-Mu pada hidup yang bangsat ini”.

    Kala itu persis lima puluh tahun sesudah United Nations (UN) berdiri, aku dilahirkan. Ibu kandungku wafat manakala aku mulai beranjak bisa mengucapkan kata pertamaku. Sejak itu, aku diasuh dan dibesarkan oleh eyangkung (kakek) dan eyanguti (nenek). Besar di bawah pengaruh aristokrasi Jawa yang kental, membuat aku merasa diriku anomali dalam pergaulan di tepian ibukota paling keras, Jakarta Utara.  Priok, begitu daerah ini sohor dikenal adalah miniatur Sparta dalam masa kiwari. Siapapun yang kuat, mereka bertahan, selama air laut belum surut, pantang uang juga akan habis begitulah kredonya. Masa remaja yang penuh pembuktian diri bagi sebagian besar remaja laki-laki Priok, dibuktikan dengan menyetop truk peti kemas, naik di belakangnya, dan kalau bisa kau ambil besi yang ada disana. Maskulinitas laki-laki yang baru akil baligh dinilai dari tindakan BM (berani mati) ini. Tentu saja aku tak memilih prosesi mengerikan itu, disamping sebuah sekolah dasar Katolik yang membuat jarak aku dengan “mereka” semakin jauh. Pertama kali dalam hidup, aku memilih sebagai penonton dalam ketakutan.

    Saat aku mengutarakan niat mengambil Ilmu Sejarah sebagai pilihan studi, lamat-lamat eyangkungku menatapku dengan tajam. Tatapan interogatif khas birokrat zaman Orde Baru ini menjangkau sanubarinya paling dalam mengenai nasib cucu kesayangannya ini. Ia weruh sak durunge winarah bahwa menjadi sejarawan adalah sama halnya menjadi pastor paroki yang mengucapkan kaul kemiskinan sepanjang hidupnya. Ia lebih menghendaki aku menjadi seorang penyuluh agama ataupun penghulu dengan mendaftarkanku ke IAIN Ciputat. Namun tekadku bulat yang akhirnya menghantarkanku pada gelar sarjana sejarah di akhir namaku. 

    Persis 15 hari setelah wisuda, eyangkungku wangsul ke swargaloka. Sepuluh purnama berselang, giliran eyangutiku yang menyusul belahan jiwanya. Belum selesai aku bertanya tentang hidup, Tuhan menyematkan padaku nomor urut 147 dalam kasus Covid-19 di Indonesia. Bertarung dalam sunyi, keluar gelanggang masih diliputi sepi. Bagaimana tidak? Tuhan panggil orang-orang yang kusayangi, lantas Ia memberikanku prank kematian yang sudah aku songsong dengan hati yang bahagia sembari berharap berjumpa dengan mereka, tapi ternyata Tuhan pula yang memberikanku izin memasuki usia seperempat abad. Sial. Lalu apa gunanya usia dua puluh lima?

    Konstruksi Numerik Nir Konklusi

    Tatkala dr. Zhivago keluar dari Kremlin, ia menyaksikan bahwa pemuda-pemuda Soviet mengais-ngais remah gandum dan menyimpannya dalam saku. Pemuda Soviet yang lapar, tak punya banyak pilihan untuk menentukan apa yang akan mereka santap. Bagi mereka, pilihan hidup hanya dua; mati dalam keadaan berperang atau mati kelaparan. Dokter muda lainnya kisaran usia 25 tahun yang mengendarai motornya keliling Amerika Latin, Guevara juga menemukan sisi lain hidupnya. Perjalanan itu memengaruhi dunia Guevara, berkat Lepra dan Kusta, dirinya menjadi simbol perlawanan arogansi Amerika.

    Hal retrospektif yang ditemukan dalam hidup adalah melihat hidup orang lain, setidaknya orang-orang yang kita kenal selama ini. Tentu banyak dari orang-orang itu yang memengaruhi hidup kita dan kadang kita mengimitasinya atau bahkan terobsesi karenanya. Wajar saja, aku menatap bagaimana ‘sewajarnya’ usia 25 tahun harus dilakoni dari orang sekelilingku. 

    Orang pertama itu adalah sahabat yang kukenal semenjak 10 tahun lalu. Orang yang ‘membagi’ orangtuanya dengan diriku serta orang yang menghabiskan ribuan kilometer bersama, mulai dari keliling Jakarta hingga Pattaya. Memang dirinya belum beranjak mencapai usia 25, tapi hidupku banyak berubah karenanya. Satu hal yang pasti, aku tak mungkin hidup ala punk-rock atau ala grunge yang dijalaninya. Toh, saat ini ia sedang berbahagia dengan pasangannya, sedangkan aku masih ingin menghitung kinderjoy di etalase minimarket. 25-ku tak seperti itu.

    Seorang yang kupanggil ‘mentor’ adalah orang kedua dalam pelajaranku melihat hidup. Dua kali dalam waktu berdekatan, ia mengambil master pada bidang yang ia tekuninya. Dua tahun menetap di Singapura, saat ini menggenapkan tahun keduanya di Belanda.  Seorang pembelajar yang perfekt untuk dijadikan panutan dan segala macam kedigdayaan intelektual lainnya. Tapi aku sadar, langkah kaki kami berbeda. Sang mentor telah melewati 25-nya, aku masih harus mengejarnya.

    Komparasi hidup yang asik kulihat dari kedua temanku selanjutnya. Entah mengapa di mataku, keduanya memiliki banyak kesamaan. Selain keduanya bernama Bagus, mereka berasal dari desa yang sama-sama tertinggal. Keduanya adalah contoh “kesuksesan” ala zaman Soeharto, berawal dari pemuda kampung lalu mengalami social-climbing menjadi kelas menengah-intelektual. Bagus yang lebih tua, sepintas bila pertama melihatnya adalah tipikal koko-koko penjaga toko elektronik di Glodok. Siapa sangka, pemuda miskin yang hampir saja dikeluarkan dari kampus karena menginap di rumah rektor, kini bermukim di Marseille melanjutkan studinya. Ia adalah duplikasi sempurna dari cerita dosen Gadjah Mada tahun 80-an, beranjak dari pemuda miskin di pelosok kampung kemudian kuliah keluar negeri. Bagus yang kedua adalah seorang peneliti dan surveyor politik yang pada waktu kuliah adalah mahasiswa idealis dengan segudang ide cemerlang yang mengimitasi dari Pram. Ia mendaku dirinya adalah Generasi Pasca-Indonesia. Kiranya, desk redaktur Kompas lebih cocok untuk dirinya. Apabila sebelumnya ia hanya tahu Kroya, tahun lalu ia menjejakan kaki di Korea, harapanku ia mengunjungi Pyongyang, tapi ahjussi ini malah terdampar di Pulau Jeju. Bagus kedua memang belum melanjutkan studinya, seingatku ia ingin sekali kuliah di Sorbonne. Kalau hal itu terjadi, maka kedua Bagus adalah indikator keberhasilan Ganjar Pranowo memimpin Jawa Tengah, berhasil mengirimkan dua Bagus ke Prancis! Bagus pertama melewatkan usia 25-nya berbarengan dengan Sumpah Pemuda, sedangkan Bagus kedua nampaknya awal tahun depan baru memasukinya. Ahh tapi kupikir tak mungkin aku mengganti namaku menjadi Bagus Widyonarko seperti mereka, toh 25-ku bahagia saja menatapi menara sutet dibanding Eiffel.

     Bagi orang Jawa, usia 25 tahun adalah jenjang tahap selanjutnya setelah gerbang kehidupan pertama dilewati, usia 21. Saat pelafalan numerik  Jawa menghitung angka satuan di belakang dengan menyebut angkanya contoh 19 akan dibaca sangawelas, 21 dan 25 akan dibaca berbeda. Selikur dan Selawe, 21 dan 25. Usia 21, selikur adalah distorsi awal  penafsiran awal hidup sebagai seneng-senenge lingguh ning kursi dalam artian harfiah, seseorang di usia 21 baru merasakan awal-awal bekerja setelah sekolah maka selawe ditafsikran sebagai seneng-senenge le nyambut gawe. Kata itu mengasosiasikan bahwa seseorang di usia 25 sudah menempati jabatan tertentu di tempat kerjanya. Namun seorang teman menafsirkan bahwa selawe adalah seneng-senenge ngeloni wedok, dalam artian jelas bahwa usia 25 adalah usia yang ideal untuk berumah tangga. Jelasnya, usia 25 adalah puncak birahi manusia, baik birahi seksual maupun birahi ambisi untuk menggapai sesuatu. Pernikahan adalah benteng terbaik untuk ambisi itu, ciiih kadang aku tertawa mendengarnya.

    Sebagian besar orang memandang indikator pencapaian kesuksesan hidup dari usia. Si A sudah pada posisi ini, si B masih begitu-begitu saja. Bagiku, usia hanyalah deretan numerik tanpa konklusi. Ia bebas dan bias makna. Yesus saat usia 25 tahun belum banyak mengeluarkan nubuat keillahian-Nya, pun begitu juga dengan Siddharta Gautama yang masih hidup dalam lingkungan istana. Kurt Cobain bahkan sudah terkenal dan punya banyak pengikut melebihi tiga sosok manusia luhur yang kusebutkan di atas. Saat Bill Gates mulai mencoba mengubah dunia dengan temuannya, Elon Musk di usia yang sama memberangkatkan manusia ke bulan. Tentu ini bukan apologi bahwa usia 25 adalah semena-mena tapi usia adalah tahapan formal numerikal yang datang setiap tahun. Kalau saja itu tak datang, berarti proses hidup menjadi sabatikal.

    Tanpa sadar, reformasi yang menggulingkan Soeharto telah bergulir cukup lama. Bagi manusia-manusia yang lahir pasca tahun 1990-an, nyatanya digit numerikal semakin terasa tinggi begitupun dengan apa yang telah dilewati dan tantangan zaman yang berbeda. Usia 25, 26, 27, 28, 29, hingga 30 saat ini, adalah orang-orang yang pada saat itu hafal mati program Indosiar di Minggu pagi. Setelah Beyblade, Crush Gear, lalu Power Ranger. Namun saat ini, banyak dari kita yang bangga berkalung nametag sebagai karyawan start-up, pekerja milenial, atau bahkan PNS dan pengusaha. Dunia (kita) sudah berubah, seraya masih mencaci dosa boomers di sekeliling kita. Tak apa kawan, kuingatkan kembali, 25 yang bedebah itu bisa kita lewati, lantas sudah siap menyongsong 35? 45? 55? Atau bahkan 85?

    Betul kata Gie, mati muda terkadang merupakan peruntungan paling baik. Tapi kalau bisa hidup kaya raya dan abadi seperti Ratu Elizabeth, kenapa tidak?

  • Sentuhan Batin Puitis pada Dimensi Prosa dalam Cerpen “Barangkali” Karya Suci Wulandari

    author = Riska S N

    Kegiatan atau langkah yang harus dilakukan dalam memahami karya sastra paling tidak meliputi tiga hal yaitu interpretasi atau penafsiran, analisis atau penguraian, dan evaluasi atau penilaian (Simatupang, 1980; Pradopo, 1982). Ketiga langkah tersebutlah yang digunakan penulis dalam mengapresiasi batin puitis dalam dimensi prosa pada cerpen “Barangkali” karya Suci Wulandari. Membahas mengenai puitis dan prosais memang selalu bersinggungan meski keduanya memiliki makna dan ruang yang berbeda. Puitis yang kita tahu selama ini selalu berkenaan dengan bahasa yang bersifat puisi, sedangkan prosa lebih kepada karangan yang bersifat bebas, memaparkan secara gamblang. Namun, dalam kesempatan kali ini penulis membatasi diri mengenai puitis dan prosais sebagai makna pemadatan/pendalaman dan pemekaran.

    Bicara mengenai puisi dan prosa dalam satu buku, pengarang menyajikan idenya dengan cukup menarik. Letak kemenarikan tersebut, misalnya dapat ditemui dengan membandingkan puisi dan prosa yang ditulis Dewi Lestari, khususnya karya Supernova. Puisi dalam Supernova hadir sebagai prolog bahkan bisa dikatakan garis besar cerita. Sedangkan cerpen “Barangkali” menuliskan puisi sebagai prosa itu sendiri. Hal tersebut terpaparkan pada halaman 27 sampai 29, seperti berikut.

    “Sajak Seonggok Jagung.” Ana mengelilingkan pandangannya.

    “Seonggok jagung di kamar. Dan seorang pemuda. Yang kurang sekolahan. Memandang jagung itu. Ia melihat petani. Ia melihat panen.”

    Ana melanjutkan puisinya, tentu saja sambil mengedarkan pandangan. Tenggorokan Raba gatal sekali rasanya. Raba ingin batuk, tapi ditahannya. Ia tidak ingin merusak suasana magis yang terlanjur terbangun.

    “Seonggok jagung di kamar. Dan seorang pemuda. Ia siap menggarap jagung. Ia melihat menggarap jagung. Ia melihat kemungkinan. Otak dan tangan. Siap bekerja.”

    Ana memberi jeda. Tatapannya jatuh pada Raba, tanpa disengaja.

    “Tetapi ini….” suara Ana melirih. Tatapannya masih belum berpindah. Mata mereka beradu pandang. Tiba-tiba, Raba merinding. Bukan karena badannya yang sedang meriang. Ia merinding karena lengang yang muncul, serta mata Ana yang seolah menusuk milik Raba. Ia semakin ingin batuk, tapi tetap ditahannya setengah mati.

    “Tetapi ini: seonggok jagung di kamar. Dan seorang pemuda tamat S.L.A. Tak ada uang, tak bisa jadi mahasiswa. Hanya ada seonggok jagung di kamarnya. Ia memandang jagung itu. Dan ia melihat dirinya terlunta-lunta.”

    Ana masih bertahan menatap Raba. Begitu pun sebaliknya. Ana melanjutkan puisinya. Raba masih menahan batuknya. Lebih parah lagi, jantungnya kini berdebar makin cepat. Mendadak, semesta Raba lenyap, hanya tinggal mereka berdua, berhadap-hadapan begitu dekat sekaligus berjarak begitu jauh.

    “Seonggok jagung di kamar. Tidak menyangkut pada akal. Tidak akan menolongnya. Seonggok jagung di kamar. Tak akan menolong seorang pemuda. Yang pandangan hidupnya berasal dari buku. Dan tidak dari kehidupan. Yang tidak terlatih dalam metode. Dan hanya penuh hafalan kesimpulan. Yang hanya terlatih sebagai pemakai. Tetapi kurang latihan bebas berkarya. Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.”

    Ana berjalan turun dari panggung. Perlahan menghampiri Raba, masih dengan tatapan yang sama. Hanya saja kini suaranya meninggi. Amarah terbaca jelas di matanya.

    “Aku bertanya? Apalah gunanya pendidikan. Bila hanya akan membuat seorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya? Apakah gunanya pendidikan? Bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibu kota. Kikuk pulang ke daerahnya sendiri?” Ana makin mendekat ke arah Raba. Tatapannya sama sekali tidak berpindah. Ia melanjutkan puisinya. Kini dengan suara tenang nan lantang, suara penuh kesedihan yang tidak bisa dijelaskan, membuat Raba sungguh-sungguh semakin ingin batuk.

    “Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja. Ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata: di sini aku merasa asing dan sepi.”

    Ana masih menatap Raba.

    “WS Rendra. 1975.” Ana mengalihkan tatapannya ke arah Yono. Lalu Yono meringis, dan bertepuk tangan. Semua orang kemudian ikut bertepuk tangan. Bersamaan dengan itu, Raba melepaskan batuk yang sedari tadi ia tahan. Semestanya kembali ramai

    Pada kutipan tersebut terdapat puisi WS Rendra yang berjudul Sajak Seonggok Jangung. Puisi tersebut tidak hanya hadir sebagai kutipan maupun penggalan dialog, akan tetapi menjadi bagian prosa itu sendiri. Selain penafsiran terhadap prosa, mau tak mau pembaca juga dibawa untuk memahami bait-bait puisi tersebut. Hal ini berkenaan dengan sentuhan puitis yang tidak hanya dihadirkan oleh bahasa yang digunakan, akan tetapi juga berkenaan dengan unsur peembangun cerita dalam hal ini tokoh. Tokoh dalam cerpen “Barangkali” menawarkan dua peran sekaligus yaitu yang memberi dan yang dikenai sentuhan puitis. Berikut yang dialami oleh tokoh Raba, dalam kutipan berikut.

    Masih terbatuk-batuk, Raba kemudian berdiri. Ia berjalan menuju rumah kontrakannya, tanpa memedulikan hal lain, termasuk teriakan Yono yang kebingungan ditinggal sendirian. Raba terus berjalan menyusuri gang, melewati orang-orang yang duduk lesehan menghadap panggung. Dalam perjalanannya, Raba mengutuk Rendra dan puisinya. Raba mengutuk Ana dan mata coklatnya. Raba mengutuk dirinya sendiri.

    Dalam kutipan di atas, melalui penarasian terhadap tokoh dikatakan bahwa pembacaan puisi yang dilakukan oleh tokoh Ana telah menusuk batin puitisnya. Bagaimana pun kalimat-kalimat dalam puisi Rendra tersebut telah membuatnya tidak nyaman, gelisah, tidak lagi hanya mengenai hal lahiriah tokoh namun telah sampai pada hal batiniah.

    Ternyata, setuhan puitis dan prosa dapat ditemukan tidak hanya pada penggambaran sikap tokoh. Setelah pembacaan berulang, pengarang juga menghadirkan kedalaman terhadap unsur pembangun cerita yang lain, seperti penamaan tokoh, setting, plot dan penanda-penanda yang ada. Seperti halnya penamaan tokoh Raba yang memiliki nama lengkap Raba Bara, seperti berikut.

    Sedikit demi sedikit, Raba mulai berubah. Ia mulai mempertanyakan apa yang sebenarnya dilakukan oleh ayahnya. Seperti nama lengkapnya, Raba Bara, senantiasa mengandung panas yang seolah abadi.

    Dari penarasian makna satu nama yang ada, akhirnya membuat pembaca pun meraba-raba pemaknaan nama-nama yang lain. Yang pada akhirnya membuat berpikir tentang kedalaman. Selain Raba, di sana ada tokoh Ana, Haryono Suwage, Gunawan, dan Rumini, yang membawakan kesan puitis masing-masing. Seperti Ana dengan karakternya, Haryono Suwage dengan kedalaman pikirannya, Gunawan dengan idealisnya, dan Rumini yang memang puitis melalui hobinya menulis surat.

    Selanjutnya, memasuki sentuhan puitis dalam dimensi prosais bila dilihat dari segi setting, plot, dan penanda-penanda yang ada. Dari segi setting, pembaca melihat bagaimana keakraban pengarang memiih tempat cukup linier dengan wacana-wacana yang di bawa. Dalam cerpen tersebut terdapat empat icon yang dapat dikatakan memiliki andil besar untuk menjadi keutuhan cerita yaitu Kota Malang, Apel, Yogyakarta, dan Lukisan Apel serta sosok Ayah.

    Kota Malang dihadirkan sebagai kota asal tokoh Raba Bara, kota yang secara universal sudah diketahui sebagai Kota Apel. Dalam hal ini, apel menjadi mengambil peranan penting mengenai hubungan seorang anak dan ayahnya. Akan tetapi, sebelum jauh membahas pohon apel dan lukisan apel, ada hal yang cukup mengganjal akan keberadaan apel di sini, seperti berikut.

    Namun sebutir apel merah setiap pagi menghadirkan ayahnya. Raba tidak bisa pulang. Bak Patih Gadjah Mada yang bersumpah tidak akan istirahat sebelum menaklukkan seluruh nusantara di bawah Majapahit, Raba juga melakukannya. Ia berikrar tidak akan pulang, sebelum ia benar-benar jadi seorang pelukis besar. Semua bermula lewat perbedaan pendapat.

    Dalam kutipan di atas, secara tersirat bahwa tokoh Raba memiliki pengalaman batin dengan sang ayah yaitu mengenai kebersamaan dalam perkebunan apel sebelum Raba memutuskan memilih jalan hidupnya sendiri dengan menekuni seni di Yogyakarta. Akan tetapi, kehadiran Apel di sini tidak lagi menjadi sakral dan mengena dengan kehadiran daun johar di situ. Sebab, daun johar tersebut juga menjadi sesuatu ingatan tentang ayahnya.

    Selanjutnya, setting tempat di Yogyakarta kaitannya dengan puitis dan prosais membawakan ingatan saya pada artikel yang pernah ditulis Latief S. Nugraha dengan judul Yogya yang Puitis dan Yogya yang Prosais. Dalam artikel tersebut secara garis besar berbicara mengeni peran prosa dalam hal ini cerpen dengan puisi dalam membaca kota Yogya. Setidaknya dari situ, Yogya dirasa tepat untuk menjadi setting peristiwa mengingat keberadaan puitis dan prosaisnya cerpen “Barangkali” karya Suci Wulandari.

    Menjadi puitis atau prosais adalah pilihan, pun ketika memadukan keduanya. Barangkali yang terpenting tanggung jawab atas keduanya. Barangkali pula inilah mengapa judul cerpen ini Barangkali, jangan-jangan pengarang pun bimbang akan meletakan dirinya.

  • Selayang Pandang Wacana Industrialisasi Daging Vegan

    author = Agung Wicaksana

    Rabu, 29 April 2020, mantan CEO Jawa Pos Group, Azrul Ananda, mengunggah sebuah tulisan berjudul “Resolusi Pasca-Corona: Kurangi Daging” di www.happywednesday.id/. Bagi saya, tulisan Azrul tidak lain dan tidak bukan merupakan upayanya dalam menyadarkan masyarakat agar mengurangi konsumsi daging dan mengalihkannya ke daging vegan. Pada dasarnya, vegan dan vegetarian adalah dua hal berbeda, walaupun sama-sama menghindari daging hewan dalam menu makanan karena alasan lingkungan, Vegetarian masih mentoleransi beberapa produk yang dihasilkan oleh hewan seperti susu dan madu, sementara Vegan memilih untuk menghindari produk-produk itu. 

    Lebih lanjut, Azrul menuangkan kesedihannya mengenai belum adanya pemikiran serius yang memperjuangkan daging vegan ke arah industri. Nyatanya, Indonesia masih bergantung dan berharap banyak pada impor dari teknologi negara lain, bahkan kebijakan impor daging sapi sempat (mungkin masih) menjelma lahan basah bagi elit politik demi meraup sebanyak mungkin pundi-pundi. Berdasarkan tulisan Azrul pula, Azrul yang sempat singgah di sebuah negara maju ketika meniti bangku pendidikan, melihat sekaligus merasa bahwa negara yang ia singgahi itu telah menyadari potensi daging vegan, lalu perlahan mengarahkannya ke arah industri berskala besar.  

    Lahan-lahan di Indonesia marak dialihfungsikan menjadi peternakan, toko acap kali membanderol produk sayur-mayur seperti brokoli dan paprika, terjangkau tinggi dibanding olahan daging ayam. Padahal di tengah kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, banyak peneliti yang mengemukakan bahwa berbagai jenis tanaman ternyata mengandung protein. Buktinya, hewan-hewan yang dikata ‘berprotein’ itu pun memakan tanaman, misalnya ayam yang memakan jagung, sapi memakan rumput gajah. Lalu, mengapa kita tidak mengindustrialisasi daging vegan  ketimbang terus berkutat pada ayam, telur, dan sapi?

    Di Surabaya, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, saya pernah mengunjungi beberapa restoran vege. Di tiap restoran yang saya datangi itu, pada dindingnya disemati foto-foto atlet maupun tokoh dunia yang secara spesifik menjauhi konsumsi daging hewan. Sebut saja bintang basket Amerika Chris Paul, juara dunia Formula 1 Lewis Hamilton, bintang tenis Novak Djokovic, hingga sutradara kawakan macam James Cameron. Penyematan foto-foto tersebut merupakan propaganda yang cerdas. Selain ‘mengukuhkan’ gaya hidup ini sebagai resep yang diakui dan diadopsi oleh orang-orang penting, restoran-restoran ini secara tidak langsung memengaruhi pengunjung agar ikut bergaya hidup vegetarian, lebih-lebih agar berpuguh untuk mengonsumsi daging vegan agar setidaknya bisa ‘sukses’ seperti mereka.    

    Pemahaman saya terhadap kegusaran Azrul yang dituangkan dalam tulisannya, menggiring saya untuk memikirkan perihal kemungkinan daging vegan menjadi salah satu produk industri di negara ini. Satu, jika bertolak dari propaganda yang dilakukan oleh restoran-restoran vegetarian itu, memang benar, banyak atlet maupun tokoh dunia yang ber-vegan. Namun, bukankah setiap atlet terkemuka membutuhkan asupan yang lebih dari sekadar asal kenyang? Mereka tentu memerlukan suplemen, kalsium, vitamin, dan minuman berenergi yang kesemuanya itu tidaklah murah serta terkandung di alga merah, ganggang hijau, ataupun ginseng. Dua, bertolak dari logika makin banyak hewan dikonsumsi, makin sempit lahan hijau. Singkatnya, bila tanaman kelak dikonsumsi oleh manusia secara massal dan lahan-lahan ditanami sayur-mayur untuk diolah menjadi daging vegan, lantas di mana hewan-hewan dapat mencari pakan? 

    Selanjutnya, pemulihan daerah ternak menjadi lahan tanam memerlukan dana yang tidak sedikit. Jika produk vegan kemudian diindustrialisasi, sebenarnya bisa saja dilakukan walaupun dengan waktu tunggu yang cukup panjang, melingkupi pengaturan regulasi benih  tanaman olahan, limbah tanaman pasca ekstraksi, hingga aturan dagang di tingkat konstitusional. Kerjasama internasional yang tertuang dalam kesepakatan impor-ekspor juga harus diubah. Tentunya peninjauan-peninjaun tersebut cukup sulit bila dilakukan dalam waktu dekat, bahkan bisa jadi masih saja sulit bila digulirkan lima sampai sepuluh tahun ke depan. Teknologi yang berjalan di tempat pun seolah menjadi persoalan klise yang membelit Indonesia. Di saat negara-negara maju berhasil menemukan formula agar daging vegan memiliki citarasa serta tekstur yang mirip dengan daging hewan, menu yang ditawarkan restoran-restoran vege di Indonesia masih mengandalkan bahan dasar tepung atau ragi. Selebihnya, sebatas menyubtitusi daging ayam atau sapi dengan tempe atau tahu untuk sajian steak

    Sebenarnya, gaya hidup vegetarian menawarkan dampak positif dari segi kesehatan. Mengonsumsi daging vegan secara berkelanjutan juga memberi ‘kesembuhan’ bagi lingkungan. Namun, hingga detik ini, saya masih memegang teguh prinsip bila industri adalah salah satu cara terselubung untuk menyikut tradisi dan budaya. Saya memikirkan orang-orang Tionghoa ataupun Bali yang tetap rajin memanggang babi untuk bersantap malam bersama keluarga, saya memikirkan kawan-kawan Minahasa yang tidak menggantikan daging ular dan tikus hutan tatkala kerabatnya melangsungkan pesta pernikahan, maupun kawan-kawan Batak yang mengolah daging kerbau ketika sanaknya berpulang ke sisi Tuhan, atau semangkuk sayur kol daging anjing di meja makan tiap waktu makan siang.

    Industri daging vegan di Indonesia dapat amat menjanjikan dan berpeluang besar mendatangkan keuntungan, asalkan daging vegan itu bisa mengakomodasi pula citarasa berikut tekstur dari daging-daging hewan selain ayam juga sapi__ yang nyatanya masih menjadi makanan yang sukar tergantikan di beberapa daerah di Nusantara. Rasanya cukup rumit ya. Pada akhirnya, saya setuju dengan pendapat Mark Twain, “Part of the secret of success in the life is to eat what you like and let the food fight it out inside.” Gaya hidup semata pilihan.