Author: Tobma

  • Di Malam Hari Sebelum Kita Bergegas Tidur oleh Syafri Arifuddin

    author = Syafri Arifuddin

    Catatan Redaksi:
    Bantal guling bagi seorang lajang adalah kekasih paling setia. Tak pernah marah, selalu ada ketika dibutuhkan dan bisa diperlakukan layaknya apapun. Hal tersebut mungkin yang membedakan dengan pasangan hidup yang dihalalkan. Dalam puisi ini, benda mati itu nampaknya menjelma metafora kebebasan yang bertentangan dengan aturan, norma-norma yang seringkali terlalu mengikat. Kerinduan akan kebebasan itu nampaknya dirasakan kembali oleh aku lirik namun tak lagi bisa diraih sehingga menjelma kenangan semata. Hal ini karena aku lirik telah menemukan keindahan dan kenikmatan lain dalam dunia baru yang telah dijalani. Kebebasan pada akhirnya dianggap sebagai sebuah kebodohan, kesia-siaan namun senantiasa dikenang sebagai sesuatu yang nikmat, meski hanya sesaat.

     

    Di Malam Hari Sebelum
    Kita Bergegas Tidur

    Bantal guling sungguh hanyalah benda mati.
    Di dalam malam yang dingin ia hanya mampu
    kupeluk tanpa membalas dengan gerakan yang
    sama. Hanya rasa percaya yang menjaga tubuh
    dan pikiranku agar kau selalu terasa ada.
    Aku rindu—sungguh.

    Itu dulu—dulu sekali. Sekarang tak lagi kuserahkan
    tubuhku sepenuhnya. Ada aturan agama yang harus
    kupatuhi setelah ijab kabul mempertegas hak kepemilikan
    diriku. Bertahun-tahun tanpa nafkah batin dan materi
    adalah penistaan terhadap ayat-ayat tuhan yang paling
    sungguh, tapi kau tak lagi peduli dengan sabda-sabda.

    Kau di sebelahku sekarang. Melingkarkan kedua
    lenganmu tapi tak ada kehangatan lagi di dalamnya,
    kecuali ingatan-ingatan yang membuatku tersenyum
    mengingat kembali bahwa kau pulang tanpa sedikitpun
    rasa bersalah—di wajahmu.

    Selamat tidur, sayang.

    (Mamuju,2017)

     

     

    Bapak yang Pergi Tanpa Pamit
    Tak Pernah Betul-Betul Pulang

    Sudah lama ibu berubah tulang punggung
    setelah bapak lepas tangan dari beban menanggung.
    Masikah ia disebut lelaki bila ia pergi tanpa pamit
    dan kembali mengetuk pintu rumah tanpa permisi?

    Sudahlah, ia tak pernah betul-betul pulang.
    Kedatangnya hanyalah remah-remah sepah.
    Ingatan adalah penjara dan aku tak pernah
    merasa sebagai penjahat sebab ingatan apa
    yang tersisa dari lelaki yang hanya meninggalkan luka?

    Tak ada seorang pun siap menjalani hidup seperti ini
    tapi merengek tak akan melunasi urusan utang dan
    segala tagihan mustahil dibayar dengan air mata.

    Tangisan yang kau biarkan deras mengalir akan
    menghanyutkanmu dari segala tempat dalam kepala
    yang pernah kau tempati tinggal cukup lama di sana.

    (Mamuju,2017)

     

     

    Nasihat Ibu

    Lihatlah ia sejauh matamu memandang,
    jadilah seorang mata-mata agar kau tahu
    siapa saja yang datang dengan hati yang lapang
    Sebab pesulap yang paling handal adalah
    lelaki dengan banyak peran.

    Kau pantang lemah, menjadi ibu bukan
    perkara merayu seorang remaja. Bila tembok
    pertahananmu tak kukuh, kau akan dipaku
    di jari telunjuk, mengikuti segala perintah
    tanpa mampu membantah.

    Belajarlah dari ingatan masa kecil
    saat di mana semuanya harus dilalui
    tanpa pundak kepala keluarga yang
    kuat menopang.

    Bila ia tak siap menjadi nahkoda dari bahtera
    yang akan mengarungi labilnya samudera,
    maka lepaskanlah.

    Apa guna hidup berkalung emas
    jika pada akhirnya berkalang lelaki.

    (Mamuju,2017)

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Di Bangku Bus Malam oleh Remon Sulaiman

    author = Remon Sulaiman

    DI BANGKU BUS MALAM

     

    Sebuah tanda pesan membuat gemetar dada

    telepon genggamnya

    Sejenak dering memecah di udara Juli yang kering

     

    Tidakkah kau akan pulang malam ini, tualang

    Kemana lagi kau akan pergi ?

     

    Ke Jambi

    Ke Muara Batanghari

    Kukejar engkau

    Duhai, rindu yang pergi

     

    Muarabungo, 2017

     

     

    SEBUAH BUS MALAM YANG TERPAKSA BERANGKAT PAGI

    Sebuah bus malam yang terpaksa berangkat pagi

    bergegas mengantarkan pulang orang-orang dari Huluan seusai menjemput mimpi yang terhanyut ke muara Batanghari

    Namun di tikungan terakhir sebelum simpang menuju kotamu yang bergerak ragu, aku melihat seseorang menurunkan harapan yang kutitip pada kopernya yang penuh berisi dan rapat terkunci

    Cepatlah pulang

    Sebuah ucapan dingin, asing,  dan pura-pura, meluncur enggan dari sudut bibirnya sebelum menuruni tangga

    Mungkin sebagai pengganti tangis kesedihan

    Atau mungkin sebagai lambaian perpisahan

    Aku terdiam menatapnya dari balik jendela

    Di luar matahari terik

    Sementara di dalam bus ini

    Pendingin udara serupa mengantarkan tuba ke rongga dada

    Muarobungo, 2017

     

     

    BATANGHARI

     

    Tulislah sebuah puisi tentang luka di dada sungai yang terus digali

    Engkau berseru ketika melihat sebuah perahu menyongsong arus dari hulu

     

    Namun di dadaku hari kian tenggelam, kekasih

    Nun, jauh di hulu

    Kukenangkan matamu

    Sebagai sungai jernih itu

    Dengan kesedihan di dalam hati yang tak henti mereka gali

    Dan kelak tunggulah

    Keruh airmata lukanya akan tumpah

    Ke ladang-ladang

    Ke badan jalan

    Ke rusuk rumah

    Lalu menenggelamkan mimpi anak-anak

    Bersama suara sajak-sajakku yang kian serak

     

    Lupakan puisi, kekasih

    Sebab di dadaku,

    Seperti halnya sejarah

    hari tenggelam sudah

    Dan tentang luka di dada sungai ini,

    Takkan pernah kutulis lagi

     

    Muaro Bungo, 2017

     

    Catatan Redaksi:

    Puisi Remon Sulaiman membahas persoalan rantau, saat seseorang menjadi asing dan berjarak dengan kampung halaman. Pulang menjadi saat yang berat karena ia harus meninggalkan banyak hal yang dalam sekian waktu telah menjadi begitu akrab. Dalam hal ini, pulang bagi orang yang pernah merantau pada akhirnya hanya serupa singgah, sebab segala sesuatu telah berubah dan menjadi berbeda, sementara di tempat yang ditinggal senantiasa ada yang dicari. Pada akhirnya, bagi seorang kembara, perjalanan musti diteruskan kembali untuk menemukan sesuatu yang lebih berharga dari sekedar pulang.

     

    Foto karya Nick Turpin

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Depan Ranjang Ayah Saya oleh Vitra Fhill Ardy

    author = Vitra Fhill Ardy

    Catatan Redaksi:
    Saya pernah melihat bulan purnama pada dini hari dan itu menjadi salah satu pemandangan paling indah yang pernah saya lihat semasa hidup. Tapi puisi berjudul Gigil yang juga menghadirkan bulan yang sama dengan apa yang saya lihat ternyata hadir dalam suasana yang sungguh berbeda. Dari sini saya melihat bahwa bulan temaram yang indah justru menjadi gambaran yang menambah keseramaan suasana kematian. Pertanyaannya, kematian apa yang terjadi dalam puisi sederhana itu? Apakah kematian berarti juga keterpisahan. Mungkinkah kematian itu adalah keterpisahan dua sejoli yang bergandengan tangan dalam puisi itu? Jika benar, puisi ini adalah puisi “romantik-tragik” yang ditulis dengan cara yang cukup menarik, dengan penggambaran suasana yang bagi saya cukup indah.
    Setelah membaca puisi ini, saya bertanya apakah bulan yang pernah saya lihat berbeda dengan bulan dalam puisi ini. Entah.

     

    Depan Ranjang Ayah Saya

    ia lupa mengucapkan namanya
    sebab rasa sakit terlalu
    banyak menyerap kata-kata

    kedua kakinya bergetar dan
    dengkul bergemeletuk

    ingatannya mulai seperti ayah yang
    merantau tetapi lupa pulang

    udara dingin
    udara dingin

    ia ingin dipeluk sekali lagi

    2018

     

    Gigil

    ia biarkan tubuhnya menggigil
    oleh luapan angin

    halte bus sekolah pukul 3 pagi.

    ia sengaja pundaknya
    jadi sandaran perempuan itu

    kedua tangan saling menggenggam
    amarah basah dari kelopak mata.

    bulan temaram, langit pucat pasi
    kematian lebih dari puisi patah hati.

    2018

     

    Berangkat

    isi lemari itu berantakan seperti jam dinding
    tua yang berdebu

    baju-baju terserak, tas kosong minta diisi

    lengang jalan bukanlah tanda kesunyian
    untukmu
    kita mesti ingat detik itu lagi

    kau, ringkih bulan
    dan aku angin dingin yang senantiasa
    berpaling

    jangan pergi, katamu
    padahal kau bilang dadamu lapang
    dan siap menerima segala kangenku

    Jakarta, 2018

     

    Pindah Rumah

    semuanya masih milikmu, sayang.

    masa tua dan bertambahnya usia, balsem
    gosok dan kalender,

    udara panas, gorden jendela, uban, hafalan
    doa-doa

    malam dan sedih dan senangmu.

    kau bilang bakal repot tapi adakah yang
    sederhana?

    di hadapan puing-puing, semuanya masih
    tetap milikmu.

    meski jejak kaki akan selalu tertinggal di
    sana.

    2018

     

    Buat Elis

    ketika aku tahu apa itu cinta
    aku mengenalmu
    mengenal getar dan debar
    detak jantung itu
    pada hujan pertama
    yang membasahi raga kita

    maka saat kau seka kening
    dan rambut tipismu
    yang panjang,

    aku jadi ingat

    aku jadi ingat senyum
    yang kau selipkan untukku
    di pertemuan sebentar dengan
    teman-teman kita ketika dulu

    namun apa arti masa dulu, lis
    jika sekarang aku tak tahu
    di mana engkau punya suara?

    Jakarta, 2017

  • Dan Di Kamar Ini Kami Telanjang oleh Chaerus Sabry

    author = Chaerus Sabry

    Catatan Redaksi:
    Puisi Dan Di Kamar Ini Kami Telanjang mencoba menceritakan soal kemalangan hidup. Menariknya, masalalu dalam puisi ini digambarkan sebagai sesuatu yang bernyawa, entitas yang juga memiliki daya hidup. Ada baris-baris yang mengingatkan saya pada kutipan puisi Tak Sepadan karya Chairil berikut:
    “Aku kira:
    Beginilah nanti jadinya
    Kau kawin, beranak dan berbahagia
    Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
    Dikutuk-sumpahi Eros.”
    Meskipun dalam puisi ini, ada kesan paradoks mengenai siapa yang sesungguhnya berada dalam kemalangan tersebut, apakah aku atau masalalu. Tapi kesan itu segera cair ketika muncul baris-baris yang menyatakan antara yang kini dan yang akan datang adalah dua hal yang berbeda. Nyatanya, aku liriklah yang dari awal sampai akhir akan tetap menderita. Pertanyaannya adalah, mengapa bisa seperti itu? Jawabannya adalah karena yang bergerak ternyata diam, sementara yang diam ternyata bergegas. Barangkali inilah yang dinamakan ilusi, yang hadir dalam dunia yang fana ini. Bisa dikatakan, puisi ini adalah puisi yang menyoal kegelisahan hidup manusia yang berhadap-hadapan dengan kehidupan, takdir, kematian dan esok.

     

    Dan Di Kamar Ini Kami Telanjang

    aku dan masalalu
    berbaring berdampingan
    berdua. tak bercakap suatu apa

    kami tidak pernah benarbenar bersua.
    aku bertaun berjalan di sepanjang jenjang jalan kepulangan
    sementara masalalu bertahan menunggu, bagai pesakitan bersetia di suaka
    kami tidak pernah saling menyangsi, tentang kemalangan masingmasing

    dia tampak lebih tua,
    waktu berlalu terlalu lekas baginya
    sementara aku serupa dulu,
    selalu serupa batu

    jika kelak kami mati,

    masalalu akan malih jelma bulan
    yang dipuja sepasang kekasih kasmaran
    atau seorang penyair majir di tengah malam musim pengujan

    dan aku datang ke lain dunia
    jadi seorang tukang pos kesepian
    yang tak bakalan jemu mengirim surat untuknya
    lantaran rasa rindu yang membatu, kelak retas digerus waktu

    aku dan masalalu
    berbaring berdampingan
    di luar, rinai hujan seperti sunyi kubur
    dan kami telanjang, maut menunggu di balik pintu

    Indekos, 2016

     

     

    Alegori Kafe Sepi

    _k

    Kafe sepi itu adalah kecemasan
    Di manakah kita dalam kesunyian ini?
    Jendela, bangku, atau buku-buku berdebu
    Udara buruk dan cuaca tak menentu
    Mengabarkan rasa rindu yang melulu biru.
    Sementara hari beranjak pagi, dingin meninggi
    Di gigil batang pohonan, percakapan kita embun
    Yang embuh jadi puisi. Kasih, butuh lebih dari setubuh
    Untuk menyimpan bimbang dan menimbang alasan
    Agar bisa tetap utuh.
    Patung-patung mengajarkan kita arti menunggu
    Diam adalah jalan pulang
    Simpang paling ujung dari tualang
    Sebelum pada akhirnya kita tersia
    Terlupa, besok dan seterus akan sama saja.
    Tersadar, janji paling pasti yang belum sempat tersepakati,
    Adalah beradu punggung, menutup pintu,
    lalu ingatan menjelma berlaksa gagang yang menolak dipegang.
    Waktu cuma memutar tengkuknya
    Kita tahu, kenangan hanyalah ruang berbincang
    Jeda berjela-jela, lalang lalu yang tak selalu luang.
    Kafe ini, seperti mengingatkan kesetiaan yang terlupa
    ; Cinta tak lebih dari sebuah kecupan hangat di pipi
    Sudah itu, puisi mengisi hari-hari

    Cafe Semesta, 2017

     

     

    Mencium Cekam Kenang di Dirimu

    aku mencium bau gaharu
    dan ingatan yang biru dari tubuhmu
    sebiru biri, termangu ditaburi serbuk salju
    sebaru diri, tertegun dibantun lengkung langit belacu

    orang-orang memasuki lurung batu
    lurung yang mengumpar waktu
    ke dalam kedalaman matamu
    dan mata-mata tamu menyaru lubang pintu
    mengantar angin berselang ingin, menghampar angan
    ke selembar kenangan
    :kenangan yang fana
    dan suka berubah warna

    berwarna apakah masa lalu?

    sebiru bajumu yang memeluk lekuk rindu
    atau seungu tubuhku yang piatu

    harum tubuhmu, menitis lewat tetes sunyaruri,
    lalu sepi dalam diriku mencekam seperti malam di kampung lebaran
    ketika jalan kelewat bingar dan
    ingatan riuh terdengar
    seperti pawai kenalpot kampanye partai
    aku gontai, digoyang sepi dalam ramai

    kita berjalan dalam kenangan berjalan
    kenangan membatu dalam waktu membatu
    kau-aku melaju seling silang
    kau mengetuk pintu baru, aku mengutuk hari lalu
    :kesalehan dan kesalahan di tangan tahun berlalu
    kuharap bau rindu menyeruap dari dekap baju baru

    Kindang, 2016

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Dalam Kereta oleh Muhammad Lutfi

    author = Muhammad Lutfi

    Catatan Redaksi:
    Puisi dalam Kereta menceritakan pertemuan dua orang dalam sebuah perjalanan. Namun pertemuan yang indah itu hanya terjadi dalam ruang yang sempit dan sementara lalu dengan cepat berakhir. Intensitas di antara keduanya menyebabkan aku lirik melupakan segala sesuatu yang terjadi di luar mereka berdua. Segalanya menjadi tidak penting dan tidak indah sebab aku lirik sudah tercuri dan terjebak dalam keindahan yang tunggal. Selama sembilan jam dalam puisi ini, aku lirik terjebak dalam satu konstruksi dunia yakni kau dan keindahannya namun ketika kereta tiba sampai tujuan segalanya berakhir dan apa yang nyata seolah jadi ilusi belaka. Barangkali begitu juga gambaran kehidupan, segalanya berjalan cepat, tampak nyata, namun segalanya kemudian berakhir dengan perpisahan dan memunculkan tanya, akan apa yang akan terjadi selanjutnya.

    DALAM KERETA

    Untuk Malisa

    Dalam riuhnya perjalanan menuju ibukota
    Wajahmu mencuriku di satu sudut
    Yang tak sengaja kita temukan
    Sebuah sinar yang terpancar itu
    Bukanlah dari jendela
    Yang ditembus mentari
    Namun mata dengan segala dunianya

    Kereta melaju tanpa kita tahu
    Apa saja yang tertinggal di belakang
    Seperti senja, yang bergegas pergi
    Setelah sekejap mengagumkan

    Akankah cerita kita dikenang sejarah?
    Saat dunia menawarkan berbagai tragikomedinya
    Dan puisi menceritakan cintanya

    Aku jatuh cinta pada segalanya
    Pada 9 jam perjalanan itu
    Pada simpul senyum yang tak kausudahi
    Hingga malam kulupakan gelapnya
    Sampailah kita pada langkah terakhir
    Di pintu keluar.
    Bisikmu “kebaikan harus kamu lanjutkan”

     

     

    SUJUD SEORANG PELACUR

    Kaukah itu; pelacur yang sedang jatuh cinta?
    Kulihat langkahmu menuju masjid
    Dan jalanmu diiringi wirid
    Entah malam keberapa
    Waktu kau terkapar di kamar 212
    Lalu kini bersujud pada-Nya

    Aamiin-mu terdengar lembut namun tegas
    Rukukmu berat seperti mengangkat beras
    Namun aku tahu, di sela sujudmu yang lama
    Sungai mengalir dari matamu
    Mencari jalan suci pada-Nya

    Sungai-sungai yang bercerita akan getirnya hidup
    Menahan pedih perihmu
    Ditimpa kelamin-kelamin lelaki
    Yang kemudian membatu, menjelma
    Nisan atas nama: kehormatan
    Sementara tangismu bernyanyi:
    Na na na
    Ah ah ah

    Engkau yang sudah memutuskan mencintai
    Telah menyesal pada penyesalan
    Karena waktu terulang ketika menangisi duka
    Sehingga tubuhmu merapal doa
    Dan cahaya muncul dalam kelaminmu
    Terbang menjadi bintang di kelam malam

    Kaumenangis karena taka ada bahasa yang mampu menjelaskan duka
    Kaumenangis karena terlalu banyak air mata yang tertahan
    Kaumenangis karena Tuhan yang mencipta jalan

     

     

    DERITA PUISI

    Bagaimana bisa, kaumenulis
    Puisi tanpa mencintai?
    Rasa apa yang ingin
    Kautunjukkan dalam setiap kata?
    Makna apa yang kauselipkan
    Dari setiap derita?

    Aku pun heran.

    Karena kaumenulis puisi tanpa mencintai.
    Kata-katamu berputar pada
    Batu-batu hitam, keringnya kehidupan
    Dan gelapnya malam

    Aku rasa kaumulai
    Belajar membenci
    Satu demi Satu
    Kebahagiaan dan kebersamaan
    Yang pernah kausentuh
    Dan kini hancur terlibas takdir.

    Untunglah,
    Kautetap hidup
    Meski dalam kematian yang lain.
    Jika tidak,
    Dirimu tak ayal sungai kering
    Yang mendambakan rembulan

     

     

    TUHAN PUN MENANGIS

    Jalan yang merah ini
    Bukanlah dari buah arbei atau stroberi
    Melainkan hidup manusia yang berceceran
    Dan meninggalkan sejarah kepedihan

    Bunyi senapan
    Menjadi nada paling indah
    : mengantar tidur
    Hingga lupa bangun

    Bagaimana mungkin bisa diadu
    Jika kebenaran dilawankan dengan kebaikan
    Nyawa-nyawa gentayangan
    Mencari kemerdekaan

    saat Tuhan meniup laut
    terpongahlah kita pada ketinggian
    darah yang tak sempat mongering
    dibilas bersama puing-puing

    di antara kapal-kapal terdampar
    menyusup sayup nyanyian mereka
    dalam nada paling khusyuk dan airmata

    hingga kita tahu
    tsunami yang menyergap
    adalah tanda
    bahwa Tuhan pun menangis.

    Sabang, mengenang masa konflik.

     

     

    LEBARAN

    Pada hari yang begitu besar
    Aku berserah pada jarak
    Samudera yang membentang
    Bahwa doa tak kan kehilangan sayapnya
    Bahwa doa akan sampai pada pelukan paling erat

    Di pucuk paling barat
    Tempat kupijakkan kaki
    Masih terdengar suara serakmu
    Tentang cerita-cerita bahagia
    Dan jajanan manis, yang tergesa habis
    Kutahu dalam senyummu
    Ada kebahagiaan yang tak pernah selesai pada kata
    Yang tak pernah sampai pada luka

    Ibu,
    Hujan deras hari ini
    Aku tahu bukan dukamu
    Ialah doa langit pada tanah
    Yang berjuta tahun bertemu
    Tanpa bisa menyatu
    Biarlah airmatanya terurai sampai lega, sampai habis masa
    Sampai kita sama-sama tahu
    Bahwa rindu yang kita ucapkan
    Adalah jalan yang tak pernah selesai ditempuh

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Cermin Yang Tak Memantulkan Bayangan Siapa-Siapa oleh Dima Hana Mahsunah

    author = About Dima Hana Mahsunah
    Mahasiswi tingkat akhir yang sedang berjuang di medan perang bernama kenyataan. Kadangkala berubah menjadi penjual roti.

    View all posts by Dima Hana Mahsunah →

    Cermin Yang Tak Memantulkan Bayangan Siapa-Siapa

    Suatu hari aku bercermin dan tak menemukan bayangan diriku di dalamnya
    cermin itu telah menjelma menjadi sebuah pintu kayu
    yang saat kubuka menampakkan sebuah padang layu
    pohon-pohonnya penuh duri dan sungainya tak mengalirkan apapun lagi
    orang bilang padang ini tempat bunuh diri

    Esok hari aku bercermin dan masih tak kutemukan pantulan diriku
    pintu kayu itu masih ada; membuka jalan menuju tempat yang sama
    aku memutuskan untuk menanam air mataku di sana
    mereka tidak akan dapat mengisi sungai yang kering
    mereka hanya mampu membasahi tempatku duduk terasing

    Hari selanjutnya aku bercermin, sudah tak kuharapkan pantulan diriku di dalamnya
    seperti kebiasaan aku berjalan melalui pintu
    aku telah hafal aroma gersang, mengerti letak pohon berduri
    padang itu tetap sama seperti pertama kali aku melihatnya
    hanya dari tempatku kemarin duduk bernestapa
    pucuk tunas kecil berwarna hijau telah berkecambah:
    tunas yang bersemi melampaui luka

     

     

     

    Bagaimana Kita

    Bagaimana  bisa bertahan hidup bersimbah lara
    berdiri dengan kaki telanjang yang telah basah oleh luka
    tanpa perih tanpa rintih

    Bagaimana dapat tersenyum dalam siang yang terang
    sementara hati penuh lubang- sunggingkan kebahagiaan
    menari tanpa ingatan tentang hujan

    Bagaimana sanggup menahan ombak
    yang senantiasa ingin meledak dari pintu mata
    hingga dunia mendengar bahwa
    diri telah luruh tiada: menjelma hampa

    Bagaimana orang-orang sanggup menyembunyikan beban yang mereka derita?
    Bagaimana dapat terus tertawa seraya menimbun pelik dalam jiwa?
    Bagaimana engkau mampu membungkus rapat dukalara yang tiada habisnya?

    mungkin kita bisa berpura-pura
    memainkan sandiwara yang semakin tak kentara
    sementara entah berapa bagian dari diri kita
    entah berapa keping jiwa
    berapa hela dari nafas
    telah menemukan rumah barunya

     

     

     

    Pulang

    Diriku hanya sabana terbuang
    tak ada tempat untuk tumbuh bahkan ilalang
    tak ada rumah untuk sang pujangga pulang

    Aku tidak pernah ingat kampung halaman
    hanya tahu sang pujangga yang mengembara
    memakai pakaian yang terbuat dari senja
    ia tidak pernah tahu apa yang diharapkannya

    Diriku seumpama pendakian terjal
    tiada abu yang mungkin dihindari
    tiada awan yang memerangi matahari
    sekuntum edelweis tak akan senilai dengan upaya
    sedang gubuk kayu tak menarik hati sang pengembara

    Pengembara berpakaian senja berserah payah
    ia merajut sayap dari edelweis yang merekah
    kemudian terbang
    berharap tak pernah pulang

     

     

    Catatan Redaksi:

    Cermin adalah liyan, tapi sekaligus memberikan citra mengenai diri, meskipun tidak sepenuhnya menampilkan keadaan yang sebenarnya. Tapi bagaimana jika cermin itu tak lagi memantulkan apa apa? Apakah dengan tidak adanya bayangan dalam cermin maka diripun otomatis akan hilang?

    Dalam puisi ini ketidak hadiran citra diri dalam liyan ternyata bukan karena diri yang hilang melainkan yang liyan itu memang telah mati, menjadi ladang yang gersang hingga tak ada kehidupan lagi di dalamnya apalagi memfungsikan diri untuk yang lain. Ia menjadi sebuah pintu kayu.

    Berhenti di sini saya teringat film The Chronicles of Narnia: The Lion, the Witch and the Wardrobe (2005), sebuah dunia yang sudah lama beku dan menunggu datangnya ratu adil yang akan mengembalikan kehidupan indah seperti semula. Tetapi diri yang telah kehilangan citra diri sebagai akibat kematian liyan itu menimbulkan kesedihan tangis dan air mata. Dalam ruang yang mati itu pada akhirnya tangisan duka melahirkan air mata justru menjadi nyawa bagi tumbuhnya tunas muda yang melambangkan kehidupan kembali.

    Puisi ini dapat merepresentasikan dunia sosial, hubungan antar manusia, antara diri dengan yang lain, sebuah hubungan yang saling menghidupi satu sama lain. Ketika satu menjadi tak berdaya maka akan mempengaruhi eksistensi yang lain. Untuk mengembalikan semuanya seperti semula perlu sebuah pergorbanan yang lahir dari pemahaman dan kesedihan ternyata tanpa disadari akan menciptakan atau menghidupkan liyan yang sudah mati atau tidak berdaya.

    Sayangnya, puisi ini tidak memberikan lagi jawaban apakah diri yang masuk itu akan bisa keluar dari pintu kayu. kemudian pintu kayu akan berubah jadi cermin. Apakah cermin itu akan memantulkan bayangan yang kemudian citra diri akan muncul kembali. Ketidakselesaian itu yang membuat puisi ini menjadi menarik. Tapi tumbuhnya tunas yang disemikan oleh airmata benar-benar sesuatu yang tragis tapi sekaligus romantis.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    https://kibul.in/puisi/cermin-yang-tak-memantulkan-bayangan-siapa-siapa-oleh-dima-hana-mahsunah/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/03/featpuisi.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/03/featpuisi-150×150.jpgDima Hana MahsunahPuisiBagaimana Kita,Budaya,Cermin Yang Tak Memantulkan Bayangan Siapa-Siapa,Dima Hana Mahsunah,kibul,Puisi,Pulang,Sastra,Sastra Indonesia,SeniCermin Yang Tak Memantulkan Bayangan Siapa-Siapa
    Suatu hari aku bercermin dan tak menemukan bayangan diriku di dalamnya
    cermin itu telah menjelma menjadi sebuah pintu kayu
    yang saat kubuka menampakkan sebuah padang layu
    pohon-pohonnya penuh duri dan sungainya tak mengalirkan apapun lagi
    orang bilang padang ini tempat bunuh diri
    Esok hari aku bercermin dan masih tak…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Cerita Buat Su Jun Deng oleh Fitriawan Nur Indrianto

    author = Fitriawan Nur Indrianto

    Cerita Buat Su Jun Deng

    Setelah kita duduk kembali di tepi pantai
    Laut yang kita pandang menjelma sebuah jalanpanjang

    Depan ribuan masa, laksamana menatap jauh cakrawala
    memegang erat panji dinasti
    sebuah amanat dibisikkan sang kaisar ke dalam dadanya
    -taklukanlah dunia tanpa peperangan-

    Setelah sujud terakhir pada Lao Mu
    langkah perkasanya terayun tuju tangga bahtera
    bagai sebuah terompet panjang, angin gigil jadi gemuruh
    menenjang dada para awak, mencipta gelora
    laut terbelah, membentang jalanan panjang

    Depan kemudi, laksamana sibakkan jubahnya
    layar kapal membentang- jangkar dimentaskan
    berteriak juga gadis kecil tak melepaskan pandang
    Xiao xin …..zai jian….
    air mata mengalir deras di wajahnya
    dan kapal mulai meninggalkan dermaga

    sementara penjelajahan telah dimulai
    kita berdua sejenak saling memandang
    menatap ke dalam diri, mencari apa yang ada dalam dada
    darah laut yang barangkali mengalir dalam jiwa

    Zheng He, laksamana gagah berani
    matanya hitam sedalam lautan
    disematkan dalam benaknya biru harap dan cita cita
    sementara ombak panjang membentang pecah di depan tekat sekeras karang
    malam perlahan datang mengirim kesunyian
    laut sepenuhnya gulita mengirim cekam
    matanya menjelma nyala bebintangan
    memberi petunjuk arah kemana akan berlayar
    biarpun samudera raya begitu gagah berani
    kapal-kapal masih terus terusan berlayar
    menaklukkan badai mendekat ujung dunia
    membentangkan harapan sampai cakrawala berubah daratan
    biar air laut menggenang dari buritan sampai kemudi
    Laksamana masih tetap kokoh berdiri

    “Inilah daratan pertama”
    dan masih terus akan berlayar
    sampai gelora suara suara
    sampai panji panji menancap
    di ujung semenandung di ujung teluk
    di daratan panjang tempat berjajar manusia

    Seperti Zheng He, di negeri bahari- di tanah para pelaut
    kita menapak bibir pantai, memandang jauh cakrawala
    mewarisi darah laut yang mengalir dalam jiwa
    mengemudikan perahu kita sendiri- berlayar jauh
    menjelajah setiap kesunyian yang disandang dalam dada

    sepanjang lautan seluas daratan
    laksamana menenggelamkan diri pada sembah –
    mengarungi kedalaman jiwa seperti anak kecil yang mencari iba
    sebab airmatanya selalu menjelma samudera yang diarunginya sendiri

     

    (Puisi ini merupakan satu dari 100 puisi terbaik kurasi antologi puisi Gelombang Puisi Maritim yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Banten)

     

     

    Tawasul Puisi Ziarah Ulama

    Raedu Bahasa

    Dalam Hadrah Kiai
    ku susur jalan panjang
    napak tilas jejak langkah ulama
    Ziarah bukan pada batu batu nisan atau petilasan
    tapi sukma para guru:
    misbah yang memancar cahya Arasy

    Nusantara pernah bergema
    Gelimang warna yang memancar dari ayat ayat illahiyah
    Lantunan fatwa serta kitab
    yang menyimpan endapan tauhid detak nadi para wali
    para penggembala yang tak bosan menyingkap isi dada nabi
    awan yang meneteskan rintik rintik hujan yang jatuh ke bumi

    Kau susun nama demi nama dalam syairmu
    Ketika umat tengah kehilangan tempat sandaran
    Ketika api mulai membakar tungku peradaban
    mencipta kekeringan dan dahaga jiwa

    Tapi bukankah puisi seperti halnya kitab suci?
    Serupa isyarat yang hanya didengar oleh mereka yang rungu,
    dilihat oleh mereka yang buta?
    Dinikmati oleh mereka yang papa
    yang miskin dari keinginan megah dunia?

    Dan pada sajak yang terus menerus memanggil cahaya
    Aku sebar sekeranjang bunga
    Untuk takdzimmu yang menggelora
    Untuk setiap nama
    yang terukir dalam bait puisimu yang abadi

    28 November 2017

     

     

    Sebuah Pesan

    Frau

    (1)
    Kantin tua, meja, dan kartu
    masih menyimpan tanya dan rahasia
    Papan kayu, buku buku dan senyummu masih beradu
    meninggalkan jejak kenang
    Kita bocah tualang
    merekam perjalanan dalam bait bait kemashyuran
    tapi aku masih selugu dahulu
    menulis pesan panjang
    yang mencekik diri sendiri
    mengenang kembali jarak
    masa lalu yang sedemikian salah
    pengucapannya
    Ah. Aku malu
    Kita sudah sedemikian lamanya
    terpisahkan kata-kata

    (2)

    Water flows in us as our souls are filled with joy
    And tears in our own ways [1]Penggalan lirik lagu Water -Frau

    Dari arah punggung Petungkriyono
    kata kata terjun bebas
    kau bagai curuk Muncar itu
    yang kian hari kian ramai sesak
    sementara irama lagu adalah
    sepi yang terus bernyanyi

    Pada sebuah potret diri
    ku temukan dirimu terpaku
    di depan tungku di bawah tumpukan kayu
    di sebuah desa kecil yang
    Embun dan paginya menjelma puisi yang kita seduh setiap pagi

    Malam itu, dalam sebuah ruang konser
    Anak anak kecil senantiasa mengirimkan aroma getah pinus
    mencatat riwayat masa depan
    pada bait-bait kehidupan yang sunyi
    Kau atau mereka yang sedang bermain piano itu?

    Dalam puisi ini aku menulis namamu
    Melukis anak-anak yang bersenandung dalam jiwa

     

     

    Parado(k)sa Rindu

    Kerinduanku padamu
    seperti duka bantal dan selimut yang menyimpan sembilu
    juga bau keringatku-keringatmu,
    aroma mulutku-mulutmu yang semerbak melebihi kasturi
    Kerinduan abadi pada dosa-dosa
    yang membuat Adam-Hawa terpelanting dari surga

    Tak ada yang lebih ku sesalkan selain mencintaimu
    Menulis riwayat masa depan lewat isyarat duka
    menghapus ingatan luka di masa lalu
    demi rumah nyaman yang kan ditempati berdua
    Tapi kau-aku kemudian saling menikam di bawah selimut
    hingga robek segala apa yang harusnya kita jaga

    Ah..
    bibirku-bibirmu kemudian bungkam dalam sisa tenaga
    tiada lagi cinta dan kita pun berlari telanjang
    meninggalkan ranjang peraduan untuk selamanya
    Menorehkan luka abadi

    28 November 2017

     

    Hatim(u)

    Aku ingin menulis puisi di dadamu
    ketika kau tengah lelap tertidur
    sebab begitu kepayahannya dirimu
    selepas membaca tuntas kenangan
    dan keningmu masih sesekali mengernyit, melafal duka

    Bait bait puisi itu adalah perkampungan di balik sebuah bukit
    kau bisa tinggal di dalamnya menjadi anak kecil kembali
    yang berlarian mengejar kupu-kupu atau mandi cahaya matahari

    Puisi ini juga bisa menjelma kau yang duduk di cafe sore itu
    yang menghanyutkan diri dalam secangkir kopi, buku dan tawa sendiri
    sementara orang-orang terus menerus melafalkan namamu
    tapi lupa bahwa kau tengah berada di sana

    Puisi ini akan ku tulis dengan tinta hitam kesukaanmu
    tapi bagaimana aku bisa menulis puisi di dadamu
    jika kau lebih senang mematikan lampu sebelum tidurmu?

    Aku memencet-mencet tombol di tubuhmu
    yang ku kira itu saklar lampu
    tiba tiba aku gelisah sendiri
    takut kau terbangun sebelum ku selesaikan puisi ini
    Kau menggeliat
    dadamu terbelah jadi dua
    aku tertelan masuk ke dalamnya
    bersama dengan pena dan tinta
    aku sekuat tenaga berusaha untuk keluar
    namun aku tak lagi bisa

    Dari dalam dadamu yang masih terus bergejolak
    aku susah payah
    menuliskan namaku

    9 Januari 2019

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

    References

    References
    1 Penggalan lirik lagu Water -Frau

  • Catatan dari Cintamulya karya Imam Khoironi

    author = Imam Khoironi

    Catatan dari Cintamulya

    Kepada Sapardi Djoko Damono

    Sepertinya, dalam tiap kata-katamu
    ada ruh yang menggeliat,
    menyebut-nyebutkan namamu.
    Lalu jika ia berantai menjadi bait puisi,
    mulailah ia, menggemakan sebuah rasa
    yang ada dalam sanubarimu.

    Sepertinya, hanya kau, satu-satunya,
    penyihir tak bermantra.
    Sehingga awanpun tak segan untuk diam,
    saat hujan mulai menggerus badannya.
    Begitu pula kayu membisu,
    karena kesederhanaan kata cintamu.

    Titik itu, sekali lagi. Aku tak mengerti.
    Kesederhanaanmu adalah tiap-tiap yang kuselami,
    dalam memahami seluk-beluk puisi.

    Aku jatuh cinta pada puisimu,
    dengan sederhana.

    Cintamulya, 18 Maret 2019

    Wawancara

    Apakah kau punya tanah untuk ditanami jagung?
    “Tidak, aku cuma punya tanah untuk ditanami harapan”
    Apakah kau punya kandang tempat ternakmu istirahat?
    “Tidak, aku hanya punya rumah bagiku dan tikus-tikus bermain kejar-kejaran”
    Apakah kau punya perhiasan, jam tangan misalnya?
    “Tidak, aku cuma punya waktu untuk membuat perubahan,
    kelak, setelah kau berhenti bertanya
    karena harus kau tahu,
    sebenarnya kau hanya membunuh waktuku”

    Cintamulya, 2018

    Adalah Ibuku

    Bila habis duniaku
    Aku pulang pada mentari,
    yang hinggap dipematang pagi
    Disinari dengan hangat, dipeluk dengan terang

    Aku yang sudah patah dan tercela
    direbahkan pada lengkung pelangi di senja hari,
    sehabis hujan turun tadi
    Diusap oleh kasih,
    lewat telapak tangan lembutnya

    Dibisikkan kata cinta pembakar lara.
    Kehadirannya lebih dari obat untuk yang luka
    Kasihnya lebih dari salju untuk sejukkan raga
    Satu janjiku, takkan kubiarkan dunia menghempasnya
    Selemah apapun aku,
    Sehina apapun aku,
    Karena dia adalah ibuku

    2018

    Sebuah Masa

    Aku hidup di masa yang penuh suka cita
    Masa ketika rumput-rumput dan semak
    Berpesta kembang api
    Di sekitaran regu teh dan pletonan kopi,
    Yang sedang ingin beralih menjadi lada
    Namun di kampungku kakau sedang menderu
    Memaksa para pemimpin menelisik
    Kenapa para petani acuh padanya,
    Rupanya, dalam memang sakit ini
    Luka-luka itu membekas dalam jingga
    Tak ada bedanya, antara matang dan busuk
    Mungkin saja tanah ini benci kenaikan harga
    Tapi tuan dan puan pasti tau,
    Di mana rumah yang harus dihuni, dan dibela
    Dari mana kau bisa hidup
    Yang kau tanggalkan itulah yang kau cari
    Seluruh celanya, kelak

    Cintamulya, 29 Agustus 2018

    Tanahku

    tanahku kering, tanahku gersang
    pohon dan rumput senantiasa kehausan
    saban hari berteriak minta air
    sampai kulit keriput dan merah terbakar

    setitik sahara singgah di antara rindangnya rumah manusia

    daun-daun yang gugur pagi tadi
    menari bersama debu-debu dan asap kendaraan
    burung puyuh membangun kemah
    mengepakkan sayap, bernyanyian
    ayam mengorek tumpukan kering jerami
    siapa tahu belalang bersemedi dalam teduh kemarau

    sementara aku mengamati. duduk di pematang kolam ilusi
    sembari menyeka keringat. untuk kujadikan tinta. menulis puisi
    di tanah yang kering ini

    Cintamulya, 01 Oktober 2018

  • Bunga-Bunga Tak Melarang Dirinya oleh Retno Darsi Iswandari

    author = Retno Darsi Iswandari

    Bunga-Bunga Tak Melarang Dirinya

    aku mencintai kembang sepatu yang tak cemburu pada wangi melati
    dan anyelir kuning yang tak suka menyamar dalam kelopak lain
    anyelir merah muda yang menguatkan gairah anyelir putih
    dalam vas musim dingin

    aku mencintai kamboja dan krisan yang berani menghadapi kematian
    tanpa menganggap kematian lain sebagai keberuntungan
    dan teratai yang tumbuh
    dari langkah-langkah kecil kehidupan baru

    aster dicintai
    kupu-kupu yang merayakan pertapaannya di bulan September
    bunga matahari dicintai
    lebah madu sebagai kekasih abadi

    bunga-bunga tak pernah melarang dirinya untuk dicintai dan dimiliki
    barangkali mereka tahu bagaimana memerdekakan diri

     

    2016
    (Puisi ini dimuat dalam antologi bersama Wajah Ibu, Penerbit Tonggak Pustaka: 2016)

     

     

     

     

    Perjalanan Mbah Yah

    Pada pagi yang basah aku mampir di gubuknya
    Bubur hangat Mbah Yah menyelamatkanku
    dari lapar dan malasnya waktu
    Kutanya sudah berapa lama ia selamatkan orang-orang sedesanya
    Jawabnya hampir sama dengan usiaku

    Aku meraba-raba kehidupan yang dapat diusahakannya
    dari sepanci bubur setiap pagi
    Pernahkah ia tinggalkan kota ini
    Pernahkah ia bayangkan kota-kota yang lebih dingin
    Pernahkah ia angankan untuk hidup di tempat lain

    Mulutnya yang puluhan tahun menanyai pelanggan
    menjawab bahwa dunianya selebar rumah dan pasar
    Sesekali ia ke pusat kota melihat Sekaten
    Sesekali ia ke desa sebelah menonton wayang
    Namun telah ia dengar pula dari sulungnya
    betapa ada kota yang sehingar-bingar ibukota
    Sesekali ia lihat wajahnya lewat layar televisi
    Sesekali ia dengar suaranya lewat ponsel cucunya
    Sekali pun ia tak berharap menjadi bagian darinya

    Mbah Yah adalah manusia yang kerasan
    entah karena nasib atau pilihan
    Ia melangkah sebelum subuh mengukur jalan menuju pasar
    Langkah yang merekam
    betapa tanah yang dulu merah mengeras jadi hitam
    Langkah yang merekam
    betapa pohon yang berjajar hijau mengeras jadi beton
    Langkah yang merekam
    betapa sendirian kakinya dilewati bunyi-bunyi klakson
    Sepanjang jalan yang sama Mbah Yah merekam segala perbedaan
    Ia begitu paham wajah dan degub perubahan
    Namun Mbah Yah adalah manusia yang kerasan
    entah karena nasib atau pilihan

    Kupandangi putih rambutnya yang merekam zaman
    Kupandangi garis wajahnya yang menggambar kedalaman
    Sementara aku mengangankan
    perjalanan-perjalanan jauh ke negeri seberang
    Mbah Yah, manusia yang kerasan itu
    telah jauh menyeberang
    menyusuri jalan-jalan batinnya yang panjang

     

    Yogyakarta 2016
    (Puisi ini dimuat dalam antologi bersama Yogya Halaman Indonesia, Penerbit Interlude: 2016)

     

     

     

     

    Perempuan-Perempuan Yang Berkobar

    Pada Januari yang redup
    perempuan-perempuan turun ke jalanan
    mengangkat papan-papan api
    mengobarkan bara kata-kata
    hendak membakarmu yang menyulut sakit hati

    Sebagian tetap tinggal
    di rumah yang jendela-jendelanya
    mengarah ke seluruh penjuru bumi
    mereka kobarkan baranya melampaui ketukan kaki
    dunia sahut-menyahut itu tak sudi kau kepalai
    tidak kali ini, tidak pula lain kali

    Entah bagaimana hendak kau batas-batasi
    dunia yang kian berhasrat meretas dinding-dindingnya
    juga bagaimana hendak kau pisah-pisahkan
    mereka yang jendelanya berhadap-hadapan

    Namun entah pula kenapa
    kudapati dunia yang kian berkobar ini kian dingin juga
    langkah yang kian cepat ini kian terlambat saja

    Di depan jendela-jendela yang mengarah ke seluruh bumi
    kulihat wajahmu tersenyum bengis dan pasti
    sejak itu berpasang-pasang mata
    tak pernah berhenti menatapi jendela
    kata-kata berkobar kemana-mana
    menjalar dan menjalar tanpa henti
    sementara hujan yang lebat
    nampaknya kian dekat
    2017

     

    * Foto karya Amalya Suchy Mustikapurnamasari yang telah bergelar Sarjana Sastra pada tanggal 16 Februari 2016. Bersama ini segenap Tukang Redaktur Kibul.in mengucapkan “Welcome to the jungle!”

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Retno Darsi Iswandari
    Lahir di Sleman, 5 Juni 1988. Menyelesaikan kuliahnya di Program Pascasarjana Ilmu Sastra, Universitas Gadjah Mada. Puisi-puisinya dipublikasikan di sejumlah media massa dan antologi bersama, di antaranya Jejak Pelangi (2004), Atjeh Sebuah Kesaksian Penyair (2005), Negeri Terluka/ Surat Putih 3 Perempuan Penyair Indonesia (2005), Antologi Puisi Perempuan Penyair 2005 (2006), Herbarium/ Antologi Puisi Penyair 4 Kota (2007), Ibumi: Kisah-kisah dari Tanah di Bawah Pelangi (2008), Satu Kata Istimewa (2012), Pawestren/ Kumpulan Puisi Penyair Perempuan Yogya (2013), Di Pangkuan Yogya (2013), Antologi Puisi Kaum Gemini (2013), Wajah Ibu (2016), dan Yogya Halaman Indonesia (2016). Kini tinggal di Yogyakarta dan bekerja sebagai pengajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing.
  • Boyolali oleh Andrian Eksa

    author = Andrian Eksa

    Boyolali

    Boyolali adalah ibu
    Darah yang alir dalam tubuhku,
    Susu yang kusesap, dan tubuh yang kudekap
    Kini semakin menua dan aromanya tak sedap.

    Di kota ini, harapan adalah pohon-pohon
    yang ditebang, lalu dibangun kembali
    Menjadi taman berwarna-warni.
    Patung-patung didirikan mengenang yang hilang
    Jalan-jalan diberi nama mencatat segala luka
    Nisan diukiri daun dan bunga-bunga
    Tumbuh menjadi doa.

    Boyolali membesarkanku sebagaimana ibu,
    Air susunya yang amis
    dalam ingatanku selalu manis.

    Tumang

    Tumang adalah rumah pulang
    Tempat mengenang masa kecil yang kerontang
    Tempat ibu mengajariku untuk pertama kali
    Berpisah dengan ari-ari
    yang disimpan dalam kendil
    Dikubur di samping kiri pintu, saudara tuaku.

    Tumang adalah rumah makan
    Tempat nenek menyalakan tungku di dapur kenangan
    Mengulek bumbu di cobek batu:
    Lombok, bawang merah, bawang putih, dan kencur
    Ditumis hingga aromanya menusuk ingatan leluhur.

    Ulekan tempe bosok disusulkan,
    Seruas laos, selembar daun salam, gula, dan garam.
    Setelahnya irisan tahu, air, dan santan
    dimasak hingga matang.
    Nenek menyebutnya Sambel Tumpang.

    Tumang adalah rumah ibu
    Tanah yang melahirkanku.
    Tumang adalah rumah nenek
    Dapur yang membesarkanku.

    Surat untuk Ibu

    Pagimu hidup nyata,
    Malammu hidup mimpi.
    Antaranya, tak kutemui
    Percakapan kita yang nyata
    Maupun yang mimpi.

    Mengantar Nenek ke Pasar

    Mengantar nenek ke pasar
    seperti mengantarnya ke museum tua,
    Ingatan selalu diawetkan lewat tegur sapa.
    Meski selalu ada tawar-menawar
    dan tak jarang berujung pada kenihilan.

    Tak ada yang disesali
    Tak ada yang lantas sakit hati.

    Selayaknya museum tua, pasar adalah masa kecil
    yang disimpan dalam wajah renta.
    Nenek mengunjunginya satu per satu,
    seolah-olah selalu menawar waktu,
    menyambung hidup dari temu ke temu.