Boyolali
Boyolali adalah ibu
Darah yang alir dalam tubuhku,
Susu yang kusesap, dan tubuh yang kudekap
Kini semakin menua dan aromanya tak sedap.
Di kota ini, harapan adalah pohon-pohon
yang ditebang, lalu dibangun kembali
Menjadi taman berwarna-warni.
Patung-patung didirikan mengenang yang hilang
Jalan-jalan diberi nama mencatat segala luka
Nisan diukiri daun dan bunga-bunga
Tumbuh menjadi doa.
Boyolali membesarkanku sebagaimana ibu,
Air susunya yang amis
dalam ingatanku selalu manis.
Tumang
Tumang adalah rumah pulang
Tempat mengenang masa kecil yang kerontang
Tempat ibu mengajariku untuk pertama kali
Berpisah dengan ari-ari
yang disimpan dalam kendil
Dikubur di samping kiri pintu, saudara tuaku.
Tumang adalah rumah makan
Tempat nenek menyalakan tungku di dapur kenangan
Mengulek bumbu di cobek batu:
Lombok, bawang merah, bawang putih, dan kencur
Ditumis hingga aromanya menusuk ingatan leluhur.
Ulekan tempe bosok disusulkan,
Seruas laos, selembar daun salam, gula, dan garam.
Setelahnya irisan tahu, air, dan santan
dimasak hingga matang.
Nenek menyebutnya Sambel Tumpang.
Tumang adalah rumah ibu
Tanah yang melahirkanku.
Tumang adalah rumah nenek
Dapur yang membesarkanku.
Surat untuk Ibu
Pagimu hidup nyata,
Malammu hidup mimpi.
Antaranya, tak kutemui
Percakapan kita yang nyata
Maupun yang mimpi.
Mengantar Nenek ke Pasar
Mengantar nenek ke pasar
seperti mengantarnya ke museum tua,
Ingatan selalu diawetkan lewat tegur sapa.
Meski selalu ada tawar-menawar
dan tak jarang berujung pada kenihilan.
Tak ada yang disesali
Tak ada yang lantas sakit hati.
Selayaknya museum tua, pasar adalah masa kecil
yang disimpan dalam wajah renta.
Nenek mengunjunginya satu per satu,
seolah-olah selalu menawar waktu,
menyambung hidup dari temu ke temu.