Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Bunga-Bunga Tak Melarang Dirinya oleh Retno Darsi Iswandari

author = Retno Darsi Iswandari

Bunga-Bunga Tak Melarang Dirinya

aku mencintai kembang sepatu yang tak cemburu pada wangi melati
dan anyelir kuning yang tak suka menyamar dalam kelopak lain
anyelir merah muda yang menguatkan gairah anyelir putih
dalam vas musim dingin

aku mencintai kamboja dan krisan yang berani menghadapi kematian
tanpa menganggap kematian lain sebagai keberuntungan
dan teratai yang tumbuh
dari langkah-langkah kecil kehidupan baru

aster dicintai
kupu-kupu yang merayakan pertapaannya di bulan September
bunga matahari dicintai
lebah madu sebagai kekasih abadi

bunga-bunga tak pernah melarang dirinya untuk dicintai dan dimiliki
barangkali mereka tahu bagaimana memerdekakan diri

 

2016
(Puisi ini dimuat dalam antologi bersama Wajah Ibu, Penerbit Tonggak Pustaka: 2016)

 

 

 

 

Perjalanan Mbah Yah

Pada pagi yang basah aku mampir di gubuknya
Bubur hangat Mbah Yah menyelamatkanku
dari lapar dan malasnya waktu
Kutanya sudah berapa lama ia selamatkan orang-orang sedesanya
Jawabnya hampir sama dengan usiaku

Aku meraba-raba kehidupan yang dapat diusahakannya
dari sepanci bubur setiap pagi
Pernahkah ia tinggalkan kota ini
Pernahkah ia bayangkan kota-kota yang lebih dingin
Pernahkah ia angankan untuk hidup di tempat lain

Mulutnya yang puluhan tahun menanyai pelanggan
menjawab bahwa dunianya selebar rumah dan pasar
Sesekali ia ke pusat kota melihat Sekaten
Sesekali ia ke desa sebelah menonton wayang
Namun telah ia dengar pula dari sulungnya
betapa ada kota yang sehingar-bingar ibukota
Sesekali ia lihat wajahnya lewat layar televisi
Sesekali ia dengar suaranya lewat ponsel cucunya
Sekali pun ia tak berharap menjadi bagian darinya

Mbah Yah adalah manusia yang kerasan
entah karena nasib atau pilihan
Ia melangkah sebelum subuh mengukur jalan menuju pasar
Langkah yang merekam
betapa tanah yang dulu merah mengeras jadi hitam
Langkah yang merekam
betapa pohon yang berjajar hijau mengeras jadi beton
Langkah yang merekam
betapa sendirian kakinya dilewati bunyi-bunyi klakson
Sepanjang jalan yang sama Mbah Yah merekam segala perbedaan
Ia begitu paham wajah dan degub perubahan
Namun Mbah Yah adalah manusia yang kerasan
entah karena nasib atau pilihan

Kupandangi putih rambutnya yang merekam zaman
Kupandangi garis wajahnya yang menggambar kedalaman
Sementara aku mengangankan
perjalanan-perjalanan jauh ke negeri seberang
Mbah Yah, manusia yang kerasan itu
telah jauh menyeberang
menyusuri jalan-jalan batinnya yang panjang

 

Yogyakarta 2016
(Puisi ini dimuat dalam antologi bersama Yogya Halaman Indonesia, Penerbit Interlude: 2016)

 

 

 

 

Perempuan-Perempuan Yang Berkobar

Pada Januari yang redup
perempuan-perempuan turun ke jalanan
mengangkat papan-papan api
mengobarkan bara kata-kata
hendak membakarmu yang menyulut sakit hati

Sebagian tetap tinggal
di rumah yang jendela-jendelanya
mengarah ke seluruh penjuru bumi
mereka kobarkan baranya melampaui ketukan kaki
dunia sahut-menyahut itu tak sudi kau kepalai
tidak kali ini, tidak pula lain kali

Entah bagaimana hendak kau batas-batasi
dunia yang kian berhasrat meretas dinding-dindingnya
juga bagaimana hendak kau pisah-pisahkan
mereka yang jendelanya berhadap-hadapan

Namun entah pula kenapa
kudapati dunia yang kian berkobar ini kian dingin juga
langkah yang kian cepat ini kian terlambat saja

Di depan jendela-jendela yang mengarah ke seluruh bumi
kulihat wajahmu tersenyum bengis dan pasti
sejak itu berpasang-pasang mata
tak pernah berhenti menatapi jendela
kata-kata berkobar kemana-mana
menjalar dan menjalar tanpa henti
sementara hujan yang lebat
nampaknya kian dekat
2017

 

* Foto karya Amalya Suchy Mustikapurnamasari yang telah bergelar Sarjana Sastra pada tanggal 16 Februari 2016. Bersama ini segenap Tukang Redaktur Kibul.in mengucapkan “Welcome to the jungle!”

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

 

Retno Darsi Iswandari
Lahir di Sleman, 5 Juni 1988. Menyelesaikan kuliahnya di Program Pascasarjana Ilmu Sastra, Universitas Gadjah Mada. Puisi-puisinya dipublikasikan di sejumlah media massa dan antologi bersama, di antaranya Jejak Pelangi (2004), Atjeh Sebuah Kesaksian Penyair (2005), Negeri Terluka/ Surat Putih 3 Perempuan Penyair Indonesia (2005), Antologi Puisi Perempuan Penyair 2005 (2006), Herbarium/ Antologi Puisi Penyair 4 Kota (2007), Ibumi: Kisah-kisah dari Tanah di Bawah Pelangi (2008), Satu Kata Istimewa (2012), Pawestren/ Kumpulan Puisi Penyair Perempuan Yogya (2013), Di Pangkuan Yogya (2013), Antologi Puisi Kaum Gemini (2013), Wajah Ibu (2016), dan Yogya Halaman Indonesia (2016). Kini tinggal di Yogyakarta dan bekerja sebagai pengajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing.