Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Cerita Buat Su Jun Deng oleh Fitriawan Nur Indrianto

author = Fitriawan Nur Indrianto

Cerita Buat Su Jun Deng

Setelah kita duduk kembali di tepi pantai
Laut yang kita pandang menjelma sebuah jalanpanjang

Depan ribuan masa, laksamana menatap jauh cakrawala
memegang erat panji dinasti
sebuah amanat dibisikkan sang kaisar ke dalam dadanya
-taklukanlah dunia tanpa peperangan-

Setelah sujud terakhir pada Lao Mu
langkah perkasanya terayun tuju tangga bahtera
bagai sebuah terompet panjang, angin gigil jadi gemuruh
menenjang dada para awak, mencipta gelora
laut terbelah, membentang jalanan panjang

Depan kemudi, laksamana sibakkan jubahnya
layar kapal membentang- jangkar dimentaskan
berteriak juga gadis kecil tak melepaskan pandang
Xiao xin …..zai jian….
air mata mengalir deras di wajahnya
dan kapal mulai meninggalkan dermaga

sementara penjelajahan telah dimulai
kita berdua sejenak saling memandang
menatap ke dalam diri, mencari apa yang ada dalam dada
darah laut yang barangkali mengalir dalam jiwa

Zheng He, laksamana gagah berani
matanya hitam sedalam lautan
disematkan dalam benaknya biru harap dan cita cita
sementara ombak panjang membentang pecah di depan tekat sekeras karang
malam perlahan datang mengirim kesunyian
laut sepenuhnya gulita mengirim cekam
matanya menjelma nyala bebintangan
memberi petunjuk arah kemana akan berlayar
biarpun samudera raya begitu gagah berani
kapal-kapal masih terus terusan berlayar
menaklukkan badai mendekat ujung dunia
membentangkan harapan sampai cakrawala berubah daratan
biar air laut menggenang dari buritan sampai kemudi
Laksamana masih tetap kokoh berdiri

“Inilah daratan pertama”
dan masih terus akan berlayar
sampai gelora suara suara
sampai panji panji menancap
di ujung semenandung di ujung teluk
di daratan panjang tempat berjajar manusia

Seperti Zheng He, di negeri bahari- di tanah para pelaut
kita menapak bibir pantai, memandang jauh cakrawala
mewarisi darah laut yang mengalir dalam jiwa
mengemudikan perahu kita sendiri- berlayar jauh
menjelajah setiap kesunyian yang disandang dalam dada

sepanjang lautan seluas daratan
laksamana menenggelamkan diri pada sembah –
mengarungi kedalaman jiwa seperti anak kecil yang mencari iba
sebab airmatanya selalu menjelma samudera yang diarunginya sendiri

 

(Puisi ini merupakan satu dari 100 puisi terbaik kurasi antologi puisi Gelombang Puisi Maritim yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Banten)

 

 

Tawasul Puisi Ziarah Ulama

Raedu Bahasa

Dalam Hadrah Kiai
ku susur jalan panjang
napak tilas jejak langkah ulama
Ziarah bukan pada batu batu nisan atau petilasan
tapi sukma para guru:
misbah yang memancar cahya Arasy

Nusantara pernah bergema
Gelimang warna yang memancar dari ayat ayat illahiyah
Lantunan fatwa serta kitab
yang menyimpan endapan tauhid detak nadi para wali
para penggembala yang tak bosan menyingkap isi dada nabi
awan yang meneteskan rintik rintik hujan yang jatuh ke bumi

Kau susun nama demi nama dalam syairmu
Ketika umat tengah kehilangan tempat sandaran
Ketika api mulai membakar tungku peradaban
mencipta kekeringan dan dahaga jiwa

Tapi bukankah puisi seperti halnya kitab suci?
Serupa isyarat yang hanya didengar oleh mereka yang rungu,
dilihat oleh mereka yang buta?
Dinikmati oleh mereka yang papa
yang miskin dari keinginan megah dunia?

Dan pada sajak yang terus menerus memanggil cahaya
Aku sebar sekeranjang bunga
Untuk takdzimmu yang menggelora
Untuk setiap nama
yang terukir dalam bait puisimu yang abadi

28 November 2017

 

 

Sebuah Pesan

Frau

(1)
Kantin tua, meja, dan kartu
masih menyimpan tanya dan rahasia
Papan kayu, buku buku dan senyummu masih beradu
meninggalkan jejak kenang
Kita bocah tualang
merekam perjalanan dalam bait bait kemashyuran
tapi aku masih selugu dahulu
menulis pesan panjang
yang mencekik diri sendiri
mengenang kembali jarak
masa lalu yang sedemikian salah
pengucapannya
Ah. Aku malu
Kita sudah sedemikian lamanya
terpisahkan kata-kata

(2)

Water flows in us as our souls are filled with joy
And tears in our own ways [1]Penggalan lirik lagu Water -Frau

Dari arah punggung Petungkriyono
kata kata terjun bebas
kau bagai curuk Muncar itu
yang kian hari kian ramai sesak
sementara irama lagu adalah
sepi yang terus bernyanyi

Pada sebuah potret diri
ku temukan dirimu terpaku
di depan tungku di bawah tumpukan kayu
di sebuah desa kecil yang
Embun dan paginya menjelma puisi yang kita seduh setiap pagi

Malam itu, dalam sebuah ruang konser
Anak anak kecil senantiasa mengirimkan aroma getah pinus
mencatat riwayat masa depan
pada bait-bait kehidupan yang sunyi
Kau atau mereka yang sedang bermain piano itu?

Dalam puisi ini aku menulis namamu
Melukis anak-anak yang bersenandung dalam jiwa

 

 

Parado(k)sa Rindu

Kerinduanku padamu
seperti duka bantal dan selimut yang menyimpan sembilu
juga bau keringatku-keringatmu,
aroma mulutku-mulutmu yang semerbak melebihi kasturi
Kerinduan abadi pada dosa-dosa
yang membuat Adam-Hawa terpelanting dari surga

Tak ada yang lebih ku sesalkan selain mencintaimu
Menulis riwayat masa depan lewat isyarat duka
menghapus ingatan luka di masa lalu
demi rumah nyaman yang kan ditempati berdua
Tapi kau-aku kemudian saling menikam di bawah selimut
hingga robek segala apa yang harusnya kita jaga

Ah..
bibirku-bibirmu kemudian bungkam dalam sisa tenaga
tiada lagi cinta dan kita pun berlari telanjang
meninggalkan ranjang peraduan untuk selamanya
Menorehkan luka abadi

28 November 2017

 

Hatim(u)

Aku ingin menulis puisi di dadamu
ketika kau tengah lelap tertidur
sebab begitu kepayahannya dirimu
selepas membaca tuntas kenangan
dan keningmu masih sesekali mengernyit, melafal duka

Bait bait puisi itu adalah perkampungan di balik sebuah bukit
kau bisa tinggal di dalamnya menjadi anak kecil kembali
yang berlarian mengejar kupu-kupu atau mandi cahaya matahari

Puisi ini juga bisa menjelma kau yang duduk di cafe sore itu
yang menghanyutkan diri dalam secangkir kopi, buku dan tawa sendiri
sementara orang-orang terus menerus melafalkan namamu
tapi lupa bahwa kau tengah berada di sana

Puisi ini akan ku tulis dengan tinta hitam kesukaanmu
tapi bagaimana aku bisa menulis puisi di dadamu
jika kau lebih senang mematikan lampu sebelum tidurmu?

Aku memencet-mencet tombol di tubuhmu
yang ku kira itu saklar lampu
tiba tiba aku gelisah sendiri
takut kau terbangun sebelum ku selesaikan puisi ini
Kau menggeliat
dadamu terbelah jadi dua
aku tertelan masuk ke dalamnya
bersama dengan pena dan tinta
aku sekuat tenaga berusaha untuk keluar
namun aku tak lagi bisa

Dari dalam dadamu yang masih terus bergejolak
aku susah payah
menuliskan namaku

9 Januari 2019

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

References

References
1 Penggalan lirik lagu Water -Frau