Author: Tobma

  • Menerbangkan Layang-layang Sepulang dari Kantor

    author = Chikma W. Putri

    Salutations à Dieu et à votre nouveau petit ami

    Ada yang jauh lebih sembap dari tanah yang mendadak kehilangan kemarau dari tidurnya. Takut akan arah kepulangan, mata angin yang terus saja berputar, dan was-was pada telunjuk tanggal yang tidak pernah merasa paham. 

    Mencintaimu, barangkali. Perih paling sukar diakhiri.  

    Kau lelaki yang bangun jam enam pagi untuk berangkat ke dapur. Memasak bulan yang telah kau potong-potong seperti lemon—yang kau curi sewaktu mimpi malam hari. Juga santapan gelas bocor yang berisi arak beberapa tetes. Hanya untuk membasahi bibirmu yang akrab dengan cerutu. 

    Aku tidak menemui apa-apa, kecuali memar dada.

    Musim sepertinya salah ingatan. Sementara aku berdoa agar kau tidak sedang berada di luar. Langit sering marah akhir-akhir ini. Lebih baik kau berbaring dan menarik selimut cokelatmu, menertawai kebodohan yang pernah kita selami dulu. Atau ciuman pendek yang tidak pernah selesai—yang berisi umpatan rasa lipstik dan minuman fermentasimu. 

    Kita adalah kekasih yang tidak lagi bertengkar mengenai Tuhan—yang telah sama-sama gagal mengucap selamat tinggal. 

     

    Yogyakarta, 2020

    Faire l’amour

    Aku datang ke rumahmu, mengenakan kaos dan sendal spon ati yang belum sempat kuganti. Mungkin aku lupa atau malas, barangkali. Kau sibuk bekerja dengan kanvasmu, seperti pembuat kue tart yang mengoles krim warna-warni. Setelah lelah, kau menghapiriku. 

    Memberikan sedikit krim kue tart pada tanganku: warna gelap yang sama dengan warna bibirmu. Aku menorehkan warna hitam pada matamu dan menulis nama yang sama berulang kali: namaku. Dengan begitu aku dapat terjebak seperti burung yang bersangkar di matamu. 

    Kau meletakkanku pada punggungmu. Menggendong masuk ke kamarmu. Dan kamarmu yang rapi itu berubah menjadi kamar kita. Kau memutar suara laut dan mendekapku, agar matamu dapat bertemu lebih lama lagi dengan hitam dan nama-nama yang bersangkar di sana: namaku. 

    Tapi kau lupa, aku perempuan insomnia. Mungkin aku akan mengganggu tidurmu berulangkali sampai kau kesal dan tidak mau bertemu denganku lagi. Tapi aku memilih diam mendengarkan musik lautmu, suara napas dan detakmu, dan beberapa igauan kecil yang keluar dari mulutmu.

    Kau terjaga kemudian dan menemukan mataku yang sedang mengamati tidurmu. Lalu kau tersenyum: mengusap kepalaku, memegang tengkukku, dan mengunjungi bibirku.

     

    Yogyakarta, 2020

    Menerbangkan Layang-layang Sepulang dari Kantor

    Sepulang dari kantor, satu jam sebelum matahari tenggelam, aku mengunjungi warung kelontong yang juga menjual layang-layang—yang harganya sudah naik dua kali lipat dari awal. Dengan sengaja aku mengunjungi masa kecilku, mengucap salam dengan sopan, melepas pantofelku, dan berjalan membungkuk. 

    Tepat di dekat pintu, ada sebuah rak buku yang berisi majalah bobo dan dongeng pengantar tidur. Beberapa keranjang yang dipenuhi mainan kecilku: mobil-mobilan, bola plastik yang tidak lagi bundar, kelereng yang berjatuhan, ketapel, dan juga layang-layang tanpa lengan.

    Musim favoritku adalah layang-layang. Menganggapnya kapal terbang dengan ekor dan sirip yang panjang. Tapi aku tidak pernah bisa menaikkannya, hanya memegang badan layang-layang sambil berhitung mundur. Lalu kau membawanya lari hingga terbang tinggi. Dan aku mengagumimu. Laki-laki yang ahli layang-layang sekaligus tali goci.

    Mataku tak mampu menghilangkan gambaran langkah kecilmu yang syahdu. Meski sendiri, aku coba mempelajari keseimbangan arah angin dan tali goci. Barangkali aku tidak akan pernah bisa menerbangkannya sama sekali. 

    Mengingat tawamu yang menghadap langit. Bertahan untuk tidak mendengar apa pun selain suaramu. Menunggu wajahmu menoleh ke arahku membenarkan tali goci dan menerbangkan layang-layang, sekali lagi.

     

    Yogyakarta, 2020

  • Mempelajari Silsilah Api

    author = Ilham Rabbani

    Juara 1 Lomba Cipta Puisi Festival Sastra UGM 2020

    Mempelajari Silsilah Api

    : Lombok

    /1/
    Tetapi,
    setelah penaklukan itu
    bukankah catatan keturunan
    hanyalah kitab lusuh, yang jatuh,
    kita pungut dan tafsiri,
    secara sendiri-sendiri?

    /2/
    Mempelajari silsilah
    ialah menyepakati
    akar sebagai permulaan
    yang menopang batang,
    ranting, juga daun-daun kering: kita
    dan mereka yang telah terpelanting
    dari hari-hari genting.

    Di atas Tanah Mirah,
    lamat-lamat kita pun
    menyalakan api:
    tanah yang mula terapung
    diikat tali, dipasak Rinjani
    oleh Hyang Pasupati,
    menjelma pembakaran,
    menjelma pembakaran,
    menjelma pembakaran.

    Sepetak negeri
    sengit mewariskan api:
    di dada kiri Lala Seruni;
    dan kelebatan rotan
    Cupak lawan Gurantang.

    /3/
    Maka kita
    mulai memberi tanda
    pada yang terikat nama,
    pada yang terjangkau oleh mata.

    Kita memagari apa-apa
    yang terangkum oleh lengan-angan,
    membagi segenap yang teraba,
    menepis yang dirasa berbeda.

    “Ketakutan dan kehilangan
    mulai merambati
    dinding dingin jantung kita.”

    /4/
    Lantas siapakah
    yang berkehendak
    berada di pihak Cupak?

    Jalan ke namanya
    tinggallah lorong tunggal
    yang tanggal dari kemungkinan.

    Kita mulai manipulasi gerak suratan
    yang semula sembarang
    ke arah tangkas gerak Gurantang,
    ke arah jatmika si Sandubaya:
    kita berebut darah biru,
    berebut tinta emas
    pada nama leluhur teratas.

    Dakuan lalu terbit
    dari celah sepasang gunung
    seperti matahari,
    sementara cela tenggelam
    pada tiap penghabisan lautan:
    tanah api, disinar-kitari
    matahari-matahari.

    /5/
    Tetapi memang,
    senantiasa ada yang dilupa:
    masa lalu yang rentan
    disulap dan menghilang
    jadi angin dan angan-angan
    seperti Anjani,
    seperti Anjani.

    Tubuh kita: area sengketa
    lantaran nama-nama dakuan
    terpaut dari ujung rambut
    sampai ke dalam palung jantung.

    “Dan pemungkas kita
    adalah riuh,
    pemungkas kita
    adalah tuduh-menuduh:
    nyala api yang membakari diri.”

    Praya–Yogya, 2019–2020

  • Melihat Latihan Drama

    author = Anugrah Gio Pratama

    Akan Lahir Puisi Sendu dari Tanganmu

    untuk Maisyarah

    Aku tahu bahwa kau mencintai puisi
    seperti benih yang mencintai hujan
    atau seperti dunia yang mencintai kefanaan.

    Aku tahu bahwa kau ingin mahir merajut kata-kata
    agar sepimu tampak lebih puitis dari biasanya,
    agar air matamu lebih abadi daripada setangkai bunga,
    agar kau mampu mendamaikan perang
    yang telah lama berkecamuk di dalam dada.

    Aku percaya, suatu saat
    akan lahir sebuah puisi sendu dari tanganmu
    yang jauh lebih resah ketimbang
    beribu kebahagiaan yang pernah aku miliki
    selama ini.

    Kau Adalah Penyair

    untuk Noribadah

    Kau adalah penyair yang merawat luka dan cerita.
    Tangan-tanganmu serupa pena yang gemetar
    mengabadikan peradaban.

    Matamu bagai lampu jalan
    yang menyorot langkah-langkah kehidupan.

    Pikiranmu dipenuhi bunga
    dan sebagian yang lain dipenuhi duri.

    Sisa usiamu telah menjelma kata-kata
    yang tumpah bersama sunyi yang terus
    merekahkan kelopaknya ke ujung bumi.

    Kau adalah penyair yang merawat luka dan cerita.

    Melihat Latihan Drama

    untuk Putri Indah M.

    Malam itu, ada suara yang dipalsukan,
    gerak tubuh yang dipaksakan, serta raut wajah
    yang penuh dengan kebohongan.

    Aku dan kau hanya duduk saja
    dan tak tahu apakah malam itu
    adalah malam yang indah atau tidak.

    Tapi kita sama tahu bahwa yang indah adalah cinta
    dan beberapa bait puisi yang fana.

    Untuk Ainun

    Nun, aku sering melihatmu membawa buku
    dan membacanya. Tapi jujur aku sama sekali
    tak tahu bagaimana masa depanmu nanti.

    Mudahan saja masa depanmu adalah kata-kata
    yang merangkai bunga-bunga di dalam puisi.
    Mudahan saja masa depanmu adalah kalimat-kalimat indah
    yang penuh dengan arti.

    Tetaplah membaca, Nun.
    Tetaplah membaca kehidupan
    yang fana ini.

  • Masjid Gedhe Kauman oleh Latief S. Nugraha

    author = Redaksi Kibul

    Masjid Gedhe Kauman

    Sejak Ahad Wage yang silam dalam almanak
    tiang-tiang tetap tegap tegak. Tilas desak gerak
    memberkas serupa bayang-bayang
    di bawah cahaya remang
    menimpa garis yang diluruskan
    dari segala urusan.

    Kisah itu masih. Seperti enggan tersisih.

    Setelah pintu-pintu terkunci, serambi mulai sepi
    senantiasa ada yang datang kembali
    bersama gumam zikir para wali.

    Yogyakarta, 2018

     

     

    Masjid Pathok Negara

    ratusan tahun lamanya
    suara azan dan syair puji-pujian
    menjaga setiap jengkal tanah
    batas wilayah kekuasaan
    sebuah kerajaan

    menancap di kedalaman
    Wonokromo, Dongkelan,
    Mlangi, Plosokuning, Babadan
    sebagai tanda, tidak akan patah
    sulit terjamah dan mustahil musnah

    di atas mustaka gada sulur
    kersik daun-daun sawo kecik
    mengirim isyarat para leluhur
    mengingatkan untuk berijtihad
    dari maslahat atau dari muslihat

    Yogyakarta, 2018

     

     

    Masjid Auliya’ Gebang

    di dinding serambi, bersanding penanggalan
    tersurat sengkalan
    riwayat tiang tunggal ditegakkan
    bertahun-tahun jadi sejarah
    penanda, kiblat tak pernah berubah

    Yogyakarta, 2018

     

     

    Masjid Syuhada Kotabaru

    Mengapa perjuangan mesti ditandai
    kalau kelak tidak diceritakan kembali
    kepada anak cucu yang tumbuh
    di tubuh renta kota ini?
    Bukan soal mengenang kalah menang
    tapi, ada baiknya melihat ke belakang
    tak seorang pun sanggup memungkiri
    peristiwa lalu, tatkala sebuah masjid berdiri
    di kedalaman labirin Kotabaru
    setelah tahun-tahun gelap kelabu.
    Kini, hari-hari jadi hening
    kita tak bisa mengelak dan berpaling
    saat azan berkumandang demikian nyaring.

    Yogyakarta, 2018

     

     

    Langgar Kidoel

    Setelah dirobohkan silang sengketa paling keji
    Tanpa memusuhi kaudirikan lagi langgar ini
    Sunyi pawiyatan di balik ingar-bingar siang malam
    Terimpit rumah-rumah tua kampung Kauman
    Sebutir zarah di dasar sejarah sebuah nagari
    Tumbuh menuju arah sinar matahari

    Yogyakarta, 2018

     

  • Malam Penuh Engkau oleh Daviatul Umam

    author = Daviatul Umam

    Malam Penuh Engkau

    sejujurnya malam tak bisa berpaling dari serangan bayangmu
    bayang bersusun membentuk pasukan perang
    menghancurkan seluruh tempat peristirahatanku
    suara semu berjejalan menyesaki tempurung kepala
    suara-suara kerinduan ibarat santunan angin hilang deru

    malam penuh engkau
    bulan bertopeng wajahmu
    ke kamar ingatan bintang-bintang berjatuhan
    kerlap-kerlip pesona perjumpaan ratusan hari lalu

    seperti sajak yang beranak-pinak dari jejak kita
    tersimpan rapi percakapan indah sepasang tokoh drama kasih
    berujung letup perih
    yang mana kini si lelaki tengah menulis sayatan lukanya ini
    dan sang pujaan asyik menikmati kehangatan cahaya baru

    malam penuh engkau
    bising kenangan memutar balik detik-detik jelang lelap
    jangkrik menyuarakan manisnya kegelapan
    yang sesungguhnya hambar tanpa kata-katamu

    lantas apa yang masih dan selalu kutunggu?
    tak lain adalah berkah dari perjuangan menegakkan cinta
    sebagaimana hasil tetes air menindih halus angkuh batu
    setidaknya langit menurunkan sepercik kabut memabukkan
    sewaktu-waktu membuatmu pasrah dalam gelisah menyebut namaku

    Sumenep 2018

    Magrib di Gersik Putih

    embusan angin membelah helai-helai rambut
    perjalanan menyibak keindahan kotak-kotak tambak garam
    seiring angin tetap semangat bergelayut
    kita pun giat membabat udara langit temaram

    terdapat sebuah tempat layaknya pelabuhan
    laju kita tertahan
    kau mengajakku berfoto dengan guyon-guyon air
    sebagai saksi keremangan takdir

    azan sudah puluhan menit berlalu
    rupanya kita tidak buru-buru meringkus waktu
    sebelum pisah aku tidak mau begitu saja padam mega merah
    yang kerling di kening dan cair di bibirmu

    sampai sekarang aku masih meyakini
    pelukan terlebih kecupan merupakan pengikat liar kenangan
    jadi magrib yang ragib itu tentu mengekal
    setiap kerinduan berderap di sepanjang jalur sepi

    kita lanjutkan gulir roda pemberai temu
    sehabis aroma bedakmu terserap ke rongga hidungku
    kau menyerahkanku pada kesedihan dermaga
    lalu pada perahu yang memanggul resah ke mana entah

    Sumenep 2018

    Rumah Pelarian

    dari jalan yang berhulu di jantungku
    kau pergi melewati tikungan-tikungan
    yang berhasil membelokkan perasaanmu

    kau masuki sebuah rumah megah
    berpagar besi gagah
    kususuri tapakmu
    hanya mampu menatap pintu yang kemudian
    kau kunci karena mengetahui keberadaanku

    aku tak tahu rumah di depan mata
    halamannya tertanam bermacam bunga
    mengelilingi kolam ikan hias ini milik siapa
    kuharap kau tidak betah

    sekian bulan aku termangu di sini
    seperti orang gila bertahan dalam kelaparan
    tak jua kau kunjung keluar
    sekadar memberiku sedikit makanan

    mungkin maut turun sebentar lagi
    menjadi hantu adalah hal paling kuimpikan
    bebas masuk ke dalam jiwamu
    atau sebatas muncul pada cerminmu
    cermin masa muda yang setia
    menggambarkan kemurnian ini cinta

    Sumenep 2018

  • Kerinduan pada Sasmita; Puisi-puisi Ibna Asnawi

    author = Ibna Asnawi

    Idulfitri

    di tubuh subuh
    hati menjelma embun
    dikecup syawal

    Longos, 2 Juni 2019

    Sajak Kepulangan Oliper

    kita berjalan membelah halaman
    engkau memanggul puisi
    aku memikul perih

    kulihat kau silau oleh tatapan
    sedang selisih saling memukul
    di antara lepai langkah kita
    “mengapa bukan aku saja
    dihempas waktu?” rintihku

    karena wajahmu adalah cahaya, olip
    gelap sekadar ruap
    berputar sia-sia
    di atas kepalamu

    di pintu posko panggilan siang itu
    pandanganmu yang ramai
    pulang ke nyeri pikiranku

    LK, 24 Juni 2019

    Kerinduan pada Sasmita

    aku larut ke dasar waktu,
    tinggal wangimu membenih

    sasmita,
    aku umpama pagi saat
    dingin diam-diam pergi

    LK, 05 Juli 2019

    Di Hadapan Dingin

    andai dingin petang ini
    adalah pelukanmu
    maka cukup bagiku
    remang udara
    bahkan tersesat
    menyusuri kelam

    LK, 16 Juli 2019

    Bersama Dadiv

    iya, setahun sudah, dadiv
    engkau menjadi ibuku
    aku menjadi ibumu
    membiarkan debar demi debar
    merasuk dan tenggelam
    ke relung nyeri

    selanjutnya
    apa bakal dibiarkan
    getun lebih dahulu
    musim atau telaga
    biru airnya di hati kita?

    LK, 24 Juli 2019

  • Karya Unggulan Lomba Penulisan Puisi Etnika Fest 2017

    author = Redaksi Kibul

    GUMAM MALAM STASIUN PINGGIR KOTA

    Oleh Chandra Krisnawan

     

    Tatapan selapis celak dan senyum segaris gincu
    lembap di udara. Warna jelaga rel baja susut. Dingin
    menjelanak. Atis kerak sampai sumsum.
    Duri berbentuk batu-batu kerikil membentang
    seluas ruang. Deru kereta kesudahan
    meruyupkan stasiun pinggir kota.

     

    Aku terkesima di kisaran gelap. Mendengar

    seruan tanpa paras. Meletup
    40 derajat ke langit. Lalu jatuh.
    Lantas memantul. Lamban

    melembam di tanah: Singgahlah!

     

    Pijar 90 watt menjauh di puncak tiang.
    Biji mata-biji mata mengorek cahaya.
    Seorang perempuan memperbaik letak duduk

    di atas dingklik rendah.
    Meluruskan kaki pada bantalan
    bantalan nasib. Juga punggung. Baju.
    Dan rambut berbando biru muda.
    Lebu berselang.

    Lusuh kain. Dan tubuh.

     

    Malam merembang ketika kereta tangki
    menyeberang. Berat dan panjang. Sekian parut senyum
    merambang-rambang. Angin merenggang.

    Embun mengembang. Sepi merungkup.

    Hari rampung.

     

    Lagi. Dan berulang kali. Aku termangu.

    Seruan sonder rupa

    menyapu ruang seluas kerling dengan

    jaring leksem yang selalu sama. Tapi getir.

    Lingsir di dada. Tenda dan dinding

    bergetar: Berakhirlah!

    Surabaya, Maret-April 2017

     

    Chandra Krisnawan, lahir 01 November 1983. Alumnus Sastra Indonesia Unesa. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Pernah bekerja sebagai wartawan/penulis lepas di sebuah media online yang turun cetak dua minggu sekali. Saat ini bekerja di sebuah perusahaan logistik yang ada di Surabaya.

     

     

    ANAAR GULLY[1]Bahasa Hindi yang berarti “Gang Buah Delima”

    Oleh Andre Wijaya

    –India Utara, Juni 1947

    Malam sepakat membangun kebohongan ketika lagu-lagu

    dinyanyikan dari ibu masa lalu dan musim-musim serta cuaca

    menjelma perempuan yang butuh pelukan

    suatu kali, ruh kepergian berpulang di atas charpoi[2]Tempat tidur dari tikar ini

    adalah kesedihan angsa-angsa kehilangan telur

    dari gerimis di punggung tanganmu, tumpah

    menjadi hujan di kedalaman lekung mataku

    ayah, Anaar Gully adalah kau yang sakit pinggang

    menumbuhkan banyak semak di dadaku

    dan kita bernyanyi ketika menatapi cecak di dinding

    dari atap langit yang sedang sulit

    tatapanmu luas malam, sebuah alkisah dari rahasia mataku

    kepada pagi dan langit awal bulan

    aku mengunjungi dada ibu dari air mata yang terbakar

    janda yang lepas dari kota pada sebuah dermaga

    ibu yang menikahi paus-paus di kedalaman laut biru

    di sungai panjang kita mencari muka sendiri

    sepi ikan-ikan, tubuhmu yang hanyut

    dari batang pisang di selokan panjang

    anak-anak belajar merangkak keluar kandungan

    dari perempuan yang mengalirkan air mani ke dalam rahimnya

    di antara serat rambut, doa, dan zikir yang menggantung

    rumah kita selalu malam, lilin membakar habis dirinya sendiri

    mengekalkan demam yang sulit susut dari panas hari

    mengirim gemuruhmenjelma petir

    membunuhi anak dan perempuan dari kabar malapetaka

    ketika tubuh kita air mata yang selalu basah

    tubuhmu rumah ditinggal sepi

    orang-orang bergegas dari sisa demam digemetar bibirmu

    tetapi ciuman seperti menyimpan lemari dingin

    dan korek api membakar almari es[3]Judul puisi dari Made Wianta, seorang pelukis dan penyair kelahiran Denpasar

    dadamu mengisap daun eukaliptus dan surat-surat kehilangan banyak kabar

    dari hitam matamu lebih pekat ketika wajah kita sekeras kayu

    menuliskan mendung, dari pohon pisang yang tumbang di belakang rumah

    di antara pura, musala, dan toko-toko menjual sitar[4]Alat musik petik, banyak digunakan dalam musik klasik India atau tabla[5]Alat musik perkusi yang populer, digunakan dalam musik klasik India

    kita serakan kaleng-kaleng made in Pakistan dan India yang berpisah

    membentang jarak dari kegugupan paspor masa lalu

    suatu kali India tumbuh di antara kota yang kemarau

    menggotong tubuh sendiri dari nasib lapar penjual kayu bakar

    dinding tembok hanyalah kerut keningmu menyimpan getar stasiun kereta

    ketika di seberang, gadis-gadis kurus mandi di tepi sungai

    menunggu nyanyian burung-burung elang dan gerbong

    memberangkatkan jerit perempuan seperti lelaki kehilangan syahwat

    mengolesi tubuh dari penyakit serta cuaca buruk

    aku siaran radio milik ayah menyimpan semur tua, iklan pembesar

    menyusun nelangsa dari serakan putus asa disilau matamu

    maka suatu hari, orang-orang berhenti melahirkan banyak bayi

    dan kematian berhenti dari tidur yang tersisa pada rambutku

    seperti bahasa burung, menyiapkan selimut dan gigil tubuh

    di antara mayat-mayat yang terbakar pada sisa air mata

    dan tubuhmu, meninggali India yang tak lagi tumbuh di dadaku

    Yogyakarta, 9 Mei 2017

    Catatan: Terinspirasi dari novel terjemahan A Beautiful Lie—Dusta yang Indah karya Irfan Master tentang pemisahan India

     

    Andre Wijaya. Lahir di Binjai, 26 Oktober 1997. Merupakan mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada. Tergabung di sanggar Lincak FIB UGM. Menulis puisi. Karyanya termuat di antologi bersama, salah satunya “Rumahku Jalan-jalan Macet (2016).

     

     

    Sungguh Begitu Dekat Tempat untuk Berdoa

    Oleh Jusiman Dessirua

     

    /1/

    Kita tak pernah lihai mengangkat kepala

    Lalu membiarkan fikiran jatuh ke bebayang yang mengalir deras di punggung kita

    Karena sungguh, begitu dekat tempat untuk berdoa

    Inti laut bukan pada pusarnya yang telentang, tetapi tepi.

    di deru-deru sungai, di urat-urat masa lalu yang gusar dan tak kunjung kembali

     

     

    /2/

    yang terpenting ialah ketabahan menerimamu

    di palung terdalam dadaku, aku menimang-nimang pesan dan kesan

    Mengejanya, menelitinya satu persatu diantara langit, dan angin

    mendekapnya, mendekam diantara dingin dan ingin

    menanti, hingga pada akhirnya di punggung musim kita mengubur diri.

     

    Selasa 25 april 2017

     

    Jusiman Dessirua, lahir di sebuah kampung kecil bernama kajang, kabupaten  Bulukumba, studi strata satu di Universitas Negeri Makassar. Aktif dalam lembaga kemahasiswaan Bestra. Suka berlama lama dengan kopi dan beberapa buku. Karya-karyanya sering terbit di media seperti Fajar, Go cakrawala, Nusantaranews.co, MakassarCerdas.com dan beberapa event sastra

     

    *Foto oleh Markku Levula

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    References

    References
    1 Bahasa Hindi yang berarti “Gang Buah Delima”
    2 Tempat tidur dari tikar
    3 Judul puisi dari Made Wianta, seorang pelukis dan penyair kelahiran Denpasar
    4 Alat musik petik, banyak digunakan dalam musik klasik India
    5 Alat musik perkusi yang populer, digunakan dalam musik klasik India

  • Kampung Halaman, karya AF. Qomarudin

    author = AF. Qomarudin

    Kampung Halaman

    Melihat sawah berundak itu
    Seperti aku kembali menatap kampung halaman
    Dimana ia membusung di dalam kepala
    Mengenai rumah, capung, bola, dan layang-layang
    Yang tersangkut di ingatan

    Di gubuk, aku mendengar gurindam
    Dilantunkan oleh angin dengan hikmat
    Seperti gurindam yang ditembangkan seorang kakek
    Untuk memulangkan anak cucu

    Di gubuk, di atas sawah berundak
    Aku melihat matahari yang sama
    Dengan matahari di kampung halaman

    Rembang, 08 Desember 2018

    Menunaikan Pulang

    Aku sudah terduduk di kursi
    Ketika malam mengemasi dirinya sendiri
    Sebuah botol memerangkap apa saja yang tertinggal
    Termasuk puisi yang belum sempat kutulis
    Juga jalan untukku pulang

    Aku pura-pura betah duduk di kursi depan rumah
    Sekedar menunggu tukang pos membawakan surat untukku
    Seperti yang pernah kuminta pada ayah
    “aku ingin rumah kita di masukkan dalam sebuah surat”
    Rindu akan bau tanah kelahiran
    Yang basah, begitu tabah
    Aku; seperti rumput yang menunduk menahan beban kerinduan

    Di meja. Depan tempatku duduk
    Aku menanam doa pada sebuah vas bunga
    Diam-diam ventilasi yang menghela nafas mengamini
    Pulang adalah kerinduan yang harus ditunaikan

    Rembang, 09 Desember 2018

    Laut

    Ada kesedihan di matamu
    Air mata menganak sungai
    Bermuara dimanakah gerangan?
    Pada laut yang menelan segala kesedihan.
    Katamu suatu waktu.

    Tentang laut dan kesedihan yang kau sebut itu
    Aku adalah lautan di mana kesedihanmu bermuara
    Menampung segala air mata

    Tetapi sebelum semua itu kukatakan
    Ada yang diambil dari lautku
    Dibuatnya menjadi garam
    Untuk membumbui kehidupan

    2018

  • Kalau pun ada kuncup yang tak mekar oleh Sukandar

    author = Sukandar

    Kalau pun ada kuncup yang tak mekar
    : murniwangi

    Kalau pun ada kuncup yang tak mekar, itu sebab luka cuaca,
    gegar musim duhai jelita. Kelak ia akan bergegas datang lagi
    tanpa gusar mengantar ruh-ruh yang tanggal karenanya

    Ingatlah jelita, tak ada rindu yang terlantar, ia pun serupa
    kuncup bunga yang akan senatiasa dikecup musim, menjadi
    yang semestinya

     

    Yk, 2007

     

     

     

    Kebun dan Peraduan Kita
    : Sriheni

    Kebun bunga, itu yang akan kita punya sebelum kulkas, meja, atau rak-rak juga taplak aneka warna. Kita yang mesti siapkan semua: olah tanah, pupuk dari kotoran satwa atau pun ramuan daun-daun tua untuk daur kebun kita.

    Sepanjang siang kita mesti berkeringat dan tak boleh sambat, semua mesti kita semai dan tanam kembali untuk kebun kita. Dan ketika malam, kita tak boleh lagi mengintip melati yang sumringah dijamah cahaya bulan, tapi kita sendiri  yang akan menjadikan ia iri saat cahaya dan wangi tak lagi berlainan di peraduan kita.

     

    Yk, 2007

     

     

     

    Katamu

    Katamu,
    kadang-kadang hati memang mesti seperti kolam, tak bisa ditusuk semisal oleh duri atau belati, malahan membawanya kembali ke tepian atau menenggelamkan. Di bawah, ikan-ikan riang mendapatkan makanan atau setidaknya kawan baru yang mengasyikkan.

    Kadang-kadang hati mesti seperti duri, yang bisa menusuk, semisal bisul yang menyembul. Meski timbul sakit dan bau, tapi leganya berkepanjangan bukan?

    Ah, kadang-kadang hati memang seperti sedang bisulan, tak nyaman dan serasa ingin kuggencet bagian matanya biar pecah, muncrat, karena tak henti-henti ia memelototi.

     

    Yk, 2008

     

     

     

    Sajak pulang ke rumah

    Di secuil pelataran rumah, bersyukur masih ada satu dua
    kuncup melati, yang memapah rindu pada kampung sawah
    dongeng Lelepah juga Wewe Gombel di pinggiran kali

    sedang kunang-kunang, belalang kayu, mengantar
    ke halaman kenangan masa bocah, berlari terengah
    menjemput kemenangan di bawah bundar purnama:
    betengan, jamuran dan dingklik oglak aglik
    menjadi taman sepanjang malam

    Pulang ke rumah, duduk di beranda memandang lalu
    lalang kenangan, sejenak tetirah

    setelah haru biru jalanan reklame, ramai mesin
    meninggalkan bising dan gaduh, wajah-wajah haus
    dan cemas, juga segepok makian yang sesekali tertahan

    Ah, pulang ke rumah
    Pulang ke kelopak matamu
    Rebah di pangkuan senyum rindumu

     

    Yk, 2012

     

     

     

    Doa di telapak tanganku

    Pagar bambu, perigi batu, sederet pohon waru.
    Guguran karuk si bunga jambu, tampak telapak kaki
    sisa embun di rumputan. Bapak dan ibu sebelum subuh
    sudah ke pasar, meninggalkan doa, memanggul
    panenan kebun sepetak

    Di daun pintu, ada goresan paku dan kuku,
    tergambar tokoh wayang, Bambang Wisanggeni.
    Aku masih ingat itu, dengan kardus sisa rokok orang mantu,
    aku meniru. Berkali-kali dan selalu tak mampu

    ‘Bambang Wisanggeni, risang pandawa putra Arjuna,
    penantang para dewa itu, bahasanya satu: keberanian.’
    Demikian ujar simbah kepadaku.

    Kini Wisanggeni, goresan di daun pintu itu telah lapuk
    dimakan waktu. Juga perigi batu, guguran bunga jambu
    dan deretan pohon waru. Namun, doa sebelum subuh itu,
    tapaknya nampak jelas di telapak tanganku.

     

    Yk, 2015

     

     

     

    Senandika

    Jangan terlalu berapi-api,
    nanti malah terbakar diri sendiri
    Tak perlu terus bersepi-sepi,
    biar tak mati ditelan angan-angan

    Juga jangan terus-terusan merasa gagah,
    tegak berdiri memampang wajah di sana-sini
    Tekuklah lututmu, rendahkan wajahmu
    serata tanah, belajarlah pada rumput teki

    Jangan terlalu bergantung pada di luar diri,
    asah dan asuhlah nyali agar berani
    berdiri di atas kaki sendiri

    Tempuhlah hidupmu dengan laku mesu budi
    Teruslah berjalan dengan nyanyian puja-puji
    dan ampunan kepada pengatur matahari
    dan rembulan, tanpa henti

     

    Yk, 2016

     

     

     

    Dari Ruang Abimanyu
    : untuk istriku

    Serbuan jarum suntik yang menembus lembut
    kulitmu bukanlah kisah ribuan anak panah
    yang menghunjam di tubuh Abimanyu. Bukan!
    Abimanyu, engkau tahu, satria itu telah mendapatkan
    sumpahnya di kurusetra. Abimanyu berdusta,
    mengaku perjaka pada Utari.

    Serbuan jarum suntik yang datang kepadamu adalah
    peneguh hati seorang ibu: jangankan ribuan panah,
    seluruh senjata yang ada di muka bumi dikerocokkan,
    ia tetaplah ibu, yang  tegak karena cinta, kokoh
    memangku segala dukalara.

    Lalu, kau pun bertanya tentang ketakutan,
    Kapan ia datang kepada seorang Ibu?

    Ketakutan hanya datang ketika kita, anak-anaknya
    mulai meninggikan suara dan kepala di hadapannya,
    di sanalah rasa takut lahir sebagai air mata ibu
    yang menjelma telaga nirmala dan sendang sumala

    Di sini, dari ruang Abimanyu, kita pun berangkat
    ke ruang Kunthi, untuk kembali meniti, mengenali
    laku Indradi,  Dewi Sri, mbok Sinem, mak Darmi,
    biyung Sukemi, dan tentu, ibu kita sendiri.

     

    Yk, 2016

     

     

     

    Dendam Aswatama

    Hari ke sembilan belas di Kurukasetra
    Selesai sudah Bharatayuda.

    Tapi tidak bagi Aswatama, putra kinasih resi Durna
    Dadanya membara, penuh dendam. Teringat ia
    Akan jasad ayahdanda, juga para junjungan Korawa

    Di pucuk ubun-ubun terbitlah segala dendam
    Memenuhi langit pikirannya.

    Duduk bersila, mencoba melawan segenap dendam
    Bermenung  ia di atas batu hitam, batinnya belum juga
    bisa  terpejam. Matanya terus menyala dibakar resah
    sedang senja perlahan merapat di halaman.

    Sepoi angin, kelebat kelelawar
    dan gelap mulai rimbun. Pecahlah suara

    Anakku,
    sudahilah perang mulai hari ini, bapakmu ini sudah
    kenyang akan darah, muslihat dan segenap dusta-dusta
    yang menjalar dari abad ke abad, dari raja ke raja, dari dusun
    ke kampung-kampung bahkan dari rumah ibumu sendiri.
    Percayalah, perang hanyalah  api pada seikat blarak.
    ingatlah, perang hanyalah api pada seikat daun kelapa kering,
    segalanya dengan cepat  kembali pada gelap.

    Malam merapat di pelataran,
    turun dari cungkup-cungkup,
    melepas angin basah.

    Sejenak Sang Resi menata kain di pundaknya,

    Anakku,
    adapun tentang manusia, adalah ketika keberanian berayun
    dengan ketakutan. Manusia berperang di antaranya,
    merumat tiap benturan dan ayunan. Ke mana dia akan
    memihak. Ke mana dia mesti bertindak.  Engkau mesti berani,
    tapi mesti juga gemetar dalam ketakutan.

    Anakku,
    Menjadi manusia adalah menitis dalam gerimis.
    Bergerak bak hujan, dan terkadang harus bergemuruh
    menjadi  banjir bandang.

    Rumput di pelataran mulai basah,
    beranjak timbul tenggelam.

    Aswatama teguh, kukuh duduk di hadapan. Air mengalir,
    menenggelamkan sebagian kakinya.  Hujan menderas,
    air bergerak mengitari tubuh sang resi.  Memusar .
    Durna hilang,  Aswatama bangun dari pejamnya.

    Terdiam.

     

    Yk, 2013-2016

     

    * Foto karya Amalya Suchy Mustikapurnamasari.

     

    Catatan Redaksi:

    Puisi-puisi Sukandar sepenuhnya bercerita mengenai hidup dan perjuangan menjalaninya. Dengan mengambil beberapa beberapa cerita wayang, unsur Jawa dan filosofi hidup terasa kental dalam puisi-puisi ini. Salah satu yang kentara adalah ajaran mengenai keseimbangan. Kehidupan harus dijalani dengan penuh semangat dan keberanian. Meskipun begitu, menjalani kehidupan bukanlah dengan cara yang membabi buta namun selalu berada dalam ketegangan antara baik buruk, suka duka, tinggi rendah: yang pada intinya untuk selalu tidak terjebak pada “kahanan” maupun “keakuan”. Dengan demikian maka akan tercipta kesadaran diri yang akan membebaskan manusia dari kehidupan itu sendiri: menjadikan manusia sepenuhnya menjadi manusia.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Sukandar
    adalah alumus Fakultas Kehutanan UGM. Lahir di Ngawi, 1 Agustus 1980. Saat ini mengelola penerbit Interlude, salah satu penerbitan buku indie di Yogyakarta. Aktif dalam komunitas Studio Pertunjukan Sastra (SPS) yang menyelenggarakan pertemuan sastra bulanan di Taman Budaya Yogyakarta. Puisinya terdapat dalam antologi: Herbarium, Penyair Muda 4 Kota, 142 Penyair Menuju Bulan, Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya.
  • Jalan Menurun; Puisi-puisi Dedy Purwono

    author = Dedy Purwono