Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Chikma W. Putri
Ada yang jauh lebih sembap dari tanah yang mendadak kehilangan kemarau dari tidurnya. Takut akan arah kepulangan, mata angin yang terus saja berputar, dan was-was pada telunjuk tanggal yang tidak pernah merasa paham.
Mencintaimu, barangkali. Perih paling sukar diakhiri.
Kau lelaki yang bangun jam enam pagi untuk berangkat ke dapur. Memasak bulan yang telah kau potong-potong seperti lemon—yang kau curi sewaktu mimpi malam hari. Juga santapan gelas bocor yang berisi arak beberapa tetes. Hanya untuk membasahi bibirmu yang akrab dengan cerutu.
Aku tidak menemui apa-apa, kecuali memar dada.
Musim sepertinya salah ingatan. Sementara aku berdoa agar kau tidak sedang berada di luar. Langit sering marah akhir-akhir ini. Lebih baik kau berbaring dan menarik selimut cokelatmu, menertawai kebodohan yang pernah kita selami dulu. Atau ciuman pendek yang tidak pernah selesai—yang berisi umpatan rasa lipstik dan minuman fermentasimu.
Kita adalah kekasih yang tidak lagi bertengkar mengenai Tuhan—yang telah sama-sama gagal mengucap selamat tinggal.
Yogyakarta, 2020
Aku datang ke rumahmu, mengenakan kaos dan sendal spon ati yang belum sempat kuganti. Mungkin aku lupa atau malas, barangkali. Kau sibuk bekerja dengan kanvasmu, seperti pembuat kue tart yang mengoles krim warna-warni. Setelah lelah, kau menghapiriku.
Memberikan sedikit krim kue tart pada tanganku: warna gelap yang sama dengan warna bibirmu. Aku menorehkan warna hitam pada matamu dan menulis nama yang sama berulang kali: namaku. Dengan begitu aku dapat terjebak seperti burung yang bersangkar di matamu.
Kau meletakkanku pada punggungmu. Menggendong masuk ke kamarmu. Dan kamarmu yang rapi itu berubah menjadi kamar kita. Kau memutar suara laut dan mendekapku, agar matamu dapat bertemu lebih lama lagi dengan hitam dan nama-nama yang bersangkar di sana: namaku.
Tapi kau lupa, aku perempuan insomnia. Mungkin aku akan mengganggu tidurmu berulangkali sampai kau kesal dan tidak mau bertemu denganku lagi. Tapi aku memilih diam mendengarkan musik lautmu, suara napas dan detakmu, dan beberapa igauan kecil yang keluar dari mulutmu.
Kau terjaga kemudian dan menemukan mataku yang sedang mengamati tidurmu. Lalu kau tersenyum: mengusap kepalaku, memegang tengkukku, dan mengunjungi bibirku.
Yogyakarta, 2020
Sepulang dari kantor, satu jam sebelum matahari tenggelam, aku mengunjungi warung kelontong yang juga menjual layang-layang—yang harganya sudah naik dua kali lipat dari awal. Dengan sengaja aku mengunjungi masa kecilku, mengucap salam dengan sopan, melepas pantofelku, dan berjalan membungkuk.
Tepat di dekat pintu, ada sebuah rak buku yang berisi majalah bobo dan dongeng pengantar tidur. Beberapa keranjang yang dipenuhi mainan kecilku: mobil-mobilan, bola plastik yang tidak lagi bundar, kelereng yang berjatuhan, ketapel, dan juga layang-layang tanpa lengan.
Musim favoritku adalah layang-layang. Menganggapnya kapal terbang dengan ekor dan sirip yang panjang. Tapi aku tidak pernah bisa menaikkannya, hanya memegang badan layang-layang sambil berhitung mundur. Lalu kau membawanya lari hingga terbang tinggi. Dan aku mengagumimu. Laki-laki yang ahli layang-layang sekaligus tali goci.
Mataku tak mampu menghilangkan gambaran langkah kecilmu yang syahdu. Meski sendiri, aku coba mempelajari keseimbangan arah angin dan tali goci. Barangkali aku tidak akan pernah bisa menerbangkannya sama sekali.
Mengingat tawamu yang menghadap langit. Bertahan untuk tidak mendengar apa pun selain suaramu. Menunggu wajahmu menoleh ke arahku membenarkan tali goci dan menerbangkan layang-layang, sekali lagi.
Yogyakarta, 2020