Author: kibulin

  • Puisi-puisi John Milton

    author =

    Tentang Penemu Bubuk Mesiu

    Tetua yang buta memuji putra Yapetus,
    Yang membawa api surgawi dari poros matahari;
    Bagiku ia orang lebih hebat, seperti dipercaya, yang telah mencuri
    Senjata mengerikan dan trisula halilintar dari Jupiter.

    Tentang “Gunpowder Plot”

    Ketika baru-baru ini, kauberanikan rencana jahat paling buruk,
    Kepada raja dan para bangsawan Inggris, o Fawkes yang ingkar;
    Tertipukah aku? Atau kau ingin terlihat dari bagian yang murah hati
    Dan ingin merencanakan kejahatan dengan kerahiman yang melukai?
    Tentu saja ke atrium-atrium surga yang tinggi akan kaukirim mereka,
    Dengan kereta berbelerang yang roda-rodanya laju dan bernyala-nyala.
    Sebagaimana pemilik kepala yang tak terjamah para Parca bengis itu
    Berangkat ke surga dari tepi sungai Yordan dalam putaran angin.

    Kisah tentang Buruh Tani dan Majikan

    Setiap tahun petani memetik apel-apel terlezat dari pohonnya,
    Dan apel-apel terpetik ia persembahkan kepada majikan di kota:
    Takjub akan buah dengan kelezatan tak terperi ini, si majikan
    Memindahkan pohon tersebut ke petak tanah pribadinya.
    Sejauh ini, pohon itu tetap berbuah, tetapi lama-lama layu,
    Si pindahan pun terbiasa terus-menerus menggersang sendiri.
    Akhirnya jelaslah bagi si majikan, kegembiraan itu hampa harap,
    Dengan lekas ia timpakan serapah atas laku terkutuknya sendiri.
    Dan tegasnya, “Duhai, alangkah lebih baik menerima pemberian
    Sang petani (sekalipun sedikit) dengan jiwa yang penuh syukur!
    Tak dapat kukekang ketamakan dan kerongkongan rakusku:
    Sekarang lenyaplah dariku buah dan pohonnya sekaligus.”

    “In Eandem”

    James mengolok-olok api penyucian jiwa,
    Tanpanya rumah surgawi tidak terjangkau.
    Di sini monster tiga mahkota Latium menggeram
    Dan ngeri yang mengancam menggerakkan sepuluh tanduknya.
    Britannus, tak mungkin tak terbalas, katanya, kauhina kesucianku
    Engkau akan memperoleh hukuman atas penistaan agama.
    Dan jika pernah kaumasuki benteng-benteng berbintang,
    Perjalanan, sedihnya, tak ‘kan terjadi kecuali lewat kobaran api.
    O betapa engkau bermadah dekat kebenaran yang mematikan
    Ketika kata-kata hampa dengan susah payah menggenap sendiri.
    Demikianlah tak lama lagi dari api dunia Tartarus berputar ke atas
    Arwah yang terbakar naik ke kawasan surgawi.

    “In Eandem”

    Roma yang fasik telah menyumpahi pria ini dengan kutukan-kutukannya
    Dan menghukumnya dengan sungai Styx dan teluk Taenarum.
    Kini, gilirannya memanggul si pria untuk dilambungkan ke bintang-bintang
    Dan mengharapkan si pria membubung menuju para dewa surgawi.

    Biodata:
    John Milton (1608-1674) adalah penyair Inggris yang terkenal berkat puisi epik Paradise Lost. Selain dalam bahasa Inggris, ia juga menulis dalam bahasa Italia, Yunani dan Latin. Lima puisi di atas diterjemahkan Mario F. Lawi dari versi Latin puisi-puisi Milton yang ada dalam buku Milton: Complete Shorter Poems (disunting oleh John Carey).

    Pendapat Anda:

  • Puisi-Puisi John Keats

    author = Rini Febriani Hauri

    KETIKA AKU KETAKUTAN

    Ketika aku ketakutan, mungkin aku  akan berhenti

    Sebelum penaku memungut otakku yang penuh,

    Sebelum buku-buku  bertumpuk tinggi dengan khasnya

    Peganglah seperti menyimpan gandum yang matang di butirnya

    Ketika aku melihat  wajah bintang malam itu,

    tanda mendung yang besar dari asmara yang tinggi,

    Dan kupikir, mungkin aku  tidak pernah hidup untuk dilacak

    Bayangan mereka, dengan tangan ajaib yang kebetulan;

    Dan saat aku merasa, makhluk yang adil dalam satu jam,

    aku merasa tidak akan pernah melihatmu lagi,

    Jangan pernah menikmati kekuatan yang menakutkan

    Cinta tidak bercela – lalu di pantai

    Dari dunia yang luas aku berdiri sendiri, dan berpikir

    cinta dan ketenaran sampai ketiadaan memang sudah tenggelam.

    KAMU BILANG KAMU CINTA

    /1/

    Kamu bilang kamu cinta; tetapi dengan suara

    Lebih cepat dari seorang biarawati, yang bernyanyi

    pada kebaktian malam yang lembut untuk dirinya sendiri

    Sementara bunyi genta lonceng berdentang

    Oh, cintai aku dengan sungguh-sungguh!

    /2/

    Kamu bilang kamu cinta; tetapi sambil tersenyum

    Dingin seperti matahari terbit di bulan September,

    Saat kamu  adalah biarawati di Saint Cupid,

    Dan menjaga hari-hari minggumu dari bara api

    Oh, cintai aku dengan sungguh-sungguh!

    /3/

    Kamu bilang kamu cinta; tetapi kemudian bibirmu

    diwarnai karang yang  tidak mengajarkan kebahagiaan,

    Lebih dari karang di laut

    Mereka tidak pernah cemberut karena ciuman

    Oh, cintai aku dengan sungguh-sungguh!

    /4/

    Kamu bilang kamu cinta; tetapi kemudian tanganmu

    Tidak mendekap lembut untuk kembali  mendekap,

    seperti patung yang sudah mati

    Sementara gairahku telah terbakar

    Oh, cintai aku dengan sungguh-sungguh!

    /5/

    Oh,  bernafaslah satu  dua kata dari kobaran api!

    tersenyumlah, seolah kata-kata menggelisahkanku,

    mendekaplah sebagai kekasih yang mengharuskan ciuman

    Dan di dalam hatimu masuklah aku!

    Oh, cintai aku dengan sungguh-sungguh!

    UNTUK SEEKOR KUCING

    Kucing! Yang telah melewati hari-hari pentingmu yang menyenangkan,

    Berapa banyak tikus-tikus kecil dan tikus-tikus besar dalam hari-harimu?

    Hancurkan? Berapa banyak berita gembira yang telah dicuri? Tatapilah

    hijau yang terang dan tusukan yang lesu

    Telinga beludru itu – tapi Prythee tidak menempel

    Cadar latenmu di dalam diriku – dan ceritakan semua kegelisahanmu,

    Dari Ikan dan tikus-tikus kecil, dari tikus-tikus besar dan tender  ayam-ayam kecil;

    Tidak, janganlah turun, jangan menjilat pergelangan tanganmu yang licin itu,

    Untuk semua  penyakit bengek- dan untuk semua

    Ujung ekormu yang berhenti begitu saja – meski kepalan tangan

    banyak babu telah banyak melukaimu

    bulu-bulumu masih tertulis di dalam daftar

    Di masa kecil, kau masuk ke dinding botol kaca.

    Profil Penyair

    John Keats, Penyair Inggris beraliran Romantisme. Dia adalah salah satu tokoh utama penyair Romantis generasi kedua, bersama dengan Lord Byron dan Percy Bysshe Shelley . Meninggal di tahun 1821 saat berusia 25 tahun.

    Naskah Asli

    When I have Fears that I may Cease to Be

    O Love Me Truly

    To A Cat

    Baca juga :

    Mengenal Malam Lailatul Qadar

    Biografi Singkat Ammar bin Yasir

    Biografi Singkat khadijah Istri Rasullullah

    Biografi Singkat Bilal bin Rabah

    Biografi Usman bin Affan

    Biografi Singkat Khalid bin Walid

    Biografi Ali bin Abi Thalib

    Nama-Nama Istri Rasulullah SAW

    Biografi Umar bin Khattab

    Biografi Abu Bakar Ash Shiddiq

  • Puisi-puisi Jane Hirshfield

    author = A. Nabil Wibisana

    Dahulu, Ia Puisi Cinta

    Dahulu, ia puisi cinta,
    sebelum pahanya gempal, napasnya pendek,
    sebelum ia menyadari dirinya duduk,
    buncah dan sedikit jengah,
    di sepatbor sebuah mobil yang sedang terparkir,
    sementara banyak orang melintas tanpa menoleh

    Ia ingat dirinya bersolek seakan ada janji penting.
    Ia ingat memilih sepatu,
    syal atau dasi istimewa ini.

    Sekali waktu, ia minum bir saat sarapan,
    mengayun langkah kaki
    di sepanjang sisi sungai, beriring dengan kaki seseorang.

    Pernah ia pura-pura malu, lalu benar-benar malu,
    menundukkan kepala sampai rambutnya jatuh tergerai,
    menutupi mata.

    Ia bicara penuh gairah tentang sejarah, atau seni.
    Dahulu ia sungguh rupawan.
    Di bawah dagunya, tiada gelambir.
    Di belakang lututnya, tiada lapik lemak kuning.
    Apa yang ia pahami di pagi hari masih ia yakini saat malam tiba.
    Rahasia tak diundang membuat alis dan pipinya terangkat.

    Renjana tiada pula berkurang.
    Tapi ia tetap mafhum. Waktunya menimbang seekor kucing,
    budidaya Violces atau kaktus-bunga.

    Baiklah, ia memutuskan:
    Kaktus-kaktus mini, dalam pot biru dan merah.
    Ketika ia menemukan dirinya gelisah
    lantaran sunyi-senyap yang asing dalam kehidupan barunya,
    ia akan menyentuh mereka—satu kaktus, lalu yang lain—
    dengan satu jari yang terulur serupa nyala api kecil.

    Dari Given Sugar, Given Salt, diterbitkan oleh HarperCollins (2011). Dipublikasi ulang di laman Academy of American Poets (https://poets.org/poem/was-once-love-poem).

    Matematika

    Aku selalu iri pada mereka
    yang mampu mencipta benda
    yang berguna, kokoh—
    kursi, sepasang sepatu bot.

    Bahkan sup,
    sarat kentang dan krim.

    Atau mereka yang mahir meminda,
    barangkali, tiris jendela
    mengelupas retakan dempul lawas,
    menutup sempurna dengan segaris baru.

    Kau bisa belajar,
    cermin itu memberitahuku di malam yang larut,
    tanpa keyakinan, tampaknya.
    Satu alisku sedikit bergetar.

    Aku memandang
    apartemen sewa ini—
    di mana pun aku meragukannya,
    pola kertas dinding tersambung sempurna.

    Kemarin seorang perempuan
    menunjukkan padaku
    sebuah bangunan berbentuk
    serupa lambung kapal terbalik,

    rangka atapnya, di balik plester,
    diikat dengan kulit-mentah lentur,
    kolom-kolom marmer
    dicat menyerupai kayu.
    Atau mungkin sebaliknya?

    Aku menatap tangan tak cakap itu,
    begitu polos,
    bentuknya sama belaka sebagaimana tangan orang lain.
    Bahkan pena yang dipegangnya: sebuah misteri, sungguh.

    Kulit-mentah, tulisnya,
    dan kursi, dan marmer.
    Alis.

    Lantas perempuan itu bertanya padaku—
    Barulah aku mengenalinya:
    saudariku, diriku yang lebih muda—

    Apakah sebuah puisi memperluas dunia,
    atau sekadar gagasan kita tentang dunia?

    Bagaimana kau memilih satu dan bukan yang lain,
    Aku berdusta, atau tak berdusta,
    sebagai jawaban.

    Dari Given Sugar, Given Salt, diterbitkan oleh HarperCollins (2011). Dipublikasi ulang di laman Poetry Foundation (https://www.poetryfoundation.org/poems/47098/mathematics-56d22750792c3)

    Pemikiran

    Sesuatu yang terlalu sempurna untuk diingat:
    batu hanya indah ketika basah.

    ***

    Dibutakan sinar atau selubung hitam—
    begitu banyak cara
    tak melihat derita orang lain.

    ***

    Terlalu pekat rindu:

    memisahkan kita
    bagai aroma dari roti,
    karat dari besi.

    ***

    Dari jauh atau dekat sekali—
    cekung tegas gunung lembut belaka.

    ***

    Seolah mengubur lengan ke dalam mantel wol,
    kita mendengar gumam si mati.

    ***

    Setiap titik dalam lingkaran adalah titik mula:
    hasrat menolak kepuasan memutar hasrat jenis lain.

    ***

    Di sebuah ruang di mana tiada
    apa pun yang terjadi,
    aroma-manis tembakau.

    ***

    Tangan-tangan tua saling memeluk, mengenang sesepuh.

    ***

    Timbang pikiran rawan, atau siap-siap kesepian.

    Dari majalah Poetry (December 2010). Dipublikasi ulang di laman Poetry Foundation (https://www.poetryfoundation.org/poetrymagazine/poems/54219/sentencings).

    Segalanya Tampak Kokoh

    Segalanya tampak kokoh.
    Rumah-rumah, pohonan, truk—bahkan sebuah kursi.
    Sebuah meja.

    Kau tak berharap salah satunya akan hancur.
    Tidak, butuh palu untuk menghancurkan,
    atau perang, gergaji, atau gempa bumi.

    Troy demi Troy demi Troy tampak kokoh
    bagi mereka yang tinggal dalam perlindungannya.
    Sembilan lapis Troy pastilah kokoh,
    masing-masing gemetar di bawah yang lain.

    Tatkala tanah banjir
    dan semut api meninggalkan kota kokoh yang mereka bangun,
    mereka saling menghubungkan kaki dan membentuk rakit,
    mengapung dan tetap hidup, lalu mulai membangun lagi di tempat lain.

    Kokohlah, harapan hidupmu
    terus menautkan lengan dengan riwayat kedipan mata, riwayat sumur tangis,
    riwayat lembar tembaga yang berulang ditempa dan penanaman cedar Port Orford,
    riwayat lelucon tok-tok.

    Tok, tok. Siapa di sana?
    Aku.
    Aku siapa?

    Pertanyaan pertama dan terakhir.

    Ia yang dahulu memakai piyama,
    ia yang dahulu berlimpah ciuman.
    ia yang tampak begitu kokoh
    Aku tak bisa membayangkan mulutmu berhenti bertanya.

    Dari majalah The New Yorker (5 September 2016). Sebelumnya dipublikasikan di laman The New Yorker pada 29 Agustus 2016. (https://www.newyorker.com/magazine/2016/09/05/things-seem-strong-by-jane-hirshfield).

    Aku Ingin Dikejutkan

    Untuk permohonan semacam itu, dunia akan membantu.

    Buktinya seminggu lalu, bersua seekor landak gemuk,
    ia sama terkejutnya denganku.

    Pria yang menelan mikrofon kecil
    untuk merekam suara-suara tubuhnya,
    tak berpikir sebelumnya bagaimana ia bisa selamat.

    Roti lapis kubis dan mustar berbentuk bulat kelereng.

    Betapa mudahnya laba-laba besar terperangkap dalam cangkir plastik bening,
    bahkan mereka pun terkejut.

    Aku tak tahu mengapa aku terkejut setiap kali cinta bersemi atau berakhir.
    Atau setiap kali ditemukan fosil baru, planet mirip Bumi, atau pecah perang.
    Atau tak ada siapa pun di sana ketika kenop pintu jelas-jelas bergerak.

    Apa yang mestinya tak begitu mengejutkan:
    silap demi silap, kuakui saat terjadi di hadapan orang lain.

    Apa yang tak cukup mengejutkan:
    harapan rutin bahwa segala hal akan sinambung,
    banyak hal memang terus berlanjut, tapi banyak hal berhenti pula.

    Sungai kecil masih mengalir menuruni bukit, bahkan kala hujan absen sekian lama.
    Hari lahir saudara perempuan.

    Juga, keteguhan yang keras kepala dan santun.
    Bahkan hari ini tolong bermakna tolong,
    selamat pagi masih dipahami sebagai selamat pagi,

    dan ketika aku terjaga,
    gunung di luar jendela tetaplah gunung,
    kota di sekitarku tetaplah kota, tabah berdiri.
    Lorong-lorong dan pasar, tempat praktik dokter gigi,
    Rite-Aid, toko minuman keras, Chevron.
    Perpustakaan—ah, kejutan menyenangkan—yang tak mengutip denda untuk buku
    yang terlambat dikembalikan: Borges, Baldwin, Szymborska, Morrison, Cavafy.

    Dari majalah The New Yorker (10 & 17 Juni 2019). Sebelumnya dipublikasikan di laman The New Yorker pada 3 Juni 2019 (https://www.newyorker.com/magazine/2019/06/10/i-wanted-to-be-surprised).

    Tentang Penyair

    Jane Hirshfield adalah penyair, esais, dan penerjemah berkebangsaan Amerika Serikat. Anggota American Academy of Arts and Sciences ini lahir di New York pada 24 Februari 1953. Selepas menyelesaikan pendidikan di Universitas Princeton, ia belajar dan mendalami Zen di San Fransisco Zen Center selama delapan tahun. Telah menerbitkan sejumlah buku puisi yang meraih berbagai penghargaan, di antaranya: The Beauty (2015), finalis National Book Award; After (2006), daftar pendek T.S. Eliot Prize; dan Given Sugar, Given Salt (2001), finalis National Book Critics Award. Puisi-puisinya terpilih dalam tujuh edisi tahunan Best American Poetry. Tahun 2004, ia menerima penghargaan Academy Fellowship for Distinguished Poetic Achievement dari Academy of American Poets. Buku kumpulan puisinya yang kesembilan, Ledger, akan segera terbit

  • Puisi-Puisi Caroline Norton

    author = Rini Febriani Hauri

    Hatiku seperti Kacang Layu

    HATIKU seperti kacang layu,
    bergetar dalam kulitnya yang cekung;
    kau takkan bisa melepaskan dadaku dan meletakkan
    sesuatu yang segar untuk meninggalkan
    harapan dan impian yang mengisi kepalaku
    saat musim semi,  kemuliaan hidup yang memenuhi pandanganku,
    hilang! Dan tidak pernah  merasa sukacita sehingga rasa sakit
    yang menyusut  akan membengkak lagi.

    Hatiku seperti kacang layu;
    begitu lembut untuk setiap sentuhan,
    tapi sekarang sangat erat dan tertutup;
    aku tidak perlu memohon lagi
    suara ringan sekaligus kencang membuka alisku,
    angin sepoi-sepoi mengguncang pepohonan
    buah-buah yang  bergelantungan  diterangi sinar matahari,
    kebohongan-kebohongan menjadi dingin, kaku, dan sedih, sepertiku!

    Hatiku seperti kacang layu –
    sangat lucu bila dilihat;
    tapi ledakan sial telah mengubah
    warnanya menjadi  gelap dan menyedihkan.
    seperti semangat pemuda yang masih hijau
    seharusnya buah itu pulih kembali;
    dan hatiku yang malang, aku merasakannya dalam kebenaran
    bukan matahari maupun senyuman yang akan menyinarinya lagi!

    *judul asli: MY heart is like a withered nut

     

     

    Jangan Mencintai

    Jangan mencintai, jangan mencintai! Hai anak-anak tanah liat!
    karangan bunga penuh harapan terbuat dari bunga-bunga duniawi
    beberapa diantaranya memudar dan rontok
    bunga-bunga itu telah mekar beberapa lama.
    jangan mencintai!

    jangan mencintai! Apa-apa yang kaucintai bisa berubah:
    bibir kemerah-merahan akan berhenti tersenyum kepadamu,
    mata yang ramah menjadi dingin dan aneh,
    jantung berdegup kencang, namun  itu semua tak nyata.
    jangan mencintai!

    jangan mencintai! Apa-apa yang kaucintai akan mati,
    semoga binasa dari bumi yang riang gembira;
    bintang-bintang sunyi, langit biru tersenyum,
    balok kuburan kita, masih seperti dulu saat kelahirannya.
    jangan mencintai!

    jangan mencintai! Oh, kata peringatan yang sia-sia
    masa-masa  sekarang sebagaimana  tahun-tahun berlalu;
    cinta mengibas-ngibaskan lingkaran ke kepala sang terkasih,
    sempurna, abadi, sampai mereka berubah atau mati,
    jangan mencintai!

    *judul asli: Love Not

     

     

    Cinta Pertama

    YA, aku tahu kau pernah menjadi kekasihku,
    tapi hubungan kita sudah berakhir,
    meskipun perjalanan cinta kita sudah selesai,
    kau tahu kau masih bisa menjadi – temanku:
    aku masih muda dan  bodoh, ingatlah;
    (pernahkah kau mendengar John Hardy bernyanyi?)
    saat itulah, tanggal lima belas November,
    dan inilah akhir musim semi!

    Kau mengeluh Kau tak diperlakukan dengan baik
    tiba-tiba saja aku berubah;
    bisakah aku membantumu? kau sangat sombong,
    karena  menganggap kau setara dengan Joe.
    jangan berlutut di kakiku, aku mohon padamu;
    jangan menulis pada gambar –gambar yang kaubawa;
    jangan memintaku mengatakan, ‘aku memujamu,’
    Sebab, memang, sekarang tidak lagi seperti dulu.

    aku akui, ketika di Bognor kita berpisah,
    aku bersumpah dulu pernah memujamu –
    aku seorang pembantu yang patah hati,
    dan kau seorang pria paling menawan
    kuakui, saat aku membaca surat pertamamu,
    aku menghapus namamu dengan air mata-
    tapi, oh! Aku masih muda – dan tak tahu apa-apa,
    bolehkah kukatakan padamu, aku telah bertemu Hardy di sini?

    Betapa membosankan menjadi dewasa! Betapa cemasnya,
    mengulangi janji menjadi kenyataan –
    jika aku mengatakan sesuatu, aku akan  menceritakan sebuah kisah,
    karena aku mencintai Hardy lebih baik darimu!
    Ya! Hatiku yang manis telah memperbaiki yang lain,
    (aku menghela napas  setiap kali ia pergi,)
    aku akan selalu mencintaimu – sebagai saudara laki-laki,
    tapi di dalam hatiku hanya ada John Hardy seorang diri.

    *judul asli: First Love

     

     

    Aku Tak Mencintaimu

    Aku tak mencintaimu! – tidak! Aku tak mencintaimu!
    namun, saat kau tak hadir, aku merasa sedih;
        dan iri saat langit biru cerah berada  di atasmu,
    bintang yang tenang bisa melihatmu  bersukacita.

        Aku tak mencintaimu! – Namun, aku tak tahu mengapa,
    bagiku segalanya masih tampak baik
        di saat kesendirianku, aku sering menghela napas
    bahwa orang yang kucintai tidak lebih seperti kau!

        Aku tak mencintaimu! – Namun, saat kau pergi,
    aku membenci suara-suara (meski orang-orang berbicara tentang cinta)
       memecah gema nada yang tersisa
    suara -suaramu terdengar di telingaku.

        Aku tak mencintaimu! – Namun matamu yang biru berbicara,
    dengan dalam, dengan terang  dan penuh perasaan
        aku dan langit tengah malam terbangun,
    lebih sering daripada mata yang pernah kukenal.

        Aku tahu, aku tak mencintaimu! Namun, sayang!
    orang lain hampir tak memercayai hatiku yang jujur;
       dan aku menangkap mereka tersenyum saat berjalan,
    karena mereka melihatku menatap keberadaanmu

    *judul asli: I Do Not Love Thee

     

     

    Andai Aku Bersamamu!


    Andai  aku bersamamu! setiap hari dan setiap waktu
    sebab saat jauh darimu, aku menghabiskan waktuku dalam kesedihan –
    andai  aku tercipta memiliki kekuatan gaib
    aku akan mengikuti kegalauanku!
    bagaimana pun nasibmu – baik di darat maupun laut –
    andai aku bersamamu – selamanya?

    Andai  aku bersamamu! Ketika dunia lupa,
    tubuhmu yang lelah terlempar di atas rerumputan
    sementara terang jingga matahari sore terbenam,
    semua pikiranmu hanyalah milik surga:
    Sementara mimpi bahagia telah hatimu peroleh –
    andai aku bersamamu – dalam kegembiraanmu!


    Andai  aku bersamamu! Ketika kita tidak lagi berpura-pura
    tertawa terbahak-bahak  menahan napas;
    bibirmu yang lembut menuangkan keluhannya yang manis,
    dan airmata telah memadamkan cahaya di dalam matamu:
    lalu semua tampak gelap dan sedih berada di bawahnya,
    andai aku bersamamu – dalam celaka mu!

    Andai  aku bersamamu! Ketika hari-hari patah,
    saat bulan telah menyinari laut yang sepi –
    atau ketika di tengah keramaian, beberapa catatan serampangan terbangun:
    berbicara kepada hatimu untuk mengenangku.
    dalam kegembiraan atau kesakitan, baik di laut maupun di darat –
    andai aku bersamamu – selama-selamanya!

    *Judul asli: Would I Were With Thee!

     

     

    Profil Penyair:

    Caroline Elizabeth Sarah Norton,  (22 Maret 1808 – 15 Juni 1877) adalah seorang pembaharu sosial Inggris  yang lahir tanggal 22 Maret 1808. Ia juga penulis yang aktif di awal dan pertengahan abad kesembilan belas. Kampanye Caroline yang intens menyebabkan berlalunya Undang-Undang Penitipan Bayi 1839, Undang-Undang Penyebab Kekristenan tahun 1857 dan Undang-Undang tentang Wanita yang Menikah pada Tahun 1870. Meninggal pada tanggal 15 Juni 1877.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Puisi Matsuo Basho dan Priest Sosei

    author = Dian Annisa
    Berdomisili di Fuchu Tokyo Jepang, menyelesaikan pendidikan sarjana dan magister di FIB UGM, kini sedang menempuh program Doktoral di Tokyo University of Foreign Studies

    京は
    九万九千くんじゅの
    花見哉
    (Kyo wa/ kuman-kusen kunju no/ hanami kana)

    Di Kyoto
    Sembilan puluh sembilan ribu orang
    Melihat bunga

     

    初桜
    折しも今日は
    よき日なり
    (hatsuzakura/ orishimo kyo wa/ yoki hi nari)

    Bunga sakura mekar
    Sekarang, hari ini
    Di hari yang cerah

     

    さまざまの
    こと思ひ出す
    桜哉
    (samazama no/ koto omoidasu/ sakura kana)

    Terlalu banyak
    Hal yang kukenang
    Bunga sakura

     

    月花も
    なくて酒のむ
    独り哉
    (Tsuki hana mo/ nakute sake nomu/ hitori kana)

    Tiada bulan, tiada bunga
    Hanya minum sake
    Sendiri

     

    Keempat puisi di atas oleh Matsuo Basho

    Tentang Matsuo Basho:

    Lahir tahun 1644, di Ueno, Provinsi Iga. Basho adalah penyair paling terkenal pada zaman Edo. Basho dikenal sebagai master haiku (puisi pendek Jepang yang punya ciri khas 5-7-5 suku kata dan kigo (kata yang berkaitan dengan musim ketika haiku ditulis)). Basho melakukan perjalanan keliling Jepang untuk mendapatkan inspirasi. Karyanya yang paling terkenal adalah travelog Oku no Hosomichi (The Narrow Road to the Deep North) yang jadi salah satu teks wajib untuk murid SMA di Jepang.

     

    花の木も
    今はほり植ゑじ
    春たてば
    うつろふ色に
    人ならひけり
    (Hana no ki mo/ ima wa hori ueji/ haru tateba/ utsurou iro ni/ hito naraikeri)

    Mungkin aku seharusnya tidak menanam pohon bunga
    Karena mengingatkanku dengan mereka
    Yang datang di musim semi ketika bunga bermekaran
    Dan pergi di waktu yang lain

     

    いつまでか
    野辺に心の
    あくがれむ
    花し散らずは
    千代もへぬべし
    (itsumade ka/ nube ni kokoro no/ akugaremu/ hana shi chirazu wa/ sendai mo he nu beshi)

    Betapa aku menyukai padang ini
    Yang dihiasi bunga-bunga
    Jika bunga tidak berguguran, bertahan
    Mungkin aku akan tetap disini
    Selamanya

     

    おもふどち
    春の山辺に
    うちむれて
    そことも言はぬ
    旅寝してしか
    (omoudochi/ haru no yamabe ni/ uchi murete/ soko tomo iwanu/ tabine shite shika)

    Musim semi kali ini
    Aku pergi ke gunung
    Bersama kawan
    Menghabiskan malam bersama
    Di bawah langit terbuka

     

    今こむと
    言ひしばかりに
    長月の
    有明の月を
    待ちいでつるかな
    (ima komu to/ iishibakari ni/ nagatsuki no/ ariake no tsuki wo/ machiide tsuru kana)

    Dia berjanji padaku
    Akan segera datang
    Aku menunggunya
    Tapi siapa yang datang
    Selain berkas bulan di pagi hari?

     

    Keempat puisi di atas oleh Priest Sosei

    Tentang Priest Sosei

    Priest Sosei adalah seorang penyair dan pendeta Buddha. Puisi ini termasuk dalam antologi puisi Jepang kuno dan modern Kokin Wakashuu yang selesai dikumpulkan pada tahun 920.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Pipa [Etgar Keret]

    author = Ifan Afiansa

    Ketika aku kelas tujuh, sekolah mendatangkan psikiater dan meminta kami untuk mengikuti serangkaian tes. Ia memperlihatkan duapuluh kartu, satu demi satu, dan menanyakan apakah ada yang salah dengan gambar di kartu tersebut. Menurutku kartu-kartu itu terlihat baik-baik saja, namun ia mendesakku dan kembali menunjukkan kartu pertama—satu-satunya kartu yang terdapat gambar anak kecil. “Ada yang salah dengan gambar ini?” ia bertanya dengan suara lesu. Aku berkata gambarnya terlihat baik-baik saja. Ia sungguh marah, dan berkata, “Dapatkah kau lihat ada seorang anak tanpa daun telinga?” Mendengar itu aku kembali menatap kartu tersebut, aku coba melihat seorang anak tanpa daun telinga. Namun, gambar itu terlihat baik-baik saja. Psikiater menggolongkanku sebegai ‘penderita gangguan persepsi akut’, dan mengirimkanku ke kelas pengolahan kayu. Sesampainya di sana, alergi serbuk kayuku kambuh, lalu mereka memindahkanku ke kelas pengolahan logam. Aku rasa cukup nyaman di sana, namun aku tidak sepenuhnya menikmati. Sejujurnya aku tidak nyaman digolongkan. Ketika aku lulus, aku mulai bekerja di pabrik pipa. Bosku merupakan insinyur dengan gelar diploma dari Fakultas Teknik. Seorang yang brilian. Jika kau menunjukkan gambar seorang anak kecil tanpa daun telinga atau sejenisnya, dia paham itu hanya buang waktu saja.

    Setelah bekerja, aku menetap di pabrik, dan membuat pipa dengan bentuk aneh, salah satu bentuknya terlihat seperti ular yang meringkuk, aku melempar kelereng ke dalamnya. Aku tahu itu terdengar seperti remeh, aku pun tidak begitu menikmatinya, tetapi aku ingin melakukanya.

    Suatu malam aku membuat pipa yang sangat rumit, dengan banyak lekukan dan belokannya, dan ketika aku melempar kelereng di dalamnya, kelerengnya tidak keluar di ujungnya. Awalnya aku pikir mungkin hanya macet di dalamnya, tetapi setelah mencoba dengan 20 butir lebih kelereng, aku menyadari kelereng itu menghilang begitu saja. Aku tahu apa yang aku katakan terasa sangat bodoh. Aku ingin setiap orang tahu jika kelereng-kelereng itu tidak hanya menghilang, tapi ketika aku memperlihatkan kelereng-kelereng itu memasuki ujung pipa, namun tidak keluar di ujung lainnya, hal ini tidak serta merta membuatku menjadi aneh. Saat ini terlihat baik-baik saja. Lalu aku memutuskan untuk membuat pipa yang lebih besar, dengan bentuk yang sama, hingga aku bisa merayap di dalamnya dan menghilang. Ketika ide itu terlintas, aku sangat senang dan tertawa terbahak-bahak. Kupikir ini kali pertama dalam hidup aku tertawa.

    Mulai hari ini aku mengerjakan pipa raksasa. Setiap malam aku mengerjakannya, dan di pagi hari aku menyembunyikannya di gudang penyimpanan. Pekerjaan ini menghabiskan waktu 20 hari. Pada malam terakhir, aku menghabiskan lima jam untuk merakitnya dan sebagian lainnya aku habiskan berbaring di atas lantai.

    Ketika aku lihat satu bagian utuh, sejenak rehat, aku ingat guru pelajaran sosialku berkata semenjak kali pertama manusia menggunakan pemukul, ia bukanlah orang terkuat ataupun tercerdas di sukunya. Hanya saja orang lain tidak butuh pemukul, sementara dia membutuhkannya. Dia lebih membutuhkan pemukul dibandingkan lainnya, untuk bertahan hidup dan berhias diri sebagai orang lemah. Aku tidak berpikir ada manusia di belahan dunia ini punya keinginan untuk menghilang lebih daripada aku, dan karenanya aku membuat pipa ini. Aku pun bukan insinyur brilian dengan gelar lulusan teknik yang menjalankan perusahaan.

    Aku mulai merayap di dalam pipa, dan tidak berharap adanya ujung pipa. Mungkin di sana akan ada anak tanpa telinga, duduk di timbunan kelereng. Mungkin saja. Aku tidak tahu persisnya yang akan terjadi setelah melewati titik tertentu di pipa. Sejauh yang aku tahu, aku di sini.

    Saat ini aku merasa aku adalah malaikat. Maksudku, aku punya dua sayap dan lingkaran di atas kepalaku dan ada seribu lainnya sepertiku. Ketika aku tiba di sana, mereka duduk melingkar dan bermain kelereng yang aku gelindingkan ke pipa beberapa minggu yang lalu.

    Aku selalu berpikir bahwa surga adalah sebuah tempat untuk mereka yang menghabiskan seluruh hidupnya sebagai orang baik, kali ini tidak. Tuhan terlalu penyayang dan bermurah hati membuat keputusan serupa itu. Surga hanyalah sebuah tempat untuk mereka yang benar-benar tidak sanggup berbahagia di bumi. Di sini mereka berkata kepadaku bahwa orang yang bunuh diri akan kembali dihidupkan sebab faktanya mereka yang tidak suka pada kehidupan pertamanya bukan berarti mereka tidak layak untuk hidup dua kali. Namun, untuk yang benar-benar tidak pantas di dunia akan menguap di sini. Setiap dari mereka punya cara masing-masing untuk meraih surga.

    Ada pilot yang sampai di sini dengan memutari satu titik di segitiga bermuda. Ada pula ibu rumah tangga yang kabur melalui bagian belakang kabinet di dapurnya untuk ke sini, dan pakar matematika yang menemukan distorsi topologi di angkasa lalu memaksakan diri melaluinya untuk sampai ke sini. Jadi, jika kau sungguh tidak bahagia kemarilah, apabila banyak orang bilang dirimu adalah penderita gangguan persepsi akut, carilah caramu untuk kemari, saat kau menemukannya seharusnya dengan murah hati kau membawakan beberapa kartu, karena kami lelah bermain kelereng.

     

     

    Data Buku
    Cerpen ini terdapat dalam buku The Bus Driver Who Wanted to be God and other stories (naskah asli berasal dari bahasa Ibrani sebelum dialihbahasakan ke bahasa Inggris oleh Miriam Shlesinger.) oleh Etgar Keret, terbit 2015 oleh Riverhead Books.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

  • Perpustakaan yang Aneh [Haruki Murakami] (4 dari 4)

    author = Saddam HP

    Ini adalah bagian terakhir dari empat bagian terjemahan cerpen/novela Perpustakaan yang Aneh karya Haruki Murakami.
    Bagian sebelumnya ada di sini.

    (21)

    Di suatu tempat jam berbunyi sembilan kali. Manusia domba berdiri dan menggoncangkan lengan bajunya beberapa kali untuk mengakrabkan kembali kostum domba dengan tubuhnya. Saatnya telah tiba bagi kami untuk pergi. Ia melepaskan bola dan rantai dari kakiku.

    Kami keluar ruangan dan menuruni koridor yang remang. Kakiku kosong, sebab aku meninggalkan sepatuku di sel. Ibuku akan marah besar bila ia tahu aku meninggalkan sepatuku di suatu tempat. Itu sepatu kulit yang amat bagus, dan ibuku memberinya sebagai kado ulang tahunku. Namun, itu tidak sepadan, mempertaruhkan kesempatan ini sebab suara sepatu bisa membangunkan lelaki tua itu.  

    Aku memikirkan sepatu itu saat berjalan ke pintu baja besar. Manusia domba yang memimpin. Aku setengah lebih tinggi, sehingga kedua telinganya turun naik di hidungku setiap waktu.

    “Hei, Tuan Manusia Domba,” bisikku padanya.

    “Apa?” bisiknya kembali.

    “Seberapa bagus pendengaran lelaki tua itu?”

    “Malam ini adalah bulan baru, maka ia akan cepat tidur di kamarnya. Tetapi ia punya intuisi yang tajam, seperti yang sudah kau lihat. Jadi alangkah baiknya kau lupakan soal sepatumu. Sepatu bisa kau ganti, tetapi kau tak bisa mengganti otakmu atau hidupmu.”

    “Kau benar, Tuan Manusia Domba,”

    “Jika ia bangun dan mengejarku dengan ranting willow, berakhir sudah. Lantas aku tak berguna untukmu. Saat ia mencambukiku, aku tak berdaya–rasanya seperti aku menjadi budaknya.”

    “Apa ranting itu punya kekuatan spesial?”

    “Benar sekali,” kata manusia domba itu. Ia berpikir sejenak. “Ranting itu hanya ranting willow biasa. Tetapi entahlah.”

    (22)

    “Tetapi saat ia mulai memukulmu dengan ranting itu, kau tak berdaya, kan?”

    “Kira-kira begitu. Jadi sebaiknya kau lupakan sepatumu.”

    “Akan kulupakan” kataku.

    Kami berjalan sedikit lebih jauh menuruni koridor panjang itu tanpa bicara.

    “Hei,” kata manusia domba.

    “Ada apa?”

    “Kau lupa sepatu, kan?”

    “Ya, aku lupa sepatuku,” jawabku. Bagaimanapun juga, terima kasih atas pertanyaan itu, sepatu yang sudah coba kulupakan, kembali ke benakku.

    Tangga itu dingin dan licin, tepi depan anak tangga batu itu usang karena digunakan. Hampir setiap kali aku melangkah rasanya seperti seekor kumbang. Ketika kau memanjat dengan kaki kosong dalam puncak kegelapan, itu bukan perasaan yang luar biasa. Terkadang benda itu lembut dan licin, terkadang genting. Aku pikir, harusnya aku mengenakan sepatuku. 

    Setelah waktu lama, sampailah kami di puncak tangga dan tiba di pintu baja. Manusia domba menarik gantungan kunci dari sakunya.

    “Lakukan ini dengan pelan. Tak ingin membangunkan lelaki tua itu.”

    “Benar,” kataku.

    Ia memasukkan sebuah kunci dan memutarnya ke arah kiri. Ada suara yang besar, dan pintu terbuka dengan bunyi seretan yang panjang. Tidak pelan sama sekali. 

    “Mulai dari sini, jaringan jalan ini makin ruwet,” kataku.

    “Kau benar,” kata manusia domba. “Ada sebuah jalan, sekarang baru kupikirkan. Tak bisa mengingatnya dengan baik, tetapi kita akan menemukannya nanti.”

    Mendengar hal itu membuatku sedikit gelisah. Yang mengecoh dari labirin adalah kau tak tahu jalan benar yang kau pilih sampai kau tiba di ujungnya. Bila kau telah salah memilih jalan, biasanya sudah terlambat bagimu untuk kembali dan memulai lagi. Itulah masalah dengan labirin.

    (23)

    Seperti yang kubayangkan, manusia domba harus mencoba beberapa rute dan mengulangnya beberapa kali. Namun aku bisa merasakan bahwa bagaimana pun juga, kami makin dekat dan makin dekat dengan tujuan kami. Terkadang ia akan berhenti untuk menjalari jarinya sepanjang dinding dan menjilatinya dengan konsentrasi yang menakjubkan. Atau berjongkok untuk menekan telinganya di lantai. Atau bercakap dengan suara rendah dengan laba-laba yang bersarang di loteng. Berhadapan dengan jalur yang bercabang, ia akan berputar di tempat, seperti angin puyuh, sebelum memilih jalan mana yang harus ia ambil. Begitulah tingkah yang manusia domba gunakan untuk memilih rute untuk keluar dari labirin. Jauh dari cara yang kebanyakan orang bisa ingat.

    Sementara itu, waktu terus berjalan. Fajar hampir tiba, malam puncak kelam bulan baru tampak melunak sedikit demi sedikit.

    Aku dan manusia domba bergegas. Kami tahu kami harus menggapai pintu terakhir sebelum siang. Kalau tidak, lelaki tua akan bangun demi mengetahui kami kabur dan melakukan pengejaran.

    “Kau pikir kita akan berhasil?” tanyaku.

    “Ya, kelihatannya bagus. Mulai dari sini, akan sangat mudah.”

    Jelas saja manusia domba tahu sisa jalannya. Kami berlari menuruni koridor, lalu berbalik ke satu arah, lalu arah yang lain, tanpa berhenti. Akhirnya, koridor terakhir ada di depan. Kami bisa melihat pintu di ujung jalan, dan cahaya bocor melalui retakannya.

    “Lihat, sudah kubilang kan,” ucap manusia domba dengan bangga. “Aku sudah tahu selama ini. Yang harus kita lakukan hanya melewati pintu ini. Lantas aku dan kau akan bebas.”

    *

    Ia membuka pintu dan ada lelaki tua, menunggu kami.

    (24)

    Ruangan itu adalah ruangan yang sama tempat pertama kali aku bertemu dengannya. Ruang 107, di ruang bawah tanah perpustakaan. Ia duduk di depan mejanya, matanya terpaku padaku. 

    Di samping lelaki tua itu duduk seekor anjing hitam yang besar. Seekor anjing dengan mata hijau dan kalung bertabur permata.

    Anjing itu punya kaki yang kuat, dan enam cakar di tiap tapak. Telinganya bercabang di ujung, dan hidungnya berwarna cokelat kemerah-merahan terbakar matahari. Anjing itulah yang menggigitku bertahun-tahun yang lalu. Tubuh burung jalak peliharaanku yang berdarah terjepit di antara gigi-giginya. 

    Aku keluarkan tangisan kecil dan hampir limbung ke belakang, tetapi manusia domba menangkapku. 

    “Kami telah menunggu dan menunggu,” kata lelaki tua. “Apa yang membuatmu begitu lama? He?”

    “Aku bisa menjelaskan semuanya, Tuan,” manusia domba memulainya.

    “Diam, kau bodoh,” pekik lelaki tua. Ia keluarkan ranting willow dari saku belakangnya dan mencambuki mejanya. Anjing itu mendengarkan, dan manusia domba terdiam. Ruangan itu tetap seperti mayat.

    “Maka, sekarang,” kata lelaki tua itu. “Bagaiamana saya mengatur kalian berdua?”

    “Jadi kau tidak tertidur, dengan bulan baru?” tanyaku dengan penuh rasa takut.

    “Kau orang yang lancang,” cibir lelaki tua. “Aku tak tahu darimana kau kumpulkan informasimu, tetapi aku tak mudah dibodohi. Aku bisa membaca kalian berdua semudah aku membaca bintik semangka di siang hari.”

    Ruangan itu menjadi kelam di mataku. Kecerobohanku menghancurkan semuanya–bahkan burung jalak peliharaanku telah dikurbankan.

    Aku telah kehilangan sepatuku yang bagus, dan tak mampu lagi melihat ibuku. 

    “Dan kau,” kata lelaki tua, menunjuk rantingnya ke arah manusia domba. “Aku akan mencincangmu lembut dan cermat dan menyuapkanmu ke lipan.”

    Manusia domba bersembunyi di belakangku, sekujur tubuhnya gemetar.

    (25)

    “Dan untukmu, teman mudaku,” kata lelaki tua itu, menunjuk padaku, “Kau akan menjadi makanan anjing ini. Anjing ini akan melahapmu hidup-hidup. Kau akan mati pelan-pelan. Kau akan mati menjerit. Tetapi otakmu adalah milikku. Otakmu tentu tidak lagi selembut seharusnya bila kau telah menamatkan buku-buku itu, tetapi aku tidak akan pilih-pilih. Aku akan menghisapnya sampai tetes terakhir.”

    Lelaki tua itu memperlihatkan giginya dalam senyuman yang jahat. Mata hijau anjing itu mengilau dengan kegirangan.

    Saat itulah aku menyadari bahwa burung jalak di antara gigi anjing itu bertumbuh.

    Saat berukuran sebesar ayam, jalak itu memaksa rahang anjing terbuka seperti dongkrak mobil. Anjing itu mencoba untuk melolong, tetapi sudah terlambat. Mulut anjing itu koyak–terdengar bunyi tulang gemeretak. Lelaki tua itu dengan kalut mencambuki burung jalak dengan ranting willownya. Tetapi tubuh burung itu tetap mengembung sampai seukuran banteng, menekan cepat lelaki tua itu ke tembok. Ruang kecil itu dipenuhi suara kibasan sayap yang sangat kuat.

    Larilah. Sekarang kesempatanmu, kata burung jalak itu. Suara itu milik si gadis.

    “Tetapi bagaimana denganmu?” tanyaku pada jalak-yang-adalah-si-gadis.

    Jangan khawatirkan aku. Aku akan menyusulmu nanti. Cepatlah, sekarang. Jika kau tak segera bergegas, kau akan hilang selamanya, kata si-gadis-yang-adalah-burung-jalak.

    Aku melakukan seperti yang ia katakan. Memegang erat-erat tangan manusia domba, aku lari dari ruangan itu. Aku tak pernah melihat ke belakang.

    Masih terlalu pagi saat itu, dan  perpustakaan lengang. Kami menaiki tangga dan melewati aula utama menuju Ruang Baca, membuka dengan paksa sebuah jendela, dan berguling ke luar. Lalu kami lari sebisa kami ke parkiran, di mana kami roboh di rumputan. Kami berbaring di sana, mencari udara sambil mata kami yang tertutup. Aku tak membuka mataku cukup lama. 

    Ketika terbuka, manusia domba itu telah hilang. Aku berdiri dan mencari sekeliling. Aku memanggil namanya keras-keras. Tetapi tak ada jawaban. Matahari pagi menjatuhkan cahaya pertamanya ke atas dedaunan pohon. Manusia domba itu lenyap tanpa satu kata pun padaku. Seperti embun pagi yang menguap.

    (26)

    Ibuku telah menyiapkan makanan pagi yang panas di atas meja dan menungguku pulang. Ia tak menanyakanku apa pun. Tidak tentang kenapa aku tak pulang rumah setelah sekolah, atau di mana aku habiskan tiga malam ini, atau kenapa aku tak bersepatu–tak satu pun pertanyaan atau omelan. Rasanya sama sekali bukan ibuku.

    Burung jalak peliharaanku telah hilang. Hanya tersisa sangkar kosongnya. Aku tak bertanya tentang apa yang terjadi. Rasanya yang terbaik adalah menjauhkan topik itu sama sekali. Raut muka ibuku rasanya agak menghitam, bagai bayangan yang mengelilinginya. Tetapi itu mungkin tak lebih dari kesanku saja.

    Setelah itu, aku tak pernah lagi mengunjungi perpustakaan itu lagi. Aku tahu aku harusnya mencari satu orang yang berkepentingan mengurus tempat itu untuk menjelaskan apa yang telah terjadi padaku, dan mengatakan padanya tentang ruangan seperti sel yang tersembunyi jauh di bawah tanah. Kalau tidak, anak yang lain mungkin saja akan merasakan pengalaman mengerikan yang telah kulalui. Namun demikian, pemandangan gedung perpustakaan yang samar telah cukup untuk menghentikan langkahku.

    Aku pun terkadang memikirkan kembali sepatu kulit baru yang tertinggal di ruang bawah tanah itu. Sepatu itu mengarahkan ingatanku juga pada manusia domba dan gadis manis tanpa suara. Apa mereka sungguh nyata? Berapa banyak yang kuingat itu yang benar-benar terjadi? Sejujurnya, aku tak yakin. Yang kuyakin pasti adalah aku kehilangan sepatuku dan burung jalak peliharaanku. 

    Ibuku meninggal selasa lalu. Ia telah menderita karena penyakit misterius, dan pagi itu ia berpulang. Penguburannya sederhana, dan sekarang aku benar-benar sendiri. Tiada ibu. Tiada burung jalak peliharaanku. Tiada manusia domba. Tiada gadis. Aku terbaring sendiri di kegelapan jam dua dini hari dan memikirkan tentang sel di ruang bawah tanah perpustakaan. Tentang bagaimana rasanya sendiri, dan kedalaman kelam yang menyelubungiku. Kekelaman yang sehitam malam bulan baru.

    Haruki Murakami lahir di Kyoto pada 1949 dan sekarang tinggal dekat Tokyo. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima puluh bahasa, dan penghargaan internasional terakhir yang diterimanya adalah Jerusalem Prize, yang penerima sebelumnya termasuk J. M. Coetzee, Milan Kundera, dan V. S. Naipaul.

    The Strange Library oleh Haruki Murakami adalah sebuah novelette. Terbit di Jepang pada 2005 dengan ilustrasi oleh Maki Sasaki dengan judul Fushigi no Toshokan. Terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 2014, diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Ted Goosen dan ilustrasi oleh Chip Kidd. Terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini didasarkan pada teks bahasa Inggris.

  • Perpustakaan yang Aneh [Haruki Murakami] (3 dari 4)

    author = Saddam HP

    Ini adalah bagian ketiga dari empat bagian terjemahan cerpen/novela Perpustakaan yang Aneh karya Haruki Murakami.
    Bagian sebelumnya ada di sini. Bagian berikutnya ditayangkan Rabu, 5 Agustus 2020.

    (13)

    Aku memutuskan hal terbaik yang bisa aku lakukan adalah duduk dan membaca. Jika aku berusaha menemukan cara melarikan diri, pertama aku mestinya harus melumpuhkan musuhku. Artinya berpura-pura mengikuti suruhannya. Aku sangka tak terlalu rumit. Toh, aku tipe anak yang biasa mengikuti aturan.

    Aku ambil Buku Harian Seorang Kolektor Pajak Ottoman dan mulai membaca. Buku itu ditulis dalam bahasa Turki klasik; namun, anehnya, aku merasa amat mudah memahaminya. Tak hanya itu, tetapi juga setiap halaman tersangkut di ingatanku, kata demi kata. Karena beberapa hal, otakku diguyur segala yang kubaca. Seraya membalik halaman buku, aku menjadi kolektor pajak Turki Ibnu Armut Hasir, yang berjalan di sepanjang jalan Istanbul dengan pedang melengkung di pinggangnya, mengumpulkan pajak. Udara dipenuhi dengan aroma buah dan ayam, tembakau dan kopi; tergantung berat di seluruh kota, seperti sungai yang tergenang. Penjaja berjongkok sepanjang jalan, meneriakkan dagangan mereka: korma, jeruk Turki, dan sejenisnya. Hasir adalah orang yang tenang, cukup santai dengan tiga istri dan enam anak. Ia juga punya peliharaan seekor burung betet seimut burung jalakku.

    Jam sembilan lewat sedikit, manusia domba muncul di pintuku membawa cokelat dan kue.

    “Nah, kau istimewa!” katanya. “Tetapi, hei, bagaimana bila istirahat sejenak dengan cokelat panas?”

    Aku meletakkan buku itu dan mengambil cokelat dan kue.

    “Hei, Tuan Manusia Domba,” kataku. “Siapa gadis manis yang datang beberapa waktu lalu?”

    “Datang lagi? Gadis manis yang mana?”

    “Yang membawakanku makan malam.”

    “Aneh,” manusia domba itu berkata dengan pandangan bingung. “Aku yang membawakanmu makan malam. Kau berbaring di ranjangmu, tersedu-sedu dalam tidurmu. Dan seperti yang kau lihat, aku bukan gadis manis, hanya manusia domba.”

    Apakah aku telah bermimpi?

    (14)

    Namun keesokan malamnya, gadis misterius itu muncul lagi. Kali ini ia membawa sosis Toulouse dengan salad kentang, ikan kakap kembung, salad pucuk lobak, roti croissant yang besar, dan teh hitam dibubuhi madu. Hanya melihatnya, aku langsung merasa lapar.

    Santai saja. Pastikan kau makan semuanya! gadis itu berkata dengan tangannya.

    “Tolong katakan padaku siapa dirimu sebenarnya,” kataku.

    Aku adalah aku, itu saja.

    “Tetapi manusia domba itu bilang kau tak nyata. Dan selain itu pula–”

    Gadis itu mengangkat jari ke bibirnya yang mungil. Aku menahan lidahku.

    Manusia domba itu punya dunia sendiri. Aku punya duniaku sendiri. Begitu pula kau. Bukan begitu?

    “Ya, tentu saja.”

    Jadi hanya karena aku tak nyata dalam dunia si manusia domba, bukan berarti aku tak nyata sama sekali.

    “Aku mengerti,” kataku. “Dunia kita campur aduk–duniamu, duniaku, dan dunia manusia domba. Kadang-kadang dunia kita tumpang tindih, terkadang tidak. Itu maksudmu, kan?”

    Ia mengangguk kecil dua kali.

    Aku tak sepenuhnya bodoh. Tetapi pikiranku memang kian payah sejak anjing hitam besar itu menggigitku, dan menjadi tidak beres sejak itu.

    Gadis itu duduk di ranjang dan menatapku saat aku duduk dan menghabiskan hidangan. Tangannya yang mungil mengatup dengan sopan di atas lututnya. Ia kelihatan seperti arca kaca tipis yang menyerap sinar mentari pagi.

    (15)

    “Aku sangat ingin mengenalkanmu pada ibuku dan burung jalak peliharaanku,” kataku pada gadis itu. “Jalakku sangat pintar, dan sangat imut.”

    Gadis itu memiringkan kepalanya sedikit ke satu sisi.

    “Ibuku juga ramah. Tetapi ia terlalu khawatir padaku. Sebab seekor anjing pernah menggigitku ketika aku masih kecil.”

    Anjing macam apa?

    “Seekor anjing hitam yang besar. Anjing itu punya kalung leher kulit bertabur permata, dan bermata hijau, dan kaki yang kokoh, dan enam cakar di tiap tapak. Ujung telinganya terbagi dua, dan hidungnya cokelat kemerah-merahan, seperti terbakar matahari. Kau pernah digigit anjing?”

    Tidak pernah, kata gadis itu. Sekarang lupakan anjing itu dan habiskan makan malammu. 

    Aku berhenti bicara dan menghabiskan makananku. Lalu kuminum teh madu itu. Membuatku nyaman dan hangat.

    “Aku harus lari dari tempat ini,” kataku. “Ibuku khawatir, dan burung jalakku akan mati jika tak kuberi makan.”

    Apa kau akan membawaku bersamamu?

    “Tentu saja,” jawabku. “Tetapi aku tak yakin aku akan berhasil. Sebuah bola besi terikat di pergelangan kakiku, dan koridor itu berupa labirin. Dan manusia domba itu akan mendapat hukuman yang mengerikan saat lelaki tua itu sadar kalau aku pergi. Karena membiarkanku kabur.”

    Kita bisa membawa manusia domba itu bersama kita. Kita bertiga bisa bersama-sama melarikan diri.

    “Apa kau pikir ia akan bergabung bersama kita?”

    Gadis itu tersenyum cerah padaku.

    Maka, seperti malam sebelumnya, ia menyelinap dengan cepat lewat celah pintu yang sedikit terbuka dan pergi.

    (16)

    Aku sedang membaca di meja saat aku dengar suara gembok berputar, dan manusia domba itu masuk dengan satu nampan donat dan segelas limun.

    “Ini donat yang kujanjikan padamu kali lalu, langsung dari wajan.”

    Aku menutup buku dan menggigit cepat sepotong donat. Terasa sangat nikmat, renyah di luar, di dalamnya sangat lembut meleleh di mulutku.

    “Ini donat terbaik yang pernah kumakan,” kataku.

    “Aku baru saja membakarnya,” kata manusia domba. “Kau tahu aku membuatnya dengan tergesa-gesa.”

    “Aku berani bertaruh bila kau membuka kedai donat, akan laku besar.”

    “Ya, aku pernah memikirkannya. Betapa luar biasa.”

    “Aku tahu kau bisa melakukannya.”

    “Tetapi siapa yang cukup menyukaiku untuk datang ke kedaiku? Aku berpakaian lucu, dan ini gigiku. Aku tidak mengawasi mereka dengan sangat baik.”

    “Aku akan menolongmu,” kataku. “Aku akan menjual donat, dan berbicara dengan pelanggan, dan mengatur uang dan periklanan. Aku bahkan akan menyajikan hidangan. Yang harus kau lakukan adalah bekerja di belakang membuat donat. Aku akan mengajarkanmu cara menyikat gigimu.”

    “Akan sangat menakjubkan,” kata manusia domba itu.

    (17)

    Ketika manusia domba itu pergi, aku kembali membaca buku. Seperti sebelumnya, aku menjadi Ibnu Armut Hasir, pengarang Buku Harian seorang Kolektor Pajak Ottoman. Aku berjalan di jalan-jalan Istanbul sepanjang hari, mengumpulkan pajak, tetapi saat malam tiba, aku kembali pulang rumah untuk memberi makan burung betetku.

    Bulan sabit putih setipis pisau cukur terapung di langit malam. Aku bisa mendengar seseorang memainkan serunai di kejauhan. Menyalakan dupa di kamarku, pembantu Afrikaku bergerak-gerak, mengusir nyamuk dengan sesuatu yang mirip pemukul lalat.

    Seorang gadis muda yang cantik, satu dari tiga istriku, menungguku di kamar tidur. Dialah yang menyiapkan hidangan bagiku tiap malam.

    Ini bulan yang cerah, katanya padaku. Esok adalah bulan baru, dan langit akan gelap.

    “Kita harus memberi makan burung betet,” kataku.

    Bukankah kau sudah memberi makan burung betet beberapa waktu lalu? tanyanya.

    “Benar, sudah kulakukan,” kata diriku yang adalah Ibnu Armut Hasir.

    Tubuh gadis yang selembut sutra itu berkilau dalam cahaya bulan sabit setipis pisau cukur itu. Aku terpesona.

    Ini bulan yang cerah, ulangnya. Bulan baru akan mempengaruhi nasib kita.

    “Menakjubkan,” kataku. 

    (18)

    Seperti lumba-lumba buta, malam bulan baru mendekat diam-diam.

    Lelaki tua itu datang dan mengecekku malam itu. Ia sangat senang karena menemukanku tengah hanyut dalam bukuku. Melihatnya begitu gembira juga membuatku sedikit senang. Tak peduli situasi seperti apa sekarang, aku masih mendapat kesenangan menyaksikan sukacita orang lain.

    “Aku harus memberikanmu nilai tambah,” katanya sambil menggaruk rahangnya. “Kau telah berlangkah jauh dari yang kuperkirakan. Kau bocah yang sungguh.”

    “Terima kasih, Tuan,” jawabku. Aku juga senang dipuji.

    “Semakin cepat kau memasukkan buku itu ke ingatanmu, semakin cepat kau bisa pergi,” kata lelaki tua itu padaku. Ia mengangkat satu jarinya ke udara. “Mengerti?”

    “Ya,” kataku.

    “Apa ada yang mengganggumu?”

    “Ya,” kataku. “Bisakah kau katakan padaku kalau ibuku dan burung jalakku baik-baik saja? Aku sangat khawatir.”

    Lelaki tua itu mengerutkan muka. “Dunia ini mengikuti jalannya sendiri,” katanya. “Masing-masing punya pemikirannya sendiri, masing-masing menginjak jalannya sendiri. Begitu pula dengan ibumu, dan begitu pula dengan jalakmu. Begitu pula dengan setiap orang. Dunia ini mengikuti jalannya sendiri.”

    Aku tak mengerti apa yang ia bicarakan., tetapi aku dengan patuh mengatakan ya ketika ia selesai bicara.

    (19)

    Gadis itu muncul tak lama setelah lelaki tua itu pergi. Seperti biasa, ia menyelinap lewat celah pintu. 

    “Malam ini adalah malam bulan baru,” kataku.

    Gadis itu duduk dengan tenang di ranjang. Ia kelihatannya capek. Ia kehilangan warnanya dan menjadi transparan, sehingga mampu kulihat dinding di belakangnya.

    Ini karena bulan baru, katanya. Merampas kita habis-habisan.

    “Yang mampu bulan itu lakukan padaku adalah membuat mataku sedikit pedih.”

    Gadis itu melihat padaku dan mengangguk. Bulan itu tidak berpengaruh padamu. Kau akan baik-baik saja. Aku yakin kau akan punya cara untuk keluar dari sini. 

    “Dan kau?”

    Jangan khawatirkan aku. Kelihatannya kita tak mungkin sama-sama mengatasinya, tapi aku yakin aku bisa bergabung denganmu nanti.

    “Tetapi bagaimana aku bisa menemukan jalan pulang tanpamu?”

    Ia tak menjawab. Ia malah mendekat dan mendaratkan ciuman kecil di pipiku. Lalu menyelinap lewat pintu dan lenyap. Aku duduk di ranjang, linglung, untuk waktu lama. Ciuman itu amat menggoncangku, aku tak mampu berpikir lurus. Pada waktu bersamaan, keresahanku berubah menjadi sebuah keresahan yang agak berkurang kecemasannya. Dan semacam keresahan yang tidak secara khusus resah, dan pada akhirnya, keresahan yang tak mampu diungkapkan.

    (20)

    Tak lama setelah itu, manusia domba kembali. Ia menggenggam sebuah pinggan dengan tumpukan donat yang tinggi.

    “Hei, ada apa? Kau kelihatan kosong. Apa kau sakit?

    “Tidak, aku barusan berpikir.”

    “Apa benar yang kudengar–kau berencana untuk melarikan diri malam ini? Aku bisa ikut?”

    “Tentu saja kau bisa ikut. Tetapi siapa yang bilang padamu?”

    “Aku melewati seorang gadis di koridor satu menit yang lalu, dan dia yang bilang padaku. Bilang kita akan pergi bersama. Aku heran ada seorang gadis manis di sekitar sini–apa ia temanmu?”

    “Yahh, mmm…” aku tergagap.

    “Aku mengerti. Ya ampun, rasanya luar biasa punya seseorang yang keren seperti itu sebagai teman.”

    “Jika kita bisa keluar dari sini, Tuan Manusia Domba, aku bertaruh kau akan punya kawan-kawan yang keren.”

    “Menakjubkan,” kata manusia domba. “Tetapi bila kita tidak berhasil, neraka akan menanti kita.”

    “Mengatakan ‘neraka akan menanti,’ maksudmu kendi berisi selaksa ulat bulu?”

    “Begitulah kira-kira,” kata manusia domba dengan sedih hati.

    Pikiran tentang sebuah kendi berisi selaksa ulat bulu selama tiga hari menegakkan bulu romaku. Namun kehangatan donat yang baru di panggang dalam perutku dan ciuman gadis di pipiku menghilangkan semua ketakutanku. Aku ambil tiga potong donat dan manusia domba mengambil enam. 

    “Aku kebingungan karena perut kosong,” kata manusia domba itu, dengan maksud membela diri. Ia menyeka gula di sudut mulutnya dengan jarinya yang bulat pendek.

    Bersambung

    Bagian berikutnya ditayangkan Rabu, 5 Agustus 2020.

    Haruki Murakami lahir di Kyoto pada 1949 dan sekarang tinggal dekat Tokyo. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima puluh bahasa, dan penghargaan internasional terakhir yang diterimanya adalah Jerusalem Prize, yang penerima sebelumnya termasuk J. M. Coetzee, Milan Kundera, dan V. S. Naipaul.

    The Strange Library oleh Haruki Murakami adalah sebuah novelette. Terbit di Jepang pada 2005 dengan ilustrasi oleh Maki Sasaki dengan judul Fushigi no Toshokan. Terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 2014, diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Ted Goosen dan ilustrasi oleh Chip Kidd. Terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini didasarkan pada teks bahasa Inggris.

  • Perpustakaan yang Aneh [Haruki Murakami] (2 dari 4)

    author = Saddam HP

    Ini adalah bagian kedua dari empat bagian terjemahan cerpen/novela Perpustakaan yang Aneh karya Haruki Murakami.
    Bagian sebelumnya ada di sini. Bagian berikutnya ditayangkan Rabu, 29 Juli 2020.

    (6)

    Lelaki tua itu berbalik padaku dan menyeret dirinya ke atas sampai ketinggiannya yang penuh. Sekarang, tiba-tiba, ia besar. Mata yang di bawah alis mata tebalnya bercahaya seperti mata kambing saat senja.

    “Apakah kau jenis bocah yang mencari kesalahan dari setiap hal kecil, meskipun sepele?”

    “Tidak, Tuan. Aku tidak seperti itu. Tetapi bagiku bila – “

    “Cukup ocehanmu,” kata lelaki tua itu. “Aku tak bisa membiarkan orang-orang yang menyebabkan sejumlah besar alasan, meremehkan usaha mereka yang telah berusaha untu membantu. Orang seperti itu adalah sampah.”

    “Mohon maafkan aku,” pintaku. “Aku akan masuk.”

    Kenapa aku berlaku seperti ini, setuju ketika saya sangat tidak setuju, membiarkan orang memaksaku untuk melakukan hal yang tak ingin kulakukan?

    “Ada tangga tepat di sisi pintu ini,” kata lelaki tua itu. “Pegang kuat-kuat ketika menyusurinya supaya kau jangan terjungkal.”

    Aku masuk duluan, melangkahkan kakiku maju. Ketika lelaki tua itu menutup pintu di belakang kami, segalanya sungguh-sungguh kelam. Aku bisa mendengar bunyi klik ketika ia memutar kunci. 

    “Kenapa kau kunci pintunya?”

    “Itulah aturannya. Harus terkunci setiap waktu.”

    Apa yang bisa kulakukan? Aku mulai menuruninya. Tangga itu sangat panjang. Cukup panjang, rasanya, bisa sampai Brazil. Susuran tangga ini dilapisi karat. Tak ada sinar cahaya di mana pun.

    Akhirnya, kami sampai ke dasar tangga. Aku bisa melihat cahaya redup jauh di dalam, hanya cercah yang redup, sungguh, tetapi masih cukup kuat sampai membuat mataku pedih karena kegelapan yang panjang. Seseorang mendekatiku dari arah belakang ruangan dan menggenggam tanganku. Manusia kecil berpakaian kulit domba.

    “Hei, terima kasih sudah datang,” kata manusia domba itu.

    “Selamat sore,” jawabku.

    (7)

    Kulit domba itu benar-benar nyata, dan menutupi setiap senti tubuh manusia domba itu. Meskipun begitu, ada tempat terbuka di wajahnya, dari sana timbul sepasang matanya yang ramah. Kostum itu sangat cocok untuknya. Manusia domba itu melihat sejenak ke arahku; lalu matanya berpindah pada tiga buku di tanganku.

    “Astaga, kau datang untuk membaca, sungguh?”

    “Benar,” jawabku.

    “Maksudmu kau sungguh-sungguh dan benar-benar datang untuk membaca buku-buku itu?”

    Cara bicara manusia domba ini terasa aneh. Aku tak mampu mencerna beberapa katanya.

    “Ayolah, jawablah,” pinta lelaki tua itu. “Kau datang ke sini untuk membaca, kan? Berikan dia jawaban langsung.”

    “Ya. Aku datang ke sini untuk membaca.”

    “Kau dengar dia,” pekik lelaki tua itu.

    “Tetapi, Tuan,” kata manusia domba itu. “Ia hanya seorang anak kecil.”

    “Diam!” teriak pria tua itu. Ia menarik ranting willow dari saku belakangnya dan memecut wajah manusia domba itu. “Bawa dia ke Ruang Baca sekarang!”

    Manusia domba itu kelihatan kacau, tetapi ia tetap mengenggam tanganku. Ranting itu menyisakan bilur merah dekat bibirnya. “Oke, ayo kita berangkat.”

    “Ke mana?”

    “Ke Ruang Baca. Kau datang untuk membaca buku, kan?”

    Manusia domba itu menuntunku turun ke lorong yang sempit. Lelaki tua itu mengikuti dekat di belakang kami. Ada ekor kecil yang teruntai di belakang pakaian manusia domba itu yang terayun ke kiri dan kanan setiap kali ia berlangkah, seperti pendulum.

    “Nah, nah,” kata manusia domba itu, ketika kami sampai di ujung lorong. “Sampailah kita.”

    “Tunggu dulu, Tuan Manusia Domba,” kataku. “Bukankah cuma kebetulan kalau ini adalah sel penjara?”

    “Tentu saja,” jawabnya.

    “Tepat sekali,” kata lelaki tua itu.

    (8)

    “Ini tak seperti yang kau katakan padaku,” kataku pada lelaki tua itu. “Aku datang sejauh ini hanya karena kau bilang kalau kita menuju ke ruang baca.”

    “Kau sudah diantar,” kata manusia domba itu, dan mengangguk.

    “Benar, saya membohongimu,” kata lelaki tua itu.

    “Teganya kau…”

    “Diam, bodoh,” hardik lelaki tua itu, mengambil ranting willow dari sakunya dan mengayunkannya ke kepalaku. Aku mundur dengan cepat. Aku tak ingin wajahku dilecut dengan benda itu.

    “Masuk–jangan banyak tanya. Kau akan mengingat tiga seri buku itu dari awal sampai akhir,” kata lelaki tua itu. “Satu bulan dari sekarang aku akan mengujimu secara pribadi. Bila aku berkesimpulan kalau kau telah menguasai seluruh isinya, maka aku akan membebaskanmu.”

    “Mustahil untuk mengingat tiga buku setebal ini,” kataku. “Dan ibuku akan sangat gelisah tentang keadaanku sekarang…”

    Lelaki tua itu memperlihatkan giginya dan mengayunkan ranting itu dengan keras. Aku melompat, dan ayunan itu mengenai wajah manusia domba itu. Karena geram, lelaki tua itu memukul manusia domba itu lagi. Sangat tidak adil.

    “Lempar dia ke dalam sel. Aku meninggalkan buku itu untukmu,” perintah lelaki tua itu, dan bergegas pergi.

    “Apakah kau terluka?” tanyaku pada manusia domba.

    “Tak apa-apa. Hei, aku sudah terbiasa,” katanya. Ia kelihatannya memang baik-baik saja.

    “Aku benci melakukan ini, tetapi aku harus menguncimu.”

    “Bagaimana kalau aku bilang tidak, bila aku menolak untuk masuk ke sana? Apa yang akan terjadi?”

    “Maka ia akan memukulku lebih kuat lagi.”

    Aku merasa prihatin pada manusia domba itu, maka aku masuk ke dalam sel. Ada ranjang yang sederhana, meja, wastafel, dan toilet. Sikat gigi dan cangkir terletak di samping wastafel. Tak kelihatan bersih. Odolnya rasa strawberry, rasa yang tak kusukai. Manusia domba itu bermain-main dengan lampu meja, menyalakan dan mematikannya.

    “Hei, lihat ini,” katanya, menatapku dengan seringai. “Cukup rapi, hah?”

    (9)

    “Aku akan membawakanmu makan tiga kali sehari,” kata manusia domba itu.  “Dan pada jam tiga, aku akan memberikanmu donat sebagai kudapan. Aku sendiri yang membakar donat itu, rasanya renyah dan nikmat.”

    Donat yang hangat adalah salah satu favoritku sepanjang waktu. 

    “Oke, sekarang keluarkan jari kakimu.”

    Aku keluarkan kedua kakiku.

    Manusia domba itu menarik sebuah bola dan rantai yang kelihatan berat keluar dari bawah ranjang, memasang rantai itu di pergelangan kakiku, dan menguncinya. Ia menaruh kunci di saku bajunya.

    “Rasanya agak dingin,” kataku.

    “Jangan khawatir, kau akan terbiasa.”

    “Tuan Manusia Domba, apakah aku sungguh harus tinggal di sini sebulan penuh?”

    “Ya, tepat sekali.”

    “Tetapi, bila aku mengingat semua dalam buku-buku itu, ia akan mengeluarkanku, kan?”

    “Aku tak yakin itu akan terjadi.”

    “Lalu apa yang akan terjadi padaku?”

    Manusia domba itu menelengkan kepalanya ke satu sisi. “Wah, sangat sulit.”

    “Tolong, katakan padaku. Ibuku menunggu aku pulang.”

    “Oke, bocah. Aku akan langsung mengatakannya padamu. Bagian atas kepalamu akan digergaji dan otakmu akan dicucup habis.”

    Aku syok mendengar kata-kata itu.

    “Maksudmu,” kataku, ketika telah pulih, “maksudmu lelaki tua itu akan memakan otakku?”

    “Ya, maafkan aku, tetapi begitulah yang akan terjadi,” kata manusia domba itu dengan enggan.

    (10)

    Aku duduk di ranjang dan menyembunyikan wajahku di dalam tangan. Kenapa hal ini seperti ini terjadi padaku? Yang aku lakukan hanya datang ke perpustakaan dan meminjam buku. 

    “Jangan terlalu berpikir susah,” hibur manusia domba itu. “Aku akan membawakanmu makanan. Makanan panas yang nikmat akan menghiburmu.”

    “Tuan Manusia Domba,” tanyaku, “kenapa lelaki tua itu ingin memakan otakku?”

    “Karena otak yang terbungkus dengan pengetahuan itu nikmat, itulah alasannya. Rasanya nikmat dan lembut. Dan juga sedikit kasar.”

    “Jadi itulah alasannya ia menginginkan aku menghabiskan waktu sebulan untuk memadatkan informasi dalam otakku, untuk kemudian menghisapnya?”

    “Tepat sekali.”

    “Tidak kau pikir itu amat kejam?” tanyaku. “Berbicara dari sudut pandang orang yang dihisap, tentu saja.”

    “Tetapi, hei, hal seperti ini terjadi di perpustakaan mana pun, kau tahu. Kurang atau lebih, seperti itu.”

    Kabar ini mengherankanku. “Di perpustakaan mana pun?” kataku tergagap.

    “Bila yang perpustakaan itu lakukan adalah memberikan pengetahuan secara gratis, apa bayarannya untuk mereka?”

    “Tetapi itu tak memberikan perpustakaan itu hak untuk menggergaji bagian atas kepala orang dan memakan otak mereka. Tidakkah kau pikir itu terlalu jauh?”

    Manusia domba itu melihatku dengan sedih. “Kau berhadapan dengan rencana yang sial, kurang lebih begitu. Semua sudah terjadi.”

    “Tetapi ibuku akan khawatir menungguku. Bisakah kau membantuku keluar dari sini?”

    “Tidak, tak akan bisa. Jika aku melakukannya, aku akan dibuang ke dalam kendi yang penuh dengan ulat bulu. Kendi yang besar, dengan sekitar selaksa capung merayap selama tiga hari penuh.”

    “Mengerikan,” kataku.

    “Kau tahu kan, aku tak bisa membuatmu melarikan diri, bocah. Aku minta maaf.”

    (11)

    Manusia domba itu berangkat, meninggalkanku sendiri di sel yang kecil itu. Aku menelungkupkan wajahku di matras yang kasar dan tersedu-sedu selama sejam penuh. Bantalku, yang berwarna biru dijejali dengan sekam sorgum, menitik basah akhirnya. Bola metal yang terikat ke kakiku berbobot satu ton.

    Ketika aku mengecek jam tangan, tepat pukul 6:30. Ibuku pasti tengah menyiapkan makan malam dan menungguku pulang. Aku bisa melihatnya berlangkah di lantai dapur, matanya memandang jarum-jarum jam. Bila aku tak ada di rumah saat waktu tidur, emosinya mungkin akan tidak stabil. Begitulah tipe ibuku. Ketika sesuatu terjadi, ia selalu menduga yang terburuk, dan dugaannya semakin bertambah dengan cepat. Demikian juga ia terobsesi tentang semua hal buruk yang bisa terjadi atau ia pula terduduk di sofa dan menatap ke TV.

    Pada pukul tujuh, seseorang mengetuk pintu. Ketukan yang kecil, yang teduh.

    “Masuk,” kataku.

    Sebuah kunci memutar dalam gembok, dan masuklah seorang gadis mendorong gerobak makanan. Ia sangat manis betapa melihatnya saja membuat mataku pedih. Ia tampaknya seusiaku. Lehernya, pergelangan tangan dan kakinya sangat ramping, kelihatan seolah-olah mampu mematahkan tekanan yang kecil. Rambutnya yang panjang, yang lurus berkilau bagai dipintal dengan permata. Ia memeriksa wajahku sepintas. Lalu mengambil hidangan di atas gerobak makanan dan mengaturnya di mejaku, tanpa sepatah kata pun. Aku tetap terdiam, terpesona oleh kecantikannya.

    Makanan itu terlihat lezat. Ada sup bulu babi yang baru saja dimasak dan ikan tenggiri panggang (dengan krim asam), asparagus putih dibalut dengan biji wijen, salad selada dan mentimun, dan roti gulung hangat dengan segumpal mentega. Ada juga satu gelas besar jus anggur. Saat ia telah habis menatanya, gadis itu berbalik dan berbicara padaku dengan tangannya: Sekarang hapus air matamu. Waktunya makan.

    (12)

    “Apa kau tak punya suara?” tanyaku padanya.

    Tidak. aku tak punya. Pita suaraku dirusak ketika masih kecil.

    “Dirusak?” pekikku. “Oleh siapa?”

    Ia tak menjawab. Malahan, ia tersenyum dengan manis. Senyum yang amat berseri sampai udara sekeliling terasa tipis.

    Tolong pahami, katanya. Manusia domba itu tidaklah jahat. Ia berhati baik. Tetapi lelaki tua itu menakutinya.

    “Aku mengerti,” kataku. “Tapi tetap saja…”

    Ia mendekatiku dan menaruh tangannya di atas tanganku. Tangan yang kecil, yang lembut. Aku merasa hatiku akan patah menjadi dua.

    Makanlah selagi panas, katanya. Makanan panas akan memberikanmu tenaga.

    Ia membuka pintu dan meninggalkan ruangan, mendorong gerobak makanan di depannya. Gerakannya secepat angin bulan Mei. 

    Makanannya nikmat, tapi aku hanya memakan setengahnya. Bila aku tak mampu sampai ke rumah, kekhawatiran akan menggiring ibuku ke gangguan jiwa yang lain. Ia akan sangat mungkin lupa memberi makan burung jalak peliharaanku, dan mungkin saja akan lapar sampai mati. 

    Tetapi bagaimana aku bisa melarikan diri? Bola dan rantai yang berat terpasang di kakiku, dan pintunya digembok. Bahkan bila aku mampu menangani pintu, bisakah aku lolos lewat labirin koridor yang panjang itu? Aku mendesah dan menangis lagi. Tetapi bergelung di ranjang dan menangis tersedu tak akan membantu apa-apa, maka aku tenang dan menghabiskan santapanku.

    Bersambung

    Bagian berikutnya ditayangkan Rabu, 29 Juli 2020.

    Haruki Murakami lahir di Kyoto pada 1949 dan sekarang tinggal dekat Tokyo. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima puluh bahasa, dan penghargaan internasional terakhir yang diterimanya adalah Jerusalem Prize, yang penerima sebelumnya termasuk J. M. Coetzee, Milan Kundera, dan V. S. Naipaul.

    The Strange Library oleh Haruki Murakami adalah sebuah novelette. Terbit di Jepang pada 2005 dengan ilustrasi oleh Maki Sasaki dengan judul Fushigi no Toshokan. Terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 2014, diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Ted Goosen dan ilustrasi oleh Chip Kidd. Terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini didasarkan pada teks bahasa Inggris.

  • Perpustakaan yang Aneh [Haruki Murakami] (1 dari 4)

    author = Saddam HP

    Ini adalah bagian pertama dari empat bagian terjemahan cerpen/novela Perpustakaan yang Aneh karya Haruki Murakami.
    Bagian berikutnya ditayangkan Rabu 22 Juli 2020.

    (1)

    Perpustakaan itu lebih hening daripada biasanya.

    Sepatu kulitku yang baru berkeletak di atas linoleum kelabu. Suaranya yang keras, bunyinya yang kering terasa tak seperti langkah kakiku yang normal. Setiap kali aku kenakan sepatu baru, butuh beberapa saat untuk terbiasa dengan suaranya.

    Seorang wanita yang belum pernah kulihat sebelumnya, duduk di meja sirkulasi, membaca buku tebal. Buku yang amat lebar. Ia seolah-olah sedang membaca sisi buku yang kanan dengan mata kanan, dan membaca bagian kiri dengan mata kiri.

    “Permisi,” kataku.

    Ia menghempaskan buku ke bawah meja dan berupaya menatapku.

    “Aku datang untuk mengembalikan ini,” kataku, menempatkan buku-buku yang kubawa ke konter. Satu buku berjudul Bagaimana Membuat Kapal Selam, dan satunya lagi berjudul Memoar seorang Gembala.

    Pustakawati itu membalik kover buku-buku itu untuk mengecek tanggal peminjaman. Belum lewat batas waktu. Aku selalu tepat waktu, dan tak pernah mengembalikan barang terlambat. Ibuku mengajarkanku begitu. Begitu pula para gembala. Bila mereka tidak mematuhi jadwal mereka, domba-domba akan sangat liar.

    Pustakawati itu memberi stempel “Dikembalikan” ke kartu dengan tulisan hiasan dan melanjutkan bacaannya.

    “Aku juga sedang mencari beberapa buku,” kataku.

    “Belok kanan di bagian bawah tangga,” jawabnya tanpa melihat ke atas. “Langsung saja lewat koridor ke Ruang 107.”

    (2)

    Aku menuruni banyak anak tangga, belok kanan, dan berjalan sepanjang koridor yang redup sampai, cukup pasti, aku berhadapan dengan pintu bertanda 107. Aku mengunjungi perpustakaan banyak kali, tapi kenyataan bahwa ada ruang bawah tanah adalah kabar baru bagiku.

    Aku mengetuk. Sebuah ketukan yang normal, ketukan sehari-hari, namun berbunyi seakan-akan seseorang memukul gerbang neraka dengan tongkat bisbol. Suaranya bergema secara mengerikan sepanjang koridor. Aku berbalik untuk lari, tetapi aku betul-betul tak berlangkah, meski aku ingin melakukannya. Itu bukanlah cara aku dibesarkan. Ibuku mengajarkanku kalau kau mengetuk pintu, kau harus menunggu sampai seseorang menjawab.

    “Masuklah,” seru suara dari dalam. Suaranya lemah tapi menembus.

    Aku membuka pintu. 

    Seorang lelaki tua berbadan kecil duduk di balik meja tua yang mungil di tengah ruangan. Bintik-bintik hitam ada di wajahnya seperti kawanan serangga. Lelaki tua itu botak dan mengenakan kacamata berlensa tebal. Kebotakannya terlihat tak sempurna; ia punya rambut putih keriting yang tertempel di kedua sisi kepalanya. Kelihatan seperti sebuah gunung setelah kebakaran hutan yang besar.

    “Selamat datang, bocahku,” kata lelaki tua itu. “Apa yang bisa aku bantu?”

    “Aku mencari beberapa buku,” kataku takut-takut. “Tetapi aku bisa lihat kalau kau sedang sibuk. Aku akan datang lagi nanti…”

    “Tidak, bocahku,” jawab lelaki tua itu. “Ini profesiku – aku tidak pernah terlalu sibuk! Katakan ragam buku yang kau cari dan aku akan berusaha untuk melacak keberadaan mereka.”

    Betapa cara bicara yang lucu, kukira. Dan wajahnya juga sama aneh. Beberapa helai rambut yang panjang menjuntai dari telinganya. Kulit yang menggantung di bawah dagunya seperti balon yang bocor.

    “Dan apa tepatnya buku yang kau cari, teman mudaku?”

    “Aku ingin belajar bagaimana pajak-pajak dikumpulkan pada masa Kekaisaran Ottoman,” kataku.

    Mata lelaki tua itu berkilat. “Ah, aku mengerti,” katanya. “Pengumpulan pajak pada masa Kekaisaran Ottoman. Materi yang mengagumkan!”

    (3)

    Ini membuatku gelisah. Sejujurnya, aku tak terlalu berhasrat untuk mempelajari pengumpulan pajak Ottoman–topik itu masuk begitu saja ke kepalaku ketika dalam perjalanan dari sekolah ke rumah. Aku hanya ingin tahu, bagaimana orang-orang Ottoman mengumpulkan pajak? Seperti itu. Dan sejak aku kecil ibuku bilang, bila kau tak tahu sesuatu, pergilah ke perpustakaan dan carilah.

    “Tak usah repot-repot,” kataku. “Tidak terlalu penting. Betapa pun, cukup akademis…” Aku hanya ingin keluar dari ruang mengerikan ini secepatnya.

    “Jangan meremehkanku,” bentak lelaki tua itu. “Kami punya sejumlah seri yang berhubungan dengan pengumpulan pajak dalam Kekaisaran Ottoman. Apakah kau sengaja datang ke sini untuk mencemooh perpustakaan ini? Apa tujuanmu?”

    “Tidak, Tuan,” gerutuku. “Sama sekali itu bukan tujuanku. Aku tak mencoba untuk membodohi siapa pun.”

    “Lantas tunggulah di sini seperti seorang bocah penurut.”

    “Ya, Tuan,” jawabku.

    Pria tua itu bergerak tiba-tiba dari kursinya. Punggung tertunduk, ia berjalan ke pintu baja di belakang ruangan, membukanya, dan menghilang. Aku berdiri di sana selama sepuluh menit, menunggu dia kembali. Beberapa kumbang hitam kecil mencakar bagian bawah tudung lampu. 

    Tak lama kemudian lelaki tua itu kembali, membawa tiga buku tebal. Buku-buku itu sudah sangat tua–aroma kertas kuno mengambang di udara.

    “Senangkan matamu dengan buku-buku ini,”  kata lelaki tua itu dengan senang. “Kami punya Sistem Pajak Ottoman, Buku Harian Seorang Kolektor Pajak Ottoman,  dan Pemberontakan-pemberontakan Pajak dan Penindasan, dalam Kekaisaran Ottoman-Turki. Kau harus akui, ini koleksi yang berkesan.”

    “Terima kasih banyak,” kataku dengan sopan. Aku mengambil buku-buku itu dan menuju ke pintu.

    “Tunggu di situ,” lelaki tua itu memanggilku dari belakang. “Tiga buku itu harus dibaca di sini–tak ada alasan apa pun buku-buku itu meninggalkan tempat ini.”

    (4)

    Tentu saja, setiap buku punya label merah, “Hanya Untuk Penggunaan Internal,” tertera di punggung buku.

    “Untuk membacanya, kau harus menggunakan ruang dalam,” kata lelaki tua itu.

    Aku memperhatikan jam tanganku. Jam 5:20. “Tetapi perpustakaan ini akan segera tutup, dan ibuku akan khawatir kalau aku tak ada di rumah pada waktunya untuk makan malam.”

    Alis mata lebat lelaki tua itu menyatu dalam garis lurus. “Waktu tutup bukanlah masalah.” Ia bermuka masam. “Mereka akan melakukan apa yang kukatakan–kalau aku bilang tak apa-apa, maka tak apa-apa. Pertanyaannya adalah, apakah kau menghargai bantuanku atau tidak? Kau kira kenapa aku membawa tiga buku berat itu ke sini? Untuk kesehatanku?”

    “Aku minta maaf,” sesalku. “Aku tidak pernah berniat untuk mengganggu. Aku tak tahu buku-buku ini tak bisa dibawa keluar.”

    Lelaki tua itu batuk keras-keras dan mengeluarkan gumpalan sesuatu ke dalam tisu. Bintik-bintik hitam di wajahnya berayun marah.

    “Bukan masalah apa yang kau tahu atau yang kau tidak tahu,” hardiknya. “Ketika aku seusiamu aku merasa beruntung bila punya kesempatan untuk membaca. Dan di sini kau sekarang, merengek tentang waktu dan telat makan malam. Betapa lancangnya!”

    “Baiklah, aku akan tetap di sini dan membaca,” kataku. “Tetapi hanya tiga puluh menit.” Aku tak terlalu pandai untuk menolak seseorang. “Tetapi aku tak bisa lebih lama dari itu. Ketika aku masih kecil, aku pernah digigit oleh anjing hitam yang besar dalam perjalanan pulang ke rumah dari sekolah, dan sejak itu ibuku mulai berlaku aneh  bila aku terlambat pulang sedikit saja.”

    Wajah lelaki tua itu terlihat mulai santai.

    “Jadi kau mau tetap di sini dan membaca?”

    “Ya. Tetapi hanya tiga puluh menit.”

    “Kalau begitu, ikut arah sini,” lelaki tua itu memberi isyarat. Di balik pintu dalam itu ada koridor yang berbayang diterangi oleh pijar lampu yang berkedip. Kami berlangkah ke arah lampu yang sekarat itu.

    (5)

    “Ikut saja aku,” kata lelaki tua itu.

    Kami telah menempuh hanya sebuah jarak yang pendek saat kami sampai di cabang koridor. Lelaki tua itu belok ke kanan. Tak jauh dari situ ada cabang lagi. Kali ini belok ke kiri. Koridor itu bercabang dan bercabang lagi, bertangkai berulang-ulang, dan setiap kali begitu, lelaki tua itu memilih rute kami tanpa ragu sedikit pun, pertama belok ke kanan, lalu ke kiri. Kadang-kadang ia membuka pintu dan kami masuk di koridor yang sama sekali berbeda.

    Pikiranku kalut. Sungguh aneh–bagaimana bisa perpustakaan kota kami punya semacam labirin besar di bawah tanah? Maksudku, perpustakaan-perpustakaan umum seperti ini selalu hemat uang, sehingga bahkan membangun labirin kecil sekali pun bukanlah tujuan mereka. Aku berpikir untuk menanyakan lelaki tua itu tentang hal ini, tetapi aku takut ia berteriak padaku lagi.

    Akhirnya, jalan yang ruwet itu berakhir di sebuah pintu baja yang besar. Tergantung di pintu itu tanda “ Ruang Baca.” Seluruh tempat itu tenang bagai kuburan di tengah malam.

    Lelaki tua itu mengeluarkan rangkaian kunci dari sakunya dan memilih satu kunci besar bergaya kuno. Ia masukkan kunci itu ke dalam lubang, melihatku sejenak dengan tatapan yang penuh arti, dan memutar kunci itu ke kanan. Ada suara bising ketika grendel kunci terbuka. 

    Pintu itu terkuak dengan lengkingan panjang dan tidak menyenangkan.

    “Nah, nah, kita sampai,” kata lelaki tua itu. “Masuklah kau ke dalam.”

    “Ke dalam sana?” tanyaku.

    “Begitulah.”

    “Tetapi di sana amat gelap,” protesku. Memang, di balik pintu ini gelap bagai lubang yang telah tertikam di kosmos.

    Bersambung

    Bagian berikutnya ditayangkan Rabu 22 Juli 2020.

    Haruki Murakami lahir di Kyoto pada 1949 dan sekarang tinggal dekat Tokyo. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima puluh bahasa, dan penghargaan internasional terakhir yang diterimanya adalah Jerusalem Prize, yang penerima sebelumnya termasuk J. M. Coetzee, Milan Kundera, dan V. S. Naipaul.

    The Strange Library oleh Haruki Murakami adalah sebuah novelette. Terbit di Jepang pada 2005 dengan ilustrasi oleh Maki Sasaki dengan judul Fushigi no Toshokan. Terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 2014, diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Ted Goosen dan ilustrasi oleh Chip Kidd. Terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini didasarkan pada teks bahasa Inggris.