Author: kibulin

  • Seikat Blues

    author = Sobrun Jamil

    Seikat Blues

    Blues itu mematuk dinding rapuh
    di dalam kepalaku
    Sedangkan gelap yang
    kumasuki tak jua sampai ujungnya
    Seringkali amat menakutkan kedunguan, bagiku
    Sebelum Blues mengajari pencarian

    Seseorang di dalam aorta leherku berkata:
    Blues adalah pendekar kegelapan, menyongsong rahasia dengan gairah di tangan
    Ke mana langkah kakimu setelah waktu merundung dan dinding mendesak?
    Adalah Blues mengajarimu setia pada
    kemungkinan di balik tantangan

    Kini Blues mendengkur di ujung jariku
    Meloncat keluar dan menendangku ke punggung cakrawala!

    SP, Mei 2020

    Blues Tho’ Sin Mim

    Kulihat hidup adalah denah-denah patah
    tanpa sambungan
    Maka kunukilkan padamu Blues dari Qur’an:
    Kisah-kisah masa silam menjadi jembatan ke
    hari depan
    Dari tongkat pembelah laut sampai jazz di Madinah
    Ibrahim yang gagah mengalungkan kapak pada rembulan, betapa Blues!
    Selaksa Yunus, selaksa ikan paus, selaksa petapa mengolah kebuntuan
    Dan apabila Daud tak kau hitung, serulingnya akan meniupmu ke ruang-ruang hampa
    Di sana kau temui Zakaria, tergeletak di ranjang kesunyian

    Tho’ Sin Mim! Tho’ Sin Mim!

    Blues menekukmu, dari Tho’ yang tegak lurus ke langit menuju
    Mim yang membenam ke bumi
    Nama besar, kesuksesan, dan ketinggian adalah semu
    Jika tak berakhir pada sujud ilaLlah

    Betapa Blues!

    SP, Mei 2020

    Blues Sakinah

    Suara itu datang lagi,
    entah dari patahan angin sebelah mana
    Bagai ghost-note dalam permainan boogie woogie, samar tapi tetap berada
    dalam keberadaan

    “Hidup adalah perjuangan tanpa henti untuk
    menggenggam ketentraman. Ketentraman pula, angin. Dijaring, lolos. Dibungkus, lenyap. Tetapi angin tak bisa lepas dari ruang. Angin selalu butuh ruang untuk tinggal. Sekarang, kemasi Blues ke dalam rongga jiwamu, terbanglah untuk meruang!”

    Litaskunu ilaiha, litaskunu ilaiha!

    Blues-ku terpekur di ujung dahan
    Tuhan di mana-mana, sekaligus tak di mana-mana
    Pergi ke mana? Kembali pada siapa?
    Tuhan ada di sini, di dalam, tak pernah tak kurasakan
    Selalu lebih putih dari tulang

    Tetapi Tuhan pun, selalu hadir dalam kehilangan
    Selalu menagih pencarian, perjalanan, pengembaraan
    Serupa hukum optik: semakin dicahayai
    semakin sempurna bayangan
    Bayangan ada karena cahaya

    Blues sakinah,
    Tak ada ke mana yang sampai
    Selain bertapa di waktu
    Mendengungkan Blues kapanpun hati mau

    SP, Mei 2020.

    Blues Kinanthi

    Lebih dari sekadar babak sebuah tembang
    Hidup kita lebih ikal dari notasi yang ditegur
    oleh Pak Pelog dan Bu Slendro
    Apalagi Pakdhe Pentatonis dan Budhe Diatonis
    Apa bisa membaca sesuatu yang tak berbunyi,
    seperti misal, kangenmu?

    Ah, tentu saja kita kecut dan marah
    Bisa-bisanya ia berkata:
    “Perjalanan dari Mijil sampai Megatruh, ditengahi oleh Blues bernama Kinanthi!”

    Tak kurang-kurang isi kepalamu memintal api
    Bahkan perutmu memendam semacam kegelapan yang lapar
    Memakan seluruh jalinan syaraf di tulang
    Sehingga tarianmu kini aus dan tak berporos

    In lam takun ‘alayya ghodo-Blues, fa la uballi!

    Suatu hari kaca di jendela kamarmu bergetar
    Angin menggedor membawa sepucuk
    kabar di genggaman
    Dengan hati sembelit dan mata yang awas
    Huruf demi huruf kau susun di atas sprei beraroma rembulan

    Hasilnya:

    “Yth. Blues, di tempat.
    Apabila zaman menjarak suka-duka di keningmu
    Ikutilah aku sebagai pertanda sekaligus kawan
    Dari sebuah igauan yang patah di persimpangan.”

    SP, Mei 2020

    Blues yang Aneh

    Sebagian dari isi kepalaku mencret
    bagai suar, ia menembakkan comberan
    dan air sampah ke titik-titik langit yang tatap
    Pagi ini aku bermimpi (ya, kulipat matahari
    jadi rembulan dan kulipat rembulan jadi wajahmu),
    tetapi seperti bukan aku dalam mimpiku
    Mungkin kamu, atau satu dari triliunan kita,
    terserah saja.

    Mula-mula di mimpiku, aku berdiri dalam sedekap, sikap sholat yang tegak
    Alang-alang bermahkota sinar violet mengelilingi tubuhku,
    satu per satu urat dan daging lolos dari tulang
    belulang
    Tiap detik yang mengetuk bagai mengurai diri perlahan: kini aku kunang-kunang, padam tapi bersahaja
    Melesat ke pusat tata surya!

    Tiga ratus tujuh puluh dua galaksi
    Bergerak acak bagai biji karambol
    Nyata. Di depan mataku: mata kunang-kunang

    Inti dari segala anomali adalah ruang hampa
    Ratusan janji demokrasi, undang-undang,
    pemerintah dan negara
    Menguap jadi ruang hampa
    Hampa tak bisa digenggam, tak bisa dimaknai
    tak punya harga

    Maka, di akhir fragmen mimpiku
    Muncul telapak tangan amat besar dari
    dasar kesuwungan
    Sembilan planet berputar tertib di atasnya
    Kemudian suara dari sudut suwung yang lain
    menegur:

    “Setiap kesabaran dilatih oleh jarak tempuh melingkar, diuji oleh api, dan dihukum oleh kematian. Semakin dekat matahari, semakin cepat sampai, tetapi semakin mudah terbakar. Semakin jauh dari matahari, semakin lambat sampai, dan mustahil terbakar. Pilihlah satu
    dari sembilan jenis waktu ini. Kesabaranmu
    yang mana?”

    SP, Juni 2020.

  • sebuah kampung tumbuh subur beserta harapan

    author = Moh. Afaf El Kurniawan

    Juara 3 Lomba Cipta Puisi Festival Sastra UGM 2020

    sebuah kampung tumbuh subur beserta harapan

    a/
    sesekali kau tak akan mengerti
    menyaksikan hidup bersandar pada petak-petak tanah
    dada yang tabah. warna kulit hangus terbakar matahari
    di kening, musim adalah baris-baris doa
    kami panjat di waktu paling sunyi

    oh kepada yang memberkati
    sebuah pagi dengan kicau burung koju’
    di sela-sela pohon bambu
    bagai tembang memulai hari yang keras
    hidup yang tandus. nasib serupa cadas di punggung waktu
    kami terima sebagai beban waris pendahulu
    sementara luas batin kami
    hamparan langit dan dalam biru laut

    di sini kesabaran kami bagai hujan
    tanam lumpur dalam diri
    tempat menaruh mimpi
    : kampung yang tenang dari luka dan kekejaman hati

    b/
    kampung ini tumbuh subur beserta harapan
    walau tanahnya keras dan panas
    cinta menjelma embun di luas rerumput

    capung-capung berkejaran di udara
    seperti usia kanak-kanak mengakrabi keriangan
    sepanjang jalan antara masa lalu dan hari yang akan datang
    pohon-pohon rindang bagai waktu tumbuh dengan
    teduh – mendamaikan usia

    oh kampung yang permai
    kampung yang terhidar dari ringkik kuda
    juga salak anjing hutan
    di utara gunung. di selatan gunung
    dari ujung barat hingga timur
    sungai membentang dan berkelok bagai suratan
    mengalirkan sejuk ke dasar jiwa kami

    c/
    ketika matahari di atas ubun-ubun
    dan liuk ilalang seakan melambai ke wajah langit
    di jalan setapak nan berliku
    anak-anak pulang sekolah telanjang kaki
    langkahnya yang riang
    – mengejar masa depan yang lebih waras

    oh hari yang akan datang
    hari yang belum tentu datang
    hari yang mungkin tak akan datang

    di antara luas ladang-ladang
    kami tanam kecemasan sedalam mungkin

    pada sebatang sungai
    yang membelah tubuh kampung
    kami alirkan kesedihan ke muara masa lalu

    ;agar anak cucu kami tak merasakan peluh nasib yang sama

    d/
    rumah kami beralas tikar pandan
    berdinding anyaman bambu
    dan dapur selalu mengepulkan asap kasih sayang
    jika kau ada waktu, sesekali datanglah kemari
    pintu selalu terbuka
    kamipun pantang tak berbuat manis pada tamu

    di sini kami selalu berdiri dan berpijak pada kehangatan cinta
    tutur kata bagai mekar kembang kamboja
    memandang sebatang sungai bagai kemujuran anak cucu
    jagung, padi, dan tembakau hasil peluh dan doa

    pun barangkali kau tak akan mengerti
    di sini batu dan bintang penuh isyarat
    menjadi tanda siapa yang pantas kami anggap kerabat

    Oktober 2019 – April 2020

  • Sajak Sajak Bemartamukti

    author = Bemartamukti

    Pengantar Desember

    Kau datang begitu cepat

    mengejutkan hati pada revolusioner

    yang sedang melakukan revolusi diri

    serta mimpi-mimpi yang belum sepenuhnya terpenuhi

    kautikam waktu tanpa peduli siapa yang sedang

    mengatur diri untuk menjadi pemenang di kemudian hari

     

    Desember, yang katanya penghujung tahun

    kini lebih seperti penentu sebuah harap yang menahun

    yang berakhir jadi titik balik yang menukik

    kejurang paling pelik. Dan menjelma kembali

    menjadi titik awal bagi mereka yang tumbang

    di medan peperangan

     

    Ketika usia masih remaja, kukira semua akhir

    akan selalu berpihak pada bahagia

    hingga usia mengantarkanku pada seperempat abad

    perkara apa saja yang tertunda, dapat

    melahirkan duka dan nestapa hebat

     

    Desember, kurasa tak lagi berwarna

    seperti film-film Richie Rich yang diputar tanpa bosan

    permen-permen Santa Claus yang rasanya mulai tawar

    lagu-lagu ketenangan yang justru menyeramkan

    paket-paket liburan yang cukup menguras tabungan

    pesan-pesan nyasar pemenang undian yang penuh tipu-bualan

    serta gema-gema iklan toko online yang tak peduli isi celengan 

     

    Kepada Desember,

    janganlah kau tanyakan kepada siapa saja

    tentang mimpi, pencapaian, harapan, keberhasilan,

    dan rasa suka yang tanpa mengandung duka

    kerana tiada yang mampu menanggung lara

    walau kaujanjikan kejutan dengan mendatangkan

    tahun yang baru dan lebih seru,

    sebab barang siapa saja yang kecewa

    berganti tahun adalah mimpi buruknya

    2020

     

    Dua Puluh Empat di Bulan November

    Di dua puluh empat di bulan November

    kita mengarungi malam dalam rindangnya

    purnama yang undur diri dari panggung megah

    : di langit yang sedang masygul

     

    Di dua puluh empat di bulan November

    kita tenun senyum dalam sebilah senyap

    dalam peluk yang tak lagi hangat

    : di beranda yang lekat dengan pohon keramat

     

    Di dua puluh empat di bulan November

    kita tulis kilasan peristiwa yang sumbing

    dari kisah yang mengandung kasih

    : di hamparan cangkir-cangkir yang ganjil 

     

    Di dua puluh empat di bulan November

    kita mengikrarkan ucap sehidup tanpa semati

    dalam derunya kata yang mengalun di sela-sela epitaf ibu 

    : di kenangan yang menganak pinakan danau di pipiku

     

    Di dua puluh empat di bulan November

    kita mencipta pasang dan surut

    dalam carut marut air laut

    : di curamnya air mata yang bermetamorfosa menjelma palung segara

    2020

    Menganyam Doa

    Dan, Kasih

    mari bersuci dan bergegas pergi

    menuju haribaanNya yang sunyi

    dengan bekal yakin dan percaya diri

     

    Bukalah genggamanmu, ketika

    bait pertama keluar dari bibirku

     

    Sebab, Kasih

    kita membutuhkan amin

    untuk doa-doa yang mengudara

    berserta iman untuk tercapainya

    pinta kepadaNya

     

    2020

    Menggambarkan Kisah di Peliknya Resah

    Sebelum segalanya terbayar lunas

    kita adalah sekumpulan buas

    yang mengarungi hamparan luas

    di harapan yang tandas

     

    “Berapa jam yang kauhabiskan untuk membaca dan menulis?”

    tanya seorang telada

    kita hanya diam tanpa raut manis

    pandai menggadaikan diri hanya karena haus eksistensi

    menggumuli diri sebab itu yang sedang trendi

     

    Hari esok adalah rahasia

    namun kita sudah berlagak tahu segalanya

    perihal apa dan bagaimana masa tua

    kita seakan hafal alur jalannya

     

    Dagu mendongak, mata menajam

    ingin terlihat gaya namun isi kantong boleh pinjam

    kita tak peduli mana ingin mana butuh

    asal pengikut bertambah, lagak pun harus bertumbuh

     

    2020

  • Ruang dan Waktu oleh Irwan Apriansyah

    author = Irwan Apriansyah
    lahir di Malingping, Lebak, Banten, 17 April 1989. Telah merampungkan studi di Fakultas Bahasa dan Seni – Universitas Negeri Yogyakarta. Beberapa karyanya termuat di Jurnal Sajak dan media cyber. Bergiat di Sindikat Rawarawa dan Susastra.

    PENEGASAN

    Ia terbangun
    Dengan seribu kecemasan
    Di matanya

    Kegelapan merambat di wajah langit
    Gemintang seolah redup
    Bulan tak lagi tembaga
    Dunia kehilangan warna
    Kata-kata menjauh dari lidah

    Sang kekasih bangkit, berjalan, terhuyung
    Mencari tempat paling sunyi
    Di mana hanya ada dirinya
    Dan bayang mimpi

    Barangkali
    Mimpi tak perlu ditafsir
    Sebagai wahyu
    Barangkali
    Tuhan tak memberi perintah apa-apa
    Barangkali cinta tak perlu diuji
    Tapi kenapa ia menuntut pengorbanan

    Ibrahim termenung dalam tanya
    “O Tuhanku,
    inikah cinta
    atau petaka?”

    Ibrahim terjaga
    Merenung serupa patung di kuil-kuil
    Antara takut dan harap
    Tangan langit mengusap putih nasibnya
    Usia yang senja
    Sebilah pisau di urat leher sang putra
    Sebilah pisau menagih penegasan
    Dari kemurnian cinta
    yang menyala dan menyulut
    selubung jiwa.

     

    RUANG DAN WAKTU

    Kau bertanya
    Apa itu ruang?
    Apa itu waktu?
    Dan kujawab:
    Ruang adalah dirimu
    Sebuah dunia yang menampung
    degup jantungku,
    yang menjaga darahku tetap mengalir.

    Dan waktu adalah aku
    Dalam diriku kenangan dan harapan
    Berjalan beriringan
    Darimu dan menujumu
    Kulihat wajahmu
    menyusun dirinya sendiri di masa depan
    Sebagaimana kulihat wajahmu
    Membentuk dirinya sendiri di masa silam.

    Tanpaku, kau hanya kekosongan yang dalam
    Ruang hampa yang sia-sia.
    Sedang aku, tanpamu,
    dunia mana yang dicipta
    tanpa adanya waktu?

     

    KASATMATA

    Aku gelombang
    Yang merambat di udara
    Mengantar suara dan cahaya

    Kau tak akan mampu mengejarku
    Dengan kecepatan benda-benda
    Yang kau cipta

    Aku gelombang
    Berkarib dengan materi
    Merambat di segala ruang
    Mengantar suara dan cahaya
    Hanya agar keduanya sampai kepadamu

    Bersamaku
    Kau dapat mendengar
    Sejarah menjerit dan meminta uluran tanganmu
    Untuk membebaskannya
    Dari belenggu penguasa
    Kau juga akan mendengar
    Sayup-sayup suara masa depan
    Yang tak jelas wujudnya
    Yang memanggil dan menagih jiwamu
    Untuk menjadi bagian dari dirinya.
    Bersamaku
    Kau dapat melihat dunia penuh warna
    Kelamnya dukacita, terangnya sukacita
    Sebab akulah yang mengantar cahaya
    Yang mengangkat kegelapan dari pangkuanmu
    Menepis segenap mimpi
    Agar kau berlapang dada menerima segala yang nyata
    Buka sepasang matamu dan terbangunlah dari mimpi
    Sebab nasib telah menghamparkan dua jalan,
    Jalan menuju hari kemarin
    Dan jalan menuju hari esok
    Keduanya ada, hanya kemurnian jiwa
    Kuasa memilih satu di antara yang dua.

    Aku gelombang yang setia kepadamu
    Ada di sekitarmu, tak tersentuh oleh jemarimu,
    Yang selalu ada dan senantiasa kasatmata.

     

    RISALAH

    Kuletakkan dunia lama ke pundakmu
    Hidup yang fana ke telapak tanganmu
    Beri aku makna
    Hidupkan lagi segala yang lama mati.

    Yang kau lihat dalam diriku
    Ada dalam dirimu
    Yang kau baca dari kata-kataku
    Tertulis dalam lembar nasibmu
    Yang kau kenang dariku
    Hanya bagian dari waktu
    Sebab aku pernah jadi tawanannya

    Kini aku melayang seperti kapas
    Menuju negeri azali
    Sebuah pesta yang tak dihiasi ledakkan
    Ataupun api
    Sebuah pesta yang penuh wangian mawar
    Dan kekasih abadi
    Maka usap mataku
    Karena dengannya telah kusaksikan
    Kelahiran dan kematian dunia
    Kecup bibirku,
    Dengannya kuwariskan senyum dan tawa
    Kepadamu.

     

    Catatan Redaksi:

    Puisi-puisi Irwan Apriansyah nampaknya memperlihatkan relasi kuasa antara Tuhan dan manusia. Meskipun akhirnya Tuhan telah memberikan (mewariskan) kekuasaan kepada manusia untuk mengurusi dirinya sendiri dan juga dunia, namun Tuhan tetap tak serta merta melepaskan dirinya dari ikatan kuasa itu. Saat manusia diuji dan membutuhkan pertolongan, Tuhan akan kembali hadir untuk memberi pertolongan.

    Dalam puisi-puisinya, Irwan Apriansyah nampak mencoba untuk menghadirkan sisi eksistensi manusia, bahkan mencoba menghadirkan relasi yang setara. Namun pada akhirnya, Tuhan tetaplah menjadi awal dan akhir segalanya, menjadi pusat yang selalu dominan.

    Dalam narasi tentang pengorbanan, Tuhan juga dihadirkan dengan kuasa penuh melalui tuntutan kepada manusia untuk membuktikan cinta kepada diriNya, yakni dengan meminta pengorbanan berupa hal duniawi yang paling dicintai manusia. Dalam titik ini, manusia sekali lagi tak memiliki pilihan. Hal ini kembali menunjukkan bahwa di hadapan Tuhan, manusia tak memiliki kuasa apa-apa.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Ritual Kematian oleh Noni Erviani Lubis

    author = Noni Erviani Lubis

    Catatan Redaksi:
    Puisi ini menghadirkan kematian dengan sangat intim. lukisan suasana sepi serta kerinduan pada mereka yang terpisah dua dunia menjadikan puisi ini memiliki nuansa liris, emosional, namun tetap terjaga. Meskipun terasa hikmat, ada larik-larik yang cukup menghentak, menghadirkan ironi dalam kelirisan itu, kedekatan yang dibangun sebagai ilusi, melalui dialog serta narasi kesendirian yang diungkap dengan cara sederhana namun cukup menyayat menjadikan puisi ini layak untuk dinikmati.

     

     

    Lagu Tentang Keranda

    Malam tadi kita bernyanyi tentang keranda
    lalu pagi tiba
    Dan kita berhenti bernada
    Kau bilang keranda sudah hampir tiba
    Kelak kau akan susul aku kan, dinda?

    Iya, iya kubilang
    Sambil mengelus-ngelus punggung kerandanya

    Binjai, 4 November 2017

     

    Lelaki Sepi di Bukit Tandus

    Ada yang berputar-putar mengelilingi bukit berbatu
    Ada hamparan rumput kering
    Aku mendengar ia bernyanyi tentang sepi
    Lelaki itu
    Aku mencintainya lebih sunyi daripada sepinya
    Ia lelaki yang dicintai semua orang
    Dan kadang aku suka kasihan
    Keberserahannya dalam sepi, menjerit mencari potongan tubuhku di balik batu
    Bukit tandus

    Aku mencintainya lebih sunyi daripada sepinya
    Ia lelaki yang dicintai semua orang
    Tapi hidupnya tak lebih malang daripada perasaanku

    Dan kami selalu bernyanyi tentang sepi
    Setiap malam
    Menjelang ajalnya

    Binjai, 2 Desember 2017

     

    Ritual Kematian

    Tubuhku adalah rongga ; tempat dimana kau keluar masuk
    Semakin sering kau mengunjungiku, semakin menganga dan tak lagi bisa ditambal
    Dan hari ini genap sembilan puluh hari ritual itu berlangsung
    Aku mendapati satu lobang melebar
    Yaitu ada di antara kedua pangkal paha
    Satunya lagi tepat di atas kepalaku

    Keduanya saling mendidih
    Menimbulkan aroma duka
    Dan tanganku adalah sebaik-baiknya tangan yang pernah menjamahnya

    Binjai, 11 November 2017

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Rantauan Puisi Arif Furqan

    author = Arif Furqan

    Hujan di angkringan

    Hujan menyapaku
    dibawah terpal angkringan
    riuh berdentum mengguyur
    gelas kopi yang dingin dan hitam

    Riaknya menegur berteriak
    gaduh dan lantang,
    “cepat pulang!”

    Jogja, 2013

    Ngasem

    : untuk AR

    Lewat tengah malam ini
    sepucuk kenangan higgap di dahi
    Sengatannya, auuh!
    Mencubit kantuk pergi
    menyeberang ke tepi memori

    Aku menyusur jalur yang dulu kita lewati
    Sepi kawan,
    malam telah tenggelam
    dan pagi tak hendak beranjak

    Kau tahu kawan,
    aku memesan makan yang sama
    pada warung pojok pasar itu.
    Minuman yang sama juga
    di masa susah

    Di tempat ini kawan,
    kita dulu sering bertanding derita
    Kau bilang keluh kujawab kesah
    Kurasa sekarang engkau yang kalah
    Susah dan kenangku masih tersisa

    Jogja lewat tengah malam, 2016

    Puasa di Jogja

    Puasa di Jogja adalah
    Menyusur jalur sahur
    di pagi buta,
    gelap mendekap
    menyimpan lapar
    di setiap ketika

    Puasa di Jogja adalah
    menunda rindu dahaga
    Lalu bertemu di nol kilometer
    memetik senja terbenam
    pada pipimu yang merona

    Berbuka di Jogja adalah menyeruput es teh
    pada sedotan sama
    yang menyimpan sisa aroma nafasmu

    Jogja, 2015

    Lebaran

    Lebaran,
    Rasanya baru kemarin kau membangunkan subuh dari buta
    Belum sempat kita bersantap bersama seusai senja
    Belum sempat kulihat kau dengan baju pemberian ibu sebelas tahun lalu
    Belum sempat kusaksikan adegan kau bersujud di depan ibu

    Kau sudah mau pergi saja, lebaran?
    Kau bahkan belum sempat terima maafku
    yang tak pulang sejak bertahun-tahun lalu

    Jogja, 2017

    Pada sebuah Kota

    : mrt

    Kota itu semakin canggih saja
    mengganti waktu dengan jalur-jalur baja
    menambal hampa dengan harga

    Ah, kota itu semakin maju
    mengganti senja dengan organ palsu
    menukar lembar harapan
    dengan rentetan daftar cicilan

    Kota, hamba ingin pulang
    pada parasmu yang polos dan lugu
    tanpa merah dari bibir luka
    bekas memar lebam asa yang sirna

    Kota, meskipun darah
    tercecer di sekujur ingatanmu
    padamu aku ingin pulang
    menghunus rindu

    Chiang Rai, Maret 2019

  • Pulang oleh Ani Suryani

    author = Ani Suryani

    Catatan Redaksi:
    Puisi-puisi Ani Suryani mengisahkan cerita cinta yang sederhana seperti cinta seorang ayah pada anaknya, cinta dua sejoli atau cinta seorang kepala keluarga pada keluarganya. Diksi-diksi yang dipilih adalah diksi-diksi sehari-hari dan metafor-metafor yang hadir juga mudah dipahami, menjadikan puisi ini mengesankan kesederhanaan penggunaan bahasa. Dengan tema yang sederhana dan bahasa yang mudah dipahami, puisi ini menjadi sajian yang cukup nikmat, menawarkan citarasa yang sederhana, kendati dalam beberapa sisi kita akan menemukan rasa yang unik yang hadir dari serpihan-sepihan nuansa kedaerahan yang khas di dalamnya.

     

     

    Pulang

    Dua anak kecil bermain tali di taman
    dekat gubuk Bapakku. Mereka tertawa tanpa
    tau jika derita telah mengantri sekilan di depan jidat yang
    jenong.

    Aku memasang tali sepatu, berharap tapak membolehkanku
    beristirahat sejenak. Di muka gubuk, di wajah keriput Bapak
    kudapati debar yang berebut hambur. Bapak mengusap jilbabku
    ‘Bapak hanya akan mencintaimu pada dua waktu’
    Lantas kujawab ‘Kapan itu?’
    ‘Sekarang dan selamanya’.

    (Januari, 2018)

     

     

    Batanghari

    Saat itu cuaca tak terbaca,
    seperti bibirmu yang dikecup batanghari,
    kau ingat itu? Tengkulukmu sedikit ditiup angin pada pinggiran
    sungai ini.

    Kita bawa pedih-perih berlari,
    memandikan dosamu. Tapi
    kita sudah terlanjur bahagia
    hidup dalam kata sederhana. Sesederhana air di depan muka kita
    yang selalu setia. Menunggu, seperti kisah angso duo
    yang terus menelusuri aliran coklat sungai ini
    tanpa peta,
    tanpa tahu ujungnya.

     

     

    Telepon Pukul Sembilan Malam

    Sejak dulu aku sudah sering
    memintamu. Ajari aku mengeja
    cuaca dan mengecap rasa gula yang
    dicampur sebotol wisky.

    Apakah seharian tadi kau lupa suatu berita?
    kau datang kepadaku lewat gelombang
    gelombang suara. Kita menyulam malam menjadi
    inti rindu yang curiga.

    Tapi kenangan telah habis kita obrolkan. Kutatap kaca
    jendela. Disana tergambar wajahmu, wajahnya. Seperti
    galeri dalam sebuah lumbung, aku berjejal mencari celah
    untuk sekedar mendengar debar dari jantungmu
    lebih dekat sembilan inchi.

    ‘Aku pendengar yang baik, ceritakan saja semua
    rindumu’, tawarmu.

    Barangkali, debar akan selalu mencari namaku dalam
    ponselmu. Entah untuk mengajakku bercinta, atau sekedar rindu
    yang retak di selimut kamarmu.

    (2018)

     

     

    Tarian Penyadap Karet

    Pernah ia menari di atas tempurung penuh
    getah. Lengket, tapi kaki dan tangannya terlanjur gemar
    bergerak. Dipejamkan matanya, ada
    gelisah dalam rongga dadanya.

    Pernah pula ia berhenti menari,
    ‘Ah, harga beras lebih mahal dari sekilo
    karet. Sial! Babi!’, dia memaki pada babi di
    hutan. Tapi beruang ikut maki-maki.

    Tapi getah tadi tetaplah getah, mengucur pada
    darah dan ruas-ruas tulang anak isterinya. Sementara ia menanti
    musik dari kawanan jangkring, untuk terus menari.

    Disayat lagi pepohonan sambil menari, hingga
    tak ada lagi lapar dalam perutnya
    sendiri.

    (2018)

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Puisi-Puisi LY. Misnoto

    author = LY. Misnoto

    Kemerdekaan yang Hilang di Pedalaman Kota

    kita tunaikan perjalanan

    ke arah temu yang menuai makna;

    tanpa berlari

    atau hanya sekadar membawa obor

    dari sisa-sisa kemerdekaan

    yang didiamkan dalam sebuah rahasia

     

    sampailah kita pada pedalaman kota

    dan kemerdekaan hanya riwayat bagi cerita

     

    Bekasi, 2020

    Kata Sakral di Keningmu

    bisa saja kita sebut mantra keabadian

    yang sering dibaca di keningmu

    dengan ciuman mesra

    sebelum membuka tabir tubuhmu

    dan berdansa–layaknya di sebuah pesta–

    pada ranjang yang senantiasa menunggu

    tak sampai purnama menjadi kota

    bagi tubuhmu, tubuhku, dan kenikmatan kita

    gelap–dengan segala sandiwara–

    menyembunyikan ingin di tempat paling rahasia

     

    burung ikut bersandiwara bersama kekasih

    pada dahan yang baru saja patah

    di halaman rumah kita

    sebab angin tak mampu menahan luka

    matahari dalam sebaris kata

    yang kubacakan di keningmu, sayang

     

    bagaimana kalau kita sama-sama

    menikmati sebotol anggur

    dari keringatmu yang basah

    sebelum mengering di ranjang?

    biar kata kian sakral di keningmu

    dan kita bersama-sama pergi

    ke kota–mengadu nasib–

    demi sebuah asa kepulangan

     

    barangkali namamu menjadi riwayat

    bagi sepi yang kehilangan tanya

    sebelum kita benar-benar pulang

     

    rumah kita telah menjadi mahligai dalam angan

     

    aku tahu, di keningmu tersisa ciuman

    yang menjadi tanya bagi rindu

    yang menjadi gelisah bagi cerita

    yang menjadi renta bagi riwayat

    dalam tidurmu di suatu malam

    tidurlah, sayang!

    damaikan rindu pada bantal kesayanganmu

     

    bila tubuhmu gelisah dirundung dingin

    bacalah mantra sebuah pelukan

    sebelum sempurna memejamkan mata

    biar malam menyimpan aku

    dalam hangat tubuhmu

     

    Bekasi, 02 Januari 2021

    Menunggu dalam Kecemasan

    bila tangis melahirkan cemas

    pada silau mata yang terpejam

    –jangan paksa membaca puisi rindu

     

    sebelum sujud selesai dalam penantian

    memutuskan seluruh pemujaan di tubuh

    yang seringkali menyimpan resah

    juga tawa di ruas-ruas kenangan

    dengan dekapan penuh kehangatan

     

    dan setiap kali gelap menjadi riuh

    di depan rumah–tempat menunggu kepastian

    almanak di kamar pecah dalam tanya

    melebur hari-hari yang gagal diramu

    di sudut perbatasan, kemurungan mengusangkan doa

    pada perenungan sajadah keabadian

    yang dibekap ritual masa tua

    meski malam-malam masih bersembunyi

    dalam kecemasan: menunggu kedatangan

     

    detak jantung kehabisan tenaga

    bersama air mata pada gelisah

    sementara penantian belum berakhir sempurna

    dengan kecemasan-kecemasan menghujam

    sebelum pintu rumah terbuka dan tertutup kembali

    dan ia masih berucap:

    kebahagiaan adalah kau sebelum purnama

     

    apakah dengan luka kau kembali?

    pilu masih pasrah dengan harap

    tanpa ada kenangan di setiap jejak

    dan ia ingin kembali menjadi puisi

     

    ah, kecemasan lelah menjadi kelahiran bagi tunggu

     

    Bekasi, 09 Januari 2021

    Kepadamu, Kekasih

    kepadamu, kekasih

    lewat puisi yang ditulis dengan suara tangis

    menyisakan isak di setiap masa

    sebab sunyi menjadi kata dalam rindu

    yang lebih tajam dari sekadar ingin

     

    rupanya gelisah selalu diasah dalam sunyi

    merangkum seluruh isak lewat dengkur malam

     

    senyap adalah riwayat bagi gelap

    pada setangkai pohon di halaman

    yang menafsir rintih dari sebuah perkenalan

    dan hanya kepadamu semua tak berlalu

     

    pada siapa cerita asmara kulabuhkan, kekasih?

    ada bait-bait mengeja purnama kota

    setiap kali berpasrah pada keheningan ingin

    sementara desa kita begitu mesra memuja

     

    kepadamu, kekasih

    air mata begitu syahda

    meramu segala suara di penghujung hari

    dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban

     

    kekasih, hanya kepadamu seluruh puisi bersaksi

     

    Bekasi, 18 Januari 2021

    Cerita yang tak Pernah Usang dalam Kecemasan-Kecemasan di Dada

    di dada tersimpan riwayat senyum

    yang menjelma di setiap air mata harapan

    sementara kota disulam kegelisahan

    sebelum mimpi-mimpi menjadi kisah

    dalam peluh peluh perjalanan;

    untuk singgah

     

    segala; tentang cahaya yang gulita

    di jalan menciptakan kecemasan

    bagi penantian suara surga

    yang membias pada sebuah langkah

    dan di jalan terakhir namamu terlena

    dengan sempurna merangkai cerita

     

    sebelum terhenti dengan kesempurnaan

    kecemasan hanya abjad kesedihan di dada

    pedihnya tak diabadikan

    sampai tuntas; indah menjadi riwayat

    dalam denah sepi, bukan kota

    sebab di kota hanya ada doa

     

    dan biarkan cerita menjadi pujaan

    sebelum kecemasan menjadi tuhan

     

    Bekasi, 27 Januari 2021

  • Puisi-Puisi Dede Turu

    author = Dede Turu

    Kopi dan kamu

    Aku lupa apa itu pahit

    setelah kau jatuhkan senyum

    pada bibir cangkir kopiku

     

    Soe, 2019

    Membakar surat kabar

    Seperti derai tawa yang tertinggal 

    di tepi cangkir kopimu: 

    sajak-sajak yang kukirim bersama kemarau 

    adakah sampai pada bibirmu? 

    ataukah salah alamat menuju ampas kopi 

    di dasar cangkirmu?

     

    lalu katamu:

    kutemukan sajak-sajakmu

    kedinginan pada surat kabar minggu lalu

    kunyalakan api, lalu membakarnya

    agar mereka tetap hangat.

     

    Oepoi, 2020

    Soneta seorang pemabuk

    Pagi itu, bersama sepi dan sedikit gerimis

    sebuah notifikasi tiba di beranda facebook-ku

     

    “Terlalu mendung untuk sebuah narsis.”

     

    lalu aku mendapati wajahmu yang ranum

    pada sudut beranda yang mendung

     

    “Inilah wajah yang pernah kukafani bersama rempah

    dan beberapa puisi.”

     

    sementara aku beranjak

    meneguk segelas arak sambil mengingat sebaris firman

    “Mabuk sehari cukup untuk sehari.”

     

    Oepoi, 2020

    Sajak kecil untuk oculus

    Mengartikan tatapmu

    adalah perjalanan menuju teka-teki

    paling gelisah.

     

    Oepoi, 2020

    Gambar oleh Phúc Nam Nguyễn Thế dari Pixabay

  • Puisi Finalis Sayembara Menulis Puisi #5

    author = Redaksi Kibul

    Jurang

    Vincent Mario Atawollo

    Juara III Sayembara Menulis Puisi Kibul.in x Kumpulan Puisi

    “Vos, o clarissima mundi lumina, 

    labentem caelo quae ducitis annum”

     

    (The Cento of Proba, 58-59)

     

    1/ 

    Di sinilah aku bertahan, di antara daun-daun gugur dan masa yang lewat. Kupejamkan mata dan

    membayangkanmu sedang menulis syair tentang keangkuhan Roma, tentang pohon-pohon cemara yang

    bergerak lambat. Hanya ada satu keadaan yang tak bisa kaugambarkan. Aku pun mengerti, ada batas

    yang tak mampu kauselami, selama doa dan tanganmu tak kuasa memanjang ke langit. 

     

    2/

    Kita tak perlu bertemu untuk tahu betapa dahsyat sebuah cinta, sebab pertemuan seringkali berbahaya.

    Tugasku hanya membantumu memeriksa bintang di antara kesunyian langit yang kusam. Di sana, telah

    kutemukan jurang dan kulihat dirimu tenang menulis sebuah syair-entah apa, syair yang kelak

    menuntunku ke dalam satu keadaan yang tak bisa kaugambarkan sendiri. 

     

    3/

    Pada malam yang singkat, sebuah cahaya melintas, membawa bayangan wajahmu yang pucat dan sedih.

    Di sini, bersamaku, engkau dapat tidur malam, di atas hijaunya taman Aku ingin menolak dan segera

    mencatat perkataanmu. Tetapi waktu kini hanyalah fantasi. Yang kupahami hanyalah siasat usia yang

    singkat, di mana kita hanya sekadar yang lewat. 

     

    4/

    Maka aku terus menulis tentangmu, melanjutkan pekerjaan yang terhenti sejenak. Kisah tentangmu

    akan menjadi buku tanpa pembatas-satu-satunya benda yang selamat dari jurang. Dan aku akan

    selamanya senang tersesat di sana.

    2021

    Lembu Brahman Di Kandang Penggemukan

    Dadang Ari Murtono

    Juara II Sayembara Menulis Puisi Kibul.in x Kumpulan Puisi

    ia menggelosor seperti pesakitan dalam sebuah cerita horor,

    sehelai tampar melubangi tulang rawan hidungnya, menghela

    kebebasannya, dan setiap kali penyabit rumput tiba untuk

    mengantar pakan, seperti ia dengar kepak maut hendak menyabetkan

    sabit panjang di gelambir lehernya

     

    tapi matanya teduh:

    sebuah telaga tak beriak

    dengan air dari gangga yang suci

     

    ia tak mencemaskan apa-apa, sebenarnya

     

    hanya saja, kadang-kadang, ia kenang sebuah masa

    di mana orang-orang memujanya sebagai cicit nandiswara

    menyetarakannya dengan para brahmana

    sebelum pada abad kesembilanbelas, orang-orang amerika

    membersihkan punggungnya dari segala

    yang kudus, melepaskan neraka yang melekat

     

    di serat dagingnya

    lalu menyebarkannya ke mana-mana

    hingga di kandang penggemukan ini

     

    tapi ia tak kecewa, sesungguhnya

     

    meski sesekali ia bayangkan maut akan datang, hanya

    akan datang, bersama takbir di hari haji

    dan lembar-lembar dagingnya akan dilapisi

    hijau pahala, punggungnya kembali suci,

    dan ia menggoyangkan punuk gemuk ke surga

     

    sekalipun bukan surga yang sama

    dengan surga yang dihuni buyutnya:

    nandiswara yang menyunggi siwa

    Pada Sebuah Mimpi

    Raina Jamila Ali

    Juara I Sayembara Menulis Puisi Kibul.in x Kumpulan Puisi

    Dia melesapkan tangannya ke dalam hatiku

    mencari-cari sesuatu 

    dan aku hanya bisa menggigil sambil menyaksikan satu bintang terbakar, 

    ekornya melingkar-lingkar seperti belukar api. 

    Berdua, kami menjadi tanur panas yang mengisi kekosongan 

    dengan lebih banyak lagi kekosongan

     

    ‘apa yang kau cari’ tanyaku

     

    ‘aku sedang berusaha tenggelam’ jawabnya

    ‘aku sedang mencoba menghanyutkan mala ke dalam dirimu’. 

    Dia meletakkan satu tangannya di bahu kiriku, 

    satunya lagi masih mencoba meraih sesuatu dalam kegelapan. 

     

    Lalu aku mendengar, 

    suara laut yang diredam, 

    seribu pintu terbuka dan cahaya-cahaya memudar. 

     

    Ia menyebut nama seorang perempuan yang di kakinya gugur ruthab 

    saat angin gurun duduk menyaksikan. 

    Ia menyebut Maria tapi yang kutahu hanya Maryam. 

    Ia mengulang satu nama sambil terus mengayuhkan tangannya 

    seperti bayi penyu yang lupa pada asin lautan. 

     

    ‘apa yang kau cari’ tanyaku

     

    tidak ada jawaban, 

    hanya dingin dan gelombang

    hanya kapal dan galangan

    hanya kesendirian

     

    lalu ia angkat tangannya dariku sambil membisikkan satu nama dan berkata

    ‘sekarang tidurlah dengan tenang, Maria’

     

    kemudian aku terpejam dan memimpikan suara-suara 

    serta bekas sentuhan yang asing di sekujur tubuhku. 

     

    Bintang-bintang berbaris seperti mata air yang terbakar.