Author: kibulin

  • Theseus

    author = Hisyam Billya Al-Wajdi

    Theseus

    Melempar tatapan ke arah theseus

    Aroma kenikmatan muncul dimana-mana

    Ketika ia letuskan sari kehidupan

    “di kotaku banyak tersaji lubang penawar kenikmatan sekaligus mawar yang durinya bisa di rontokan dengan sentuhan pangkat dan jabatan”

    “di kotaku gairah panas mu kan tersalurkan,segera tanpa kekangan”

    “theseus,adakah birahi ini selesai bersama tersungkurnya minotaur”

    Theseus pun terbang dan mengambang di atas paras rembulan

    Diiringi jerit dan tangis penuh kesakitan

     

    2020

    Seperti Burung dalam Akuarium

    Interlude

    Wajah yang mengenang sebagai kenangan,nafas yang mengalir sebagai sungai,datanglah seperti sekawanan burung dalam akuarium,ku persembahkan padamu bumi yang dihuni para rahib

     

    Bau nafas matahari

    Yang tajam dan hitam menjaring

    Seperti kaldera pada bulat kawah candradimuka 

    Oinarle ada baiknya kita membenamkan diri di selaksa bunga

     

     Oinarle…

    Ku bungkus luka keringku ketika awan  berhamburan ke arah kita

    “Apakah cahaya  bisa memusnahkannya?”katamu

    Boleh jadi senandung dari bisu batu

    Arif menindihnya

     

    Di bumi yang lain

    Sebuah aroma musim panas yang kental

    Tiba-tiba mati dari lengking kanak-kanak

    Akankah pancaran cahaya seperti celah golgota

     

    “Ini adalah siang dimana dingin di awetkan dan rentang waktu seperti dikebiri,masih adakah cinta disini?kenangan brengsek tumpah juga pada akhirnya ketika angin merampas puisi yang kudendangkan”

     

    2020

    Jane

    Jane…

    Bangunkan aku saat fajar sudah merekah sempurna

    Saat burung-burung terbang berkeliaran di hamparan awan

    Bangunkan aku jane

    Ketika embun bermanja-manja pada kelopak bunga

    Sampai keduanya runduk dalam lena

    Jane,janey…aroma musim panasku

    Bangunkan aku…

    Ketika kuda jantan siap pacu 

    Sudah meringkik,jumpalitan ekornya

    Lalu siapkan sanggurdi buatku

    Supaya tak manjal-manjal kakinya

    Supaya nafasnya semakin memburu dalam kendaliku

     

    2020

    Sajak-sajak Buat Otto

    Ia sehelai daun 

    Yang takkan tanggal meski dicambuk angin

    Angin yang tajam,kusam dan berdebu

    Dia itu sebongkah batu

    Takkan lapuk di kikis waktu

    Embusan nafasnya melukis angin

    Membentang diantara sabana-sabana yang gersang

     

    II

    Lelaki itu memungut cahaya yang jatuh dan rebah dipanggkuan tanah sambil menyeka air matanya ia berkata”sebaik-baik cahaya ialah yang memberi kesempatan kegelapan terjelma”

     

    III

    Siul suaramu

    Adalah angin yang menghembus 

    Sabana gersang hatiku

    Alunan nasehatmu

    Adalah kokok ayam di pagi buta

    Membangunkan harapan,berpendaran

    Wajah dan senyum basah mu

    Adalah rembulan numinous

    Adalah bunga camelia

    Senantiasa melulur cahaya

     

    2020

  • Tetesan Rindu Karya Titan Sadewo

    author = Titan Sadewo
    Lahir di Medan, 2 Desember 1999. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Belajar membaca dan menulis di komunitas FOKUS UMSU.
    Puisinya termaktub di antologi Syair Maritim Nusantara (2017), Anggrainim, Tugu dan Rindu (2018).

    SUARA DARI KRETEK

    Sebatang rokok itu sebenarnya ingin sekali membakar dirinya sendiri dengan pasrah tanpa ada campur tangan orang asing yang senang meraba-raba tubuhnya.
    Sebatang rokok itu sebenarnya ingin sekali menyapa asap yang sering dibawa angin entah ke mana.
    Sebatang rokok itu tak pernah tahu hubungan antara api dan asap.
    (2018)

     

     

    MENGUNJUNGI KAMAR MANDI

    Kutemui wajahku yang malu-malu bersembunyi di balik ember. Ia suka mencuci muka dengan ayar suci yang berasal dari sumur baki. Setelah itu, ia kembali ke tempat persembunyiannnya dan berpura-pura menjadi orang asing.
    Kutemui tubuhku yang menggigil dipeluk handuk. Ia paham bahwa handuk menerima siapa saja yang ingin kehangatan dan pelukan. Tanpa ia sadar, bahwa handuk tak pernah memeluk tubuhnya sendiri.
    Kutemui bola mataku yang hilang di dalam gayung. Ia tahu bahwa gayung selalu menyiram siapa saja yang masuk ke dalam kamar mandi dengan air mata. Tanpa gayung tahu, bahwa air mata yang ia gunakan adalah tangisan yang hilang.
    Kudengar ketukan pintu dan hentakan kaki dari luar kamar mandi.
    (2018)

     

    ALISMU: TEMPAT BIANGLALA BERMUARA

    Hujan yang menjalari pipimu akan menghasilkan bianglala. Tapi, dagumu yang basah tak pernah mengizinkan apapun bertengger di sana.
    Sebab itu alismu yang baik hati mengizinkan bianglala melingkarinya.
    (2018)

     

    ANAK KECIL ITU

    Anak kecil itu melihat langit seperti merasakan kasih sayang ibunya yang mahaluas. Yang tak pernah ada habisnya. Walau ia tahu bahwa ibunya juga akan tiada.
    Anak kecil itu melihat hujan seperti merasakan peluh keringat ayahnya yang terus menetes. Yang tak pernah ada hentinya. Walau ia tahu bahwa ayahnya juga akan tiada.
    Anak kecil itu melihat kedua orang tuanya di atas sana. Padahal, semalam ia melihat kedua orang tuanya di bawah sini.
    (2018)

     

    TETESAN RINDU

    Air mata menjelma duka yang tak ada habisnya. Sebab, pertemuan tak kunjung datang. Hanya karena jarak yang memotong ruang.
    Air mata menjelma tetesan rindu yang menjalari pipimu.
    (2018)

     

     

    Pendapat Anda:

  • Tanbihat Sebuah Perjalanan

    author = Yohan Fikri M

    Tanbihat Sebuah Perjalanan

    /1/

    Jalan penuh kelokan, lembab udara sisa hujan semalaman,

    daun-daun berembun dan pekat halimun, mengantar

    kita menuju Sendiki.

     

    Hari menjelang siang, dan panas terasa menggigiti kulit,

    Sendiki yang barangkali tinggal sepelompatan

    ke bibir parit-parit, menjamu laju kita di jalur pejal berbatu:

     

    Barangkali selamat hanya bagi kita yang senantiasa waspada

    dan percaya bahwa langkah bisa tergelecik kapan saja.”

     

    /2/

    Setiba di gerbang pantai, aroma ikan asap menguar

    dari lepau-lepau yang berjajar

    di sepanjang bantar jalan menanjak menuju Sendiki,

    menggelitik penciuman kami.

    Sepasang tungkai kita yang lelah, melangkah terbata-bata

    seperti lidah cadel masa kanak kita belajar mengeja alif-ba-ta:

     

    Tampaknya, kota dengan segala fasilitasnya:

    mall yang dingin, lift, dan eskalator, telah mengubah kulit kita jadi alergi

    pada terik matahari dan sepasang kaki kita terlalu manja untuk mendaki.”

     

    /3/

    Akhirnya kita sampai di bibir pantai.

    Layaknya bayi-bayi penyu yang di lepas ke lautan: kita bertempiaran

    menyambut lengan sendiki yang terentang seperti lengan ibu

    hendak memeluk bayinya yang lucu.

    Ada rasa lega yang hinggap di dada,

    ada sesuatu yang hangat berdesir

    ketika sepasang tungkai-tungkai yang capai

    dicium ombak dan pasir-pasir.

     

    Terik matahari pukul 12 siang serasa memancang

    membuat rambut sendiki yang biru tampak keperak-perakan.

    Aku lalu berteduh di bawah gazebo beratap rumbia,

    menyulut sebatang tembakau, dan mengingat-ingat

    perjalanan yang telah lampau:

     

     

    Bukankah kita semua adalah pejalan yang mengharap selamat,

    dan setiap peristiwa yang telah lewat adalah tanbihat

    yang bisa kita jadikan sebagai azimat?”

     

    Sendiki, 2020

    Jejak Kaki Paceklik

    /1/

    Sawah-sawah, ladang-tegal, bagai raut wajah kafilah

    yang baru saja dibegal, daun-daun layu,

    angin tak diberkati kesejukan, dan ranting-ranting kering

    di pokok kayu pepohonan itu, selaksa tangan-tangan pengemis yang tengadah

    mengais-ngais jelempah kekosongan

    pada langit purba di atas sana,

    yang telah seumpama manusia-manusia

    berharta melimpah, tetapi enggan bersedekah.

    /2/

    Tak ada segar rerumputan atau hijau dedaunan

    untuk diramban sebagai pakan ternak.

    Bahkan sekalipun mereka mengembik keras.

    Bahkan sekalipun mereka melenguh melas.

    Hanya titen atau mungkin jerami kering;

    sisa jejak-jejak kaki paceklik

    yang pelan-pelan mencekik

    hidup dan ketabahan kita.

    /3/

    Puji-pujian meminta hujan

    yang lebih karib di telinga kita sebagai ratapan,

    dikumandangkan mulut toa usang surau

    yang makin asing dari sujud dahi

    dan pijak telapak kaki kita.

    Kepapaan ini rupanya amat piawai

    membuat iman kita semakin tandus,

    layaknya tanah-tanah di ladang kerontang

    yang miskin dirahmati humus”

    2019

    Puisi ini pernah mendapat Juara I dalam event Lomba Cipta Puisi BATCH 2 yang diselenggarakan oleh Ruang Kreasi.

    Mari Kita Tuang Sepi ke Dalam Gelas Kita Masing-Masing

    Begitulah, sayang. Semenjak ditata oleh manusia,

    entah bagaimana mulanya, cinta mulai disekat dinding diwala

    yang mereka susun dari silsiah, rupiah, dan agama.”

     

    Aloha, sayang! Akhirnya kita bertemu kembali

    meski dengan nasib yang berlawanan.

    Kupandang sepintas wajahmu dalam temaram,

    tampak semakin tua dan lisut,

    bagai buluh damar bernyala susut dikulum malam.

     

    Laut di hadapan meja tempat kita duduk,

    merangkum masing-masing dada yang berkecamuk,

    lantaran sesak meratapi takdir yang menganulir

    kau-aku sebagai daratan dan teluk.

     

    Agama telah ditatah sebagai tanda lahir,

    silsilah dan rupiah, sudah ditanam dalam tubuhku

    sebagai kutukan yang menjerat dan tak kuasa kuruwat.

    Adakah itu kita? dua manusia yang dinyalakan oleh cinta,

    lahir dan hidup di bumi, lalu terpisah sebab sesuatu,

    yang katanya telah digaris semenjak azali.

     

    Angin berkesiur menyisir air matamu

    yang setiap tetesnya merembes-basah di dadaku.

    Dalam keheningan kita yang pejal, aku berpikir

    bahwa kesedihan adalah satu-satunya perihal

    yang sengaja dicipta sebagai sebuah kesia-siaan belaka

    sebab, bukankah ia ada hanya untuk kita ratapi?

     

    Aloha, sayang! Hapuslah air mata yang berlinang!

    Repih nasib pedih yang menggumpal di dadamu,

    sebab ini malam milik kita seorang!

    Esok hari, kita mungkin akan kembali asing!

    Maka, mari kita tuang sepi

    ke dalam gelas kita masing-masing,

    lalu bersulang untuk merayakan

    kenangan yang bising!

     

    Malang, 2020

    Desah Cemas Napas Kunti

    Kunti, akhirnya menelan mentah-mentah

    panas bara; nyalang arang yang terus

    maruyak di sesak dadanya.

    Jalan membelah diri jadi dua cabang,

    membuat Kunti jadi pejalan yang gamang

    tak tahu ke cabang mana

    kakinya mesti menyeberang:

    perang saudara, ataukah

    kehormatan kesatria.

     

    Desah napas mengarsir garis-garis cemas,

    sebab Kunti tahu, pada tibanya hari naas itu,

    entah mengatasnamakan apa

    perang saudara ataukah kehormatan satria—

    hakikat keduanya sama belaka:

    rahim yang melahirkan bayi-bayi bencana.

     

    Kebahagiaan macam apakah yang bisa digalah,

    setelah menghancurkan saudara-saudara sendiri?”

    Tetapi, apakah putra-putraku bersedia

    menuntaskan perkara tanpa mesti mengokang senjata,

    sedang itulah tradisi kesatria? Itulah kehormatan mereka!”

     

    Hati Kunti bergetar pedih,

    membayangkan darah mesti tercecer,

    menyembur dari leher-daging yang sobek,

    dari tubuh-tubuh tergolek,

    dipenuhi luka-luka robek.

     

    Amis darah, barangkali semata aroma,

    tetapi jika mesti menguar

    dari batang-batang putranya,

    sama halnya menghidu bau neraka,

    atau menghirup anyir-bacin nanah pendosa.

     

    Sungguh, tak ada yang dapat dikais dari peperangan,

    selain hanya kebencian yang terus mengelopak.

    Sungguh, tak ada yang dapat diunduh

    dari kelopak-kelopak kebencian,

    selain hanya dendam yang beranak-pinak.”

  • Tamasya ke Alam Baka oleh Fatah Anshori

    author = Fatah Anshori

    Catatan Redaksi:
    Tamasya ke alam baka adalah puisi yang bisa ditafsirkan menjadi dua hal:
    1. Bercerita tentang perjalanan ruh menuju yang abadi
    2. Bercerita tentang penantian sebelum ajal tiba

    Jika yang pertama, maka puisi ini menceritakan sebuah proses perjalanan ruh. Artinya, alam baka merupakan sebuah alam yang berlapis setelah kematian. Ruh belum sampai ke tujuan tetapi masih melalui proses yang begitu panjang. Sementara itu jika yang kedua, maka kehidupan menjelma alam penantian, bahwa setelah kehidupan yang singkat dan penuh kecemasan pada akhirnya seorang akan mati.

    Dalam puisi ini, sebelum menemu keabadian, manusia (baik yang masih menyatu antara jasad dan ruh, maupun ruh yang sudah terpisah) sama-sama merasakan kesunyian. Baik yang pertama maupun yang kedua pada akhirnya, keduanya sama-sama terikat pada yang lain, yakni kabar baik dari Langit. Bisakah kabar baik diartikan jawaban kegelisahan, kesunyian itu: berita gembira bahwa kehidupan keabadiaan akan bergelimang kebahagiaan?
    Tamasya dalam puisi ini nampaknya memang belum sampai pada tahap menikmati tempat yang dituju, tapi masih berada dalam sebuah perjalanan. Dengan demikian, dalam puisi ini, tamasya yang dimaksud adalah menikmati perjalanan itu sendiri(?)

     

    Tamasya ke Alam Baka

    Apa yang kau cari jika puisi
    tak lagi sakti. Orang mati
    tetap mati ditinggal nyawa
    yang tamasya ke alam baka.

    Ujung jalan
    masih menanti. Seseorang
    dari seberang datang dengan
    tubuh yang lapang dan kedua
    lengan yang rimbun.

    Agar cemas lekas lemas
    di nadinya. Ia menunggu
    kabar baik jatuh dari langit
    mungkin bersama hujan,
    yang langsung membawanya
    ke dekat mata jendela. Yang
    rela seumur hidupnya
    memendam kata-kata
    di dalam sepi matanya.

    Malang, 2017

     

    Pucuk-pucuk Cemara

    1.
    Pagi sudah nampak di
    pucuk-pucuk cemara
    yang menanggung gigil
    sepanjang hujan sore itu.

    Air matanya pernah jatuh
    memenuhi: deras sungai
    di halaman kampus, lapangan
    basket yang kesepian, juga
    tubuhku yang kuyup di dekat
    koridor.

    2.
    Aku pernah mencintai matamu
    yang merah. Taman bunga dan
    kota yang marah seperti sedang
    diputar di sana.

    Kota ini belum pernah menulis
    kasus kebakaran. Pembajakan
    liar atau penebangan hutan. Orang
    -orangnya mencintai dingin dan
    ingin bekerja di dalam rasa malas
    yang memenuhi pagi.

    3.
    Seorang relawan kecil
    yang tidur bersama lapar dan
    kehendak melarikan diri yang
    tak mungkin. Rebah di belahan
    dadamu,

    Bau amis seperti sedang ditumis
    di beranda depan, di tenda-tenda
    korban perang perasaan. Dengki
    dan iri kerap menyalakan api
    di dalam hati. Tak perlu waktu
    lama untuk menghapus nama
    sebuah kota yang kau cintai
    dingin dan wangi paginya.

    4.
    Pada suatu pagi yang keruh kau
    pergi ke sungai. Batu-batu di sana
    seperti sedang meramal ricik
    air. Atau air yang sengaja
    mengeja diam di tubuh batu-batu.

    Tapi kau bertanya tentang untuk
    apa sungai menaruh batu-batu
    dan ricik air di dada(nya).

    5.
    Lalu tampat ini menawarkan dingin
    dimana-mana. Bayang-bayang kadang
    bangkit dan mengenakan selimut, tapi
    kau tetap menjadi diam yang rela
    sekaligus tidak peduli pada ucapan
    kasar dan tajam orang-orang.

    Dingin yang mengambang di lorong
    dalam matamu memutar cerita tentang
    hari-hari yang jatuh ke dalam hati-hati.

    Malang-Lamongan, 2017

     

    Mungkin Matamu yang Menelan Matahari Sore

    Atau mungkin matamu yang
    sudah menelan matahari sore
    yang sempat mengambang
    dua atau tiga senti di atas
    gudang para kuli batu.

    Lalu desa menjadi bilangan
    prima yang habis dibagi
    tubuhnya sendiri dan perihal
    -perihal ganjil: seperti
    kepergianmu setahun
    lalu. Tapi kau menyebutnya
    pulang.

    Gunung kapur hancur lebur
    hutan perdu susut dalam buku
    cerita.

    Tubuh(nya) membelah menjadi
    kotak-kotak kecil yang hendak
    membangun kota dan beberapa
    pusat perbelanjaan. Ia ingin
    menangis tapi tuhan baik hati,
    tak memberi mata apalagi
    air mata.

    Lalu kau sudah pergi ke kota
    bersama pacar baru dan
    kenangan, kau biarkan tinggal
    dan menangis di sudut desa.

    Kota menyediakan apapun yang
    kau bayangkan sejak kecil: cafe
    24 jam, studio musik super berisik,
    jalan raya yang kerap memakan
    nyawa, malam yang menolak sepi,
    dan hari-hari yang penuh warna-warni.

    Sementara desa hanya bayang-bayang
    yang ingin kau lepaskan dari ujung
    kakimu tapi kau tak mampu.

    Lamongan, 2017

     

    Menjadi Firman

    Kadang aku ingin menjadi keping-keping kaca yang pecah. Dan diabadikan firman di dalam kitab. Kau membacaku berkali-kali dan aku keluar masuk dirimu tanpa pernah kau sadar apa maksud yang sebenarnya. Kau tidak mengerti tapi aku tetap menunggu, kebiasaan yang menjelma cinta kasih. Cerita masa lalu, perang antar suku, dan ramalan masa depan saling berkelindan di bait-bait yang kau baca ketika petang menjelang. Aku mengisi kepalamu yang kosong, menghapus segala yang tak mau hangus. Membakar dosa-dosa yang basah bersama resah yang kau pelihara di lorong-lorong sepi tubuhmu. Pada akhirnya aku hanya ingin menjadi cerita, pengisi sore ketika kau berdua saja dengan anakmu yang manja dan belum mengerti apa-apa tentang cinta dan segala hal yang hendak binasa.

    Lamongan, 2017

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Taling Tarung : Satu Menangis yang Lain Termenung

    author = Guido Laksmono

    (1)

    Jika badai topan datang nanti
    Biarlah palung meremuk tulangku
    Jika waktuku datang nanti
    Satu doa ku : sampan
    Biarlah ikan terjaring untuk nelayan

    Jika kering datang nanti
    Biarlah perutku masam kelaparan
    Jika waktuku datang nanti
    Satu doaku : padi
    Biarlah diberkahi tiap petani yg menyiram dan menuai

    (2)

    Jika bapak ku datang nanti
    Biarlah ia mengucap salam dan menghatur doa

    Bapa kami yang ada di surga, di kuduskanlah piring mu
    datang lah cangkirmu, jadilah kehendakmu
    seperti di bawah gigi dan di atas meja.
    Berikanlah hari ini, perih yang secukupnya.
    Dan ampunilah kami atas asam raut muka,
    seperti kami mengampuni orang yg kenyang karena mu.
    Lepaskan lah kami dari apa yang nikmat,
    karena engkau yang punya kuasa,
    atas angin dan segala rasa daging,
    sampai selama-lamanya.
    Amin

    (3)

    “Malam ini makan apa pak?”, tanya Soni.
    “Maaf nak, hanya ini yang terbeli”,
    “Sejumput angin dan secuil harap”,
    “Semoga kamu bisa makan dengan lahap”,

    Hanya ada rengginang berserakan di meja makan
    Hanya ada ibu di rupa pigura
    Hanya terdengar tangis ayah di sisa malam

    (4)

    Pagi datang soni terlelap
    Terang bersinar namun gelap berbinar
    Tiap sudut matanya hitam
    Tiap gerak mulutnya sumbang

    Untuk pertama kali dalam sebulan
    Bapak makan dengan kenyang
    Untuk pertama kali dalam seminggu
    Beras penuh di periuk
    Asap mengepul di bawah kuali
    Dibarengi serak suara surau
    Lantunan doa dan yasin

    Bapak terharu kekenyangan
    Bapak menangis kehilangan

  • Sumpah Malaikat Api

    author = Rifki Syarani Fachry

    Sumpah Malaikat Api

    ingin kuhancurkan matahari 

    dan melempar bumi ke kegelapan 

    ke dalam mulutmu, sumur buta  

    nganga yang mengoleksi gema tebing 

    antologi hening  

     

    akan kulempar  

    seperti arang perasaanku  

     

    di jurang batas lambungmu 

    akan kulelapkan bumi  

    dan kiamat kecil tumbuh di hatimu 

    seperti batu yang berkali-kali  

    menjadi tunas bagi kesakitanku  

     

    menjadi dingin  

    yang bertahun-tahun melukaiku  

     

    gerhana menyesali gelap 

    kemurungan mencintaimu  

     

    2019

    Inori

    tuhan, sisakan satu 

    neraka untuk puisi-puisiku

     

    2019

    Postulat

    tuhan tak mengalami apa-apa

    tuhan tak pernah belajar

     

    2019-2020

    Gagasan yang Terbakar

    matahari, gaun lebu, mata arang

    kebakaran besar menyelinap sebagai puisi 

    memeluk mayat-mayat batu; bangkai bagi segala yang 

    retak 

    : kehancuran akan menempuh sunyi sebagai debu 

    dari puing-puing dunia, mirip perih yang disisipkan 

    waktu

    dari tangisan tak terdengar, kepada telinga-telinga tuli

    untuk lambung-lambung lapar, demi mulut-mulut yang 

    saum

    dari kepala-kepala yang tak tidur

    ketika makna hidup lengang bagi kepulangannya 

    jadi mempelai sasar yang menyimpan luka cabik

     

    aku manghafal bayi di kepalanya seperti doa dan 

    raraban 

    seperti kejadian dari tahun-tahun yang tak kualami

    dan di dalam sini (ke sebuah kening), selain tafsirnya, 

    tak ada lagi

    aku, tubuh terbakar, kesadaran melelehkan kata-kata 

    pintar

    awan-awan mati bernafas di dasar jurang mencari tepi

     

    2018-2020

    Kelahiran Ulang

    bangkit kembali jadi tubuh hari-hari

    makna yang tak henti mencambuki ingatan

    melubangi punggungku dengan paku

    menanamkan batu-batu di dadaku

     

    sebaris nama yang sempat kubaca di nisan-nisan 

    waktu

    roh yang kembali dari neraka para raksasa 

    datang seperti pikiran-pikiran bunuh diri 

     

    aku tak bisa membedakan

    ini hidup atau mati

    aku kembali bayi tapi kesedihan 

    hanya dapat kupahami sebagai lelaki 

     

    yang hidup di bawah todongan senjata  masalalu 

    masalalu yang memandangi jantungnya

     

    aku merasa tak benar-benar lagi dimiliki –memiliki

    luka dari masa depan yang mengungsi menjadi sebaris

     puisi di tubuhku, gelap tak kumengerti

     

    siapa gerangan, apa yang diinginkan tuhan 

    dari hidupnya orang-orang mati

    dan kelahiran-kelahiran tak berarti

    dari doa-doanya perasaan 

    kembali menjalani hidup sebagai aku;

    obat-obat palsu dan batu

     

    2019-2020

    Cermin Menulis Sejarah di Mataku

    untuk  W. Haryanto

    Tak ada hujan yang kukenal, dari gelap awan 

    di matamu (ingin kukatakan itu)

    ketika musim menangis, aku terbunuh gerimis

    bayangan kita terjebak di aula ini (masalalu)

    dan kusadari, kenangan kita tak seabadi hujan itu

    nampaknya, kita bukan batu

     

    di luar, gedung-gedung tetap bermakna

    sementara di hadapannya, aku mayat

    terbaring memeluk nyawa yang henti

    seperti patung dengan kepala hancur dilubangi peluru

    darahnya dijilati usia, dan tali air itu 

    akan membawa merah

    menuju menara puisi yang runtuh: 

    mimpi yang kehilangan bahasa 

    –sesuatu, tak bermakna lagi apa-apa

    selain kenyataan bahwa kini, aku dan bayangan kita

    hidup di akhirat yang sama

     

    hanya mampu kurenungi hujan-hujan yang terluka itu

    sebagai luka-luka baru

    dan apa yang tak kunjung reda jadi cermin 

    cermin yang menulis dingin sejarah kematian kita

     

    lama, biru, dan kota tinggal lampu-lampu

    tapi hujan tak berhenti melubangi ingatanku

     

    2016-2020

  • Solitude Pinus

    author = Sobrun Jamil

    Solitude Pinus

    Pinus-pinus tinggi menjulang
    Menyangga kemelut malam di ujung dahan
    Akar-akarnya jauh menghujam
    Dalam sampai mendesak rahim bumi
    Sulaman tanah basah dan bijian
    Merangkai anak-anak angin
    Yang ikut terikat di ekor zaman
    Menetes di sepanjang zamrud khatulistiwa
    Ribuan pasang, jutaan surut kelam sejarah
    Menebal di pipi matahari
    Seteguk lagi pagi muntah dari bibir cakrawala
    Dengan jaring di tangan kita pun berjaga
    Barangkali badai membawa gundah nasib
    Kita peluk gemuruhnya dengan sisa sukma dan cinta!

    Linggo Asri, Agustus 2019.

    Di Kadipiro

    Di Kadipiro
    Aku melihat Malaikat meniup Malioboro
    Ke dalam dadaku
    Malam panjang dan
    Puisi terbaca dari tangan udara
    Sementara hawa hangat menyusun barisan sajak
    Suara-suara membeku jadi peristiwa

    Umbu, masihkah kau gunting alamat pulang?
    Kereta panjang tanpa keberangkatan
    Iman, berapa usia api kayu bakarmu? Tegak kayu pagarmu?
    Masihkah serupa lagu penjaga masa lalu?
    Ragil, di mana hilang sunyi yogamu?
    Parangtritis tak kunjung menjawab, Kota Gede diam dalam bisu, dan Wonosari melontarku ke sudut kota

    Teguh Ranu yang nyaStra, biarkan aku mengungsi ke dalam kertas kusam penuh coretan kelam itu
    Emha yang Nadjib! Pinjamkan padaku sepasang Ainun elangmu
    Untuk merobek kebebalan yang langgeng di kening zaman

    Kini dunia memadat, bumi terpaku
    Puisi harus terus lahir sebagai karikatur yang menggugat
    Sebagai carangan dari perlawanan yang halus dan tak kentara
    Sebab sastra adalah ruang
    Di mana kesejatian tak bisa dibengkok-patahkan oleh aturan-aturan!

    Yogyakarta, Agustus 2019

    Jelaskan Bagaimana

    Jelaskan bagaimana
    Dengan sejuta kata dan bahasa yang tua
    Sakit tak bisa diucap
    Tertahan warna biru di ujung rasa kelu

    Jelaskan bagaimana
    Dengan hati segenggam dan darah sisa setetes
    Cinta mau membuka pintu
    Bagi tamu yang minta usia sekeras batu!

    Sinangoh Prendeng, September 2019.

    Sunyi tak Terbilang

    Dalam panas membakar kutangkap cahaya
    Meski malam pun
    Kupungut gelap untuk menambal luka
    Di ratusan warna dan segala cuaca
    Ayat badai firman-firman hujan tak kentara

    Demikianlah kini

    Jauh di keremangan
    Rindu tak tersangga bunyinya
    Meski padam amuk darah
    Hanya di nadi, Hu Allah
    Sunyi tak terbilang!

    Sinangoh Prendeng, September 2019

    Presiden Sutardji

    Seorang Presiden masuk hutan cari Sutardji
    Kabarnya di kaki pohon purba ia meringkuk
    Baru pada langkah ke-2019 Sutardji berhasil ditangkap
    Tubuhnya yang renta dan harum digenggam, lalu dipaku ke dalam mulut

    Langit temaram, asap membumbung, pekik raung-meraung
    Ratusan juta rakyat sudah menunggu
    Di atas podium istana
    Presiden menangis sambil berteriak:

    “Yang tertusuk padamu, berdarah padaku.”

    Tapi kapan?
    Puisi hanya igauan.

    Sinangoh Prendeng, Oktober 2019.

  • Setiap Kamis, Ia Mencukur Kumis oleh Dwi Rahariyoso

    author = Dwi Rahariyoso

    Sol Sepatu

    Ia menjahit kakiku yang aus oleh gang-gang sempit kota

    di mana ribuan saudaraku tergerus dalam labirin nasibnya

    tiap hari bersama cahaya-cahaya yang menyerbuki mimpi

    dan menelan sisa nafas yang terhempas

     

    Ia menjahit kakiku dan menyulamnya bersama jejak-jejak

    ingatan, jarak dari perjalanan yang mengental di kepala

    sebuah kampung halaman yang dialiri sungai

    betapa naif hidup yang dihabiskan sendiri

     

    Ia menjahit kaki dan kepalaku seperti menjaga hidup

    dari revolusi yang hangus oleh kenyataan

    dan tidak pernah ada kemenangan bagi perantau

    kecuali pulang pada kenangan yang nostalgik

     

    2017

     

     

    Di Hadapan Buku

    di hadapan buku, dunia menjadi televisi yang bersandiwara

    tentang lakon tanpa nama

    kau menonton dirimu sedang memuntahkan hewan-hewan

    purba dalam suatu drama satu babak

    lalu, segala yang teringat tentang kedai kopi, sarapan nasi bungkus,

    dan juga biaya listrik mulai meleleh memenuhi sudut mata

    ironi yang gersang tengah dibacakan oleh seseorang di masa lalu

    yang dilarang seorang pegawai kelurahan

    manusia-manusia adalah negara yang terbelah di hadapan buku

    sebelum mereka benar-benar selesai merindu

    di hadapan buku, sebuah pabrik bahasa tengah bekerja

    cerobongnya yang menganga siap menghisap segala upaya

    untuk menciptakan tafsiran-tafsiran hampa

    2017

     

    Setiap Kamis, Ia Mencukur Kumis

    setiap Kamis ia mencukur kumis dan melakukan perjalanan

    seperti pasasir

    ia mencukur kumis dalam sebuah perjalanan musafir

    ke arah debu-debu yang menghuni gurun

    sebuah perjalanan musafir dikabarkan untuknya sebagaimana

    tahun-tahun yang senyap dalam almanak masehi

    debu-debu yang menghuni gurun seperti tidak berpintu

    dan tidak berpenjuru

    angin menutup tubuhnya dengan badai sepanjang masehi

    yang kering oleh kopi dan roti

    ia mencukur kumis tujuh hari sekali dalam kesunyian

    dan tuhan merangkulnya lewat bisikan-bisikan

    yang menghuni gurun

    ketika ia mencukur kumis kesekian kalinya,

    tubuhnya lebur bercampur debu-debu  

    dan terbang ke segala penjuru

     

    2107   

     

    Seorang Suami yang Berbicara kepada Istrinya  

    Aku memerankan suamimu. Kau menjadi istriku. Di kamar sempit

    inilah segalanya bermula. Kita adalah sepasang lakon yang saling menyakiti

    demi dunia yang sepi dan pahit. Aku yang kejam dan kau yang cerewet, di

    hadapan dunia yang sumpek dan pekat.

    Kita tidak lagi membicarakan cinta seperti masa silam. Cinta adalah variasi

    tentang gula, teh, dan kopi. Di kamar ini, dunia menyusut tiba-tiba.

    Sarang laba-laba dan catatan-catatan hutang belanja yang terus-menggerus

    hati dan telinga. Demikian juga lenguh dan gairah farji yang semakin menua.

    Aku seperti lembu yang hampa dan kau bajak yang merindukan aroma tanah.

    Kelak, kita akan bahagia seperti tokoh-tokoh telenovela. Sebab dunia tanpa idola

    adalah niscaya. Demikian halnya masa tua yang tembaga, di hadapan anak cucu.

    Masa kini adalah rindu yang mahal tentu saja. Kita telah menukarnya dengan omelan

    dan bermacam kejengkelan tak terperikan. Kau yang keras kepala dan aku yang ingin

    menang sendiri. Kelak, kebahagiaan itu akan dimaknai sebagai kenekatan.

    Sepeda butut itu adalah mesin perang kita. Menghadapi zaman yang tajam,

    hari-hari terasa panjang, berpeluh, dan mendebarkan.

    Seorang kuli batu tak lebih butut dari sepedanya, demikian denganmu

    yang pembantu. Jauh kampung halaman tidak tergantikan sebab hidup

    tak pernah dimenangkan.

    2017     

     

    Kejadian Ganjil Seorang Buruh

    sebagai buruh yang bekerja, namamu tidak ada di daftar gaji. buruh

    meminjam kursi untuk duduk di atas rasa letih yang dihasilkan

    jam-jam lembur kantor yang berisik.

    kedua kakimu terkulai seperti sungai yang keruh dan dipenuhi

    endapan sampah dari pagi hingga petang.

    atasanmu adalah mandor yang malas tapi baik. ia memberimu

    pekerjaan dan upah sukarela.

     

    di kontrakan yang sempit, bohlam sepuluh watt menyala temaram

    dan dipan yang keras meringkik disertai nyeri rematik.

    gas tiga kilogram kembang kempis

    memanaskan sisa sayur kemarin. rasa lapar

    dan dinginnya hujan bercampur seperti teka-teki

    yang tidak pernah kau mengerti.

     

    2017

     

     

    *gambar lukisan The Traveler Painting oleh Anthony Vandertuin

    Catatan Redaksi:

    Puisi-puisi Dwi Rahariyoso menggambarkan realitas kehidupan yang ironis dan tragis, dimana kehidupan masa kini yang sedang dijalani sepenuhnya tak lagi sama dengan apa yang dijalani pada masa lalu. Sementara itu, bayangan mengenai kebahagiaan di masa depan hanya hadir sebagai sesuatu yang samar. Namun di sela-sela kepayahan hidup tersebut, harapan akan kebahagiaan di masa depan tetap saja ada sebab hanya harapan sajalah kiranya sisa tenaga yang bisa menggerakkan segalanya.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Sepotong Kayu yang Bertanya tentang Kayu Dagingnya atau Pinocchio as He Searches for His Missing Mother

    author = Andre Wijaya

    Juara 2 Lomba Cipta Puisi Festival Sastra UGM 2020

    Sepotong Kayu yang Bertanya tentang Kayu Dagingnya
    atau Pinocchio as He Searches for His Missing Mother

    suatu hari
    tak ada pohon yang boleh bicara
    kepada diri sepotong kayu hingga

    di suatu hutan
    pada sebuah pohon besar dan gendut batangnya
    sepotong kayu bercakap pada dua jalan rantingnya
    dan dalam tubuhnya, ada yang diam-diam menjadi
    air pertanyaan

    mengertilah, anakku
    kaki tangan ibu telah mengalir air yang sama seperti dalam dirimu
    apakah getah tubuhku tak semerah darah seperti dalam tubuhmu?
    pergilah, anakku: ke mana saja kau mau, tapi jangan lagi kepadaku

    dan air di dalam tubuhnya menyusun sebuah jawaban
    lalu mengeras menjadi akar-akar yang menjulur dan
    memanjang: yang setiap ujungnya penuh kebingungan

    dan kebingungan itu menyusun lagi dua jalan kenyataan
    kenyataan kepada siang dan kenyataan kepada malam
    ia mencari timur; ia mencari barat; ia melupakan selatan
    dan dalam tubuhnya, ada yang diam-diam malah menjadi
    jalan ranting kepada siang; jalan ranting kepada malam

    satu jalan ranting kepada siang
    suatu kali
    jika sepotong kayu boleh bertanya
    maka setiap pohon akan bicara

    kepada sebuah pohon besar dan gendut batangnya
    jika sepotong kayu bertanya tentang kayu dagingnya
    maka akar kaki pohon itu menjalar dan bersuara teduh
    mengutuhkan pesan kepada rapuh ranting-rantingnya, lalu
    satu ranting di tubuhnya menyusun urutan daun yang jatuh
    kepada tanah

    dan daun itu adalah sepuluh jari-jemarinya yang hijau juga
    ungu seperti warna umbi yang terpendam sehampar bentala

    dan kepada siang, satu ranting pohon itu mulai berbahasa
    maka sepotong kayu itu boleh diam, tak boleh bersuara
    tetapi, boleh membuka matanya

    lalu, dari punuk rantingnya
    dijatuhkannya serangga di kepala sepotong kayu itu
    tetapi, tak ada sepotong kayu yang boleh bersuara
    karena tidak ada pohon yang boleh bicara maka
    ditunjukkannya muka ketakutan dari canggah
    tangkai tangannya

    dan tiba-tiba
    pohon itu mengangkat satu rantingnya kepada sebuah siang
    maka sepotong cahaya menyinarinya serta sepotongnya lagi
    siluet rantingnya menyentuh kening sepotong kayu miliknya
    lalu satu per satu, daun-daun pun jatuh seperti air matanya

    tetapi, angin tiba-tiba berbisik; membawa aroma getah pohon
    yang pernah tergores dari kapak dan gergaji tukang kayu

    lalu dari bayangan bonggol pohonnya
    sepotong kayu itu memandangi kecil kaki-kakinya
    maka tatapan itu menjadi satu jalan kebingungan
    kepada paku-paku yang menyimpan nyeri
    : yang menghantar perih ke dalam dirinya

    dan kepada siang, satu ranting pohon itu berbahasa
    kepada matahari; meminta biji-biji cahaya tumbuh
    sebagai malam di dalam hutannya dan membiarkan
    malam akan membukakan matanya: mata anaknya

    tetapi, tiba-tiba
    malam melihatnya melalui mata seribu kunang-kunang
    dan kunang-kunang itu menangkap cahaya yang masuk
    ke dalam matanya

    satu jalan ranting kepada malam
    suatu kali
    jika setiap pohon boleh bicara
    maka sepotong kayu akan bertanya
    kepada salah satunya, apakah dia
    adalah anak pohonnya?

    kepada sebuah pohon besar dan gendut batangnya
    jika sepotong kayu bertanya tentang kayu dagingnya
    maka seekor kunang-kunang akan berhenti berkedip
    memberi cahaya kepada lemah ranting-rantingnya, lalu
    satu ranting pohon itu menyentuh wajah sebuah bulan
    yang sinarnya jatuh ke dalam mata anaknya

    dan sinar itu adalah bayangan rantingnya di kaca sungai
    sungai yang mengambil mukanya karena sepotong kayu
    itu adalah anaknya; yang bercermin dalam ngalir airnya

    kini, tak ada yang bisa memaksa satu rantingnya berbicara
    bahkan ketika muka anaknya berupa ikan-ikan yang mengira
    wajahnya adalah makanannya; maka air sungai yang melarikan
    sepotong tubuhnya tiba-tiba menjadi air yang hilang gemerciknya

    suatu kali
    di suatu hatinya
    pada sebuah pohon besar dan gendut batangnya
    itu adalah pohon yang telah ditebang kayunya
    : telah diambil buah hatinya

    lalu, kepada pohon itu dan dua jalan waktu di rantingnya
    sepotong kayu bertanya di mana ibunya, daging kayunya

    tetapi, tak ada pohon-pohon yang boleh bersuara
    karena tidak ada pohon yang boleh bicara maka
    sepotong kayu itu pun memilih untuk berbicara
    : mengatakan tak akan lagi mencari pohon ibunya

    tetapi, di dalam hatinya
    kata-kata itu adalah kebohongannya kepada kesunyiannya maka
    sepotong kayu yang berbohong itu pun jadi panjang hidungnya

    dan suatu hari
    di suatu hutan
    pada sebuah pohon kering dan kurus batangnya
    sepotong kayu bertanya tentang kayu dagingnya
    tetapi, dahan pohon itu diam-diam mematahkan
    kedua rantingnya
    secara tiba-tiba

    Yogyakarta, April 2020

  • Senin dalam Berbagai Himpunan

    author = Aloysius Bram

    Senin Menggejala

    kebencian terhadap Senin 

    telah menjadi demam lain 

     

    panaseanya: racikan Minggu, Sabtu dan setengah dari Jum’at 

    bersama layanan pesan antar 

    diminum sembari Netflix dan selonjor

    sebelum demam itu kembali dengan begitu gawat

     

    sebentar saja

    berselaput kegembiraan nan festive pisan 

    sebab setelah ini Selasa, Rabu dan Kamis 

    akan begitu genting dan ngomel

     

    nrimo ing pandum ergo sum 

    serupa jampi dus multivitamin

    yawla, betapa sepekan adalah gejala 

    yang begini-begini saja.

    Pilihan Ganda: Melengkapi Haiku Senin

    Senin adalah 

    umpama manusia

         (a) … yang tak berkawan

         (b) … berkalang gamang

         (c) … menyarap diri

         (d) … bermuram libur

         (e) semua benar

    Senin Mengambil Cuti

    Bukankah Senin dikisahkan sebagai suatu gelap dan terang yang dipisahkan? Tapi sekali ini ia yang memisahkan diri lalu pergi mengambil libur cuti. 

     

    Sesuatu harus ambil giliran memangku kesibukan. Demi kebahagiaan sesuatu harus digantungkan tinggi-tinggi serta dipercaya. 

     

    Siapa ingin jadi Senin dengan segenap pidato upacara bendera, dasi dan urat yang mengencang, derit mesin fotokopi, anjuran puasa, sampai tercecernya uang kembalian? 

     

    Tengok, mangkok-mangkok menganga dari sarapan yang tergesa. Siapa yang akan menghabiskannya? 

     

    Tentu bukan Senin. Sebab kali ini ia duduk-duduk di taman. Menggenggam kopi susu gula aren sembari berdegup di luar waktu. Begitu lepas dari hitungan yang tua dan berpenghabisan.

    Senin Menggali Diri

    Tidak tahukah? 

    Angin tak pernah lagi tentang sepoi 

    dan awal tak selalu tentang pagi.

    Kesadaran adalah kemeja dan sepatu hak tinggi

    lalu ingin buru-buru dilucuti. 

     

    Seseorang pernah manusia. 

    Tetapi tangan-tangan tak kasat mata 

    mendorong bergegas masuki kantor, pasar, sekolah,  halte, puskesmas, instastory. 

    Berakhir keluar menjadi sesuatu yang lain

    dan bersama menggali Senin-nya sendiri.

    Ada Kabar Apa, Tara Basro?

    perempuan-perempuan Senin 

    masih membicarakan selulit di badanmu

     

    tetapi hamparan baliho Jalan Kaliurang 

    tidak mengenal Selasa, Rabu, dan Kamis 

    ia tetap saja kulit porselen dan dagu-dagu tirus 

    mengkilap direka gatekeeper kecantikan 

     

    eureka! badan relikui 

    bagi para curvy body 

    artikel-artikel “tips turunkan berat badan” 

    bicarakan nanti 

    selama stroke dan diabetes

    masih ditanggung BPJS Kesehatan dan premi asuransi

     

    many kinds of insecurity is not necessary

    sepanjang representasi badan-badan 

    di media sosial begitu penting untuk dibicarakan 

    begitu genting untuk diwacanakan 

    begitu pening di kening yang berkerut-kerutan 

     

    badan itu, kini dan nanti:

    masihkah ada sisa untuk bercecah selulit kami?

    selulit-selulit lain yang berlesung nyelip, menyebar, tetapi lebih abadi

    sebagai bentuk-bentuk liyan nasib buruk hirau negara. kulum kesunyian, upah buruh murah, 

    tak ada sarapan paha di meja makan keluarga enamlima, sembilandelapan, dan duasatudua 

     

    lagipula kulitmu yang gingerbread brown itu 

    senantiasa terpapar cahaya 

    tempat numpang sempurna 

    buat selulit kami dibicarakan.