Author: kibulin

  • Berhala: Sebuah “Model” Surealis-Religius Danarto

    author = About Nanda Aziz Rahmawan
    Sejak 2015 didapuk menjadi mahasiswa Sastra Indonesia di salah satu Universitas negeri di Semarang. Meski dilabeli mahasiswa sastra, ia masih males-malesan membaca, apalagi menganalisis karya sastra. Asli kabupaten Brebes, namun mukim sementara di Semarang guna memenuhi amanah orang tua.

    View all posts by Nanda Aziz Rahmawan →










    Berhala







    Danarto






    Kumpulan Cerpen





    DIVA Press







    226 hlm






    60.000



    Semua cerpen dalam buku ini menyiratkan jalan pemikiran Danarto, bahwa realitas yang tak tampak, jalin-menjalin menjadi satu. Seperti dunia dan akhirat.

    Berhala mendapatkan penghargaan dari Pusat Bahasa pada tahun 1990 dan Pustaka Firdaus mendapat penghargaan sebagai penerbit Buku Utama jenis fiksi 1987.

    Saat ini, Berhala sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jepang.

    ***

    “Apakah orang ini sudah siap dicabut nyawanya?” nada bertanya Izrail yang entah ditujukan kepada siapa.
    “Belum. Orang ini belum siap untuk dicabut nyawanya,” jawab rambut di atas kening saya. Ruang dan waktu seketika diliputi kehampaan dan saya bergulir persis batang pisang dari tebing ke sungai. Tidak. Sungguh tidak. Ini tidak benar.
    “Orang ini sama sekali belum siap untuk dicabut nyawanya,” seru kaki saya. Tidak. Sungguh tidak. Ini tidak benar.
    Saya merasa diperlakukan tidak adil. Bahkan merasa ditindas. Bagaimana mungkin rambut di atas kening dan kedua kaki saya telah bertindak tanpa seizin saya, menjawab pertanyaan Malaikat Izrail. Ini kelancangan yang keterlaluan. Bagaimana mungkin mulut saya justru terkunci menghadapi saat yang paling genting ini. —“Dinding Anak”

    ***

    Danarto dan cerpen-cerpennya adalah kasus yang istimewa. Mungkin tidak ada penulis cerpen di negeri ini yang sejak semula sudah dengan sangat sadar menciptakan “dunia alternatif” dalam cerita-ceritanya.(Umar Kayam)

     

    Danarto, barangkali adalah satu dari sedikit cerpenis Indonesia yang sedari awal mampu melakukan ‘sihir’ demi menciptakan dunia atau ‘model’ baru dalam mengungkapkan pemahamannya tentang dunia. Dalam cerpen Berhala yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1987 itu, ia seolah tahu betul bahwa dunia selalu mempunyai kemungkinan-kemungkinan tidak terbatas, sebab ada Tuhan yang Maha Tak Terduga juga manusia sebagai salah satu makhluk-Nya yang tak terduga pula. Perkara tersebut, agaknya menyadarkan kita yang kerap dikerubuti tameng-tameng konvensi dan pakem yang ada sebelumnya sehingga membuat pemahaman kita seolah dikerangkeng dan menutup segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.

    Danarto kemudian menghadirkan model-model yang erat dan kental dengan aura surealis-religius. Dengan tema-tema yang sebenarnnya cukup sederhana, Danarto mengalirkan ‘sungai’ ceritanya menuju arus ‘samudra’ penafsiran yang luas dan kompleks. Hal itu membuat ‘model’ yang ia tawarkan itu tampak berwarna ‘pekat’, sebab segala kemungkinan ia alirkan ke dalam satu wadah saja.

    Kisah-kisah yang dibawakan Danarto cukup unik, meskipun yang ia hadirkan sebenarnya tentang kisah-kisah keseharian, tentang keluarga, lingkungan sosial dan lingkungan kerja, Danarto selalu menyiasatinya dengan aura surealis sekaligus sinisme, juga kritik terhadap pejabat pemerintah, tentang korupsi, tentang praktik pembunuhan yang terorganisasi, bahkan hingga pembakaran lahan warga yang dilakukan oleh para pemilik modal untuk memenuhi hasrat dan tujuannya melebarkan sayap-sayap bisnisnya. Sebuah hal yang agaknya sangat berani dan cukup cerdas dalam ‘menyembunyikan’ soal-soal itu, mengingat cerpen ini lahir di era orde baru yang notabene cukup sensitif apabila tema-tema tersebut disinggung di era itu.

    Ada satu hal lagi yang cukup unik dan memancing pertanyaan di benak saya ketika selesai membaca kumpulan cerpen ini: mengapa tidak ada cerpen berjudul Berhala, meskipun buku ini berjudul itu? Lazimnya, buku kumpulan cerpen diberi judul salah satu cerpen di dalamnya, tetapi, hemat saya dalam kasus ini, Berhala yang dimaksud dalam judul buku ini murujuk pada tema yang diangkat dalam setiap cerpennya. Meskipun tidak ada aura ‘ceramah’ dan ‘khutbah’, tema yang disampaikan sangat relevan dengan peristiwa-peristiwa di era modernitas –meski setting yang ditampilkan adalah era orde baru, baik secara isi pun kejanggalan masih relevan dengan era sekarang-, yang kerap memberhalakan segala sesuatu yan sifatnya keduniawian, seperti berlebihan mencintai sesuatu: harta, jabatan, orang tua bahkan anak. Itulah yang mungkin saja dalam maksud Danarto adalah berhala-berhala baru atau berhala-berhala modern.

    Tetapi, tentu dengan kompleksitas semacam itu, meski dengan gaya bahasa yang sederhana, mengalir dan tidak terlalu ‘nyastra’, buku ini perlu untuk dibaca lebih dari sekali untuk mencari benang merah dan titik tolak dalam tiap cerpen. Bahkan bila perlu adalah membaca referensi lain atau cerita lain untuk membiasakan mengenal bacaan atau cerita yang cukup berat dan serius untuk benar-benar memahami maksud yang disampaikan Danarto. Namun begitu, tidak mengurangi maksud saya untuk merekomendasikan pembaca membaca buku ini, bahkan buku ini adalah salah satu buku yang wajib dibaca apabila ingin lebih mengenal Sastra Indonesia.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/resensi/berhala-danarto/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/featberhala.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/featberhala-150×150.jpgNanda Aziz RahmawanResensiBerhala,buku,Danarto,kibul,Kumpulan Cerpen,Resensi,Sastra,Sastra Indonesia 
    Danarto, barangkali adalah satu dari sedikit cerpenis Indonesia yang sedari awal mampu melakukan ‘sihir’ demi menciptakan dunia atau ‘model’ baru dalam mengungkapkan pemahamannya tentang dunia. Dalam cerpen Berhala yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1987 itu, ia seolah tahu betul bahwa dunia selalu mempunyai kemungkinan-kemungkinan tidak terbatas, sebab ada…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Aku dan Surabaya dan Silampukau: Absurditas Hidup di Sebuah Kota

    author = Anis Mashlihatin
    Alien










    Aku Dan Surabaya dan Nakamura







    Gerson Poyk







    Penerbit Buku Kompas





    Maret 2016






    202






    Rp 59.000



    Aku dan Surabaya serta Nakamura adalah karya sastrawan besar Gerson Poyk yang belum pernah dipublikasikan, meski bertahun 1989.

    Aku dan Surabaya adalah semacam autobiografi yang merupakan ‘Nostalgia Flobamora’ penulis di masa kecil. Di Surabaya, Gerson memasuki sejarah kesusastraan Indonesia melalui puisi. Karena puisi, Gerson berkenalan dengan teman-teman seniman Surabaya, seperti Muhammad Ali yang menolongnya saat sakit. Yang tak bisa Gerson lupakan adalah Daryono serta Amang Rahman, sahabat sejati yang membantu tanpa pamrih. Seniman Surabaya sangat akrab dan pemaaf. Kehidupan sebagai pelajar dan seniman di Surabaya terangkum jelas di novel ini.

     

    Sebuah kota tak pernah sekadar jadi lokasi geografis, entah bagi orang yang hanya singgah atau terlebih bagi orang yang tinggal dan menetap di dalamnya. Sebuah kota merekam jejak, gejolak emosi, perasaan-perasaan. Ia juga merekam perjumpaan antara diri dan orang-orang lain, ruang-ruang, dan lokasi-lokasi yang baru. Dalam wajahnya yang paling buruk sekalipun, sebuah kota menawarkan keindahan-keindahan personal nan subtil. Setidaknya, itulah yang saya yakini.

    Itu pula harapan yang awalnya saya sandarkan ketika mulai membaca buku Aku dan Surabaya dan Nakamura karya Gerson Poyk ini. Buku ini terdiri dari dua novel yang memiliki perbedaan tema dan latar. Yang pertama Aku dan Surabaya dan yang kedua Nakamura. Yang pertama tentang sepak terjang penulis di Surabaya, sedangkan yang kedua tentang prajurit Jepang yang bersembunyi di hutan Morotai.

    Aku dan Surabaya. Judul itu sedikit sentimentil bagi saya yang belum lama tinggal di kota jancuk ini. Ketika kemudian membaca kalimat demi kalimat dalam novel ini, saya berharap bisa berpapasan di gang-gang sempit Surabaya dengan sang aku. Kemudian kami saling tersenyum mengerti, karena apa yang saya alami, dialami pula olehnya. Di samping itu, kedatangan saya ke Surabaya pada awal 2016 dibekali oleh lagu-lagu Silampukau yang lirik-liriknya menyebut Surabaya dengan intens. Otomatis sedikit banyak gambaran tentang kota ini di kepala saya dipengaruhi oleh lagu-lagu mereka.

    Itulah alasan mengapa ulasan novel Gerson Poyk ini kemudian saya sangkut-pautkan dengan lirik-lirik lagu Silampukau. Apa boleh buat, persinggungan saya dengan Surabaya tak bisa jauh-jauh dari lagu-lagu mereka. Lagu-lagu mereka seolah bisa membuat saya melihat Surabaya melalui telinga, sebelum pada akhirnya melihatnya dengan mata. Meskipun demikian, tulisan ini tidak diniatkan untuk membanding-bandingkan antara cerita dalam novel dan cerita dalam lirik lagu. Bukan pula untuk menilai baik buruk. Saya hanya ingin melihat bagaimana sebuah kota yang sama dilihat dari dua perantara yang berbeda, dan dalam rentang waktu yang berjauhan.

    Novel Gerson Poyk ini memang bukan novel pertama yang membahas tentang Surabaya. Untuk menyebut beberapa, rujukan pertama cerita tentang Surabaya biasanya adalah novel pendek yang ditulis oleh Idrus: Surabaya. Selain itu, Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia juga menyebut-nyebut Surabaya sebagai latar. Surabaya dalam pandangan Gerson Poyk tentu berbeda dengan kedua penulis itu. Dalam novel ini, boleh dibilang, Gerson Poyk sedang membuat otobiografi terkait hubungan personalnya dengan Surabaya. Ia bertungkus-lumus dengan debu dan jelaganya, sedangkan kedua penulis yang lain berdiri pada jarak tertentu.  

    Nah, sebelum kamu melanjutkan membaca tulisan ini, saya sarankan untuk memasang headset di telinga lalu mulai mendengarkan lagu-lagu Silampukau, terutama yang album kedua: Dosa, Kota, dan Kenangan. Biar lebih merasuk.  

    Surabaya: Perjumpaan dan Pergulatan

    Berlatar waktu 1953, cerita diawali dengan kekaguman Gerson terhadap wujud fisik Surabaya. Kekagumannya yang pertama adalah pada Pelabuhan Tanjung Perak ketika dirinya pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya. Perjumpaannya dengan pelabuhan yang ramai seketika menjadikannya tersadar betapa dirinya selama ini tumbuh di suatu daerah yang sepi nun jauh di NTT. Pada titik ini, Surabaya masih indah, hingga pada pertemuannya dengan Jembatan Merah. Berbekal sebuah lagu tentang Jembatan Merah, Gerson yang datang ke Surabaya sebagai siswa Sekolah Guru Atas (SGA) mengharapkan romantika yang indah tentang jembatan yang terkenal itu. Sayangnya, romantika itu seketika runtuh saat ia mengetahui jembatan itu dipenuhi pengemis.

    Setelah insiden Jembatan Merah itu, Gerson tak lagi menyajikan deskripsi yang detail tentang sebuah lokasi di Surabaya. Bukan karena lokasi-lokasi geografis tidak mencipta kesan mendalam baginya, tetapi karena yang lebih menyita perhatian adalah realitas kehidupan kota yang kejam. Tentang kekurangan uang dan makan. Juga tentang kesehatan yang merosot.

    Jika saat ini indra pendengaranmu dikelilingi “Lagu Rantau”, kamu bisa tahu dengan jelas bahwa lagu itu mengisahkan sosok yang datang ke Surabaya karena sebuah mimpi: ingin menjadi kaya. Ia menyandarkan harapan yang tinggi pada Surabaya. Akan tetapi, sama seperti Gerson, sosok itu harus menanggung kecewa karena impianku tersapu di Surabaya: gagal jadi kaya // Kota menghisapku habis / tubuh makin tipis / dompetku kembang kempis //. Kekaguman dan harapan akan hidup yang indah di sebuah kota pun berakhir sudah.

    Kedatangan Gerson ke Surabaya memang tidak bertujuan mengumpulkan harta, tetapi  tujuan mulia, menambah ilmu. Akan tetapi, kesulitan keuangan kerap menghambatnya dalam menambah ilmu. Kesulitan demi kesulitan datang silih berganti. Kekecewaan demi kekecewaan ditelannya sendiri. Tapi hampir semua kesulitan itu bersumber dari kekurangan uang. Bagi Gerson dan bagi sosok dalam lagu itu, Surabaya adalah arena pergulatan. Ada hidup yang harus dipertaruhkan.

    Sosok-sosok lain juga mengalami hal serupa. Penjual miras dalam “Sang Juragan” harus berhadapan dengan aparat agar bisnisnya tetap aman. Dalam lagu “Bola Raya”, anak-anak muda pun harus bergulat dengan ruang publik yang semakin menyempit karena ditanam gedung-gedung. Di kota ini, penderitaan tak mengenal usia. Sosok dalam lagu itu pun kembali berteriak: waktu memang jahanam / kota kelewat kejam / dan pekerjaan menyita harapan / hari-hari berulang / diriku kian hilang / himpitan hutang/ tagihan awal bulan/.

    Jika Gerson tak banyak membahas tentang lokasi geografis di Surabaya, lain halnya dengan Silampukau. Secara gamblang, beberapa lokasi di Surabaya disebutkan sehingga gambaran tentang kota ini terasa lebih hidup. Sebagai contoh, kawasan Dolly, Taman Hiburan Remaja, dan jalan Ahmad Yani. Jalan Ahmad Yani memang hanya salah satu jalan utama di Surabaya. Akan tetapi, jalan itu dapat dikatakan sebagai representasi bagaimana gelanggang Surabaya yang secara keseluruhan amat beringas.

    Selanjutnya, perjumpaan Gerson dengan Surabaya lebih banyak dengan manusia-manusia yang tinggal di dalamnya, baik itu kenalan lama yang berasal dari daerah yang sama dengannya atau orang yang baru dikenalnya. Orang-orang itu, di antaranya, Amang Rahman (pelukis dan penyair), Mohamad Daryono (pelukis), Sudjono Dh, Suwarni Mulyono, hingga pemain teater Tatiek Malyati. Orang-orang itulah yang menciptakan kenangan baginya. Orang-orang itulah yang membantunya ketika ia dalam kesulitan dan kekuarangan uang.

    Absurditas Hidup di Surabaya

    Penderitaan bertubi-tubi yang menghantam seseorang bisa membuatnya merasa bahwa hidup ini tak bermakna. Hidup ini sia-sia dan tak terpahami. Yang ada hanyalah penderitaan dan kekecewaan yang datang silih berganti. Rasa-rasanya kebahagiaan hanyalah selingan yang terlalu sebentar. Hidup ini absurd. Absurditas itu muncul karena manusia mempertanyakan hidupnya, tetapi tidak menemukan jawabannya.

    Barangkali kebetulan di telingamu sedang mengalun lagu “Balada Harian”, kamu akan bisa merasakan absurditas itu. Di luar pagar sana, kawanku / kehidupan memanggilmu // Tapi tahun kian kelabu / makna gugur satu-satu / dari pengetahuanku / dari seluruh pandanganku / pendengaranku / penilaianku // Mentari tinggal terik bara tanpa janji // Kota tumbuh kian asing / kian tak peduli / dan kita tersisih di dunia yang ngeri/ dan tak terpahami ini //. Sosok dalam lagu itu tengah menyadari bahwa hidup di dunia ini sungguh absud. Tak terpahami. Makna yang pernah ada, kini telah gugur. Dan betapa tak berkuasanya manusia di hadapan waktu yang terus bergulir. Pagi tak terhindarkan. Waktu memang benar-benar jahanam. Ia pun terpaksa terus berkelindan dalam waktu yang sekedar hitungan / yang melingkar / kekal di kehampaan //.

    Di Surabaya, Gerson pun mengalami absurditas-absurditas yang seringkali sulit diterima dan dipahaminya. Sebagai siswa SGA, Gerson berkeinginan tenggelam dalam dunia sastra sementara di lain pihak ia juga diikat oleh tuntutan belajar karena statusnya sebagai siswa ikatan dinas. Ia pun mengalami saat-saat ketika dirinya merasa sunyi di tengah-tengah massa dan kekuasaan. Namun, ia menyadari bahwa sunyi itu sebagai kenyataan yang paling nyata dalam diri setiap manusia. Ia bahkan mengalaminya sejak hari-hari awalnya di Surabaya.

    Yang ditemui Gerson di Jembatan Merah tak lain adalah absurditas. Di Jembatan Merah yang indah itu, ia melihat begitu banyak manusia yang mengalami kemalangan dan kesengsaraan. Ketika itu ia menghabiskan seluruh uangnya untuk diberikan kepada orang-orang papa itu karena ia percaya bahwa birokrasi sekolah akan memberikannya uang. Akan tetapi, birokrasi itu mengkhianati kepercayaannya. Apa yang bisa menjelaskan kondisi semacam itu? Tidak ada. Jembatan Merah dan birokrasi sama-sama tidak indah. Keduanya cacat belaka. Nilai-nilai keindahan itu percuma saja karena manusia terjebak dalam penderitaan.

    Lihat pula ketimpangan dalam “Bola Raya”. Wajah anak-anak muda harus bermain bola di jalan raya karena lapangan hijau harus disewa dengan harga tak terjangkau. Karena tak punya uang, mereka kalah dalam perebutan ruang. Padahal lapangan adalah ruang publik yang berhak mereka akses. Dalam hal ini, kota tumbuh menjadi ruang yang asing dan tak peduli pada penghuninya. Sementara itu, lagu “Sang Juragan” memperlihatkan mereka yang terpinggirkan, yang kurang makan, tapi ngotot beli miras. Sedang wakil rakyat tak jauh dari sana ongkang-ongkang di kantornya. Dalam nada yang satir, “Doa” menceritakan seorang remaja yang tak habis mengerti mengapa orang tua mereka tersedot dalam mimpi-mimpi palsu televisi. Dalam hidup yang absurd itu, televisi tak memberikan jawaban apa-apa. Ia justru semakin merendahkan nalar dan mengeringkan imajinasi.

    Tak adakah kebahagiaan? Tentu ada. Gerson pun menyadari bahwa di tengah absurditas itu ada kebahagiaan. Ada warna-warna ceria dan indah, misalnya saat-saat tulisannya dimuat di media massa. Kebahagiaan itu juga ada di temaram gang sempit Dolly. Mereka adalah suaka bagi hati yang terluka / oleh cinta oleh seluruh nelangsa / hidup yang celaka //. Kebahagiaan juga ada di botol-botol miras, anggur vodka arak beras, yang lebih hemat jika dicampur potas. Bahkan dalam kebahagiaan yang sebentar itu, mereka harus tetap berhemat. Yang semakin menegaskan bahwa kebahagiaan di kota ini terlalu mahal untuk bisa dibeli. Hanya Taman Remaja Surabayalah yang menyediakan harga terjangkau untuk dapat mencicipi kebahagiaan. Tempat itu sajikan canda tepis gulana.

    Namun, kebahagiaan-kebahagiaan itu hanya singgah sebentar untuk kemudian berhadapan lagi dengan segala kesengsaraan. Dengan jenuh hari yang rutin bergulir. Gerson yang pernah sesumbar sebagai penyair terbesar di Surabaya karena sajak-sajaknya dimuat di media massa pun harus menelan pahit kenyataan. Nama dan sajak tak bisa menolongku (Poyk, 2016: 57). Gerson pun harus berhadapan lagi dengan kekurangan uang dan himpitan utang. Sosok dalam lagu-lagu itu kembali berkutat dengan tagihan awal bulan dan pekerjaan yang menyita harapan.  

    Berdiri di Hadapan Absurditas

    Biar bagaimanapun, mereka tetaplah menghayati absurditas kehidupan di Surabaya. Pada siapa mereka belajar menghayatinya? Gerson tidak memperolehnya dari perpustakaan atau bangku-bangku sekolah. Dari buku-buku ia hanya memiliki pemahaman teoretis. Ia lebih menghayati absurditas pada orang-orang terpinggirkan yang ia temui di Surabaya. Ia belajar pada perempaun “bintang bar” yang kemudian menjadi gila. Juga pada teman-temannya yang bercita-cita menjadi sastrawan tapi gagal. Ia menghayatinya secara nyata, secara eksistensial. Sosok-sosok dalam lagu Silampukau menghayatinya pada gang Dolly. Dolly yang tersembunyi di temaram gang sempit, tetapi “menyala” di puncak kota.

    Lantas, menghadapi absurditas itu, bagaimana mereka menentukan sikap? Seseorang yang merasa hidupnya absurd, tidak ada yang bisa dilakukan selain bergulat dengan hidupnya yang absurd, yang ada di depan matanya. Seabsurd apapun kehidupan di Surabaya yang dipenuhi duka nestapa, sosok dalam lagu “Puan Kelana” tetap memilih untuk tinggal. Tuan memilih melambaikan tangan pada Puan yang hendak meninggalkan Surabaya menuju Paris. Sementara itu, Gerson menganggap bahwa Surabaya pada umumnya, kehidupan nyata di dalam kota ini, adalah guru yang membuka diriku untuk menghayati absurditas itu, sejak masa remajaku (Poyk, 2016: 88-89). Bagi Gerson, Surabaya memberikan hanyak hal yang dapat membuatnya merenung. Sehingga, dalam hal ini, Surabaya menjadi kota yang dibenci sekaligus dicintai.

    Gerson menyadari kodrat dunia yang absurd, tetapi ia menolak hanyut dalam tragedinya. Ia memilih memberontak. Dengan cara apa? Dengan cara menulis terus-menerus. Aku menulis dengan kesadaranku, ia menegaskan demikian. Meski tinggal di Surabaya, yang notabene adalah kota dagang, yang bagi Gerson sukar menjadi seniman, toh ia tetap berupaya. Justru kehidupan yang keras di Surabayalah yang membentuk kepenulisan Gerson. Bersama teman-temannya, ia pun membentuk sebuah peer group yang terdiri dari beberapa suku, agama, dan tingkat pendidikan. Mereka mendiskusikan apapun perihal sastra dan kebudayaan.

    Namun, pemberontakannya tidaklah penuh. Biasanya, seorang yang mengangggap bahwa hidup ini absurd akan meniadakan keberadaan Tuhan. Tidak demikian dengan Gerson. pada titik tertentu, ketika Gerson tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkelindan di kepalanya, Gerson mencari jawaban pada Tuhan. Ia menyandarkan diri pada Tuhan seperti seorang religius. Beruntunglah mentalku, jiwaku, jika aku masih mempunyai keyakinan bahwa Tuhanlah yang dapat menyelesaikan absurditas ini. Aku percaya pada Tuhan yang pernah memanusia, turun dalam sejarah, dalam absurditas, berpartisipasi dengan duka dan ajal manusia dan menyelesaikannya dengan kebangkitannya dan kenaikannya ke surga (Poyk, 2016: 123). Kepercayaan kepada Tuhan itu pulalah yang menyelamatkannya dari tindakan bunuh diri.  

    Naun, sosok-sosok dalam lagu Silampukau berpendapat lain. Di mana Tuhan? Dalam pusaran absurditas itu, Tuhan kalah di riuh jalan. Tuhan/Gusti tak memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan jiwa yang remuk diteror televisi. Bahkan pada titik tertentu, Tuhan dan setan tak ada bedanya. Lantas, di manakah cinta? Cinta itu buat kapan-kapan, kala hidup tak banyak tuntutan. Di kehidupan yang absurd ini, tak ada Tuhan pun cinta.  

    Apakah saat ini kamu masih mendengarkan lagu-lagu Silampukau? Jika iya, barangkali beberapa menit lagi akan terdengar di telingamu lagu “Duduk Menanti”. Lagu itu adalah lagu penutup untuk album yang tengah kamu nikmati. Sebagai lagu penutup, lagu itu saya nilai sebagai sikap yang mereka ambil dalam menghadapi absurditas. Seperti takdir yang panjang dan pedih / dalam hidup yang muram dan letih / aku masih di sini / ku duduk menanti / hanya menanti / tak bergegas mencari / hanya bersedih / dalam sunyi // Duduk menanti dalam letih mimpi //.

    Suasana yang terasa dalam lagu itu adalah mendung menggelayuti hati. Lagu itu begitu kental dengan kepedihan, kemuraman. Tak ada pemberontakan terhadap takdir. Sikap yang berbeda dengan yang diambil Gerson. Dalam hidup yang tak terpahami, ia hanya duduk menanti. Apa yang dinanti? Ajal?

    ***

    Dilihat dari bagaimana Gerson dan sosok-sosok dalam lagu Silampukau bercerita tentang Surabaya, tentang perasaan-perasaan yang berulang itu, ada satu benang merah yang bisa ditarik. Mungkin seperti kota-kota lainnya, Surabaya berubah, tapi sebenarnya tidak berubah. Surabaya tahun 1950-an dan Surabaya tahun 2000-an tetap menyuguhkan kehidupan yang absurd. Hanya saja sikap manusia terhadap absurditas itu berbeda-beda. Ada yang memberontak. Ada yang berputus asa. Atau perpaduan keduanya.

    Perjumpaan dan pergulatan saya dengan Surabaya ternyata berlainan jalan dengan Gerson. Awalnya, lagu-lagu Silampukau membuat saya melihat Surabaya dengan pandangan murung dan sinis. Yang terlihat saat itu hanyalah Surabaya yang ganas dan beringas. Namun, perlahan, keindahan kota ini mulai tampak. Bukan keindahan yang gemerlap memang. Saya justru menemukan surga-surga kecil di kota sumpek ini pada hal-hal yang terkesan banal. Meskipun demikian, saya sempat berpapasan dengan sang aku di gang-gang sempit Surabaya. Kami pun sempat saling melempar senyum.

    Oh, ya, mungkin kamu bertanya-tanya, kok novel Nakamura tidak dibahas? Nakamura adalah novel amat pendek dengan tema cerita yang berbeda. Saya tidak tahu alasan mengapa Aku dan Surabaya dan Nakamura digabungkan. Jadi, maafkan saya yang tidak membahas Nakamura.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Absurdnya Kehidupan Chairil Anwar

    author = Karim Ilham
    Karim Ilham adalah pemagang di Radio Buku Yogyakarta. Berdomisili di Pandean, Condongcatur, Yogyakarta.







    Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan Book Cover



    Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan







    Arief Budiman







    Wacana Bangsa





    2007 (Pertama diterbitkan oleh Pustaka Jaya tahun 1976)






    128





    Chairil Anwar – Sebuah Pertemuan, adalah skripsi sarjana [Arief Budiman] tatkala ia menyelesaikan pelajarannya pada Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, yang mencoba mendekati Chairil Anwar secara filosofis. Bagian pertama merupakan konsep filsafat eksistensialisme dan lain-lain; bagian kedua merupakan pertemuan dengan sajak-sajak Chairil Anwar. Buku ini merupakan usaha yang pertama-tama dalam mendekati Chairil Anwar secara demikian dan yang paling sistematis, pendekatan dan tafsiran dengan argumentasi-argumentasi yang dapat difahami.

    Ê

    Sebuah pertemuan tidak melulu melibatkan fisik. Begitulah yang dialami Arief Budiman dengan Chairil Anwar. Terhadap sajak-sajak gubahan Chairil, Arief melakukan pertemuan itu. Ia memelajari sajak-sajak itu dengan penuh penghayatan sebagai seorang yang memiliki pengalaman kebudayaan. Hasilnya ialah sebuah buku yang status sebelumnya adalah skripsi.

    Bab pertama menjelaskan proses menulis puisi Chairil yang diawali dan diakhiri oleh perenungannya terhadap kematian. Pada usia 20-an, ia sudah dihadapkan dengan kematian neneknya. Saat itu lahir sebuah karya berjudul Nisan. Pada tahap awal ini, ia sudah sampai menyimpulkan dua hal: manusia yang tidak berdaya terhadap maut, dan maut yang mendatangi siapapun tanpa kenal kompromi. Setelah melewati perenungannya, muncul pertanyaan-pertanyaan filosofis dalam dirinya tentang tujuan dihidupkannya manusia.

    Di tengah gemuruh pertanyaan itu Chairil bertemu dengan Pangeran Diponegoro. Ia terpukau dengan semangatnya untuk memperjuangkan kehidupan: mengerahkan hidupnya demi sebuah kemerdekaan. Ketika itu, ia mencipta puisi Diponegoro yang membawa pesan semangat. Namun, di bulan yang sama, ia tahu kematian Diponegoro dalam sebuah penjara di Makasar merupakan kematian dengan tanpa kemerdekaan. Ia mengartikan bahwa kematian Diponegoro bukanlah kegagalan, tetapi bagian dari perjuangan menuju kemerdekaan.

    Chairil pada akhirnya harus memilih jalan hidup sebagai Ahasveros, pengembara yang terlukis dalam puisi Tak Sepadan. Ia hadapi kesepian dan kesedihan yang mengingkari masa kecilnya yang selalu gembira. Demi mengobati kesunyiannya ia melakukan pelarian menuju perempuan-perempuan nakal yang tergambar pada sajak Pelarian. Sebagai mahasiswa psikologi, Arief mengerti bahwa pada keadaan yang dialami Chairil mekanisme-mekanisme itu otomatis berjalan.

    Sampai pada rasa bosan atas pelarian itu, ia terbayang akan kematian sebagai sesuatu yang damai. Arief menggunakan gagasan Albert Camus tentang kematian sebagai “peleburan dalam tiada”. Tidak ada jalan lain bila ia ingin mati selain dengan bunuh diri. Tetapi ia hanya sampai pada tahap membayangkan saja, seperti halnya Camus yang menyatakan bahwa kematian bukan merupakan jawaban terbaik. Perbedaan keduanya hanya Chairil tidak menjelaskan perenungannya secara sistematis seperti Camus.

    Di buku ini bertebaran gagasan dari filosof dunia yang menandai keluasan pengetahuan Arief walau latar belakang pendidikannya adalah psikologi. Ia memakai gagasan Nietzsche “jadilah kuat bersama penderitaan” sebagai gambaran akan Chairil ketika ia mencoba bangkit dari bayang-bayang bunuh diri. Bait-bait paling terkenal Chairil dalam sajak Semangat : “Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap meradang-menerjang/Luka dan bisa kubawa berlari/Berlari/Hingga hilang pedih dan perih” diakhiri dengan semangat hidup yang membara dalam : “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.” menandai sekali kebangkitan itu.

    Lagi, ia merasa kesepian kembali setelah menulis sajak Semangat. Sajaknya kemudian yang berjudul Hukum memang agak berbeda dengan terdahulunya, Tak Sepadan. Isi sajak itu bagi Arief menjadi tanda kehidupan Chairil yang sudah diidealisirnya. Sampai di sini, menurut Arief, babak pertama dalam hidup Chairil telah berakhir. Kemudian, muncul sajak Taman yang membuat Arief yakin bahwa Chairil mengalami kehidupan yang tenang.

    Pada bab selanjutnya Arief menjelaskan perbedaan terkait soal kematian yang direnungi Chairil pada usia 20-an awal, yakni tahun 1942 dan pada usia 27 pada 1949, tahun ketika ia meninggal. Sesaat menjelang kematiannya, Chairil menampakkan tanda bahwa sebentar kemudian ia akan tiada. Misalnya, menurut pengakuan Jassin, sahabat yang pernah mendukungnya dalam sebuah polemik sastra, Chairil menjadi senang dipotret.

    Ada sajak-sajak yang ditulis sebelum Chairil meninggal untuk mengenang peristiwa-pertiwa mengesankan, misalnya kisah cintanya dengan Mirat pada 1943, terlukis dalam sajak Mirat Muda, Chairil Muda-Di Pegunungan 1943. Ada sebuah bait membahas tentang kematian. Berbeda dengan kematian yang direnungi pada usia 20-an, ia seperti tak terbebani.

    Chairil mencapai pada pemahaman tentang absurdnya kehidupan. Pemahaman itu Chairil sampaikan dalam sajak Buat Nyonya N. Arief mensejajarkan bait terakhir dalam sajak ini dengan bait dalam salah satu sajak : “Sekali berarti, sudah itu mati.” Arief menafsirkan bahwa kematian terbaik ialah kematian ketika sedang berada di puncak. Namun lanjutan bait dalam sajak Buat Nyonya N. menurut Arief menjadi tepisan Chairil bahwa apa yang dianggap besar atau puncak segala sesuatu itu tidak berarti karena setelah itu akan kembali. Inilah absurditas yang dipahami Chairil. Bagian ini berakhir dengan pandangannya bahwa, “ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum akhirnya kita menyerah,” yakni rahasia hidup.

    Berikutnya Arief membahas tentang dua sajak yang menurut Jassin telah selesai ditulis, namun belum dipublikasi. Namun Arief mengalami kesulitan menentukan itu. Di sini dijelaskan bahwa Chairil kala menulis sajak tidak harus selesai dalam waktu yang singkat. Namun, bilamana sajak sudah masuk redaktur, maka ia berani tanggung jawab, meski setelahnya kadang ia mengubahnya. Yang dibahas kemudian ialah sajak-sajak yang ditulis Chairil menjelang meninggal. Ia menerjemahkan puisi T.S. Elliot dan W.B. Yeats, juga menulis esai Membuat Sajak, Melihat Lukisan.

    Bab ke-3 Arief membahas sajak-sajak Chairil yang mempersoalkan agama. Oleh Arief, awal mula kita disodori pandangan filosof Paul Tilliich yang mengatakan bahwa religi memiliki pengertian lebih luas dari agama. Yang tergambar dalam sajak Di Mesjid adalah Chairil yang berkeinginan tak terikat agama meski sulit dijalani. Sajak selanjutnya berjudul Isa yang menghadirkan rasa iba Chairil terhadap pengorbanan Isa di kayu salib. Meski demikian ia tetap bertahan pada pendiriannya. Dan barulah esok harinya Chairil menulis sajak Doa sebagai tanda pengakuannya terhadap kuasa tuhan.

    Terkait pencarian jawaban persoalan hidup yang dialami Chairil, Arief menyatakan bahwa perosalan itu bukan dialami Chairil semata. Ia mengajak pembaca berefleksi dengan bertamasya menuju gagasan-gagasan para filosof pada bab 4 sampai bab 6. Tokoh-tokoh yang dipungut gagasanya ialah Sartre terkait Eksistensialime-nya, pandangan Nietzsche mengenai manusia sebagai “das nicht festgestellet Tier”, Heidegger, Kierkegard, Erich Fromm, juga Albert Camus. Nah, Arief lebih sering membahas filsafat Absurdita-nya Camus, sehingga ia menyimpulkan bahwa Chairil serasi dengan pandangan Camus tentang filsafatnya. Menurut Arief ini lah bukti keserasian itu : “Hidup hanya menunda kekalahan/tambah terasing dari cinta sekolah rendah/dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah.

    Buku ini waktu itu saya beli dari penjual buku keliling. Sayang sekali, buku sebagus ini sekarang susah ditemui di pasaran. Barangkali ini menjadi panduan bagi mahasiswa sastra dan mungkin ilmu sosio-humaniora lain saat menulis sebuah karya ilmiah, skripsi maupun jurnal dengan telaten serta pentingnya bekal wawasan intelektual yang luas. Dari buku ini kita bisa belajar membaca biografi seseorang tidak melulu dari detil-detil perjalanan hidup, proses kreatif, yang mungkin hanya menghadirkan kedangkalan-kedangkalan. Mungkin dengan mencoba menghayati karya demi karya akan membawa kita sampai pemahaman lebih mendalam. Menurut penulis sendiri dalam pengantarnya yang terpenting bukan benar-salah pengamatan kita, tetapi intens dan tidaknya penghayatan kita. Di akhir halaman dihadirkan sedikit ulasan tentang perjalanan hidup Chairil yang diceritakan oleh orang-orang terdekat Chairil.

    Buku yang sebelumnya diterbitkan Pustaka Jaya ini dihadirkan dengan kemasan yang sangat baik. Dari awal sampai akhir saya membaca, tidak saya temui kecacatan. Arief menyampaikan gagasannya dengan tulisan yang mudah dimengerti, seperti yang disampaikan Ignas Kleden : “sampai sekarang pun saya berpendapat, Arief Budiman merupakan penulis yang paling jelas menyusun dan mengemukakan gagasan-gagasannya.” Dibumbui pula dengan testimoni-testimoni dari kalangan intelektual terpandang, mengisyaratkan bahwa buku ini sangat layak untuk diterbitkan kembali. Juga bisa diniatkan sebagai penghormatan terhadap penulisnya.

    Ê

    Ê

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • 10 Alinea bersama Gaspar

    author = About Andreas Nova
    Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
    Sarjana Sastra dengan susah payah.

    View all posts by Andreas Nova →










    24 Jam Bersama Gaspar: Sebuah Cerita Detektif







    Sabda Armandio







    Buku Mojok





    2017





    Paperback





    228






    60000



    Tiga lelaki, tiga perempuan, dan satu motor berencana merampok toko emas. Semua karena sebuah kotak hitam.

     

     

    “Katanya, dari beberapa novel detektif yang dibacanya, ia menarik kesimpulan: untuk membuat cerita detektif, kau harus mahir membuat orang kebingungan. Dan dengan kesigapan serupa Yesus, tokoh detektifmu datang menjadi juru selamat untuk mengurai kebingungan yang kau buat dan memberikan penjelasan-penjelasan masuk akal yang kadang tidak memuaskan pembacamu, tetapi mereka merasa senang karena telah berhasil keluar dari kebingungan.” (hlm. 125)

     

    Frase “Sebuah Cerita Detektif” yang disematkan di bawah judul 24 Jam Bersama Gaspar menarik perhatian saya untuk membaca novel kedua Sabda Armandio ini—selain embel-embel “Pemenang Unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016”. Cerita detektif merupakan salah satu genre yang saya gemari. Semasa kecil, saya bertualang dan memecahkan misteri bersama Lima Sekawan, Sapta Siaga, Pasukan Mau Tahu dalam karya-karya Enid Blyton. Menginjak remaja, saya menghabiskan waktu bersama Trio Detektif, Conan Edogawa, dan Hajime Kindaichi. Saya terlebih dahulu mengenal duet Kosasih dan Gozali dalam karya-karya S. Mara GD, sebelum akhirnya mengenal dua ikon cerita detektif: Sherlock Holmes dan Hercule Poirot.

     

    “Sebuah Cerita Detektif” menjadi frase yang sangat menarik karena jarang sekali penulis Indonesia yang menggarap genre ini. Hal itu saya anggap wajar karena kisah detektif lokal sangat susah dibawakan secara nyata—peran detektif dibedakan dari peran polisi seperti cerita detektif luar negeri, karena hukum di Indonesia tidak melegalkan profesi detektif. Formula karakter Kosasih, yang seorang Kapten Polisi, dan Gozali, yang merupakan mantan narapidana tapi memiliki kemampuan setara detektif, dalam karya-karya S. Mara GD masih menjadi formulasi yang pas bagi saya untuk narasi detektif klasik berlatar Indonesia. Ruwi Meita, dalam Misteri Patung Garam, menggunakan formula yang sedikit berbeda dengan menempatkan Kiri Lamari sang tokoh utama dalam peran detektif sekaligus polisi. Frase tersebut memancing rasa ingin-tahu saya untuk menjawab apakah Sabda Armandio menggunakan formula yang serupa, atau memodifikasi formula yang sudah ada. Terlepas dari semua itu, saya memiliki ekspektasi untuk memuaskan kerinduan terhadap sebuah cerita detektif berlatar lokal yang sudah cukup lama absen tertelan genre romantis.

     

    Di luar dugaan, ekspektasi saya untuk memuaskan kerinduan terhadap sebuah cerita detektif konvensional justru buyar ketika membaca halaman demi halaman novel ini. Jika kisah Sherlock Holmes dan Hercule Poirot menjadi semacam konvensi tak tertulis untuk model narasi detektif, maka kisah Gaspar melakukan pendobrakan terhadap konvensi tersebut. Lalu, masihkah pantas novel 24 Jam Bersama Gaspar ini disebut sebuah kisah detektif jika ia tidak menaati konvensi kisah detektif?

     

    Umumnya, sebuah cerita detektif memiliki satu tokoh sentral yang berperan sebagai detektif. Namun sampai lebih dari separoh cerita, saya sebenarnya masih bingung, siapa yang memegang peran detektif dalam kisah ini. Gaspar yang merupakan tokoh sentral, sedari awal mengutarakan niatnya untuk merampok toko emas milik Wan Ali dalam waktu 24 jam ke depan tanpa persiapan, dan bahkan ia belum mengumpulkan komplotan untuk melaksanakan niatnya. Tokoh utama sebuah cerita detektif memang terkadang tidak digambarkan sempurna. Sherlock Holmes digambarkan memiliki ketergantungan pada narkotika, Gozali digambarkan memiliki masa lalu kelam sebagai seorang kriminal. Namun baru di novel ini saya menemukan cerita detektif yang tokoh utamanya malah memiliki niat jahat.

     

    Niat jahat ini tidak sekadar diutarakan dari awal. Deskripsi tokoh Gaspar dibentuk untuk membuat pembaca bingung memilih, apakah Gaspar adalah seorang protagonis ataukah antagonis. Sabda Armandio pun meramu deskripsi tokoh Gaspar dengan kalimat-kalimat yang menarik:

    Aku adalah ia yang diceritakan naga-naga dewasa kepada anak-anak mereka agar cepat tidur, “Atau ia akan mendatangimu”. Dulu Kim Il Sung menyebut namaku beserta segala kemampuanku untuk menghentikan rengekan Kim Jong Il kecil.” (hal. 1)

    Garang bukan? Tentu saja, karena Gaspar adalah amunisi utama cerita ini. Karakter Gaspar yang sangat kuat ini diseimbangkan oleh lima orang lain—dan satu motor— yang menjadi komplotan Gaspar dalam rencananya merampok toko emas milik Wan Ali. Karakter Gaspar menjadi tandon bagi sinisme dan sarkasme yang diluapkan oleh Sabda Armandio dengan baik, tidak berlebihan, mengingat karakter Gaspar yang memang dibuat seperti itu.

     

    Dialog dalam novel ini seolah seperti monolog, bergumam tak karuan, penuh dengan humor sarkas namun berbobot dalam membawa gagasan-gagasannya. Kalimat-kalimat sinis dan sarkas dari Gaspar tentang kejahatan dan kebaikan menjadi penggerak berjalannya narasi kisah Gaspar. Baginya, kebaikan yang selalu menang adalah konyol. Karena banyak orang yang memiliki kecenderungan menjadi jahat dan mencari pembenaran-pembenaran akan kejahatan yang dibuatnya.

    “Ingat, Sahabat, tiada yang lebih berbahaya selain cerita yang memaksamu percaya bahwa kebaikan selalu mengalahkan kejahatan, sebab ia akan membuatmu tumpul dan zalim.” (hal. i)

     

    Kisah Gaspar dilajukan dalam dua alur pararel yang saling melengkapi. Alur pertama menceritakan bagaimana Gaspar membentuk komplotan dadakan yang masih masih meragukan rencana perampokan yang absurd sampai perampokan itu sendiri terjadi. Alur kedua adalah alur wawancara polisi dengan nenek-nenek pikun nan nyinyir. Alih-alih seperti kisah detektif yang dibawakan dengan serius, kedua alur tersebut dibawakan seperti orang yang bermain-main, terkesan tidak matang tapi konsisten. Kedua alur yang sepertinya tidak menyambung ini justru saling melengkapi dan membangun misteri dan ketegangan yang membuatnya tetap pantas disebut sebagai sebuah cerita detektif.

     

    Penulisnya tak mendongengkan kisah detektif yang heroik, yang menyingkap misteri melalui petunjuk-petunjuk yang ditemukannya. Tokoh utamanya malah bercerita tentang dirinya sendiri dan rencana jahatnya. Tidak ada detil-detil penyelidikan seperti halnya cerita detektif klasik. Hal-hal tersebut disamarkan dalam narasi dan baru dibeberkan di akhir cerita. Hal-hal yang biasanya ada di sebuah cerita detektif konvensional nampaknya tidak berlaku bagi Gaspar. Tak heran Dewan Juri Sayembara Menulis Novel DKJ 2016 menyebut novel kedua Sabda Armandio ini sebagai kritik atas konvensi cerita detektif.

     

    Membaca novel ini seperti saya merasa memainkan game Grand Theft Auto: Vice City. Entah mengapa dari semua game GTA yang pernah saya mainkan, saya merasakan seri keenam dari GTA ini  menjadi yang paling dekat dengan Gaspar. Mungkin karena di game ini pertama kalinya tokoh utama bisa mengendarai sepeda motor. Terlintas di kepala saya, tokoh utama GTA selalu merupakan penjahat, namun karena saya yang memainkannya, semua hal yang ia lakukan di dalam dunianya adalah benar. Saya bahkan mencari pembenaran atas kejahatan yang saya lakukan di dalam sebuah permainan. Aneh, bukan. Jahat ya jahat saja, tidak perlu mencari pembenaran.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/resensi/10-alinea-bersama-gaspar/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featgasp.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featgasp-150×150.jpgAndreas NovaResensi24 Jam Bersama Gaspar,Andreas Nova,Budaya,buku,kibul,Resensi,Sabda Armandio,Sastra,Sastra Indonesia 
     
    ‘Katanya, dari beberapa novel detektif yang dibacanya, ia menarik kesimpulan: untuk membuat cerita detektif, kau harus mahir membuat orang kebingungan. Dan dengan kesigapan serupa Yesus, tokoh detektifmu datang menjadi juru selamat untuk mengurai kebingungan yang kau buat dan memberikan penjelasan-penjelasan masuk akal yang kadang tidak memuaskan pembacamu, tetapi mereka…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Ziarah

    author = Moh. Alim

    Ziarah

    /1/
    Rombe,
    ketika bayi yang kau kandung tidak lagi mengea
    suaranya yang keras dikalahkan oleh burung-burung di sangkar
    apa yang sedang kau sembunyikan dari kenyataan?
    tentu aku murka dan bertanya.

    Angin-angin yang berkelimang di pagi hari
    meniup sambil menerkam :
    barangkali bayi itu sedang menerjang otakku.
    sehingga anugrah kau sebut hukuman seorang pendosa.

    Mataku yang meruncing nafasku yang kian sesak,
    seolah peluru dan granat membungkam mulutku.

    Rombe,
    kemana bayi itu?
    aku ingin menasihati sebuah perjalanan hidup
    yang mesti didengar :
    bahwa hidup tidak melulu membela diri
    dan kejujuran perlu di jaga sampai mati.
    Tentu aku murka dan bertanya ?

    -Puisi-Alim-

    Ziarah

    /2/
    sungguh sunyi anak yang mati
    sungguh sepi anak yang mati,
    Sayang !
    Anak itu bukan mati sendiri.

    betapa suram anak itu menjerit sendiri,
    perlahan-lahan,
    petaka tumbuh di pagi hari.

    Sayang !
    Maut di sini kejam,
    di mana dataran terlalu lapang,
    di mana langit terlalu adiluhung.

    di kota ini kita sedikit begitu sengsara
    berpijak di tanah yang mendidih,
    di bawah langit
    kita dihujani oleh yang satu
    dan yang lain beku diambang pintu.

    Sayang !
    di jalan yang lemah, kita sedang berduka.

    -puisi-Alim-

    Ziarah

    /3/
    Di dalam jendela kamar
    ada yang meraung sekuat suara
    ada jua yang menundukkan kepala
    ada yang sedang bermimpi
    ada yang putus asa
    ada pula yang berpikir.

    Ketika syair-syairku mati
    ada yang tidak mendengar
    ada yang menangis
    ada yang berbisik sebuah nama
    ada yang menarik nafas
    ada yang berduka.

    Ketika kota berkabut asap
    ada yang menolak derita
    ada jua yang menjerit perlahan
    ada yang menjanjikan masa depan
    ada yang lapar dan dahaga.
    Manusia menderita
    manusia telah menderita
    alangkah panjang malammu !

    -puisi Alim-

    Musim Dingin

    musim dingin hanya sebentar
    musim dingin tidak kekal, anakku,
    musim dingin tidak kekal.

    jangan kau biarkan disita oleh waktu
    jangan kau biarkan ditipu oleh masa muda
    jangan biarkan kau dihantam senapan dan peluru
    tengaklah !
    jangan seperti bunga yang mudah layu.

    musim dingin tidak kekal, anakku,
    musim dingin tidak kekal
    ia cepat melintas di usia muda:
    lalu sedulur api membakar matamu.

    musim dingin tidak kekal, anakku,
    musim dingin tidak kekal.
    ketika sangkamu: lonceng kehidupan berderu
    membajak hari pagimu
    maka lonceng malammu menjadi
    akhir suka dan dukamu.
    musim dingin tidak kekal, anakku,
    musim dingin tidak kekal

    -puisi Alim-

    Air Mata, Mata Air

    Rinai tangisan hatiku
    sebagai rintik hujan di kota :
    apa guna gerangan makna lesu
    yang menjadi penyusup kalbuku?

    Aduu… lembutnya tetesan hujan
    merintiki tanah dan atap rumah kami.
    wahai, tarian hujan
    hati kami diambang bosan !

    Hamburan ratap kami berujung tanpa sebab
    dalam hati yang digandrungi egosime diri.
    apakah penghianatan selalu tidak ada?
    tentu, sesal ini tidak menemukan sebab.

    Sungguh perih dan menyiksa !
    ketika kami sama-sama tidak tahu
    keindahan tragedi dan cinta.
    Hati pun larut dalam derita.

    -Puisi Alim-

  • Ziarah oleh Dhani Susilowati

    author = Dhani Susilowati

    Catatan Redaksi:
    Puisi berjudul Ziarah nampak memperlihatkan pertentangan antara hal-hal yang mengikat dengan yang membebaskan. Dalam puisi tersebut, aku lirik berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan yang selama ini membelenggunya. Namun setelah berani bertindak atas nama kebebasan tersebut, ia kemudian malah terjebak pada kebimbangan. Hal ini terjadi karena kebebasan berada di ranah personal sementara ikatan adalah bagian dari ranah publik. Pada akhirnya, kebebasan individual, yakni memilih apa yang diinginkan akan kembali terpenjara dalam ikatan yang berada di ranah publik. Inilah ironi yang ditampakkan dalam puisi tersebut

     

    Ziarah

    Aku gagal berziarah tempo hari. Sebab doktrin itu belum mati.
    Aku gagal berziarah (lagi) kemarin. Sebab doktrin itu masih saja menuai benci.

    Pada akhirnya aku benar-benar berziarah hari ini.
    Serba hitam busana kupakai. Bacaan tahlil berdengung ramai.

    Tapi siapa yang kuziarahi?
    Sebab doktrin itu masih lekat pada mereka, para pengabdi.

     

    Adalah Candu

    Sebab
    mencintaimu adalah rindu.
    Penjara kau aku,
    di jeruji tabu.

    Sebab mencintaimu adalah
    candu. Candu memadu aku, dalam
    telisik degup di nadi yang biru, tenang
    tapi menipu

     

     

    Lelaki Makam

    :Kau

    Malam sebelum hilang
    lelaki itu bilang,

    “Aku akan menziarahi kenangan.”

    “Bawa serta bunga segar, barangkali ia akan senang,”

    bisik Nona sebelum diam.

    Malam-malam usai pertemuan,
    wanita itu bilang,

    “ia telah nyaman menjadi lelaki makam.”

     

     

    Monyet Berdasi

    Lihat, monyet itu berdasi.
    Sekarang sedang duduk di kursi.
    Dia tidak suka pisang lagi. Malah
    gemar makan roti, dan
    jalan-jalan ke luar negeri

    Lihat (lagi),
    monyet itu berpidato kali ini.
    Katanya demi kemajuan negeri.

    “Ah masa si?”

    Tutur pak kyai.

     

     

    Gambar adalah lukisan berjudul Graveyard karya Karl Isakson (1878-1922)

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • When Almond Blossomed dan puisi-puisi lainnya

    author = Edwin Anugerah Pradana

    Le Mythe de Sisyphe

    “Il n’y a qu’un problème philosophique
    vraiment sérieux: c’est le suicide.” – Albert Camus

    Sedekat itulah kita
    dengan kematian yang
    menjadi siklus.

    Aiolos menyadari
    putranya adalah angin
    bengal tanpa kompas.

    “Ia, Sisifus, adalah
    kering yang tandus.”

    Lalu, batu itu adalah kehidupanmu

    Kejahatan telah jadi
    pasir-pasir akrab, seperti
    persetubuhan keji dengan
    kemenakan.

    “Izinkan aku kembali ke Korintus.
    Neraka ini melelahkan.”

    Persefon mengizinkan
    dengan titah memburuh
    batu besar bukit tandus.

    Sedekat itulah kita
    dengan kematian yang
    menjadi siklus.

    Seperti juga
    hidup yang ampang
    dan jadi buruh

    daripada mati
    daripada bunuh diri?

    2920

    Segelas Teh untuk Raja Arthur

    “Sesap aku di dingin salju!”

    Gelas berongga ini
    mengantarkan hangat
    dan wangi teh langsung
    dari abad kelima.

    “Letakkan Excalibur!”

    hari ini tak ada perang
    di Camelot, hanya ada
    ampas daun dan

    kepul asap
    yang mengitari gelas
    bersama musim-musim
    gugur Britania.

    2020

    Dawn’s Highway

    I saw a ghost on the highway
    Bleeding on the road
    He said an empty heart is always
    stone-cold– Jim Morrison

    Suar-suar berubah
    memunculkan tabung
    dimana lirik-lirik gelap
    Light my Fire bersentuhan
    dan api-api kecil memadam.

    Gurun New Mexico
    menyamai kerongkongan
    kering dan depresi
    yang kian waktu kian
    padat sekarat.

    Indian telah merekat
    di darah-darah, juga
    kau dan rambut
    tanggung bergelombang.

    “Paris and toilet speak louder
    than death, Jim.”

    Mungkin kalimat
    itu yang akan kukatakan
    jika aku membopongnya
    keluar dari toilet.

    Di situlah ia melepaskan
    dirinya, berganti baju
    jenazah, sebuah ajal
    sebangun toilet.
    Lalu Paris sedikit
    bercerita tentang kematiannya:

    “Di atas kalimat Kata Ton Daimona Eaytoy.
    Kini album dan namamu
    telah tiba di epitaf Père-Lachaise.”

    2020

    When Almond Blossomed

    Giya Kancheli menyaksikan bagaimana proses surga dibanjiri oleh bir. Lalu minor-minor itu semakin memabukkan, dan tentu She is Here menyusul. Teringat pada suatu kelahiran, di Tiflis. Suatu kelahiran pada almon, tanpa pohon. Hanya simfoni?

    Tak ada surga dan bencana, berarti banjir bir adalah sebuah orkestra lembab dan kini basah.

    “Surga banjir bir!”

    Semakin dalam tuts piano, semakin dangkal langit. Panggung itu berada di jamuan bidadari. Ia sendiri yang meminta malaikat menyalakan penyintesis. Sebuah alat tambahan.

    “Sinyal dan suara campur rintik akan segera tiba ke bumi.”

    Ia sedang menikmati surga, dan kini pelangi adalah susunan. Kini pelangi jadi klasik. Kini hujan akan disusul orkestra yang melarik-larik awan mendung.

    Namun teduh.

    Esok surga banjir bir.

    2020

    Epigram Sengkuni

    Pincang aku masuk dalam tanah
    perlahan tiba saat matahari
    kutunggu terang dan saktinya.

    Sama seperti aku menanti
    minyak tala agar keabadian
    segera turun seperti sinar fajar.

    Hangatlah aku dalam kekal, sebelum Bima membunuhku.
    Semoga kayangan adil menghitung duka dan tak melupakan sengsaraku atas nama tipuan Pandu.

    2020

  • Tulisan Awal Juni oleh Polanco Surya Achri

    author = Polanco Surya Achri

    TULISAN AWAL JUNI

    Azan berkumadang!

    : mengapa harus kulewati rumahnya

    untuk menuju rumah-Mu?

     

    Tuhan, kini sandalku rusak!

     

    (2016)

     

     

    NEON

    Seekor kumbang terbalik di pelataran masjid, tiga pasang kakinya bergerak-gerak hendak meraih sesuatu. Cahaya! Mungkin sang kumbang tengah merindu, bagai si pungguk merindukan bulan.

    Suatu daya mengerakkanku: membalikkan badannya

    ia menyentuh jariku dan kami merasa bercahaya!

    Mei, 2017

     

     

    DUHAI, CAHAYA DI ATAS CAHAYA

    Pada bayangan diri, aku masih tergoda

    padahal aku begitu ingin seperti laron yang sirna

    terbakar dalam penyatuan

    Apa karena begitu terangnya cahaya

    sampai-sampai aku terpesona pada bayangan—diri?

     

    (1438)

     

     

    DI MASJID

    Kita dulu kerap berlomba, berteriak “amin” paling keras dan kencang saat menghadap-Nya. Dan kita amat suka saat dimarahi orang-orang itu, lalu senyum-senyum sendiri saat mengingat-ingat wajah-Nya yang ikut bahagia mendengar suara kita. Namun, kini kupikir kita sama naifnya dengan mereka—bahkan mungkin lebih. Kita berlaga khusyuk: mengalami perjumpaan, padahal kita bener-benar memaling.

     

    (1438)

     

     

    MALAM-MALAM GANJIL! AKU MENCARI KEGENAPAN BATIN

    Jika aku bersandar pada tiang rumah-Mu

    entah mengapa aku selalu terpejam:

    membayangkan apa itu keabadian

     

    (1438)

     

    *gambar tiang Masjid Vakil di Shiraz, Iran

    Catatan Redaksi:

    Puisi-puisi Polanco adalah puisi religius. Religiusitas dalam puisi ini adalah persoalan pencarian dan penemuan (jalan) cahaya. Apakah kita harus senantiasa menatap matahari untuk bisa melihat cahayanya? Tentu saja tidak karena mata kita malah akan rusak karenanya. Tapi kita masih bisa melihat cahaya itu dari benda-benda yang terkena sinarnya. Benda-benda itulah yang kemudian akan memantulkan cahaya sampai ke mata kita. Kisah kumbang yang terbalik dalam salah satu puisi Polanco adalah bentuk metafora tersebut. Aku lirik akan dapat menemukan cahaya illahiah dari pantulan cahaya yang mengenai si kumbang yang saat itu memerlukan cahaya (pertolongan) Tuhan. Tapi boleh jadi juga, dari kacamata si kumbang, aku liriklah yang sebenarnya menjadi pemantul cahaya illahiah.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Tragedi Potong Rambut oleh Andre Wijaya

    author = Andre Wijaya

    TRAGEDI POTONG RAMBUT

    Tragedi potong rambut serupa upacara keluarga

    menyucikan diri dari libur paling panjang

    anak pulang milik penuh orang tua

     

    di kepala hidup sebuah kecamatan

    aku adalah camat membangun segalanya

    kota yang resah gagal diselamatkan

    dari hari pemotongan

     

    jalanan kembali lengang di kota kami

    kehilangan pohon hitam yang rindang

    anak tidak akan tumbuh

    bayi-bayi mati

    kehabisan ketombe pada akar dan batang

     

    seorang anak dari kutu jenis lain sedang mencari ibu

    cemas menunggu popok dan puting susu

    isak tangis tak akan lama dan tersesat

    air mata jatuh ke perut

    membentuk kesedihan yang tak pernah larut

     

    aku kenang rambut gugur sebagai kesedihan

    menyabari rumah runtuh dan rubuh

    lelaki di ujung sana menjelma gunting cukur

    meresmikan kutu menjadi yatim piatu

     

    aku masuk ke dalam cermin

    tidak berkenalan sama sekali

    rumah tangga hancur

    dan kematian terus berlompatan dari kepala

    entah siapa saja

    cinta seluruh rambut panjangku

    kecuali satu

    : perintah mama adalah nyanyian burung

    serupa radio rusak dan murung

     

    di rahim

    perempuan membangun puisi

    menuliskan syair tentang surai pendek

    untuk setiap anak lelaki

     

    aku pulang dengan perasaan yang lain

    menuntaskan bon dan keinginan

     

    di wajah

    jiwa muda sudah murah meriah

    mama jadi sumringah

     

    suatu hari

    seseorang berjanji melupakan panjang dan halus rambut

    pagi ini Chris Hemsworth ada di televisi

    rambut Thor menjuntai ke bahu dan indah sekali

    pandanganku kabut

    sesuatu menciptakan hujan di mata sendiri

    : mengingatkanku pada sebuah tragedi

     

    Perpustakaan UGM, 23 Februari 2017

     

     

    SEORANG LELAKI DAN PEREMPUAN TAK PERNAH ADA

    Seorang lelaki dan perempuan berbincang pada sebuah kepala

    dan di kepalaku mimpi basah susah diciptakan

    imaji sudah tawuran

    tapi tertangkap polisi

    segala mesum dipulangkan

    dibimbing terlebih dahulu

    membawa malu

    gagal menghadirkan seorang perempuan di kamar kosku

    seorang lelaki tidak pernah bertanya

    mengapa di kepala lain perempuan menjadi begitu purba?

    pada mimpi paling getas

    kesunyian paling purna

    ketidakberhasilan yang berulang

    adalah kesepian yang mudah pecah

    aku putuskan bicara pada kasur

    jejak di lantai tercipta saat bangun dan mau tidur

    aku adalah si bodoh

    yang tak pandai menghapus langkah

    pada panjang pendek jarak

    dan begitu lumrah

    mungkin tidak ada yang tahu

    ketakutan menjadi aku sekarang

    malam yang kita sebut adalah kecewa

    gagal memesumi mimpi-mimpi paling basah

    sesuatu mencoba kabur pada sepi yang gigil

    seorang perempuan tak berhasil dipanggil

    dalam angan-angan yang begitu kecil

    maka aku ini orang sederhana bukan?

    tidak menjadi istimewa

    pada mimpiku yang biasa-biasa saja

    Perpustakaan UGM, 2017

     

     

     

    INI HARI TAK ADA JEMURAN

    Ini hari tak ada jemuran

    kau menolak lupa segala hal untuk mencuci

    bernyanyi di kamar mandi

    melepas pakaian

    menggantung segalanya pada paku pintu dengan harapan

    : kenangan malam

    bekas dan ingatan

    tak akan bersih bersama deterjen

    yang kau beli dari toko sebelah

    ketika baru saja buka

    setelah hari lalu menggelar kawinan

     

    hari ini terik sekali

    tetapi kau tak sedikitpun punya niat

    mengeringkannya dari masa lalu

    yang memecahkan kepalamu

     

    karikatur yang membentuk dadamu

    seringkali bersentuhan dengan gambar bibir di bajunya

    kau paham

    : ciuman hanya membuatmu

    tidak mau mengambil ember dan sikat di pagi ini

    Malam Minggu serupa malam-malam lain

    yang gembira menziarahi kesedihan

     

    tentu kau mengingat

    hari di mana kau resmi sendiri

    : sepulang menonton dari bioskop

    dia memutuskanmu

    hanya karena tak suka film komedi

    yang membuatmu terbahak setengah mati

     

    setelah itu kau lupa

    bagaimana cara tertawa

    juga bahagia

     

    kawat di luar sana menyuruhmu segera menjemur apapun

    karena tidak kuat menjadi sesuatu yang bukan apa-apa

     

    kau melamun di atas kloset

     

    sikat gigi

    shampo dan sabun mandi menunggumu sejak tadi

    muak menyaksikan laba-laba

    : membangun jaring

    memamerkan kejantanan pada betina

    yang tak lagi takjub setelah ada sesuatu mulai jatuh

    dan berisik di atap rumahmu

     

    gerimis

    kau tersentak

    baru saju ingat

    lupa tak membeli pewangi dari toko sebelah

    : suami istri yang tiap hari ribut

     

    Mungkin Malam Minggu waktu yang tepat untuk pergi ke laundry pikirmu

     

    Perpustakaan UGM, 5 Februari 2017

     

     

     

    BAJU BARU DARI IBU WARNA BIRU

    Kau tidak pernah suka baju baru dari ibu warna biru

    mengapa tidak abu-abu katamu

    membuatku cemas

    tak sengaja menemukan masa lalu

    : kau dan berak menjadi tontonan

    di sela-sela pelajaran berhitung

    yang tidak pernah kuingat lagi tanggal dan waktu

    besok adalah Rabu

    hari di mana kau memulainya tanpa kau yang dulu

    kemarin kau membeli sesuatu dari toko buku

    judulnya membingungkanku

    bagaimana bisa kau membeli sebuah buku

    Tips Jitu Melupakan Kekasih dan Malam Minggu

    tepat di samping novel Cintaku di Kampus Biru?

    SMP celana kau hampir ungu

    kata ibuku coba pakai belau

    celanaku sudah luntur

    kau terbayang-bayang saat angin menyibak roknya

    celana dalamnya juga ungu lebih ke laut-laut biru

    matamu tak bisa mengenali warna

    bentuknya memalingkan logika

    aku malu berteman denganmu

    aku memanggil Tuhan untuk mengutukmu

    kelas bersorak

    menutup hidung dan teriak panggil guru

    itu pertama kali kau lihat sabit di bibirnya

    wajahmu purnama bulan digagal awan

    membuat kau tidak perlu malu

    dengan tahi yang jatuh satu-satu

    tak sekalipun ragu-ragu

    kau tidak pernah suka baju baru dari ibu warna biru

    lebih-lebih celana yang berwarna…

    kau tahu?

    aku dijuluki anak lugu saat itu

    Perpustakaan UGM, 6 Februari 2017

     

     

     

    DEODORAN MURAH MERIAH BELI DUA DAPAT SATU

    Ada sesuatu yang kau beli dari Pasar yang Baru Buka Beberapa Minggu. Shampo Anti Ketombe, Sabun Mandi Anti Kurap Kadas Panu, Deodoran Murah Meriah Beli Dua Dapat Satu. Kau bertanya, berapa harga yang harus kau bayar? Dua puluh lima ribu, kata Pria Itu. Setelah membayar, seorang pria teriak-teriak ingin bertemu dan mengambil maju. Segalanya menjadi kesal, orang-orang sibuk mencaci maki sambil mengepal tangan dan membentuk tinju. Sesampai di rumah, kau terbayang-bayang kejadian seru. Orang-orang mengingat si Ketiak Kuning yang tak ada malu, itu, sisa deodoran tak hilang di area baju. Kau baru saja mengambil dan membuang sesuatu. Esok. Berencana menjadi pria lain. Datang ke Pasar yang Baru Buka Beberapa Minggu itu.

    Perpustakaan UGM, 9 Februari 2017

     

    Catatan Redaksi:

    Puisi-puisi Andre Wijaya bisa dikatakan ekspresif sekaligus eksperimental. Memperlihatkan bagaimana ledakan jiwa muda penulis terhadap situasi-situasi di sekelilingnya, terlihat emosional dan tergesa.

    Dalam beberapa puisi, ia tampak memilih diksi-diksi yang cenderung bisa dipahami sebagai sesuatu yang jorok. Sebagai contoh kutu, berak, sempak, BH dan lain lain. Agaknya pilihan kata itu untuk menjauhkan diri kesan indah yang sering dipahami dalam penciptaan sebuah puisi. Dalam posisi ini terlihat bagaimana penulis mencoba melakukan gebrakan, hanya saja ia lupa bahwa meskipun tak melulu menggunakan diksi-diksi yang indah keindahan puisi tetap saja muncul, tergantung pada tinggat kepandaian penyairnya sendiri.

    Kalau kita lihat puisi-puisi ini masih dikategorikan sebagai tulisan baru—dilihat dari tanggal penciptaannya—sehingga penulis mungkin perlu lebih berhati-hati dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya terlebih dalam bentuk puisi. Tapi keberanian penulis untuk bereksperimen dalam penulisan puisi-puisinya perlu diapresiasi meskipun ia mesti berjuang keras lagi untuk memperoleh kematangannya.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Tiga Cara Menikmati Syukur

    author = Wiviano Rizky Tantowi

    Tiga Cara Menikmati Syukur

    Ada tiga cara kita menikmati syukur:
    1. Jangan pernah mengeluh
        saat ibu memasak sayur kesukaanmu
        dengan tangis melunak dan bumbu beban
        spp sekolah anak-anaknya yang tak lekas lunas.

    2. Dengarkan ayah ketika membagi sepotong cerita,
        tentang kemenangan atas hidup mengembaranya
        yang ia letakkan di atas medan catur sebelum raja
        benar-benar mengancam kedudukan ratu di ranjangnya

    3. Peluklah adik dengan ikhlas
        meski di tangannya tampak jelas
        takdirnya lebih mengalir deras
        ketimbang kita yang sesekali masih
        suka memasang raut wajah melas dihadapan-Nya.

    Maaf Yang Bercermin

    Hari yang kamu jalani kemarin
    adalah maaf yang bercermin
    dan memantaskan diri
    menemui salah dan lalai di hari ini

    Kisah Dua Bapak Muda

    Vas bunga tergelepar di busung palka
    sendirian, mendengar dua bapak muda
    saling lempar pertanyaan resah dengan mendesah
                         (oh, kubiarkan anakku menyelami dilemanya sendiri, katanya)
    Lenguhannya, denting sepasang alat makan, koki yang tak sabar,
    kelotek alat-alat dapur juga sanggahan dari bapak muda satunya,
    kian binal dan sentimental, sementara di ujung tempatku berada
    seperti tak ada apa-apa, gemuruh tawa dari suara terpaksa,
    berhasil kalahkan wabah yang melanda. Bagi mereka hidup adalah
    perkara pembagian masalah. Aku di sini hanya mengamati,
    betapa semua baik-baik. /Kalau dua bapak
    itu mau marah, peraslah biji nangka dalam wadah/ dan napas megap-megap
    pada bungkus kresek yang ringsek. Sejurus kemudian, mereka berdua lupa
    di kopinya masing-masing ada pahit yang larut dari sisa kecemasan keluarganya
    dan sepotong kata maaf yang baru khilaf.


    Kematian Kita Menjadi Lagi Rumah

    :untuk Joyce Christin K.

    Sekilat kilau cahaya sore ini menyilau di hamparan ruang tamu
    —katamu, “tak kutemukan lagi rumah sesungguhnya”
    datang dengan sebungkus pangsit dan berita pahit
    merupakan kesedihan yang berusaha mendobrak masa laluku
           lalu kamu diam, aku bungkam
    tak berani melanjutkan cerita. (pantas saja, dering telponmu
    menyaut ragu) tapi aku juga punya firasat buruk yang meremukkan
    pikiranku sepanjang gugus bintang itu redup, dan aku tak bisa apapun
    selain mengaku dihadapanmu aku lemah yang berusaha menolak pasrah
           (dan lantas aku memelukmu sampai kematian kita menjadi lagi rumah)