Author: kibulin

  • Perjalanan Besar ke Atas Sana [Kurt Vonnegut]

    author = Devi Santi Ariani

    Kakek Fords menopang dagu dengan tangan yang menggenggam lengkungan tongkat jalannya. Ia menatap televisi 48” yang mendominasi ruangan. Di layar kaca, pembawa berita meringkas berita hari itu. Setiap tiga puluh detik, Kakek menghentakkan tongkatnya dan berteriak,”Hell! Kami sudah lakukan itu seratus tahun yang lalu!”

    Emerald dan Lou, masuk ke dalam ruangan dari balkon. Mereka mencari sesuatu yang langka di tahun 2185—privasi—dengan duduk di barisan paling belakang. Keduanya duduk di belakang ayah dan ibu Lou, saudara dan saudari ipar, anak dan menantu, cucu laki-laki dan istrinya, cucu perempuan dan suaminya, cicit laki-laki dan istrinya—dan tentu saja, Kakek, yang duduk di depan semua orang. Semua orang terlihat sebaya sesuai standar anti-gerasone kecuali Kakek, yang entah mengapa terlihat kuyu dan bongkok. Kecuali Kakek, semua orang terlihat seperti masih berumur akhir dua puluh atau awal tiga puluh. Kakek terlihat lebih tua karena ia sudah mencapai usia tujuh puluh ketika obat anti-gerasone diciptakan.

    “Sementara itu,” ujar pembawa berita, “Councill Bluff, Iowa, masih merasa terancam oleh tragedi stark. Namun, 200 penyelamat menolak untuk menyerah dan terus menggali dalam usaha penyelamatan Elbert Haggedorn, usia 183, yang telah terjepit selama dua hari dalam…”

    “Aku harap ia menonton sesuatu yang lebih ceria,” bisik Emerald pada Lou.

    “DIAM!” teriak Kakek. “Siapapun berikutnya yang berani buka mulut lagi waktu TV masih menyala tidak akan dapat uang sepeserpun dari warisanku—,” suaranya tiba-tiba memanis dan melunak, ia melanjutkan, “setelah bendera kotak-kotak melambai di arena balapan Indianapolis dan kakek tua ini memulai Perjalanan Besar ke Atas Sana.”

    Ia mendengus sedih dan haru sementara para ahli warisnya berusaha tidak membuat suara sekecil apa pun. Bagi mereka, ketajaman konsep Perjalanan Besar itu sudah sangat tumpul karena selalu dikatakan Kakek setiap hari selama lima puluh tahun.

    “Dr. Brainard Keyes Bullard,” lanjut pembawa berita, “Rektor Universitas Wyandotte, malam ini mengatakan bahwa seluruh penyakit di dunia ini berasal dari fakta bahwa pengetahuan manusia belum sejalan dengan pengetahuan mereka dengan dunia fisik.”

    Hell!” dengus Kakek. “Kami sudah bilang itu seratus tahun yang lalu!”

    “Malam ini, di Chicago,” pembawa berita melanjutkan, “perayaan spesial digelar di Rumah Sakit Chicago Lying-in. Tamu kehormatan acara tersebut adalah Lowell W. Hitz, usia nol. Hitz lahir pagi tadi sebagai bayi ke-dua puluh lima juta yang lahir di rumah sakit ini. Gambar si Pembawa Berita di televisi memudar digantikan gambar bayi Hitz yang meronta dan menangis kencang.

    Hell!” bisik Lou pada Emerald. “Kami sudah bilang itu seratus tahun yang lalu!”

    “Aku dengar tahu!” teriak Kakek. Ia mematikan televisi dan keturunannya yang ketakutan membatu menatap layar. “Kau, yang disana, nak—”

    “Aku tidak bermaksud apapun, kek,” ucap Lou yang berumur 103 tahun.

    “Ambil surat wasiatku. Kau tahu dimana. Kalian semua tahu dimana surat wasiatku. Ambil, boy!” Kakek menjentikkan jari-jarinya yang degil tak sabar.

    Lou mengangguk lemas dan segera pergi ke kamar Kakek, satu-satunya ruangan pribadi di apartemen Ford. Ruang lainnya hanya kamar mandi, ruang tengah, lorong besar tanpa jendela yang dilengkapi dapur kecil diujung karena seharusnya digunakan untuk ruang makan. Enam kasur dan empat kantong tidur tersebar di lorong dan ruang tengah, ditambah satu kasur dipan yang juga terletak di ruang tengah milik pasangan kesebelas—pasangan kesayangan Kakek saat itu.

    Di atas meja tulis kakek, tergeletak surat wasiatnya yang belepotan tinta, tertekuk-tekuk siku halamannya dan penuh ratusan noda coretan; penambahan, pengurangan, tuduhan, syarat, peringatan, saran dan tulisan-tulisan tentang filosofi sederhana. Dokumen itu sebenarnya, pikir Lou, hanya sebuah buku harian berusia lima puluh tahun. Semuanya berjejalan dalam lembar-lembar kertas yang kacau dan penuh dengan catatan tentang perselisihan hari demi hari yang sudah tak bisa terbaca lagi. Hari ini, hak waris Lou akan dicabut untuk kesebelas kalinya dan mungkin butuh enam bulan berperilaku baik baginya untuk kembali mendapat hak atas apartemen itu. Dan tentu, ia dan Em harus berpisah dengan kasur dipan di ruang tengah.

    Boy!” panggil Kakek.

    “Aku datang, Kek!” Lou bergegas kembali ke ruang tengah dan menyerahkan wasiat pada Kakek.

    “Pulpen!” tuntut Kakek.

    Sontak, sebelas pulpen ditawarkan padanya, masing-masing dari ke sebelas pasangan.

    “Jangan pulpen bocor jelek begitu,” ucapnya, menampik pulpen di tangan Lou. “Ha, itu.. yang bagus. Anak pintar, Willy.” Kakek menerima pulpen Willy. Ini petunjuk yang sudah ditunggu semua orang. Kemudian, Willy—Ayah Lou—adalah kesayangan Kakek yang baru.

    Willy yang terlihat hampir semuda Lou—meskipun ia berumur 142 tahun—tidak repot menyembunyikan kegembiraannya. Ia melirik malu-malu pada kasur dipan yang akan menjadi miliknya dan yang dari kasur itu, Lou dan Em akan pindah kembali ke matras di lorong. Mereka kembali ke tempat paling buruk, di sebelah pintu kamar mandi.

    Kakek tidak melewatkan satu drama pun yang ia tulis di sana. Dengan alis bertaut ia menyusuri setiap baris seolah surat wasiat itu belum pernah ia lihat sebelumnya. Kakek, dengan suara monoton yang dalam, membaca keras-keras. Suaranya menggema seperti nada bass pada organ katedral.

    “Saya, Harold D. Ford, bertempat tinggal di Gedung 257, Alden Village, Kota New York, Connecticut, dengan ini membuat, menerbitkan, dan menyatakan ini sebagai Wasiat dan Perjanjian terakhir dan mencabut semua format wasiat dan lampiran sebelumnya.” Ia menghela napas dengan sangat serius dan melanjutkan, tanpa menghilangkan satu kata pun, dan mengulang berkali-kali dengan penekanan—khususnya mengulang perincian yang terlampau rinci untuk sebuah pemakaman.

    Di akhir rincian tersebut, Kakek sangat terbawa emosi sampai-sampai Lou pikir Kakek mungkin sudah lupa kenapa awalnya surat wasiat itu dikeluarkan. Tapi, dengan gagah berani Kakek berhasil menanggulangi ledakan emosinya dan setelah sibuk mencoret dan menghapus sesuatu selama satu menit penuh, ia mulai menulis sambil bicara. Lou terlalu sering mendengar kata-kata itu hingga ia bisa saja menggantikan Kakek mendeklamasikannya.

    “Saya telah mengalami banyak sekali sakit hati sebelum meninggalkan tanah air mata ini menuju tempat yang lebih baik,” ujar Kakek sambil menulis. “Namun, rasa sakit yang paling dalam dari semuanya telah diberikan oleh—,” ia memandang sekeliling, mencoba mengingat siapa yang bersalah.

    Semua orang memandang Lou yang mengangkat tangan, pasrah.

    Kakek mengangguk, ingat dan melengkapi kalimatnya, “cicitku, Louis J. Ford.”

    “Cucu, Kek.” Ucap Lou.

    “Jangan bawel. Kau sudah cukup bersalah, anak muda,” ucap Kakek, tapi ia mengoreksi tulisannya. Dan, dari sana, ia melanjutkan kalimatnya tanpa kesalahan sedikitpun hingga bagian pencabutan hak waris dengan alasan ketidaksopanan.

    Pada paragraf selanjutnya, paragraf yang pernah menjadi milik setiap orang di ruangan itu, nama Lou dicoret dan digantikan Willy sebagai pewaris apartemen dan di atas itu semua, kepemilikan atas ranjang ganda di ruang tidur pribadi.

    “Jadi!” ucap Kakek berseri-seri. Ia menghapus tanggal di akhir surat wasiat dan menggantinya dengan tanggal hari itu, lengkap dengan waktu. “Sudah waktunya menonton the McGarvey Family.” The McGarvey Family adalah serial televisi yang telah diikuti Kakek sejak ia berumur 60, atau totalnya selama 112 tahun. “Aku tak sabar melihat apa yang akan terjadi,” ujarnya.

    Lou memisahkan diri dari kelompok dan berbaring di tempat tidurnya di samping pintu kamar mandi. Berharap Em akan bergabung dengannya, ia bertanya-tanya dimana istrinya.

    Ia tertidur selama beberapa menit, sampai seseorang melangkahinya menuju kamar mandi. Beberapa saat kemudian, ia mendengar suara gemericik seolah sesuatu tengah dituangkan ke dalam wastafel. Tiba-tiba, terpikir olehnya kalau-kalau Em, di dalam sana melakukan sesuatu yang buruk untuk menyakiti Kakek.

    “Em?” ia berbisik lewat lubang kunci. Tidak ada jawaban. Lou terus menempel pada pintu, mencoba mendengarkan suara dari dalam. Kunci pintunya sudah aus, bautnya nyaris tidak menempel ke soket pengunci yang menahan pintu selama beberapa detik lalu lepas. Pintu kamar mandi berayun ke dalam, terbuka.

    “Morty!” Lou tersentak.

    Cucu keponakan Lou, Mortimer, yang baru saja menikah dan membawa pulang istrinya ke kediaman Ford, menatap Lou dengan khawatir. Cepat-cepat Morty menendang pintu kamar mandi hingga menutup. Namun, gerakannya tidak cukup cepat untuk menghalangi Lou melihat apa yang ada dalam genggaman tangannya—botol besar obat anti-gerasone milik Kakek, yang ternyata telah setengah kosong dan sedang diisi kembali dengan air keran.

    Sesaat kemudian, Morty keluar sambil menatap Lou kemudian berlalu tanpa kata menuju pengantinnya yang cantik.

    Terkejut, Lou tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak bisa membiarkan Kakek masuk jebakan anti-gerasone itu—tapi, jika ia memperingatkan Kakek, Lou hampir yakin Kakek akan membuat hidup mereka (yang sudah tak tertahankan) di apartemen itu, lebih tersiksa.

    Lou melirik ruang tengah dan melihat bahwa keluarga Fords, termasuk Emerald, tengah beristirahat sejenak, menikmati ilusi yang dibuat the McGarvey pada hidup mereka. Diam-diam, ia masuk ke kamar mandi, mengunci pintu serapat mungkin dan mulai menuang isi botol Kakek ke dalam wastafel. Lou akan mengisi ulang botol itu dengan obat anti-gerasone dari 22 botol kecil yang ada di rak.

    Botol itu menampung empat liter air dan leher botolnya sangat kecil hingga Lou pikir mengosongkan botol itu akan memakan waktu seumur hidup. Selain itu, Lou yang gugup merasa bau obat anti-gerasone yang tercium seperti saus Worcestershire mulai menguar lewat celah pintu dan lubang kunci, memenuhi seluruh apartemen.

    Suara botol yang mengeluarkan air itu berdeguk monoton. Tiba-tiba, terdengar suara musik, gumaman dan kursi-kursi berdecit mundur dari ruang tengah. “Dengan demikian, berakhirlah,” ucap penyiar televisi, “episode ke 29.121 dari kehidupan tetangga saya dan Anda, the McGarvey.” Langkah kaki terdengar di sepanjang koridor. Sebuah ketukan mendarat di pintu kamar mandi.

    “Sebentar,” jawab Lou dengan riang. Ia menggoyangkan botol besar itu dengan putus asa, mencoba mempercepat alirannya. Telapak tangannya tergelincir di permukaan kaca yang basah dan botol berat itu terselip jatuh, hancur menghantam lantai ubin.

    Pintu kamar mandi didorong hingga terbuka dan Kakek ternganga menatap kekacauan yang dibuat cucunya. Lou merasakan sensasi rasa ditusuk yang mengerikan di belakang kepalanya. Ia menatap penuh perhatian di tengah rasa mual dan sesuatu yang hampir mirip akal sehat, ia menunggu Kakek bicara.

    “Yah, nak..” ucap Kakek akhirnya, “kelihatannya kau harus membersihkan itu.”

    Hanya itu yang ia katakan. Kakek berbalik, menyikut beberapa orang yang berdesakan di koridor agar membuka jalan untuknya, dan mengunci di diri kamar.

    Anggota keluarga Fords yang lain masih menatap Lou dalam diam hingga beberapa saat berlalu, dan kemudian bergegas kembali ke ruang tengah seolah akan tertular rasa bersalah Lou jika mereka menatap terlalu lama. Morty tinggal paling lama menatap Lou dengan pandangan bingung dan jengkel. Lalu, ia juga kembali ke ruang tengah, meninggalkan Emerald berdiri di ambang pintu.

    Air mata mengalir di pipinya. “Oh, kau domba yang malang—kumohon jangan terlihat buruk begitu! Ini semua salahku. Aku memaksamu melakukan ini dengan keluhan-keluhanku tentang kakek.”

    “Tidak,” ucap Lou setelah menemukan kembali suaranya, “sungguh bukan kau. Sejujurnya, Em, aku hanya—“

    “Kau tidak perlu menjelaskan apapun padaku, sayang. Aku di pihakmu, apapun yang terjadi.” Ia mencium pipi Lou dan berbisik di telinganya, “ini bukan pembunuhan, sayang. Itu tidak akan bisa membunuhnya. Bukan hal jahat untuk dilakukan. Itu hanya akan mempersiapkannya untuk pergi kapanpun Tuhan memutuskan Ia menginginkan Kakek.”

    “Apa yang akan terjadi selanjutnya, Em?” ucap Lou, hampa. “Apa yang akan ia lakukan?”

    Lou dan Em terjaga penuh kengerian hampir sepanjang malam, menunggu apa yang akan Kakek lakukan. Tapi, tidak satu suara pun terdengar dari kamar tidur yang suci itu. Dua jam sebelum fajar, mereka akhirnya tertidur.

    Pukul enam pagi adalah waktu untuk generasi mereka sarapan di dapur kecil di ujung lorong. Tidak ada yang bicara pada mereka. Mereka punya dua puluh menit untuk makan, namun Lou dan Em sangat kelelahan karena malam yang buruk hingga mereka hanya sanggup menelan dua suap rumput laut olahan berbentuk telur sebelum menyerahkan tempat mereka pada anak-anak.

    Kemudian, sesuai tradisi untuk siapapun yang telah dicoret hak warisnya, Lou mulai mempersiapkan sarapan untuk Kakek yang harus disajikan di ranjang, di atas nampan. Mereka mencoba bertingkah seriang mungkin. Hal paling berat adalah mempersiapkan telur sungguhan, bacon, dan oleomargarine, hal-hal yang menghasilkan banyak sekali pengeluaran dari harta Kakek.

    “Yah,” ujar Emerald, “aku tidak akan panik sampai ada hal pasti yang harus membuat kita panik.”

    “Mungkin ia tidak tahu apa yang sudah kuhancurkan kemarin,” ucap Lou penuh harap.

    “Mungkin ia pikir itu adalah jam kristalmu,” timpal Eddie, anak laki-laki mereka yang hanya memainkan sawdust cake dari buckwheat tanpa selera.

    “Jangan sarkastik pada ayahmu,” ucap Em, “dan juga jangan bicara dengan mulut penuh.”

    “Aku mau dengan senang hati melihat siapapun menelan semulut penuh benda ini tanpa mengeluh,” keluh Eddie, yang berumur 73. Ia melirik jam dinding. “Sudah waktunya Kakek sarapan, kau tahu.”

    “Ya, tentu saja.” Ucap Lou lemah. Ia mengangkat kedua bahunya. “Berikan nampannya, Em.”

    “Kita lakukan berdua.”

    Berjalan perlahan, tersenyum dengan berani.

    Em mengetuk pintu, “Kakek,” panggilnya ceria, “sarapan su-dah si-ap.”

    Tak ada jawaban dan Em mengetuk lagi, lebih keras.

    Pintu berayun terbuka. Di tengah ruangan, ranjang berkanopi yang lembut, empuk, dan luas—simbol kenyamanan keluarga Fords—tergeletak kosong.

    Bayangan kematian, yang tidak pernah dikenal keluarga Fords seperti halnya Zoroastrianism atau atau penyebab Pemberontakan India pada 1957, meredam semua suara, memperlambat detak jantung semua orang. Dalam keterkejutan, para ahli waris mulai menggeledah dengan hati-hati, di bawah perabotan dan di belakang gorden, mencari Kakek yang fana, si pemimpin klan.

    Tapi Kakek tak meninggalkan apapun kecuali sebuah catatan, yang telah Lou temukan di atas lemari, di bawah pemberat kertas, souvenir berharga dari Pekan Raya Dunia tahun 2000. Gemetar, Lou membaca dengan lantang:

    “Seseorang yang telah kutampung dan kulindungi dan kudidik semampuku selama ini telah berbalik menyerangku seperi anjing gila dengan mengencerkan anti-garasone milikku, atau setidaknya ia mencoba melakukannya. Aku tidak muda lagi. Seperti dulu, aku tidak sanggup lagi menghadapi beban hidup yang bisa menghancurkanku kapan saja. Maka, setelah pengalaman pahit semalam, kuucapkan selamat tinggal. Kekhawatiran dunia ini akan segera jatuh layaknya jubah berduri dan akhirnya akan kudapatkan kedamaian. Saat kau menemukan catatan ini, aku sudah tiada.”

    “Astaga,” ucap Willy terbata, “ia bahkan tidak sempat melihat akhir balapan Speedway Race 500 mil.”

    “Atau The Solar Series,” ucap Eddie dengan mata berkabung.

    “Atau apakah Mrs. Garvey bisa melihat lagi,” tambah Morty.

    “Ada lagi,” ucap Lou dan ia mulai membaca lagi, “aku, Harold D. Ford, bla.. bla.. bla.. dengan ini membuat, mencantumkan dan mengumumkan catatan ini sebagai surat wasiat dan keinginanku yang terakhir, membatalkan seluruh wasiat sebelumnya.”

    “Tidak!” erang Willy. “Jangan lagi!”

    “Aku menetapkan,” baca Lou, “bahwa seluruh properti dalam bentuk apapun, tidak dipecah namun dirancang untuk diwariskan sebagai milik bersama, tanpa memperhatikan generasi, sama rata dan berbagi bersama.”

    Semua pasang mata berbalik menatap ranjang .

    “Sama rata dan berbagi bersama?” tanya Morty.

    “Sebetulnya,” ucap Willy, yang paling tua, “seperti budaya jaman dahulu, ketika yang tertua memimpin dan bermarkas di sini dan—”

    “Aku setuju usul itu!” seru Em. “Lou sama berhaknya seperti dirimu, dan menurutku itu seharusnya menjadi hak dari anak tertua yang masih bekerja. Kau bisa bermalas-malasan di sini seharian, menunggu uang pensiunmu dan Lou tersandung-sandung untuk istirahat di ruangan ini malam hari setelah seharian bekerja, dan—”

    “Bagaimana dengan memberikan kesempatan pada seseorang yang belum pernah mendapatkan privasi sama sekali?” Eddie menuntut dengan keras. “Demi setan! Kalian orang tua punya banyak privasi ketika masih anak-anak. Aku lahir di tengah-tengah barak di lorong apartemen ini! Bagaimana kalau—”

    “Ya?” tantang Morty. “Tentu, kau selalu kesusahan dan hatiku teriris mendengarnya. Tapi cobalah kau berbulan madu di lorong sekali saja.”

    Diam!” teriak Willy dengan angkuh. “Siapapun berikutnya yang buka mulut akan menghabiskan enam bulan di depan kamar mandi. Sekarang keluar dari kamarku. Aku harus berpikir.”

    Sebuah vas hancur menghantam dinding, beberapa inci di atas kepalanya.

    Beberapa saat kemudian, keributan pecah dalam apartemen Fords. Masing-masing pasangan berjuang mengeluarkan pasangan lain dari kamar itu. Em dan Lou didorong ke ruang tengah, tempat mereka mendorong pasangan lain dan kembali berusaha masuk ke kamar.

    Setelah dua jam pergumulan dan tak satupun keputusan untuk berdamai terlihat, polisi menerobos masuk diikuti juru kamera televisi.

    Selama setengah jam, mobil polisi dan ambulans mengangkut anggota keluarga Fords pergi. Setelahnya, apartemen Fords kembali tenang dan lengang.

    Satu jam kemudian, rekaman akhir keributan itu disiarkan kepada 500.000.000 penonton di seluruh Pesisir Timur.

    Dalam kekosongan tiga ruangan apartemen di lantai 76, gedung 257 itu, televisi di ruang tengah ditinggalkan menyala. Sekali lagi, udara dipenuhi teriakan dan sungut marah, suara keributan yang tidak berbahaya pecah keluar dari pengeras suara.

    Keributan itu juga ditayangkan pada layar kaca televisi di kantor polisi. Tempat para polisi dan anggota keluarga Fords menonton dengan perhatian penuh.

    Em dan Lou bersebelahan menempati sel empat kali delapan meter, berselonjoran di ranjang masing-masing.

    “Em,” panggil Lou lewat pembatas, “kau punya wastafel sendiri juga?”

    “Tentu. Wastafel, ranjang, lampu—semuanya. Dan kita pikir kamar Kakek itu spesial. Sudah berapa lama ini terjadi?” Ia merentangkan tangannya. “Untuk pertama kalinya setelah empat puluh tahun, sayang, aku tidak lagi merasa gelisah—lihatlah aku!”

    “Baiklah, diam!” ucap sipir penjara, “atau kulempar kalian semua keluar dari sini. Dan orang pertama yang memberitahu siapapun di luar sana seberapa bagusnya penjara, ia tak akan pernah masuk lagi!”

    Para tahanan sontak diam.

    Ruang tengah apartemen itu menggelap beberapa saat ketika adegan keributan di layar televisi memudar, lalu cahaya kembali terang ketika wajah penyiar berita muncul di layar seperti matahari muncul dari balik awan. “Dan sekarang, kawan,” ucapnya, “akan kusampaikan pesan dari pembuat anti-gerasone, pesan untuk kalian yang berusia lebih dari 150 tahun. Apakah kehidupan sosial kalian terganggu oleh kulit keriput, kekakuan sendi, dan rambut beruban? Semua yang terjadi sebelum anti-gerasone diciptakan? Kalau iya, kalian tidak perlu menderita, merasa berbeda, dan terasingkan lebih lama lagi.

    “Setelah penelitian bertahun-tahun, kini telah tercipta Super-anti-gerasone! Dalam beberapa minggu—ya, minggu—kalian dapat terlihat, merasa dan bertingkah semuda anak cucu kalian! Tidakkah kalian ingin membayar 5.000 dolar untuk dapat membaur dengan orang lain? Tidak perlu! Untuk Super0-anti-gerasone yang aman dan telah diuji kalian hanya perlu membayar beberapa dolar saja perhari.

    “Untuk mendapatkan sample gratis, tulis nama dan alamat Anda di kartu pos satu dolar dan kirimkan ke ‘Super’, PO BOX 500.000 Schenectady, N. Y.”

    Kata-kata penyiar berita itu digarisbawahi suara goresan pena Kakek Ford, pena yang diberikan Willy pada malam sebelumnya. Ia datang beberapa menit yang lalu setelah menghabiskan waktu di kedai The Idle Hour, yang menghadap langsung pada gedung 257 dari seberang alun-alun The Alden Village Green. Ia memanggil petugas kebersihan untuk membereskan kamar itu. Ia juga menyewa pengacara terbaik di kota—seorang jenius yang belum pernah mendapat klien selama setahun satu hari—untuk menuntut pada para ahli warisnya. Kakek memindahkan ranjang ke depan televisi agar ia bisa menonton sambil berbaring, sesuatu yang ia impikan selama bertahun-tahun.

    “Schen-ec-ta-dy,” gumam Kakek. “Dapat!” wajahnya berubah drastis. Otot wajahnya terlihat santai, memperlihatkan kebaikan dan ketenangan batin yang tersembunyi di bawah garis temperamen yang keras. Hampir terlihat seperti ia sudah mendapatkan sample gratis Super-anti-gerasone miliknya. Ketika sesuatu di televisi membuatnya terhibur, ia tersenyum dengan ringan. Tidak seperti biasanya ketika ia nyaris tak berusaha menarik garis mulutnya barang satu milimeter saja.

    Hidupnya menyenangkan. Ia tak sabar melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

  • Pembakaran Lumbung

    author = Kemal Fasas

    Aku bertemu dengannya di acara pernikahan seorang rekan kerja, dan kita menjadi bersahabat semenjak itu. Ini terjadi 3 tahun yang lalu. Umur kami berjarak hampir satu generasi-dia 20, aku sendiri 31-tapi itu tidak menjadi soal yang besar. Aku memiliki cukup banyak ihwal untuk dikhawatirkan saat itu, dan kalau boleh jujur, aku tidak sempat untuk memikirkan persoalan perbedaan usia. Dan juga perbedaan usia tidak mengganggu dia sejak awal. Dan aku sudah menikah, tapi itu tidak masalah juga. Sepertinya dia memikirkan bahwa hal-hal seperti umur dan keluarga dan pendapatan merupakan hal yang sama tingkatannya dengan ukuran sepatu dan vokal nada dan bentuk salah satu kuku, alias hal-hal yang jika hanya kita pikirkan tidak akan mengubahnya sedikit pun. Dan kata-katanya, ya, ada benarnya.

    Dia tengah bekerja sebagai model pengiklanan untuk penghasilan hidupnya sehari-hari sembari belajar pantomim di bawah seseorang, pengajar yang terkenal, sepertinya. Tetapi ia kerap kali sulit menemukan waktu untuk keluar ketika bekerja menjadi model, jadi pendapatan yang ia peroleh tidak terlalu banyak. Apa yang tidak tersanggupi, maka pacarnya lah yang akan menutupinya. Tentu saja, aku tidak tahu pasti. Dari apa yang Ia katakan, seakan-akan ia menunjukan bahwa itu lah yang terjadi.

    Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, ketika pertama kali aku bertemu ia memberitahuku bahwa ia sedang mempelajari pantomim. Pada satu malam, ketika kami tengah nongkrong di suatu bar, ia menunjukan kepadaku pertunjukan Kupasan Jeruk Keprok. Seperti namanya, Ia hanya mengupas jeruk. Di sisi kirinya sebuah mangkuk ditumpuk dengan jeruk hingga menjulang; lalu di sisi kanannya, sebuah mangkuk untuk kupasannya. Setidaknya itu gambarannya. Walaupun sebenarnya, tidak ada apapun disana sama sekali. Ia mengambil jeruk khayalan di tangannya, pelan-pelan mengupasnya, menaruh satu potongan didalam mulutnya, dan membuang bijinya. Ketika ia telah menghabiskan satu jeruk, Ia kumpulkan semua biji yang ada di kupasannya dan menyimpannya di mangkuk yang berada di samping kanannya. Dia mengulang gerakan ini berkali-kali. Ketika kau mencoba menjelaskannya dengan kata-kata, itu tidak terdengar spesial sama sekali. Tapi jika kau melihatnya dengan mata kepalamu sendiri untuk 10 atau 20 menit (Hampir tanpa berpikir, ia tetap mempertunjukannya) sedikit demi sedikit realitas terasa terhisap dari segala yang ada di sekelilingmu. Perasaan yang sangat asing.

    “Kau cukup mahir,” Kataku kepadanya.

    “Ini? Ini gampang. Ini sama sekali tidak membutuhkan bakat. Yang perlu kau lakukan hanya buat dirimu percaya bahwa ada jeruk disana. Dan kau lupakan bahwa jeruknya sama sekali tidak ada. Hanya itu”

    Aku bisa melihat bahwa kami akan segera akrab.

    Kami tidak terlalu sering keluar. Sekitar satu bulan sekali, dua kali paling banyak. Aku akan menelponnya dan bertanya kemana ia ingin pergi.  Kami akan makan sesuatu, minum beberapa minuman di bar, dan membicarakan badai yang berlangsung hari ini. Aku akan mendengar apa yang dibicarakan, ia akan mendengarkan apa yang ku bicarakan. Kami sulit menemukan suatu kesamaan untuk kami bicarakan, tapi itu tidak masalah. Bisa ku tebak kau akan mengatakan bahwa kita hanya sebatas teman. Tentu saja, aku yang membayar semuanya, setiap makanan dan minuman. Beberapa kali Ia akan meneleponku, biasanya ketika Ia kehabisan uang dan sedang lapar. Pada kesempatan itu Ia akan makan sampai dalam keadaan yang mustahil sekalipun.

    Aku benar-benar merasa tenang ketika bersamanya. Aku bisa menghapus segala beban dari pikiranku—semua pekerjaan yang tidak ingin ku kerjakan, juga campur aduk ketidakmasukakalan pikiran yang orang-orang bawa di dalam kepala mereka. Dia memiliki pengaruh itu untukku. Dia tidak membicarakan tentang apapun secara khusus. Seringkali aku hanya akan terus menganggukkan kepalaku, tidak benar-benar memperhatikan apa inti yang dibicarakannya. Tapi mendengarnya membuatku tenang, seperti aku sedang memandang selayang awan dari jarak kejauhan.

    ***

    Di musim semi tahun ini setelah kita bertemu, ayahnya meninggal dunia, dan dia menerima warisan berupa sedikit uang dari ayahnya. Setidaknya itu yang Ia katakan kepadaku. Dia bilang ia ingin menggunakan uangnya untuk pergi ke Afrika Utara. Aku tidak tahu mengapa ia memilih Afrika Utara, tapi ku biarkan saja, dan sekaligus memperkenalkan kepadanya seorang kenalan yang sedang bekerja di Kedutaan Aljazair di Tokyo. Akhirnya dia pergi menuju Aljazair. Ketika semua sudah tersiapkan, aku pergi mengantarnya ke bandara. Dia hanya membawa satu tas usang yang tua dengan beberapa baju ganti di dalamnya. Ketika melewati pengecekan bagasi, ia terlihat lebih mirip ia hendak kembali pulang ke Afrika Utara ketimbang jalan-jalan disana.

    “Apakah kamu akan kembali ke jepang?” Tanyaku, dengan bercanda.

    “Tentu saja aku akan kembali,” balasnya.

    Setelah tiga bulan ia baru kembali, dengan tujuh pon lebih ringan dan kulit yang lebih kecoklatan—dan dengan pacar baru. Ini terlihat seperti mereka berdua bertemu di suatu rumah makan di Aljazair. Dan karena tidak banyak orang jepang di sana, membuat mereka tambah dekat. Sejauh yang aku tahu, pria itu adalah pacar tetap pertamanya yang ia punya.

    Lelaki itu berumuran sekitar dua puluhan akhir, tinggi, berpakaian necis, dan baik dalam bertutur. Wajahnya kelihatan agak tidak begitu berekspresi, tapi Ia cukup tampan, dan ia hadir seperti tipe pria yang menyenangkan. Tangannya besar, dengan jemari yang panjang.

    Aku banyak mengetahui tentang pacar barunya karena aku pergi menjemput mereka di bandara. Sebuah kiriman telegram datang tiba-tiba dari Beirut hanya dengan tanggal dan nomor penerbangan. Ketika pesawatnya datang (empat jam telat, karena cuaca yang buruk) mereka berdua muncul dari gerbang bergandengan tangan, terlihat seperti pasangan pengantin muda yang serasi. Ia memperkenalkan pacarnya kepadaku, dan kami bersalaman. Pria itu memiliki jabat tangan yang kuat seperti dari seorang yang telah tinggal lama di luar negeri. Perempuan ini bilang Ia sangat ingin semangkuk tempura dan nasi, jadi kami pergi menuju rumah makan, dan ketika Ia menghabiskan waktu memakan tempura, aku dan pacarnya mengambil beberapa bir.

    “Aku sekarang bekerja di bisnis ekspor-impor,” katanya kepadaku. Tapi setelahnya pria tersebut tidak mengatakan lebih tentang itu. Mungkin ia tidak ingin membicarakan tentang pekerjaannya, atau mungkin ia berpikir bahwa itu hanya membosankan. Aku tidak bertanya apapun tentangnya.

    Ketika wanita ini menghabiskan tempuranya, ia menguap dengan dalam dan berkata bahwa Ia mengantuk. Ia kelihatan akan jatuh tertidur di tempat; Ia memiliki kebiasaan tekantuk-kantuk di waktu yang tidak bisa ditebak. Pria itu berkata ia akan mengantarnya pulang ke rumah dengan taksi. Ku katakan pada mereka bahwa kereta akan membingungkan untukku. Aku bahkan tidak tahu mengapa Aku repot-repot pergi keluar menuju bandara.

    “Aku senang bisa mengenalmu,” kata pria itu, terdengar agak seperti meminta maaf.

    “Aku juga,” balasku.

    ***

    Aku bertemu lagi dengan pacarnya beberapa kali setelah pertemuan itu. Tiap kali aku menemui wanita ini, disana pacarnya berada, berdiri di sampingnya. Dan jika aku ada pergi keluar dengan wanita ini maka pacarnya yang akan mengantarnya ke manapun dimana kami akan bertemu. Pria itu mengendarai  mobil sports berwarna silver buatan Jerman. Aku hampir tidak tahu sama sekali mengenai mobil, jadi Aku tidak bisa menjelaskannya dengan baik.

    “Dia pasti lumayan kaya, bukan begitu?” Tanyaku ke wanita ini sekali waktu.

    “Iya,” Dijawab dengan tidak tertarik. “Sepertinya begitu.”

    “Aku penasaran kalau kau bisa menghasilkan banyak uang di ekspor-impor.”

    “ekspor-impor?”

    “Itu yang pacarmu katakan kepadaku. Dia bilang Ia bekerja di ekspor-impor.”

    “Ya, aku rasa begitu. Tapi aku tidak tahu. Dia seperti tidak bekerja dimana-mana. Dia bertemu dengan banyak orang dan banyak menjawab panggilan telepon, tapi dia tidak terlihat menikmati pekerjaannya.”

    Sama halnya dengan Gatsby. Seorang pemuda penuh dengan teka-teki. Aku pikir, kau tidak akan tahu apa yang dia lakukan, sungguh, tapi pria itu terlihat tidak pernah kesulitan mencari uang.

    Perempuan itu menelponku di suatu Minggu sore di bulan Oktober. Istriku tengah keluar kota mengunjungi beberapa kerabat, jadi aku sendirian saja di rumah. Itu adalah hari yang indah, minggu yang cerah, dan aku sedang memandang pepohonan di kebun, sambil memakan apel. Aku pasti sudah memakan sekitar tujuh apel hari itu. Ini terjadi dari waktu ke waktu—seperti penyakit, aku terus mengidam apel.

    “Kami kebetulan berada di sekitar sini dan kupikir jika kami bisa mampir,” Kata perempuan tadi.

    “Kami?” Tanyaku.

    “Pacarku dan aku,” katanya.

    “Tentu, mampirlah,” kataku.

    “O.K—kita akan sampai sekitar setengah jam lagi,” katanya.

    Aku berbaring dengan teringa-inga diatas Kasur untuk sementara, lalu bangun dan mandi lalu bercukur. Aku tidak bisa memilih apakah aku seharusnya beres-beres rumah, dan akhirnya pun aku memilih untuk tidak melakukannya. Tidak ada cukup waktu untuk melakukan pekerjaan itu sepenuhnya, dan jika tidak bisa dilakukan dengan benar, pikirku, lebih baik sekalian tidak menghiraukannya sama sekali. Ruang tengah penuh dengan buku, majalah, surat, kaset, pensil, dan sweater, lagipula ruangan ini tidak terlalu berantakan juga.

    ***

    Setelah jam dua lebih, aku mendengar sebuah mobil berhenti di depan rumah. Ketika ku bukakan pintu, aku melihat mobil sports berwarna silver di trotoar. Perempuan itu mengeluarkan wajahnya dari jendela dan melambai. Aku tunjukan dimana mereka bisa parkir, tepat di belakang rumah.

    “Ya, kita sudah sampai!” Kata perempuan itu dengan tersenyum. Dia memakai kaos terang dengan jelas menunjukkan lekuk tubuhnya, dengan rok pendek berwarna hijau zaitun.

    Pria itu mengenakan jaket berwarna biru tua. Entah mengapa ia terlihat berbeda, mungkin karena jenggot tipisnya. Keluar dari mobil, pria itu melepas kacamata hitamnya dan memasukkannya ke dalam saku.

    “Aku minta maaf atas ini, mengunjungimu dengan mendadak di hari liburmu,” Kata pria itu.

    “Tidak masalah,” Kataku. “Hari ini liburku. Dan aku menerima kedatangan tamu dengan senang hati.”

    “Kami bawa makanan,” Kata Perempuan itu, dan ia mengangkut sekarung kantong kertas putih yang besar dari kursi belakang mobil.

    “Makanan?”

    “Tidak ada yang istimewa. Kami hanya bepikir bahwa ketika kita singgah di rumahmu di hari minggu lebih baik kami membawa sesuatu untuk dimakan,” kata Lelaki itu.

    “Bagus. Karena hari ini yang ku punya hanya apel.”

    Kita masuk ke dalam dan mengeluarkan makanan lalu menaruhnya di meja. Jenisnya cukup banyak: sandwich daging panggang, salad, salmon asap, dan es krim blueberry—dan masih ada yang lain lagi. Ketika Perempuan itu sedang menata semuanya di piring, Aku mengambil beberapa anggur putih dari kulkas dan membukanya. Sepertinya akan ada pesta kecil untuk diri kami sendiri.

    “Ayo makan. Aku sudah lapar,” kata wanita ini, selalu lapar seperti biasanya.

    Kami mengunyah sandwich punya kami masing-masing, memakan salad, dan lanjut menuju menghabiskan tuna asap. Ketika kami menghajar anggurnya, kita minum beberapa bir kalengan dari kulkas. Satu hal yang bisa kau selalu andalkan dari tempatku, adalah kulkas yang selalu dipenuhi dengan bir. Roman pacarnya itu sama sekali tidak berubah, tidak peduli seberapa banyak yang Ia minum. Aku sendiri memang peminum yang cukup handal. Perempuan itu juga minum beberapa kaleng bersama kami, dan kurang dari satu jam meja sudah dalam keadaan kosong. Perempuan itu memilah beberapa rekaman dari rak dan menyetelnya di pemutar musik. Album pertama yang terputar adalah milik Miles Davis.

    Kami membicarakan mengenai pemutar musik untuk sementara, dan pria itu diam sejenak. Lalu ia berkata, “Aku punya beberapa ganja, jika kau tidak keberatan untuk mengisapnya.”

    Aku tidak mengerti bagaimana seharusnya aku bereaksi. Aku baru saja berhenti merokok sebulan yang lalu; Itu pun aku tidak yakin apakah sebaiknya aku melepaskan kebiasaan itu selamanya atau tidak, ditambah aku sama sekali tidak tahu apa pengaruh dari mengisap ganja kepadaku. Tapi aku memutuskan untuk mencobanya.

    Kita duduk disana dengan diam untuk beberapa saat, mengganja tanpa ada berbicara. Miles Davis sudah habis, dan sebuah koleksi dari Strauss waltzes mulai berputar. Bukan susunan yang biasanya, pikirku. Tapi tidak begitu buruk.

    Setelah kita menghabiskan putaran pertama, Perempuan itu berkata ia mulai mengantuk. Dia tidak mendapatkan istirahat yang cukup semalam, dan 3 bir ditambah 3 ganja menandaskannya. Kutunjukan ia lantai atas dan membaringkannya di kasur. Dia meminta ingin meminjam kaos, dan ku beri ia satu. Dia tanggalkan pakaiannya sampai terlihat kutangnya, lalu ia kenakan kaos yang kuberikan; dan ia mulai berbaring di atas kasur. “Apakah kamu kedinginan?” tanyaku, tapi ia sudah ngorok duluan. Ku garuk kepalaku, lalu aku kembali ke lantai bawah.

    Di ruang duduk pacarnya sedang memulai putaran kedua. Pria itu memang sesuatu. Jika diberi pilihan, aku lebih memilih tidur bersama wanita tadi di kasur, tapi itu sudah terlanjur. Aku mulai mengisap putaran kedua bersama pria itu, Strauss waltzes masih berputar. Untuk beberapa sebab aku teringat sebuah drama yang kami lakukan saat sekolah dasar. Aku menjadi pemilik toko sarung tangan. Seekor bayi rubah datang untuk mencari sarung tangan, tapi ia tidak memiliki uang yang cukup untuk membelinya.

    “Kau tidak bisa membeli sarung tangan dengan jumlah segitu,” kataku. Sang penjahat.

    “Tapi ibu sangat kedinginan, seluruh tangannya pecah-pecah. Kumohon!” pinta bayi rubah.

    “Maaf, tapi ini tidak cukup. Simpan uangmu dan kembalilah lagi nanti. Jika kau—“

    “—terkadang aku membakar hangus lumbung,” kata pria itu.

    “Maaf?” kataku. Aku sedang ngelamun, aku pasti salah mendengarnya.

    “Terkadang aku membakar hangus lumbung,” katanya lagi.

    Ku tatap pria itu. Dia tengah memperhatikan desain koreknya dengan ujung jemarinya. Dia mengisap dalam-dalam asap marijuananya hingga masuk ke dalam paru parunya, menahannya disana selama sepuluh detik, lalu perlahan mengeluarkannya. Asapnya berputar-putar seperti ektoplasma tengah keluar dari mulutnya. “Aku membawa barang ini dari India,” katanya “Terbaik yang mereka punya. Kau mengisap ini dan semua jenis kenangan menyerbumu. Cahaya, bau, hal-hal seperti itu. Kualitas ingatanmu”—dia berhenti dengan tenang, dan, seolah-olah sedang mencari kata yang tepat, dengan enteng menjentikkan jari beberapa kali—“seperti sesuatu yang tidak pernah kau alami sebelumnya. Tidakkah kamu berpikir begitu?”

    Ya, aku juga berpikir begitu, kataku kepadanya. Aku tersesat di dalam kenangan yang kacau saat di panggung ketika sekolah dasar, dari suasana aroma cat dari papan kardus.

    “Aku ingin mendengar tentang lumbung tadi,” kataku.

    Dia menatapku. Wajahnya, seperti biasa, tanpa ekspresi.

    “Kau tidak keberatan ku beri tahu tentang itu?” tanyanya.

    “Silahkan,” balasku.

    “Sebenarnya sangat sederhana, sungguh. Kau siram bensin di sekelilingnya, lempar korek yang menyala dan whoosh! Selesai. Hanya membutuhkan kurang dari lima belas menit untuk membakarnya sampai hangus hingga ke tanah. Tentu saja, aku tidak membicarakan lumbung yang besar. Lebih tepatnya seperti gubuk, sebenarnya.”

    “Jadi…” kataku, dan berhenti. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana harus melanjutkan percakapan ini. “Jadi kenapa kau membakar lumbung?”

    “Apakah itu aneh?”

    “Aku tidak tahu. Kau membakar gedung, dan aku tidak. Tentu saja ada perbedaan besar diantara kedua itu.”

    Untuk sejenak ia duduk disana dengan kosong. Pikirannya terlihat berputar-putar, bagai dempul. Atau mungkin itu hanya khayalanku yang berputar-putar.

    “Kurang lebih aku membakar dua lumbung setiap dua bulan,” katanya. Dan ia mulai menjentikkan jarinya lagi. “Itu adalah jumlah yang tepat. Bagiku, setidaknya.”

    Aku mengangguk setengah-setengah. Jumlah yang tepat?

    “Jadi, apakah semua ini adalah lumbungmu yang kau bakar?” tanyaku.

    Dia melihatku seakan-akan ia tidak paham apa yang aku bicarakan. “Mengapa aku mau membakar lumbungku sendiri? Apa yang membuatmu berpikir aku memiliki banyak lumbung?”

    “Jadi, yang kau katakan padaku,” kataku, “adalah kau membakar lumbung punya orang lain, benar?”

    “Itu benar,” katanya. “Tentu saja itu benar. Lumbung punya orang lain. Jadi itu illegal. Seperti kamu dan aku duduk dan mengisap ganja—pastinya melanggar hukum.”

    Aku terdiam, melemaskan siku ku di lengan kursi.

    “Aku membakar lumbung orang lain tanpa izin mereka. Tentu saja, aku selalu memilih satu yang tidak akan menyebabkan alarm kebakaran menyala. Aku tidak ingin memulai kebakaran—aku hanya ingin membakar hangus lumbung.”

    Aku mengangguk, dan meregangkan tubuhku. “Tapi jika kau tertangkap kau berada dalam masalah besar. Bagaimanapun juga ini adalah pembakaran yang disengaja. Kau membuat keributan dan kau bisa berakhir di penjara.”

    “Aku tidak akan tertangkap,” katanya dengan biasa. “Aku menyiram bensinnya, menyalakan korek, dan cabut. Lalu Aku akan menikmati semuanya dari kejauhan dengan teropong. Aku tidak akan tertangkap. Polisi tidak akan menyisir jalanan dikarenakan lumbung kecil yang jelek terbakar hangus.”

    Dia mungkin benar, pikirku. Dan tidak ada akan pernah orang berpikir bahwa seorang pemuda dengan setelan rapih sambil mengendarai mobil impor yang mahal akan berkeliaran membakar gedung.

    “Apakah pacarmu mengetahui tentang hal ini?” tanyaku, sembari menunjuk lantai atas.

    “Dia tidak mengetahui apapun. Sebenarnya, aku tidak pernah memberitahu siapapun sebelumnya. Ini bukanlah jenis topik yang bisa kau bicarakan dengan siapapun.”

    “Lalu aku?”

    Dia merentangkan jari-jari tangan kirinya lalu menggosok pipinya. Cambangnya mengeluarkan suara gesekan yang kering, seperti serangga yang tengah merangkak melewati selembar kertas. “Kau adalah penulis, jadi ku pikir kau mesti tertarik dengan motif kelakuan manusia. Penulis memang seharusnya menghargai sesuatu karena apa adanya, sebelum mereka memutuskan penilaian. Lagipula, aku ingin membicarakannya dengan seseorang. Cara aku menjelaskannya mungkin sedikit aneh, ku rasa. Dunia penuh dengan lumbung, hampir semuanya tengah menungguku untuk membakar habis mereka. Suatu lumbung yang hanya berdiri sendirian di pinggir laut, sebuah lumbung di tengah sawah padi . . . apapun itu, semua jenis lumbung. Beri aku lima belas menit, dan aku akan membakar mereka hingga ke tanah, jadi nanti akan terlihat seperti tidak pernah ada lumbung itu sejak dari awal. Tidak akan ada yang  merasa tercekik karenanya. Ini semua hanya akan . . . menghilang. Whoosh!”

    “Tapi hanya kau yang dapat menentukan bahwa mana yang dapat dihancurkan, benar?”

    “Aku tidak menentukan apapun. Lumbung itu sendiri yang menunggu untuk dibakar. Aku hanya tinggal menerimanya. Aku hanya menerima apa adanya. Ini seperti turunnya hujan. Sungai meluap. Lalu suatu benda terbawa dengan arus. Apakah sang hujan yang dapat menentukan? Ini tidak seperti aku memutuskan untuk melakukan hal yang biadab. Aku memiliki kode moralitasku sendiri.”

    ***

    Kami duduk disana, hening dan terdiam untuk sejenak, menunggu, sepertinya, agar suasana mulai mereda. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan selanjutnya. Aku merasa seakan-akan tengah melihat dari jendela kereta menyaksikan pendar lanskap yang aneh, menyala dan meredup.

    “Mau bir lagi?” kataku setelah beberapa saat.

    “Terima kasih. Jika kau tidak keberatan.”

    Aku mengambil 4 kaleng dari dapur, bersama dengan beberapa keju Camembert. Kita meminum 2 bir untuk masing masing lalu memakan keju.

    “Kapan terakhir kali kau membakar lumbung?” tanyaku kepadanya.

    “Coba kupikir.” Pikirnya sejenak. “Musim panas ini, akhir agustus.”

    “Dan kapan ketika kau akan memulai pembakaranmu selanjutnya?”

    “Aku tidak tahu. Aku tidak memulainya dengan semacam jadwal, seperti melingkarkan tanggal di kalender. Aku membakar lumbung ketika Aku mendapatkan dorongan untuk melakukannya.”

    “Tapi ketika Kau ingin membakar salah satu, pasti ada yang tidak hanya menunggumu, benar kan?”

    “Tentu saja tidak,” katanya dengan berbisik. “Jadi aku tinggal memastikan pilihanku nantinya akan bagus atau tidak.”

    “Apakah kau, telah memilih lumbungmu berikutnya?”

    Garis kerutan terbentuk diantara matanya, lalu lewat hidungnya ia bernafas terburu-buru. “Iya, aku sudah menemukannya”

    Aku tidak mengatakan apa-apa, hanya menyesap apa yang tersisa dari birku.

    “Itu adalah lumbung yang indah. Sudah lama sejak aku pernah melihat satu yang begitu layak untuk dibakar. Sebenarnya, aku mampir kesini hari ini untuk menjenguknya.”

    “Maksudmu gedung itu di sekitar sini?”

    “Sangat dekat,” katanya.

    Dan percakapan tadi menutup pembahasan kami tentang lumbung.

    ***

    Pria itu membangunkan pacarnya saat pukul 5, dan meminta maaf lagi karena mengunjungiku tiba-tiba. Meskipun Pria itu telah minum banyak bir, dia sama sekali tidak terpengaruh oleh alkohol. Pria itu mengendarai mobilnya dari belakang rumah. Setelah kuperhatikan lagi, mobil itu memiliki satu retakan kecil, dekat lampu depannya.

    “Aku akan mengawasi lumbungnya,” kataku sekalian berpamitan.

    “Tentu,” katanya. “Omong-omong, ingat bahwa lumbung dekat sini, kan?”

    “Apa yang kau maksud, ‘lumbung’?” Tanya pacarnya.

    “Hanya sesuatu diantara yang kami, lelaki, bicarakan” Pria itu menjawab.

    “Baiklah,” Kata pacarnya.

    Lalu mereka melesap.

    ***

    Hari berikutnya, aku pergi menuju toko buku dan membeli peta untuk sebagian wilayah kota yang kutinggali. Peta ditangan, lalu aku berjalan sekitar, dengan pensil kutandai lokasi setiap lumbung. Setelah tiga hari, aku telah menjelajahi beberapa tempat hingga sejauh dua-setengah-mil. Rumahku berada di pinggiran kota, dengan beberapa ladang yang masih ada di sekitar sini, jadi memang masih ada banyak lumbung yang ada. Aku telah menghitungnya total ada enam belas.

    Lumbung yang pria itu rencanakan pastilah salah satu dari itu. Cara ia mengatakannya bahwa lumbungnya di dekat sini membuatku yakin pasti itu bukan melebihi wilayah yang telah ku tandai.

    Selanjutnya, aku telah memeriksa tiap dari enam belas gedung. Pertama aku menyisihkan satu yang terlalu dekat dengan rumah warga. Setelah itu, aku mencoret satu yang memiliki alat pertanian dengan pestisida di dalamnya-dengan kata lain, satu yang diasumsikan itu pastilah digunakan setiap hari. Aku yakin ia tidak akan ada keinginan untuk membakar salah satu dari yang telah kusebutkan.

    Tertinggal lima gedung. Lima lumbung yang bisa dibakar. Jenis yang bisa dibakar dalam waktu lima belas menit, dan dapat terbakar habis hingga ke tanah-lalu tidak akan ada yang akan merasa kehilangan. Akan tetapi, aku tidak bisa memutuskan yang mana dari lima tadi yang akan pria itu pilih. Ini adalah masalah preferensi. Aku mati-matian agar dapat mengetahui yang mana yang akan ia pilih.

    Ku bentangkan peta dan menghapus semua coretannya kecuali dari lima yang tadi. Lalu ku keluarkan penggaris siku-siku, penggaris kurva, dan ku petakan jalur terdekat yang memungkinkan diriku untuk melewati kelima gedung dan membawaku kembali ke rumah. Jalannya memutari sungai dan suatu bukit, dengan total jarak semua empat pertiga mil.

    Pada pukul enam pagi, ku kenakan pakaian jogging dan sepatu lari ku lalu berlari sepanjang perjalanan yang telah ku petakan. Karena aku biasanya lari pagi sampai tiga-setengah-mil setiap pagi, menambah jarak tidak menjadi masalah bagiku. Pemandangannya tidak begitu buruk, ada dua jalur kereta saling menyilang selama di perjalanan, itu sama sekali tidak melambatkanku.

    Jalurnya memutari lapangan atlet kampus yang berada dekat rumahku, lalu menyusuri sungai dan hampir dua mil lebih sampai di jalanan sepi yang berdebu. Lumbung pertama sampai setengah dari perjalanan. Lalu memotong jarak melewati hutan dan menanjak tanjakan yang sedikit miring. Sedikit lebih jauh di gudang yang lain, ada jalur pacu kuda, mungkin nantinya akan membuat keributan jika mereka melihat api, tapi hanya itu saja; mereka tidak akan terluka atau apapun.

    Lumbung yang ketiga dan keempat memiliki bentuk yang serupa, seperti dua anak kembar yang sama jeleknya. Mereka hanya berjarak sekitar dua ratus yard. Keduannya bobrok dan juga kotor. Jika kau akan membakar salah satu dari mereka, kau mungkin akan memilih keduanya sekalian.

    Lumbung terakhir berdiri bersampingan dengan penyebrangan kereta, di sekitar perjalanan sejauh tiga-setengah-mil. Lumbung itu jelas telah terbengkalai. Ia berhadapan dengan jalan dan memiliki papan tipis Pepsi-Cola yang terpaku dengannya. Bangunan itu sendiri—aku tidak yakin jika bisa disebut bangunan lagi—sebagian besar telah roboh. Dan gudang itu sesuai dengan deskripsi—sebuah bangunan yang hanya tinggal menunggu seseorang untuk menyerahkannya kepada api.

    Aku berhenti di depan lumbung terakhir, mengambil beberapa tarikan nafas, lalu menyeberangi jalur kereta dan menuju kembali ke rumah. Larinya membutuhkan tiga puluh satu menit lebih tiga puluh detik.

    Aku berlari melewati jalan yang sama setiap pagi dalam sebulan ini. Tapi tidak ada kutemukan lumbung yang telah terbakar habis. Terkadang datang pikiran bahwa mungkin pria itu sedang mencoba membuatku untuk membakar hangus gudang itu. Seakan-akan pria itu sedang mengisi kepalaku dengan pemandangan sebuah pembakaran lumbung dan pemandangan terus menggembung lagi dan lagi, seperti mengisi angin di ban sepeda. Ada beberapa waktu ketika aku berpikir bahwa, selama aku menunggu dia melakukannya, aku juga mungkin akan melangkah lalu menyalakan sebuah korek dan membakar satu gudang hingga habis. Ini hanya gudang tua yang bonyok, bukan? 

    Tapi itu terlalu keterlaluan. Lagipula, bukanlah aku yang membakar gudangnya, dialah yang membakarnya. Tidak peduli berapa banyak gambar pembakaran lumbung yang akan membengkak di dalam kepalaku, hanya saja aku bukan tipe pembakar-lumbung. Mungkin ia telah memutuskan lumbung yang lain di suatu tempat. Atau ia hanya sedang sibuk untuk mencari waktu untuk membakar satu lumbung.

    ***

    Aku tidak mendengar kabar tentang wanita itu sama sekali.

    Desember tiba, dengan berakhirnya musim gugur, angin pagi menjadi semakin dingin. Tidak ada perubahan pada lumbung-lumbungnya, hanya embun beku yang menyelimuti atapnya. Dunia telah bergerak seperti biasa.

    ***

    Kali berikutnya aku bertemu Lelaki itu di bulan Desember, ketika beberapa hari sebelum Natal. Dimanapun kau pergi, lagu-lagu natal akan mengiringi. Aku sedang sibuk jalan memutari kota membeli hadiah-hadiah untuk beberapa orang. Dekat Nogizaki, terlihat mobil Lelaki itu di tempat parkiran di suatu kedai kopi. Tidak salah lagi, mobil sports berwarna silver, dengan goresan kecil di samping lampu kiri depannya.

    Tanpa berpikir panjang, aku masuk ke dalam. Bagian dalam kedainya bernuansa gelap, dengan aroma kopi yang kuat. Tidak ada suara orang-orang, semua membisu, dan musik barok tengah berputar dengan lembut melatari tempat itu. Aku langsung menemukan pria itu. Duduk di samping jendela, sembari meminum kopi susu.

    Aku menyapa. Aku tidak memberi tahu ia aku telah melihat mobilnya terparkir di depan; Aku bilang bahwa aku kebetulan masuk ke kedai dan tidak sengaja bertemu dengannya.

    “Keberatan kalau ku duduk disini?” Tanyaku.

    “Tidak apa-apa,” Katanya.

    Kami ngobrol untuk sementara. Tapi percakapan kami tidak mengarah kemanapun. Kami tidak memilki banyak hal untuk sama-sama dibicarakan, dan pikirannya seperti berada di tempat lain. Walaupun begitu, ia tidak merasa keberatan membagi mejanya denganku. Pria itu memberi tahuku tentang pelabuhan di Tunisia. Dan tentang udang yang mereka tangkap disana. Ini tidak seperti pria itu merasa terpaksa untuk berbicara; dia hanya ingin memberitahuku tentang udang. Dan cerita mengalir hingga di pertengahan jalan, seperti tetesan air tengah diisap oleh pasir.

    Pria itu mengangkat tangannya, memanggil pelayan kemari, dan memesan cangkir kopi susunya yang kedua.

    “Omong-omong, apa ada yang terjadi dengan lumbung itu?” kuberanikan diri untuk menanyakannya.

    Muncul simpul senyuman bermain dari sudut bibirnya. “Ah-kau masih mengingatnya, ya” katanya. Pria itu mengambil saputangan dari sakunya, mengelap mulutnya, dan memasukkan saputangannya kembali ke saku. “Aku sudah membakarnya, tentu saja. Membakarnya hingga habis. Seperti yang telah ku katakan.”

    “Dekat rumahku?”

    “Iya. Sangat dekat.”

    “Kapan?”

    “Beberapa waktu yang lalu, sekitar sepuluh hari setelah kami mampir ke rumahmu.”

    Lalu ku katakan padanya bagaimana aku telah menandai lokasi lumbung-lumbung yang berada di peta—bagaimana aku lari pagi melewati mereka sekali sehari. “Agar aku tidak akan melewatkannya,” kataku.

    “Kau cukup jelimet sekali, ya” katanya dengan wajah yang cerah. “Teliti dan makul. Tapi kau pasti telah melewatkannya. Itu terkadang terjadi. Suatu hal yang begitu dekat, dan kau hanya melewatkannya.”

    “Baiklah, aku tidak paham.”

    Lalu Pria itu mengencangkan dasi dan melirik ke jam tangannya. “Lumbung itu sangat dekat.” Katanya. “Tapi aku harus pergi sekarang. Bagaimana jika nanti kita berbicara panjang lebar masalah itu lain kali? Maafkan aku, tapi seseorang sedang menungguku.”

    Tidak ada alasan untuk menahan pria itu lebih lama lagi. Dia berdiri lalu memasukkan rokok dan korek ke dalam sakunya.

    “Oh, omong-omong, apakah kau melihat pacarku sejak hari itu?” Tanya pria itu.

    “Tidak, aku belum. Kau belum melihatnya?”

    “Tidak. Sudah lama aku tidak melihatnya. Aku tidak bisa tahan lebih lama lagi. Dia tidak ada di apartemennya, aku tidak bisa menghubunginya lewat telepon, dan sudah lama dia tidak mengikuti kelas pantomim.”

    “Mungkin ia hanya pergi ke suatu tempat. Dia melakukannya beberapa kali.”

    Pria itu terdiam disana, kedua tangan di dalam sakunya, dan menatapi meja. “Tanpa uang, untuk sebulan setengah. Dia bukan tipe orang yang bisa mengatasinya sendirian, kau tahu.” Dia menjentikkan jemarinya dari dalam sakunya beberapa kali. “Dia bahkan tidak punya satu sen,” Pria itu melanjutkan. “Atau teman, keduanya ia tidak punya. Buku kontaknya penuh, tapi semua itu hanya nama. Tidak ada satu orang pun yang bisa ia andalkan. Hanya kau yang bisa ia percayai. Aku tidak mengatakan itu untuk berusaha menjadi sopan. Kau adalah seseorang yang spesial untuknya. Bahkan itu membuatku sedikit iri. Dan aku bukan semacam orang yang gampang iri.” Pria itu memberikan sekilas keluhan dan menengok jam tangannya lagi. “Aku harus pergi sekarang. Lain kali kita bertemu lagi kapan-kapan.”

    Aku hanya mengangguk. Kata yang tepat tidak kunjung keluar. Ini selalu seperti itu. Kapan pun aku bersama pria itu kata-kata hanya tidak mau mengalir.

    ***

    Aku berusaha menelepon wanita itu beberapa kali setelah pertemuan itu; sampai telepon perusahaan mematikan teleponnya. Aku sedikit cemas, jadi ku coba pergi menuju apartemennya. Pintunya terkunci. Setumpuk sisa-sisa surat memenuhi kotak suratnya. Aku tidak bisa menemukan pengawas gedungnya, aku bahkan tidak tahu apakah wanita ini masih tinggal disini apa tidak. Ku robek selembar kertas dari buku agendaku, dan menulis catatan berbunyi, “Hubungilah aku,” lalu kutulis namaku, dan memasukkannya di kotak suratnya.

    Tidak ada kata.

    Di lain waktu ketika aku mengunjungi apartemennya, ada papan nama punya orang lain yang terpampang di pintunya. Lalu ku coba mengetuk, tapi tidak ada yang menjawab. Sama seperti terakhir kali, pengawas gedungnya masih belum bisa ditemukan.

    Jadi aku menyerah.

    Itu hampir satu tahun yang lalu. Dia hanya menghilang begitu saja.

    ***

    Aku masih berlari melewati kelima lumbung itu tiap pagi. Tidak ada lumbung di daerah sekitar yang telah terbakar. Dan aku belum mendengar ada pembakaran lumbung. Desember datang lagi, dan burung musim dingin bertebangan dari atas kepala. Dan aku terus-menerus menua.

    Judul Asli: Barn Burning
    Penulis Karya Asli: Haruki Murakami
    Bahasa Asal Karya Asli: Jepang
    Bahasa sebelum diterjemahkan: Inggris, diterjemahkan oleh Jay Rubin
    Barn Burning oleh Haruki Murakami terbit pertama kali pada Januari 1983 dari kumpulan cerpen “The Elephant Vanishes”. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris

  • Mesin Gramatika Otomatis yang Hebat [Roald Dahl]

    author = Miguel Angelo Jonathan

    “Jadi, Knipe, Nak. Sekarang setelah semuanya selesai, aku hanya memanggilmu kemari untuk memberitahumu kalau aku pikir kamu telah menyelesaikan pekerjaan dengan baik.”

    Adolph Knipe mematung di hadapan meja Pak Bohlen. Sepertinya tidak ada antusiasme sama sekali dalam dirinya.

    “Tidakkah kamu senang?”

    “Oh ya, Pak Bohlen.” 

    “Apakah kamu melihat apa yang dikatakan surat kabar pagi ini?”

    “Tidak, Pak, aku tidak melihat.”

    Pria di belakang meja menarik koran yang terlipat ke arahnya, dan mulai membaca: “Pembuatan mesin komputasi otomatis yang hebat, dipesan oleh pemerintah beberapa waktu lalu, kini telah selesai. Ini mungkin mesin hitung elektronik tercepat di dunia saat ini. Fungsinya adalah untuk memenuhi kebutuhan akan sains, industri, dan administrasi yang terus meningkat untuk perhitungan matematis cepat yang, di masa lalu, dengan metode tradisional, secara fisik akan mustahil, atau akan memerlukan lebih banyak waktu daripada penyelesaian masalah itu. Kecepatan kerja mesin baru, kata Bapak John Bolten, kepala firma insiyur kelistrikan yang terutama bertanggung jawab terhadap pembangunannya, dapat dipahami berdasarkan fakta bahwa ia dapat menyediakan jawaban yang tepat dalam waktu lima detik untuk masalah yang dapat menyibukkan matematikawan selama sebulan. Dalam tiga menit, ia bisa menghasilkan perhitungan yang dengan tangan (jika memungkinkan) akan mengisi setengah juta lembar kertas folio. Mesin komputasi otomatis menggunakan getaran listrik, yang dihasilkan dalam kecepatan satu juta per detik, untuk menyelesaikan semua perhitungan yang diselesaikan dengan sendirinya menjadi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Untuk tujuan praktis, tidak ada batasan untuk apa yang bisa dilakukannya…”

    Pak Bohlen menatap wajah panjang dan melankolis pria yang lebih muda itu.

    “Apakah kamu tidak bangga, Knipe? Tidakkah kamu puas?” 

    “Tentu saja, Pak Bohlen.”

    “Kupikir aku tidak perlu mengingatkanmu kalau kontribusimu sendiri, khususnya pada rancangan awal, merupakan hal yang penting. Malahan, aku bisa melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa tanpa kamu dan beberapa idemu, proyek ini mungkin masih berada di papan gambar hari ini.”

    Adolph Knipe menggerakkan kakinya di atas karpet, dan dia mengamati dua tangan kecil atasannya, jari-jari gelisahnya bermain dengan penjepit kertas, melepaskannya, meluruskan lekukan jepitannya. Dia tidak menyukai tangan si lelaki. Dia juga tidak menyukai wajahnya, dengan mulut kecil dan bibir sempit berwarna ungu. Itu tidak menyenangkan bagaimana ketika dia berbicara hanya bibir bagian bawahnya yang bergerak. 

    “Apakah ada yang mengganggumu, Knipe? Ada yang kau pikirkan?”

    “Oh tidak, Pak Bohlen. Tidak.”

    “Bagaimana kalau kamu mengambil libur akhir pekan? Lakukan sesukamu. Kamu pantas mendapatkannya.”

    “Oh, aku tidak tahu, Pak.”

    Pria yang lebih tua menunggu, mengamati orang tinggi kurus yang berdiri sembrono di hadapannya. Dia anak yang bermasalah. Kenapa dia tidak bisa berdiri tegak? Selalu lemas dan berantakan, dengan bintik-bintik di jaketnya, dan rambut berjatuhan di seluruh wajahnya.

    “Aku ingin kau mengambil libur, Knipe. Kamu membutuhkannya.”

    “Baiklah, Pak. Jika Anda ingin.”

    “Ambil seminggu. Dua minggu jika kamu mau. Pergilah ke suatu tempat yang hangat. Dapatkan sinar matahari. Berenang. Bersantai. Tidur. Lalu kembali, dan kita akan berbicara lagi mengenai masa depan.”

    Adolph Knipe pulang dengan bus menuju apartemen dua kamarnya. Dia melempar mantelnya ke sofa, menuangkan dirinya seteguk wiski, dan duduk di depan mesin tik yang ada di atas meja. Pak Bohlen benar. Tentu saja dia benar. Kecuali dia tidak tahu setengahnya. Dia mungkin berpikir itu karena perempuan. Setiap kali seorang pria muda mengalami depresi, semuanya berpikir itu disebabkan perempuan.

    Dia mencondongkan tubuh ke depan dan mulai membaca selembar ketikan setengah jadi yang masih berada di mesin. Tulisan itu berjudul “Pelarian Sempit”, dan dimulai dengan:

    Malam itu pekat dan berbadai, angin berdesir di pepohonan, hujan tumpah bagai kucing dan anjing…” 

    Adolph Knipe menyesap wiski, mencicipi rasa malt-pahit, merasakan tetesan cairan dingin saat ia mengalir menuruni tenggorokannya dan menetap di bagian atas perutnya, dingin pada awalnya, kemudian menyebar dan menjadi hangat, membuat sedikit area kehangatan di usus. Persetan dengan Pak Bohlen bagaimanapun. Persetan dengan mesin komputasi listrik yang hebat. Persetan dengan…

    Tepat pada saat itu, mata dan mulutnya mulai terbuka perlahan, dalam suatu ketakjuban, dan berangsur-angsur ia mengangkat kepalanya dan menjadi diam, benar-benar tidak bergerak, menatap dinding di seberangnya dengan tatapan ini yang mungkin lebih merupakan keheranan daripada ketakjuban, tetapi cukup pasti sekarang, tidak bergerak, dan tetap seperti itu selama empat puluh, lima puluh, enam puluh detik. Kemudian perlahan (kepalanya masih tidak bergerak), perubahan kecil mulai menyebar ke seluruh wajah, keheranan menjadi kesenangan, awalnya sangat sedikit, hanya di sekitar sudut mulut, meningkat perlahan, menyebar hingga akhirnya seluruh wajah terbuka lebar dan bersinar dengan sangat terang. Itu adalah pertama kalinya Adolph Knipe tersenyum selama berbulan-bulan. 

    “Tentu saja,” katanya, berbicara dengan keras, “itu benar-benar konyol.” Sekali lagi dia tersenyum, menaikkan bibir atasnya dan menunjukkan giginya dengan cara sensual yang aneh.

    “Itu merupakan ide yang menarik, tetapi sangat tidak praktis sehingga tidak tahan untuk dipikirkan sama sekali.”

    Sejak saat itu, Adolph Knipe mulai tidak memikirkan hal lain apa pun. Ide itu sangat membuatnya terpesona, pada awalnya karena itu memberikannya sebuah harapan–betapapun kecilnya–untuk membalaskan dendam dengan cara yang paling kejam kepada musuh terbesarnya. Dari sudut pandang ini saja, dia bermain-main iseng dengan itu selama mungkin sepuluh atau lima belas menit; lalu seketika dia mendapati dirinya memeriksanya dengan cukup serius sebagai kemungkinan praktis. Dia mengambil kertas dan membuat beberapa catatan awal. Tetapi dia tidak sampai jauh. Dia menemukan dirinya, hampir seketika, melawan kebenaran lama bahwa mesin, betapa pun cerdiknya, tidak sanggup untuk berpikir orisinal. Ia tidak mampu menangani masalah kecuali yang menyelesaikan dirinya sendiri dalam bentuk matematika–masalah yang memuat satu, dan hanya satu, jawaban tepat.

    Ini sungguh membingungkan. Sepertinya tidak ada jalan lain. Mesin tidak bisa memiliki otak. Di sisi lain, ia bisa memiliki memori, bukan? Kalkulator elektronik mereka sendiri memiliki memori yang luar biasa. Cukup dengan mengubah getaran listrik, melalui kolom merkuri, menjadi gelombang supersonik, ia bisa menyimpan setidaknya seribu angka sekaligus, mengekstraksi angka yang mana pun pada waktu yang tepat ketika ia dibutuhkan. Oleh karena itu, bukankah mungkin, berdasarkan prinsip ini, untuk membangun bagian memori dengan ukuran yang hampir tidak terbatas.

    Sekarang bagaimana kalau begitu?

    Kemudian tiba-tiba, dia dikejutkan oleh kebenaran yang sederhana tetapi kuat, dan itu adalah ini: bahwa tata bahasa Inggris diatur oleh peraturan yang hampir matematis dalam keketatannya! Mengingat kata-kata, dan pengertian tentang apa yang harus dikatakan, maka hanya ada satu urutan yang benar di mana kata-kata itu bisa disusun.

    Tidak, pikirnya, itu kurang akurat. Pada banyak kalimat ada beberapa posisi alternatif untuk kata dan frasa, yang mana semuanya mungkin benar secara tata bahasa. Tapi peduli amat. Teori itu sendiri pada dasarnya benar. Oleh karena itu, masuk akal kalau mesin yang dibangun di sepanjang baris komputer elektronik bisa disesuaikan untuk menyusun kata (bukannya angka) dalam urutan yang benar sesuai dengan aturan tata bahasa. Berikan ia kata kerja, kata benda, kata sifat, kata ganti, simpan mereka di bagian memori sebagai kosakata, dan atur agar mereka dapat diekstraksi sesuai kebutuhan. Kemudian tambahkan ia dengan plot dan biarkan ia menulis kalimat.

    Tidak ada yang menghentikan Knipe sekarang. Dia segera mengerjakannya, dan selama beberapa hari berikutnya diikuti oleh periode kerja penuh semangat. Ruang tamu menjadi diseraki oleh lembaran kertas: rumus dan perhitungan; daftar kata, ribuan dan ribuan kata; plot cerita, anehnya dipecah dan dibagi; kutipan besar dari Roget’s Thesaurus; halaman berisi nama depan laki-laki dan perempuan, ratusan nama keluarga yang diambil dari buku telepon; gambar rumit kabel dan sirkuit dan tuas dan katup termionik; gambar mesin yang bisa membuat lubang dalam berbagai bentuk di kartu-kartu kecil, dan mesin tik listrik aneh yang mampu mengetik sepuluh ribu kata dalam satu menit. Juga semacam panel kontrol dengan sejumlah tombol-tekan kecil, masing-masing dilabeli dengan nama majalah Amerika terkenal.

    Dia bekerja dalam suasana penuh suka cita, berkeliaran di sekitar ruangan di tengah-tengah kertas yang berserakan ini, menggosok-gosokkan tangannya bersamaan, berbicara keras pada dirinya sendiri; dan terkadang, dengan lekukan hidung yang licik dia akan menggumamkan serangkaian kutukan mengerikan yang mana kata ‘editor’ tampaknya selalu ada. Pada hari kelima belas kerja tanpa henti, dia mengumpulkan kertas-kertasnya ke dalam dua folder besar yang dia bawa–hampir terburu-buru–ke kantor John Bolten Inc., insinyur listrik.

    Pak Bohlen senang melihatnya kembali.

    “Wah, Knipe, astaga, kamu terlihat seratus persen lebih baik. Kamu memiliki liburan yang menyenangkan? Kemana kamu pergi?’

    Dia tetap jelek dan berantakan seperti biasanya, pikir Pak Bohlen. Kenapa dia tidak bisa berdiri tegak? Di seperti tongkat bengkok. “Kamu terlihat seratus persen lebih baik, Nak.” Aku penasaran kenapa dia menyeringai. Setiap kali aku melihatnya, telinganya seperti bertambah besar.

    Adolph Knipe menaruh folder-folder di meja. “Lihat, Pak Bohlen!” Dia berseru. “Lihatlah ini!”

    Kemudian dia menceritakan kisahnya. Dia membuka folder-folder dan menyampaikan rencananya di depan pria kecil yang tercengang itu. Dia berbicara selama lebih dari satu jam, menjelaskan semuanya, dan ketika dia selesai, dia melangkah mundur, terengah-engah, bersemangat, dan menunggu keputusan. 

    “Kamu tahu apa yang kupikirkan, Knipe? Kupikir kamu gila.” Hati-hati sekarang, Pak Bohlen berkata pada dirinya sendiri. Perlakukan dia dengan baik. Dia berharga, yang satu ini. Andai saja dia tidak terlihat sangat buruk, dengan wajah kuda panjang itu dan gigi yang besar. Orang ini punya telinga sebesar daun rhubarb.

    “Tapi Pak Bohlen! Ini akan bekerja! Aku telah menunjukkan padamu ini akan berhasil! Anda tidak dapat menyangkalnya!”

    “Tenang sekarang, Knipe. Santai dulu, dan dengarkan aku.”

    Adolph Knipe memperhatikan pria itu, semakin tidak menyukainya setiap detik. 

    “Ide ini,” bibir bawah Pak Bohlen mengucap, “sangat hebat–aku malah hampir mengatakan luar biasa–dan itu hanya untuk mengonfirmasi opiniku terhadap kemampuanmu, Knipe. Tetapi jangan menganggapnya terlalu serius. Bagaimanapun, Nak, apa gunanya mesin itu buat kita? Siapa di dunia yang menginginkan mesin untuk menulis cerita? Dan di mana uangnya di sana, lagi pula? Katakan padaku tentang itu.”

    “Bolehkah aku duduk, Pak?”

    “Tentu, duduklah.”

    Adolph Knipe duduk di tepi kursi. Pria yang lebih tua mengawasi dengan mata cokelat waspada, bertanya-tanya apa yang akan terjadi sekarang. 

    “Aku ingin menjelaskan sesuatu, Pak Bohlen, jika boleh, mengenai bagaimana saya sampai melakukan semua ini.”

    “Silakan utarakan, Knipe.” Dia harus sedikit terhibur sekarang, Pak Bohlen memberitahu dirinya sendiri. Anak ini sangat berharga–semacam jenius, hampir–sebanding dengan beratnya dalam emas bagi perusahaan. Lihat saja kertas-kertas ini. Hal paling menakjubkan yang pernah kau lihat. Sebuah karya yang mengagumkan. Kurang berguna, tentu saja. Tidak ada nilai komersial. Tapi itu membuktikan sekali lagi kemampuan anak itu. 

    “Ini semacam pengakuan, kurasa, Pak Bohlen. Kupikir itu menjelaskan kenapa saya selalu begitu… sangat khawatir.”

    “Kau katakan apa saja yang kau mau, Knipe. Aku di sini untuk membantumu–kamu tahu itu.”

    Pria muda itu meletakkan kedua tangannya erat-erat di pangkuannya, memeluk dirinya sendiri dengan sikunya. Sepertinya tiba-tiba dia merasa sangat kedinginan. 

    “Anda tahu, Pak Bohlen, sejujurnya, aku tidak terlalu peduli dengan pekerjaanku di sini. Aku tahu aku ahli dalam hal itu dan semacamnya, tetapi hatiku tidak di dalamnya. Itu bukan hal yang paling ingin aku lakukan.”

    Alis Pak Bohlen terangkat, secepat pegas. Seluruh tubuhnya menjadi sangat kaku.

    “Anda tahu, Pak, sepanjang hidupku, aku ingin menjadi penulis.”

    “Seorang penulis!” 

    “Iya, Pak Bohlen. Anda mungkin tidak percaya itu, tetapi pada setiap waktu luang yang aku miliki, aku habiskan dengan menulis cerita. Dalam sepuluh tahun terakhir aku telah menulis ratusan, benar-benar ratusan cerita pendek. Lima ratus enam puluh enam, tepatnya. Kira-kira satu dalam seminggu.”

    “Ya ampun, Bung! Buat apa kau melakukan itu?”

    “Yang aku tahu, Pak, adalah aku memiliki dorongan.”

    “Dorongan macam apa?” 

    “Dorongan kreatif, Pak Bohlen.” Setiap kali dia mendongak, dia melihat bibir Pak Bohlen. Mereka semakin tipis dan tipis, lebih dan lebih ungu.

    “Dan bolehkah aku bertanya apa yang kau lakukan dengan cerita-cerita itu, Knipe?”

    “Nah, Pak, itulah masalahnya. Tak ada yang mau membelinya. Setiap kali aku menyelesaikan satu, aku mengirimkannya ke dalam suatu putaran. Ia pergi ke majalah yang satu dan lainnya. Hanya itu yang terjadi, Pak Bohlen, dan mereka dengan mudahnya mengirimkannya kembali. Itu sangat menyedihkan.”

    Pak Bohlen tenang. “Aku bisa melihat dengan cukup baik bagaimana perasaanmu, Nak.” Suaranya dipenuhi simpati. “Kita mengalaminya satu kali atau lebih dalam kehidupan kita. Tetapi sekarang– setelah kamu memiliki bukti– bukti positif– dari para ahli itu sendiri, para editor, kalau ceritamu–bagaimana aku mengatakannya–agak kurang berhasil, ini saatnya berhenti. Lupakan itu anakku. Lupakan saja semua tentang itu.” 

    “Tidak, Pak Bohlen! Tidak! Itu tidak benar! Aku tahu ceritaku bagus. Astaga, ketika Anda membandingkannya dengan beberapa hal yang dicetak majalah-majalah itu–ya ampun, Pak Bohlen!–hal-hal yang ceroboh dan membosankan yang Anda lihat di majalah minggu demi minggu–mengapa, itu membuat aku sinting!”

    “Sekarang tunggu sebentar, Nak…” 

    “Apa Anda pernah membaca majalah-majalah, Pak Bohlen?”

    “Maafkan aku, Knipe, tapi apa hubungannya semua ini dengan mesinmu?”

    “Semuanya, Pak Bohlen, benar-benar segalanya! Apa yang ingin kukatakan padamu adalah, aku telah mempelajari majalah-majalah, dan tampaknya masing-masing cenderung memiliki jenis cerita tertentu sendiri. Penulis–yang sukses–mengetahui ini, dan mereka menulis sesuai dengan itu.” 

    “Tunggu sebentar, Nak. Tenangkan dirimu dulu, maukah kau. Aku tidak merasa ini semua akan membawa kita pada sesuatu.”

    “Tolong, Pak Bohlen, dengarkan aku. Ini semua sangat penting.” Dia berhenti untuk mengatur nafasnya. Dia sudah berfungsi dengan baik sekarang, menggerakkan tangannya ke mana-mana saat berbicara. Wajah panjang dan bergigi, dengan telinga besar di kedua sisinya, benar-benar bersinar dengan kegairahan, dan ada kelebihan liur di mulutnya yang menyebabkan dirinya mengucapkan kata-katanya dengan basah. “Jadi Anda lihat, di mesinku, dengan memiliki koordinator yang dapat disesuaikan antara bagian “memori-plot” dan “bagian “memori-kata” aku bisa menghasilkan cerita jenis apa pun yang aku inginkan hanya dengan menekan tombol yang diperlukan. 

    “Iya, aku tahu, Knipe, aku tahu. Ini semua sangat menarik, tapi apa gunanya?”

    “Hanya ini, Pak Bohlen. Pasarnya terbatas. Kita harus bisa menghasilkan hal yang tepat, pada waktu yang tepat, kapan pun kita menginginkannya. Ini masalah bisnis, itu saja. Aku melihatnya dalam sudut pandangmu sekarang–sebagai rancangan komersial.”

    “Nak, itu tidak mungkin menjadi rancangan komersial–selamanya. Kamu tahu dengan baik sebagaimana aku tahu berapa biaya untuk membangun salah satu mesin ini.”

    “Iya Pak, aku tahu. Tapi dengan hormat, aku tidak yakin Anda tahu berapa yang majalah bayar kepada penulis untuk cerita.”

    “Berapa yang mereka bayar?”

    “Berapa pun yang mencapai dua ribu lima ratus dollar. Mungkir rata-rata sekitar seribu.”

    Pak Bohlen melompat.

    “Ya, Pak, itu benar.”

    “Sama sekali tidak mungkin, Knipe! Konyol!”

    “Tidak, Pak, itu benar.” 

    “Kamu bermaksud duduk di sana dan memberitahuku kalau majalah-majalah ini memberikan uang seperti itu kepada seorang pria untuk… hanya untuk menulis asal sebuah cerita! Ya ampun, Knipe! Apapun berikutnya! Penulis pasti semuanya jutawan!”

    “Tepat sekali, Pak Bohlen! Di sanalah mesin berperan. Dengarkan sejenak, Pak, sementara aku memberitahu sesuatu lagi. Aku telah memikirkan semuanya. Majalah-majalah besar memuat kira-kira tiga cerita fiksi di setiap terbitan. Sekarang, ambillah lima belas majalah terpenting–yang memberikan uang paling banyak. Beberapa dari mereka adalah bulanan, tetapi kebanyakan dari mereka keluar setiap minggu. Baiklah. Itu membuat, mari kita katakan, sekitar empat puluh cerita besar dibeli setiap minggu. Itu empat puluh ribu dollar. Jadi dengan mesin kita–saat kita membuatnya bekerja dengan benar–kita bisa menguasai hampir seluruh pasar ini!” 

    “Nak, kamu gila!”

    “Tidak, Pak, sejujurnya, yang aku katakan itu benar. Tidakkah Anda lihat bahwa dengan sejumlah jilid saja kita akan benar-benar menundukkan mereka! Mesin ini bisa menghasilkan cerita lima ribu kata, semuanya diketik dan siap dikirim, dalam tiga puluh detik. Bagaimana mungkin penulis bersaing dengan itu? Aku tanya padamu, Pak Bohlen, bagaimana?

    Pada saat itu, Adolph Knipe menyadari perubahan kecil pada ekspresi si pria, sebuah tambahan kecerahan di mata, lubang hidung membesar, seluruh wajah menjadi tenang, hampir kaku. Dengan cepat, dia melanjutkan. “Sekarang ini, Pak Bohlen, artikel buatan tidak punya harapan. Ia tidak mungkin bersaing dengan produksi massal, khususnya di negara ini–Anda tahu itu. Karpet… kursi… sepatu… batu bata… barang pecah belah… apa saja yang ingin Anda sebutkan–mereka semua dibuat oleh mesin sekarang. Kualitasnya mungkin lebih rendah, tetapi itu tidak masalah. Ongkos produksi yang diperhitungkan. Dan cerita–ya–mereka hanyalah produk lainnya, seperti karpet dan kursi, dan tidak ada yang peduli bagaimana Anda menghasilkannya selama Anda mengirimkan barangnya. Kita jual mereka grosiran, Pak Bohlen! Kita akan melemahkan semua penulis di negara ini! Kita akan memonopoli pasar!”

    Pak Bohlen beringsut lebih tegak di kursinya. Dia mencondongkan tubuhnya sekarang, kedua siku di atas meja, wajah penuh perhatian, mata coklat kecil tertuju pada pembicara.

    “Aku masih berpikir itu tidak mungkin dilakukan, Knipe.” 

    “Empat puluh ribu seminggu! Teriak Adolph Knipe. “Dan jika kita mengurangi setengah harga, menjadikannya dua puluh ribu seminggu, itu masih satu juta setahun!” Dan dengan lembut dia menambahkan, “Anda tidak mendapatkan satu juta setahun dari membuat kalkulator elektronik tua, bukan, Pak Bohlen?”

    “Tapi serius sekarang, Knipe. Apa kamu benar-benar berpikir mereka akan membelinya?”

    “Dengar, Pak Bohlen. Siapa di dunia yang menginginkan cerita yang dibuat khusus ketika mereka bisa mendapatkan jenis yang lain dengan setengah harga? Itu masuk akal, bukan?” 

    “Dan bagaimana kamu akan menjualnya? Siapa yang akan kau sebut telah menuliskannya?”

    “Kita akan mendirikan agen sastra kita sendiri, dan kita akan mendistribusikannya melalui itu. Dan kita akan membuat semua nama yang kita mau untuk para penulis.”

    ‘Aku tidak menyukainya, Knipe. Bagiku, itu seperti penipuan, bukankah begitu?” 

    “Dan hal lainnya, Pak Bohlen. Ada berbagai macam produk sampingan bernilai setelah Anda memulai. Periklanan, misalnya. Perusahaan bir dan orang-orang semacam itu bersedia membayar banyak uang dewasa ini jika penulis terkenal mau meminjamkan nama untuk produk mereka. Bagaimana sih, Pak Bohlen! Ini bukan mainan anak-anak yang kita bicarakan. Ini bisnis besar.”

    “Jangan terlalu ambisius, Nak.” 

    “Dan satu hal lagi. Tidak ada alasan untuk tidak menaruh nama kita, Pak Bohlen, pada beberapa cerita yang lebih bagus, jika Anda menginginkannya.”

    “Ya ampun, Knipe. Untuk apa aku menginginkan itu?” 

    “Aku tidak tahu, Pak, kecuali bahwa beberapa penulis menjadi sangat dihormati–Seperti Tuan Erle Gardner atau Kathleen Norris, contohnya. Kita memerlukan nama, dan aku tentunya berpikir untuk menggunakan namaku sendiri pada satu atau dua cerita, sekadar untuk membantu.”

    “Seorang penulis, ya?” Pak Boleh berkata, merenung. “Ya, itu pastinya akan mengejutkan mereka di klub ketika mereka melihat namaku di majalah–majalah yang bagus.”

    “Itu benar, Pak Bohlen.”

    Untuk sesaat, sebuah pandangan melamun yang jauh muncul di mata Pak Bohlen, dan dia tersenyum. Kemudian dia menggerakkan dirinya dan mulai membalik-balik rancangan yang berada di hadapannya.

    “Satu hal yang aku kurang mengerti, Knipe. Dari mana plotnya berasal? Mesin tidak mungkin menciptakan plot.” 

    “Kita masukkan mereka, Pak. Itu bukan masalah sama sekali. Semua orang punya plot. Ada tiga ratus atau empat ratus di antaranya yang tertulis di folder di sebelah kiri Anda. Masukkan mereka langsung ke bagian “memori-plot” pada mesin.

    “Lanjutkan” 

    “Ada banyak perbaikan kecil juga, Pak Bohlen. Anda akan melihat mereka semua saat Anda mempelajari rencananya dengan cermat. Sebagai contoh, ada trik yang digunakan hampir setiap penulis, untuk memasukkan setidaknya satu kata panjang yang tidak jelas pada setiap cerita. Ini membuat pembaca berpikir kalau pria itu bijak dan pintar. Jadi aku akan membuat mesin melakukan hal yang sama. Akan ada setumpuk kata panjang tersimpan hanya untuk keperluan ini.”

    “Di mana?”

    “Di bagian “memori-kata,” katanya, menerangkan.

    Hampir sepanjang hari itu kedua pria tersebut membahas kemungkinan mesin baru itu. Pada akhirnya, Pak Bohlen berkata dia masih harus memikirkannya sedikit lagi. Keesokan paginya, dia cukup antusias. Dalam satu minggu, dia benar-benar terjual oleh ide tersebut.

    “Yang harus kita lakukan, Knipe, adalah mengatakan kalau kita hanya membuat kalkulator matematika lainnya, tetapi jenis yang baru. Itu akan merahasiakannya.”

    “Tepat sekali, Pak Boleh.”

    Dan dalam enam bulan mesin tersebut selesai. Ia ditempatkan di sebuah bangunan bata terpisah di belakang gedung, dan sekarang setelah ia siap beraksi, tidak ada yang diizinkan berada di dekatnya kecuali Pak Bohlen dan Adolph Knipe. Itu adalah saat yang menggairahkan ketika kedua pria itu– yang satu, pendek, gemuk, berkaki pendek–yang satunya tinggi, kurus dan bergigi–berdiri di koridor di hadapan panel kontrol dan bersiap mengerjakan cerita pertama. Di sekeliling mereka terdapat dinding yang dibagi menjadi banyak koridor kecil, dan dindingnya tertutupi kabel dan colokan dan tuas dan katup kaca besar. Mereka berdua gugup, Pak Bohlen melompat dari satu kaki ke kaki lainnya, tidak dapat tetap diam. 

    “Tombol yang mana?” Adolph Knipe bertanya, mengamati sederet cakram putih kecil yang menyerupai tuts mesin tik. “Anda yang pilih, Pak Bohlen. Ada banyak majalah untuk dipilih–Saturday Evening Post, Collier’s, Ladies’ Home Journal–yang mana saja yang Anda suka.”

    “Astaga, Nak! Bagaimana aku tahu?” Dia melompat-lompat ke atas dan ke bawah seperti lelaki dengan urtikaria.

    “Pak Bohlen,” Adolph Knipe berkata dengan serius, “Apakah Anda sadar kalau pada saat ini, dengan jari kelingking Anda saja, Anda akan memiliki kekuatan pada diri Anda untuk menjadi penulis paling luar biasa di benua ini?” 

    “Dengar, Knipe, lanjutkan saja, tolong–dan hentikan pembukaannya.”

    “Oke, Pak Bohlen. Kalau begitu kita akan membuatnya… coba kulihat–yang ini. Bagaimana?” Dia mengulurkan satu jari dan menekan tombol dengan nama TODAY’S WOMAN yang tercetak di atasnya dalam tulisan hitam kecil. Terdengar bunyi klik yang keras, dan ketika dia melepaskan jarinya, tombol itu tetap berada di bawah, di bawah tingkatan yang lain. 

    “Begitu banyak untuk pemilihannya,” katanya. “Sekarang–ini dia!” Dia menjangkau dan menarik tuas di panel. Segera, ruangan itu dipenuhi dengan suara dentuman yang bising, gemercik percikan listrik, dan gemerincing dari banyak tuas kecil yang bergerak cepat; hampir pada saat itu juga, lembaran kertas kuarto mulai meluncur keluar dari slot di sebelah kanan panel kontrol dan jatuh ke dalam keranjang di bawahnya. Mereka keluar dengan cepat, satu lembar per detik, dan kurang dari setengah menit semuanya selesai. Lembaran kertas berhenti berkeluaran.

    “Selesai!” Teriak Adolph Knipe. “Itu cerita Anda!”

    Mereka mengambil lembaran kertas itu dan mulai membaca. Yang pertama mereka ambil dimulai sebagai berikut:

    “Aifkjmbsaoegweztpplnvoqudskigt&,fuhpekanvbertyuiolkjhgfdsazxcvbnm,peruitrehdjkgvnb,…” Mereka saling berpandangan. Gayanya kurang lebih sama di semuanya. Pak Bohlen mulai berteriak. Pria yang lebih muda mencoba untuk menenangkannya. 

    “Tidak apa-apa, Pak. Sungguh. Mesin ini hanya memerlukan sedikit penyesuaian. Kita mendapati sebuah sambungan salah di suatu tempat, itu saja. Anda harus ingat, Pak Bohlen, ada sekitar satu juta kaki kabel di ruangan ini. Anda tidak bisa berharap semuanya akan benar pada kali pertama.”

    “Ini tidak akan berhasil,” kata Pak Bohlen.

    “Bersabarlah, Pak. Sabar.”

    Adolph Knipe mulai mencari kesalahannya, dan dalam waktu empat hari dia menyampaikan kalau semuanya sudah siap untuk percobaan berikutnya.

    “Ini tidak akan berhasil,” kata Pak Bohlen. “Aku tahu ini tidak akan berhasil.”

    Knipe tersenyum dan menekan tombol pemilih yang ditandai Reader’s Digest. Kemudian dia menarik tuas, dan sekali lagi suara aneh, menarik, dan bising memenuhi ruangan. Satu halaman naskah ketikan terbang keluar dari slot ke dalam keranjang. 

    “Mana sisanya?” Pak Bohlen memekik. “Ia berhenti! Ia menjadi rusak!”

    “Tidak, Pak, ia tidak. Ia benar-benar tepat. Ini untuk Digest, tidakkah kamu lihat.”

    Kali ini naskah dimulai dengan: “sedikitorangsajatahukalauobatrevolusionerbarutelahditemukanyangmanamungkinjugamembawakelegaanpermanenkepadaparapenderitakebanyakanpenyakitmematikanpadamasakita…” Dan seterusnya.

    “Ini omong kosong!” Sergah Pak Bohlen. 

    “Tidak, Pak, ini baik-baik saja. Tidakkah Anda bisa lihat? Ia hanya belum memisahkan kata-katanya. Itu penyesuaian yang mudah. Tetapi ceritanya ada di sana. Lihat, Pak Bohlen, lihat! Semuanya ada di sana kecuali bahwa kata-katanya tergabung bersama.”

    Dan memang begitu.

    Pada percobaan berikutnya beberapa hari kemudian, semuanya sempurna, bahkan tanda bacanya. Cerita pertama yang mereka kerjakan, untuk sebuah majalah perempuan terkenal, adalah cerita berplot kuat mengenai seorang anak laki-laki yang ingin meningkatkan hubungannya dengan majikannya yang kaya. Laki-laki ini mengatur, begitulah ceritanya berlanjut, agar seorang teman mengambil anak perempuan si laki-laki kaya pada malam yang gelap ketika dia dalam perjalanan pulang. Kemudian si anak lelaki sendiri, secara kebetulan, menjatuhkan pistol dari tangan temannya dan menyelamatkan si perempuan. Si gadis merasa berterima kasih. Tetapi si ayah merasa curiga. Dia sangat mempertanyakan si anak laki-laki. Si lelaki putus asa dan mengaku. Dan ayahnya, alih-alih menendangnya dari rumah, berkata bahwa ia mengagumi kecerdasan anak itu. Si gadis mengagumi kejujurannya–dan tampangnya. Si ayah berjanji untuk menjadikannya kepala Departemen Keuangan. Si gadis menikahinya. 

    “Ini luar biasa, Pak Bohlen. Ini sangat tepat!”

    “Agak sedikit berantakan menurutku, Nak.”

    “Tidak, Pak, ini sangat menjual, benar-benar menjual!”

    Dalam kegembiraannya, Adolph Knipe lekas mengerjakan enam cerita lagi dalam beberapa menit. Semuanya–kecuali satu, yang karena alasan tertentu keluar agak cabul–tampak sepenuhnya memuaskan.

    Pak Bohlen kini lega. Dia setuju untuk mendirikan agen sastra di sebuah kantor pusat kota, dan menugaskan Knipe sebagai penanggung jawab. Dalam beberapa minggu, hal ini tercapai. Kemudian Knipe mengirimkan beberapa lusin cerita pertama. Dia menuliskan namanya sendiri untuk empat di antaranya, Pak Bohlen pada satu, dan untuk yang lainnya ia hanya mengarang nama.

    Lima dari cerita ini langsung diterima. Yang satu dengan nama Pak Bohlen di dalamnya ditolak dengan sebuah surat dari editor fiksi yang mengatakan, “Ini adalah pekerjaan yang bagus, tetapi menurut kami ia masih kurang berhasil. Kami ingin melihat lebih banyak karya dari penulis ini…: Adolph Knipe naik taksi menuju pabrik dan mengerjakan cerita lainnya untuk majalah yang sama. Ia kembali mencantumkan nama Pak Bohlen ke sana, dan mengirimkannya segera. Yang satu itu mereka beli.

    Uang mulai mengalir masuk. Knipe secara perlahan dan hati-hati meningkatkan hasil, dan dalam waktu enam bulan dia mengirimkan tiga puluh cerita seminggu, dan menjual sekitar setengahnya.

    Dia mulai terkenal di kalangan sastra sebagai penulis produktif dan sukses. Begitu pula Pak Bohlen; tetapi belum sampai seperti nama yang bagus, meski dia tidak mengetahuinya. Pada waktu yang sama, Knipe menciptakan hingga selusinan atau lebih orang fiktif sebagai penulis muda yang menjanjikan. Semuanya akan baik-baik saja.

    Pada titik ini telah diputuskan untuk mengadaptasi mesin guna menuliskan novel dan juga cerita. Pak Bohlen, yang sekarang haus akan penghargaan yang lebih besar di dunia sastra, bersikeras agar Knipe secepatnya bekerja untuk tugas maha penting ini. 

    “Aku ingin membuat novel,” dia terus berkata. “Aku ingin membuat novel.”

    “Dan Anda akan melakukannya, Pak. Dan Anda akan melakukannya. Tetapi mohon bersabar. Ini adalah penyesuaian sangat rumit yang harus aku lakukan.”

    “Semua orang mengatakan kepadaku aku harus membuat novel,” pekik Pak Bohlen. “Segala macam penerbit mengejarku siang dan malam memohonku untuk berhenti bermain-main dengan cerita dan sebaliknya melakukan sesuatu yang sangat penting. Novel adalah satu-satunya yang masuk hitungan–itulah yang mereka katakan.” 

    “Kita akan membuat novel,” Knipe memberitahunya. “Sebanyak yang kita inginkan. Tapi tolong bersabar.”

    “Sekarang dengarkan aku, Knipe. Apa yang ingin aku buat adalah novel serius, sesuatu yang akan membuat mereka duduk dan memperhatikan. Aku sudah mulai capek dengan jenis cerita yang kau cantumkan dengan namaku akhir-akhir ini. Malahan, aku tidak terlalu yakin kamu tidak pernah mencoba membuatku seperti monyet.”

    “Seekor monyet, Pak Bohlen?” 

    “Menyimpan semua yang terbaik untuk dirimu sendiri, itu yang selama ini kamu lakukan.”

    “Oh tidak, Pak Bohlen! Tidak!”

    ‘Jadi kali ini aku akan benar-benar memastikan aku menulis buku intelektual kelas atas. Kau pahami itu.”

    “Lihat, Pak Bohlen. Dengan sejenis papan hubung yang sedang kusiapkan, Anda akan mampu menulis buku apa pun yang Anda inginkan.”

    Dan ini benar, dalam beberapa bulan lagi, kejeniusan Adolph Knipe bukan saja akan mengadaptasi mesin untuk penulisan novel, tetapi telah membangun sistem kontrol baru luar biasa yang memungkinkan penulis untuk benar-benar memilih semua jenis plot dan gaya penulisan yang ia inginkan. Ada begitu banyak layar dan tuas pada benda itu, ia tampak seperti panel instrumen dari sebuah pesawat terbang besar.

    Pertama, dengan menekan salah satu dari serangkaian tombol utama, penulis membuat keputusan utama: historis, satir, filosofis, politik, romansa, erotis, humor atau sederhana. Kemudian, dari baris kedua (tombol dasar), dia memilih temanya: kehidupan tentara, hari-hari penjelajah, perang saudara, perang dunia, masalah rasial, wild west, kehidupan pedesaan, kenangan masa kecil, pelayaran, bawah laut dan banyak, banyak lagi. Barisan tombol ketiga memberikan pilihan gaya sastra: klasik, surreal, dewasa, Hemingway, Faulkner, Joyce, feminin, dan lain-lain. Baris keempat untuk karakter, dan baris kelima untuk kata-kata–dan seterusnya dan seterusnya–sepuluh baris panjang tombol pra-pemilih.

    Tapi itu belum semuanya. Pengawasan juga harus dilakukan selama proses penulisan sebenarnya (yang memakan waktu sekitar lima belas menit per novel), dan untuk melakukan ini penulis harus duduk, seolah-olah, di kursi pengemudi, dan menarik (atau mendorong) sederetan kenop berlabel, seperti pada organ. Dengan melakukan ini, dia dapat terus-menerus mengatur atau menggabungkan lima puluh sifat berbeda dan beragam seperti ketegangan, kejutan, humor, kesedihan, dan misteri. Beragam layar dan meteran di dasbor itu sendiri yang memberitahunya seberapa jauh lagi dia dengan pekerjaannya.

    Terakhir, ada pertanyaan mengenai ‘hasrat’. Dari studi yang cermat terhadap buku-buku di bagian teratas daftar penjualan terlaris selama setahun terakhir, Adolph Knipe telah memutuskan kalau ini adalah bahan terpenting dari semuanya–sebuah katalis ajaib yang entah bagaimana dapat mentransformasi novel paling membosankan menjadi sukses gilang gemilang–dalam kadar finansial apa pun. Tetapi Knipe juga tahu kalau hasrat sangat kuat, memabukkan, dan  harus disalurkan dengan hati-hati–proporsi yang tepat pada waktu yang tepat; dan untuk memastikan ini, dia telah merancang kontrol terpisah yang terdiri atas dua pengatur geser sensitif yang dioperasikan dengan pedal kaki, mirip dengan katup gas dan rem di mobil. Satu pedal mengatur persentase hasrat yang akan dimasukkan, yang lainnya mengatur intensitasnya. Tidak diragukan lagi, tentu saja–dan ini adalah satu-satunya kelemahan–bahwa penulisan novel dengan metode Knipe akan menjadi seperti terbang dengan pesawat dan mengemudi dengan mobil dan bermain organ pada saat yang bersamaan, tetapi ini tidak mengganggu penemunya. Ketika semuanya siap, dia dengan bangga mengantar Pak Bohlen menuju rumah mesin dan mulai menjelaskan prosedur pengoperasian untuk keajaiban baru itu. 

    “Ya Tuhan, Knipe! Aku tidak akan pernah bisa melakukan itu semua! Sialan, Bung, akan lebih mudah untuk menulisnya dengan tangan!”

    “Anda akan segera terbiasa, Pak Bohlen, aku berjanji. Dalam seminggu atau dua minggu, Anda akan melakukannya tanpa berpikir panjang. Ini cuma seperti belajar mengemudi.”

    Ya, memang tidak semudah itu, tetapi setelah berlatih berjam-jam Pak Bohlen mulai terbiasa dengannya, dan akhirnya, pada suatu malam, dia memberitahu Knipe untuk bersiap menjalankan novel pertama. Itu adalah saat yang menegangkan, dengan si pria gemuk yag berjongkok dengan gugup di kursi pengemudi, dan Knipe yang tinggi bergigi rewel di sekitarnya.

    “Aku bermaksud menulis novel penting, Knipe.”

    Dengan satu jari, Pak Bohlen dengan hati-hati menekan tombol pra-pemilih:

    Tombol utama–satir

    Subjek–masalah rasial

    Gaya–klasik

    Karakter–enam pria, empat perempuan, satu anak-anak

    Panjang–lima belas bab

    Pada saat yang bersamaan matanya secara khusus tertuju pada tiga kenop organ yang ditandai dengan kekuatan, misteri, dan kedalaman.

    “Apakah Anda siap, Pak?”

    “Ya, ya, aku siap.”

    Knipe menarik tuas. Mesin hebat itu berbunyi. Ada suara menderu-deru yang dalam dari gerakan berminyak lima puluh ribu gigi dan batang serta tuas; kemudian terdengar dentuman dari mesin tik elektrik yang cepat, menghasilkan lengkingan, dentuman yang hampir tak tertahankan. Tertuju ke dalam keranjang terbanglah kertas yang diketik–satu setiap dua detik. Tapi bagaimana dengan kebisingan dan kegembiraan, dan keharusan memainkan kenop, dan memperhatikan penghitungan bab dan indikator kecepatan dan pengukur hasrat, Pak Bohlen mulai panik. Dia bereaksi persis seperti yang dilakukan pengemudi pelajar di dalam mobil–dengan menekan kedua kaki dengan kuat pada pedal dan menahannya di sana sampai benda itu berhenti. 

    “Selamat atas novel pertama Anda,” kata Knipe, mengambil bundelan besar halaman yang diketik dari keranjang.

    Peluh kecil keringat mengalir di seluruh wajah Pak Bohlen. “Itu benar-benar kerja keras, Nak.”

    “Tapi Anda menyelesaikannya, Pak. Anda menuntaskannya.”

    “Biarkan aku melihatnya, Knipe. Bagaimana keterbacaannya?”

    Dia mulai membaca bab pertama, mengoper setiap halaman yang selesai kepada pria yang lebih mudah.

    “Astaga, Knipe! Apa ini!” Bibir ikan ungu tipis Pak Bohlen bergerak sedikit ketika mengucapkan kata-kata itu, pipinya mulai mengembang perlahan.

    “Tapi lihat ini, Knipe! Ini keterlaluan!”

    “Aku harus mengatakan ini sedikit eksentrik, Pak.”

    “Eksentrik! Ini benar-benar menjijikkan! Aku tidak mungkin memasukkan namaku di sini!” 

    “Agak benar, Pak. Agak benar.”

    “Knipe! Apa ini semacam trik busuk yang kau mainkan padaku?”

    “Oh tidak, Pak! Tidak!”

    “Ini terlihat jelas seperti itu.”

    “Anda tidak berpikir, Pak Bohlen, kalau Anda mungkin telah menekan terlalu keras pedal kontrol-hasrat, bukan?”

    “Anakku terkasih, bagaimana aku bisa tahu.”

    “Mengapa Anda tidak mencoba sekali lagi?”

    Jadi Pak Bohlen mengerjakan novel kedua, dan kali ini berjalan sesuai rencana.

    Dalam seminggu, manuskrip itu telah dibaca dan diterima penerbit yang antusias. Knipe mengikuti dengan satu atas namanya sendiri, kemudian membuat lusinan lagi demi pertimbangan yang baik. Dalam waktu singkat, Agensi Sastra Adolph Knipe menjadi terkenal karena sejumlah besar novelis muda yang menjanjikan. Dan sekali lagi uang mulai mengalir masuk.

    Pada tahap inilah Knipe muda mulai menunjukkan bakat sesungguhnya dalam bisnis besar.

    “Lihat di sini, Pak Bohlen,” katanya. “Kita masih memiliki terlalu banyak persaingan. Kenapa kita tidak menyerap saja semua penulis lain di negara ini?”

    Pak Bohlen, yang sekarang mengenakan jas velvet hijau tua dan membiarkan rambutnya menutupi dua pertiga telinganya, cukup puas dengan bagaimana hal-hal berjalan sekarang. “Tidak tahu apa yang kau maksud, Nak. Kamu tidak bisa begitu saja menyerap penulis.”

    “Tentu saja Anda bisa, Pak. Persis seperti yang Rockefeller lakukan dengan perusahaan minyaknya. Cukup beli mereka, dan jika mereka tidak mau menjual, tekan mereka. Itu mudah!”

    “Hati-hati sekarang, Knipe. Hati-hati.” 

    “Aku punya daftar di sini, Pak, mengenai lima puluh penulis paling sukses di negara ini, dan apa yang ingin kulakukan adalah menawarkan kepada masing-masing dari mereka kontrak seumur hidup dengan pembayaran. Hal yang hanya perlu mereka lakukan adalah memutuskan untuk tidak pernah menulis satu pun kata; dan tentu saja, membiarkan kita menggunakan nama mereka untuk barang kita sendiri. Bagaimana dengan itu.”

    “Mereka tidak akan pernah setuju.”

    “Anda tidak tahu penulis, Pak Bohlen. Anda lihat dan tunggu.”

    “Bagaimana dengan dorongan kreatif, Knipe?” 

    “Itu omong kosong! Apa yang benar-benar mereka minati hanyalah uangnya–sama seperti orang lainnya.”

    Pada akhirnya, Pak Bohlen dengan enggan setuju untuk mencobanya, dan Knipe, dengan daftar penulis di sakunya, pergi dengan Cadillac besar yang dikemudikan sopir untuk membuat panggilan.

    Dia pergi pertama-tama menghampiri pria pada daftar teratas, seorang penulis yang sangat hebat dan luar biasa, dan dia tidak kesulitan untuk masuk ke dalam rumah itu. Dia menceritakan kisahnya dan menghasilkan sekoper penuh sampel novel, dan sebuah kontrak untuk ditandatangani si pria yang mana menjaminnya begitu banyak dalam setahun untuk seumur hidup. Pria itu mendengarkan dengan sopan, memutuskan dia berurusan dengan orang sinting, memberikannya minum, lalu dengan tegas mengantarkannya menuju pintu.

    Penulis kedua dalam daftar, ketika melihat Knipe serius, benar-benar menyerangnya dengan penindih kertas logam besar, dan si penemu harus melarikan diri ke taman diikuti oleh semburan umpatan dan bahasa cabul yang dia belum pernah dengar sebelumnya.

    Tapi butuh lebih dari ini untuk mematahkan semangat Adolph Knipe. Dia kecewa tetapi tidak cemas, dan pergilah dia menuju mobil besarnya untuk mencari klien berikutnya. Kali ini seorang perempuan, terkenal dan populer, yang mana buku romansa tebalnya terjual beberapa juta di seluruh negeri. Dia menerima Knipe dengan anggun, memberikannya teh dan mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian. 

    “Ini kedengarannya sangat menarik,” katanya. “Tapi tentu saja aku merasa sulit untuk mempercayainya.”

    “Nyonya,” Knipe menjawab. “Ikutlah denganku dan lihat dengan matamu sendiri. Mobilku menantimu.”

    Maka pergilah mereka, dan pada waktunya, perempuan yang tercengang itu diantar menuju rumah mesin dimana keajaiban itu disimpan. Dengan bersemangat, Knipe menjelaskan bagaimana mesin itu bekerja, dan beberapa saat kemudian dia bahkan mengizinkannya duduk di kursi pengemudi dan berlatih dengan tombol-tombol. 

    “Baiklah,” katanya mendadak, “apa Anda ingin membuat buku sekarang?”

    “Oh ya!” Serunya. “Tolong!”

    Dia sangat kompeten dan tampaknya tahu dengan pasti apa yang dia inginkan. Dia membuat sendiri pra-pemilihannya, kemudian mengerjakan novel panjang, romantis, penuh gairah. Dia membaca sampai bab pertama dan menjadi sangat antusias sampai-sampai dia langsung menandatangani di tempat.

    “Itu satu di antara mereka tersingkirkan,” Knipe berkata pada Pak Bohlen kemudian. “Yang lumayan besar juga.”

    “Kerja bagus, Nak.”

    “Dan Anda tahu kenapa dia menandatangani?”

    “Kenapa?”

    “Itu bukan karena uang. Dia punya banyak uang.”

    “Lalu kenapa?”

    Knipe menyeringai, mengangkat bibir dan menampakkan permen karet pucat yang panjang. “Jelas karena dia melihat barang buatan mesin lebih baik daripada miliknya.”

    Setelah itu, Knipe dengan hati-hati memutuskan untuk berfokus hanya pada yang medioker. Siapa pun yang lebih baik dari itu–dan jumlahnya sangat sedikit mereka tidak terlalu jadi masalah–tampaknya tidak mudah untuk dibujuk.

    Pada akhirnya, setelah beberapa bulan bekerja, dia telah meyakinkan sekitar tujuh puluh persen penulis di daftarnya untuk menandatangani kontrak. Di menemukan bahwa yang lebih tua, mereka yang kehabisan ide dan mulai minum-minum, adalah yang paling mudah ditangani. Orang yang lebih muda lebih merepotkan. Mereka cenderung menjadi kasar, terkadang ganas ketika dia mendekati mereka; dan lebih dari sekali Knipe sedikit terluka pada babak-babak itu.

    Namun secara keseluruhan, itu adalah permulaan yang memuaskan. Tahun lalu ini–tahun penuh pertama pengoperasian mesin–diperkirakan bahwa setidaknya setengah dari seluruh novel dan cerita yang diterbitkan dalam bahasa Inggris diproduksi oleh Adolph Knipe menggunakan Mesin Gramatika Otomatis yang Hebat.

    Apakah ini mengagetkanmu?

    Aku meragukan itu.

    Dan yang lebih buruk masih akan datang. Hari ini, ketika rahasia itu menyebar, lebih banyak lagi yang bergegas mengikatkan diri dengan Tuan Knipe. Dan sepanjang waktu sekrupnya menjadi semakin kencang bagi mereka yang ragu-ragu untuk menandatangani nama mereka.

    Pada saat ini juga, aku duduk di sini mendengarkan lolongan kesembilan anakku yang kelaparan di ruangan lain, aku bisa merasakan tanganku sendiri merayap semakin dekat dan dekat kepada kontrak emas itu yang terletak pada sisi lain meja.

    Berikan kami kekuatan, ya Tuhan, untuk membiarkan anak-anak kami kelaparan.

  • Membuka Resleting [Etgar Keret]

    author = Shofyan Kurniawan

    Kisah ini dimulai dengan ciuman. Hampir selalu dimulai dengan ciuman. Ella dan Tsiki berada di ranjang, telanjang, lidah mereka saling berpagut, ketika Ella merasa ada sesuatu yang menusuk bibirnya. “Apa aku melukaimu?” tanya Tsiki, tatkala Ella menggelengkan kepalanya, Tsiki menambahkan, “Kau berdarah.” Ada darah di mulutnya. “Maaf,” kata Tsiki kemudian ia mulai menggeledah seisi dapur, menarik cetakan es batu dari freezer lalu membenturkannya di meja. “Ambil ini,” katanya, seraya mengangsurkan beberapa butir es batu dengan tangan gemetar, “taruh di bibirmu. Ini akan menghentikan pendarahannya.” Tsiki sangat ahli dalam hal ini. Dulu di angkatan darat ia menjadi paramedis. Ia juga dilatih menjadi pemandu jalan. “Aku nggak sengaja menggigitmu. Kau tahulah, aku kelewat nafsu.”

    “Nggak ap—,” Ella tersenyum, es batu itu menempel di bibir bawahnya. “Ngg— terjad— ap— kok.” Jelas ia berbohong. Karena sesua— sud— terjad—. Ini bukan kebetulan ketika orang yang setiap hari tinggal bersamamu membikin bibirmu berdarah lalu ia berbohong kalau ia tak sengaja menggigitmu padahal kau yakin betul ada sesuatu yang menusuk bibirmu.

    Hari-hari berikutnya mereka tidak berciuman. Bibir adalah bagian tubuh yang paling sensitif. Begitu lukanya sembuh, harus dijaga lebih hati-hati lagi. Ella bisa bilang kalau Tsiki menyembunyikan sesuatu. Ia cukup yakin soal itu hingga suatu malam, memanfaatkan Tsiki yang tidur dengan mulut menganga, ia menyelipkan jarinya dengan lembut di bawah lidah Tsiki—dan ketemu. Itu kepala resleting. Sangat mungil. Begitu ia menariknya tubuh Tsiki jadi terbuka seperti kerang, ada Jurgen di dalamnya. Berbeda dengan Tsiki, Jurgen punya brewok, cambang yang tercukur rapi, dan penis yang belum disunat. Ella menatapnya ketika ia tidur. Dengan begitu hati-hati, ia melipat tubuh Tsiki, membungkusnya, dan menyembunyikannya di lemari dapur yang berada di belakang tempat sampah, tempat mereka biasa menyimpan kantung sampah.

    Tidak gampang tinggal bersama Jurgen. Ia jago soal seks tapi ia peminum berat, dan saat ia mabuk ia bakal bikin keributan dan melakukan hal-hal yang memalukan. Yang utama, Jurgen suka bikin Ella merasa bersalah karena ia meninggalkan Eropa untuk tinggal di sini demi Ella. Kapan pun hal-hal buruk terjadi di negera ini, baik yang terjadi di sekitarnya atau di TV, ia akan berkata, “Lihat kekacauan yang dibikin oleh negaramu.” Bahasa Ibraninya jelek, dan ia mengucapkan ‘mu’ dengan nada suara yang menyudutkan. Orangtua Ella tidak menyukainya. Ibunya yang begitu mengagumi Tsiki, menyebut Jurgen sebagai goy (baca: kafir). Ayahnya selalu bertanya pada Jurgen, ia kerja apa, dan Jurgen bakal terkekeh dan berkata, “Kerja itu kayak kumis, Pak Shviro. Sama-sama sudah ketinggalan zaman.” Tak seorang pun tahu lucunya di mana, tidak ibunya Ella, tidak juga ayahnya Ella yang kebetulan masih memelihara kumis.

    Akhirnya Jurgen pergi. Ia kembali ke Dusseldorf untuk menjadi penyanyi dan menggantungkan hidupnya pada itu. Ia tak akan pernah bisa membuat lagu dan menjadi penyanyi selama ia masih tinggal di negara ini, katanya, karena mereka bakal memusuhinya berkat aksennya. Orang-orang di sini tukang nyinyir. Mereka tidak suka orang Jerman. Ella beranggapan di Jerman sekalipun, ia tak bakal jadi apa-apa dengan musiknya yang aneh dan liriknya yang norak itu. Jurgen bahkan pernah menulis lagu tentang Ella. Judulnya ‘Goddess’, bercerita soal sepasang kekasih yang bercinta di atas pemecah gelombang; saat Ella mendekat ia digambarkan ‘seperti ombak yang menghantam sebuah karang’—dan itulah pesannya.

    Enam bulan setelah Jurgen pergi, saat ia mencari kantong sampah, ia menemukan tubuh Tsiki yang terbungkus. Rasanya ia sudah melakukan kesalahan besar dengan menarik resleting itu. Mungkin. Hal semacam itu sulit dipastikan. Sore harinya, saat ia menyikat giginya, ia memikirkan ciuman mereka kala itu, juga rasa sakit dari tusukan di bibirnya. Ia berkumur-kumur dengan banyak air dan menatap cermin. Bekas lukanya masih ada. Dan ketika ia mengamati lebih dekat lagi ia menemukan kepala resleting di bawah lidahnya. Ragu-ragu ia menyentuhnya dengan jari, dan membayangkan seperti apa dirinya yang ada di dalam. Ia jadi sangat berharap, sekaligus merasa agak takut juga—utamanya soal tangan yang berbintik-bintik juga kulit kering. Mungkin juga ia punya tato, pikirnya, tato mawar. Ia selalu ingin punya satu, tapi ia tak pernah berani merajah tubuhnya. Ia membayangkan, pasti itu akan sangat menyakitkan.

    Unzipping, karya Etgar Keret, salah satu cerpen di kumcernya berjudul Suddenly, A Knock On the Door, diterjemahkan dari bahasa Inggris.

    Link naskah asli:

    https://www.theguardian.com/books/interactive/2012/feb/23/unzipping-etgar-keret-short-story

  • Mayat Hidup [Chuck Palahniuk]

    author = Gary Ghaffuri

    Jadi, Griffin Wilsonlah yang pertama kali mencetuskan teori evolusi ke belakang. Bocah ini duduk dua baris di belakangku di kelas Kimia Organik, bisa kukatakan bahwa Griffin ini adalah seorang jenius bangsat. Bagaimana tidak, dia adalah manusia pertama di kolong langit yang mengambil Lompatan Jauh ke Belakang.

    Griffin Wilson mendadak terkenal di sekolah karena Tricia Gedding. Jadi ceritanya hari itu mereka berdua sedang berada di ruang UKS. Tricia dan Griffin berada di bilik terpisah. Tricia pura-pura menstruasi agar bisa bolos dari ulangan Perspektif Peradaban Timur yang menyebalkan. Tricia kemudian mendengar bunyi bip yang keras dari bilik sebelah. Awalnya cewek ini nggak berpikiran macam-macam sampai ketika Tricia Gedding dan perawat sekolah memeriksa bilik yang ditempati Griffin, mereka mendapati si Griffin sudah kaku, tubuhnya keras macam manekin yang biasa dipakai buat praktik CPR. Dia hampir tidak bernapas, nyaris tidak menggerakkan otot. Tricia dan perawat sekolah mengira itu cuma lelucon karena karena Griffin masih menggigit dompet dan terdapat kabel listrik yang menempel di kedua sisi pelipisnya.

    Tangannya memegang erat kotak seukuran kamus, masih lumpuh, jempolnya menekan tombol merah besar. Kau bisa menjumpai kotak ini hampir di semua tempat: defibrilator. Alat pacu jantung darurat. Dia sudah mengambil defibrillator dari dinding UKS dan membaca instruksinya. Si Griffin menempelkan elektroda di kedua sisi pelipisnya lalu menyetrum otaknya sendiri. Ini sama saja dengan lobotomi sederhana. Sangat mudah, sampai-sampai bocah 16 tahun bisa melakukannya.

    Di kelas bahasa Inggrisnya Miss Chen, kami belajar sebuah frasa, “untuk terus hidup atau akhiri saja” (To be or not to be – pen) tapi ada area abu-abu besar di situ. Mungkin di jaman Shakespeare orang-orang cuma punya dua pilihan. Griffin Wilson tahu kalau SAT (ujian kemampuan standar akademik – pen) cuma sebuah pintu gerbang menuju omong kosong seumur hidup. Kuliah, menikah, bayar pajak, dan mencoba membesarkan anak dengan baik biar nggak jadi pembunuh. Dan Griffin Wilson tahu kalau obat-obatan cuma bertahan sementara. Jika efek obat sudah habis, kau bakalan butuh lebih banyak obat lagi.

    Terkadang, anak berbakat dan cemerlang macam Griffin ini terlalu pintar. Pamanku Henry selalu saja ngoceh soal pentingnya sarapan bergizi tinggi yang baik buat otak remaja yang baru tumbuh sepertiku. Tapi orang dewasa nggak ada yang ngoceh soal otak kita yang bisa menjadi terlalu besar.

    Kita ini pada dasarnya cuma hewan besar, berevolusi untuk memecahkan kerang dan makan tiram mentah, tapi sekarang kami diharapkan buat ngikutin perkembangan terakhir setiap anggota keluarga Kardashian atau Baldwin (selebritis terkenal di AS – pen). Serius, kupikir, dengan tingkat reproduksi keluarga Kardashian yang sekarang, mereka bakal menghapus spesies manusia lainnya. Selebihnya, kau dan aku, kita bakalan berakhir dengan kematian evolusioner dan menunggu untuk lenyap dari muka bumi.

    Coba tanya apa saja ke Griffin Wilson. Tanyakan siapa yang menandatangani Perjanjian Ghent. Dia bakal kayak tukang sulap kartun di TV yang suka ngomong, “Perhatikan saya menarik kelinci dari dalam topi.” Simsalabim, dan dia bakal tahu jawabannya. Di kelas Kimia Organik, dia bahkan bisa ngoceh panjang lebar soal teori string seperti bocah autis, tapi Griffin nggak pengen jadi jenius, yang sebenarnya dia inginkan adalah bahagia. Bukan cuma nggak sedih, ia ingin bahagia seperti bahagianya seekor anjing. Nggak harus dipusingkan sama tagihan ini itu atau pajak negara. Dia ogah hidup namun di sisi lain dia takut mati. Dan Itulah yang dilakukan oleh Griffin, si jenius penemu solusi jalan tengah.

    Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan memaksa Tricia Gedding bersumpah buat nggak membocorkan insiden ini, tapi akhirnya cerita mengenai Griffin menyebar dengan sendirinya. Pihak sekolah jelas nggak mau perbuatan Griffin ini ditiru oleh siswa yang lain. Sebab defibrillator akhir-akhir ini dapat dengan mudah ditemukan dimana saja.

    Sejak kejadian di ruang UKS, Griffin Wilson terlihat sangat bahagia. Dia selalu cekikikan dan menyeka iler di dagu dengan lengan bajunya. Para guru untuk siswa berkebutuhan khusus bakal memberinya tepuk tangan dan ngasih pujian setinggi langit cuma karena Griffin bisa menggunakan toilet dengan benar. Bicara soal standar ganda. Kita semua bakal berjibaku dan bersaing satu sama lain buat dapetin karir sampah, sementara Griffin Wilson bakalan senang-senang saja dengan permen dan tayangan ulang dari Fraggle Rock selama sisa hidupnya. Lalu bagaimana dia sebelumnya? Griffin Wilson yang kita kenal dulu bakalan menderita setengah mampus jika dia nggak menang di turnamen catur yang diikutinya. Kalau sekarang? Baru kemarin, si Griffin coli di dalam bis sekolah. Dan ketika Bu Ramirez menepikan bis dan mengejarnya sampai masuk gang, Griffin berteriak, “Lihatlah saya menarik kelinci dari dalam celana,” dia mengarahkan penis yang sudah dikocoknya lalu ejakulasi di baju seragam Bu Ramirez. Setelah itu dia tertawa kesenangan.

    Otaknya rusak atau tidak, Griffin masih paham dengan nilai sebuah jargon. Alih-alih jadi siswa pengejar nilai yang menyebalkan di sekolah, dia sekarang malah jadi biang pesta, badut sekolah.

    Setruman di dahi itu bahkan sudah membersihkan wajahnya dari jerawat.

    Susah buat membantah fakta-fakta semacam itu.

    Nggak ada seminggu setelah Griffin berubah jadi mayat hidup, Tricia Gedding pergi ke gym buat latihan Zumba dan menurunkan defibrillator dari dinding ruang ganti perempuan. Setelah menjalani prosedur yang sama dengan Griffin di kamar mandi, dia sudah tidak peduli lagi soal menstruasi. Teman baiknya, Brie Phillips, mencomot defibrillator di kamar mandi Home Depot, dan sekarang dia berkeliaran di jalan, hujan atau panas, tanpa celana. Mereka yang sedang kita bicarakan ini bukanlah jenis siswa berandalan atau pecundang di sekolah. Kita sedang berbicara tentang Ketua OSIS dan ketua ekstrakulikuler cheerleaders. Mereka adalah siswa-siswa terbaik dan paling cemerlang. Mereka adalah atlet andalan di tim olahraga sekolah. Butuh setiap defibrilator antara sini dan Kanada, tapi sejak saat itu, saat mereka bermain football, nggak ada lagi yang perduli dengan aturan main di lapangan. Dan bahkan ketika kalah sekalipun mereka selalu bahagia dan merayakannya dengan melakukan tos.

    Bagaimanapun juga, mereka tetap jadi siswa yang muda dan rupawan, tapi bedanya, sekarang hingga nanti, mereka nggak bakalan khawatir jika suatu hari mereka tidak lagi muda dan rupawan.

    Ini semacam bunuh diri, tapi sebenarnya tidak. Surat kabar nggak bakal menuliskan angka yang sebenarnya. Surat kabar itu terlalu angkuh. Lagi pula, halaman Facebook Tricia Gedding memiliki pembaca lebih banyak daripada surat kabar lokal di daerah kami. Surat kabar? Tai lah mereka. Mereka menampilkan halaman depan dengan pengangguran dan perang, dan mereka nggak pernah mikir dampak buruk yang ditimbulkannya? Paman saya Henry membacakan sebuah artikel tentang usulan perubahan dalam undang-undang negara. Para pejabat menginginkan masa tunggu 10 hari untuk penjualan semua defibrillator jantung. Mereka mengusulkan soal pemeriksaan latar belakang dan pemeriksaan kesehatan mental. Tapi itu belum disahkan.

    Paman Henry mengintip dari balik surat kabar yang dibacanya dan melirik ke arahku saat sarapan. Dia menatapku dengan tatapan buram dan bertanya, “Kalau semua temanmu udah lompat dari tebing, kau bakalan ikut-ikutan juga?”

    Aku tidak punya ibu dan ayah, yang aku punya cuma Paman. Dia tidak akan mengakuinya, tapi ada kehidupan bagus menanti di tepian tebing itu. Ada jatah parkir seumur hidup buat orang cacat. Paman Henry tidak mengerti bahwa semua temanku sudah melompat.

    Mereka mungkin sedikit “berbeda,” tapi kawan-kawanku ini masih sering ML. Mungkin malah lebih sering dari sebelumnya. Mereka itu semacam balita dengan tubuh seksi dan organ seksual yang matang. Sebuah perpaduan yang sempurna. LeQuisha Jefferson pernah menjilati vagina Hannah Finermann ketika mengikuti kelas Dasar Ilmu Pertukangan, si Hannah menjerit dan menggeliat sambil bersandar di mesin bor. Dan Laura Lynn Marshall? Dia nyepongin Frank Randall di belakang Lab Masakan Internasional di mana semua orang menonton. Konon kabarnya, semua falafel hangus kala itu, dan tidak ada yang membawa kasus ini ke pengadilan.

    Setelah menekan tombol merah defibrillator, seseorang bakal kesakitan, tapi dia nggak bakal sadar sedang menderita. Begitu tombol merah lobotomy ditekan, seorang bocah bisa melakukan pembunuhan tanpa harus takut konsekuensinya.

    Suatu ketika, Aku nanya Boris Declan apakah prosedur lobotomi itu menyakitkan. Dia sedang duduk dengan luka bakar yang masih merah segar di kedua sisi pelipisnya. Dia malah nurunin celana sampai lutut. Aku nanya sekali lagi apakah setruman di otak itu menyakitkan, dia nggak langsung menjawab. Dia malah ngendus-endus jari tangan yang baru saja ditusukkan ke lubang anusnya sambil berpikir. Dia adalah prom king SMP tahun lalu.

    Dia jadi lebih tenang daripada sebelumnya. Dengan pantatnya yang diumbar di tengah kantin, Boris malah nawarin buat ikutan mengendus jari kotornya dan kubilang padanya, “Nggak, makasih.”

    Dia bilang dia nggak ingat apa-apa. Boris Declan tersenyum dengan seringai yang sangat tolol. Dia menunjuk bekas luka bakar pelipis dengan jari kotornya. Dia lalu menunjuk dinding, menunjuk sebuah poster bimbingan konseling yang gambarnya burung kulit putih mengepakkan sayapnya ke langit biru. Di bawah gambar ada tulisan motivasi yang dicetak samar-samar. Sekolah memasang poster itu untuk menggantikan defibrillator yang biasa digantung di sana.

    Udah jelas bahwa dimanapun Boris Declan berada kelak, tempat itu bakal jadi tempat yang paling tepat untuknya. Dia udah hidup di dalam surga trauma otak. Ketakutan pihak sekolah soal siswa-siswa lain yang mengikuti jejak si jenius Griffin ternyata terjadi juga.

    Aku musti menyanggah pendapat Yesus, orang yang lemah lembut tidak akan mewarisi peradaban di bumi. Kita lihat saja di TV, orang-orang brengsek yang banyak bacot selalu mendapatkan yang mereka inginkan. Dan kubilang, biarkan saja mereka. Keluarga Kardashians dan Baldwins itu udah kayak spesies invasif. Seperti kudzu atau kerang zebra. Biarkan mereka saling tikam buat menguasai dunia yang sudah benar-benar mawut ini.

    Untuk waktu yang lama Aku ngikutin saran Paman Henry dan tidak melompat. Lagi pula, Aku nggak tahu. Surat kabar memperingatkan kita tentang bom anthrax teroris dan virus meningitis baru yang ganas, dan satu-satunya kabar baik yang ditawarkan oleh surat kabar adalah kupon diskon deodoran 20 sen.

    Sebenernya, sangat menggiurkan bisa hidup tanpa harus khawatir soal apapun, tanpa harus dihantui ketakutan. Udah banyak anak keren di sekolah yang milih buat nyetrum otaknya sampai mereka bego, sampai akhirnya cuma anak-anak pecundang yang tersisa. Para pecundang dan anak-anak bodoh. Situasinya sangat mengerikan sampai-sampai Aku yang biasanya bego bisa jadi lulusan terbaik di angkatanku. Begitulah akhirnya Paman Henry memutuskan untuk memindahkan sekolahku. Dia berpikir bahwa dengan memindahkanku ke Twin Falls, dia bisa membuatku nggak mengikuti jejak kawan-kawanku yang lain.

    Kami duduk di bandara untuk menunggu keberangkatan pesawat, dan Aku minta izin untuk pergi ke kamar mandi. Di kamar mandi pria Aku berpura-pura cuci tangan sehingga bisa melihat ke cermin. Paman Henry dulu pernah bertanya, mengapa Aku suka sekali bercermin, dan kubilang kepadanya bahwa kebiasaan itu bukan karena Aku udah menderita narsisme parah tapi lebih pada nostalgia. Dengan melongok ke cermin, setidaknya Aku bisa membayangkan bagaimana rupa kedua orang tuaku.

    Aku sedang berlatih senyum ibuku. Orang cenderung masa bodoh soal pentingnya melatih senyuman di depan cermin, jadi ketika mereka sedang ingin pura-pura bahagia, senyuman mereka bakalan kelihatan natural, nggak dibuat-buat. Ketika sedang melatih senyuman itulah, tiket ke masa depan yang bahagia dengan bekerja di restoran makanan cepat saji. Yang bertentangan dengan kehidupan yang menyedihkan sebagai arsitek terkenal atau ahli bedah jantung tergantung indah di sana.

    Melayang-layang di atas bahuku dan dekat sekali di belakangku, terlihat dari bayangan di cermin. Seperti gelembung panel komik strip yang merepresentasikan pikiranku, sebuah defibrillator! Alat itu tergantung di belakangku, terkunci di dalam sebuah kotak logam dengan pintu kaca yang bisa dibuka paksa untuk menyalakan alarm dan lampu strobo merah. Tanda di atas kotak bertuliskan AED dan menunjukkan kilat yang menyambar simbol hati. Kotak logam itu seperti sebuah etalase kaca yang berisi permata mahkota mirip di film-film Hollywood soal pencurian.

    Kalau kubuka kotak itu, maka alarm dan lampu merah akan menyala. Maka dengan cepat, sebelum ada pahlawan kesiangan yang berusaha menggagalkan rencanaku, Aku masuk ke bilik toilet orang cacat dan mengambil defibrillator tersebut. Aku duduk di toilet dan membuka kotaknya. Kertas berisi instruksinya dicetak dalam bahasa Inggris, Spanyol, Prancis dan gambar komik. Ternyata gampang banget memakai alat ini. Kalau menunggu terlalu lama, rencana ini bisa gagal. Defibrillator sebentar lagi bakal dilarang oleh pemerintah dan jika sudah dilarang maka cuma paramedis yang boleh memilikinya.

    Tiket buat jadi anak-anak selamanya sudah ada dalam genggaman. Mesin kebahagiaanku sendiri.

    Tanganku jauh lebih pintar dariku. Jari-jariku secara otomatis bisa tahu bagaimana cara mengupas elektroda dan menempelkannya ke pelipis. Telingaku tahu jika sudah terdengar suara bip yang keras, berarti listrik di mesin itu sudah terisi penuh.

    Jempolku tahu benar apa yang terbaik buatku. Jempolku melayang di atas tombol merah besar. Ini seperti lagi megang joystick video game. Aku gelisah mirip presiden yang musti menekan sebiji tombol merah buat meluncurkan roket nuklir. Satu pencetan saja dan dunia yang kita kenal sekarang bakalan kelar. Tapi sebuah dunia yang baru akan dimulai.

    Untuk terus hidup atau akhiri saja. Karunia terbesar Tuhan buat binatang adalah mereka nggak punya kesadaran untuk memilih.

    Setiap kali baca surat kabar, Aku selalu ingin muntah sama isinya. Namun dalam 10 detik lagi, Aku bahkan nggak bakalan ingat lagi cara membaca. Tapi yang terbaik, Aku nggak perlu baca berita-berita sampah lagi. Aku nggak harus dipusingkan soal perubahan iklim global. Aku nggak bakalan tahu lagi soal kanker atau genosida atau SARS atau degradasi lingkungan atau konflik agama.

    Speaker bandara memanggil namaku. Sebentar lagi Aku bahkan bakalan lupa sama namaku.

    Sebelum otakku hancur sepenuhnya, Aku membayangkan Paman Henry di gerbang keberangkatan, memegang tiket pesawatnya. Dia pantas dapetin yang lebih baik dari ini. Dia perlu tahu kalau ini bukan salahnya.

    Dengan elektroda yang udah nempel di dahi, Aku membawa defibrillator keluar dari kamar mandi dan berjalan menyusuri ruang tunggu penumpang menuju gerbang keberangkatan. Kabel listrik menjuntai dari kedua sisi wajahku. Tanganku menggengam kotak baterai defibrillator macam pembom bunuh diri yang sudah siap buat meledakkan isi otak kapan saja.

    Ketika mereka para calon penumpang di bandara melihatku, para pebisnis meninggalkan koper dorong mereka. Sebuah keluarga yang sepertinya hendak pergi berlibur menggiring anak-anak mereka untuk menjauh dariku. Ada juga si pahlawan kesiangan. Dia teriak, “semuanya akan baik-baik saja.” Dia berkata kepadaku, “Kamu punya banyak alasan buat terus hidup.”

    Kita semua tahu dia sedang memuntahkan omong kosong.

    Keringat mengucur deras dari wajahku sehingga elektroda bisa terlepas kapan saja. Inilah kesempatan terakhir buat mengatakan semua hal yang ada di pikiran. Jadi di hadapan semua orang yang menonton, Aku bakal mengaku: Aku bener-bener nggak tahu akhir yang bahagia itu kayak gimana. Dan Aku juga nggak tahu cara memperbaiki apapun dalam hidup ini. Pintu ruang tunggu penumpang terbuka dan petugas keamanan bandara menghambur masuk, Aku merasa seperti salah satu biksu Buddha di Tibet yang berlumur bensin yang sudah siap untuk menyalakan pemantik kapan saja. Betapa memalukannya, tubuh berlumur bensin dan harus gelisah dilihat puluhan mata orang asing. Aku, sedang berada di ruang tunggu bandara, Aku tidak sedang berlumur bensin melainkan keringat, kepalaku rasanya berputar-putar.

    Tiba-tiba saja Paman Henry meraih lenganku dan dan berkata, “Kalau kau menyakiti dirimu sendiri, Trevor, kau sama saja menyakitiku.”

    Dia mencengkeram lenganku, dan aku mencengkeram tombol merah. Kukatakan padanya bahwa ini bukan akhir yang tragis-tragis amat. Aku menjawab, “Aku menyayangimu Paman Henry . Aku cuma nggak bakalan ingat apa-apa lagi.”

    Di dalam kepalaku, yang kupikirkan adalah doa. Aku berdoa agar baterai terisi penuh dan ada cukup voltase untuk menghapus seluruh ingatan bahwa Aku baru saja bilang sayang di depan beberapa ratus orang asing. Lebih buruk lagi, Aku bilang sayang pada pamanku sendiri. Aku nggak akan pernah bisa hidup dengan kenyataan semacam itu.

    Kebanyakan orang, alih-alih berusaha menolong, mereka malah ngeluarin gawai dan mulai merekam video. Semua orang berebut untuk sudut pandang terbaik. Ini mengingatkanku pada sesuatu. Ini mengingatkanku pada pesta ulang tahun dan Natal. Seribu kenangan tersebut menghambur keluar untuk yang terakhir kalinya, dan hal itu nggak pernah kuduga sama sekali. Aku nggak keberatan kehilangan semua pengetahuanku. Aku nggak keberatan lupa sama nama sendiri. Tapi kayaknya Aku bakal sedikit merindukan ingatan tentang orang tuaku.

    Mata ibuku, hidung dan dahi ayahku, mereka mungkin sudah mati dan meninggalkan bentuk wajah mereka di wajahku. Terasa menyesakkan ketika sadar bahwa Aku nggak akan ingat mereka lagi. Begitu tombol ditekan, Aku nggak akan ingat apa-apa lagi ketika bercermin.

    Paman Henry mengulangi, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku.”

    Aku menjawab,” Aku masih keponakanmu Paman, Aku cuma nggak bakalan ingat apa-apa lagi.”

    Tiba-tiba saja, beberapa perempuan tua maju dan meraih lengan Paman Henry. Orang asing ini, dia berkata, “Kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku…” Kemudian ada beberapa orang asing yang maju dan ikut berkata, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku.” Orang-orang asing ini saling berpegangan tangan sampai kami semua terhubung. Kami mirip molekul yang mengkristal dalam larutan seperti yang diajarkan di kelas Kimia Organik. Semua orang saling berpegangan dan mereka mengulangi kalimat yang sama: “Kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku… Kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku…”

    Kata-kata mereka merambat pelan dalam bentuk gelombang. Seperti gema yang bergerak lambat, menyergapku dari berbagai sudut. Setiap orang di ruangan itu bergerak untuk meraih lengan orang yang berada di dekatnya, orang-orang kemudian saling berpegangan sampai akhirnya bermuara di lengan Paman Henry yang sedang mencengkeram lenganku. Ini benar-benar terjadi. Kedengarannya basi, tapi kata-kata memang membuat kenyataan terdengar jadi basi. Karena kata-kata selalu mengacaukan apa yang ingin kita sampaikan.

    Suara dari orang-orang juga terdengar, orang asing, melalui telepon, mereka yang menonton lewat kamera video, suara mereka berkata, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku…….” Beberapa bocah melangkah keluar dari belakang mesin kasir di Der Wienerschnitzel, sampai di food court, dia meraih lengan seseorang lalu berteriak, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku.” Para remaja yang bekerja di Taco Bell dan Starbucks, mereka berhenti dari pekerjaan mereka sejenak dan menggengam lengan orang terdekat yang terhubung denganku lewat kerumunan riuh ini, mereka mengucapkan kalimat yang sama. Dan pada saat Aku berpikir untuk mengakhiri semuanya dan orang-orang ini lebih baik merelakanku untuk pergi, semua kegiatan di bandara berhenti dan orang-orang mulai berpegangan tangan, mereka berpegangan tangan melewati detektor logam. Bahkan penyiar berita CNN dari televisi yang berada di tembok ruang tunggu bandara juga mengatakan kalimat tersebut. Penyiar itu meletakkan tangannya ke telinga, seolah ingin bisa mendengar dengan lebih baik, dan dia berkata, “Breaking news.” Dia terlihat bingung, membaca sesuatu dari kartu di tangannya dan berkata, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku.” Suara si penyiar tumpang tindih dengan suara seorang pakar politik di Fox News dan komentator olahraga di ESPN, mereka semua mengatakan kalimat yang sama.

    Televisi menunjukkan orang-orang yang sedang berada di tempat parkir dan tempat-tempat di sekeliling bandara, semuanya berpegangan tangan. Rantai ikatan telah tercipta. Semua orang mengunggah video mengenai orang-orang yang sedang saling berpegangan tangan, sehingga orang-orang yang berada ber mil-mil jauhnya terhubung kembali kepadaku.

    Dan berderak dengan suara statis, terdengar suara walkie-talkie penjaga keamanan Bandara, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku, ganti.”

    Pada saat itu nggak ada cukup defibrilator di kolong langit buat mengacak semua otak manusia di bumi. Dan, yah, pada akhirnya mereka semua harus merelakanku pergi, tapi untuk beberapa saat semua orang seakan memegangku erat-erat, mencoba membuat rantai manusia ini bertahan selamanya. Dan jika hal yang tidak mungkin ini bisa terjadi, siapa tahu apa lagi yang mungkin terjadi? Dan seorang gadis di Burger King berteriak, “Saya juga takut.” Dan seorang remaja laki-laki di Cinnabon berteriak, “Saya selalu takut.” Dan semua orang mengangguk, kami juga.

    Di tengah-tengah keriuhan ini, sebuah pengumuman melengking keras, “Perhatian!” Suara tersebut bergaung diatas kepala kami dan kemudian berkata, “Saudara-saudara, mohon perhatiannya!” Itu suara perempuan. Suara perempuan yang biasa membuat pengumuman di bandara. Semua orang mendengarkan, seluruh bandara lelap dalam diam.

    “Siapa pun kamu, kau perlu tahu …” kata suara perempuan tersebut. Semua orang mendengarkan seakan suara si perempuan ditujukan kepada setiap manusia di bandara ini. Dari seribu pengeras suara, ia mulai bernyanyi. Suaranya terdengar seperti nyanyian burung. Tidak seperti burung beo atau macam burung Edgar Allan Poe yang bisa ngomong bahasa Inggris. Suara perempuan itu lebih seperti nyanyian burung kenari, terdengar macam suara manusia yang kesulitan untuk diterjemahkan jadi kata benda dan kata kerja. Namun kami bisa menikmati nyanyian itu tanpa harus memahaminya. Terhubung melalui telepon dan televisi, nyanyian perempuan tersebut seakan menghubungkan semua orang, di seluruh dunia. Suara itu begitu sempurna, perempuan itu bernyanyi untuk kita semua.

    Puncaknya… suara nyanyian itu menyebar ke mana-mana, sehingga tidak tersisa lagi sedikitpun ruang untuk merasa takut. Lagunya membuat semua telinga kita menjadi satu telinga.

    Ini bukanlah akhir segalanya. Nampak wajahku di televisi, Aku berkeringat begitu deras hingga sebuah elektroda perlahan meluncur dari pelipis ke pipi.

    Ini jelas nggak bisa dibilang sebagai akhir yang membahagiakan, tapi dibandingkan dengan dari mana cerita ini dimulai – dengan si Griffin Wilson di ruang UKS dengan dompet terselip di mulutnya macam orang sedang ngemut moncong pistol – yah mungkin ini tempat yang nggak jelek-jelek amat untuk memulai.

     

    *Charles Michael “Chuck” Palahniuk, seorang novelis Amerika dan jurnalis lepas, yang menggambarkan karyanya sebagai fiksi “transgressional”. Novelnya Fight Club sudah dibuat menjadi film dengan judul yang sama.

    Judul Asli Zombie, dipublikasikan pertama kali pada 18 November 2013 di Majalah Playboyditerjemahkan dari versi bahasa Inggris. Naskah asli. Versi film pendek bisa ditonton di sini

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

     

  • Loquat (Etgar Keret)

    author = Ifan Afiansa

    “Ayolah, Henry. Bilang pada mereka. Kau
    itu Gendarme,[1]
    mereka akan patuh.”

                Gelas
    kopi kosong itu aku letakkan kembali dan berpindah ke bawah meja mencari
    sandalku. “Berapa kali harus kujelaskan, Nek? Aku bukan gend—polisi. Aku ini tentara, seorang prajurit.
    Aku tidak punya urusan dengan anak-anak itu, kenapa juga mereka akan
    mendengarkanku?”

                “Sebab
    kau tinggi menjulang, Nak.
    Kau juga mengenakan seragam gendarme—“

                “Prajurit,
    Nek.”

                “Baiklah, kau seorang prajurit. Apa
    bedanya? Kau datangi mereka dengan senapan
    dan bilang jika mereka naik pohon loquat
    lagi, kau akan melempar mereka ke penjara, atau menembak mereka, atau apalah,
    agar mereka berhenti main di halaman kita.”

    Mata nenek mulai basah dan
    memerah. Beliau sangat membenci anak-anak itu. Wanita tua berlalu, demi rasa
    hormatku, aku akan melakukannya. Sore ini, aku mendengar anak-anak itu di
    sekitar pohon. Kaos tanpa lengan aku masukkan ke dalam celana pendek, dan
    bilang pada Nenek aku akan ke sana.

                “Jangan,”
    katanya, menghadang di depan pintu seraya menggenggam seragamku. “Kau tidak
    akan keluar dengan berpakaian seperti itu. Pakai seragammu.”

                “Tidak
    usah, Nek.” sanggahkku, kucoba menerobos beliau. Namun beliau bersikeras
    menyender di pintu, menjejali seragamku.

                “Pakai.” Perintahnya
    bersungguh-sungguh.

                Aku
    menuruni tangga depan, dibayang-bayangi harapan Nenek. Sangat memalukan
    berpakaian seperti prajurit
    teladan. Bahkan beliau sampai memasangkan lencana. “Henri, kau lupa ini,”
    beliau berbisik dengan serak yang mengganggu, dan menggenggam senapan, memikul
    dan mengokang. Jika saja komandanku menyaksikan semua ini, aku bakal dikarantina dua minggu.

                Aku
    merebut senapan dari tangannya, meraih majalah dan perlahan meloloskan
    kuncinya. Sebuah peluru terjatuh di rerumputan. “Mengapa aku harus membawa
    senapan? Nenek gila ya? Mereka cuma anak kecil.”

                Aku
    mengembalikan senapannya,  tetapi beliau
    menjejali ke tanganku lagi. “Mereka bukan anak-anak, mereka binatang,” tegasnya.

                “Baiklah,
    Nek. Akan kubawa,”
    keluhku putus asa dan mencium pipinya. “Masuklah ke dalam, Nek.”

                “Oh,
    polisi kecilku,” kata beliau senang dan menepukkan tangannya. Beliau yang
    tersenyum puas dan penuh kemenangan, beranjak masuk ke dalam.

                “Prajurit,”
    keluhku setelah beliau berlalu. “Demi Tuhan, aku bukan polisi sialan itu.”
    Aku melangkah ke pekaranganku.

                Anak-anak
    yang berada di atas pohon loquat terus saja membuat keributan dan mematahkan
    cabang-cabangnya. Aku berniat melepaskan bajuku, lalu menggunakannya untuk
    membungkus senapan dan menyembunyikannya di semak belukar, agar aku lebih atau
    cukup terlihat normal. Akan tetapi, sekilas terlihat wajah Nenek mengintai di balik gorden yang
    membuatku mengurungkan niat itu. Aku mengejar anak yang sedang memanjat pohon,
    mencengkram kaus oblongnya, lalu kuhempaskan ke tanah. “Yaallah,” bentakku,
    “semuanya turun dari pohon. Ini bukan punya umum.”

                Ada
    tiga detik keheningan, salah seorang anak yang berada di pucuk pohon menjawab.
    “Oh, aku sangat takut. Ada tentara. Apakah Tuan Tentara ingin membunuh kami?”
    Buah loquat busuk menghantam kepalaku.

                Anak
    yang kuhempaskan ke tanah menatapku hina, “dasar birokrat,” umpatnya. “Sodaraku berada di
    unit patrol tempur, bekerja banting tulang di sana, dan kau tidak malu
    berjalan-jalan mengenakan lencana unit banci dari Tel Aviv ?” Mulutnya
    mengumpulkan segenap dahak dan meludahi kemejaku. Aku memukul wajahnya cukup
    keras.

                Sialan,
    kenapa anak tolol ini tahu soal lencana ini?

                “Hey,
    kalian liat si bangsat ini mukul si Meron?” seorang anak lain di atas pohon.

                “Heh,
    Homo! Kau ngapain jalan-jalan
    pake begituan di Jumat malam?” bentakan anak lainnya. “Nggak mampu beli
    Levi’s?”

                “Jika dia begitu patriot, ayok intifada[2] saja biar dia ada kerjaan.” Dari anak yang pertama berteriak, dan salah seorang anak di pohon melempariku dengan buah loquat. Kucoba memanjat pohon untuk menghajarnya, tetapi sulit rasanya dengan mengokang senapan dan berpakaian seperti ini.

                Tetiba,
    batu bata menghantam punggungku, berasal dari anak yang bersembunyi di
    semak-semak. “PLO[3],” teriaknya dan mengacungkan
    jari tengah ke arahku. Mereka benar-benar anak setan. Sebelum aku mengejarnya,
    anak yang meludahiku beranjak, wajahnya keseluruhan tertutup lumpur, menedang
    tepat di zakarku, dan kabur. Aku melihat anak berambut merah berada dalam jarak
    tiga langkah dan menangkapnya. Aku menarik baju belakangnya, membuatnya
    terjengkang. Dan mulai memukulinya. Anak yang melempar bata melompat ke
    punggungku, dan dua anak dari atas pohon turun untuk membantu temannya.
    Anak-anak ini menempeliku seperti lintah. Salah satu dari mereke menggigit
    leherku. Aku coba
    melepaskan mereka, namun kami malah terjatuh ke kubangan lumpur. Kupukuli
    mereka kanan dan kiri. Bajingan kecil ini benar-benar biji pelir. Mereka tidak menyerah
    betapa pun keras
    aku memukuli mereka. Tanganku mengunci gerakan salah satu anak, dan kucekik
    anak lainnya dengan kakiku. Tiba-tiba Meron—yang terlihat seperti pemimpin
    mereka—menghantam
    kepalaku dengan batu. Dunia terasa berputar-putar, aku merasakan darah mengalir
    di dahiku. Telingaku mendengar rentetan tembakan dan segera saja menyadari aku
    tidak membawa senapanku, pasti
    jatuh saat kami berkubang di lumpur.

                “Tinggalkan
    cucuku, binatang jalang!”
    Aku mendengar suara Nenek. “Atau aku akan menghabisi kalian seperti ikan mas di
    bak mandi.

                Aku
    tidak yakin yang kudengar nyata atau mimpi. “Awas, wanita tua itu gila.” Aku
    mendengar suara Meron dan anak-anak itu melepaskanku.

                “Pergi kalian!” bentak Nenekku, kemudian suara
    kaki berkecipak di atas lumpur.

                “Lihatlah
    mereka mengotori baju polisimu,” katanya,
    aku merasakan tangannya menyentuh pundakku. “Dan mereka membocorkan kepalamu,”
    ratapnya. “Jangan khawatir. Aku akan mengobatimu dan mencucikan seragam ini
    hingga terlihat baru. Dan Tuhan, akan membalas para iblis cebol itu. Ayo masuk,
    malam semakin dingin.” Aku beranjak dan dunia masih berputar dan berputar.

                “Nek,”
    tanyaku. “Dari mana Nenek belajar memegang dan menembak seperti tadi?”

                “Dari
    film-film Jacques Norris, pernah tayang di tivi kabel, sampai provider bajingan
    itu menyetop film-filmnya,”
    ujarnya emosi,
    “dan bawa lari uangku. Besok kau akan
    mengenakan seragam itu lagi dan mendatangi mereka.”

                “Nek!”
    bentakku emosi, dahi-dahiku memanas.

                “Maaf,
    Henry. Prajuritku,” katanya dan berlalu
    menuju tangga.


    [1] Gendarme: polisi
    khusus di Prancis

    [2] Semangat perlawanan
    rakyat Palestina dalam merebut tanah dari kependudukan Israel

    [3] PLO: Palestine
    Liberation Organization; organisasi pembebasan Palestina yang berada di Tel
    Aviv

  • Larilah, Melos! [Osamu Dazai]

    author = Muhammad Al Mukhlishiddin

    Melos murka. Dia membulatkan tekad melakukan apa pun untuk membebaskan negeri itu dari raja yang jahat dan lalim itu. Melos tidak tahu apa-apa soal politik. Dia hanyalah seorang gembala dari kampung terpencil yang menghabiskan waktu dengan memainkan suling dan mengawasi domba-domba. Tapi, Melos adalah seorang pria yang merasakan sengatan ketimpangan lebih dalam daripada kebanyakan orang.

    Sebelum subuh tadi, Melos meninggalkan kampungnya untuk bepergian sejauh tiga puluh mil, melewati padang rumput dan gunung, menuju kota Sirakus. Melos tidak memiliki ibu atau bapak, juga tidak punya istri. Dia tinggal bersama adik perempuannya, seorang gadis pemalu enam belas tahun yang akan segera menikah dengan seorang peternak jujur dan setia. Untuk membeli baju pengantin adiknya dan makanan dan minuman untuk perjamuan pernikahanlah dia melakukan perjalanan jauh ke kota itu. Dia sudah berbelanja dan sedang melangkah di salah satu jalan utama ibu kota itu, dalam perjalanannya untuk mengunjungi Selinuntius, seorang karib sejak masa kanak-kanak. Selinuntius tinggal di Sirakus, tempat dia bekerja sebagai seorang tukang batu. Sudah beberapa lama sejak mereka terakhir bertemu, dan Melos menanti-nanti kesempatan untuk berkunjung itu. Tapi, saat dia berjalan, dia mulai menyadari ada yang aneh dengan suasana kota itu. Betapa hening dan amat sunyi. Matahari sudah tenggelam, dan jalanan memang wajar gelap, tapi suasana murung yang menggantung di atas kota itu entah kenapa lebih dari sekadar dampak kedatangan malam belaka. Melos orang yang riang dan santai, tapi sekarang dia mulai merasa was-was. Menghentikan langkah seorang pemuda di jalan, dia bertanya apakah suatu bencana telah menimpa kota itu, menambahkan bahwa dalam kunjungan sebelumnya, sekitar dua tahun lalu, jalanan bahkan pada malam hari dipenuhi oleh orang-orang yang tertawa dan bernyanyi dan berjoget ceria. Pemuda asing itu hanya menggelengkan kepala dan buru-buru pergi. Tidak jauh dari situ, Melos bertemu seorang tua dan mengajukan pertanyaan yang sama, kali ini dengan lebih mendesak. Orang tua itu tidak berkata apa-apa. Barulah ketika Melos meraih pundaknya dan mengguncang-guncangnya, mengulangi pertanyaan itu, akhirnya dia menjawab, berbisik seolah-olah takut ada yang menguping.

    “Sang raja membunuhi orang-orang.”

    “Atas dasar apa?”

    “Dia bilang orang-orang dipenuhi niat jahat. Tentu saja itu tidak benar.”

    “Apakah sudah banyak yang dibunuhnya?”

    “Ya. Yang pertama adalah suami saudarinya. Selanjutnya sang pangeran, putra dan penerusnya sendiri. Lalu, saudari dan kemenakannya. Lalu, istrinya, sang ratu. Lalu, pengikutnya, Alekis yang bijaksana…”

    “Mengejutkan sekali. Dia sudah gila?”

    “Tidak, dia tidak gila, tapi dia berkata bahwa tidak ada yang bisa dipercaya. Baru-baru ini dia merasa curiga atas abdi-abdinya, dan telah memerintahkan abdinya yang lebih kaya untuk memberi jaminan satu sandera. Hukuman bagi yang menolak adalah hukum salib. Enam orang sudah dieksekusi hari ini.”

    Mendengar ini, Melos murka. “Raja macam apa itu?” serunya. “Dia tidak boleh dibiarkan hidup!”

    Melos adalah seorang pria yang polos. Dengan belanjaan masih bergandul di pundaknya, dia berjalan menuju kastil dan berusaha masuk. Tapi, segera saja dia ditangkap oleh penjaga, yang memiting tangan dan kakinya. Pergumulan itu makin menjadi-jadi ketika, begitu Melos digeledah, sebuah belati ditemukan di sakunya. Dia diseret ke hadapan sang raja.

    “Apa yang akan kau lakukan dengan belatimu ini?” sang tiran Dionysius bertanya dengan penuh wibawa. “Katakan!”

    “Aku akan membebaskan kota ini dari tangan seorang tiran,” jawab Melos gagah berani.

    “Kau?” Sang raja tersenyum merendahkan. “Pria menyedihkan yang patut dikasihani. Apa yang kau tahu tentang duka dan kesepianku?”

    “Hentikan!” Melos berseru balik, dipenuhi amarah. “Meragukan nurani manusia adalah kejahatan paling besar dan paling memalukan. Dan kau, rajaku, meragukan kesetiaan hamba-hambamu.”

    “Kau tidak percaya kecurigaanku berdasar? Manusia itu tidak bisa dipercaya. Apalah manusia itu kalau bukan setumpuk daging yang egois dan serakah? Memercayai ucapan mereka hanya akan mendatangkan keruntuhan.” Sang raja mengatakannya dengan tenang, dan yakin, dan sekarang dia menghela napas. “Kau kira aku sendiri tidak mengharapkan kedamaian?”

    “Kedamaian? Untuk tujuan apa? Untuk melanggengkan takhtamu?” Sekarang Melos-lah yang tersenyum mencela. “Kedamaian macam apa yang didapat dengan membunuhi orang-orang tidak bersalah?”

    “Diam, makhluk rendah.” Sang raja mendongak. “Betapa bagusnya kata-kata yang meluncur dari mulutmu itu. Tapi, sayang sekali bagimu, aku adalah orang yang tatapannya bisa menembus relung hati manusia. Tidak lama lagi kau juga ketika dipaku di salib akan meratap dan meraung-raung dan memohon pengampunan. Jangan berharap lebih.”

    “Ah, sungguh raja yang bijaksana. Tidak heran kau sangat mencintai dirimu sendiri. Kalau aku, aku siap untuk mati. Aku tidak akan mohon ampun. Tapi…” Melos ragu-ragu, menunduk. “Tapi, kalau kau memberiku satu permintaan, aku memintamu untuk menunda eksekusi selama tiga hari. Aku berharap untuk menyaksikan pernikahan adikku satu-satunya. Beri aku tiga hari untuk kembali ke kampungku dan menghadiri upacara pernikahan. Aku pasti akan kembali ke sini sebelum hari ketiga berakhir.”

    “Bodoh.” Sebuah kikikan kering keluar dari mulut sang tiran. “Kebohongan konyol. Apakah seekor burung liar, begitu dilepas, akan kembali ke sarangnya?”

    “Aku akan kembali,” Melos bersikeras, suaranya dipenuhi emosi. “Aku adalah orang yang memegang janjiku. Tiga hari, hanya itu pintaku. Adikku menungguku bahkan sekarang. Tapi, karena kau sangat tidak memercayaiku, baiklah kalau begitu… Di kota ini ada seorang tukang batu bernama Selinuntius. Dia adalah temanku yang tiada bandingannya. Aku akan meninggalkannya di sini sebagai sandera. Kalau aku kabur, kalau saat matahari terbenam pada hari ketiga aku belum kembali, maka kau boleh menggantungnya sebagai penggantiku.”

    Sang raja termenung, dan tersenyum jahat. Kurang ajar makhluk rendah ini. Tentu dia tidak akan kembali. Tapi, barangkali akan menarik kalau pura-pura tertipu dan membiarkannya pergi. Begitu juga bukan suatu yang tidak menyenangkan kalau pada hari ketiga mengeksekusi penggantinya. Menyaksikan penyaliban sandera yang wajahnya penuh duka itu seolah-olah berkata: Lihat dia—bukti bahwa manusia tidak bisa dipercaya. Bukankah itu adalah pelajaran yang tepat untuk umat manusia yang katanya jujur?

    “Baiklah. Panggil sanderanya ke sini. Kau harus kembali ke sini sebelum matahari terbenam pada hari ketiga. Kalau kau terlambat, sandera itu akan mati. Ya, kau dipersilakan untuk datang agak terlambat: kesalahanmu akan diampuni.”

    “Apa! Apa yang kau katakan?”

    “Ha, ha! Terlambatlah, kalau kau masih menyayangi nyawamu. Aku tahu isi hatimu.”

    Melos hanya bisa menghentakkan kakinya geram. Dia merasa tidak perlu lagi berkata-kata.

    Malamnya, Selinuntius dibawa ke kastil. Di situ, di hadapan sang tiran Dionysius, dua sahabat karib itu saling menyapa untuk pertama kalinya sejak dua tahun terakhir. Melos menjelaskan segalanya. Selinuntius mengangguk diam dan memeluknya. Sebab bagi dua sahabat sejati itu sudah cukup. Selinuntius diikat dengan tali. Melos yang bebas segera pergi. Langit awal musim panas bertabur bintang.

    Semalaman Melos berlari, bergegas kembali tiga puluh mil ke kampungnya tanpa istirahat tidur. Dia datang pada keesokan paginya. Matahari sudah tinggi, dan orang kampung mulai bekerja di sawah. Adik Melos mengawasi domba-domba, menggantikannya. Dia terkejut dan sangat khawatir ketika melihatnya berjalan lunglai menujunya, kelelahan, dan dia membanjirinya dengan pertanyaan.

    “Tidak ada apa-apa.” Melos memaksakan senyum. “Aku meninggalkan suatu urusan yang belum tuntas di kota. Aku harus kembali ke sana segera. Lebih baik kita mengadakan pesta pernikahannya besok. Aku yakin kamu tidak akan keberatan untuk mempercepatnya, kan?”

    Pipi adiknya merona.

    “Kamu senang? Aku membelikanmu gaun yang indah. Sekarang pergilah dan kabarkan pada orang kampung. Pernikahannya akan diselenggarakan besok.”

    Begitulah, Melos berjalan lunglai ke dalam rumah. Begitu di sana dia mempersiapkan altar dan menyiapkan meja dan kursi untuk pesta. Tidak lama kemudian selesai dan dia pingsan dan tidur selelap bangkai.

    Hari sudah malam ketika Melos bangun. Dia berdiri dan buru-buru menuju rumah mempelai pria. Dia mendapatinya di rumah dan menjelaskan ada suatu keadaan yang mendesaknya agar pernikahannya diselenggarakan besok. Peternak muda itu terkejut dan protes bahwa terlalu cepat, bahwa dia belum mengurus apa-apa, dan meminta Melos untuk menunggu sampai anggur dituai. Melos bersikeras bahwa tidak mungkin ditunda lagi, bahwa mesti diselenggarakan besok. Mempelai pria itu juga berkeras menolak. Mereka berdebat dan saling membujuk sampai subuh, ketika setelah banyak sanjung puji, Melos akhirnya berhasil membujuk pemuda itu untuk setuju.

    Upacara pernikahan diselenggarakan pada tengah hari. Begitu kedua mempelai mengakhiri sumpah pada para dewa, langit menjadi mendung. Hujan rintik-rintik turun, dan kemudian menjadi deras. Para tamu mengira bahwa ini pertanda buruk, tapi mereka mengabaikannya dan bersuka ria. Segera, meskipun sangat pengap di dalam rumah kecil itu, mereka semua bernyanyi dan bertepuk tangan dengan gembira. Melos juga dipenuhi kebahagiaan dan bahkan bisa melupakan barang sejenak janjinya pada sang raja. Kegembiraan itu makin meningkat begitu malam tiba, dan sekarang para tamu sama sekali mengabaikan hujan di luar. Ah, tinggal selamanya begini, dengan orang-orang baik ini, pikir Melos. Tapi, dia tahu tidak bisa begitu. Hidupnya bukan lagi miliknya sendiri, dan dia menyiapkan mental untuk memantapkan kepulangannya ke Sirakus. Tapi, masih ada cukup waktu sebelum matahari terbenam esok harinya. Dia akan berangkat setelah dia tidur sebentar. Hujan juga mungkin sudah reda nanti, pikirnya. Bahkan orang seperti Melos enggan berpisah dengan orang-orang yang dicintainya, dan tiap waktu tambahan untuk bersantai di rumahnya sendiri menjadi sangat berharga baginya. Dia berjalan menuju mempelai perempuan yang sepanjang pesta duduk kebingungan seolah-olah dirasuki kegembiraan.

    Setelah memberikan ucapan selamat, Melos berkata, “Aku sangat lelah, dan begitu kamu pergi, aku akan tidur. Begitu aku bangun, aku mesti berangkat ke kota. Aku punya urusan penting di sana. Kamu sekarang punya suami yang sayang dan pengertian. Bahkan kalaupun aku meninggal, kamu tidak akan sendirian. Apa yang paling dibenci kakakmu di dunia ini adalah ketidakpercayaan pada orang lain, dan penipuan. Tahu, kan? Kamu dan suamimu jangan pernah saling menyimpan rahasia. Itulah yang ingin kukatakan padamu. Kakakmu ini mungkin seorang lelaki yang berarti. Berbanggalah.”

    Mempelai perempuan hanya mengangguk mengantuk. Melos lalu menoleh pada mempelai pria, menepuk pundaknya, dan berkata, “Kita berdua tidak memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan pernikahan yang pantas. Satu-satunya hartaku adalah adik dan domba-dombaku. Mereka milikmu. Aku hanya meminta ini sebagai balasan—bahwa kau selalu harus bangga menjadi saudara Melos.”

    Mempelai pria, tidak tahu mesti berkata apa, menggenggam-genggamkan tangannya malu-malu. Melos tersenyum dan, membungkuk pelan untuk mengucapkan selamat tinggal pada mereka, meninggalkan perjamuan. Dia menuju kandang domba di luar, tempat dia tidur seperti bangkai.

    Dia bangun keesokan harinya saat subuh. Aduh, Gusti!—dia berpikir sambil berdiri—aku terlambat bangun? Tidak, hari masih dini. Kalau aku berangkat sekarang aku akan tiba dengan masih menyisakan waktu. Hari ini, bagaimanapun caranya, aku harus menunjukkan pada sang raja bahwa manusia bisa, dan akan, memegang janjinya. Lalu, aku akan meniti salib itu sambil tersenyum.

    Tenang, dan sungguh-sungguh, Melos mulai mempersiapkan perjalanannya. Hujan mereda kelihatannya, dan tidak lama kemudian dia selesai mempersiapkan diri, bergegas keluar, dan mulai berlari dengan kecepatan seperti anak panah meluncur.

    Petang ini aku akan dibunuh. Aku berlari untuk menyongsong kematianku. Aku berlari untuk menyelamatkan temanku, yang menantiku sebagai pengganti. Aku berlari untuk memberi hantaman keras pada hati kejam sang raja. Aku tidak punya pilihan kecuali berlari. Dan aku akan dibunuh. Anak muda, kehormatan itu harus dijaga!

    Tidak mudah bagi Melos. Beberapa kali dia hampir terhenti, dan dia mengumpat pada dirinya sambil berlari. Dia meninggalkan kampung, menyeberangi hamparan padang rumput, dan berhasil masuk ke sebuah hutan. Pada saat dia mencapai kampung selanjutnya, hujan berhenti, matahari tinggi, dan hari menjadi panas. Melos mengusap keringat dari keningnya dengan tangan. Sekarang setelah dia mencapai sejauh ini, dia tidak lagi dihantui pikiran tentang rumah dan kampung.

    Adikku dan suaminya akan bahagia bersama. Tidak ada yang membebani pikiranku sekarang. Aku hanya perlu berlari terus ke kastil sang raja. Juga aku tidak perlu terburu-buru. Aku bisa berjalan pelan-pelan dan tetap tepat waktu.

    Melos melambat dan mulai bernyanyi, dengan suaranya yang indah, lagu sederhana yang disukainya. Dia berjalan enam mil, sembilan mil dengan santai. Tapi, ketika hampir setengah jalan sampai ke kota, suatu bencana tidak terduga menghentikannya. Lihatlah! Hujan deras kemarin menyebabkan mata air pegunungan meluap, kali membeludak, air keruh menuruni lereng dan meluap di bantaran sungai, tempat, dengan hantaman keras, arus itu mendebur jembatan, menghancurkannya. Melos berdiri dan menatap tidak percaya. Dia menatap bantaran sungai dan berseru senyaring-nyaringnya; tapi tidak kelihatan ada perahu maupun tukang perahu. Sungai masih meluap, seperti laut mengamuk. Melos rubuh di bantaran sungai, meratap, dan menengadahkan tangannya ke langit.

    “Oh, Zeus, hentikanlah arus menggelora ini! Matahari sudah di puncak. Kalau ketika matahari terbenam aku belum mencapai gerbang kastil, temanku yang setia mesti mati karena aku!”

    Seolah-olah marah atas seruan Melos, air keruh itu meluap dan menggelora lebih dahsyat. Ombak menelan ombak, berolak dan berdebur-debur, dan Melos hanya bisa menyaksikannya sementara waktu terus berjalan. Akhirnya keputusasaannya berubah menjadi keberanian. Dia tidak punya pilihan kecuali mencoba berenang menyeberang.

    “Gusti! Aku berseru padamu untuk menyaksikan kekuatan kasih dan kebenaran yang tidak akan tunduk pada arus deras ini!”

    Melos mencebur ke dalam arus dan memulai upaya terakhirnya mengatasi ombak ganas yang mencambuk dan membelitnya seperti ratusan ular raksasa. Dengan segenap tenaga yang bisa dikerahkannya, dia menyibak jeram yang bergelora dan berolak seperti singa ganas dalam pertempuran. Dan mungkin para dewa, karena melihat tontonan heroik ini, tersentuh untuk memberikan kemurahan hati. Bahkan saat Melos diombang-ambing dan dihanyutkan sepanjang arus deras itu, entah bagaimana dia berhasil mencapai seberang bantaran sungai dan memeluk batang pohon di sana. Dia memanjat, menyibak air dari badannya sambil menggigil, dan segera bergegas. Tidak boleh membuang-buang waktu. Matahari sudah condong ke barat. Napasnya berat dan tersengal-sengal, dia berlari ke jalan gunung. Baru saja dia mencapai puncak dia berhenti untuk mengambil napas, dan ketika itulah, tiba-tiba saja, sekumpulan rampok gunung muncul di jalan di hadapannya.

    “Berhenti.”

    “Apa-apaan ini? Aku harus sudah berada di kastil sang raja sebelum matahari terbenam. Biarkan aku pergi.”

    “Tidak, sampai kami mendapatkan barang berhargamu, tidak akan.”

    “Aku tidak punya apa-apa. Tidak punya apa-apa kecuali nyawaku. Dan hari ini aku mesti menyerahkannya pada sang raja.”

    “Nyawamulah yang kami minta, kalau begitu.”

    “Tunggu. Apakah sang rajalah yang mengutus kalian untuk menghentikanku?”

    Para rampok tidak menjawab, tapi mengayunkan gadanya ke udara. Melos membungkuk sampai menjongkok, melompat ke orang yang paling dekat dengan dia, dan segera menghempaskan gadanya.

    “Aku tidak akan melukai kalian, kecuali demi kebaikan urusanku!” Melos berseru, dan dengan tiga hantaman gada yang penuh tenaga dan liar, tiga rampok tergeletak tak bernyawa. Ketika yang lainnya menggigil ketakutan, Melos kabur dan berlari menuruni jalur gunung.

    Dia mencapai kaki gunung dalam sekali lari, tapi kelelahan mulai menguasainya. Surya tengah hari sekarang bersinar sangat membara menusuk-nusuk wajahnya. Gelombang kepusingan menyapunya, dan lagi dia berusaha mengatasi perasaan itu sampai, setelah sempoyongan dua tiga langkah, lututnya menyerah dan dia ambruk. Dia tidak bisa bangun. Dia tergeletak, meratap.

    Ah, Melos, kamu sudah berhasil sampai sejauh ini. Kamu sudah menyeberangi sungai deras, mengalahkan tiga rampok, dan berlari seperti Hermes. Melos yang jujur dan berani, betapa memalukannya rebah di sini sekarang, terlalu lelah untuk bergerak. Tidak lama lagi temanmu tercinta akan membayar kepercayaannya padamu dengan nyawanya. Oh, orang yang khianat, kalau begitu, bukankah kamu seperti yang dicurigai sang raja?

    Begitulah Melos menggerutu pada dirinya, tapi segala tenaganya lenyap. Dia terkulai di sebelah padang rumput di sebelah jalan, dan tidak bisa bergerak lagi bahkan selataan cacing. Ketika tubuh lelah, jiwa juga melemah. Segalanya tidak penting lagi sekarang, dia berkata pada dirinya sendiri, merajuk bersungut-sungut, sifat yang tidak cocok bagi seorang pahlawan, mulai meruah dalam hatinya.

    Aku sudah berusaha sekuat tenaga. Aku tidak memiliki niat sedikit pun untuk melanggar janjiku. Sebagaimana disaksikan para dewa, aku mencurahkan segenap tenagaku. Aku bukan lelaki yang khianat. Ah, kalau saja aku bisa merobek dada ini sehingga kamu bisa melihat merahnya hatiku, yang urat nadinya adalah cinta dan kebenaran. Tapi, kekuatanku telah habis, jiwaku kelelahan. Terkutuklah nasibku! Namaku akan menjadi bahan olok-olok. Kalau aku gugur sekarang di sini, seolah-olah aku sama sekali tidak melakukan apa-apa. Aku menipu temanku. Segalanya tidak ada yang berarti lagi sekarang. Jadi, apakah ini akan menjadi takdirku? Maafkan aku, Selinuntius. Kamu telah terus mempercayaiku. Bukan juga aku menipumu. Kau dan aku adalah teman baik yang saling jujur. Tidak pernah sekali pun kita melabuhkan awan gelap keraguan dalam dada kita. Bahkan sekarang kau dengan sabar menantikan kembalinya aku. Ah, aku tahu kau menanti. Terima kasih, Selinuntius. Kamu memercayaiku, dan kepercayaan antara teman adalah harta paling berharga dalam hidup. Aku tidak sanggup memikirkannya. Aku sudah berlari, Selinuntius. Aku tidak punya sedikit pun niat untuk menipumu. Tolong percayalah! Aku telah mengatasi sungai deras. Aku telah melarikan diri dari para rampok yang mengepungku, dan berlari menuju kaki gunung tanpa sekali pun berhenti. Siapa lagi selain aku yang bisa bertindak sejauh ini?

    Ah, tapi jangan berharap apa-apa lagi dari aku sekarang. Lupakan aku. Tidak ada lagi yang berarti sekarang. Aku kalah. Orang yang memalukan. Tertawakanlah aku. Sang raja berbisik bahwa aku dipersilakan terlambat. Kalau begitu, dia akan membunuh sanderanya, katanya, dan mengampuni nyawaku. Aku membencinya karena itu. Tapi, sekarang lihatlah aku: bukankah aku sedang melakukan tepat seperti dianjurkannya? Aku akan datang terlambat. Sang raja akan menganggap aku melakukannya dengan sengaja. Dia akan menertawakan aku dan membiarkan aku pergi, seorang lelaki bebas. Itu, bagiku, adalah nasib yang lebih buruk daripada mati. Aku akan dicap sebagai pengkhianat selamanya, aib terbesar manusia. Tidak, Selinuntius, aku juga akan mati. Kau dan kau saja yang percaya bahwa hatiku jujur. Izinkan aku mati bersamamu.

    Tapi, apakah aku berhak? Haruskah aku terus hidup dalam kebusukan dan dosa? Aku memiliki rumah di kampung. Aku memiliki domba-dombaku. Tentu adikku dan suaminya tidak akan mengusirku dari rumahku. Kebajikan, kepercayaan, cinta—bukankah semua itu kata-kata belaka? Kita membunuh orang lain kalau kita mau hidup. Itulah cara kerja dunia. Dan betapa sia-sia segalanya. Aku adalah pengkhianat yang penuh tipu daya dan keji. Apa pun yang kulakukan tidak berarti. Sial!

    Saat Melos terlentang dengan tangan dan kaki menjulur di tanah, kantuk mulai menguasainya. Tapi, kemudian, tiba-tiba saja, suara gemericik terdengar olehnya. Sambil sedikit mengangkat kepalanya, dia menahan napasnya dan mendengar. Suara itu berasal dari suatu tempat yang tak jauh dari situ. Sambil berdiri goyah, dia melihatnya—air bergerobok lamat-lamat dari retakan batu. Aliran air terasa berbisik pada Melos, untuk menggerakkannya, dan dia jongkok di depannya dan minum, menangguk air dengan dua tangannya. Dia menghela napas panjang dan dalam, dan merasa seolah-olah terbangun dari sebuah mimpi. Dia bisa melanjutkan perjalanan. Dia akan melanjutkan perjalanan. Seiring tubuhnya kembali pulih, percikan harapan mulai muncul dalam hatinya. Harapan bahwa dia bisa memenuhi tugasnya. Harapan bahwa dia bisa mempertahankan kehormatannya dengan mati di tangan algojo. Surya merah yang menurun bersinar sangat terang seolah-olah bisa membakar dedaunan dan cabang-cabang pohon.

    Masih ada waktu sampai sebelum matahari terbenam. Ada yang menantikanku. Dengan sabar, tidak pernah meragukanku, dia menantikan kehadiranku kembali. Aku dipercayainya. Hidupku? Tidak ada harganya. Tapi, ini bukan waktu untuk meminta pengampunan lewat kematianku. Aku mesti membuktikan betapa berharganya kepercayaannya. Itulah, untuk sekarang, segalanya. Larilah, Melos!

    Dia memercayaiku. Dia memercayaiku. Bisikan setan itu tadi hanyalah sebuah mimpi. Mimpi buruk. Lenyapkan dari pikiranmu. Orang akan punya mimpi semacam itu kalau tubuhnya kelelahan. Tidak perlu malu karena itu, Melos. Kamu adalah pemberani sejati. Belumkah kamu berdiri, apakah kamu tidak akan berlari kembali? Terpujilah para dewa. Aku bisa mati sebagai manusia bajik. Ah, surya tenggelam. Betapa cepat tenggelamnya! Tunggulah, wahai, Zeus. Aku telah hidup sebagai manusia jujur. Izinkan aku untuk mati dalam keadaan jujur juga.

    Menyibak orang-orang yang berkerumun di jalan, bahkan melontarkan sebagiannya, Melos berlari seperti badai. Dia mengejutkan orang-orang yang bersuka ria bersantap di padang rumput dengan bergegas masa bodoh lewat di tengah-tengah mereka. Menendang anjing-anjing dan melompati kali, dia berlari sepuluh kali lebih cepat dari surya tenggelam. Ketika dia berpapasan dengan sekelompok pejalanlah dia mendengar kata-kata tidak jelas ini: “Orang itu akan disalib sekarang.”

    “Orang itu.” Untuk orang itulah aku berlari. Orang itu tidak boleh mati. Lebih cepat, Melos. Kamu tidak boleh terlambat. Sekaranglah saatnya untuk membuktikan kekuatan cinta dan kebenaran.

    Pakaiannya tanggal saking cepatnya sampai nyaris telanjang—karena penampilan sudah tidak berarti lagi baginya—Melos terus berlari. Dia kesulitan bernapas, dan dua atau tiga kali dia memuntahkan darah. Tapi, lihatlah. Itu dia, kecil di kejauhan, menara-menara Sirakus. Menara-menara itu bersinar di tengah surya tenggelam.

    “Ah, Melos, bukan?” sebuah suara seperti erangan mencapai telinganya bersamaan dengan suara angin.

    “Siapa yang bicara itu?” kata Melos tanpa menghentikan langkah.

    “Namaku Filostratus, Tuan, anak magang temanmu Selinuntius.” Pemuda itu berlari di belakang Melos, berseru. “Anda terlambat, Tuan. Percuma. Anda tidak perlu berlari lagi. Anda tidak bisa menolongnya lagi.”

    “Matahari belum terbenam sepenuhnya.”

    “Bahkan sekarang dia sedang dipersiapkan untuk dieksekusi. Anda terlambat, Tuan. Sial. Kalau saja Anda datang lebih cepat!”

    “Matahari belum terbenam sepenuhnya.” Melos merasa seolah-olah hatinya akan meledak. Matanya terpaku pada surya merah besar di kaki langit di barat sana. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali lari.

    “Cukup, Tuan. Berhentilah, kumohon. Hiduplah yang penting sekarang. Tuanku memercayai Anda. Bahkan ketika mereka menyeretnya ke tempat eksekusi, dia tetap tidak khawatir. Dan ketika sang raja mengejek dan mencemoohnya, yang dia bilang hanya, ‘Melos akan datang.’ Kepercayaannya padamu tidak tergoyahkan sampai detik terakhir.”

    “Itulah kenapa aku harus berlari. Aku berlari karena kesetiaan itu, kepercayaan itu. Tepat waktu atau tidaknya aku bukanlah persoalan. Bukan juga hanya sekadar demi nyawa seorang manusia. Aku berlari karena sesuatu yang lebih besar tak terhingga dan lebih menyeramkan dari kematian. Larilah bersamaku, Filostratus!”

    “Ah, apakah kegilaanlah yang mendorongmu, kalau begitu? Baiklah, Tuan, larilah! Larilah sekuat tenagamu. Barangkali, barangkali saja, masih ada waktu. Larilah!”

    Tidak juga ada yang bisa menghentikannya. Matahari belum sepenuhnya tenggelam. Mengerahkan segenap tenaganya yang terakhir dalam keputusasaan, Melos terus berlari. Tidak ada satu pun pikiran terbersit dalam benaknya. Dia berlari, digerakkan oleh suatu daya besar yang entah apa namanya. Sementara itu, matahari terbenam pelan ke balik kaki langit, dan tepat ketika sorotan cahaya hendak lenyap, Melos yang menunggangi sayap angin merangsek ke tempat eksekusi. Dia berhasil.

    “Tunggu, algojo. Lepaskan orang itu. Melos telah kembali, seperti janjinya.” Dari balik kerumunan yang telah berkumpul, Melos mencoba menyerukan kata-kata itu. Tapi, yang keluar dari tenggorokannya yang kering hanyalah bisikan samar, dan tidak ada satu pun orang di kerumunan itu yang memperhatikan kedatangannya. Salib itu telah ditegakkan di tempatnya, bertengger megah di hadapan kerumunan, dan Selinuntius, terikat dengan tali, sedang dikerek pelan. Melos, dengan ledakan tenaga terakhirnya, berhasil menyibak kerumunan, mirip seperti sebelumnya dia menyibak arus ganas sungai itu.

    “Algojo! Ini aku! Akulah yang mesti dihukum mati. Aku Melos. Melos, yang meninggalkan orang ini sebagai jaminan, berdiri di hadapanmu!” Berupaya keras untuk memperdengarkan suaranya yang kasar, Melos memanjat panggung yang menopang salib itu dan memeluk kaki temannya.

    Kehebohan muncul dari kerumunan. Dari segala penjuru terdengar seruan “Terpujilah!” dan “Bebaskan dia!” Selinuntius dikerek turun ke panggung dan ikatannya dilepaskan.

    “Selinuntius,” kata Melos, matanya berkaca-kaca. “Tampar aku. Hantam aku sekeras mungkin. Sebab sekali, dalam perjalananku ke sini, sebuah mimpi buruk menguasaiku. Kalau kau tidak menghantamku, aku tidak berhak untuk memelukmu. Pukul aku, Selinuntius!”

    Selinuntius kelihatannya paham. Dia mengangguk, dan menghantam pipi kanan Melos dengan gebukan yang suaranya bergema seantero tempat eksekusi. Lalu, dia tersenyum lembut.

    “Melos,” katanya. “Pukul aku. Tampar aku sekeras aku menghantammu tadi. Sekali selama tiga hari terakhir, aku meragukanmu. Hanya sekali, tapi pertama kalinya dalam hidupku. Kalau kau tidak menghantamku, aku tidak bisa memelukmu.”

    Tangan Melos berayun di udara dan menghantam pipi Selinuntius.

    “Terima kasih, kawanku!” Melos dan Selinuntius berucap bersamaan, berpelukan erat, dan menangis terharu.

    Dari kerumunan pun terdengar tangisan. Sang tiran Dionysius melonjak dari kursinya di balik kerumunan, menatap lekat-lekat dua sahabat itu beberapa lama. Lalu, dia berjalan tak bersuara ke tempat mereka berdiri. Wajahnya merona ketika dia bicara.

    “Harapanmu sudah terpenuhi. Kau telah memenangkan hatiku. Kepercayaan di antara manusia bukan sekadar ilusi kosong. Aku juga ingin menjadi temanmu. Katakanlah, kalian akan membiarkan ikatan kasih sayang itu untuk tiga orang.”

    Seruan dan sorak-sorai “Dirgahayu sang raja!” menyeruak dari kerumunan. Dan dari kerumunan yang bersorak-sorai itu, seorang gadis maju menating sebuah jubah merah. Ketika dia menyerahkan jubah itu pada Melos, dia hanya bisa terkejut. Temannya, Selinuntius yang jujur, segera menjelaskan.

    “Lihatlah dirimu, Melos—pakaianmu tanggal sama sekali. Pakailah jubah itu. Gadis cantik ini tidak tahan melihatmu dalam keadaan demikian di hadapan orang-orang.”

    Pipi sang pahlawan menjadi merona.

    (berdasarkan legenda kuno, dan sebuah puisi karya Schiller)

     

    “Run Melos” oleh Osamu Dazai dipublikasikan pertama kali pada 1940 dalam Bahasa Jepang, diterjemahkan dari versi Bahasa Inggris dalam Run Melos and Other Stories (1988) terjemahan Ralph F. McCarthy.
    Osamu Dazai adalah salah satu sastrawan Jepang termahsyur pascaperang. Dikenal sebagai penulis aliran I-Novel (Shishoetsu) dan merupakan bagian dari lingkaran sastra Buraiha. Karya-karyanya sampai sekarang masih banyak dicetak ulang karena dianggap mampu menggambarkan kegelisahan manusia modern. Dia juga banyak menulis karya yang didasarkan pada dongeng Jepang. Karyanya yang paling terkenal adalah Ningen Shikkaku atau No Longer Human (1948) yang pernah diadaptasi menjadi film dan anime.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Kisah Ganjil [O’Henry]

    author = Yanuardhi Mazid

    Di bagian utara Austin tinggal satu keluarga bersahaja bernama Smothers. Keluarga itu terdiri dari John Smothers, isterinya, dirinya sendiri, putri kecil mereka yang berusia lima tahun, beserta orangtuanya, membuat populasi kota itu berjumlah enam orang dalam perhitungan khusus seperti itu, tapi hanya tiga orang jika dalam perhitungan sebenarnya.

    Pada suatu malam, selepas makan malam gadis kecil itu didera sakit perut yang parah, dan John Smothers bergegas ke kota untuk mencari obat.

    Dia tak pernah kembali lagi.

    Gadis kecil itu sembuh dan beranjaknya waktu tumbuh menjadi wanita dewasa.

    Ibunya sangat berduka atas menghilangnya sang suami namun belum genap tiga bulan ia telah menikah lagi lalu pindah ke San Antonio.

    Satu ketika gadis kecil itu pun menikah, selang beberapa tahun bergulir, dia pun dikaruniai seorang putri kecil berusia lima tahun.

    Dia tetap menghuni rumah yang sama tempat mereka tinggal sebelumnya ketika ayahnya pergi dan tak pernah kembali lagi.

    Pada suatu malam karena kebetulan yang  menakjubkan putri kecilnya terserang sakit perut tepat di hari peringatan hilangnya John Smothers, yang semestinya kini menjadi kakeknya bilamana dia masih hidup dan memiliki pekerjaan tetap.

    “Aku akan pergi ke kota dan mencari obat untuknya,” kata John Smith (daripada itu lain-tidak pria itulah yang dinikahinya).

    “Jangan, jangan, John sayang,” seru istrinya. “Kau, pun, mungkin akan menghilang selamanya, dan lupa caranya kembali.”

    Maka John Smith batal pergi, lalu mereka bersama-sama duduk di samping Pansy kecil (perlu diketahui namanya Pansy).

    Selang berlanjut kondisi Pansy kecil tampak semakin buruk, John Smith lagi-lagi berkeinginan untuk mencari obat, tetapi istrinya tidak mengizinkannya.

    Tiba-tiba pintu terbuka, dan seorang laki-laki tua, renta dan bungkuk, dengan rambut putih panjang, memasuki ruangan.

    “Halo, itu dia kakek,” kata Pansy. Dia mengenalinya sebelum yang lain.

    Pria tua itu mengambil sebotol obat dari dalam sakunya lalu memberi Pansy sesendok penuh.

    Dia pulih dengan seketika.

    “Aku sedikit terlambat,”  kata John Smothers, “karena menunggu kereta LRT*.”

    * Dalam teks aslinya O’Henry menulis “as I waited for a street car.” Ini merupakan sindiran untuk perusahaan trem (street car) di Austin, Texas yang pada masa itu pembangunannya mangkrak karena masalah finansial dan teknis. Penerjemah sengaja mengaitkan pada konteks masa kini, melihat pembangunan LRT di Jakarta yang lambat dan hingga kini belum juga beroperasi. Selain itu di masa kini banyak kota-kota besar yang beralih dari trem ke kereta LRT.

    Judul asli cerita ini A Strange Story, merupakan salah satu dari banyak karya O’Henry yang paling populer. Banyak yang mengklasifikasikan cerita ini sebagai anekdot panjang, sebagian menyebutnya cerpen pendek (short short-story). Seperti kebanyakan karya O’Henry, cerita ini juga menyajikan kejutan (twist) di bagian akhir cerita, yang merupakan ciri khasnya.

  • Kereta Hantu [Emmanuel B. Dongala]

    author = Bagus Panuntun

    Ah matahari ! Cahaya matahari sedang silau betul saat aku keluar dari lab. Hari yang terik pada musim panas di New York dengan pohon-pohon, dedaunan hijau, cuaca lembab, juga asap yang membumbung tinggi dari gedung-gedung pencakar langit yang membuat langit nampak muram. Aku sebenarnya punya hasrat konyol untuk berjingkrak-jingkrak dari lab sampai Stasiun Central Park tapi aku tak punya banyak waktu. Kerja. Kereta. Persimpangan jalan. Lampu lalu lintas masih hijau dan aku belum bisa menyeberang. Baris demi baris mobil perlahan-lahan melewatiku. Darah kehidupan mengalir sepanjang arteri makadam. Sinar matahari memantul di kaca depan sebuah mobil dan membuatku silau. Ah, kalau saja aku punya kacamata hitam seperti para penjaga bioskop. O.K kids, hands up! Para polisi nampak begitu menggelikan dengan tongkat lalinnya. Seorang pria kekar dari Irlandia terus mengunyah permen karet. Lampu merah. Dan aku mulai menyeberang. Loket stasiun. Antrian mengular seperti yang biasa terjadi pada jam-jam sibuk. Seorang perempuan tua di depanku mengeluarkan beberapa keping receh dari sakunya dan salah satunya jatuh. Ia nampak sedih melihat koinnya menggelinding dan lenyap di antara kaki-kaki orang. Aku tersenyum. Kini giliranku. Petugas loket langsung meminta 2 keping 10 sen tanpa senyum sedikitpun. Aku membalas sifat tak acuhnya dengan lewat begitu saja tanpa berterima kasih. Aku turun tangga dan mengikuti petunjuk arah menuju pusat stasiun. Semakin turun, keadaan semakin gelap. Aku sempat berhenti beberapa kali supaya mataku terbiasa dengan gelap ini. Dari kejauhan, terdengar suara gemuruh kereta yang entah sedang menuju kemana. Akhirnya aku tiba juga di peron. Ada tiga bangku dan dua gadis sedang duduk di salah satu bangku tersebut. Dengan sengaja aku duduk tepat di sebelah gadis rambut pirang yang paling cantik; dia cuek. Aku pun pindah ke bangku sebelahnya, mengambil jarak dan menatapnya sejenak lalu berusaha melempar senyumku yang paling manis. Sia-sia! Demi apapun aku tak suka orang blonde, aku lebih suka orang brunette! Sudahlah. Stasiun nampak dekil: puntung rokok, kertas-kertas koran, tutup dan botol bir, semua berserakan. Aku melihat sekeliling dan membaca sebuah peringatan di dinding “Dilarang Meludah”. Mendadak aku langsung ingin meludahi tulisan itu. Sebuah mesin minuman kaleng memajang tulisan “Mau gaul? Minum coke !” Hmm. Tak terasa stasiun menjadi penuh sesak. Seorang perempuan usia 80 atau 90-an berdiri tepat di depanku. Tubuh bungkuknya yang disangga tongkat nampak begitu lelah dan ringkih. Ia menyeringai padaku dengan gigi yang mulus ompong. Betul-betul mengerikan! Aku bangkit dari tempat duduk dan menawarkan tempatku pada seorang gadis pirang nan cantik yang berdiri persis di sebelah nenek tua tadi. Aku sungguh suka cewek, terutama cewek blonde. Awalnya ia menolak namun akhirnya ia mau juga. Oh perempuan, tak pernah “iya” pada saat pertama. La donna è mobile! (Perempuan sungguh membingungkan!). Aku kembali memandang sekeliling dan memperhatikan dinding-dinding sepanjang stasiun. Dimana-mana ada reklame dan grafiti. Mataku rabun sehingga tak bisa membaca tulisan-tulisan itu dengan jelas; aku mendekat dan membaca salah satunya “Mending jadi komunis daripada nikah!”. Lucu. Aku mulai lelah, bosan, dan jengkel. Aku kembali mendekat ke arah bangku namun secara tak sengaja sepatuku menginjak permen karet dan aku hampir terjungkal. Kugosok-gosokkan sepatuku ke lantai tapi permen karet ini tak mau lepas. Menjijikkan. Aku kembali ke dekat bangku. Cewek pirang yang tadi menoleh ke arahku; aku tersenyum padanya. Ia bergeming. Dia sudah lupa aku?!? Sungguh, aku benci perempuan, terutama perempuan blonde! Tepat di saat itu, seseorang bertanya padaku, “Eh bung, kereta ini ke arah mana ya?” “Ke Neraka bos,” jawabku. Ia jengkel dan mengumpat. Bajingan. Masa bodo lah, pikirku.

    Sekarang stasiun benar-benar penuh. Gerah sekali. Ternyata segerah ini musim panas di New York. Aku kembali berjalan dengan kedua tangan kumasukkan ke dalam saku. Sebuah kaleng coke kosong tergeletak di depanku. Aku menyepaknya sekencang-kencangnya. Kaleng itu berkelontangan. Saat itulah orang-orang menoleh ke arahku, memperhatikanku: akhirnya aku ada! Orang-orang aneh, entah yang berkacamata, entah yang tidak. Tak ada yang kukenal, dan sebenarnya aku tak peduli juga. Biarkan aku menyukai orang-orang, kebebasan, demokrasi, sosialisme, keadilan, dan sebagainya, dan  sebagainya. Oke, aku akan pergi menuju mesin coke dan aku siap menjadi gaul. Mereka kembali melihatku. Aku benar-benar suka orang New York, mereka memang jempolan, aku bahkan bersedia mampus demi mereka. Aku mengambil sekeping koin 10 sen dan memasukannya ke lubang mesin kemudian memencet tombolnya. Sebuah paper cup terlepas dan mulai terisi dengan coke. Sial, kereta! Aku langsung tergesa dan meninggalkan coke-ku begitu saja. Orang gaul berikutnya akan dapat minuman gratis! Ada barang gratis di Amerika! Sebentar lagi seseorang akan berpikir dunia ini penuh menakjubkan! Pintu kereta terbuka. Kereta yang tadinya lengang mendadak penuh sesak. Kami berdesakan dengan kacau, saling tendang, saling sikat, saling sikut. Voilà, beginilah orang New York dan aku benci sekali pada mereka! Mereka selalu berebut tempat untuk kepentingannya sendiri. Pintu kereta tertutup. Berangkat. Kereta tiba-tiba menghentak dan membuatku terlempar ke belakang dan orang-orang di depanku ikut jatuh menindihku. Sembari berusaha menemukan lagi keseimbangan aku berpapas muka dengan seorang perempuan (lagi-lagi) blonde. Aku mengernyitkan dahi tanpa tersenyum padanya. Aku mendekat, mencuri kesempatan sebisa mungkin untuk menyenggol teteknya yang menyembul. Goncangan kereta lagi-lagi membuatku terlempar mundur dan saat aku kembali ke posisi tadi, tiba-tiba sudah ada seseorang di antara kami. Ah, selalu saja ada sesuatu atau seseorang di antara kita dan hal yang paling kita sukai di dunia. “C’est la vie”, “beginilah hidup”, kata orang Prancis. Seseorang menghujamkan sikunya ke jidatku, sedang yang lain menjotos lambungku. Seorang tentara meremukkan jempol kakiku dengan pantofelnya. Aku menatapnya tajam dengan murka: ia berbisik minta maaf namun nampak sekadar basa-basi. Jagoan di depanku mencoba membaca koran. Oh, maha akrobat! Orang-orang mendorong, memepet, menyikutnya, namun ia tak peduli dan tetap membaca. Seorang perempuan paruh baya gendut ngorok di tempat duduknya dengan mulut melompong; tubuhnya berpeluh keringat. Aku benar-benar benci perempuan gendut, terutama yang tidur di métro dengan mulut melompong. Aku makin merasa gerah. Lelaki di depanku berbau busuk dan seisi dunia mendadak jadi ikut busuk. Aku berbalik, mengamankan hidungku ke arah lain. Kini aku bertatap muka dengan seorang lelaki berwajah mengesankan. Seorang badut. Ia pasti seorang aktor atau pelawak atau apalah. Keringat mengalir di dahi, pipi, dan mulutnya dan melelehkan make up, mascara, cat merah, cat hijau, dan cat putihnya. Wajahnya yang warna-warni terasa benar-benar ganjil. Seperti apa wajah aslinya? Aku hanya melihat bulu matanya; Kedua sayap hidungnya kembang kempis butuh udara. Apa dia akan mati lemas? Ia menatapku, aku bergidik melihat topengnya. Topeng kematian. Ia menginginkanku. Tapi aku masih mau hidup. Keringatku mengalir deras dan semakin deras. Bunyi rel menderit, lampu kereta mati, hidup lagi, mati lagi. Topeng itu kembali menatapku tajam seolah ingin menyeret, menyerapku dalam ketiadaan. Aku mencoba memejamkan mata, tidak, aku tidak bisa  melihat lagi. Kereta ini berputar, aku ketakutan, kereta ini cepat sekali, ini kereta hantu, ia tak berhenti, tak mau berhenti, terus turun dalam lingkaran, berputar, berputar, berputar…

    Judul Asli: Mon Métro Phantôme

    Penulis: Emmanuel B Dongala

    Bahasa sumber: Prancis

    Buku sumber: Kumpulan Cerpen Jazz et vin de palme

    Emmanuel Boundzéki Dongala, lahir 14 Juli 1941, adalah seorang Profesor kimia cum sastrawan Kongo. Cerpen Mon Métro Phantôme menggambarkan alienasi yang dialami imigran kulit hitam di Amerika di tengah arus modernisasi dan stereotip yang melekat padanya. Cerpen yang diceritakan dengan gaya orang mengoceh ini terdapat dalam kumpulan cerpen Jazz et Vin de Palme (1982) yang terbit ketika Kongo masih menganut Marxist-Leninist otoritarian dan sempat dilarang di negaranya karena isinya yang satir dan penuh olok-olok pada negara tersebut.

    Sumber:

    Dongala, Emmanuel Boundzeki. 1982. Jazz et Vin de Palme. Paris: Hatier

    Thomas, Dominic. 2002. Nation-Building, Propaganda, and Litterature in Francophone Africa. Indiana University Press

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Kelas Terakhir [Alphonse Daudet]

    author = Andreas Nova

    Aku sangat terlambat ke sekolah pagi itu, dan sangat takut dimarahi, terutama karena Pak Hamel telah mengatakan kepada kami bahwa ia akan menguji kami tentang partisipel, dan aku sama sekali tidak tahu tentang itu. Sesaat kupikir lebih baik membolos dan berkeliaran di ladang.

    Hari ini cuacanya hangat, sangat cerah.

    Burung-burung hitam bersiulan di tepian hutan dan padang rumput, di belakang penggergajian, tempat tentara-tentara Prusia tengah berlatih. Semua itu sangat menggodaku untuk membolos daripada mengikuti pelajaran mengenai partisipel. Tapi, aku sudah bertekad, maka cepat-cepat aku berlari menuju sekolah.

    Saat melewati kantor kepala desa, aku melihat orang-orang berkerumun di depan papan pengumuman. Selama dua tahun ini, semua kabar buruk ada di situ mulai dari berita kekalahan perang, tuntutan-tuntutan, sampai perintah-perintah dari pusat; aku tak menghentikan langkahku sembari membatin,

    “Kali ini apa lagi?”

    Lalu, saat aku berlari di alun-alun, Wachter, si pandai besi yang berdiri di sana dengan muridnya, membaca pengumuman itu lalu berseru padaku,

    “Jangan buru-buru begitu, Nak. Kau akan segera sampai di sekolah!”

    Aku pikir ia mengolokku dan aku pun masuk dengan terengah-engah ke halaman sempit rumah Pak Hamel.

    Biasanya, di awal kelas, suara ramai bisa terdengar sampai ke jalan, suara meja dibuka dan ditutup, suara pelajaran diulang-ulang berbarengan, sangat keras, tangan kami pun menutup telinga supaya pelajaran bisa masuk lebih baik, dan Pak Guru memukul-mukul meja—dengan penggaris besar— sambil berteriak:

    “Diam sedikit!”

    Kuharap dengan kebisingan itu aku dapat menyelinap ke bangku tanpa diketahui; tapi tak seperti biasanya, hari itu sangat tenang, seperti layaknya Minggu pagi. Lewat jendela yang terbuka aku melihat teman-temanku sudah duduk rapi di bangku mereka, dan Pak Hamel berjalan bolak-balik, menggamit penggaris besi yang menakutkan itu. Aku terpaksa membuka pintu perlahan dan masuk di tengah-tengah suasana hening. Bayangkan betapa takut dan merahnya mukaku.

    Tapi tidak! Pak Hamel menatapku tanpa marah dan berkata lembut, “Segera duduk, Franz; kami hampir mulai tanpamu.”

    Aku melangkah ke bangku yang biasa kududuki. Sementara menenangkan jantung yang masih berdebar ini, aku melihat Pak Guru mengenakan mantel halus berwarna hijau, kerah jabot yang terlipat rapi, dan pet sutra hitam bersulam yang hanya ia kenakan saat ada inspeksi dari pusat atau pada hari pemberian hadiah. Suasana kelas masih terasa lain dari biasa dan sangat khidmat. Tapi yang membuatku terkejut adalah ketika melihat di bagian belakang, di bangku-bangku yang biasanya kosong, orang-orang desa duduk dan berdiam seperti kami. Pak tua Hauser dengan topi bajak lautnya, mantan kepala desa, mantan
    tukang pos, dan kemudian orang-orang lainnya. Semuanya nampak sedih, dan Hauser membawa buku abjad tua yang tercabik ujungnya, ia buka lebar di atas lutut, dengan kacamata tebalnya yang diletakkan di halaman buku.

    Sementara aku masih bertanya-tanya, Pak Hamel telah naik ke mimbarnya, dengan nada lembut dan serius seperti saat tadi menyambutku, ia berkata kepada kami.

    “Anak-anakku, ini adalah kelas kita yang terakhir. Perintah dari Berlin melarang untuk mengajarkan bahasa selain Bahasa Jerman di sekolah wilayah Alsace dan Lorraine. Guru baru akan tiba besok. Hari ini adalah pelajaran Bahasa Prancis terakhir kalian. Saya mohon kalian perhatikan dengan sungguh-sungguh.”

    Kata-katanya itu membuat hatiku remuk. Ah! Orang-orang sialan itu, rupanya itu yang mereka umumkan di papan pengumuman.

    Pelajaran Bahasa Prancis terakhirku!

    Dan aku belum terlalu bisa menulis! Jadi, aku tidak akan pernah mempelajarinya lagi. Aku terpaksa berhenti begitu saja. Sekarang aku menyalahkan diriku, mengingat waktu yang terbuang begitu saja. Membolos hanya untuk mencari sarang burung, atau meluncur di sungai Saar. Buku-buku milikku yang dulu terasa membosankan, terasa berat untuk dibawa, tetapi sekarang buku tata bahasa dan sejarah para orang kudus nampak seperti sahabat lama dan terasa sangat menyedihkan jika aku berpisah dengan mereka. Seperti Pak Hamel. Mengingat beliau akan pergi, dan aku tidak akan dapat bertemu dengannya lagi membuatku lupa akan hukuman berupa pukulan-pukulan penggarisnya yang pernah aku terima.
    Sungguh kasihan beliau! Untuk menghormati kelas terakhir ini, beliau mengenakan pakaian terbaiknya dan sekarang aku mengerti mengapa para tetua desa datang dan duduk di belakang, Mereka juga berharap dapat datang lebih sering ke sekolah. Itu juga salah satu cara berterima kasih terhadap guru kami yang telah mengabdi dengan setia selama empat puluh tahun, dan memberikan penghormatan kepada tanah air yang sudah hilang.

    Aku sedang dalam lamunanku saat namaku dipanggil. Rupanya giliranku untuk membaca. Apa pun akan kulakukan untuk dapat menyebutkan aturan-aturan partisipel —yang sangat kubenci itu— dengan lantang dan jelas tanpa kesalahan? Tapi baru akan berucap saja aku salah, aku bertumpu ke bangkuku, menunduk takut. Aku mendengar Pak Hamel berkata,

    “Aku tidak akan memarahimu, Franz. Kamu sudah cukup dihukum. Itulah keadaannya. Tiap hari kita bilang pada diri sendiri. ‘Ah! Masih banyak waktu, besok saja aku belajarnya’. Dan sekarang kamu lihat yang terjadi. Ah! Sungguh kerugian besar bagi masyarakat Alsace yang selalu menunda belajar untuk esok hari. Sekarang orang-orang bisa saja berkata kepada kita ‘Apa?! Kamu mengaku orang Prancis tapi kamu tidak bisa membaca dan menulis dalam bahasamu! Namun dalam hal itu, Franz, kamu bukan orang yang paling bersalah. Kita semua punya kesalahan yang pantas dipertanggungjawabkan. Bapak dan ibumu tidak memberi perhatian yang cukup untuk memastikanmu mendapat pendidikan yang layak. Mereka lebih suka menyuruhmu bekerja di ladang atau menenun untuk mendapatkan uang yang cuma sedikit. Saya sendiri, apakah saya memiliki kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan? Bukankah aku sering menyuruhmu menyirami tanaman di kebunku padahal kamu seharusnya belajar? Dan jika aku mau pergi memancing ikan forel apakah aku keberatan meliburkanmu?”

    Jadi, dari satu hal ke hal lain, Pak Hamel mulai berbicara tentang Bahasa Prancis dan mengatakan bahasa ini adalah bahasa yang paling indah di dunia, yang paling jelas, paling logis. Kami harus menguasainya dan jangan sampai melupakannya. Karena apabila sebuah bangsa menjadi budak, selama ia menguasai bahasanya, mereka menguasai kunci kemerdekaannya . Lalu ia mengambil buku tata bahasa dan menyampaikan pelajaran pada kami. Aku heran karena aku seolah sangat mudah memahaminya. Semua yang beliau ajarkan nampak mudah dan mudah. Kupikir belum pernah aku bersungguh-sungguh dalam
    belajar dan beliau juga belum pernah mengajar sesabar ini. Nampaknya sebelum beliau pergi, Pak Guru yang malang ini hendak menjejalkan seluruh ilmunya sekaligus ke otak kami.

    Pelajaran selesai, kami berganti belajar menulis. Untuk hari ini, Pak Hamel telah menyiapkan contoh-contoh baru, yang ditulis dalam tulisan rapi berbentuk bulat: Prancis, Alsace, Prancis, Alsace. Contoh-contoh tulisan itu tergantung di meja kami seperti bendera-bendera kecil yang berkibar di sekeliling kelas. Semua murid menulis dalam keadaan yang hening. Tidak ada suara lain kecuali goresan pena di atas kertas. Kemudian ada beberapa kumbang masuk, tetapi tidak ada yang peduli. Termasuk anak-anak yang
    sedang berusaha belajar menulis dengan hati-hati, seolah hal itu adalah bagian dari belajar Bahasa Prancis. Di atas atap, burung-burung merpati sayup-sayup bernyanyi, mendengar itu aku berpikir.

    “Apakah mereka akan dipaksa bernyanyi dalam Bahasa Jerman?”

    Ketika kualihkan pandangan dari halaman bukuku, aku melihat Pak Hamel berdiri di mimbarnya sembari menatap benda-benda di sekelilingnya, seolah ia ingin merekam seluruh isi bangunan ini dalam ingatannya. Coba pikir! Selama empatpuluh tahun, beliau berada di tempat yang sama, dengan halaman sekolah di depannya, dan kelas yang sama juga. Hanya bangku-bangku dan meja-meja telah digosok dan dipoles karena sering digunakan. Pohon-pohon kenari di halaman sekolah telah tumbuh besar, juga tanaman hop yang beliau tanam sendiri telah menghiasi jendela-jendela hingga ke atap. Betapa sedihnya
    Pak Guru yang malang itu harus meninggalkan itu semua, mendengar kakaknya bolak-balik di kamar atas sambil mengemas pakaian-pakaian mereka! Karena mereka akan pergi besok, meninggalkan tempat ini untuk selamanya.

    Walau bagaimanapun, beliau memiliki keberanian untuk mengajar kelas ini sampai selesai. Sesudah menulis, kami belajar sejarah, kemudian, murid-murid kecil bernyanyi bersama BA BI BU BE BO. Di sana, di belakang kelas, Pak Tua Hauser telah mengenakan kacamatanya dan sembari memegang erat buku abjad dengan kedua tangannya, ia mengeja abjad bersama-sama mereka. Beliau berusaha keras. Suaranya menggelegar penuh emosi, dan menggelikan bagi yang lain, kami semua seolah ingin tertawa dan menangis sekaligus. Ah!

    Aku tidak akan melupakan kelas terakhir ini.

    Tiba-tiba jam gereja menunjukkan pukul dua belas, disambut lonceng yang menandakan waktu doa Malaikat Tuhan. Hampir bersamaan, terompet-terompet tentara Prusia yang sedang pulang dari latihan terdengar lantang menggetarkan jendela. Pak Hamel berdiri di mimbarnya, mukanya pucat. Rasa-rasanya beliau belum pernah nampak setinggi ini.
    “Kawan-kawan,” katanya, “Saya… saya…”

    Ada sesuatu yang seolah mencekiknya. Beliau tidak menghabiskan kalimatnya. Kemudian beliau berpaling ke papan tulis, mengambil sebatang kapur dan menekannya dengan kuat, beliau menulis sebesar mungkin:
    “HIDUP BANGSA PRANCIS!”

    Kemudian ia berdiri di situ, menyandarkan kepalanya ke dinding dan tanpa bersuara, dengan tangannya ia memberi isyarat pada kami.

    “Sudah selesai, pergilah.”

     

    “La Derniere Classe” (The Last Class) adalah sebuah cerita pendek karya penulis Prancis
    Alphonse Daudet (1840-1897) diterbitkan sebagai bagian dari Les Contes du Lundi (1873).
    naskah asli Bahasa Prancis

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Andreas Nova
    Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
    Sarjana Sastra dengan susah payah.