Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Membaca Tipu Daya Kitab Kritik Sastra Maman S. Mahayana

author = Afid Baroroh

Tahun 2015 sampai ke tahun 2017 sebenarnya hanya membutuhkan waktu dua tahun untuk bisa dikatakan ganjil, meski kedua tahun tersebut memang sudah ganjil. Namun, tepat di tahun ini saya rasa keganjilan itu makin menjadi saja ketika membaca Kitab Kritik Sastra karya Maman S. Mahayana. Kitab tersebut terbit tahun 2015. Saya baru membacanya ulang di tahun 2017. Tahun yang sama-sama ganjil.  

Sebagian pembaca mungkin akan bertanya-tanya apa keunggulan dari kitab ini? Silakan. Apabila pembaca berpegang teguh pada kitab tersebut, mulailah dengan membaca pada bagian sampul belakang—sudah tertulis secara pragmatis untuk membobol kantong (calon) pembaca agar segera membelinya, dan dimiliki layaknya al-kitab sebagai pedoman. Ditambah lagi, dalam kitab yang ditulis Mahayana ada bahasan mengenai “Langkah Menuju (Praktik) Kritik Sastra: Sembilan Langkah Mangkus dan Satu Jurus Pamungkas!”. Khasiat-khasiat yang terkandung di dalamnya perlu dibagikan secara cuma-cuma, sebab Naveau dalam Kata Pengantar di buku Mahayana mengatakan bahwa, “Sudah waktunya pembaca coba membuka buku Mahayana.” Hasilnya? Bagi saya pribadi, sembilan langkah dan satu jurus pamungkas itu mampu membentuk pembaca seperti saya (mahasiswa biasa) terkatung-katung dalam tipu daya. Bahaya, jika saya mengkonsumsi kitab ini hanya seorang diri. Saya perlu membagikannya agar tidak disebut sesat atau salah kaprah seperti yang dikatakan Mahayana (2015: xi).

Mahayana mengatakan pandangan keliru itu berdasarkan pada hakekat dan fungsi kritik sastra yang hanya berada dalam wilayah sakral dunia akademik. Atas dasar itu, Mahayana mengklasifikasikan jenis kritik sastra menjadi dua: ilmiah dan umum. Adapun yang dimaksud kritik sastra ilmiah adalah kritik yang biasanya hadir dalam penelitian sastra, seperti yang dilakukan oleh para akademisi sastra. Berbeda dengan kritik sastra ilmiah, kritik sastra umum dituliskan dengan media yang digunakan, bisa berupa majalah, surat kabar, dsb., selama itu difungsikan untuk masyarakat berbagai kalangan dengan latar belakang pendidikan yang beraneka ragam. Kritik sastra umum tidak hanya dituliskan bagi kalangan akademisi, tetapi masyarakat luas juga dapat menulis kritik sastra.

Klasifikasi ini ditunjukkan agar tidak ada lagi anggapan bahwa kritik sastra dianggap sakral hanya untuk kalangan akademikus saja. Saya pribadi tidak berkehendak menggolongkannya pada dua klasifikasi itu, sebab mengklasifikasikan jenis kritik sastra sungguh membutuhkan tanggung jawab yang cukup berani di dalamnya. Oleh karenanya, saya hanya berintensi untuk melihat tanggung jawab yang barangkali tercermin di dalam Kitab Kritik Sastra yang ditulis oleh Mahayana. Tanggung jawab inilah yang akan terus diuji dalam bayang-bayang tipu daya.

***

Layaknya sebuah kitab, Kitab Kritik Sastra sarat dengan ajaran-ajaran tertentu. Mahayana menunjukkan hal itu dengan sembilan langkah mangkus dan satu jurus pamungkas. Sakti! Walaupun tidak ada yang menjamin jurus pamungkas itu berhasil atau tidak, yang jelas kata “sakti” cukup untuk menyandingkan sembilan langkah dan satu jurus yang ada pada Kitab Kritik Sastra, sebagai bentuk apresiasi. Akan tetapi, hal pertama yang harus saya lakukan sebelum menjadi orang sakti adalah menyelamatkan diri saya (dan juga pembacaan kritik sastra saya) terlebih dahulu dari tipu daya yang bekerja di dalam kitab tersebut.

Dengan cara apa? Saya akan berusaha menuliskan kembali sembilan langkah mangkus dan satu jurus pamungkas itu dengan cara yang lain. Mengapa demikian? Sebab, menurut Mahayana,  “Pertanyaan klasik yang acap dilontarkan beberapa mahasiswa, guru, dan teman-teman sastrawan atau mereka yang ingin menulis kritik sastra di antaranya adalah bagaimana cara menulis kritik sastra? Apa yang mesti ditulis dan bagaimana saja yang perlu dijadikan sasaran kritik? Lalu, bagaimana pula cara melakukan penilaian atas sebuah karya, dan seterusnya, dan seterusnya …” (2015: xxxi). Pertanyaan itu juga mungkin akan hadir dalam tulisan ini. Meski entah mau sampai kapan “dan seterusnya” itu hadir, tapi patutlah diapresisasi sembilan langkah mangkus dan satu jurus pamungkas yang berusaha ditulis oleh Mahayana sebagai jawaban atas pertanyaan yang selalu hadir di pergaulan sastra mereka. Dan, saya menuliskannya dengan cara yang lain. Mari membaca.

 

Pertama: Membaca Tuntas Karya Sastra

Mahayana, menganjurkan pembacaan karya sastra secara tuntas. Seperti yang dikatakannya dengan lugas, “Bagaimana mungkin dapat melakukan kritik sastra tanpa membaca bahan yang hendak dikritiknya?” Maka, membaca karya sastra secara tuntas adalah hal yang diutamakan dalam pembacaan pertama. Memang membaca karya secara tuntas merupakan tonggak utama dalam menulis kritik sastra, akan tetapi, apakah pembacaan tersebut hanya bersifat konstruktif? Bagi Mahayana, pembacaan secara konstruktif itu diperlukan untuk keberlangsungan apresiasi sastra. Kritik sastra adalah apresiasi atas satu (atau beberapa) karya sastra (2015: xxxii).

Konstruktivitas tersebut dikedepankan oleh Mahayana dengan menunjukkan kritik sastra yang objektif, dengan tidak menunjukkan kritik hanya sekadar suka atau tidak suka. Mahayana juga mengatakan bahwa membaca karya sastra sebagai bahan tulisan kritik adalah menjauhkan dari pemberhalaan pada teori-teori sastra. Pengetahuan dan pemahaman pada sejumlah teori sastra tentu saja sangat penting, namun memberhalakan teori itu secara berlebihan dan menempatkan diri sebagai penganut teguh yang penuh dengan ke-taklid-an sungguh tidak elok.

Elok (tidak elok) dan memberhalakan teori (atau pun tidak) sama saja sebagai tipu daya konstruktif dalam kritik sastra. Sebenarnya tidak ada yang keliru dari kerja kritik sastra yang konstruktif. Tapi, sejauh manakah konstruksi yang hendak dibangun dalam kritik sastra pada pembacaan pertama adalah hal yang patut diragukan bagi sebuah pembacaan kritik sastra. Jangan biarkan pembacaan dalam kritik sastra dikoyak-koyak ke-ngawur-an yang entah di mana ia bertumpu, dan kemana ia bekerja sebagai kritik sastra. Bagi Mahayana, dalam pembacaan pertama dianjurkan untuk, “(Mem)biarkan proses pembacaan karya sastra berlangsung alamiah, mengalir wajar.” Alamiah? Mengalir wajar?

Jika demikian adanya, apa objektivitas kritik sastra yang dimaksud? Bagi Mahayana, cukup hanya menanggalkan prasangka suka atau tidak suka. Apakah itu cukup utuk menunjukkan keobjektifan dalam pembacaan karya yang akan menciptakan penulisan kritik sastra?

Sastra adalah milik bahasa. Jika kita masih bertumpu pada Kitab Kritik Sastra Mahayana, seharusnya pembacaan karya sastra tidak untuk mengkonstruksi pengarang ataupun karyanya secara berlebihan untuk menunjukkan “kelebihannya” semata. Terlebih lagi konstruksi dalam elaborasi para kritikus sastra. Jika hal ini terjadi, maka karya dan kritik sastra tidak dialogis terhadap pembaca lainnya. Dengan kata lain, kritik sastra hanya dipekerjakan untuk tipu daya kritis sebagai bentuk konstruksi yang bersandar pada satu titik tumpu saja.

Mengenai muatan karya yang terkandung, keunikan, dan segala bentuk tema-tema permasalahan yang diangkat di dalamnya, cukuplah ditangguhkan terlebih dahulu untuk menandainya. Hal itu dilakukan untuk menunjukkan apa yang-lain dalam kerja pengarang, karya dan kritikus yang tidak mungkin dapat dilepaskan dari konteksnya. Di sinilah tanggung jawab kritik bagi pembaca sekelas mahasiswa seperti saya yang akan menuliskan kritik sastra. Pembacaan tidak hanya sekadar bertujuan mengkonstruksi karya, tapi menguji konstruksi apa di dalamnya sekaligus.

Dengan demikian pembacaan pertama seharusnya adalah “melipat-gandakan” pembacaan secara menyeluruh dengan mencermati apa yang seharusnya hadir, dan apa yang senyatanya hadir dan tidak dihadirkan. Apa yang memungkinkan untuk terjalinnya makna secara tekstual dan apa yang mengingkari maknanya ketika konteks dan referens di dalam karya terbuka sebagai suatu pembacaan kritik sastra.

Mengapa melibatkan konteks dan referens? Konteks untuk menunjukkan kondisi teks, yang melibatkan pengarang di dalamnya. Kondisi ini juga melingkupi pada apa yang terkandung di dalam teks. Konteks memungkinkan untuk adanya jalinan yang menggunakan pelbagai referens di dalamnya. Referens yang sebagai teks dan (teks di dalam) konteks merupakan pondasi kuat untuk terciptanya makna yang diusung dalam sebuah karya, bahkan sampai pada teks kritik sastra.

Bagaimana cara mengetahui hal itu? Tentu tidak hanya dengan mengasingkan perasaan suka atau tidak suka untuk menunjukkan keobjektifan kritik sastra, atau yang hanya sekadar apresiasi sastra yang bersifat konstruktif—betapa pun hal ini dibiarkan begitu saja mengalir pada proses pembacaan pertama seperti yang dikatakan Mahayana, sehingga efek dari pada itu adalah terjadi hingar. Mahayana menyebut hingar (noise), pembacaan terhadap karya tidak dapat masuk-menyatu dalam dunia yang digambarkan teks sastra.

Oleh karenaya, cara mengetahui terjadinya konteks dan referens di dalam teks itu dengan menggunakan wawasan dan pengetahuan terhadap teks, referens dan konteks. Pada titik ini, pendekatan dari teori tertentu digunakan untuk mendapatkan hal tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari tipu daya kritik dengan melakukan objektivikasi secara kompeten sejak dalam pembacaan; pembacaan yang mampu membuat jarak antara pengarang dan karyanya dan pembacaan yang mampu menciptakan sistem yang heterogen. Ini memungkinkan untuk melakukan pembacaan pertama dengan terus melibatkan diri pada konteks dan referens di dalam teks untuk menelisik konstruksi makna.

 

Kedua: Menanggulangi Miskomunikasi

Sebenarnya, tidak harus kiranya menanggulangi miskomunikasi jika dalam pembacaan pertama si pembaca sudah disiplin. Pendisiplinan diri dalam pembacaan karya dapat dilakukan dengan tidak membiarkan proses pembacaan mengalir begitu saja tanpa arah, tanpa basis pengetahuan kritik sastra dan pengetahuan mengenai referens dan konteks yang terkandung di dalam karya.

Miskomunikasi atau hingar itu terjadi ketika langkah kedua mungkas Mahayana tidak memiliki basis kritik sastra yang jelas. Alih-alih berusaha menegaskan dalam penelitian yang berbentuk ilmiah untuk tidak memberhalakan teori, atau berusaha mengobjektifkan suatu pembacaan untuk karya sastra. Memang hal itu diperlukan, akan tetapi dengan membiarkan pembacaan karya sastra tanpa basis kritik sastra merupakan kecelakaan yang sengaja dibentuk dalam konstruksi pembacaan karya. Kecelakaan ini berimplikasi pada minimnya wawasan di dalam diri si pembaca untuk mengetahui konteks dan referens di dalamnya.

Apabila hal itu secara sengaja tetap dibiarkan “tertulis” dalam Kitab Kritik Sastra, tidak heran rasanya apabila Mahayana terlalu menyudutkan bahasa, metafora dan makna-makna yang diciptakan oleh pengarang sebagai problem dari miskomunikasi di dalam pembacaan. Pembaca seolah-olah tidak mampu berhadapan dengan puisi yang syarat dengan permainan metafora dan sarana puitika di dalamnya; tidak mampu berhadapan dengan dunia absurd di dalam karya-karya Iwan Simatupang, Danarto, Putu Wijaya dan Budi Darma.

Menanggulangi hal itu, Mahayana menganjurkan untuk meninggalkan kesadaran kita tentang prinsip logika formal, hukum kausalitas, dan peristiwa faktual yang lazim untuk ditinggalkan. Sebagai gantinya, langkah utama yang perlu ditempuh adalah, “Baca saja dulu kalimat demi kalimat; nikmati peristiwa sebagai sebuah dongeng; masuk dan berintegrasi dengan kehidupan yang dikisahkan dalam teks.” (2015: xxxvii)

Lagi, Mahayana justru membiarkan pembacaan sekelas mahasiswa seperti saya tetap berada di ambang. Langkah kedua ini lagi-lagi tidak pernah secara tegas untuk melakukan kritik sastra dengan baik. Apabila kita menyadari bahwa karya dan teks kritik sastra itu milik bahasa, maka, dengan arti lain, bahasalah yang menjadi penggerak mewujudnya suatu karya. Mengapa harus repot menanggulangi miskomunikasi? Miskomunikasi di sisi lain juga diperlukan untuk membentuk sistem heterogen dalam kritik sastra. Artinya, kritik yang dilakukan tidak hanya membangun sirkulasi diskursus dan kritik sastra yang hanya sekadar mengkonstruksi karya. Akan tetapi menunjukkannya dengan cara lain, atau mengganti makna yang diproduksi di dalam karya untuk mengakuisisinya sebagai kerja kritik yang tentu membutuhkan wawasan dan pengetahuan mengenai ilmu linguistik dan ilmu sastra.

Kejelasan basis kritik sastra sangat diperlukan. Hal ini akan nampak pada aktulisasinya untuk melakukan identifikasi tokoh dan peristiwa dalam teks (berdasarkan pengalaman), serta menjadi bagian dari keseluruhan teks seperti yang dikatakan Mahayana. Hanya saja, tidaklah perlu menggunakan tipu daya kritik dengan gaya hiperbolis: “Laksana manunggal ing kawula gusti, imajinasi kita menjamahi setiap tokoh, setiap peristiwa.”

Basis kritik sastra yang mumpuni berguna tidak hanya untuk menanggulangi miskomunikasi, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab dari kerja kritik sastra.  Apabila dalam pembacaan kritik sastra dibiarkan begitu saja mengalir tanpa arah dengan dalih menjamahi setiap tokoh dan peristiwa di dalamnya (pada novel-novel absurd misalnya), maka yang terjadi hanya mengulang kerja kritik sastra di era 70-an seperti Dami N. Toda.

Contoh kasus ada pada Dami N. Toda dalam kritik sastranya yang membahas dan mencanangkan karya-karya di era 70-an sebagai wawasan estetika baru. Toda tidak menggunakan strategi pembacaan kritik sastra dengan berpegang teguh pada pendekatan teori dan topik yang hendak diulas. Toda membiarkan kritik sastranya terbawa arus pada apa yang dinyatakan pengarang, dengan membentuk sirkulasi diskursus pada penggunaan referens teori yang didomplengnya. Referens digunakan hanya untuk mengungkapkan apa yang sekiranya cocok saja. Hal itu terjadi apabila kita membiarkan kerja kritik sastra pada pembacaan pertama tanpa wawasan dengan pengetahuan akan kritik sastra.

Lantas, masih diperlukankah bahasa yang hiperbolis untuk menanggulangi miskomunikasi? Satu yang seharusnya dipertegas kembali adalah jangan membiarkan proses pembacaan hanya mengalir begitu saja. Apabila hal ini tetap terjadi, maka proses menanggulangi atas ketidakpahaman akan kritik sastra akan terus terjadi. Pada titik inilah—sejak memulai pembacaan atas kerja kritik sastra—ia dituntut dengan bertanggung jawab atas kritiknya.

 

Ketiga: Pembaca sebagai Subjek Kritik

Langkah ketiga ini diperuntukkan pada pembacaan yang menuju kritik sastra. Mahayana  menganjurkan hal tersebut dengan menempatkan diri (pembaca) sebagai pembaca kritis. Satu yang menjadi titik keberangkatan sebagai pembaca kritis adalah menandai bagian-bagian yang penting di dalam teks, dan menyusun semacam daftar pertanyaan yang nantinya akan diuji secara kritis. Apabila hal ini dapat terealisasikan, menurut Mahayana, pembaca menempati dirinya sebagai pembaca konkret dengan mengungkapkan catatan kritisnya secara tertulis (2015: xxxix).

Setelah langkah petama dan kedua dituliskan dalam Kitab Kritik Sastra, baru dilangkah ketigalah pembaca sebagai subjek kritik sastra ditekankan. Mengapa hal itu tidak dilakukan sejak dalam pembacaan pertama? Misalnya menandai setiap bagian teks sebagai bahan analisis yang dapat juga dilakukan pada saat pembacaan karya. Dengan dibekali wawasan kritik sastra yang jelas, pembaca sebagai subjek kritik sastra pun dapat dipertanggungjawabkan secara kritis.

Seperti yang dinyatakan oleh Mahayana, bahwa segala ungkapan, kalimat, atau peristiwa yang menarik perhatian yang terdapat dalam teks sebagaimana digunakan oleh pengarang, seharusnya dapat digunakan juga untuk pembacaan kritis terhadap subjek kritik sastra. Dengan arti lain, kita dapat membaca kembali subjek Mahayana yang dengan jurus-jurusnya mampu menulis Kitab Kritik Sastra.  Tidak hanya berlaku untuk pembacaan terhadap teks pengarang, Mahayana dalam Kitab Kritik Sastra-nya pun layak untuk diuji kembali apa yang penting dan meragukan di dalam argumentasinya.

 

Keempat: Pembacaan Ulang

Mengapa harus ada pembacaan ulang terhadap karya? Apa urgensi dari pembacaan ulang? Dalam istilah Mahayana, pembacaan ulang adalah pembacaan kedua. Di langkah keempat ini, Mahayana menekankan untuk adanya pembacaan ulang agar memperoleh makna baru atau makna lain yang lebih “terterima” dari pembacaan pertama. Fokus dari pembacaan kedua ini adalah memberi keyakinan, bahwa pemaknaan atas karya yang diperoleh pembacaan pertama dapat dipertanggungjawabkan.

Begitulah kiranya pembacaan terjadi berkali-kali hanya demi mengkonfirmasi atas apa yang telah dibaca. Pembacaan ulang adalah perlu. Tidak bisa tidak, dalam kerja kritik sastra, konfirmasi terhadap makna secara tekstual terus diuji keberadaannya, baik secara makna di dalam referens dan konteks yang terjalin di dalamnya. Namun, urgensi dari pembacaan ulang ini untuk apa? Jika Mahayana menekankannya hanya pada “kelebihan” yang terkandung di dalam karya, apakah mengungkapkan kekurangan di dalam karya tidak sebagai kerja kritik sastra? Bagi Mahayana (2015: xxxix), kelebihan itulah yang perlu diungkapkan lebih luas dan mendalam dibandingkan mengungkapkan kekurangannya.

Tujuan dari pembacaaan ulang adalah guna menemukan hal lain—makna baru atau aspek lain—yang memungkinkan luput dalam proses pembacaan pertama (2015: xl). Perihal ini lebih ditekankan pada proses analisis puisi. Hanya saja, apakah tidak diperuntukkan juga pada subjek pengkritik sastra atau yang menuliskan Kitab Kritik Sastra itu sendiri? Apakah itu tidak juga diberlakukan? Hal lain, makna baru atau aspek lain, apakah tidak juga untuk mengungkapkan kelemahannya, baik di dalam karya maupun di dalam subjek pengarang dan kritikus sastra? Apabila, kritik sastra hanya bersifat konstruktif (baik pada) kelebihannya saja? Apakah Kitab Kritik Sastra ini melarang untuk mengungkapkan kelemahan di dalam karya sebagai bentuk analisis? Apakah hal ini sengaja dibentuk sebagai tipu daya untuk melanggengkan khazanah dan kandungan Kitab Kritik Sastra yang tertutup pada bentuk kritik terhadap dirinya?

Pembacaan ulang diperlukan secara terus menerus dengan menuliskannya dalam bentuk yang lain, dan mengungkap bagaimana dan apa konstruksi makna di dalamnya. Begitupun halnya pembacaan ulang atas Kitab Kritik Sastra perlu untuk dikaji lebih lanjut sebagai bentuk kritik sastra.

 

Kelima: Membaca Konteks

Konteks dalam langkah mangkus Mahayana menjadi titik sentral dalam pembacaan karya sastra. Mahayana menggunakan konteks untuk membandingkan karya yang satu dan karya yang lainnya dalam proses kreatif pengarang. Mahayana menyadari bahwa betapa pentingnya konteks untuk melakukan kajian secara meluas. Konteks ditempatkan dalam pemetaan karya untuk mengkaji karya secara intrinsik; apakah karya yang dianalisis menawarkan aspek baru atau kebaruan lainnya yang berkaitan pada perjalanan sejarahnya. Bagi saya, mawas diri sejak pembacaan pertama dengan melibatkan konteks pun menjadi sangat perlu. Jika wawasan konteks hanya sebatas pada intensitas untuk menunjukkan kebaruan atau aspek baru, saya rasa ini akan menjadi problem dalam analisis kritik sastra.

Saya akan mencoba memahami “konteks” yang dimaksud oleh Mahayana dengan beberapa poin: (1) Membaca konteks, untuk membaca karya dalam perjalanan sejarahnya; (2) Membaca konteksnya, untuk menghadirkan pertanyaan secara intrinsik di dalam karya yang menawarkan aspek baru dan kebaruan lainnya; (3) Membaca konteks karya, tidak hanya cukup untuk melakukan satu pendekatan. Oleh karenanya dibutuhkan pendekatan lain. Menambahkan pendekatan lain ini disinyalir dari bentuk karya dengan semangat eksperimen di dalamnya.

Ketiga pemahaman konteks ini diberlakukan dalam langkah kelima mangkus. Saya menyebutnya sebagai langkah paling ganjil. Di samping angka lima adalah angka ganjil, saya menemukan keganjilan lain, yakni keberadaan konteks yang terpinggirkan. Konteks sebagai bahan analisis digunakan hanya untuk menopang apa yang baru. Bagaimana suatu karya bisa disebut baru?

Kata baru menyiratkan akan adanya makna baru. Makna yang dioperasikan dari sistem pembedaan tertentu: oposisi biner. Dalam tradisi strukturalis, oposisi biner dilakukan untuk menopang keberadaan makna. Dalam hal ini, tentu makna berada dalam posisi ke-baru-an dengan melewati pembedaan di dalamnya. Karya yang satu dan yang lainnya dibedakan demi pencarian sebuah makna baru. Oposisi ini terjadi tidak hanya di dalam karya yang satu pada karya yang lainnya dalam membaca konteks, tapi juga dapat terjadi sejak dalam penguraian tentang konteks.

Konteks karya dengan perjalanan sejarahnya dan konteks sebagai konteks di dalam karya jelas sebagai oposisi biner. Namun, pertanyaan lain terhadap oposisi biner adalah apakah konteks tidak mampu merepresi kondisi di dalam teks? Sederhananya, konteks dapat ditelisik kembali dengan kondisi teks di dalam karya. Misalnya, setiap karya memiliki referens tekstual di dalamnya yang mengikat terhadap makna-makna kebahasaan atau bahkan sampai pada permainan metafora.

Makna secara referensial adalah belenggu institusional yang dihadirkan di dalam proses kreatif pengarang. Konteks di luar teks (karya) mampu menopang apa yang terkandung di dalam referens yang sudah termanifestasi dalam bentuk makna (oposisi biner di dalam teks yang membentuk makna). Konteks yang berada di luar inilah apabila difungsikan kembali ke dalam pembacaan dan kerja kritik sastra mampu menunjukkan identitas lain di dalam makna—referens dan teks merupakan strukturalitas dan keterbukaan yang inheren di dalam bahasa.

Kehadiran konteks di dalam bahasa juga analisis terhadap karya bukan untuk menunjukkan kebaruan yang hanya didompleng dengan perjalanan sejarah, tetapi untuk membuka kemungkinan lain atas apa yang dinyatakan oleh subjek pengarang dan kritikus di dalam teksnya. Pemahaman mengenai konteks secara mendasar mampu mengingkari belenggu oposisi biner yang hanya berintensi pada makna tunggal, makna yang diperuntukkan sebagai pencarian kelebihan suatu karya saja. Konteks mampu membongkar operasi referens yang bekerja di dalam teks yang memiliki tipu daya kritik.

Selanjutnya, kita dituntut untuk bertanggung jawab atas pemahaman mengenai referens dan konteks. Apakah kritik sastra yang hendak dituliskan hanya berlandaskan pada kelebihannya saja, yang pada akhirnya akan menunjukkan ketidakobjektifan kritik sastra dengan suka atau tidak suka, atau melibatkan referens dan konteks untuk membongkar teks secara cermat? Inilah kiranya yang dibutuhkan dalam kerja kritik sastra ilmiah, atau kritik sastra umum.

 

Keenam: Penerapan Teori

Penerapan teori dalam langkah keenam ini diberlakukan ketika seseorang hendak melakukan kritik sastra ilmiah. Mahayana (2015: xlii) memberikan tahap selanjutnya, yakni mencari dan menemukan teori, pendekatan, atau gagasan dari disiplin ilmu lain yang dianggap cocok. Mengutip bagian teks yang diteliti dan menjelaskannya berdasarkan teori, pendekatan, atau disiplin ilmu lain pun, menjadi hal yang tak terhindarkan. Mahayana menunjukkan tahap ini untuk memfungsikan teori atau pendekatan yang digunakan agar dapat mengungkapkan kekayaan teks yang tidak terpisah dari analisis terhadap teks yang bersangkutan. Dengan demikian, teori atau pendekatan itu menjadi menyatu sebagai alat urai dan analisis atas teks, tidak terpisah seperti minyak dan air.

Melihat tipu daya dalam langkah keenam ini, dapat dirujuk kembali pada langkah-langkah sebelumnya. Saya akan menelisiknya dari  penggunaan kiasan “minyak dan air” sebagai representasi dari kritik Mahayana terhadap kondisi kritik sastra yang mampu “menyatu”. Dengan arti lain, teori atau pendekatan dan objek yang hendak diteliti keduanya tidak saling terpisahkan. Memang tidak terpungkiri apabila keduanya dapat dilakukan dalam kerja kritik sastra, namun pada langkah ini, saya menaruh perhatian pada kata “menyatu”, tidak terpisahkan seperti minyak dan air.

Mahayana berpretensi untuk menunjukkan bahwa kritik sastra dilakukan dengan cara melakukan kerja kritik yang apresiatif terhadap karya. Artinya, langkah-langkah sebelumnya pun menjadi rujukan atas “menyatu”-nya teori atau pendekatan terhadap karya. Langkah ketiga dan kelima menjadi hal yang tepat untuk ditelisik kembali layaknya Mahayana pun menganjurkan untuk merujuknya pada langkah tersebut.  

Langkah ketiga adalah langkah menuju pembaca yang kritis dan konkret, dengan cara menandai bagian-bagian yang penting di dalam teks, dan menyusun semacam daftar pertanyaan yang nantinya akan diuji secara kritis. Akan tetapi, bagaimana hal itu dilakukan tanpa pemahaman akan kritik sastra? Kealpaan pemahaman ini sudah lebih dulu hadir sejak pembacaan pertama yang dibiarkan mengalir begitu saja. Di samping itu, apabila menelisik kembali langkah kelima yang di dalamnya melibatkan konteks karya, namun keterlibatan konteks hanya diperuntukkan untuk menunjukkan kebaruan, maka pemahaman konteks terlihat dipaksakan agar menyatu di dalam kerja kritik sastra.

Langkah ketiga dan kelima, keduanya dilakukan untuk memaksakan dirinya tanpa pemahaman kritik sastra agar terlihat menyatu-padu. Lagi pula, konstruksi di dalam kedua langkah ini tentunya hanya berlandaskan pengangkatan “kebaruan” dan kelebihan di dalam karya. Tidak ada ruang untuk kerja kritik sastra yang mampu menunjukkan kelemahan atau kekurangan karya sastra, maupun teks kritik sastra.

Karakteristik kritik sastra yang dikatakan apresiatif (di dalam dirinya tentu menjadi problem di dalam kritik sastra dengan tidak terbuka terhadap kritik).  Penerapan teori yang menurut Mahayana  mampu memadukan di dalam kerja kritik sastra ilmiah, secara otomatis sudah menyiratkan bahwa penerapannya untuk menopang kebaruan (makna lain), menutup dirinya terhadap kritik sastra. Dengan demikian, apa tipu daya yang bekerja di dalam kiasan yang berusaha dibalut secara rapi dalam Kitab Kritik Sastra ini adalah memaksakan proses penyatuan teori atau pendekatan di dalam analisis kritik sastra? Dengan kata lain, argumentasi Mahayana pun sebenarnya tidak mampu menyatupadukannya seperti minyak dan air.

 

Ketujuh: Beberapa Langkah dalam Kritik Sastra Umum

Ada beberapa langkah dalam kritik sastra umum yang berusaha disuguhkan oleh Mahayana (2015: xlii). Langkah pertama adalah membuat semacam resume, sinopsis atau ikhtisar karya sastra yang telah dibaca. Jika objeknya adalah novel, maka ikhtisar yang dibuat sekitar dua atau tiga paragraf. Jika antologi cerpen, deskripsikan ada berapa cerpen di dalamnya dan buatlah gambaran umum tentang tema-temanya. Begitupun halnya dengan antologi puisi. Namun, yang patut ditegaskan kembali adalah menghindari pengungkapan tema yang berkepanjangan (terlalu panjang lebar menjelaskan tema).

Langkah di atas menunjukkan bahwa dalam kritik sastra ilmiah atau pun umum Mahayana mengedepankan kritik sastra dalam bentuk apresiatif. Konstruksi di dalamnya dilihat dari apa yang menonjol (sebagai makna baru) sebagai pintu masuk analisis. Misalnya, dalam kritik sastra umum dikatakan oleh Mahayana, bahwa pendeskripsian terhadap tema dimaksudkan agar pembaca memperoleh gambaran serba-sedikit tentang karya sastra berikut isinya. Apa yang diizinkan dari pendeskripsian ini? Mahayana mengatakan bahwa hal-hal yang menarik, khas, dan menonjol sebagai isyarat tentang kelebihan karya tersebut adalah hal yang boleh dilakukan dalam pendeskripsiannya. Setelah langkah ini dilakukan, analisis segera disiapkan dalam kerja kritik sastra umum.

 

Kedelapan: Yang Ideal dalam Praktik Kritik Sastra

Ada empat hal yang secara ideal diberlakukan dalam praktik kritik sastra, yaitu  deskripsi, analisis, interpretasi, dan evaluasi. Mahayana menjelaskannya dalam beberapa hal. Deskripsi berfungsi untuk memperkenalkan karya sebagai mana adanya. Misalnya, data publikasi, posisi pengarang, muatan isi, dan gambaran umum tentang karya sastra yang hendak diteliti. Di samping itu, analisis yang disertai penafsiran (interpretasi). Mengingat bahwa karya sastra bermain pada tataran konotatif, penafsiran pun tak dapat dihindarkan dalam analisis (2015: xliii).

Analisis dan penafsiran merupakan bagian penting dalam praktik kritik sastra. Lebih lugas, Mahayana menegaskan bahwa wawasan pengetahuan dan pengalaman seorang kritikus sebenarnya dapat dilihat dari caranya melakukan analisis dan penafsiran. Kedalaman dan kedangkalan analisis dan penafsiran seorang merepresentasikan luas-cetaknya wawasan pengetahuan dan pengalamannya. Adapun evaluasi atau penilaian, bagi Mahayana, hal itu bergantung pada semangat kritikus dalam memperlakukan teks. Bagi sebagian kritikus beranggapan bahwa penilaian tidak diperlakukan dalam praktik kritik sastra, sebab dari kedalaman analisis dan penafsiran itu saja sudah akan tampak keunggulan atau kelebihan karya. Namun, ada juga sebagian kritik yang memandang bahwa hakekat kritik sastra tidak lain adalah penilaian. Oleh karenanya, penilaian sebagai hal yang penting dalam praktik kritik sastra.

Langkah kedelapan ini, apabila mengikuti Mahayana, dapat dikatakan sebagai bentuk yang ideal dari praktik kritik sastra. Tidak diragukan lagi dari bentuk idealitas yang telah dipaparkan tadi (selain menguji ulang setiap argumentasinya). Bagaimana Mahayana menafsirkan tentang konstruksi karya dalam praktik kritik sastra? Apakah konstruksi hanya diperuntukkan sebagai apresiasi untuk menunjukkan keunggulan atau kelebihan suatu karya? Kenapa pemahaman mengenai konteks hanya sebagai lingkup karya yang “men-sejarah” untuk menunjukkan kebaruan di dalam karya atau analisis yang hendak dilakukan? Terakhir, apakah Kitab Kritik Sastra yang ditulis oleh Mahayana ini menunjukkan wawasan dan pengalaman seorang kritikus?

Terlepas dari itu, pembaca harus membaca ulang kitab yang ditulis olehMahayana sebelum mempraktikkan kerja kritik sastra agar Kitab Kritik Sastra ini pun tidak hadir sebagai “pedoman” yang telah terberi. Sebab, ia adalah bagian dari objek kritik sastra, bukan sebagai kesatuan yang stabil dan menyatu-padu, yang dengan serta merta menunjukkan langkah-langkah praktik dan satu jurus dalam kritik sastra.

 

Kesembilan: Perkuat Analisis

Dari uraian di atas, kiranya dalam membaca tipu daya dalam Kitab Kritik Sastra, kita akan mengambil apa yang dinyatakan oleh Mahayana sebagai: perkuat analisis. Untuk memperkuatnya, Mahayana sudah lebih dahulu menganjurkannya dengan memberi kutipan teks sebagai alat bukti. Dengan demikian, kerja kritik sastra dapat membongkar tipu daya apa yang terselubung di dalam teks.

Tentu hal tersebut juga tidak dilepaskan dari argumentasi-argumentasi dari penafsiran kita terhadap teks. Oleh karenanya, kita perlu mendasari diri kita dengan basis kritik yang mumpuni, pendekatan dan teori yang mampu digunakan sebagai alat bedah. Jangan biarkan pembacaan kritik sastra mengalir tanpa arah, tanpa pemahaman kritik sastra yang mumpuni. Tetap libatkan teks, konteks dan referens di dalamnya yang bersembunyi di balik konstruksi makna.

***

Kesembilan langkah yang sudah diurai dengan sekelumit tipu daya yang terselubung,  sampailah kita pada satu jurus pamungkas yang diberikan oleh Mahayana. Apakah satu jurus pamungkas itu? Apakah jurus ini dapat dikatakan ampuh? Ya, ampuh atau tidaknya tentu tidak ada yang menjamin. Akan tetapi, jurus ini perlu dilakukan. Sebab Mahayana mengatakan bahwa satu jurus pamungkas itu adalah: “Selamat mencoba!”

 

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/