Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Rifki Syarani Fachry
ingin kuhancurkan matahari
dan melempar bumi ke kegelapan
ke dalam mulutmu, sumur buta
nganga yang mengoleksi gema tebing
antologi hening
akan kulempar
seperti arang perasaanku
di jurang batas lambungmu
akan kulelapkan bumi
dan kiamat kecil tumbuh di hatimu
seperti batu yang berkali-kali
menjadi tunas bagi kesakitanku
menjadi dingin
yang bertahun-tahun melukaiku
gerhana menyesali gelap
kemurungan mencintaimu
2019
tuhan, sisakan satu
neraka untuk puisi-puisiku
2019
tuhan tak mengalami apa-apa
tuhan tak pernah belajar
2019-2020
matahari, gaun lebu, mata arang
kebakaran besar menyelinap sebagai puisi
memeluk mayat-mayat batu; bangkai bagi segala yang
retak
: kehancuran akan menempuh sunyi sebagai debu
dari puing-puing dunia, mirip perih yang disisipkan
waktu
dari tangisan tak terdengar, kepada telinga-telinga tuli
untuk lambung-lambung lapar, demi mulut-mulut yang
saum
dari kepala-kepala yang tak tidur
ketika makna hidup lengang bagi kepulangannya
jadi mempelai sasar yang menyimpan luka cabik
aku manghafal bayi di kepalanya seperti doa dan
raraban
seperti kejadian dari tahun-tahun yang tak kualami
dan di dalam sini (ke sebuah kening), selain tafsirnya,
tak ada lagi
aku, tubuh terbakar, kesadaran melelehkan kata-kata
pintar
awan-awan mati bernafas di dasar jurang mencari tepi
2018-2020
bangkit kembali jadi tubuh hari-hari
makna yang tak henti mencambuki ingatan
melubangi punggungku dengan paku
menanamkan batu-batu di dadaku
sebaris nama yang sempat kubaca di nisan-nisan
waktu
roh yang kembali dari neraka para raksasa
datang seperti pikiran-pikiran bunuh diri
aku tak bisa membedakan
ini hidup atau mati
aku kembali bayi tapi kesedihan
hanya dapat kupahami sebagai lelaki
yang hidup di bawah todongan senjata masalalu
masalalu yang memandangi jantungnya
aku merasa tak benar-benar lagi dimiliki –memiliki
luka dari masa depan yang mengungsi menjadi sebaris
puisi di tubuhku, gelap tak kumengerti
siapa gerangan, apa yang diinginkan tuhan
dari hidupnya orang-orang mati
dan kelahiran-kelahiran tak berarti
dari doa-doanya perasaan
kembali menjalani hidup sebagai aku;
obat-obat palsu dan batu
2019-2020
untuk W. Haryanto
Tak ada hujan yang kukenal, dari gelap awan
di matamu (ingin kukatakan itu)
ketika musim menangis, aku terbunuh gerimis
bayangan kita terjebak di aula ini (masalalu)
dan kusadari, kenangan kita tak seabadi hujan itu
nampaknya, kita bukan batu
di luar, gedung-gedung tetap bermakna
sementara di hadapannya, aku mayat
terbaring memeluk nyawa yang henti
seperti patung dengan kepala hancur dilubangi peluru
darahnya dijilati usia, dan tali air itu
akan membawa merah
menuju menara puisi yang runtuh:
mimpi yang kehilangan bahasa
–sesuatu, tak bermakna lagi apa-apa
selain kenyataan bahwa kini, aku dan bayangan kita
hidup di akhirat yang sama
hanya mampu kurenungi hujan-hujan yang terluka itu
sebagai luka-luka baru
dan apa yang tak kunjung reda jadi cermin
cermin yang menulis dingin sejarah kematian kita
lama, biru, dan kota tinggal lampu-lampu
tapi hujan tak berhenti melubangi ingatanku
2016-2020