Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Dialog Air Mata oleh Daffa Randai

author = Daffa Randai

Berita Duka

Dan hujan pun larut dalam secangkir dukamu

Meluruhkan iba pada daun-daun kamboja

Karangan bunga─ukiran nama

Juga istana merupa tanah yang bagimu itu jatah:

Batas persimpuhan buat pamit pada mereka

 

Bunga-bunga setaman tiba tumbuh di muka air

Permandian─buatmu nanti kembali pulang

Lalu di luar ramai langkah, berkecimpungan air mata

 

Sebelum waktu mengantarmu pada

Tempat paling pangkal: buat meniti selangkang hidup di muka raya

Yang senasib. Pulang di pangkuan-Nya

Kau buat pengakuan, semesta laku di lembar kafah

 

Yogyakarta, 3 Mei 2017

 

Menanam Rindu

Aku pernah menanam rindu di jantungmu

Dini hari waktu kau masih menenun mimpi

Meraung wajah-wajah pagi, juga langit

Merupa embun pada daun-daun sunyi

 

Seusai tiba berpuluh musim, aku kemari membawa hujan

Sambil bertanya tentang yang pernah kutanam

Apakah rindu itu masih terus kau rawat

Setelah kita sudah tak saling ingat?

 

Sampai kemarau

Datang meranggas tanyaku

Kau masih bisu: merawat sunyi di bibirmu

 

Sekalinya masih kupaksa masuk

Pada tirai pintu matamu

Di sela tangis yang mendayu

Kutahu sudah tiada tumbuh

Sepohon rinduku lelayu, terguyur kering air matamu

 

Celeban, 19 April 2017

 

 

Sajak Musim

Pada puncak malam yang kuncup

Tertingkap rindunya yang ranum, yang sembunyi

Di antara lapis kelopak

Bunga mimpi

Yang mengalum di bibir tambak

 

Ia tabah merawat musim

Mengirim air dari pintu sungai matanya

Menyeduh pagi menjadi hangat

Merupa temu dalam hening yang mengisak

 

Hari itu menjadi luka bagi rindunya

Pada kepingan siasat

Juga rencana yang terlunta

 

Pada sajaknya, terdapat musim yang getir

Buat segala air mata

Disimpan untuk semata-mata

 

Sedia andai hujan tiada;

Masih kuyup putik rindunya

 

Yogyakarta, 20 April 2017

 

 

Pada Taman

Seumpama aku jadi daun kering

Pada taman tempat kau berjaga

Apa kiranya lalu akan kau perbuat?

Menatapku lama-lama dalam sapa-sapa angin;

Atau menyapuku lalu kau biar tersiksa?

 

Saban pagi aku menggugur

Dari tangkai juga rimbun: langit yang melukis engkau

Tiada sampai hati, berlamaan menghakimi

 

Sedang dari ujung utara

Angin menatapku sirik

Menerka aku sengaja membuat kau terusik

 

Padahal begini, sedang terus aku menanti

Kau berlari menuju taman setiap pagi

Lagu matamu pelan datang menghampiri

Duduk di tepi kursi

Melempar senyum untuk terus kujatahi

 

Yogyakarta, 14 April 2017

 

 

Dialog Air Mata

(1)

Tirai mataku tersibak, menyaksikan derapmu

Melangkah menuju jarak

Yang tiada pernah ingin kutempuh

(2)

Mengiring pamit pergimu, angin melambai:

Mengisyaratkan segala duka yang beratap di kepala

Merayap sampai ke lumbung dada

(3)

Kau kusaksikan sedang tersedu

Memandangku dari balik jendela

Sedang aku berpura tabah: coba mengusap

Dinding mata yang berkaca-kaca

(4)

Aku sedang berteduh dari hatiku yang mendung

Berjaga-jaga kalau saja

Seketika gerimis jatuh dari langit-langit mata

(5)

Dunia sepi kali itu, samar terdengar angin tersedu

Seolah turut merasa, perpisahan yang mengharubiru

(6)

Dan para dewa pun

Mungkin akan turut menduka, kalau saja

Mendengar samar-samar jeritku: dari palung dada

Meminta dialog air mata itu, untuk berhenti seketika

 

Yogyakarta, 25 April 2017

 

*Lukisan Window Seat Tears karya Anthony Duce

 

Catatan Redaksi:

Daffa Randai melukiskan sebuah peristiwa dengan begitu baik lewat puisi-puisinya. Melalui pelukisan suasana jiwa yang didukung oleh metafor-metafor yang diambil dari citraan semesta, angin, kamboja, hujan dan lain-lain menjadikan puisi ini terasa liris sekaligus sendu.

Puisi ini begitu mengalir sehingga nikmat untuk dibaca. Tidak ada tubrukan atau tumpang tindih dalam penggambaran suasana batin, menggambarkan bahwa aku lirik seolah memang sejak awal turut saja mengikuti jalannya takdir. Meskipun begitu, dalam beberapa lirik penutup puisi terasa ada yang terpendam, yang tak terungkap, yang terus menggelora tapi tertahan. Hanya para dewa yang mendengar, hanya para dewa yang senantiasa setia  menerima kepasrahan.

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/