• Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Menu
  • Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Search

Jangan Mewajarkan Maut a la Nancy Scheper-Hughes

  • Opini
  • 22 April 2020
Gusti Nur Asla Shabia

Gusti Nur Asla Shabia

1.

Seberapa dekatkah kita dengan kematian?

Saat saya tinggal di rumah indekos yang terletak di samping mushalla, kematian terdengar begitu dekat. Sebab, kabar akan dirinya disiarkan melalui toa. Kencang sekali suaranya. Selain melalui toa, saya juga kerap ‘menjumpai’ kematian lewat simbol bendera (kuning di Jakarta dan putih kalau di Jogja) yang dipasang di mulut gang, tepi jalan, atau depan rumah kerabat yang berduka. Namun, sepanjang hidup saya, belum pernah saya mendengar kabar kematian lewat toa yang disiarkan berkali-kali dalam sehari, atau bendera putih yang terpasang di setiap gang yang saya lalui. Tentunya, kalau saya menjumpai ini, saya akan dilanda kengerian; karena bukankah kita sadar sedang terjadi banyak kematian dalam suatu ruang?

Kematian dalam jumlah banyak, dan begitu dekat, tak pernah menjadi sesuatu yang nyaman untuk kita yang masih hidup. Lalu mengapa, sekarang, kita bisa duduk-duduk di hunian kita yang nyaman, mendengarkan kabar terbaru tentang kematian akibat COVID-19 yang sudah mencapai 280 jiwa (per 9 April 2020), dan merasa tidak seterganggu itu? Bukankah tiap sore, setelah Achmad Yurianto—sang juru warta atas hidup dan mati di Indonesia—mengumumkan data ter-update tentang COVID-19, kita akan kembali lanjutkan rutinitas kita yang sempat tertunda tanpa merasa ngeri? Apakah kita kini mulai mewajarkan kematian?

2. 

Semasa saya kuliah, ada satu artikel yang masih membekas di benak saya karena kisahnya yang begitu banal. Artikel tersebut adalah etnografi karya Nancy Scheper-Hughes, berjudul Death Without Weeping (1993). Sebagaimana judulnya, “Kematian Tanpa Isakan”, Nancy membawa kita ke sebuah kota kumuh di Brazil bernama Alto do Cruzeiro, sebuah kota yang memiliki tingkat kemiskinan dan angka kematian bayi yang begitu tinggi. Sepanjang tahun 1965, sebanyak 350 bayi dari total populasi 5000 jiwa telah meninggal. Di kota ini pula, kematian bayi jadi dianggap sebagai sesuatu yang biasa.

Sebagai outsider, Nancy merasa ngeri ketika mendengar dentang lonceng gereja berbunyi setiap harinya. Tiap dentang lonceng menandakan sebuah kematian, paling sering kematian bayi. Namun, tidak seperti Nancy, ibu-ibu di Alto menanggapi dentang lonceng—sekaligus kematian di baliknya—dengan reaksi yang acuh dan kasual. Jangankan menanggapi dentang bel dengan emosi yang dingin. Ditulis Nancy dalam karyanya, “Perempuan Alto melihat kematian bayi sebagai sesuatu yang “sudah ditakdirkan” dan “tidak terhindarkan”. Sejak melahirkan dan bayinya, mereka sudah menentukan bayi yang menunjukkan tanda-tanda kematian secara kronis: yang pucat, tidak lahap menyusui, dan jarang menangis”, dan biasanya tak ada usaha aktif dari orangtua untuk mengobati atau merawat sang bayi. Sementara, yang tanda-tanda kematiannya sudah akut, seperti kejang-kejang, mulut berbusa, tercekik, hanya “… digeletakkan di lantai ruang belakang, hingga ajal menjemputnya dalam kesendirian”.

Begitu wajar, lumrah, dan seram.

Situasi ini lah yang jadi mengingatkan saya terhadap apa yang kita alami sekarang, saat kita mulai terbiasa menghadapi angka kematian yang semakin tinggi setiap harinya. Betapa angka-angka kematian COVID-19 yang kita dengar setiap harinya begitu berjarak. Sebagai audiens, kita mungkin tak pernah benar-benar menyadari, tiap angka mewakilkan satu jiwa yang punya identitas dan kisah sendiri, yang benang kehidupannya terputus pada hari itu. Kita dilindungi dari pengetahuan tentang siapakah yang menderita di balik angka tersebut; apakah yang mati punya kesempatan untuk melihat wajah keluarganya pada saat terakhir? Apakah semua tanggungjawabnya di dunia telah usai, apakah ia tidak sedang berada di tengah-tengah usaha merintis karier dan mimpi? Bagaimana dengan yang ditinggalkan, apakah mereka pernah menduga takkan diberi kesempatan untuk mengecup jenazah orang yang dikasihinya? Apakah yang hidup harus berhenti melanjutkan usaha yang tadinya dikerjakan bersama dengan yang pergi?  

Tidak seperti kita, mereka yang menjadi bagian dari penambahan angka tersebut mungkin sangat berat  melanjutkan kehidupan, lantaran menghadapi kehilangan yang tak terperi. Belum lagi, bayang-bayang ketidaklegaan berpotensi melingkupi keluarga dan sanak ketika menjumpai proses penguburan yang harus sesuai dengan Protap Corona. Seperti yang kita tahu, ritus kematian dalam setiap kepercayaan, punya proses dan tata cara untuk memperlakukan jenazah. Hampir semuanya melibatkan proses yang memiliki tindakan-tindakan yang berinteraksi dengan jenazah, sebuah cara yang disebut  Bloch (1971, dalam Engelke, 2019) sebagai “mengingat untuk melupakan”, yakni sebuah tindakan mendekat ke jenazah untuk memberikan penghormatan terakhir, yang akan turut menandai jarak dan keterpisahan dari jenazah. Karena dimakamkan sesuai prosedur yang menjaga dari kerentanan penularan virus, tak ada aksi simbolis bagi keluarga dan sanak untuk melepas mereka yang dikasihi. Kematian bukan hanya mulai dianggap wajar, tapi mulai muncul gelombang orang-orang yang anti-kematian. Masyarakat di Gowa, Banyumas, Cianjur, beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan daerah-daerah lain menolak jenazah positif COVID-19 dimakamkan di area mereka. Mereka pikir, jenazah yang dikuburkan akan menyebarkan pandemi itu kepada masyarakat sekitarnya. Bagi saya, ini bukan hanya kesalahpahaman, tapi merupakan kombinasi dari stigma, serta kurangnya empati dan rasa aman yang bisa membuat masyarakat berpikir jernih. Seperti mereka yang mewajarkan kematian, mereka yang menolak kematian juga tidak berusaha mendudukkan diri dalam posisi “yang mati” dan “yang ditinggalkan”, yang pasti memimpikan tempat pembaringan terakhir penuh kedamaian. 

3.

Namun, yang mewajarkan kematian, dan yang menunjukkan emosi-emosi penolakan pada kematian, bukan oknum yang bisa disalahkan sepenuhnya—begitulah yang diajarkan Nancy dalam tulisannya.

Saya teringat tulisan Nancy  bukan tanpa alasan. Setelah membawa kita pada perasaan bahwa ibu-ibu Alto adalah kumpulan orang-orang barbar yang tak punya hati, Nancy—dengan tugasnya sebagai seorang antropolog—mulai menjabarkan keadaan di balik kebekuan hati para ibu akan kematian anaknya: mereka jugalah korban, dari sistem yang lebih besar. Apa yang dimaksud Nancy adalah kondisi ekonomi di Alto yang memaksa para ibu untuk bekerja dalam sebuah lingkungan yang tidak memberikan ruang untuk merawat anak dengan penuh. Selain itu, terdapat kegagalan institusi-institusi untuk melindungi kesejahteraan ibu dan anak; mulai dari pemerintah, petugas kesehatan, hingga gereja setempat. Jika seorang bayi mati dan akan diregistrasikan ke pemerintah, proses dokumentasi atas kematian tersebut akan berlangsung tak sampai lima menit, tanpa saksi, dan kolom penyebab kematian kerap dikosongkan—seakan pemerintah tak mau menjadikan kasus kematian sebagai perbaikan kebijakan ke depannya. Di klinik-klinik gratis, bayi yang sakit biasanya hanya diberikan vitamin atau tonik oleh dokter, padahal mereka menderita malnutrisi yang membutuhkan perawatan khusus. Kadang, bayi yang rewel diberikan pil tidur untuk “menenangkan” tangisannya. Institusi agama seperti Gereja, yang harusnya memberikan ketenangan bagi keluarga yang ditinggalkan, menolak memberikan pelayanan dan penghormatan terakhir pada bayi, yang dulunya berupa dentang bel di Gereja dan prosesi kematian yang dipimpin pastur.

Oleh karena itu, menurut Nancy, pengabaian (indifference) adalah praktik yang diproduksi secara sosial dan merupakan refleksi dari pengabaian institusi yang lebih besar, yakni institusi resmi seperti gereja dan negara terhadap para perempuan dan anak-anak yang terlilit kemiskinan.  

Maka bisakah kita, dengan logika yang sama, menganggap pewajaran, apati, dan antipati masyarakat terhadap kematian sebagai refleksi dari pewajaran, apati, dan antipati pemerintah serta institusi tertentu terhadap mereka yang rentan terjangkit COVID-19? Saya rasa bisa, karena kita masih dihantui kabar tentang tingginya kematian pasien COVID-19 di Indonesia, di mana banyak yang meninggal merupakan tenaga medis serta orang-orang yang masih berada dalam status PDP (Pasien Dalam Pengawasan). APD yang tidak memadai, rasa kelelahan akibat kelimpungan mengatasi pasien yang membludak, penolakan rumah sakit rujukan pada mereka yang ingin diopname, kurangnya ventilator, dan hasil tes swab yang keluar begitu lama, telah membuat banyak orang berpacu dengan masa kritis yang tak bisa diajak kompromi dan akhirnya mengantarkan mereka pada kematian. Sistem kesehatan kita—mirip halnya dengan yang terjadi di Alto—masih bermain-main dengan kematian karena belum optimal dalam penanganan virus Corona. Bila ditakar, hanya 36 dari setiap satu juta orang di Indonesia yang dites untuk mendeteksi virus Corona. Korea Selatan, sebagai pembanding, memberikan tes untuk 8.996 dari setiap satu juta orang.

Pada masa kritis ini, pemerintah juga masih bermain-main dengan kematian. Bisa-bisanya Jokowi dan Luhut dengan mencla-mencle berkata mudik tidak dilarang, tetapi diimbau untuk “tidak dilakukan”. Terawan, sebelum dua hari yang lalu, masih mengenakan birokrasi berbelit-belit pada PSBB yang diajukan Anies, sehingga banyak warga terlanjur bermigrasi dan berpotensi menyebarkan virus. Baru-baru ini, warganet juga digemparkan dengan pernyataan Anies Baswedan yang berkata mungkin saja ada data kematian akibat Corona yang tidak terdeteksi, menilik ada 4.400 kematian yang dilaporkan Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta. Beberapa hari berselang, seorang warganet menunjukkan kejanggalan data pasien COVID-19 yang berbeda datanya dari tanggal 3 April ke 4 April. Tirto, tanggal 6 April lalu, mengabarkan bahwa data dari Kemenkes tidak transparan dan dipertanyakan validitasnya. Dari sini, kita mampu melihat pemerintah jelas tidak tegas dan belum mengambil langkah ekstrem untuk menekan laju kematian.

Sebagai akibatnya, “wajar” bagi kita untuk mulai mewajarkan kematian, karena bukan hanya kita mengalami keberjarakan epistemis (jarak yang menghalangi kita untuk memahami keseluruhan kejadian karena kompleksitas relasi dan keterbatasan pengetahuan [Carolan, 2020]) dari kisah-kisah kematian orang-orang, kita pun juga menghadapi informasi kematian COVID-19 yang dirutinisasi: ada setiap hari, dalam jumlah besar dan meningkat, pula. Jangankan kisah personal, informasi resmi soal kematian yang valid, benar, dan transparan tidak dapat sepenuhnya kita peroleh karena carut-marutnya data dari pusat.

Kita memang belum separah Ekuador, yang kini mulai menggeletakkan jenazahnya begitu saja di tepi jalan. Pemerintah kita juga belum seburuk Donald Trump yang dengan enteng berkata,  “we all together have done a very good job” karena kematian di Amerika Serikat, menurutnya, hanya berjumlah 100 ribu, bukan dua milyar. Tapi ini tidak menjadi legitimasi bagi diri kita untuk mulai terbiasa dengan kematian. Bila Nancy, dalam penutup tulisannya, mengatakan pewajaran akan kematian adalah strategi bertahan masyarakat Alto untuk move on dalam ketidakberdayaan terhadap institusi-institusi sosial dan kepemerintahan mereka, saya perlu berkata bahwa pewajaran akan kematian di Indonesia tidak diperlukan: karena kita malah sedang tidak perlu banyak move on ke mana-mana, dan kita harus terus mengawal pemerintah kita yang pahpoh.

Pergilah ke medsos, cari kisah personal orang lain yang memberitakan kepergian yang dikasihi karena COVID-19. Tetaplah menganggap kematian sebagai sesuatu yang tidak wajar dan memroduksi rasa miris, karena rasa itu lah yang membuat kita tergerak untuk menolong, berempati, dan yang terpenting: bebas dari sebuah sistem yang membuat kita kehilangan kemanusiaan serta solidaritas untuk menyelamatkan sebanyak-banyaknya orang hidup.

Referensi

Carolan, Michael S. 2007. Introducing the concept of tactile space: Creating lasting social and environmental commitments. Geoforum 38: 1264-1275

Engelke, Matthew. 2019. The Anthropology of Death Revisited. Annual Review of Anthropology 48: 29-44. DOI:  https://doi.org/10.1146/annurev-anthro-102218-011420

Scheper-Hughes, Nancy. 1989. Death Without Weeping: Has poverty ravaged mother love in the shantytowns of Brazil?. Natural History: 8-16. Diakses dari http://public.gettysburg.edu/~dperry/Class%20Readings%20Scanned%20Documents/Intro/Scheperhuges.pdf

Gusti Nur Asla Shabia

Gusti Nur Asla Shabia

Seorang fresh graduate yang tengah mengadu nasib di Jogja, sembari sesekali mengisi waktu luangnya dengan makan, menulis, dan membaca (tapi kadang malas).

Bagikan tulisan ini

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on twitter
Share on email

Tulisan Terkait

Puisi

Puisi-Puisi Dede Turu

Dede Turu 19 February 2021
Opini

Kisah Para Majus dalam Puisi Epik Juvencus

Mario F. Lawi 17 February 2021
Cerpen

Seorang Pengarang yang Ingin Membunuh Tokoh Karangannya

Rosyid H. Dimas 16 February 2021
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Menu
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Facebook-f Twitter Instagram Discord Youtube Spotify

Copyright 2021 © Hak Cipta dilindungi Tuhan dan Negara. Design with Love by anovaisme