Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Aku Bersepeda Maka Aku Ada

author = Muhammad Aprianto

Di era new normal sekarang ini, sepeda menjadi sarana menunjukkan eksistensi seseorang maupun kelompok. Bila menyitir buah pikir Rene Descartes, cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), di era sekarang aku bersepeda maka aku ada. Eksistensi diri mulai ditampilkan lewat sepeda dari dalam rumah, gang sempit, jalan raya hingga sebaran di media sosial. Sepeda juga menjelma menjadi ‘anggota keluarga’ baru di dalam rumah. Keberadaannya disandingkan dengan televisi, sepeda motor, mobil dan beberapa properti lainnya. Sepeda sudah eksis sejak lama, melampaui masa, melewati lapis-lapis kehidupan sosial masyarakat. Perannya mulai dari persebaran agama, identitas dan gaya hidup.

Secara historis, berpegang pada kajian Rachmad Basuni yang bertajuk Priesterrijwiel Dalam Penyebaran Agama Kristen Di Kota Semarang Tahun 1934-1942 (2016), sepeda muncul di Hindia Belanda pada akhir abad 19 dan digunakan untuk para misionaris mengabarkan injil. Para pendeta dan orang gereja mengayuh sepedanya melewati desa-desa, gang-gang, daerah yang sulit dijangkau,  menggunakan sepeda. Ajaran kristiani dikabarkan secara personal, dari mulut ke mulut, sebelum akhirnya beribadah ke gereja. Bila ditelisik kehadiran sepeda di Hindia Belanda, tahun 1890 sepeda dengan merk Rover tiba di Batavia. Soal harga bisa dibilang cukup mahal, karena untuk memiliki Rover waktu itu harus merogoh kocek sekitar 500 gulden per unitnya. 

Kolom pemberitaan De Soematra Courant, bertitimangsa 20 November 1890, sepeda produk dari Belanda bernama Samuels mulai dipasarkan di Hindia Belanda. Kehadiran Samuels di Hindia Belanda laksana pionir, karena beberapa tahun berselang sepeda dengan merk lain berjejalan masuk. Merk-merk tersebut seperti Burgers, Fongers, Simplex dan perusahaan sepeda asal Belanda lainnya. Kondisi pasar yang menjanjikan, produk Jerman dan Inggris pun ikut masuk ke Hindia Belanda. Ada dua metode pemesanan, pertama lewat jaringan para pendeta gereja seperti yang dilakukan oleh Mr. F.W. Belle, kedua lewat agen atau distributor dengan mengirimkan surat pemesanan.

Dalam konteks identitas sosial, opini menarik ditulis oleh Kim Nolan dalam zine yang bernama Punk Planet (1994). Ia mengatakan bahwa riding bike is punk. Bersepeda mengungkapkan diri sebagai anti kemapanan. Para pesepeda tidak perlu menyesuaikan diri kapan bepergian secara terjadwal. Mereka bebas memilih kemana tempat tujuan untuk pergi, kapan, dengan jarak tempuh dan waktu yang fleksibel. Dengan kata lain, otoritas transportasi di tangan mereka (pesepeda) sendiri. Kehendak bepergian bukan ditentukan oleh transportasi pemerintah yang terjadwal setiap jamnya dengan ragam biaya yang harus dibayar dan syarat administrasi lainnya. 

Dengan menjamurnya jumlah budaya bersepeda bersamaan dengan masa new normal ini, berbisnis sepeda menjadi hal yang menjanjikan. Toko sepeda di setiap kota diserbu oleh para goweser, bahkan mereka rela mengantri di depan toko demi mendapatkan sepeda incaran. Pada kasus jual-beli sepeda di Solo (Juni 2020), meskipun harga yang dipatok naik 15%, penjualan tiap toko tidak menurun tetapi meningkat hingga 300%. Sepeda dengan level menengah hingga level sultan terjual dengan mudah. Bersepeda berubah wujud, dari olahraga merakyat menjadi bagian aktifitas dari ningrat. Meminjam istilah dari Alex Williams (2005), bicycling is the new golf .

Sepeda menjadi alternatif transportasi era kekinian. Para pegawai kantoran rela mengayuh si roda dua menuju dari kediaman ke tempat kerja. Tren ini kemudian memunculkan istilah bike to work. Istilah ini tentunya sangat parsial dan kontekstual, karena di beberapa tempat hal ini tidak berlaku atau justru sudah dilakukan dan menjadi kebiasaan lama. Para petani, buruh pabrik, guru-guru yang terdapat di daerah sudah sangat akrab dengan bersepeda menuju tempat mereka mencari nafkah. Mereka melakukannya rutin setiap pagi dan sore hari waktu matahari temaram. Sebaliknya, masyarakat yang daya belinya belum mumpuni untuk mengayuh sepeda bernilai jutaan memunculkan istilah baru: work to bike. Mereka harus bekerja keras, mengumpulkan pundi rupiah untuk mendapatkan sepeda impian. 

Pada kondisi perkotaan, bersepeda merepresentasikan etika dan infrastruktur. Kegembiraan yang berlebih, biasanya (walaupun tidak semua) para goweser berjejer memenuhi jalan raya. Tidak jarang mereka berjejer hingga dua atau tiga orang. Keadaan ini memancing respon para pengguna jalan lainnya, seperti memperingatkannya dengan membunyikan klakson. Tanggapan dari pesepeda bermacam-macam, ada yang memaklumi kesalahan mereka; meminta maaf; segera menempatkan diri di pinggir jalan hingga memarahi dan tak jarang memaki. Kenyataan tersebut menggambarkan bahwa infrastruktur jalan raya di sebagian besar di Indonesia belum mewadahi dan memberi akses untuk pengguna sepeda kayuh.

Olahraga bersepeda di kalangan tertentu memunculkan bias gender. Anggapan bahwa bersepeda hanya milik laki-laki terus diperdebatkan. Lekatnya ungkapan harta, tahta, dan sepeda merujuk pada salah satu gender tertentu. Tentunya, perempuan memiliki akses yang sama untuk melakukan aktivitas bersepeda. Walaupun keadaan di jalan, prosentase jumlah pesepeda perempuan jumlahnya sangat kecil. Advokasi terhadap kesetaraan gender pada aktivitas bersepeda muncul dari tulisan Elena Johnson berjudul The Right to Bike (1999). Menurutnya, bersepeda baik perempuan maupun laki-laki sebaiknya tidak dipermasalahkan dan diberikan ruang yang sama. Bersepeda adalah moda transportasi individu terbaik dalam mendukung keseimbangan alam; juga salah satu tujuan terwujudnya sustainable transportation.Sepeda, Bersepeda dan Pesepeda adalah entitas eksistensi yang sebelumnya mewujud dalam pikiran. Sudah sepantasnya sebelum melakukan aktivitas tersebut perlu dipikirkan matang-matang soal etika bersepeda di jalan; konteks realitas sosial; tujuan berolahraga maupun hal-hal yang bersifat personal. Seperti harga sepeda yang sesuai dengan kebutuhan atau tidak, itu harus diseleksi. Jangan sampai ungkapan Rene Descartes berubah menjadi, aku bersepeda maka aku tidak berpikir.