Category: ngibul

  • [Ngibul #58] Melawan Sistem Kerja seperti Dashrath Manjhi

    author = Bagus Panuntun

    Erich Fromm, seorang psikolog, sosiolog, dan filsuf, asal Jerman dalam bukunya Seni Mencintai sempat menyinggung persoalan kerja dengan menyebut dua jenis sistem kerja. Ia menyebut kerja yang pertama sebagai sistem kerja modern, sementara kerja yang kedua sebagai sistem kerja produktif. Sistem kerja modern adalah sistem kerja yang paling jamak kita temui sekarang, yaitu sistem kerja di mana tugas-tugas manusia tidak ditentukan oleh inisiatifnya, tetapi oleh organisasi kerja. Dalam sistem yang dibangun organisasi kerja modern, manusia menjadi makhluk delapan jam, mengerjakan tugas-tugas dengan cara dan kecepatan yang ditentukan, bahkan perasaan dan sifatnya pun telah ditentukan: ia harus murah senyum, ceria, ambisius, bersedia bekerja di bawah tekanan, bahkan dilarang jatuh cinta dengan teman kantornya sendiri. Sementara itu, sistem kerja yang kedua adalah sistem kerja produktif, yaitu sistem kerja yang saya rencanakan, saya ciptakan, dan saya nikmati hasilnya. Sistem kerja produktif adalah sistem kerja yang ditentukan inisiatif sendiri. Dalam kerja ini, orang dianggap menyatu dengan pekerjaannya. Pekerjaan macam ini biasanya dapat kita lihat pada para seniman, sastrawan, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang berhubungan dengan mencipta.

    Dalam bukunya yang lain berjudul Konsep Manusia menurut Karl Marx, Fromm juga mewanti-wanti kita tentang dua sistem kerja tersebut. Menurutnya, manusia seharusnya terbebas dari kerja modern yang menghancurkan individualitas. Bahwa manusia sebaiknya mengerjakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari sifat potensialnya, yaitu kekuatan kreatif manusia agar ia bisa menjadi apa yang dia “dapat menjadi”, bukan menjadi apa yang “harus menjadi”. Bagi Fromm, hanya dengan bekerja sesuai sifat potensialnya itulah manusia dapat terhindar dari rasa keterasingan, menemukan dirinya sendiri, dan pada akhirnya berbahagia—tulisan Fromm ini terinsipirasi dari tulisan Karl Marx tentang konsep alienasi.

    Permasalahannya, di era modern di mana model kerja kapitalisme semakin mapan dan terus bertransformasi, mungkinkah kita bekerja dengan sistem kerja produktif dan terbebas dari sistem kerja modern? Sebagaimana kita tahu, kerja produktif identik dengan idealisme. Mereka yang ngotot lepas dari sistem kerja modern tak jarang harus hidup dalam keadaan miskin dan menderita. Beberapa di antaranya bahkan sampai ditinggalkan orang-orang terdekatnya. Vincent Willem van Gogh, pelukis pasca-impresionis asal Belanda yang memutuskan menghabiskan waktunya untuk melukis sejak umur 27 tahun itu misalnya, harus rela ditinggalkan hampir seluruh keluarganya hingga sepanjang hidupnya terus didera kesepian. Karl Marx sendiri yang menghabiskan waktunya untuk menekuni filsafat dan konon selalu berada di perpustakaan 15 jam sehari juga mengalami kemiskinan akut dan menelantarkan keluarganya ketika berada di London. Di penghujung hidupnya, ia bahkan menderita bronkitis dan radang selaput dada selama 15 bulan sebelum akhirnya meninggal tanpa status kewarganegaraan dan pemakamannya hanya dihadiri 9 pelayat.

    Dari beberapa kisah ironis itu, pada akhirnya kita kerap mendengar omongan orang yang kira-kira berbunyi “kalau mau idealis, jadi kaya raya dulu lah”.

    Pertanyaannya, benarkah untuk menjadi idealis dan menjalani hidup dengan laku kerja produktif, maka kita harus kaya dulu? Pertanyaan tersebut mungkin patut kita renungkan kembali jika kita menonton kisah hidup Dashrath Manjhi dalam film India berjudul Manjhi The Mountain Man (2015) karya Ketan Mehta.

    Manjhi adalah sosok yang riwayatnya dikenang sebagai manusia yang menghancurkan gunung dengan palu selama 22 tahun (1960 sampai 1982). Film ini diadaptasi dari kisah nyata seorang pemuda dari kasta terendah India. Ia tinggal di sebuah desa terpencil yang kering kerontang bernama Gahlore. Di Gahlore, jarak adalah kematian yang mengintai.  Sebuah gunung di desa itu membuat Gahlore terpisah sejauh 70 kilometer dari kota terdekat. Akibatnya, akses pendidikan, teknologi, dan kesehatan hampir tak terjangkau.

    Suatu hari, istri Manjhi yang tengah hamil tua jatuh terjengkang. Ia mengalami keguguran dan Manjhi harus membawanya ke kota terdekat untuk memberinya pertolongan. Tapi di tengah perjalanan yang belum seperempat ditempuh, darah terus mengalir deras dari lobang peranakannya dan meluruhkan dua nyawa orang yang paling Manjhi sayang—istri dan anaknya.

    Selepas hari itu, Manjhi tak pernah lagi jadi orang yang sama. Setiap hari dalam hidupnya, sejak pagi hingga larut, ia selalu pergi ke gunung dengan menggenggam satu palu untuk menghantam gunung yang memisahkan Gahlore dengan peradaban. Akibat tindakannya tersebut, Manjhi dianggap gila. Tapi kegilaannya terus berlanjut sampai akhirnya ia bisa menghancurkan gunung itu dan memangkas jarak antara Gahlore menuju kota terdekat sejauh 69 kilometer.

    Setelah film Manjhi the Mountain Man, Dashrath Manjhi akhirnya dikenal di seluruh dunia. Sebagian orang mengenangnya karena cintanya pada sang istri yang begitu agung. Sebagian lagi mengenangnya karena tindakannya yang dianggap sangat radikal dan bahkan menantang Tuhan. Salah satu ungkapannya yang paling terkenal adalah “Never depend upon God. Who knows that God may depend on you?”.

    Tapi saya mengenangnya dengan cara lain. Menurut saya, Manjhi adalah gambaran dari seorang yang melakukan kerja produktif paling total dari pencipta manapun. Seniman lain mungkin hanya memahat batu jadi kuda, sedangkan Manjhi justru memahat gunung, batu raksasa menjadi jalan yang dapat dilalui seribu kuda. Lebih dari itu, ia juga menjadi antitesis dari siapapun yang meyakini bahwa kerja produktif hanya bisa dilakukan oleh mereka yang kaya raya. Dari Manjhi, saya justru meyakini bahwa kerja paling produktif justru bisa dilakukan oleh mereka yang sudah tak punya apa-apa.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #57] Etika dan Masa Depan Mahasiswa

    author = Andreas Nova

    Ketika mendengar berita tentang banner Etika Menghubungi Dosen yang dipasang di Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informatika, Fakultas Teknik, UGM, saya teringat kejadian serupa yang melibatkan seorang teman saya, Olav. Iya, Olav yang sama yang menjadi Redaktur Opini di website yang sedang kamu baca ini. Jadi, sekitaran tahun 2009, Olav diberi tugas dari dekanat untuk membuat design banner tentang etika berpakaian dalam berkuliah. Isi banner tersebut seingat saya meliputi: (1) harus mengenakan kemeja atau kaus berkerah, (2) mengenakan sepatu, (3) tidak merokok di dalam kelas, dan sebagainya. Sebagai temannya saya juga ikut bantu-bantu, biarpun sekedar menemani mencetak banner, atau mengarahkan gaya saat memotret model untuk banner tersebut.

    Ketika design banner sudah jadi, kami mencetak satu sebagai sampel, lalu Olav mempresentasikannya ke Bu Dekan. Saya menunggu di kantin, karena memang secara resmi saya tidak terlibat dalam proyek itu. Lima belas menit kemudian, karib saya itu menyusul ke kantin dengan cengar-cengir. Saya pikir, proyek beres, dana sudah cair, dan minimal saya di traktir makan.

    “Gimana?” tanya saya.

    “Revisi!” jawabnya singkat.

    Menurut cerita Olav, banner tersebut perlu revisi karena ada dua alasan. Pertama, ada beberapa kesalahan tata bahasa Inggris dalam banner tersebut, dan tentu saja ini cukup memalukan jika sudah terpasang di beberapa titik kampus, apalagi Bu Dekan berasal dari jurusan Sastra Inggris. Kedua, Olav mempresentasikan ke Bu Dekan mengenakan kaos oblong, celana denim yang sudah kumal dan sedikit sobek di beberapa titik, juga sandal jepit kuning kesayangannya.

    Kampus kami, sebelum masa Bu Dekan menjabat, dikenal sebagai kampus yang bebas, terutamanya masalah berpakaian. Mau pakai kaos oblong, mau pakai sandal jepit, mau pake celana sobek-sobek, silakan. Tidak ada aturan untuk mengatur itu. Menemukan mahasiswa yang mengenakan kemeja atau kaos berkerah (juga membawa tas ransel berukuran besar) hampir dapat dipastikan dia adalah mahasiswa tahun pertama.

    Olav, biasanya hanya mengenakan kaos oblong (biasanya dibalik supaya kelihatan polos, dan jahit obrasnya nampak di sisi luar seperti tren kaos-kaos distro masa itu), celana denim sobek-sobek, juga membawa tas selempang kecil berisi beberapa lembar kertas hvs, satu buku bacaan yang agak tipis, pulpen (kalau tidak terlupa), dan sandal jepit (atau sneaker belel jika dia sudah ditegur oleh dosen atau perlu mengurus sesuatu di kantor jurusan). Saya hampir sama, bedanya saya masih mengenakan sepatu, menutup kaos oblong dengan jaket tipis yang hampir selalu saya kenakan, celana yang belum sobek (jika hari senin) dan tas daypack (agar dapat membawa beberapa barang, termasuk menyimpan jaket ketika nongkrong di kantin).

    Setelah banner tersebut direvisi, dicetak, dan dipasang di beberapa titik lokasi di kampus kami. Seperti biasa selalu ada pro dan kontra setiap kali ada peraturan baru yang muncul. Dalam skala kecil, kadangkala pendapat yang kontra dengan peraturan tersebut dibiarkan berlalu sampai hilang begitu saja. Bahkan Bagus Panuntun juga mempertanyakan mengapa bersandal dan berkaos dilarang untuk kuliah dalam artikel di blognya.

    Terlepas dari suara pro dan kontra akan peraturan tersebut, banner sudah terpasang, dan mau tak mau jika tidak ingin kelamaan kuliah, mahasiswa wajib untuk menaati etika berpakaian dalam berkuliah. Olav pun berubah, ia mulai membiasakan mengenakan kemeja lengan pendek (minimal kaos berkerah), mengenakan celana yang lebih rapi, juga bersepatu (tetap dengan sneaker belelnya). Tak hanya Olav, bahkan sebagian besar mahasiswa yang semula berkaos oblong, celana sobek, perlahan-lahan berubah. Yang belum berubah hanya sebuah pertanyaan di benak saya, apa sih fungsi etika berpakaian dalam berkuliah ketika (seharusnya) kita dinilai dari perilaku dan hasil belajar di kampus?

    Pertanyaan tersebut terjawab di masa depan, ketika saya dan Olav memasuki dunia kerja. Kebetulan saya bekerja di sebuah perusahaan yang tidak memiliki aturan khusus berpakaian formal di kantor. Pegawainya dibebaskan untuk mengenakan kaos, atau kemeja, atau kaos polo, juga dibebaskan memakai celana denim atau celana kain. Bahkan untuk memakai sandalpun tidak ada aturannya, selama tidak bertemu dengan klien atau pada saat acara resmi kantor. Alhasil, saya ke kantor kadang berpakaian seperti anak nongkrong, memakai kaos berkerah, celana denim dan sandal (namun saya selalu menyiapkan sepatu di bawah meja kerja saya jika sewaktu-waktu ada meeting, atau acara kantor. Itu pun hanya sneaker, bukan sepatu formal). Sesekali mengenakan pakaian formal hanya saat pada acara pemotretan untuk keperluan update company profile. Namun berbeda dengan sahabat saya Olav. Ia menjadi PNS di kantor dinas tingkat provinsi. Kan juga tidak mungkin dia memakai kemeja pantai, atau pakaian casual lainnya di kantornya. Sekarang di kantornya ia tampil rapi dengan pakaian dinas PNS, mengenakan sepatu formal, sabuk kulit, juga rambutnya selalu tersisir rapi.

    Etika berpakaian dalam berkuliah tersebut bukan dimaksud untuk mengekang kebebasan berekspresi via pakaian dalam berkuliah, namun justru mengajarkan kita patrap dan empan papan. Patrap adalah adab, empan papan adalah menempatkan diri di berbagai situasi dan kondisi. Boleh kok, pakai kaos oblong, sandalan, bahkan pakai celana pendek. Tapi ya nggak pas kuliah, pas nongkrong di kantin, atau di kafe saja. Kalau di kantor atau di kampus, ya ikuti aturannya. Ndak cocok dengan aturannya ya silakan keluar, atau lebih bekerja keras supaya naik pangkat dan bisa menduduki jabatan yang berwenang untuk mengubah aturan tersebut.

    Begitu juga dengan etika untuk berkomunikasi dengan dosen. Kita juga diajarkan supaya tahu adab, dan menempatkan diri di situasi berbicara dengan orang yang lebih tua. Etika komunikasi ini menjadi penting, karena banyak kesalahpahaman yang terjadi ketika kita tidak berkomunikasi secara langsung. Wong berkomunikasi secara langsung saja sering salah paham, apalagi berkomunikasi via WA atau SMS. Patrap dan empan papan dalam berkomunikasi bahkan sudah dinilai langsung ketika melamar pekerjaan. HRD di kantor saya akan langsung mengabaikan email lamaran pekerjaan yang tidak disertai pengantar di badan email, maupun yang menulis CV di badan email. Kemampuan basa-basi yang dulu saya anggap tidak penting, kini malah menjadi penting sebagai pencair suasana ketika bertemu klien, atau kenalan baru. Bahkan jika bekerja di bidang yang berhubungan dengan masyarakat umum, seperti layanan pelanggan atau di bidang hospitality service, sesalah apapun pelanggan, ia tetap tidak bisa disalahkan. Semuda apapun pelanggan, juga tidak boleh dipanggil Bro, atau Sis seperti jualan di online shop.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #55] Sisa-sisa Adu Domba

    author = Olav Iban

    23 Agustus 1682,  kapal Kemphorn diberangkatkan dari Inggris menuju Banten. Menumpang di dalam kapal, serombongan diplomat Kesultanan Banten yang dipimpin Kiai Ngabei Nayawipraja dan Kiai Ngabei Jayasedana. Membawa pulang hasil diplomasi 3,5 bulan dalam secarik surat pribadi yang diserahkan setangan kepada mereka oleh Raja Charles II untuk Sultan Ageng. Isinya bukan main-main: janji persahabatan Kerajaan Inggris dengan Kesultanan Banten.

    Dua diplomat itu sebelumnya bertolak dari pelabuhan Banten pada Senin, 10 November 1681, membawa muatan lada, kayu bahar, jahe, cengkih, dan barang-barang pribadi senilai 7.000 rial. Juga diangkut pula hadiah Sultan Banten untuk Raja Inggris berupa 200 batang lada, beberapa berlian, dan seperangkat burung merak emas dengan batu permata yang kesemuanya bernilai 12.000 rial.

    Rakyat London mengelu-elukan dua diplomat dari negeri jauh. Mengagumi kemewahan hadiah dari Sultan Banten. Rombongan duta besar Banten dijemput 60 kereta kuda yang ditarik enam ekor kuda. Di arakan terdepan ada pasukan berkuda para bangsawan Inggris yang dipimpin Sir John Wetwang. Kemudian diikuti sebuah kereta yang di dalamnya terdapat dua payung putih milik Sultan yang tidak dikembangkan—perwakilan kehadirannya. Lalu kereta untuk Kiai Ngabei Nayawipraja ditemani oleh Sir Charles Cotterel, Sir Henry Dacres, dan Mordent, sementara kereta Kiai Ngabei Jayasedana ditemani Sir Jeremey Sambroock, Master Darcey, dan Marshall. Di belakangnya lagi terdapat iring-iringan pasukan duta besar yang membawa payung-payung bangsawan Kesultanan Banten.

    Sepanjang jalan dari Towerhill ke Aldgata dan Leadenhall Street, bukan main meriahnya rakyat London menyambut misi diplomatik dari Banten itu. Seremoni penyambutan dilakukan tiada taranya. Selain untuk menghormati Sultan Banten, juga karena mereka duta besar pertama dari bagian dunia Timur yang pernah datang ke Inggris. Mereka diperkenalkan kepada Raja Charles II dan Ratu pada 14 Mei 1682 lewat upacara besar, diikuti dengan penyerahan surat pribadi Sultan Banten dan pemberian hadiah-hadiah.

    Selama bulan Juni 1682, kedua tamu penting itu dibawa berkunjung dan diperkenalkan ke Tower of London, Westminster Abbey, House of Lords, dan House of Commons. Sebelum kedua duta besar Banten ini menyelesaikan misinya dan pulang ke tanah air, mereka mendapat gelar bangsawan oleh Raja Inggris beserta pedang kehormatan. Kiai Ngabei Nayawipraja diberi gelar Sir Abdul, sedangkan Kiai Ngabei Jayasedana mendapat gelar Sir Achmet.

    Kisah gilang-gemilang misi diplomatik Kesultanan Banten itu tak banyak yang tahu. Tak pernah ada noktahnya dalam buku sejarah. Penyebabnya sepele: karena kapal Kemphorn Inggris yang membawa kedua diplomat itu ditolak berlabuh di Banten, tanah airnya sendiri.

    Ketika mulanya rombongan diplomat Banten diberangkatkan tahun 1681, Sultan Haji sang Putera Mahkota (anak Sultan Ageng) masih memiliki hubungan baik dengan ayahnya yang anti-Belanda. Tetapi selang beberapa bulan kemudian, Sultan Haji berbalik arah politik. Ia membelot menjadi pro-Belanda. Sultan Ageng dikudeta oleh anaknya sendiri, terusir dari istananya dan dipenjarakan. Sultan Haji yang akhirnya berkuasa atas bantuan Belanda mengusir semua orang Inggris dari Banten pada 12 April 1682, dan putuslah kontrak persahabatan Inggris-Banten yang telah jauh-jauh melintasi samudera.

    Seorang anak mengkhianati ayahnya? Apalagi kalau bukan karena adu domba. Adu domba? Apalagi kalau bukan karena nafsu kekuasaan melebihi hasrat kekeluargaan.

    Berlalu waktu, 130 tahun kemudian, Kesultanan Banten tiada lagi sebanding dengan Kerajaan Inggris Raya maupun Kerajaan Belanda. Pada tahun 1808, Deandels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, memerintahkan penghancuran Istana Surosuwan karena Sultan Banten kala itu menolak memindahkan ibukotanya guna pembangunan Jalan Raya Pos. Lebih menyedihkannya, ketika Kerajaan Inggris berkuasa di tanah Jawa, tanpa ampun Gubernur Raffles melucuti tahta Sultan Banten. Kesultanannya pun resmi dihapus dari peta dunia pada 1813 oleh Pemerintah Kolonial Inggris, sang calon mantan sahabat.

    Kisah di atas hanya satu dari senarai sisa-sisa adu domba. Di Indonesia, permainan politik devide et impera (memisah dan menguasai) sudah lama melegenda sampai ke desa-desa walau tak ada yang bersusah payah belajar darinya. Kerajaan-kerajaan besar di belahan Bumi lain bukannya luput dari adu domba. Bahkan berkali lipat banyak dan akibatnya. Perang Napoleon (1803-1915), perang Kaisar Wilhelm (1914-1918), perang Adolf Hitler (1939-1945) adalah contoh majestik adu domba yang kualitas dan kuantitasnya lebih gila ketimbang perang Sultan Haji. Bedanya, mereka belajar dan yang lain tidak.

    Mereka, yang belajar, tak mau lagi jatuh ke dalam perpecahan dan pertikaian. Menolak terpenjara di balik tembok kesukuan, agama, ras. Mereka telah belajar bahwa adu domba adalah permainan majenun yang mengatur agar suku, agama, ras berkohesi dengan hak-hak kelompok, bukan hak-hak individu.

    Saeful dan Andreas bukan lagi Saeful dan Andreas, melainkan orang kristen atau muslim, cina atau pribumi. Orang yang terlarut ke dalam permainan majenun adu domba tidak mampu melihat Saeful atau Andreas sebagai individu, tetapi hanya mau memandang mereka sebagai representasi kelompok suku, agama, rasnya. Padahal, bilamana sekejap saja ia melihat Saeful atau Andreas sebagai individu, hilanglah perbedaan dan muncullah persaudaraan. Serupa seandainya Sultan Haji memandang Sultan Ageng sebagai ayahnya, alih-alih lawan kekuasaannya.

    Mereka yang mau belajar dari sisa-sisa adu domba akan mampu mengembangkan hidup ini. Sibuk melakukan misi-misi konstruktif yang memacu kebahagiaan universal: membuat mobil listrik, membangun PLTB, mendirikan perpustakaan gratis, mengajar di desa tertinggal, mencari algoritma pengentas kemiskinan, membuat roket ke luar angkasa, dst.

    Sebenarnya lucu bila ingat kita yang lebih dulu mengenal amalgamasi malah masih terpenjara di antara tembok itu. Seperti Kesultanan Banten di masa gilangnya dulu, mereka—yang belajar—ini mengirimkan misi-misi yang melompati tembok kesukuan, agama, ras.

    Dulu, ketika Indonesia dilanda pertumpahan darah antarsaudara 1965, seorang sarjana muda Institut Teknologi California mencetuskan ide perjalanan lintas galaksi, mencari apa yang belum diketahui umat manusia di luar sana. Kini, Februari 2018, ketika sebagian ‘sultan-sultan’ kita disibuki perdebatan hari Valentine, selamat Imlek, kembalinya PKI—atau apalah itu—sementara itu semua, di langit sana dalam keheningan luar angkasa, sebuah misi lintas galaksi Voyager sudah 21.166.657.174 km jauhnya dari Bumi, melewati Pluto sambil terus mengirimkan informasi ilmiah ke Bumi untuk masa depan umat manusia.

    Lalu, kita?

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #54] Warna dalam Puisi Naya

    author = Fitriawan Nur Indrianto

    Berkali-kali saya membolak-balik buku puisi Abinaya Ghina Jamela (selanjutnya disebut Naya) berjudul “Resep Membuat Jagat Raya”. Buku itu berisi 59 puisi yang merupakan hasil cipta dari gadis kecil berusia 8 tahun. Tentu ada banyak hal “ajaib” dalam puisi-puisi Naya, mulai dari imaji sederhana namun cukup membuat kita heran bagaimana bisa anak sekecil itu membayangkannya, perumpaman-perumpamaan yang “nyeleneh”, hingga kekayaan teks dalam puisi-puisi itu (Banyak puisi Naya yang diambil dari teks mitologi, sebagian besar didapatnya dari kegemaran membaca buku dan menonton film layar lebar). Tapi saya justru tertarik perihal warna-warna dalam puisi Naya.

    Warna menjadi salah satu bagian yang sering muncul dalam puisi-puisi Naya. Ada beberapa jenis warna (dalam definisi yang eksplisit) dan umum didengar, antara lain hijau, kuning, oranye, putih, merah, hitam, cokelat, dan biru. Tetapi ada juga warna lain semisal silver atau bening di dalam puisi Naya. Selain itu ada juga warna lain yang tidak disebutkan secara eksplisit seperti: warna pelangi, mata yang cerah, berwarna seperti langit sore hari, atau warna daun kering.

    Menurut sebuah artikel yang pernah saya baca, anak usia 18 bulan konon sudah mulai mengenal warna. Tetapi menurut sebuah penelitian, seorang anak baru benar-benar mengenal warna pada usia 3 tahun meskipun masih dalam taraf pengetahuan tentang warna dasar. Saya sendiri tidak ingat kapan pertama kali mengenal warna dan kapan bisa membedakan warna satu dengan yang lain. Hal yang saya ingat adalah waktu kecil, saya sudah bisa membedakan bungkus jajanan Anak Mas ada yang berwarna kuning dan berwarna cokelat (belakangan saya tahu bahwa identifikasi warna yang saya lakukan itu tidak benar-benar tepat ketika menyebutkan warna bungkusnya). Selain itu, saya juga ingat bahwa pelajaran tentang warna secara ilmiah pertama kali saya pelajari kelas 5 SD ketika bertemu dengan pelajaran IPA, mengenai spektrum cahaya (waktu itu, usia saya mungkin 10 atau 11 tahun (?)).

    Kembali ke puisi Naya, diksi-diksi warna yang sering muncul dalam puisi-puisinya sebagian besar digunakan untuk menggambarkan benda konkret, misalnya salju berwarna putih, langit berwarna biru, kuning telur, putih seperti awan, bertopi hitam, sepatu berwarna biru dan lain-lain. Jika dirasa, warna-warna itu nampaknya lahir dari pengalaman empirik penulisnya secara langsung. Pengalaman empirik ini bisa didapat dari pengalaman melihat langsung benda-benda yang dimaksud, misalnya ketika mengatakan topi berwana biru atau awan berwarna putih, maka ada kemungkinan Naya memang melihat benda-benda itu secara langsung. Tetapi, ada juga warna yang didapat dari pengalaman empirik lain. Artinya, ia tidak melihat benda itu secara langsung, tetapi pengetahuan mengenai warna suatu benda ia dapat dari gambar atau video. Dalam sajak “Di Luar Angkasa” misalnya, Naya mampu menggambarkan garis ekor komet dengan menyebutnya berwarna hijau. Pengetahuan tentang warna garis ekor komet ini tentu ia dapat tidak dari pengamatan langsung.

    Salah satu bagian yang menarik adalah pengetahuan warna Naya bisa dikatakan kaya. Dalam sajak “Dori Si Pelupa” misalnya, Naya telah mampu mengidentifikasi warna pelangi. Naya pun tahu bahwa pelangi didominasi oleh warna-warna cerah, seperti merah, kuning, hijau bukan warna gelap atau buram. Dalam sajak ini pula ia mampu mengenal warna langit senja yang ia katakan tatkala menggambarkan tokoh Nemo. Dalam sajak “Wafer”, Naya bahkan melukiskan adonan wafer yang dipanggang berwarna daun kering. Menurut anda seperti apakah warna daun kering itu? Apakah ia coklat, abu-abu, hitam, kombinasi warna-warna tersebut ataukah warna daun kering itu sendiri?

    Dalam pengamatan saya, penggunaan warna dalam puisi Naya nampaknya hadir sebagai mana adanya. Ia masih setia untuk mengatakan bahwa warna salju adalah putih, warna stroberi adalah merah, atau warna lemak telur adalah kuning. Agaknya Naya belum terlalu liar dalam menggunakan imajinasinya. Misalnya saja ia tidak melukiskan misalnya sayap angsa berwarna pink, atau awan berwarna hijau misalnya. Tetapi saya kira itu wajar saja. Pertama, hal ini justru menunjukkan dirinya sebagai anak-anak yang masih polos dalam melihat segala sesuatu. Penggambaran apa adanya itu mungkin juga sengaja dilakukan untuk melukiskan sesuatu sama seperti realitas yang ia temui. Tentu aneh juga kalau Naya menggambarkan sesuatu tidak sesuai kenyataan, misalnya angsa berwarna pink atau yang lain sementara hal tersebut memang tidak dibutuhkan dalam puisinya. Bisa dikatakan penggambaran warna itu ia gunakan sejajar dengan apa yang ia lukiskan. Dari penggambaran warna ini, dapat saya katakan bahwa gaya puisi-puisi Naya adalah “realis” bukan surealis atau yang lain. Tapi bukan tidak mungkin suatu hari Naya akan menulis karya sastra (entah puisi atau prosa) dengan gaya yang lain.

    Yang terakhir, saya melihat bahwa penggunaan diksi warna dalam puisi Naya terkait pula dengan kegemarannya melukis. Dalam salah satu puisinya, Naya memang menceritakan hal tersebut. Yang perlu kita pelajari dari Naya, barangkali sebagai orang dewasa, kita bisa belajar bagaimana mendidik anak dengan mengenalkan pada mereka keindahan dunia yang penuh dengan warna, salah satu metodenya misalnya dengan melukis. Tulisan ini pun akan saya tutup dengan salah satu puisi Naya yang menceritakan pengalaman melukisnya tersebut. Tapi sebelum itu, saya sarankan bagi anda yang senang pada puisi untuk membeli dan membaca buku puisi Naya berjudul “Resep Membuat Jagat Raya.” Konon, penyair Joko Pinurbo pun menyarakan orang-orang untuk membacanya. Demikian.

    Pahlawan

    -buat Nermi Silaban

    Seorang lelaki bernama Mimo
    selalu mengantarku ke mana saja.
    Perutnya gendut seperti bola.
    sangat menggemaskan. Suaranya
    lembut seperti baju kaos kesayanganku
    dan pelukannya hangat seperti air
    yang ku minum ketika batuk.
    Dia suka mengajakku melompat seperti kelinci dan kodok
    hingga bunda berteriak seperti suara kodok.
    Dia mengajariku melukis, menulis puisi, berenang, membaca, berdiskusi, dan menonjok anak-anak yang nakal padaku.
    Ketika aku sakit dia akan merawatku
    seperti pangeran, aku suka ceritanya tentang perpustakaan Naya dan monster.
    Dia pahlawan superku yang keren
    dan kami akan pergi ke Paris.

    2015

     

     

    Tambahan informasi:
    Abinaya Ghina Jamela lahir di Padang, 11 Oktober 2009. Buku Resep Membuat Jagat Raya (Kabarita, 2017) adalah buku puisi pertamanya yang telah cetak lima kali. Ia mulai menulis puisi sejak usia 5 tahun.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #53] Mantan Menolak Lupa

    author = Danu Saputra

    Beberapa hari yang lalu, di beberapa grup Whatsapp yang saya ikuti, berseliweran informasi tentang acara melupakan mantan. Di hari itu juga, ketika saya membuka lini masa media sosial, saya menemukan banyak informasi yang sama. Sembari saya membuat tulisan ini, saya juga melakukan penelusuran kata “mantan” di mesin pencarian google. Penelusuran itu memberikan sekitar 68,1 juta hasil pencarian dalam waktu 0,44 detik, dengan 4 hasil teratas merujuk kata “mantan” yang berasosiasi dengan asmara dan pasangan. Kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, hasil penelusuran itu lebih dari sepertiga jumlahnya. Kata tersebut ternyata memang mampu menarik perhatian banyak orang.

    Saya melanjutkan penelusuran dengan menggunakan kata “melupakan.” Mesin pencarian google merespon dengan memberi 10 hasil penelusuran teratas dari 12,2 juta adalah tentang cara dan doa melupakan mantan. Melihat hasil itu, saya bertanya-tanya, sebenarnya apa sih “mantan” itu sehingga sangat perlu untuk dilupakan?

    Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “mantan” diartikan sebagai bekas, sedangkan kata “bekas” diartikan sebagai tanda atau sesuatu yang tertinggal sebagai sisa; pernah menjabat atau menjadi; atau sudah pernah dipakai. Kalau kata “mantan” ini dipasangkan dengan pacar dan atau pasangan, berarti “mantan pacar” atau “mantan pasangan” itu menunjukkan kondisi “tidak lagi menjadi pacar atau pasangan” dan memberi tanda atau sesuatu yang tertinggal. Tertinggal di mana? Di hati dan perasaannya, mungkin.

    Kembali pada kenyataan ada acara melupakan mantan dan banyaknya pecarian informasi tentang cara melupakan informasi melalui mesin pencarian google, sejujurnya saya masih belum paham mengapa ia harus dilupakan. Sebagai orang yang berada pada posisi menjadi mantan, ada rasa sedih yang muncul entah dari mana ketika saya membayangkan jika ternyata saya benar-benar dilupakan. Dilupakan itu sakit Bos, yakin. Kalau tidak percaya, coba aja sendiri berada pada posisi dilupakan.

    Orang-orang yang ingin melupakan itu apa tidak ingat, pada saat sebelum menjadi mantan atau pasangan, bagaimana perjuangan tarik ulur perasaan, tarik ulur keputusan untuk nembak atau tidak, terima atau tolak, kekhawatiran bagaimana kalau begini, bagaimana kalau begitu, dan beragam gejolak perasaan lain. Mereka apa ya tidak sadar, bisa menjadi seperti sekarang ini karena pernah melewati waktu bersama sang mantan?  Seharusnya mereka berterima kasih untuk itu semua, untuk waktu-waktu yang pernah dilewati bersama.

    Apasih salahnya mantan sampai harus dilupakan? Apakah tidak bersama lagi itu suatu kesalahan? Kalaupun memang kesalahan, itu kesalahan siapa? Apakah pantas menyalahkan mantan atas kesalahan yang tidak mungkin terjadi karena satu pihak saja?

    Daripada melupakan mantan seperti itu, saya rasa lebih baik untuk kita menerima mantan sebagai bagian dalam hidup kita. Mengakui bahwa mantan pernah mengisi beberapa waktu dalam hidup kita, baik itu diisi dengan kenangan yang menyenangkan atau menyakitkan, lebih baik daripada seumur hidup berusaha melupakan mantan yang nyata-nyata telah memberi tanda, menyisakan kenangan, dalam hidup. Mungkin memang kita pernah terluka, tapi yang membuat kita terluka itu tindakan, bukan sosok mantan itu. Kita boleh saja membenci tindakan mantan, tapi janganlah benci orangnya, bukankah dulu kamu pernah begitu mencintainya?

    Sekali-kali merasa kangen dengan mantan itu wajar kok, tidak masalah, tidak perlu ditolak dan diabaikan. Toh sesungguhnya kalau dipikir-pikir, yang dikangeni itu momen-momen tertentu, bukan sosoknya. Kita merindukan bayangan, momen-momen, dan tindakan yang pernah dilakukan, bukan pada sosok itu sendiri. Kalau ia hadir kembali, tapi tidak sesuai dengan bayangan yang kita bangun atas sosoknya, bisa jadi kita akan kecewa.

    Mungkin kebiasaan-kebiasaan menyalahkan sosok ini lah yang membuat kita tidak beranjak ke mana-mana. Kita begitu marah pada sosok tersebut tapi abai terhadap tindakannya yang membuat kita marah, seakan-akan semua selesai dengan marah pada sosoknya. Kurang ajarnya, bahkan kita sering kali melupakan kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukannya, semua karena kemarahan pada sosoknya.

    Jangan-jangan kita juga melakukan pola-pola seperti ini pada banyak hal lain. Kita begitu benci pada koruptor tapi abai pada tindakan korup itu sendiri. Bahkan mungkin kita melakukan tindakan korup tanpa kita sadari, korupsi waktu, fasilitas, dan mengorupsi hal-hal lain.

    Jadi bagaimana, masih ingin melupakan mantan? Saya sih memilih untuk menolak lupa. Seperti kata-kata yang sohor di pantat truk; eling rasane, lali jenenge. Eh gimana?

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #52] Kopi Slukatan: Kopi dari Wonosobo yang Kurang Dikenal Warganya Sendiri

    author = Bagus Panuntun

    1.

    Di sebuah kota yang dingin, kopi seharusnya menjadi teman yang intim bagi para penghuninya. Tapi tak demikian dengan Wonosobo. Di kota kecil yang terletak di lereng Sindoro-Sumbing ini, kopi masih jarang menghangatkan perbincangan di meja-meja keluarga.

    Kopi memang kalah pamor dibanding teh yang sejak lama telah menjadi salah satu komoditas utama kota. Tapi tetap saja, fakta yang saya temui cukup bikin geleng kepala: di sebuah desa bernama Slukatan, 4 dari 5 warga yang kami temui mengaku tak pernah mendengar nama Kopi Slukatan.

    2.

    Pada mulanya adalah perbincangan dengan seorang teman yang didaulat menjadi Duta Wisata Wonosobo. Saya bertanya adakah varietas kopi lokal yang ia tahu. Ia menjawab akan menanyakannya di grup whatsapp perkumpulan Duta Wisata. Tak sampai lima menit, ia memberi tiga nama. Pertama, kopi Bowongso dari kecamatan Kalikajar. Nama ini adalah yang paling jamak disebut sebagai produk kopi kebanggaan lokal. Kopi Bowongso sudah gampang ditemui di kafe-kafe yang mulai tumbuh di sekitar alun-alun kota. Kedua adalah Kopi Karangsari dari kecamatan Sapuran. Nama kopi ini baru pertama kali saya dengar. Tapi sebab letaknya yang terlalu jauh dari pusat kota, saya memilih sejenak mengabaikannya. Sementara nama yang ketiga adalah Kopi Slukatan. Ia berasal dari Kecamatan Mojotengah yang relatif lebih dekat karena bisa ditempuh kurang 1 jam dari pusat kota.

    Saya pun memutuskan untuk mengunjungi Desa Slukatan demi menyicip kopi desa tersebut. Sebelumnya, saya berterima kasih pada teman-teman Duta Wisata Wonosobo. Nyatanya, Duta Wisata mampu memberi lebih banyak faedah dibanding sekadar menjadi among tamu di Pendopo Kota.

    3.

    Saya berangkat menuju Slukatan bersama tiga kawan saya, Indra, Dede, dan Dika. Kami naik sepeda motor di mana Indra memandu di posisi paling depan. Jarak kota Wonosobo sampai Desa Slukatan sebenarnya tak jauh-jauh amat. Kira-kira 15 kilometer. Hanya saja, separuh dari jalur tersebut adalah jalan berbatu yang naik-turun. Yang sungguh aduhai, perjalanan menuju Slukatan akan diselingi oleh pemandangan-pemandangan menawan di kanan-kiri jalan. Setidaknya selama perjalanan, kita akan berjumpa dengan Sungai Serayu, hamparan sawah hijau berlatar Sindoro-Sumbing, hingga lembah Desa Slukatan yang hijau berbukit-bukit.

    Sebenarnya hari itu kami sama sekali tak tahu di mana tepatnya kami bisa mendapat kopi Slukatan. Kami tak berbekal informasi tentang adakah semacam kedai kopi di sana atau siapa nama petani kopi yang bisa kami temui. Maka, ketika kami memasuki Desa Slukatan, kami memutuskan menyambangi dahulu Jembatan Gantung Slukatan yang beberapa kali muncul di akun instagram @wonosobohitz. Harapannya, di jembatan tersebut kami akan bertemu dengan seorang warga lokal yang tengah lewat atau sedang istirahat untuk bertanya-tanya tentang Kopi Slukatan.

    Warga lokal pertama yang kami temui adalah juru parkir di area tersebut. Munculnya foto Jembatan Slukatan di akun-akun instagram populer ternyata membuat kunjungan ke desa ini cukup meningkat sehingga diputuskan bahwa desa memiliki juru parkir. Sayangnya sang juru parkir mengaku tak tahu sama sekali tentang Kopi Slukatan.

    Kami kemudian menuju ke arah pemukiman warga di mana jalan masih tetap naik-turun berbatu namun pemandangan di sisi jalan tak lagi dihiasi oleh bukit-bukit melainkan rumah-rumah. Kami berhenti di depan sebuah warung sembako dan menanyakan perihal yang sama pada tiga orang Ibu-ibu yang tengah bertukar cerita.

    “Bu, nuwun sewu, kalau mau cari kopi Slukatan dimana nggih ?”, tanya saya setelah turun dari motor.

    “Kopi Slukatan? Kopi nggih kopi aja mas. Kalau kopi sih di sini ada. Kopi Kapal Api. Kapal Api oke!”, jawab seorang Ibu sambil mengacungkan jempolnya.

    Yawla. Yang oke RCTI bu”, batin saya.

    Kami mulai merasa janggal dan meragukan keberadaan kopi Slukatan. Beruntung, kami kemudian berjumpa dengan seorang Bapak yang tengah menikmati udara segar lewat jendela kamarnya sembari ngerokok dan ngopi. Bapak itu memberi tahu kami tentang seorang petani kopi bernama Pak Parman.

    “Mungkin Mas sedang cari Pak Parman. Silahkan balik arah ke arah masjid nanti ada jalan kecil di sebelah kanan. Masuk saja ke sana lalu turun sampai di rumah paling mentok”.

    4.

    Ruas jalan ke arah rumah Pak Suparman hanya selebar 1 meter dengan turunan yang cukup curam dan licin-berbatu. Rumahnya benar-benar berada di ujung pemukiman, berdiri sendiri dengan tenang dan bersahaja. Di depan rumah itu, kami bertemu dengan seorang lelaki paruh baya berbadan gempal yang nampaknya tengah bersiap berangkat ke kebun.

    Nuwun sewu Pak, bisa bertemu Pak Parman?”,

    “Saya Pak Parman. Wah, dari mana ini? Ada apa nggih?”,

    “Asli Wonosobo juga kok Pak. Ingin nyicipi kopi Slukatan”,

    “Wah untung saya belum berangkat ngarit (mencari rumput)”, balasnya sambil tertawa lebar.

    Ternyata tak ada kedai kopi di Slukatan. Yang ada hanyalah rumah sederhana berdinding kayu-berlantai tanah dengan pintu yang selalu terbuka lebar. Di dalam rumah itu, terdapat ornamen-ornamen khas warga Nahdlatul Ulama. Kaligrafi Surat Yaasin dari kulit hewan, foto para sesepuh kyai NU, hingga lukisan Baitul Makdis yang terpajang gagah di atas pagar. Kami disambut oleh pasangan Suami-Istri Pak Parman yang mempersilahkan kami duduk sembari menunggu mereka memasak air. Di depan kami sudah tersedia kudapan ceriping, peyek, dan kue kering.

    Sekitar 10 menit kemudian, Pak Parman keluar dari dapur dengan membawa lima buah cangkir dan satu teko air mendidih. Tak lupa dibawanya pula sebungkus kopi bubuk Slukatan yang telah dikemas dengan gaya modern.

    Kami sedikit heran mengapa kopi yang telah dikemas menjadi produk seperti ini bisa tidak dikenali warga-warganya. Maka sembari menyeduh kopi tubruk dengan cita rasa pahit yang ringan, cenderung asam, dan agak manis ini, kami membicarakan pelbagai hal tentang kopi Slukatan bersama Pak Parman.

    Kopi Slukatan adalah jenis kopi Arabika yang telah ditanam sejak tahun 1990. Dalam satu kali panen, desa Slukatan dapat menghasilkan lebih dari 20 ton bijih kopi kering. Selama ini, kopi Slukatan sebenarnya hampir selalu menjadi bahan utama untuk kopi campuran yang dijual di pasar-pasar Wonosobo. Hanya saja, nama kopi Slukatan memang belum terkenal karena belum dikemas secara kreatif oleh masyarakat desa. Keluarga Pak Parman lah yang memulai pengemasan ini beberapa bulan lalu.

    Kami pun mencoba menanyakan perihal keterlibatan pemerintah Wonosobo dalam mengelola salah satu komoditas potensialnya.

    “Pemerintah tidak ikut membantu Pak? Misalnya merencanakan Slukatan sebagai desa wisata agrikultur, begitu?”,

    “Pemerintah dari dulu sebenarnya sudah menawarkan mas. Tapi sumber daya manusianya yang nggak ada. Pemudanya masih kurang aktif mas di sini. La kalau ada teman-teman yang mau KKN di sini mungkin nanti bisa berubah pemikiran warganya”, terang Pak Parman dengan suaranya yang tegas tapi juga ramah.

    Menyesap kopi di daerah dingin begini, apalagi ditambah klethikan criping yang tak habis-habis, benar-benar membuat kami betah berlama-lama. Pak Parman, meski harus menunda waktunya ke kebun, ternyata tak nampak terganggu  sama sekali. Ia justru bercerita banyak tentang keluarganya yang turun temurun telah jadi petani kopi. Salah satu anaknya kini juga membantunya mengolah bijih kopi Slukatan dan menjadi sosok yang punya ide memasarkannya dengan gaya anak muda. Kopi Slukatan telah beberapa kali mengikuti pameran hasil pertanian yang diselenggerakan pemerintah Wonosobo dan Temanggung. Kopi ini dijual dengan harga 250.000 rupiah per kilonya. Sejak mengikuti beberapa pameran, rumah Pak Parman jadi kerap dikunjungi tamu-tamu dari luar kota. Dari sini, ia berharap bahwa kopi Slukatan akan makin dikenal dan membuat anak-anak muda di sana bisa hidup dari bertani.

    “Kalau anak muda mau bertani Mas, banyak sekali lo bantuan dari pemerintah yang bisa diminta. Mas-mas ini seharusnya besok tua punya kebun sendiri. Boleh jadi sarjana sastra, boleh jadi insinyur, boleh jadi apa saja, asalkan tetap jadi petani. Kalau nggak ya namanya menyia-nyiakan rezeki. Wong tanah kita bisa ditanami apa saja”, ujarnya mantap.

    Saya menandaskan sisa kopi yang tinggal seperempat  cangkir saja. Tak terasa, waktu telah beranjak sore dan dingin mulai menembus switer yang saya kenakan sampai menyentuh pori-pori. Seduhan kopi terakhir cukup membantu menghangatkan kembali tubuh saya. Tapi saya harus segera berpamitan. Sebelum beranjak pulang, kami berterima kasih sambil menanyakan harga kopi pada Pak Parman.

    “Mohon maaf Pak Parman, berapa musti kami bayar ya Pak?”,

    Ia menjawab “Nggak usah bayar Mas, gratis sesama Wonosobo, bantu promosikan saja”, ujarnya, lagi-lagi sambil tertawa.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #51] Belajar Tabayun dari Tayo

    author = Andreas Nova
    Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
    Sarjana Sastra dengan susah payah.

    Hampir setiap sore, Televisi di ruang keluarga rumah saya dimonopoli oleh anak saya. Sesudah mandi dan makan sore, dia akan standby di depan televisi untuk menonton serial animasi Robocar Poli, Chuggington, dan Tayo the Little Bus. Serial terakhir ini adalah favoritnya. Tayo the Little Bus tidak pernah dilewatkan biarpun terkadang anak saya sudah tampak ngantuk di depan televisi. Pokoknya jangan berharap anak saya bisa tidur nyenyak kalau belum mendengar lirik “Hai Tayo, hai Tayo, dia bis kecil ramah…”

    Tayo the Little Bus adalah serial animasi dari korea yang menceritakan kehidupan Tayo, sebuah bus yang bisa berbicara dan berperilaku seperti manusia. Biarpun acara tersebut memiliki rating untuk ditonton semua umur, saya tidak mungkin membiarkan seorang anak umur dua tahun menontonnya sendirian. Sebagai orang tua tentu saja saya harus menemani anak saya yang sedang dalam fase mengamati dan meniru. Jika tidak, mungkin anak saya bakal menepuk ban bus TransJogja—yang sama-sama berwarna biru seperti Tayo—untuk mengajaknya tos.  

    Layaknya serial animasi anak-anak, tiap episode Tayo menyuguhkan alur cerita yang linear serta ringan dicerna oleh anak-anak. Selain itu tentu saja ada pesan moral yang disampaikan dalam setiap episodenya. Hal tersebut yang seringkali saya sampaikan kepada anak saya. Karena tentu saja, anak saya belum bisa menangkap apa pesan di balik sebuah cerita.

    Episode favorit saya adalah Air, Helikopter Pemberani (Air, The Brave Helicopter, Season 2 Episode 21). Episode tersebut diawali dengan Tayo yang sedang bekerja, mengemudi melintasi jembatan mirip Golden Gate, sembari membaca puisi Kartu Pos Bergambar: Jembatan “Golden Gate”, San Fransisco melihat ada ramai-ramai di pinggir sungai. Ia kemudian menepi dan menemui Pat dan Rookie (Pat adalah mobil patroli polisi, dan Rookie adalah seorang petugas kepolisian) di tepi sungai. Mereka bukan sedang memancing seperti mas-mas nganggur yang biasa mancing di pinggir embung. Mereka sedang melihat ada sepasang manusia hampir tenggelam. Seperti layaknya polisi di film India klasik, mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Lalu kemudian datanglah juru selamat berupa helikopter berwarna merah menyelamatkan sepasang manusia tersebut. Sesudah korban diselamatkan, Tayo yang pada dasarnya adalah bus kecil ramah seperti lirik lagu pembukanya, mengajak si helikopter berkenalan. Helikopter itu bernama Air, dia helikopter yang punya spesialisasi pemadam kebakaran. Tapi terkadang nyambi menjadi juru selamat dalam kasus-kasus tertentu seperti yang baru saja terjadi. Setelah berkenalan dan basa-basi sebentar, Air pun kembali terbang seperti Ultraman seusai mengalahkan monster.

    Setelah kembali ke garasi, Tayo menceritakan perkenalannya dengan Air—dengan sedikit umuk, tentu saja— kepada Lani, Rogi dan Gani. Cerita Tayo tersebut membuat Lani, Rogi, dan Gani juga ingin berteman dengan Air. Keesokan paginya, ketika Lani sedang bekerja, ia melihat sebuah helikopter berwarna merah melintas di udara. Kemudian ia berteriak minta uang memanggil Air si helikopter. Si Air lempeng aja meninggalkan Lani yang berteriak memanggil namanya. Lani pun ngambek. Sementara itu, Gani sedang membantu Rubby bersih-bersih parkiran umum yang menjadi lahan bermain para bis dan mobil-mobil lainnya. Ketika pekerjaan mereka hampir selesai, Air melintas perlahan. Gani yang juga ngebet ingin kenalan memanggilnya. Ia dan Rubby beruntung, Air mendengar panggilan mereka. Tapi si Air tidak mau dekat-dekat dengan mereka. Alhasil obrolannya baru sebatas formalitas dan Air pun terbang kembali ke Markas Pemadam Kebakaran. Sampai di markas, Air dikejutkan oleh kehadiran Rogi, bus hijau yang paling caper di antara bus lain. Rogi sama dengan yang lain. Niatnya cuma pengen kenalan. Mungkin karena kaget, Air tidak jadi mendarat dan menyuruh Rogi menjauh. Disuruh menjauh, Rogi patah hati. Ia merasa seperti ditolak gebetan. Ia pun pergi meninggalkan Air.

    Lani, Gani, dan Rogi bertemu di garasi. Mereka saling curhat bagaimana sikap Air kepada mereka. Mereka menganggap Air sombong karena tidak mau berteman dengan mereka. Masa ia cuma mau kenalan sama Tayo doang, mentang-mentang tokoh utama. Ketika Tayo kembali ke garasi, mereka bertiga sambat kepada Tayo. Mereka mengadu kalau Air itu sombong. Mentang-mentang helikopter ndak perlu macet-macetan di jalan. Tadi Lani ndak digubris, sama Gani ndak mau dekat-dekat, Rogi malah disuruh menjauh. Tayo bingung. Tapi Tayo tidak mau mentah-mentah menerima pendapat mereka. Tayo memutuskan untuk meminta tabayun pada Air. Ia mendatangi markas pemadam kebakaran, menemui Air yang sedang ngopi sendiri. Tayo menceritakan keluhan teman-temannya. Berawal dari sambat terbitlah curhat. Air bilang dia agak budeg karena suara baling-balingnya sendiri. Dilema juga sih, kalau baling-balingnya muter dia jadi agak budeg, kalau dimatiin kok ya ndak bisa terbang. Lalu Tayo tanya apakah tadi ketemu sama teman-temannya. Air cerita ketemu sama bis merah sama bis hijau. Lha bis kuning? Air menggelengkan kepala (ini saya juga heran kenapa helikopter bisa geleng-geleng). Tayo mulai sadar, ini semua salah paham. Air itu bukannya ndak ngreken Lani tapi Airnya yang gak denger. Lalu Tayo menanyakan kok Air ndak mau deket-deket sama Gani. Air menjelaskan kalo mereka lagi bersih-bersih. Kalau dia mendekat, kotoran-kotoran yang sudah dibersihkan nanti pada berantakan lagi kena angin dari baling-balingnya. Tayo manggut-manggut (ini saya juga heran, bis kok bisa manggut-manggut, kayaknya shockbreakernya terlalu empuk). Lalu terakhir Tayo menanyakan kenapa Rogi diusir sama Air. Si helikopter menjelaskan kalau Rogi terlalu dekat. Bahaya kalau sampai kesampluk sama baling-baling. Hmmm…, rupanya begitu. Tayo sadar semua itu cuma salah paham antara Air dan ketiga temannya. Memahami sesama bus saja sudah sulit apalagi kalau beda spesies. Ketika kembali ke garasi, Tayo menjelaskan kesalahpahaman itu kepada teman-temannya. Ya namanya sudah terlanjur memberi label, tentu saja tidak serta merta bisa melepaskan label itu dari obyek yang sudah diberi label. Mereka tidak begitu saja menerima penjelasan Tayo.

    Keesokan harinya ketika sedang bekerja, terjadi kebakaran di sebuah gedung bertingkat. Apinya ada di tingkat atas. Bus-bus tersebut bukannya malah lanjut kerja tapi malah nonton kebakaran sambil foto-foto. Frank si mobil pemadam berusaha memadamkan api tapi airnya tidak bisa mencapai titik api yang terlalu tinggi. Lalu mereka mendengar kabar bahwa Hana, montir cantik kesayangan mereka terjebak di atas gedung (kenapa ada di sini? Namanya juga kartun). Tambah bingung dan galaulah keempat bus kecil itu. Kemudian datanglah Air. Ia menyiramkan air untuk memadamkan api yang berada di atas gedung. Di atas gedung ia melihat Hana ada di situ dan meminta tolong. Air berusaha menembus asap tebal yang membumbung tinggi sambil terbatuk-batuk (ebusyet). Akhirnya Air bisa merendah dan menyelamatkan Hana dari atap gedung yang sedang terbakar itu. Hana dan keempat bus bertemu. Tayo dan ketiga temannya berterimakasih kepada Air. Lani, Gani, dan Rogi akhirnya bisa berkenalan dan berteman dengan Air. Kira-kira ceritanya begitu.

    Pesan moral dalam episode tersebut adalah jangan gampang menghakimi dan melabeli seseorang tanpa melakukan klarifikasi terlebih dahulu. Tanpa perlu membawa-bawa agama dan sebagainya, satu episode serial animasi produksi Korea Selatan memberi pesan universal bahwa alangkah bijaknya kita bila mendahulukan prasangka baik daripada prasangka buruk. Alangkah bijaknya jika kita melakukan klarifikasi—dengan prasangka baik—sebelum memberi label pada seseorang ataupun sesuatu.

    Akhir-akhir ini kita mendengar banyak berita masyarakat kita mudah terprovokasi informasi yang tidak dapat dipastikan kebenarannya. Jangan dikira informasi yang menyebar itu hanya berasal dari internet atau pesan berantai di grup WA saja. Informasi yang keluar dari mulut ke mulut saja barangkali bisa jauh lebih berbahaya dan menghasilkan efek yang lebih spontan—apalagi kalau disampaikan dengan cara yang meyakinkan. Masyarakat yang mudah terprovokasi itu kemudian bertindak layaknya polisi moral, kemudian menghakimi secara sepihak.

    Kita tentu ingat beberapa bulan lalu, seorang pria pernah dihakimi massa kemudian dibakar hidup-hidup karena disangka mencuri amplifier di musala. Sepasang muda-mudi ditelanjangi dan diarak massa karena disangka berzina, atau barangkali kejadian yang baru saja terjadi, pembubaran bakti sosial oleh sebuah gereja Katolik di Banguntapan, Bantul, DIY karena disangka kristenisasi.

    Saya bahkan yakin betul pihak-pihak yang membubarkan bakti sosial itu tidak tahu bedanya agama Kristen dan Katolik. Bahkan saya juga yakin, mereka tidak tahu bagaimana proses seseorang bisa menjadi seorang Katolik atau Kristen. Barangkali, mereka beranggapan bahwa masuk Katolik/ Kristen cukup mengucapkan kalimat syahadat atau kredo seperti halnya syarat menjadi bagian umat Islam. Padahal tidak semudah itu. Lagipula, kredo yang diimani oleh orang Katolik terdiri dari 14 kalimat yang cukup panjang, dan bukan menjadi syarat utama menjadi orang Katolik. Untuk menjadi orang Katolik, seseorang harus mengikuti pelajaran agama atau katekisasi selama 6 bulan hingga satu tahun untuk selanjutnya bisa menerima Sakramen Baptis. Cara paling mudah untuk menjadi orang Katolik adalah lahir di keluarga Katolik, jadi bisa mengikuti Sakramen Baptis tanpa mengikuti katekisasi. Tapi ya ketika sudah akil baliq tetap harus ikut dua kali katekisasi selama masing-masing minimal 6 bulan, sebagai syarat menerima Komuni dan Sakramen Krisma. Ribet ya jadi orang Katolik? 

    Maka dari itu saya sempat heran, kok bakti sosial bisa disangkutpautkan dengan adanya kristenisasi atau katolikisasi itu gimana nalarnya? Itu tidak jauh beda dengan nasi bancakan yang dibagikan kepada tetangga sekitar ketika anakmu berulang tahun. Tidak ada maksud apa-apa selain berbagi kebahagiaan dengan tetangga, atau masyarakat sekitar terlebih bagi masyarakat yang kurang mampu. Alasan kristenisasi dan katolikisasi menurut saya terlalu berlebihan untuk masa sekarang. Barangkali alasan itu masih masuk akal jika hal seperti ini terjadi pada masa imperialisme abad 14 ketika lagi kencang-kencangnya semboyan Gospel, Gold, Glory.

    Terlepas dari hal-hal tersebut, yang lebih menakutkan bukanlah hal-hal besar seperti koyaknya kebhinnekaan dan sebagainya. Oke, itu menakutkan dan jangan sampai terjadi. Justru yang lebih saya takutkan adalah hal yang lebih sederhana seperti takut berbuat baik. Orang akan takut dicurigai memiliki motif dan maksud yang jauh dari niatannya untuk menolong seseorang. Ada orang tersesat, mau diantarkan oleh warga setempat, nanti dikira mau dirampok. Ada janda minta tolong ngangkatin galon sama mas-mas, nanti dikira mereka akan berbuat mesum. Ealah, sampeyan terlalu banyak nonton bokep kayaknya.

    Kasus-kasus yang saya sebutkan tadi, setelah diselidiki pihak yang berwenang ternyata malah ditemukan bahwa sangkaan-sangkaan itu salah. Sangkaan seseorang dapat ditarik kembali, namun apakah nyawa orang yang telah dibakar itu bisa dikembalikan? Apakah pria yang dibakar itu dapat dihidupkan dan dikembalikan kepada anak dan istrinya? Apakah rasa malu sepasang muda-mudi yang tubuh yang ditelanjangi dan dilihat oleh seluruh warga akan terhapus dari ingatannya? Apakah trauma yang dirasakan oleh pemudi yang diarak telanjang oleh warga akan dapat dihilangkan?Tidak semudah itu. Perkataan dapat ditarik, namun tindakan yang sudah dilakukan tidak dapat ditarik kembali. Dahulukan otak dan hati—tentu yang saya maksud di sini adalah otak yang berisi dan hati yang besar, sebelum bertindak.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

    Pendapat Anda:

  • [Ngibul #50] Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sastra Indonesia

    author = Asef Saeful Anwar

    Kesulitan pertama menulis tentang beliau dalam hubungannya dengan sastra Indonesia adalah justru mengolah emosi, bukan mengolah materi. Mungkin ini juga yang dialami teman-teman yang kontra dengan sejumlah langkah dan pernyataan beliau sehingga yang keluar adalah cacian dan makian-sesuatu yang saya keluarkan pada dinding kamar yang tak salah apa-apa. Saya merasakan itu dan dapat mengerti, meski demikian saya mengajak teman-teman yang kontra untuk bisa mengolah emosi dengan lebih tenang, tetap berpikir jernih, dan tetap menentang dengan lantang, agar kritiknya tak mendapatkan sikap antipati dari orang-orang yang sebenarnya punya satu niat untuk melakukan perlawanan yang sama dengan cara yang berbeda.

    Jujur saya memendam rencana untuk menulis ini selama berpekan-pekan. Setiap kali membaca pernyataannya, baik di situs yang berafiliasi dengannya maupun sejumlah media daring lainnya, saya harus mengelus dada—tentu dada saya sendiri, bukan dada ayam goreng—dan menahan mulut agar tak misuh-misuh—yang sayangnya lebih banyak gagalnya sehingga harus disusul istighfar. Barangkali di balik segala pernyataannya yang “nggateli”—astaghfirullah saya misuh—ada juga manfaatnya, yaitu membuat saya rajin melafal istighfar.

    Bismillah saya mulai saja tulisan ini—eh bukannnya udah dimulai dari tadi?

     

    Mengapa buku, bukan laporan survei?

    Ketika mengemuka kontroversi buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, apa yang pertama kali muncul dalam kepala saya adalah pertanyaan: mengapa klaim pengaruh itu berwujud dalam sebuah buku, bukan laporan hasil survei? Semisal pun wujudnya buku, kenapa tidak ditulis berdasarkan hasil survei? Bukankah survei adalah salah satu keahlian salah seorang dari 33 tokoh tersebut yang awalnya menulis sesuatu-yang-diklaim-sebagai-puisi-esai setelah melakukan survei kepada pembaca di Indonesia dengan objek puisi?

    Dengan lembaga yang dimilikinya beliau bisa mengadakan survei dengan responden yang memenuhi kriteria tertentu: penulis yang karyanya telah tersebar di sejumlah media massa, penulis yang mendapatkan penghargaan atas karyanya, akademisi sastra, dan lain-lain. Taruhlah nama beliau, sandingkan dengan beberapa nama tokoh sastra lainnya sebagai pilihan bagi responden, dan apakah hasilnya akan sama dengan 33 tokoh itu? Atau cuma hilang satu orang? Sepengetahuan saya, sampai sekarang beliau tidak melakukan survei macam itu. Sebab saya yakin beliau tahu bahwa hasil survei tidak akan mampu memberinya gelar tokoh sastra, apalagi dengan predikat “berpengaruh”.

    Dunia sastra adalah ruang yang memiliki aturan permainan sendiri, yang tidak bisa disamakan dengan dunia politik. Orang-orang yang menulis dan menerbitkan banyak buku puisi belum tentu akan diakui sebagai penyair, apalagi yang cuma menerbitkan satu buku dan atas biaya sendiri. Gelar penyair, cerpenis, novelis, atau sastrawan itu ibarat gelar kiai dalam masyarakat muslim Jawa, ia mengada ketika masyarakat mengakuinya, mengerti jasanya, dan menerima berkat kehadirannya.

    Seseorang yang mengaku dirinya sebagai kiai di tengah masyarakat muslim Jawa lebih banyak ditertawakan daripada dihormati. Begitupun dalam jagat sastra Indonesia, mereka yang mendaku sebagai sastrawan kerap mendapatkan cibiran daripada sanjungan, dan biasanya orang yang mengaku adalah orang yang tak diakui. Seperti mantan yang mengaku: “dia masih pacarku”. (Atau dalam guyon para santri: ia seperti nun mati yang bertemu lam dan ro, ada tapi tak diakui kehadirannya. Duh, nyesek.)

    Dunia sastra, atau arena sastra dalam istilah Pierre Bourdieu, adalah medan yang otonom. Ia sangat alergi pada modal ekonomi. Ia seperti punya perisai atau semacam sistem imun bagi siapa pun sehingga mereka yang tidak menuruti aturan permainannya maka akan terpental. Apa yang bisa beroperasi secara maksimal di dalamnya adalah modal simbolik atau modal sosial, modal ekonomi cenderung tertolak, bahkan seolah sebagai medan yang berlawanan. Hasilnya bisa dilihat bahwa karya-karya bestseller yang memiliki keuntungan ekonomi tinggi kerap kali bukan karya yang mendapatkan penghargaan secara simbolik dari segi estetika. Begitupun sebaliknya, karya yang mendapatkan hadiah sastra dengan puja-puji dari kritikus atau pers cenderung minim angka penjualannya. Karya adalah simbol utama seseorang untuk diakui sebagai penulis atau sastrawan. Simbol yang lain adalah pengakuan ahli dan penulis senior yang sudah mapan sebagai sastrawan. Simbol yang lain adalah pemuatan atau pembicaraan di media massa. Ketika beliau menerbitkan buku kumpulan sesuatu-yang-diklaim-sebagai-puisi-esai, beliau memanfaatkan tokoh-tokoh sastra kenamaan untuk memberinya simbol lewat serangkaian pengakuan dalam endorsement.

    Alih-alih mendapat pengakuan, buku itu tidak mendapatkan banyak respons di dunia sastra. Lalu dibuatlah serangkaian kerja untuk mendukung bahwa karyanya diterima oleh publik sastra: diunggah di media daring jaringannya, diklaim telah banyak dibaca dengan menunjukkan jumlah viewers, dibuat versi teaternya, dibuat film pendeknya, diadakan lomba sesuatu-yang-diklaim-sebagai-puisi-esai, merangkul sebuah jurnal sastra untuk pemuatan dan pembicaraan terkait sesuatu-yang-diklaim-sebagai-puisi-esai, dan serangkaian kerja lainnya guna mengumpulkan modal simbolik yang berujung pada terbitnya buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.

    Gemparlah dunia sastra Indonesia dan kita tahu kemudian ada kasus merembet ke ranah hukum. Sepi beberapa jenak. Dan gempar lagi dunia sastra ketika beliau melalui media daring jaringannya mengumumkan proyek penulisan sesuatu-yang-diklaim-sebagai-puisi-esai dari 34 provinsi di Indonesia. Tulisan yang sangat jelas, terang, dan penuh kejujuran itu menunjukkan kesadaran langkahnya untuk mengklaim pengaruhnya itu sungguh menyesakkan. Astaghfirullah al‘adzim….

    Kembali mengalirlah kontroversi itu, bergulir pada poin-poin yang kadang jauh dari apa yang dikritik: mengapa orang tak boleh menulis sesuatu-yang-diklaim-sebagai-puisi-esai? (Et dah, sapa nyang ngelarang?) Sastra mestilah santun, jangan diisi caci maki. (Apakah jejaring sosial itu dunia sastra? Bacalah karya-karya orang yang dianggap mengeluarkan caci maki itu, apakah isinya caci maki? Beberapa karya mereka bahkan pernah menjadi unggulan dan ada yang mendapatkan penghargaan). Lawanlah buku dengan buku. (Hmm…jaman saiki gampang nerbitke buku, nggur nganggo duit isa, melebu percetakan dadi. Semboyan buku lawan buku hanya bisa berlaku selama penerbit bersikap netral dan tidak memihak pada yang bermodal. Kenyataannya kini banyak buku terbit tanpa adanya kerja keredaksian yang ketat dan tepat). Mari berkarya, jangan sibuk mencaci dan memaki. (Memangnya para penanda tangan petisi yang lantang menyuarakan penolakan itu tidak berkarya? Karya mereka tersebar di sejumlah media massa, bahkan beberapa telah dan akan terbit bukunya setelah melalui tahap seleksi yang ketat, tanpa perlu mengeluarkan modal ekonomi sendiri). Apakah salah membayar seseorang untuk menulis? Bukankah itu bagian dari profesionalisme? (Bagus itu, penulis wajib dibayar. Tapi, yang kemudian salah adalah klaim keterpengaruhan atas kerja itu. Bahwa banyak orang menulis sesuatu-yang-diklaim-sebagai-puisi-esai karena terpengaruh oleh karya beliau itu sungguh tidaklah tepat. Seolah-olah mereka dengan sadar menuliskannya tanpa ada pesanan dan bayaran. Bukankah ini salah satu bentuk penipuan? Duh, dusta manalagi yang kau nikmati? Seandainya mereka dibebaskan menulis puisi tentang daerah masing-masing dengan bentuk yang dibebaskan apakah mereka akan menuliskannya dalam bentuk sesuatu-yang-diklaim-sebagai-puisi-esai?)

    Mohon maaf bila paragraf di atas terlalu emosional, saya ambil wudlu dulu biar lebih tenang.

     

    Tonggak Angkatan Baru

    Tersiarlah sejumlah kabar yang kembali membuat mengelus dada. Beliau mengatakan tahun 2018 ini adalah tonggak lahirnya angkatan baru sastra Indonesia. Astaghfirullah al-‘adzim innallaha ghofururrohim

    Ketika menyatakan lahirnya angkatan baru dalam sastra Indonesia, HB Jassin dan Korrie Layun Rampan telah tekun dan teliti mengikuti perkembangan karya sastra di sejumlah media massa dan karya-karya yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku. Mereka melakukan kajian yang cukup mendalam dengan sejumlah alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun beliau mak jegaguk, tanpa melakukan survei terlebih dulu sebagaimana sering beliau lakukan, memberikan pernyataan bahwa tahun 2018 ini segera menjadi tonggak lahirnya angkatan baru dengan landasan karya-karya yang belum diterbitkan. Ya, belum diterbitkan. Bila HB Jassin dan Korrie Layun Rampan merumuskan ciri-ciri angkatan baru dari karya-karya sastra yang sudah tersiar dan tersebar di masyarakat, beliau dengan “saktinya” merumuskan ciri-ciri karya sastra angkatan baru terlebih dulu sebelum ditulis oleh para penulis yang diklaimnya merupakan generasi baru sastra Indonesia. Astaghfirullahal ‘adzim innallaha ghofururrohim la haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyiil ‘adzim….

    Karya-karya yang dikatakannya sebagai puisi panjang yang mirip cerpen serta bercatatan kaki sehingga mirip makalah—lalu kenapa tidak disebut sebagai cerpen makalah?— menurutnya adalah salah satu bentuk baru bagi sastra Indonesia. Ia mengatakan hal ini dengan menyinggung sejumlah pencapaian sesuatu-yang-diklaim-sebagai-puisi-esai: telah ada buku yang khusus membahasnya, telah lahir puluhan buku kumpulan sesuatu-yang-diklaim-sebagai-puisi-esai, dan telah pula diseminarkan di Malaysia—di Indonesia belum ada? Kenapa? Apakah nanti akan jadi pula sebagai pembaharu sastra Melayu?

    Dengan segala pernyataan yang diberikannya, beliau seolah menggambarkan bahwa sesuatu-yang-diklaim-sebagai-puisi-esai telah diterima dengan baik oleh publik sastra. Dengan cara semacam itu, publik sastra, terutama para penanda tangan petisi, kontan menolaknya. Sekali lagi, khusus bagi saya, keberatan dan kritik bukan diarahkan pada sesuatu-yang-diklaim-sebagai-puisi-esai—meskipun beberapa pihak juga mengkritik dan menolak klaim kebaruan tentang hal ini—tetapi lebih ditujukan pada klaim-klaim yang diberikannya dan langkah-langkah berlumpurnya ketika masuk dunia sastra Indonesia.

    Berita tentang tonggak lahirnya angkatan baru itu muncul di sejumlah media daring. Apa yang janggal, berita tersebut tak mendeskripsikan bagaimana pernyataan itu muncul dari beliau. Bahkan, masalah kapan dan di mana pernyataan itu disampaikan pun tak ada keterangannya. (Apa kabar 5W 1H?) Apakah beliau mengundang sejumlah wartawan untuk konferensi pers lalu yang datang cuma media daring yang menyiarkan berita tersebut atau banyak yang datang tapi yang memberitakannya cuma satu-dua media daring itu? Atau beliau mengirimkan press realese kepada media-media daring yang menyiarkan itu atau mengirimkan ke seluruh media dan hanya mereka yang menyiarkannya? Atau media daring itu mengambil berita dari situs jaringan beliau? Ah rasanya tidak, di sana terulis: “Ketika ditanya bagaimana soal munculnya banyak petisi yang menolak kehadiran…. di banyak komunitas?”. Tapi, kapan pertanyaan itu dilontarkan, bagaimana cara bertanyanya, apakah langsung atau jangan-jangan cuma lewat WA? Atau bagaimana sih kok berita itu bisa muncul? Perlu dicari tahu pula apakah media daring yang menyiarkan berita itu memiliki rubrik sastra? Bila punya, apakah selama ini pernah memuat sesuatu-yang-diklaim-sebagai-puisi-esai atau tulisan mengenai itu?

    Hal-hal tersebut perlu diperjelas untuk mengetahui apakah berita tersebut memang muncul karena ketertarikan pers pada gagasan dan kontroversi seputar beliau, atau sebaliknya, berita itu merupakan dampak dari salah satu langkah yang ditempuh beliau demi klaim-klaim yang dikeluarkannya dengan cara mengirimkan bahan berita ke sejumlah media massa yang kebetulan tengah butuh berita. Kecenderungannya ke arah yang mana, publik bisa menilainya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: apakah selama ini pernah ada media massa, baik cetak maupun daring, yang memuat sesuatu-yang-diklaim-sebagai-puisi-esai tanpa ada afiliasi dengan beliau? Apakah ada sebuah perlombaan menulis puisi yang membebaskan tema dan bentuk, yang minimal menerima naskah berbentuk sesuatu-yang-diklaim-sebagai-puisi-esai, atau malah sempat memenangkannya tanpa ada afiliasi dengan beliau? Apakah ada penerbit buku yang secara sukarela menerbitkan kumpulan sesuatu-yang-diklaim-sebagai-puisi-esai tanpa ada afiliasi dengan beliau? Apakah ada seseorang yang pernah menulis sesuatu-yang-diklaim-sebagai-puisi-esai tanpa niat mengikuti perlombaan atau proyek penulisan yang digagas beliau? Apakah ada? Jika ada, sudah seberapa banyak? Apakah lebih banyak dari karya teman-teman yang kontra pada cara bagaimana beliau masuk ke dalam dunia sastra?

    Seandainya memang selama ini beliau melakukan serangkaian kerja dan mengeluarkan serentetan pernyataan seperti yang sudah disinggung di atas demi diakui pengaruhnya, barangkali kita memang harus mulai mengakuinya. Munculnya kontroversi, petisi, kekecewaan, permusuhan, kekesalan, caci-maki, istighfar, tulisan ini, dan lain-lainnya terkait masalah itu sejatinya karena pengaruh beliau.

    Semakin kita mengelak bahwa kita tidak dipengaruhi beliau semakin menegaskan bahwa kita dalam pengaruhnya. Mau tidak mau, jalan terakhirnya, kita tidak bisa mengelak bahwa beliau untuk saat ini—nggak tahu besok malam—memang tokoh paling berpengaruh bagi sastra Indonesia. Tapi, sepertinya bukan pengaruh yang baik. Wallahu a’lam.***

     

    Yogyakarta, Ahad Pon 11 Rabiulakhir 1439 H

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #5] Alkudus: Usaha Menulis Kitab Suci yang Fiktif

    author = Asef Saeful Anwar

    Tulisan ini hanya semacam teaser sebelum novel Alkudus dirilis. Anda bisa berhenti sampai di sini bila tak ingin tahu mengenai novel yang berbentuk “kitab suci” itu.

    Alkudus ditulis dengan asumsi dasar: apakah manusia beriman kepada Tuhan setelah membaca—bisa selesai bisa pula hanya beberapa ayat—sebuah kitab yang dianggap suci, atau mereka mempercayai kitab itu suci setelah beriman kepada Tuhan?

    Pilihan terakhir adalah yang paling jamak dijalani meskipun dalam prosesnya keberadaan Tuhan—dalam batin manusia—kemudian lebih banyak dilekatkan dan dikekalkan dengan ayat-ayat kitab suci yang didaras dengan jahar. Bahkan, pada aras tertentu kitab suci itu justru dituhankan.

    Demi mendukung jatidiri kenabiannya, beberapa orang menggunakan kitab suci dari sejumlah agama dengan tafsir sesuai kehendaknya. Lia Eden membaurkan petuah-petuah agama besar di dunia, Ahmad Musadeq mengoplos ajaran-ajaran agama samawi, dan Sri Hartatik mengetik wahyu—istilah yang digunakannya—yang diturunkan kepadanya lalu menjilidnya dan menyebutnya sebagai Alkitab Na’sum. Tiga orang itu menjadikan kitab suci—khusus untuk Sri Hartatik menggunakan tanda petik—sebagai salah satu media untuk menarik khalayak dalam ajaran mereka. Cara lain ditempuh dengan mengimingkan masa depan yang lebih baik sembari mengecam keadaan masa kini. Dan yang juga penting, mereka menunjukkan sejumlah kesaktian yang disebut sebagai mukjizat, atau minimal mereka menceritakan kisah-kisah ajaib yang pernah dialaminya sebagai proses dipilihnya mereka sebagai nabi. Cara terakhir diamalkan pula oleh sejumlah nabi palsu lainnya yang ada di Indonesia. Jadi, bahasa yang ilahi dan kesaktian di luar nalar adalah daya tarik utama seorang nabi.

    Sebelum muncul kasus Sri Hartatik, Alkudus sudah dalam proses penulisan dengan nada bercanda: “apa yang kurang dari para nabi palsu itu adalah mereka tidak punya kitab suci, dan kalimat-kalimat yang mereka katakan sebagai wahyu terasa terlalu manusiawi sehingga sulit diakui kalau itu datang dari yang ilahi.” Sebagian dari kita mungkin masih ingat bagaimana surat Lia Eden kepada Presiden SBY yang alih-alih menggetarkan hati malah menarik bibir kita untuk terbuka.

    Berangkat dari itu, saya baca sejumlah kitab suci dan kitab-kitab keimanan lainnya dari sejumlah agama. Saya pelajari juga ajaran para nabi palsu di Indonesia lewat internet maupun buku komunitas mereka. Saya tak hendak membanding-bandingkan ajaran mereka, apalagi mencari yang paling benar. Namun, sekadar ingin tahu bagaimana cara Tuhan berfirman. Dan ternyata masing-masing agama memiliki Tuhan dengan gaya berfirman yang berbeda. Lalu mana yang saya pilih untuk menuturkan kisah dalam Alkudus?

    Saya memilih untuk tidak memilih, membiarkan otak dan batin bekerja sama menuntun jemari entah dalam bahasa Tuhan yang mana, yang jelas harus ilahiah, yang jelas “Tuhan” dalam novel itu tengah berfirman. Bagaimana yang ilahiah itu, apakah yang melulu mengancam dengan “janganlah” dan memerintah dengan “ikutilah”, atau yang memberitakan kabar baik dengan “sesungguhnya”? Semuanya saya baurkan tetapi lebih banyak memberitakan kabar baik, dan disusun dalam cerita, bukan poin-poin ajaran yang kebas, sebab sebagian besar ajaran agama dibabarkan melalui kisah. Lalu bagaimana dengan ayat-ayat yang sifatnya hukum agama? Saya sisipkan dalam cerita, setiap cerita melambangkan hukum tertentu: cinta, kasih, keadilan, iman, ketaatan, dan lain-lain. Apakah Alkudus nanti terasa nuansa ilahiahnya? Pembaca nanti yang akan menilai, yang jelas saya mengalami kesulitan yang amat besar ketika menjadikan Tuhan sebagai juru kisah, sebab saya tetaplah manusia, dan pada akhirnya saya harus sadar kalau apa yang saya tulis adalah novel, bukan kitab suci.

    Lalu bagaimana dengan cerita-cerita di dalam novel? Ini merupakan kesulitan berikutnya. Bila alur cerita dalam agama samawi dipancangkan dalam karya sastra, ia menjadi monoton dan kaku. Alurnya seperti itu-itu saja. Satu nabi datang untuk mengingatkan kaum kibir. Mereka yang degil kena bala sedangkan mereka yang insaf terselamatkan. Berikutnya keturunan kaum yang sadar itu menjadi ingkar dan didatangkan kembali seorang nabi dengan akhir yang sama. Demikian selanjutnya, berulang-ulang, hanya ada variasi dalam bentuk pelanggaran dan jenis mukjizat sang nabi. Oleh karena itu, saya menyiasati dengan beberapa cara agar pembaca tak bosan. Salah satunya, saya masukkan kejanggalan dari sudut karya sastra ini sebagai bagian cerita, sebagai salah satu bentuk alasan pengingkaran manusia, yang memantik penjelasan tokoh sang nabi mengapa Tuhan menerapkan alur yang demikian.

    Meskipun banyak kesulitan, menulis Alkudus juga cukup menghibur ketika beberapa peristiwa dalam keseharian dengan kejadian dalam novel ada kalanya bersinggungan, salah satu contohnya peristiwa berikut. Di suatu sholat Jumat, ketika mendengarkan khotbah dalam bahasa Jawa halus dari seorang guru, saya tertegun dan menemukan sebuah persoalan yang menarik. Kejadian hilangnya barang atau sandal di masjid ketika ditinggal sholat adalah peristiwa yang banyak dialami oleh umat muslim. Pagi itu Alkudus tengah sampai pada bagian akhir yang menceritakan adanya seseorang yang tidak mau beribadat dengan 3 alasan. Sebelum Jumatan baru ada 2 alasan mengapa ia tidak mau beribadat. Lha, karena ingat pada kejadian hilangnya barang saat ditinggal sholat, saya menemukan alasan tokoh itu untuk tidak beribadat dalam sebuah rumusan pertanyaan: “buat apa menyembah Tuhan kalau Ia tidak bisa menjaga terompah hamba-Nya yang tengah beribadat?” Dan Anda tahu apa dampak dari pertanyaan itu? Ketika bubar Jumatan, sandal saya hilang. Tapi dengan hilangnya sandal itu, saya jadi memikirkan jawaban pertanyaan itu dengan lebih baik dan khusyuk, untuk menjadi dasar mengapa “Tuhan” memerintahkan orang bebal tadi untuk beribadat.

    Sebagai teaser, ini sudah terlalu panjang, maka saya cukupkan sampai di sini saja, yang jelas di dalam novel ini Anda akan menemukan banyak keajaiban dari tokoh-tokohnya: ada yang mampu mengubah hujan menjadi anggur, ada yang lahir dari pemijahan dalam mimpi, ada yang lahir dari batu yang pecah karena ditetesi keringat dan air mata, dan lain sebagainya. Pesan saya cuma satu: kuatkan iman Anda sebelum membaca novel ini, jangan sampai novel ini yang justru menguatkan keimanan Anda.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Asef Saeful Anwar
    Penyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.
  • [Ngibul #49] Orang yang Bersyukur, Tidak Membenci

    author = Olav Iban

    Ada sebuah peribahasa lama: orang yang tak bisa marah ialah orang pandir, tetapi orang yang tak mau marah, itulah orang yang arif.

    Persoalan marah kerap dikaitkan pada hal-hal psikologis. Jarang persoalan ini disinggungkan dengan hal-hal sosiologis apalagi filosofis. Marah memang muncul dari dalam diri seseorang sebagai gejolak ombak batin. Namun, yang terkadang dilupakan orang adalah sifat sosiologisnya, bahwa lautan teduh di hati kita menjadi dahsyat berombak karena angin badai yang dihembuskan oleh orang lain, dari suatu kondisi di luar diri. Sementara yang paling sering dilupakan orang adalah sifatnya yang filosofis, bahwa emosi marah, benci, atau pun ketidaksukaan berawal dari oposisi biner filsafati: “ada dan tiada”.

    Khusus kalimat terakhir di atas, saya belum tahu benar-tidaknya secara saintifik. Namun setidaknya ada dua tokoh filsafat—Schopenhauer dan Erick Hoffer—yang meyakini bahwa, “Kita jarang ingat kepada apa yang kita punyai, akan tetapi kita selalu saja ingat kepada apa yang tidak kita punyai.” Manusia cenderung mengingini apa yang tiada, sambil membiarkan yang telah ada. Kecenderungan ini, bila tidak dipenuhi, akan menjadi bibit kebencian di ladang iri dengki yang disirami air kecemburuan sampai di kemudian hari bertunaslah pohon amarah.

    Dalam pengertian yang luas, perang adalah contoh terbaik. Para prajurit garis depan memang bertempur atas alasan abstrak-patriotik; membela bangsa dan negara, melawan penjajah, dsb., namun pada tataran terdalam, sesungguhnya mereka bertempur untuk mencapai cita-cita filsafati yang lebih fundamental dan empirik, yakni terbebas dari perasaan dimusuhi. Suatu keadaan di mana tak ada lagi rasa khawatir, was-was, atau tidak tenang yang selama ini timbul karena kehadiran sang musuh (penjajah, misalnya), dan—sebagaimana esensi dari semua perang di dunia—perasaan dimusuhi itu hanya akan musnah bilamana sang musuh telah ditumpas (ditiadakan).

    Maka dimulailah sebuah perang mengusir penjajah, atau dari kacamata penjajah: perang membuyarkan pemberontak. Keduanya sama-sama merupakan upaya peniadaan dari yang ada.

    Berkebalikan dengan perang, perdamaian memilih cara lain. Perang dan perdamaian sama-sama terlahir karena konflik, namun alih-alih saling memusnahkan (meniadakan), perdamaian memilih untuk mengurangi hasrat keberadaan (eksistensi) masing-masing pihak sampai terciptalah satu titik netral yang membebaskan kedua pihak dari perasaan dimusuhi—dan oleh karena tak ada lagi objek yang dimusuhi, maka tak ada pula keinginan untuk membenci.

    Di ranah yang lebih personal, rasa benci lahir setidaknya karena dua sebab pokok. Pertama, adanya sesuatu di luar kita (individu, kejadian, situasi) yang menyinggung sesuatu di dalam kita. Dan kedua, karena premature judgement dari diri kita sendiri terhadap sesuatu di luar kita.

    Sebab pokok pertama rasa-rasanya tak perlu saya jabarkan. Sementara untuk pokok kedua bisalah kita andaikan seperti kala pertama jumpa seseorang yang raut mukanya kemaki atau kemampleng. Seketika muncul rasa memusuhi dari dalam diri kita kepada orang itu, padahal bertukar sapa saja belum. Kurang lebih begitulah premature judgement. Biasanya gejala seperti ini ada di kalangan genk perempuan SMA manakala orang baru masuk ke lingkaran mereka. Apalagi jika orang baru itu berpenampilan lebih menarik daripada mereka. Judgement yang prematur itu seringnya salah, seiring dengan keterbukaan untuk saling mengenal. Kasak-kusuk buruk selalu mendahului kenyataan yang baik.

    Kita, sebagai sesama manusia, kerap condong untuk mengerdilkan sesuatu yang baru. Ada kekhawatiran bahwa sesuatu yang baru itu nantinya dapat merusak tatanan yang telah ada. Uniknya, kita juga memiliki keinginan untuk tidak berpuas diri. Selalu lapar. Selalu mau lebih dari yang sekarang.

    Kondisi unik ini—yang paradoks namun juga sinambung—tak bisa jauh dari peribahasa “rumput tetangga selalu lebih hijau”. Kehadiran orang lain menjadi sebab munculnya keinginan untuk lebih, sekaligus keinginan untuk membenci apa yang lebih yang dipunyai orang lain itu (dan akhirnya si orang itu turut dibenci pula).

    Kehadiran yang liyan dalam persoalan kebencian adalah sebab pokok pertama seperti yang saya sebut di atas. Belakangan ini, media sosial kita dibanjiri ujaran kebencian. Dari awal postingan sampai scroll down paling bawah kolom komentar semuanya hujatan. Kadang diselipi komentar orang-orang iseng yang ingin mengakurkan walau hatinya turut meradang. Dari mana kebencian ini berakar? Dari si pengujar kebencian kah? Dari sesuatu yang dibenci pengujar kebencian itu kah?

    Sepertinya kebencian itu menular. Biasanya, kebencian jenis ini bermula dari premature judgement. Stereotipe ras atau agama misalnya. Ras Tionghoa dipandang sebagai representasi keculasan sebagaimana orang Dayak merepresentasikan ketertinggalan. Agama Kristen juga pernah dipandang mewakili kolonialisme hanya karena ia merupakan agama yang dianut Kompeni, sebagaimana pula Agama Islam sempat dipandang mewakili kekerasan hanya karena satu-dua kelompok menghancurkan cagar sejarah di Mesopotamia.

    Seperti yang saya sebut tadi, premature judgement acap kali salah. Tapi ini bukan tentang salah atau benarnya. Kebencian yang menular amatlah berbahaya. Ia adalah wabah bagi kehidupan, dan kehidupan yang sakit adalah syarat dimulainya peperangan: suatu upaya memusnahkan yang liyan. Dengan tiadanya yang liyan, maka hilanglah perasaan dimusuhi (dibenci), padahal semuanya itu diawali oleh kebencian itu sendiri. Berputar-putar, ya. Tapi memang begitulah adanya. Kita perlu menyadari dan juga memahami perputaran ini supaya tidak terjebak di pusarannya.

    Ilustrasi menarik saya kutipkan dari kisah Dale Carnegie (1964:58-59) berikut ini. Di lereng bukit Long di Colorado, terdapat berserakan sisa-sisa pohon raksasa. Umur pohon itu kira-kira empat ratus tahun. Ia sudah ada ketika Colombus mendarat di San Salvador. Selama umurnya yang lama itu ia pernah disambar petir empat belas kali, dan sudah beberapa kali diterjang angin puyuh dan topan. Pohon itu tetap berdiri tegak. Akan tetapi akhirnya datanglah segerombolan hama kayu yang berhasil merobohkan raksasa itu. Serangga-serangga itu berhasil menembus kulit pohon itu, dan lambat laun membinasakan tenaga raksasanya dengan serangan-serangan kecil tapi bertubi-tubi. Raksasa rimba yang menempuh masa berabad-abad, tak gentar disambar petir, tak mau tunduk dilanda topan, akhirnya roboh oleh hama kayu yang kecil, yang bisa dibinasakan orang dengan sekali memlites-nya.

    Bukankah ini bisa dikiaskan pada wabah kebencian pada kehidupan kita? Bukankah kita ini (sebagai bangsa) sedikit banyak adalah raksasa rimba yang telah berjuang dan bertempur? Bukankah kita telah berkali-kali diterjang topan dan samberan gledek kehidupan? Sudikah kita menyerah pada hama kebencian yang bisa kita plites dengan jari kita?

    Bagi sebagian orang yang peragu, ia akan balik bertanya, benarkah kebencian bisa diplites begitu saja? Jawabnya, iya. Iya, ketika ia masih tunggal. Akan tetapi jika ia telah menjadi wabah, perlakuannya akan lain.

    Bilamanakah kebencian yang tunggal itu menjadi wabah? Biar Shakespeare yang menjawab, Heat not a furnace for your foe so hot / That it do singe yourself (Henry VIII, Act I, Scene I). Jangan memanasi musuhmu sedemikian rupa, sehingga kamu sendiri terbakar karenanya. Dengan tidak membalas kebencian dengan kebencian, kita bisa menghentikan kebencian itu.

    Hasrat hidup damai sudah jauh lama ditanam leluhur kita. Banyak kebudayaan di Indonesia memiliki tunjuk ajar yang sedemikian itu. Ambillah contoh di kebudayaan Melayu yang memiliki ungkapan, “Adat hidup orang beradat: kasih tidak memilih kerabat, sayang tidak memilih sahabat, baik tidak memilih umat, elok tidak memilih pangkat, ramah tidak memilih tempat, adilnya sama jauh dan dekat.”

    Ajaran tentang hidup berdampingan jauh dari kebencian juga diajarkan lewat pendekatan yang lain. Ambillah contoh kebudayaan Jawa yang mengajarkan sikap “Nrimo ing Pangdum”. Konsep nrimo dalam falsafah Jawa memiliki makna yang sangat dalam dari sekadar kata menerima. Ia lebih dekat dengan gabungan antara kesiapan, keikhlasan, kesanggupan, kesediaan memperoleh sesuatu. Bila sesuatu itu baik akan dijaganya dengan sungguh-sungguh, dan bila yang diperolehnya buruk akan diterimanya dengan kelapangan hati. Ajaran ini seperti upaya mewibawakan hati laksana samudera raya yang takkan hambar dimuarai jutaan sungai, tapi juga tidak manis kendati dihujani madu. Ia mengajari hati untuk selalu bersyukur, teguh apa adanya.

    Konsep menerima seperti ini tidak hanya mekar di kebudayaan Jawa. Kebudayaan-kebudayaan yang lebih arkaik seperti India dan Cina memiliki konsep yang serupa. Konsep menerima seperti ini kerap disalahpahami sebagai fatalisme, namun sebenarnya ia jauh berbeda, terutama dari dasar epistemologisnya. Seperti kata Lao Tzu, “Wu-wei!” yang kurang lebih artinya serupa dengan nirkarya (non-action). Ia bukanlah keadaan pasif, tetapi sebuah tindakan untuk “membiarkan ada”. Suatu sikap siap menghadapi realitas. Tetap tenang, hidup dengan apa yang dimiliki. Sikap untuk menerima apa yang tidak dapat diubah, dan berusaha mengubah apa yang dapat diubah—tentu dengan cara yang ksatria dan penuh kehati-hatian.

    Masih banyak lagi tunjuk ajar di perbagai kebudayaan—dengan berbagai pendekatan berbeda, yang dapat kita gunakan sebagai penangkal wabah kebencian. Di kebudayaan Bugis ada konsep Ati Mapaccing, Huma Betang di Dayak Ngaju, Tenggang Raso di Minangkabau, Tepo Seliro di Jawa, dan sebagainya. Semua berinti pada sifat altruistik yang memikirkan perasaan orang-orang lain di luar dirinya. Tindakan altruis ini—yang telah lama ada di dalam darah nenek moyang bangsa kita—selalu mengalir dalam nadi orang-orang yang telah selesai dengan dirinya. Orang-orang yang bersyukur dengan apa yang ada, apa yang dipunyainya. Karena orang yang bersyukur, tidak membenci. Ya, to?

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi