Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #51] Belajar Tabayun dari Tayo

author = Andreas Nova
Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
Sarjana Sastra dengan susah payah.

Hampir setiap sore, Televisi di ruang keluarga rumah saya dimonopoli oleh anak saya. Sesudah mandi dan makan sore, dia akan standby di depan televisi untuk menonton serial animasi Robocar Poli, Chuggington, dan Tayo the Little Bus. Serial terakhir ini adalah favoritnya. Tayo the Little Bus tidak pernah dilewatkan biarpun terkadang anak saya sudah tampak ngantuk di depan televisi. Pokoknya jangan berharap anak saya bisa tidur nyenyak kalau belum mendengar lirik “Hai Tayo, hai Tayo, dia bis kecil ramah…”

Tayo the Little Bus adalah serial animasi dari korea yang menceritakan kehidupan Tayo, sebuah bus yang bisa berbicara dan berperilaku seperti manusia. Biarpun acara tersebut memiliki rating untuk ditonton semua umur, saya tidak mungkin membiarkan seorang anak umur dua tahun menontonnya sendirian. Sebagai orang tua tentu saja saya harus menemani anak saya yang sedang dalam fase mengamati dan meniru. Jika tidak, mungkin anak saya bakal menepuk ban bus TransJogja—yang sama-sama berwarna biru seperti Tayo—untuk mengajaknya tos.  

Layaknya serial animasi anak-anak, tiap episode Tayo menyuguhkan alur cerita yang linear serta ringan dicerna oleh anak-anak. Selain itu tentu saja ada pesan moral yang disampaikan dalam setiap episodenya. Hal tersebut yang seringkali saya sampaikan kepada anak saya. Karena tentu saja, anak saya belum bisa menangkap apa pesan di balik sebuah cerita.

Episode favorit saya adalah Air, Helikopter Pemberani (Air, The Brave Helicopter, Season 2 Episode 21). Episode tersebut diawali dengan Tayo yang sedang bekerja, mengemudi melintasi jembatan mirip Golden Gate, sembari membaca puisi Kartu Pos Bergambar: Jembatan “Golden Gate”, San Fransisco melihat ada ramai-ramai di pinggir sungai. Ia kemudian menepi dan menemui Pat dan Rookie (Pat adalah mobil patroli polisi, dan Rookie adalah seorang petugas kepolisian) di tepi sungai. Mereka bukan sedang memancing seperti mas-mas nganggur yang biasa mancing di pinggir embung. Mereka sedang melihat ada sepasang manusia hampir tenggelam. Seperti layaknya polisi di film India klasik, mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Lalu kemudian datanglah juru selamat berupa helikopter berwarna merah menyelamatkan sepasang manusia tersebut. Sesudah korban diselamatkan, Tayo yang pada dasarnya adalah bus kecil ramah seperti lirik lagu pembukanya, mengajak si helikopter berkenalan. Helikopter itu bernama Air, dia helikopter yang punya spesialisasi pemadam kebakaran. Tapi terkadang nyambi menjadi juru selamat dalam kasus-kasus tertentu seperti yang baru saja terjadi. Setelah berkenalan dan basa-basi sebentar, Air pun kembali terbang seperti Ultraman seusai mengalahkan monster.

Setelah kembali ke garasi, Tayo menceritakan perkenalannya dengan Air—dengan sedikit umuk, tentu saja— kepada Lani, Rogi dan Gani. Cerita Tayo tersebut membuat Lani, Rogi, dan Gani juga ingin berteman dengan Air. Keesokan paginya, ketika Lani sedang bekerja, ia melihat sebuah helikopter berwarna merah melintas di udara. Kemudian ia berteriak minta uang memanggil Air si helikopter. Si Air lempeng aja meninggalkan Lani yang berteriak memanggil namanya. Lani pun ngambek. Sementara itu, Gani sedang membantu Rubby bersih-bersih parkiran umum yang menjadi lahan bermain para bis dan mobil-mobil lainnya. Ketika pekerjaan mereka hampir selesai, Air melintas perlahan. Gani yang juga ngebet ingin kenalan memanggilnya. Ia dan Rubby beruntung, Air mendengar panggilan mereka. Tapi si Air tidak mau dekat-dekat dengan mereka. Alhasil obrolannya baru sebatas formalitas dan Air pun terbang kembali ke Markas Pemadam Kebakaran. Sampai di markas, Air dikejutkan oleh kehadiran Rogi, bus hijau yang paling caper di antara bus lain. Rogi sama dengan yang lain. Niatnya cuma pengen kenalan. Mungkin karena kaget, Air tidak jadi mendarat dan menyuruh Rogi menjauh. Disuruh menjauh, Rogi patah hati. Ia merasa seperti ditolak gebetan. Ia pun pergi meninggalkan Air.

Lani, Gani, dan Rogi bertemu di garasi. Mereka saling curhat bagaimana sikap Air kepada mereka. Mereka menganggap Air sombong karena tidak mau berteman dengan mereka. Masa ia cuma mau kenalan sama Tayo doang, mentang-mentang tokoh utama. Ketika Tayo kembali ke garasi, mereka bertiga sambat kepada Tayo. Mereka mengadu kalau Air itu sombong. Mentang-mentang helikopter ndak perlu macet-macetan di jalan. Tadi Lani ndak digubris, sama Gani ndak mau dekat-dekat, Rogi malah disuruh menjauh. Tayo bingung. Tapi Tayo tidak mau mentah-mentah menerima pendapat mereka. Tayo memutuskan untuk meminta tabayun pada Air. Ia mendatangi markas pemadam kebakaran, menemui Air yang sedang ngopi sendiri. Tayo menceritakan keluhan teman-temannya. Berawal dari sambat terbitlah curhat. Air bilang dia agak budeg karena suara baling-balingnya sendiri. Dilema juga sih, kalau baling-balingnya muter dia jadi agak budeg, kalau dimatiin kok ya ndak bisa terbang. Lalu Tayo tanya apakah tadi ketemu sama teman-temannya. Air cerita ketemu sama bis merah sama bis hijau. Lha bis kuning? Air menggelengkan kepala (ini saya juga heran kenapa helikopter bisa geleng-geleng). Tayo mulai sadar, ini semua salah paham. Air itu bukannya ndak ngreken Lani tapi Airnya yang gak denger. Lalu Tayo menanyakan kok Air ndak mau deket-deket sama Gani. Air menjelaskan kalo mereka lagi bersih-bersih. Kalau dia mendekat, kotoran-kotoran yang sudah dibersihkan nanti pada berantakan lagi kena angin dari baling-balingnya. Tayo manggut-manggut (ini saya juga heran, bis kok bisa manggut-manggut, kayaknya shockbreakernya terlalu empuk). Lalu terakhir Tayo menanyakan kenapa Rogi diusir sama Air. Si helikopter menjelaskan kalau Rogi terlalu dekat. Bahaya kalau sampai kesampluk sama baling-baling. Hmmm…, rupanya begitu. Tayo sadar semua itu cuma salah paham antara Air dan ketiga temannya. Memahami sesama bus saja sudah sulit apalagi kalau beda spesies. Ketika kembali ke garasi, Tayo menjelaskan kesalahpahaman itu kepada teman-temannya. Ya namanya sudah terlanjur memberi label, tentu saja tidak serta merta bisa melepaskan label itu dari obyek yang sudah diberi label. Mereka tidak begitu saja menerima penjelasan Tayo.

Keesokan harinya ketika sedang bekerja, terjadi kebakaran di sebuah gedung bertingkat. Apinya ada di tingkat atas. Bus-bus tersebut bukannya malah lanjut kerja tapi malah nonton kebakaran sambil foto-foto. Frank si mobil pemadam berusaha memadamkan api tapi airnya tidak bisa mencapai titik api yang terlalu tinggi. Lalu mereka mendengar kabar bahwa Hana, montir cantik kesayangan mereka terjebak di atas gedung (kenapa ada di sini? Namanya juga kartun). Tambah bingung dan galaulah keempat bus kecil itu. Kemudian datanglah Air. Ia menyiramkan air untuk memadamkan api yang berada di atas gedung. Di atas gedung ia melihat Hana ada di situ dan meminta tolong. Air berusaha menembus asap tebal yang membumbung tinggi sambil terbatuk-batuk (ebusyet). Akhirnya Air bisa merendah dan menyelamatkan Hana dari atap gedung yang sedang terbakar itu. Hana dan keempat bus bertemu. Tayo dan ketiga temannya berterimakasih kepada Air. Lani, Gani, dan Rogi akhirnya bisa berkenalan dan berteman dengan Air. Kira-kira ceritanya begitu.

Pesan moral dalam episode tersebut adalah jangan gampang menghakimi dan melabeli seseorang tanpa melakukan klarifikasi terlebih dahulu. Tanpa perlu membawa-bawa agama dan sebagainya, satu episode serial animasi produksi Korea Selatan memberi pesan universal bahwa alangkah bijaknya kita bila mendahulukan prasangka baik daripada prasangka buruk. Alangkah bijaknya jika kita melakukan klarifikasi—dengan prasangka baik—sebelum memberi label pada seseorang ataupun sesuatu.

Akhir-akhir ini kita mendengar banyak berita masyarakat kita mudah terprovokasi informasi yang tidak dapat dipastikan kebenarannya. Jangan dikira informasi yang menyebar itu hanya berasal dari internet atau pesan berantai di grup WA saja. Informasi yang keluar dari mulut ke mulut saja barangkali bisa jauh lebih berbahaya dan menghasilkan efek yang lebih spontan—apalagi kalau disampaikan dengan cara yang meyakinkan. Masyarakat yang mudah terprovokasi itu kemudian bertindak layaknya polisi moral, kemudian menghakimi secara sepihak.

Kita tentu ingat beberapa bulan lalu, seorang pria pernah dihakimi massa kemudian dibakar hidup-hidup karena disangka mencuri amplifier di musala. Sepasang muda-mudi ditelanjangi dan diarak massa karena disangka berzina, atau barangkali kejadian yang baru saja terjadi, pembubaran bakti sosial oleh sebuah gereja Katolik di Banguntapan, Bantul, DIY karena disangka kristenisasi.

Saya bahkan yakin betul pihak-pihak yang membubarkan bakti sosial itu tidak tahu bedanya agama Kristen dan Katolik. Bahkan saya juga yakin, mereka tidak tahu bagaimana proses seseorang bisa menjadi seorang Katolik atau Kristen. Barangkali, mereka beranggapan bahwa masuk Katolik/ Kristen cukup mengucapkan kalimat syahadat atau kredo seperti halnya syarat menjadi bagian umat Islam. Padahal tidak semudah itu. Lagipula, kredo yang diimani oleh orang Katolik terdiri dari 14 kalimat yang cukup panjang, dan bukan menjadi syarat utama menjadi orang Katolik. Untuk menjadi orang Katolik, seseorang harus mengikuti pelajaran agama atau katekisasi selama 6 bulan hingga satu tahun untuk selanjutnya bisa menerima Sakramen Baptis. Cara paling mudah untuk menjadi orang Katolik adalah lahir di keluarga Katolik, jadi bisa mengikuti Sakramen Baptis tanpa mengikuti katekisasi. Tapi ya ketika sudah akil baliq tetap harus ikut dua kali katekisasi selama masing-masing minimal 6 bulan, sebagai syarat menerima Komuni dan Sakramen Krisma. Ribet ya jadi orang Katolik? 

Maka dari itu saya sempat heran, kok bakti sosial bisa disangkutpautkan dengan adanya kristenisasi atau katolikisasi itu gimana nalarnya? Itu tidak jauh beda dengan nasi bancakan yang dibagikan kepada tetangga sekitar ketika anakmu berulang tahun. Tidak ada maksud apa-apa selain berbagi kebahagiaan dengan tetangga, atau masyarakat sekitar terlebih bagi masyarakat yang kurang mampu. Alasan kristenisasi dan katolikisasi menurut saya terlalu berlebihan untuk masa sekarang. Barangkali alasan itu masih masuk akal jika hal seperti ini terjadi pada masa imperialisme abad 14 ketika lagi kencang-kencangnya semboyan Gospel, Gold, Glory.

Terlepas dari hal-hal tersebut, yang lebih menakutkan bukanlah hal-hal besar seperti koyaknya kebhinnekaan dan sebagainya. Oke, itu menakutkan dan jangan sampai terjadi. Justru yang lebih saya takutkan adalah hal yang lebih sederhana seperti takut berbuat baik. Orang akan takut dicurigai memiliki motif dan maksud yang jauh dari niatannya untuk menolong seseorang. Ada orang tersesat, mau diantarkan oleh warga setempat, nanti dikira mau dirampok. Ada janda minta tolong ngangkatin galon sama mas-mas, nanti dikira mereka akan berbuat mesum. Ealah, sampeyan terlalu banyak nonton bokep kayaknya.

Kasus-kasus yang saya sebutkan tadi, setelah diselidiki pihak yang berwenang ternyata malah ditemukan bahwa sangkaan-sangkaan itu salah. Sangkaan seseorang dapat ditarik kembali, namun apakah nyawa orang yang telah dibakar itu bisa dikembalikan? Apakah pria yang dibakar itu dapat dihidupkan dan dikembalikan kepada anak dan istrinya? Apakah rasa malu sepasang muda-mudi yang tubuh yang ditelanjangi dan dilihat oleh seluruh warga akan terhapus dari ingatannya? Apakah trauma yang dirasakan oleh pemudi yang diarak telanjang oleh warga akan dapat dihilangkan?Tidak semudah itu. Perkataan dapat ditarik, namun tindakan yang sudah dilakukan tidak dapat ditarik kembali. Dahulukan otak dan hati—tentu yang saya maksud di sini adalah otak yang berisi dan hati yang besar, sebelum bertindak.

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

Pendapat Anda: