Category: film

  • Drama Korea 2025: Pilihan Drakor Terbaik yang Wajib Ditonton Pecinta K-Drama

    Drama Korea 2025: Pilihan Drakor Terbaik yang Wajib Ditonton Pecinta K-Drama

    Pecinta K-Drama pasti setuju, tiap tahun dunia hiburan Korea Selatan selalu menyuguhkan deretan drama berkualitas dengan cerita yang makin menarik. Tahun 2025 pun tidak kalah seru. Banyak judul baru yang berhasil mencuri perhatian penggemar di seluruh dunia. Mulai dari genre romantis, thriller, hingga fantasi, semua hadir dengan kualitas produksi yang semakin memukau.

    Nah, jika Anda sedang mencari referensi tontonan terbaru, artikel ini akan membantu! Berikut rekomendasi drama Korea terbaik 2025 yang bisa Anda nikmati lewat berbagai platform, salah satunya lewat streamingdrakor.id, situs favorit pecinta K-Drama.

    Kenapa Drakor Selalu Menarik untuk Diikuti?

    Sebelum masuk ke daftar rekomendasi, yuk kita bahas dulu kenapa drama Korea selalu punya tempat spesial di hati penonton.

    1. Cerita yang Segar dan Relatable
      Penulis skenario Korea dikenal jago mengangkat tema yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Baik itu kisah cinta sederhana, perjuangan karir, hingga konflik keluarga.
    2. Visual yang Memanjakan Mata
      Tidak hanya para aktor dan aktris yang rupawan, setting lokasi, kostum, hingga sinematografi dalam drama Korea selalu dibuat dengan sangat detail.
    3. Soundtrack yang Menyentuh
      Lagu tema (OST) kerap menjadi pelengkap yang membuat momen-momen emosional dalam drakor semakin berkesan.
    4. Aktor dan Aktris Berbakat
      Industri hiburan Korea melahirkan banyak bintang yang bukan hanya cantik atau tampan, tetapi juga memiliki kemampuan akting yang kuat.

    Rekomendasi Drama Korea Terbaik 2025

    Berikut adalah beberapa drama Korea terbaik tahun ini yang wajib Anda masukkan ke dalam watchlist:

    1. The Chronicles of Seoul

    Genre: Fantasy, Action
    Sinopsis:
    Mengisahkan dunia paralel di mana Seoul masa depan dipenuhi teknologi canggih, namun di balik itu tersimpan rahasia gelap. Seorang hacker muda bersama detektif kawakan mencoba mengungkap konspirasi besar yang mengancam kota.

    Kenapa Wajib Ditonton?

    • Visual futuristik yang memukau
    • Plot twist yang tidak mudah ditebak
    • Chemistry antar karakter sangat kuat

    2. A Love Beyond Time

    Genre: Romance, Fantasy
    Sinopsis:
    Bercerita tentang seorang arkeolog yang tanpa sengaja terjebak di era Joseon melalui artefak misterius. Di sana, ia bertemu seorang bangsawan tampan yang kelak mengubah hidupnya.

    Daya Tarik:

    • Romansa lintas zaman yang manis
    • Setting era Joseon yang otentik
    • Akting memukau dari pemeran utama

    3. Behind The Mask

    Genre: Thriller, Mystery
    Sinopsis:
    Mengisahkan seorang profiler yang menyamar menjadi guru di sekolah elit untuk mengungkap kasus hilangnya beberapa siswa. Setiap karakter menyimpan rahasia yang mengejutkan.

    Alasan Harus Ditonton:

    • Cerita penuh ketegangan
    • Alur cepat, bikin penasaran
    • Pemeran pendukung tampil luar biasa

    4. Perfect Marriage Contract 2

    Genre: Romantic Comedy
    Sinopsis:
    Sekuel dari drama populer “Perfect Marriage Contract”. Kali ini, konflik berpusat pada kehidupan rumah tangga pasangan kontrak yang mulai berubah menjadi cinta sejati.

    Kelebihan:

    • Chemistry pemain yang natural
    • Dialog ringan namun mengena
    • Banyak adegan lucu yang menghibur

    Gambar: Penonton setia K-Drama di rumah


    Bagaimana Cara Menonton Drakor Terbaru dengan Mudah?

    Kini, Anda bisa menonton drakor terbaru 2025 dengan sangat mudah. Selain platform berbayar seperti Netflix dan Viu, Anda juga bisa streaming lewat situs favorit seperti streamingdrakor.id.

    Dengan tampilan yang user-friendly serta update cepat, situs ini menjadi pilihan banyak penggemar K-Drama. Tidak heran jika beberapa Drakor Ini Bertahan di Posisi Top pada chart popularitas streaming berasal dari rekomendasi di sini.


    Tips Menikmati Drama Korea Lebih Maksimal

    Agar pengalaman menonton lebih seru, coba terapkan tips berikut:

    1. Gunakan Headphone Berkualitas
      Supaya bisa menikmati suara jernih, termasuk OST yang indah.
    2. Cari Subtitle Terpercaya
      Agar tidak salah paham pada makna dialog.
    3. Buat Jadwal Nonton
      Supaya tidak kecanduan binge-watching yang bikin lupa waktu.
    4. Diskusi Bareng Komunitas
      Ikut forum atau grup pecinta K-Drama untuk berbagi opini dan teori.

    Kesimpulan

    Drama Korea 2025 benar-benar menawarkan banyak pilihan menarik untuk berbagai selera. Baik Anda penggemar genre romantis, thriller, ataupun fantasi, pasti ada judul yang bisa memikat hati. Jangan lupa, Anda bisa selalu update daftar tontonan terbaru lewat streamingdrakor.id yang punya koleksi lengkap dan update cepat.

    Nah, dari daftar di atas, drama mana yang paling ingin Anda tonton? Siapkan camilan, pasang playlist OST favorit, dan selamat menikmati dunia K-Drama yang penuh warna!

  • Wisata Soliter Pengidap BPD (Borderline Personality Disorder)

    author = Reza Nufa










    Shame







    Drama






    2011








    1 jam 41 menit




    Steve McQueen




    Michael Fassbender, Carey Mulligan, James Badge Dale



    Rutinitas kehidupan pribadi seorang pria terganggu ketika adik perempuannya tiba untuk waktu yang tidak terbatas.

     

    Dalam karya-karyanya, Murakami, penulis yang senang jogging itu, kerap menciptakan sosok yang hidup dalam gelembung, terisolir secara emosional—bahkan terkadang fungsional—dari lingkungannya; sosok yang lebih senang mengenang masa lampau ketimbang bicara masa depan, menjalani hidup dalam rutinitas yang sama sekali tidak berharga sekaligus tidak berusaha untuk lari darinya. Dalam Shame, film yang disutradarai oleh Steve McQueen, tokoh Brandon Sullivan yang diperankan oleh Michael Fassbender, yang penisnya bergelayutan di adegan pembuka, berbagi sifat-sifat yang sama dengan tokoh ala Murakami.

    Brandon bekerja di sebuah perusahaan hi-tek dengan gaji yang cukup untuk membeli sebuah apartemen mewah dengan dinding-dinding kaca lebar yang menampilkan kesibukan kota New York juga pemandangan ke arah sungai lebar yang cakep. Meski hidupnya serba berkecukupan, dia tidak punya teman selain bosnya sendiri, David, yang diperankan oleh James Badge Dale, dan tampak jelas bahwa pertemanan ini pun sebetulnya tidak dilandasi oleh hasrat untuk membangun relasi emosional, lebih ditujukan sebagai tata krama profesional. Kondisi ini terlihat jelas dari kegiatan nongkrong-nongkrong mereka yang selalu diinisiasi David, bukan sebaliknya.

    Dalam kesendiriannya, Brandon kecanduan pornografi. Dia rutin menonton bokep, berlangganan cam-sex, dan sesekali memanggil pelacur dan menyaksikan mereka melucuti pakaian. Rutinitasnya kurang lebih begini: bangun pagi, membuka mailbox dan dari sana mendengar ocehan adiknya, Sissy, yang diperankan oleh Carey Mulligan, yang berulang kali ingin bertemu namun tak pernah digubrisnya, kemudian dia coli, berangkat ke kantor dengan terlambat lalu memberi alasan aneh-aneh pada bosnya, melihat perempuan seksi di kantor, jalanan, atau mana pun, lalu coli lagi di toilet terdekat, kemudian dia pulang ke apartemennya, memutar Bach dari piringan hitam, membuka laptop, dan kembali menonton bokep.

    Rutinitas yang sudah terbentuk ini akhirnya terganggu oleh kehadiran Sissy—yang ingin menumpang di sana karena baru saja putus dari pacarnya. Kelakuan Sissy yang kekanakan dan menyimpan ledakan-ledakan emosi yang tak terduga, sama sekali tidak disukai oleh Brandon. Bekas-bekas luka sayatan di lengan Sissy, juga penampilannya yang kerap berantakan, menjadi penanda bahwa anak ini pun bermasalah secara psikis dan Brandon malas berurusan dengan hal semacam ini. Dia sudah merasa cukup untuk hidup dengan dirinya sendiri. Sissy sempat berkilah bahwa keberadaannya di sana untuk menolong Brandon, dan Brandon, dengan jiwa yang berkarat, berkata, “Tak mungkin kau menolongku. Kau bahkan belum bisa mengurusi dirimu sendiri. Kau cuma jadi beban.â€?

    Film ini berjalan dengan lamban dan sederhana. Kita tidak bisa mengharapkan sesuatu yang lebih romantik atau heroik. Bahkan sesuatu semacam cinta, pada diri Brandon, sudah tereduksi sebatas pada urusan biologis yang egoistik. Saat mencoba mengencani rekan kerjanya sendiri, Marianne, yang diperankan oleh Nicole Beharie, dia bilang bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang realistik. Ini pernyataan yang sangat kuat dan bisa diperbincangkan semalaman suntuk. Darinya bisa saja lahir argumen lanjutan bahwa pernikahan lebih banyak dibentuk oleh imajinasi para pembohong, lantas pernikahan menjadi ilusi bagi manusia-manusia lugu. Tapi tentu saja bukan itu tujuan dari kencan mereka. Pada akhirnya Brandon selalu sendiri.

    Dengan kevulgaran yang tidak melulu mengacu kepada rupa seksualitas, melainkan lebih luas dari itu, kepada seluruh realitas yang berusaha ditampilkannya, Shame menunjukkan bagaimana wajah manusia yang meninggali kota metropolitan. Brandon, dalam hal ini, menjadi gambaran paradoksal dari sosok penghuni kota yang sibuk sekaligus kosong, individualistik sekaligus enggan jauh dari keramaian, menghabiskan waktu tanpa mereproduksi makna, mencintai orang lain sebatas sebagai komplemen dari cintanya terhadap kesendirian. Kenikmatan pornografi, coli, dan seks berbayar yang juga memenjarakannya itu, tidak lain hanyalah riak dari cintanya terhadap kesendirian, sebab itulah pilihan berwisata paling mengasyikkan bagi manusia soliter.

    Amat disayangkan, sebagaimana dikatakan oleh Abby Seltzer, seorang psikiatri yang membahas film ini dalam jurnalnya, orang lebih banyak menyinggung persoalan seksualitas yang digarap film ini, padahal Shame mengangkat persoalan yang lebih besar dan memberi gambaran yang tepat tentang persoalan itu. Dia sampai bilang bahwa film ini  “a moving and accurate portrayal of psychopathology … (that should be) compulsory viewing for all practising clinicians.“ Oleh karena itu, kata “shameâ€? yang dipakai sebagai judul film ini, lebih cocok untuk ditujukan kepada logika manusia modern yang kompleks dan tragis ketimbang sebatas kepada ketelanjangan tubuh manusia dan seksualitasnya. Dengan rating NC-17, yang artinya tidak boleh ditonton oleh orang yang masih berada diampu Komisi Perlindungan Anak, Shame meraih berbagai penghargaan dari festival film dan mendapat banyak komentar positif dari kritikus. Dia menjadi film yang tidak sekadar layak ditonton, melainkan juga layak diperbincangkan.

    Keunggulan lain film ini ialah ia kerap memunculkan soundtrack sebagai bagian organik darinya, bukan sesuatu yang muncul entah dari mana (dalam film, biasanya musik muncul begitu saja seolah-olah disiarkan dari sebuah radio di langit). Seperti disebutkan sebelumnya, Bach berputar dari piringan hitam dalam apartemen Brandon. Setidaknya ada empat komposisi Bach yang dimainkan dalam film ini. “My Favorite Thingsâ€?, lagu hits hasil kolaborasi Oscar Hammerstein II dengan Richard Rodger, muncul pula dalam film ini, dibawakan oleh alunan saksofon John Coltrane. Kemudian ada adegan ketika Sissy bernyanyi di bar. Carey Mulligan sendiri yang menyanyikan lagu “New York, New Yorkâ€? yang sebelumnya dipopulerkan oleh Frank Sinatra. “Unravellingâ€? yang digubah oleh Harry Escott menjadi pengiring paling kuat dalam film ini. Berbeda dengan soundtrack pada film-film lain, yang biasanya menjadi enak didengar karena dibumbui kisah besar sebuah film, musik-musik dalam film ini—terutama yang saya sebutkan—sudah dan atau akan tetap indah, dengan ataupun tanpa filmnya.

    Selain pengaruh kepiawaian para aktor dan aktrisnya, musik-musik ini juga menyumbang kesan yang besar dalam Shame. Musik-musik inilah yang membuat adegan-adegan banal menjadi megah. Ia menggema bahkan setelah film ini usai. Khusus bagi para pengidap BPD, sebagaimana Brandon, saya rasa, musik-musik ini bisa jadi teman penghiburan lain di penghujung hari yang melelahkan, diputar sambil berdiri menatap jendela yang kosong dan berpikir bagaimana cara memiliki sebuah hubungan yang saling mengisi, saling melengkapi, tanpa perlu betul-betul berhubungan secara intim dengan orang lain; bagaimana agar tidak terjebak dalam kondisi yang membingungkan ketika ia menyadari bahwa mencintai ataupun dicintai adalah posisi yang hangat namun merepotkan.

    Kalau sempat, saya ingin mengajak Murakami menonton film ini, dan dia akan setuju bahwa film ini tidak punya aspek yang bisa dikritisi, dan Brandon merupakan bentuk dewasa dari seorang Watanabe.

     

  • Dehumanisasi dari Sarang Burung Kukuk

    author = Ifan Afiansa

    Vivarium (2019)

    Sutradara: Lorcan Finnegan
    Dibintangi oleh: Imogen Poots, Danielle Ryan, Molly McCann

    Yang Tom (Jesse Eisenberg) dan Gemma (Imogen Poots) inginkan hanyalah sebuah rumah. Tidak perlu berada di pusat kota, cukup di pinggiran saja. Itu pun masih disertai beberapa pertimbangan yang tidak mudah diputuskan begitu saja. Faktor ekonomi mungkin menjadi akar permasalahannya. Gemma hanyalah guru di taman kanak-kanak, sedangkan Tom hanyalah tukang kebun serabutan. Kedua kombinasi “hanyalah” tersebut menjadikan keduanya tidak punya banyak pilihan. Bahkan ketika mereka sampai di agensi Perumahan Yonder, oleh sebab yang sama, Tom gagal melarikan diri dari jeratan FOMO (fear of missing out) yang dilontarkan Martin (Jonathan Aris)—sang agen perumahan—betapa pun ia tampak creepy nan canggung.

    “Welcome to Yonder.”

    Begitulah Martin menyambut sesampainya di lokasi perumahan, di depan rumah nomor 9. Dalam sekali pandang, Perumahan Yonder tampak seperti tipikal perumahan homogen pada umumnya. Memiliki bentuk yang sama persis satu dengan lainnya, baik di interior maupun eksteriornya. Namun dengan cat warna hijau pucat membuatnya tampak menimbulkan kesan berbeda, dan awan mungil berwarna kemerahmudaan menggantung di atasnya. 

    Homogenitas Yonder ini sedikit banyak mengingatkan pada serial Spongebob Squarepants di episode “Squidville”, yang mana Squidward ingin melarikan diri dari  keseharian aneh kedua tetangganya dengan pindah ke Tentacle Acres, sebuah perumahan terkhusus bagi yang memiliki tentakel, dengan rutinitas dan lingkungan yang serupa. Barangkali Martin dan Squidward mengatakan hal yang serupa meski dengan motif yang berbeda, bahwa perumahan tersebut adalah perumahan yang ideal sekaligus lingkungan yang sempurna. Begitu selesai mengenalkan keseluruhan bagian rumah, Martin pun menghilang.

    Teror-teror Vivarium dan Upaya Dehumanisasi

    Hilangnya Martin menjadi awal mula teror Vivarium (2020) berlangsung. Secara perlahan Perumahan Yonder membuka kedoknya sebagai labirin perumahan tanpa ujung. Ke mana pun mobil Gemma berjalan, mereka selalu terhenti di rumah nomor 9. Eskalasi teror pun dilanjutkan dengan suara-suara kegelisahan yang dilontarkan keduanya, ditambah visual-visual yang  saling bertumpukan, perpaduan audio-visual ini membuat sebuah kengerian tersendiri di babak awal. 

    Setelah berbagai upaya Gemma dan Tom melarikan diri dari Yonder tidak membuahkan hasil, kehadiran bayi dari dalam kardus coklat adalah babak baru teror Vivarium. Dalam sekejap, upaya-upaya Gemma dan Tom “terpaksa” dialihkan untuk mengurusi bayi tersebut. Sebagai pasangan yang belum menikah—yang bahkan mencari rumah idaman saja belum terwujud, tiba-tiba harus dihadapkan kenyataan bahwa mereka harus dipaksa menjadi “orangtua” bagi bayi tersebut.

    Secara mengejutkan bayi tersebut tumbuh cepat menjadi anak berumur 8 tahun dalam tiga bulan. Dari sinilah ketidaksiapan Gemma dan Tom diserang habis oleh anak tersebut, seperti ketenangan di pagi hari diusik dengan lengkingan yg memekakkan telinga, tatapan mata si anak yang seolah-olah terus mengawasi keduanya, laku impersonate yang disturbing, hingga privasi hubungan mereka sebagai pasangan diterobos oleh si anak di malam hari. Di tempat yang sehening Perumahan Yonder, yang bahkan embusan angin saja tidak terasa. Tom dan Gemma terus saja dihajar oleh rutinitas yang dipaksakan kepada keduanya.

    Setting Vivarium sedikit banyak mengingatkan pada Midsommar (2019), ia mengandalkan warna-warna yang relatif terang-benderang nan cerah, alih-alih menggunakan warna gelap dan memunculkan makhluk-makhluk yang membuat bulu kuduk berdiri. Tidak hanya di situ, teror yang diaplikasikan pun seakan mengekor film thriller besutan Ari Aster tersebut, yaitu teror yang bertujuan mendehumanisasi, meski serangan teror ditujukan berbeda. Apabila Midsommar menyerang sisi empati dan simpati penonton, hingga penonton kebingungan untuk merespons berbagai hal di luar nalar yang dilakukan oleh warga Hårga, antara turut merayakan atau menolaknya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang jahat. Namun di Vivarium, teror ditujukan untuk menghabisi sisi empati dan simpatinya Tom dan Gemma. Berbagai perilaku ganjil si anak yang bukan lagi di taraf “anak bandel” tetapi sudah berada di titik menyerang rasa kasih sayang dan mencabik-cabiknya sampai habis. 

    Posisi Gemma dan Tom yang “dipaksa” untuk menjadi orangtua, ditambah iming-iming Yonder akan “dilepaskan” setelah mengurus anak tersebut menghadapi dilema ketika berhadapan dengan perilaku disturbing si anak. Dalam mindset masyarakat pada umumnya yang semestinya menyayangi dan mengasihi anak, tidak peduli siapa pun dia, tidak akan berlaku bagi Tom dan Gemma. Mereka yang dijebak oleh keterpaksaan yang secara perlahan benih-benih pikiran untuk menyingkirkan anak tersebut muncul. Dari berbagai macam gejolak perasaan dan dilema yang muncul, menunjukkan dehumanisasi kepada keduanya membuahkan hasil.

    Ada dilema yang menarik muncul di kala dehumanisasi ini, adalah posisi Gemma sebagai manusia dan perempuan. Dibandingkan dengan Tom yang perlahan mulai terkikis rasa kemanusiaannya, Gemma lebih mampu menjaga kewarasannya sebagai manusia, dengan tetap mengurusi anak tersebut dengan baik, meski memiliki rasa muak yang sama dengan Tom. Pilihan membunuh atau tidak tentu pernah sampai di benak mereka. Dalam posisi keduanya sebagai orang yang lebih dewasa dari si Anak, keduanya tentu mempunyai kuasa untuk itu. Terlebih anak tersebut tidak mempunyai ikatan batin apapun dengan si Anak. Gemma dan Tom tentu bisa menggunakan kekerasan, sebuah hal yang tentu merupakan kejahatan pada anak. Apabila itu terjadi, Gemma dan Tom sudah berhasil terdehumanisasi sebagai manusia dan “orangtua”. Tom nyaris saja masuk di fase tersebut, Gemma selalu berhasil menahan Tom dari proses dehumanisasi tersebut.

    Dehumanisasi dari Sarang Burung Kukuk

    Perihal memahami gambaran besar Vivarium dimulai dari dua hal, pertama, judul film itu sendiri, vivarium berarti wadah atau habitat sintesis untuk meneliti hewan secara alami, dan kedua, scene paling awal dari film ini, yaitu induk burung kukuk yang meletakkan telurnya di sarang burung lain. Ketika anak burung tersebut menetas, ia menyingkirkan telur-telur dari burung yang dihinggapinya, jadilah ia burung parasit yang diberi makan oleh burung yang dihinggapinya. Kemudian di scene selanjutnya fenomena tersebut ditanggapi oleh seorang anak murid dari Gemma, “Aku tidak suka caranya. Itu mengerikan.” “Begitulah cara kerja alam, memang mengerikan, sesekali,” jawab Gemma. Atas dua hal tersebut dialegorikan dengan apik oleh Lorcan Finnegan sebagai sutradara.

    Walaupun sebenarnya Vivarium bukanlah film dengan alur cerita yang mind-blowing, sutradara hanya menyajikan realitas yang kita sebenarnya kita hadapi setiap harinya, hanya saja disajikan di titik yang lebih ekstrim. Lorcan Finnegan seakan meneropong dengan kehidupan manusia dengan lanskap yang lebih luas, apabila sehari-hari kita melihat para ahli biologi meneliti flora dan fauna, bagaimana jadinya jika kita adalah objek yang diteliti oleh sesuatu yang lebih besar, atau dalam film ini adalah alien. Atau mungkin hal-hal yang lebih simbolis seperti kapitalisme? Memahami ketidakberdayaan Gemma dan Tom seperti melihat ketidakberdayaan masyarakat berdaya ekonomi rendah menghadapi pengembang besar. Namun Vivarium tampak tidak ingin berbicara banyak soal simbolisme tersebut.

    Vivarium tampak lebih ingin menyoroti sekaligus mempertanyakan, apakah cara kerja alam yang terkadang kejam membuat manusia terdehumanisasi? Apabila kita menganggap cara kerja alam itu seperti apa yang dilakukan si anak kepada Tom dan Gemma. Lalu lantas membuat manusia kehilangan kewajarannya atas hal-hal kejam yang dilakukan alam. Tentu kita sering kali melihat ada sekumpulan singa tengah memangsa buruannya, lalu di mata kita sebagai manusia terbesit perasaan bahwa hal itu kejam. Kemudian membalasnya dengan membantai lalu menguliti para singa untuk dijadikan tas dengan harga selangit? Apakah dengan menampilkan posisi Gemma dan Tom sebagai warga kelas pekerja sebagai kelompok rentan yang terdehumanisasi oleh cara kerja alam—atau (kembali) secara simbolis adalah sistem kapitalisme, hingga mereka tampak sosok yang tidak berdaya kemudian melakukan hal-hal yang membuat mereka menjadi tidak manusiawi? Penghujung cerita film Vivarium tentu bukan hal yang menyenangkan. Namun penghujung cerita merupakan cara terbaik untuk tetap menjaga kemanusiaan dalam diri Tom dan Gemma, meskipun diliputi penyesalan.

  • The Shape of Water: Eksplorasi Makhluk-Makhluk Marginal dalam Sajian Sinematik yang Indah

    author = Achmad Muchtar










    The Shape of Water







    Adventure, Drama, Fantasy






    2017








    123 Menit




    Guillermo del Toro




    Sally Hawkins, Octavia Spencer, Michael Shannon, Doug Jones, Nick Searcy, Michael Stuhlbarg, Richard Jenkins



    Pada tahun 1960-an, di sebuah laboratorium rahasia, seorang perempuan tukang bersih-bersih memiliki hubungan unik dengan makhluk amfibi yang ditahan di laboratorium tersebut.

     

    Sebelum tayang di bioskop-bioskop Indonesia pada 29 Maret 2018 lalu, film The Shape of Water sudah punya rencana tayang jauh-jauh hari sebelumnya, yakni sekitar akhir tahun 2017. Namun, film ini baru mendapatkan kepastian tanggal tayang di Indonesia setelah memenangi 4 Piala Oscar pada gelaran Academy Award ke-90 awal Maret 2018. Film ini menang 4 dari 13 nominasi, yaitu kategori Best Original Score, Best Production Design, Best Director untuk Guillermo del Toro, dan Best Picture.

    The Shape of Water bertutur tentang percintaan antara Elisa Esposito (Sally Hawkin) dan Amphibian Man (Doug Jones), makhluk amfibi yang ditemukan di sebuah perairan Amerika Selatan. Berlatar Perang Dingin tahun 1960-an, Elisa yang bisu bekerja di laboratorium rahasia milik pemerintah sebagai tukang bersih-bersih. Suatu saat, kiriman berupa makhluk amfibi datang. Elisa diam-diam berinteraksi dengannya. Lambat laun Elisa jatuh cinta dengannya, dengan alasan bahwa hanya ia yang tak pernah peduli pada kekurangannya. Suatu saat, Kolonel Richard Strickland (Michael Sannon), mengumumkan bahwa makhluk amfibi itu berbahaya—dua jarinya putus akibat gigitan makhluk itu. Atasan Kolonel Richard, Jenderal Frank Hoyt (Nick Searcy) tertarik pada makhluk amfibi itu dan ingin membedah tubuhnya untuk penelitian dan memajukan teknologi perjalanan luar angkasa karena pada saat itu terjadi perlombaan senjata dan luar angkasa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Elisa kalang kabut dan berusaha menyelamatkan makhluk amfibi itu dari pembedahan. Ia mencari bantuan sahabat-sahabat terdekatnya, yaitu Giles (Richard Jenkins), pria tua yang menampungnya, Zelda Fuller (Octavia Spencer) yang berkulit hitam yang merupakan rekan kerja terdekatnya, dan Dr. Robert Hoffstetler (Michael Stuhlbarg), ilmuwan yang menangani makhluk amfibi itu, yang ternyata bersedia membantunya. Mereka bahu membahu menyelamatkan dan menyembunyikan makhluk amfibi itu dari incaran Kolonel Richard yang berniat jahat.

    Alur film ini memang tampak sederhana, tetapi bagaimana Guillermo del Toro mengolahnya adalah hal yang luar biasa. Sejak menit-menit awal film ini menyajikan cerita layaknya dongeng dengan gambar dan suara yang indah. Palet warna yang menawan pun tersaji menawarkan kesan klasik sekaligus futuristik, realis sekaligus fantasi. Dengan palet warna itu, penonton akan disajikan gambar-gambar yang indah, nuansa kota, bioskop, musik, acara televisi, kereta, dan busana khas tahun 1960-an. Adanya makhluk amfibi atau monster, yang kesannya misterius tetapi tampilannya indah, menjadikannya sosok yang seksi dalam film ini.

    The Shape of Water banyak mengekspos kaum underdog atau marginal. Elisa adalah perempuan bisu yatim piatu yang ditemukan di sungai. Elisa yang bisu menjalani hari-harinya dengan gerakan tangan, mimik wajah, dan dengusan. Ia bergerak lincah layaknya pemain teater. Gerakannya sangat teatrikal, yang awalnya terkesan kaku seperti robot, tetapi powerful dalam akting. Kita akan melihat bagaimana ia melompat-lompat, menerjemahkan benda-benda, hingga marah dengan caranya sendiri. Elisa dirawat oleh Giles, seorang pria yang menjalani hidupnya sebagai pelukis. Meskipun hidup serumah berdua tanpa ikatan perkawinan, mereka tak pernah meresahkan hubungan itu karena Giles bukan seorang heteroseksual. Ia menyukai pemuda pembuat pai yang sebenarnya pai buatannya tidak enak. Tapi ia ditolak lantaran sudah tua. Level terpinggirkannya makin kompleks setelah ia juga dipecat dari pekerjaannya. Elisa juga mempunyai sahabat sekaligus rekan kerja bernama Zelda. Zelda adalah wanita berkulit hitam yang suaminya pengangguran. Ia bekerja untuk menghidupi keluarganya. Tahun 1960-an adalah masa krisis rasialisme terhadap etnis kulit hitam di Amerika Serikat.

    Di balik ceritanya yang linier, sebenarnya The Shape of Water banyak menyampaikan kritik, terutama untuk kaum-kaum kalangan atas. Dimulai dengan kritik tentang rupa Tuhan. Dalam film diceritakan bahwa makhluk amfibi itu awalnya disembah bagaikan dewa atau Tuhan. Lalu muncul celetukan bahwa Tuhan tidak mungkin berbentuk seperti makhluk amfibi itu. Seorang karakter yang berkulit putih mengatakan bahwa Tuhan pasti menyerupai manusia, dan lebih mirip dirinya ketimbang orang kulit hitam. Namun, Guillermo del Toro membalikkan ide tersebut dengan membuat karakter makhluk amfibi itu layaknya Tuhan yang dapat menyembuhkan luka hingga menghidupkan orang mati. 

    Guillermo del Toro memang identik dengan film-film yang menampilkan makhluk-makhluk aneh, bisa dilihat dari film-film sebelumnya, seperti Hellboy (2004) dan Pan’s Labyrinth (2006). Film Pan’s Labyrinth masuk nominasi kategori Best Foreign Language Film (mewakili negara Meksiko) pada Academy Award ke-79. Namun, baru kali ini makhluk kreasinya diakui di ajang penghargaan film paling bergengsi itu. Tentunya ia menggabungkannya dengan isu-isu terkini. Para underdog, feminis, perjuangan kaum bawah yang memberontak melawan kuasa, dan perjuangan atas nama cinta. Bisa disimpulkan bahwa, selain Pan’s Labyrinth, inilah karya Guillermo del Toro yang sanggup menembus festival film berkelas dunia. Sebelum menang di Academy Award, film ini telah dahulu memenangi Golden Lion, anugerah film tertinggi pada Venice Film Festival 2017. Hal tersebut menjadikan The Shape of Water sebagai film kedua yang menang penghargaan utama di Venice Film Festival dan Academy Award, setelah film Hamlet (1948) arahan Laurence Olivier yang juga menang penghargaan utama pada dua anugerah film tersebut.

    The Shape of Water ibarat dongeng, meskipun karakter cantik dan buruk rupa mirip narasi Beauty and the Beast, tetapi ada perbedaan yang cukup mendasar di antara keduanya. Sebagai si buruk rupa, makhluk amfibi dalam film ini justru terkesan indah, sementara Elisa yang memerankan si cantik, dalam film ini justru nampak punya kekurangan. Karakter Elisa diperankan dengan baik oleh Sally Hawkins, yang memang diakui para juri dengan masuknya ia dalam daftar nominasi Academy Award kategori Best Actress, tapi sayang harus kalah dari Frances McDormand yang juga bermain apik di film Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017). Selain sinematografi dan palet warna yang memukau, film ini diiringi musik latar gubahan Alexandre Desplat yang sangat menakjubkan, yang dapat membuat penonton jatuh cinta sejak menit-menit awal.

    Di balik narasi percintaan si cantik dan buruk rupa, film ini banyak mengeksplor kaum-kaum marginal. Penonton dapat menjumpai tokoh cacat, bisu, babu, monster, buruk rupa, tua, LGBT, perempuan, kulit hitam, pengangguran, hingga seniman. Dapat diasumsikan bahwa ini merupakan cara Guillermo del Toro menyuarakan pemberontakannya atas struktur dan stigma masyarakat masa kini—atau barangkali ia menyuarakan sebagai dirinya sendiri sehingga ini adalah filmnya yang sangat personal. The Shape of Water adalah film drama fantasi yang indah. Keindahan sinema dalam hal narasi, gambar, suara, akting, musik, editing, sinematografi, tata artistik, dan sebagainya seolah menyatu dalam film ini. Di balik alurnya yang sederhana, sebenarnya film ini berbicara lebih banyak ketimbang kisah romansa. Kritiknya bahkan terselubung di dalam narasi besarnya. Salah satu film terbaik tahun 2017. Beruntung sekali film ini sempat tayang di bioskop-bioskop Indonesia.

     

  • The Grand Budapest Hotel: Holocaust, Nazisme, dan Ilmu Meraga Sukma

    author = Titis Anggalih










    The Grand Budapest Hotel







    Adventure, Comedy, Drama






    28 Maret 2014








    99 menit




    Wes Anderson




    Ralph Fiennes, F. Murray Abraham, Mathieu Amalric, Adrien Brody, Tilda Swinton, Willem Dafoe, Edward Norton



     

    Dear ES,

    Menulis pengalaman menonton sebuah film tentu mudah andai, sebagaimana biasa, kuketik dengan jariku sendiri. Namun tidak pun. Aku sedang belajar meraga sukma dan belum tahu caranya pulang ke badan fisikku sehingga aku mendatangi mimpi salah satu redaksi Kibul dan memaksanya dengan sedikit ancaman agar bersedia mengetik resensi film The Grand Budapest Hotel ini untukmu (barangkali nuansa tulisannya tidak begitu mirip dengan tulisanku. Harap maklum).

    Setelah membaca tulisan ini, kau akan mengerti mengapa karya-karya Wes Anderson begitu mewarnai gaya tulisanku, setidaknya kau temukan muncul sebagai sekedar potongan atau fragmen. Beberapa kali kusadari hal itu dan ingin kuhilangkan, ES, tapi impresinya sudah lekat macam permen karet yang secara tak sengaja diinjak oleh sol sepatu. Kau juga akan mendapati kesimpulan unik betapa film komedi bisa lahir bahkan ketika para pemerannya tak berusaha tampil lucu!

    Jadi begini, ES, menurutmu kesintingan macam apa yang bisa ditimbulkan oleh seorang manager hotel legendaris berpembawaan necis, ceriwis serta perlente yang memiliki kecenderungan seksual pada wanita lansia berusia 2 kali usianya sendiri? Fakta bahwa semua wanita yang menjadi teman tidurnya harus memiliki ciri fisik blonde nan tajir sebaiknya kita abaikan, sebab negara ini rentan terhadap isu sosial macam itu.

    Sudah kubilang abaikan. Stop! Ya, diam begitu dan lanjutkan membaca saja (sebagai bentukan ruh, aku tidak terikat waktu : cara kerja waktu tak lagi linear, ES, maka aku akan tahu jika kau hendak menginterupsi).

    Sebagai ruh, kemampuan mengingatku turun dan mudah linglung, tak tajam-tajam amat. Meski berusaha mengingat aku tetap lupa nama asali pemeran tokoh utama : Sang Manager Hotel Legendaris. Yang kuingat, ia adalah orang yang sama yang memerankan Si Lucknut Voldemort favoritmu (kekasihnya, Madam D, dimainkan oleh orang yang jadi guru spiritual Doctor Strange, ya, yang botak itu). Ini menunjukkan kualitas berperan yang tak main-main, ES : ia mampu berperan se-lucknut itu sebagai Voldemort namun tak bercela juga menjadi Sang Manager yang sedikit-sedikit menyemprot minyak wangi dan bersajak. Oh, bahkan ia bersajak di depan seorang Bocah Lobi bertampang polos (atau bodoh) bukan kepalang. Kelak Si Bocah Lobi menjadi sahabat terbaik Sang Manager Legendaris.

    Aku tak akan menceritakan banyak-banyak tentang sinopsisnya, ES, sebab yang begitu-begitu sudah banyak ditulis di Google kalau kau mau sedikit berusaha mencari, mengingat kau agak malas dan suka menunda dan membuat orang jengkel demi terus-terusan mengingatkanmu. Terserah kau saja.

    Apa? Kembali ke topik? Baik.

    Yang tidak banyak diketahui orang tentang film ini, selain meraih 9 Nominasi Academy Awards 2015, secara subtil pamanku Wes Anderson menampilkan adegan yang sesungguhnya merefleksikan kejadian sebenarnya. Ya, setting Negara Zubrowka di tahun 1968 adalah fiksi, namun yang terjadi pada tahun-tahun itu adalah benar demikian adanya : representasi Perang Dunia II dan penggambaran sejati tentang Holocaust.

    “One of the smartest and most sophisticated movies ever made about both the causes of the Holocaust and its consequences,” tulis The Atlantic.

    Itu bukan tanpa alasan. Kau bisa lihat konflik dimulai ketika Dmitri kesal tak ada ampun sebab mendiang Madam D justru mewariskan lukisan agung era Renaissance ‘The Boy With Apple’ kepada Sang Manajer Hotel, bukan pada dirinya sebagai anak kandung. Ia lantas menuduh Sang Manager sebagai homoseksual dengan kebencian dan rasa jijik tak main-main. Dmitri sendiri menampilkan sosok khas tentara Nazi : seragam hitam nan bengis maharaja (diperankan secara tidak mengecewakan oleh Om ganteng Adrien Brody). Belum lagi bawahan Dmitri yang sedikit-sedikit main bunuh, si Jopling itu, yang menimbulkan perasaan ingin membedil dirinya tiap kali ia muncul. Jopling memang sedikit muncul dan tidak dominan, tapi sekali muncul bawaannya bikin hasrat berdoa minta keselamatan pada Tuhan. Salah satu yang dia bunuh adalah seorang deputi Yahudi bernama Kovacs setelah menjepit keempat jari Kovacs dengan daun pintu terkutuk sehingga putus sekonyong-konyong pada saat itu juga, meninggalkan sedikit ceceran darah sebelum akhirnya membaringkan bangkai Kovacs ke dalam sarkofagus dengan pose yang sama sekali tak cemerlang.

    Fix. Nazi betul.

    Dan tidak seperti nasehatmu, ES, bahwa hanya orang sinting yang tak mampu bercerita dengan baik, sebab Wes Anderson terbukti menyuguhkan kolaborasi ganjil antara kejeniusan dan kesintingan dengan formulasi perbandingan yang hanya Tuhan yang tahu. Banyak tokoh yang nampaknya kontras nyatanya berhasil saling menguatkan karakter satu dengan yang lain. Atau yang tidak kontras dan tetap epik, macam Si Bocah Lobi dan pacarnya si gadis pembuat kue, Agatha, yang memiliki tompel besar berbentuk Negara Meksiko di pipi kanannya.

    Yah, namanya juga dark comedy. Dan sebagaimana dark comedy lainnya, dark comedy itu pahit, ES. Pahit!

  • Tengkorak: Fiksi Ilmiah dengan Rasa Lokal

    author = Anatasia Anjani

    Selama ini menonton film fiksi ilmiah atau lebih akrab disebut science fiction (sci-fi) sudah pasti berkiblat pada Hollywood. Rasanya agak aneh jika menonton film fiksi ilmiah yang dibuat sendiri oleh sineas dalam negeri. Tengkorak menjadi kebanggaan perfilman Indonesia yang minim diperbincangkan dan disorot oleh masyarakat. Pasalnya, film ini merupakan film Indonesia yang menggunakan genre fiksi ilmiah. Indonesia sudah layaknya turut berbangga hati, akhirnya bioskop tidak sesak dengan film-film roman yang menjual wisata luar negeri dan horor yang menjual aktor dan aktris berparas menawan.

    Usaha sang sutradara, Yusron Fuadi patut diberi apresiasi lebih. Dana yang pas-pasan, cenderung terbatas tidak mengurungkan niatnya untuk menggarap film ini dengan serius. Butuh selama kurang lebih empat tahun untuk memproduksi film berdurasi hampir 2 jam. Pasalnya film ini juga merekrut kurang lebih sebanyak 127 kru dalam proses pembuatannya, hal tersebut dipaparkan oleh sang sutradara saat nonton bersama di Araya XXI, Kota Malang pada Sabtu (20/10/2018).

    Seusai pemutaran, Yusron menghaturkan ucapan terimakasih disertai raut wajah yang memancarkan kebahagian. Dirinya pun tak menyangka jika filmnya akan diputarkan di layar bioskop seperti ini. Menurut Yusron, hal ini diluar ekspektasinya. Ia juga terlihat gembira melihat kursi penonton penuh, tak ada satupun yang kosong.

    Menonton film dengan durasi tersebut, jujur agaknya membuat kepala saya agak pening. Film ini menyuguhkan cerita yang tidak umum dalam film Indonesia yang diputar di bioskop. Sederhananya film ini memiliki premis yaitu usai bencana hebat yang menimpa Jogja pada 2006, diduga ditemukan fosil manusia sepanjang 1850 meter di Daerah Istimewa Yogyakarta.

    Tentu penemuan benda aneh, selalu membuat kita bertanya-tanya. Apakah benda tersebut? Apa benar-benar ada? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang muncul di kepala. Semua elemen masyarakat turut membincangkan peristiwa ini dari pemerintah, peneliti hingga tukang bakso sekalipun. Pun isu ini juga disorot luas baik lokal hingga internasional.

    Kemampuan Yusron untuk melibatkan elemen secara luas memang luar biasa. Potongan-potongan adegan demi adegan dengan pintar disusun menjadi satu kesatuan cerita yang runut. Walaupun ada beberapa adegan yang menuntut kita untuk berpikir keras dari biasanya. Adegan demi adegan terasa dekat seperti adegan berpendapat di warung kopi serta dokumentasi pemberitaan di pelbagai stasiun televisi.

    Tak hanya menjadi sutradara, Yusron juga ikut berperan dalam film sebagai Yos. Yos adalah pembunuh bayaran dan bergabung dengan tim Kamboja, tim yang diburu oleh berbagai pihak. Kisah dalam film ini menurut saya dimulai saat Yos mendapatkan pesan singkat dari obrolan grup di WhatsApp. Pesan tersebut berisikan bahwa ada korban yang harus dibunuh yaitu Ani (Eka Nusa Pertiwi). Ani adalah mahasiswa semester 7 yang magang di Badan Penelitian Bukit Tengkorak (BPBT) dengan dalih agar mandiri membiayai hidup hingga lulus kuliah.

    Ani dekat dengan profesor luar yang meneliti di BPPT. Hal tersebut yang membuat dirinya menjadi incaran. Yusron mengaku dirinya terinspirasi pelbagai film sci-fi Hollywood dalam membuat cerita. Sesuatu yang asing dan kontroversial pasti akan dikejar oleh siapapun dan memiliki banyak rahasia. Agaknya nalar saya masih agak sulit memahami adegan disini dikarenakan setelah menerima pesan itu kemudian Yos tiba-tiba berlari dengan amat cepat dari kosannya yang kumuh dan padat menuju kos kosan Ani. Sesaat setelah Ani membuka pintu yang diketuk oleh seorang wanita, Yos dengan tangkas dan cepat plus sadis menghabisi wanita tersebut dengan pisau kecil. Melihat peristiwa itu Ani hanya bisa termenung dipojokkan kamar dengan gelagat takut dan penuh was-wasan. Ia tidak berkutik sekali pun.

    Setelah membunuh wanita tersebut, Yos meminta Ani dengan paksa untuk ikut kabur bersama dirinya. Tanpa berpikir panjang Ani mengemasi barangnya dalam tas dan mengikuti perintah Yos agar selamat. Dengan meminjam motor dari kenalan Yos, mereka kabur ke daerah selatan yang masih sepi dan asri jauh dari kebisingan kota. Sepanjang perjalanan Ani yang masih syok tentu diam dan menangis. Berbeda dengan Yos yang menganggap tidak terjadi apa-apa setelah kejadian itu.

    Bagian perjalanan antara Yos dengan Ani agaknya bisa membuat kita sedikit salah fokus. Pasalnya saat perjalanan mereka sangat dingin dan kaku bak film-film romantis. Jangan terbius dulu wahai pembaca budiman, lagi-lagi Yos hadir mencairkan suasana dengan dialek Jawanya yang sangat kental. Juga celetukan yang satir dan jorok yang sangat njawani banget.

    Adegan perbincangan antara Ani dan Yos saat di rumah kolega yaitu Letnan Jaka juga menjadi bagian favorit saya dalam film. Konflik dalam film terlihat, ketika mereka kedatangan tamu yang juga merupakan anggota Tim Kamboja. Terdapat beberapa perdebatan dalam adegan tersebut yang pada akhirnya dengan terbunuhnya Yos. Saya cukup sedih dengan kematian Yos dalam adegan ini.

    Ani meratapi kematian Yos, tapi tetap ia bertekad untuk memecahkan teka teki yang telah diberikan profesor. Ditemani Letnan Jaka yang merupakan kolega Yos, mereka melanjutkan perjalanan untuk memecahkan teka teki tersebut. Dimulai dari kerumah penulis dan pengamat hingga bertemu dengan petinggi negara. Menuju akhir dari film ini cukup sentimentil, Ani pulang dengan haru, disambut sang bapak yang sedang memasang lampu. Sedangkan akhir dari film ini, tentu saya tidak ingin cerita karena akan menjadi spoiler. Tidak etis bila saya susah susah berpikir untuk menonton film ini kemudian anda tahu endingnya.

    Selain dengan usaha niat sang sutradara, hal lain yang patut diapresiasi adalah efek visual. Walaupun masih kasar dan belum sempurna. Tetap usaha tim sangat keren, beberapa CGI yang masih kurang mumpuni tidak mengurangi kekaguman saya terhadap film ini. Hemat saya film ini sudah keren dengan mengajak kerjasama dengan Vokasi UGM yang menghasil sumbangsih dalam efek visual, animasi 3D dan miniatur gedung BPBT. Juga dalam stock shoot-nya kreatif dengan memasukkan suasana riuhnya perkotaan maupun panorama kota Yogyakarta yang apik.

    Selain berhubungan dengan efek visual, yang perlu disoroti adalah dalam hal suara. Terdapat beberapa adegan dengan efek suara yang terlalu lama, cenderung membuat penonton bosan. Penempatan back sound suara yang kurang pas dan terlalu lama. Penonton tidak diberikan istirahat untuk telinga dikarenakan pengiring suara terus sambung menyambung.

    Dari segi cerita, walaupun cerita ini runut, tetapi untuk bridging yaitu jembatan antar gagasan masih sumbang. Sehingga butuh konsentrasi khusus untuk memahami film ini. Penonton seakan dibuat “wajib” memahami tiap adegan. Untuk pemainnya ini yang paling patut diapresiasi, aktingnya yang natural yang bukan pemain bintang umumnya tak mengurangi kualitas film ini. Kekuatan dialog adalah ciri khas film ini. Sayang jika dilewatkan begitu saja.

    Bahasa yang 70% menggunakan bahasa Jawa ngoko lugu, terasa begitu dekat. Apalagi saat dialog antar tokoh yang misuh (berbicara kotor) menggunakan Bahasa Jawa menjadi pereda setelah konsentrasi penuh. Apalagi Yos walaupun bekerja penuh dosa dengan membunuh orang. Ia tetap kental dengan kearifan lokal produk Jawa. Hobi pakai batik, memancing ditengah-tengah menunggu tugas serta ngopi khas dari Mandailing hingga Kintamani sambil nyelatu (komentar) dengan Bahasa Jawa.

    Ringkasnya Tengkorak adalah sajian film Indonesia di tengah sesaknya film horor dan film romantis dengan artis kenamaan. Mengusung genre “baru” untuk film Indonesia yaitu fiksi ilmiah, film ini sangat layak untuk ditonton, menawarkan “realita” kehidupan sesungguhnya. Tidak heran film ini sudah menyabet 3 penghargaan yaitu Jogja Netpac Asian Film Festival 2017, Cinequest Film VR Festival 2018 dan Balinale Film Festival 2018.  

  • Sexy Killers: Bukan Film Mesum, Tapi Sangat Vulgar

    author = Abidah Naqiya

    Saya baru sebulan belakangan ini mendengar nama Dandhy Dwi Laksono meskipun kiprahnya di dunia jurnalistik sudah santer terdengar di mana-mana. Di saat bersamaan, saya juga untuk pertama kalinya mendengar nama Watchdoc, sebuah rumah produksi audio visual milik Dandhy yang berfokus memproduksi film-film dokumenter. Konon, Watchdoc adalah kanal dokumenter Indonesia yang cukup digemari karena keberaniannya dalam mendokumentasikan sejumlah isu yang jarang tampil di industri penyiaran, mulai dari isu lingkungan hidup, energi, kearifan budaya, dan lain sebagainya.

    Saya bersyukur karena film mereka yang pertama kali saya tonton adalah Sexy Killers. Belakangan, film berdurasi kurang lebih 97 menit yang disutradarai oleh Suparta ini ramai dibicarakan di media sosial. Pemutaran filmnya ramai peminat, walau pun tidak semuanya berjalan mulus karena dipaksa batal tayang oleh pihak-pihak yang merasa terancam. Menilik dari judulnya, awalnya saya mengira bahwa pembatalan-pembatalan tersebut dikarenakan film ini mesum dan vulgar. Tapi setelah saya selesai menonton dan tahu isi filmnya, saya jadi paham: film ini tidak mesum. Tidak ada adegan panas, sensualitas perempuan pun sama sekali tidak menjadi isu utama. Tapi kalau soal vulgar atau tidaknya, Sexy Killers memang benar-benar vulgar!

    Vulgar, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti kasar dan tidak sopan. Dan ya, film ini secara vulgar menampilkan kebobrokan industri-industri batu bara Indonesia; sebuah industri yang ‘seksi’ namun membunuh.

    Dalam film ini, industri batu bara Indonesia dilucuti pakaian glamornya, lalu ditelanjangi habis-habisan sampai nampak betul borok-boroknya.

    Industri batu bara, terutama sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), selama berdekade-dekade telah menyengsarakan penduduk dari berbagai aspek. PLTU dan segala kedigdayaannya terus dibentrokkan dengan kelangsungan hidup rakyat kecil: mulai dari masyarakat transmigran yang menggantungkan hidupnya dari kebun mentimun, nelayan yang melaut bermodalkan perahu kecil, karyawan swasta yang istrinya menderita kanker akibat debu PLTU, hingga para ibu yang menangisi mayat anak-anaknya yang tenggelam di lubang bekas galian. Sexy Killers memberikan ruang bicara yang sangat memadai bagi mereka yang selama ini tidak didengar meski sudah berteriak sampai serak.

    Gelombang protes dan perlawanan dari pihak-pihak yang dizalimi oleh industri batu bara direkam dengan cermat oleh Dandhy-Suparta dan timnya. Film ini menunjukkan bagaimana industri ini telah menjadi senjata pembunuh massal yang tidak hanya membunuh manusia, namun juga sumber pendapatan dan lingkungan. Menariknya, protes dan desakan yang diteriakkan para korban tersebut kemudian ditanggapi oleh pemerintah dan pihak pertambangan dengan begitu santai. Misalnya dalam salah satu adegan, Gubernur Kaltim, Isran Noor, berkata, “Kan sudah dibilang, jangan main di situ…” ketika menanggapi seorang ibu yang berteriak histeris karena anaknya tenggelam di lobang bekas galian tambang.

    Yang paling menarik perhatian saya adalah fragmen saat kedua capres yang akan berlaga di pemilu 17 April menanggapi isu lingkungan dan reklamasi dalam salah satu sesi debat capres. Prabowo terkesan menimpakan kesalahan pada perusahaan asing, sementara Jokowi memberi kesan seolah usaha reklamasi yang dilakukan selama ini sudah menjawab persoalan. Fragmen ini kemudian ditutup dengan pernyataan  Prabowo, “Saya kira cukup, ya. Untuk apa kita bertele-tele lagi?” yang kemudian ditanggapi dengan kalem oleh Jokowi, “Iyalah, saya setuju saja,”. Bagian ini membuat saya bertanya-tanya dengan gusar: wow, apakah sebegitu tidak pahamnya kedua pria ini akan masalah serius yang sedang dihadapi bangsa ini?

    Film ini dengan sangat lancang juga membeberkan keterlibatan kedua pihak capres dalam industri batu bara di negeri ini. Nama-nama politisi dan pejabat negara dari kedua kubu yang memiliki perusahaan pertambangan dibocorkan tanpa tedeng aling-aling. Di kubu 01, misalnya, muncul nama Luhut Pandjaitan yang saat ini menjabat sebagai Menko Kemaritiman, Jusuf Kalla, dan Harry Tanoesoedibjo. Di kubu 02, tentu saja pasangan Prabowo-Sandi sendiri merupakan pemilik berbagai macam perusahaan tambang batu bara. Disusul pula dengan sederet nama lain, seperti Hasyim Djojokusumo dan Tommy Soeharto. Sexy Killers bahkan membuat saya punya sudut pandang baru tentang Kaesang dan Gibran, duo anak kandung Presiden Jokowi yang selama ini saya anggap bersih karena mereka bekerja keras lewat jualan pisang dan martabak. Kalau kalian juga berpikiran demikian, maka film ini akan membuat kalian menjadi lebih skeptis. Ya, Sexy Killers memang sekurang ajar itu.

    Ini kemudian membuat saya berpikir bahwa tanggapan nyantai kedua capres dalam debat tempo lalu sebenarnya bukan soal paham atau tidaknya mereka pada isu lingkungan. Namun lebih ke soal ada atau tidaknya kepentingan mereka dalam isu ini.

    Saya berpendapat bahwa film dokumenter bisa dikategorikan sebagai karya jurnalistik, sebab ia mengedepankan fakta, tidak boleh mengandung kebohongan, dan bersifat investigatif. Dalam bukunya yang berjudul Pers Indonesia: Berkomunikasi Dalam Masyarakat Tidak Tulus, Jakob Oetama berkali-kali mengatakan bahwa karya jurnalistik yang baik haruslah cover both sides, alias berimbang. Dalam hal inilah saya merasa Sexy Killers memiliki kekurangan. Dari perspektif jurnalistik, saya merasa film ini akan mampu memberikan gambaran yang lebih lengkap jika menyertakan narasumber berupa pelaku industri pertambangan batu bara atau PLTU. Sebab saya yakin banyak penonton lainnya yang juga bertanya-tanya; mengapa industri yang penuh cacat ini masih dipertahankan? Apa yang membuatnya dipertimbangkan sebagai solusi terbaik bagi penyediaan energi di Indonesia?

    Bicara soal momentum, waktu yang dipilih Dandhy-Suparta dan timnya untuk memutar film ini sangatlah tepat, yakni pada hari-hari menjelang Pilpres. Film ini memiliki pesan yang serupa dengan artikel bernas karangan Francesco Hugo yang dimuat di Indoprogress.com berjudul “Mesias Tidak Datang Besok Pagi”. Pesan itu kira-kira berbunyi begini: politisi idolamu itu hanyalah manusia biasa. Ketimbang sibuk mempertahankannya sebagai sosok suci yang tak bercela, ada baiknya energimu itu dialihkan ke hal-hal yang lebih substansial dan krusial. Mengawal dan senantiasa kritis terhadap regulasi industri pertambangan baru bara, misalnya.

    Ah, saya jadi teringat akan tulisan Goenawan Mohammad dalam salah satu Catatan Pinggirnya. Tulisan ini ia buat pada akhir 80-an, namun ternyata sangat relevan untuk menggambarkan situasi negara kita sekarang: “Dan di tengah hingar itu, juga rasa tergetar dan ngeri itu, hanya sedikit ikhtiar istimewa buat mengurus soal-soal menjemukan ini: sawah, irigasi, jalan ke pasar, kredit candak kulak, dan seterusnya, dan seterusnya…”

  • (Sekadar) Omong Kosong Setelah Nonton John Wick 3

    author = Titis Anggalih

    Film ini saya tonton pada sebuah malam di bulan Ramadhan,
    sebuah malam yang sebaiknya orang mengaji atau setidaknya menghapal kitab suci.
    Jadi, apabila saya berdosa karena membuang waktu yang demikian berharga
    alih-alih sebanyak mungkin beribadah, maka berdosa pula mereka yang menikmati
    resensi omong-kosong ini.

    ***

    Omong kosong bagi penulis resensi yang mengatakan dialog dan
    aksi pada film ini disajikan berimbang, sebab nyatanya aksi lebih lebih padat
    dibanding dialog. Justru muatan dialog yang sekedarnya namun mengena menjadi
    sesuai dengan genrenya, sebab tidak banyak buang kata-kata. Artinya tiap
    kalimat antar tokoh begitu efektif. Maka, ketidakseimbangan tersebut justru
    menjadi salah satu nilai plus Parabellum yang konon memperoleh reputasi “Fresh
    Tomattoes” versi Rotten Tomattoes,
    menggeser ranking teratas jumlah penjualan tiket Avengers pada awal-awal hari
    penayangan (meski untuk hal ini faktornya bisa bermacam-macam, seperti promosi,
    dll.).

    Omong kosong pula jika dikatakan tensi ketegangan menurun
    pada pertengahan film. Saya rasa hal ini memang kesengajaan sutradara Chad
    Stahelski. Jikapun menurun, agaknya kurang pas jika disebut kekurangan. Maksud
    saya, banyak cerita menarik yang bermaksud menampilkan ledakan ketegangan di
    awal cerita. Kita ingat Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan, membuka cerita
    dengan kebangkitan tiba-tiba Dewi Ayu dari liang kubur setelah dipendam puluhan
    tahun. Ini teknik yang sama yang saya pakai dalam cerpen Kisah Perempuan yang
    Membalurkan Kotoran Sapi pada Kemaluannya Seumur Hidup, yang langsung diawali
    oleh adegan seorang lelaki sekarat, tak peduli letaknya masih di awal atau
    pembukaan cerita. Nah, teknik ini memiliki fungsi mengikat perhatian dan rasa
    penasaran penonton (atau pembaca, jika media cerita melalui tulisan) agar setia
    menikmati kisah hingga tuntas.

    Melanjutkan omong kosong lainnya, yang bisa dikatakan sebagai kritik (karena saya bisanya juga cuma mengkritik, kalau bisa bikin film tentu saya sudah bikin film!), adalah adanya beberapa jeda atau ancang-ancang musuh sebelum menyerang John Wick. Saya menangkap detail jeda tersebut sebagai keraguan para stuntman. Saya berharap adegan aksi yang lebih alami (ada benar kata pujangga jomblo: kekecewaan hanya ada jika kita pernah berharap). Menimbulkan kesadaran kembali pada benak saya: ‘it’s not real, it’s just a movie’.

    Oh, shyt! Yang
    tadinya sudah enak-enak hanyut mengikuti alur, tiba-tiba tersadar lagi oleh hal
    kecil.

    Juga tentang bagaimana Bang Yayan Ruhiyan dan Cecep Arif
    Rahman memakai pisau karambit malah muncul sebagai anak buah pengguna katana.
    Kalau di Indonesia, kebanyakan berlaku filosofi lawas ‘makin pendek atau makin
    kecil senjata, maka makin mumpuni kesaktian penggunanya.’ Prajurit keraton yang
    pegang pedang lebih tinggi jabatannya dari prajurit yang pegang tombak. Yang
    pegang keris lebih tinggi dari yang pegang pedang. Lebih sakti lagi jika tanpa
    senjata, alias tangan kosong (ingat John Wick malah cukup pakai pensil dan
    buku).

    Sedikit tentang karambit, menurut saya, kiranya juga bisa
    mengakibatkan luka lebih ngelu
    dibanding katana. Bentuk pisau yang menyerupai sabit mampu menciptakan
    setidaknya 2 jenis luka: sayatan jika terkena searah dari pangkal menuju ujung
    senjata, seolah bentuknya begitu memahami karakter kulit manusia yang elastis (bayangkan
    plastik yang tengah direnggangkan, tentu robekannya melebar jika tersayat).
    Juga jenis luka cabikan jika mata pisau yang lebih dulu terbenam di kulit. Ini
    jenis luka yang tidak bisa diakibatkan oleh katana.

    Terakhir, apakah Indonesia ditampilkan ataupun tidak dalam
    perfilman dunia, saya sudah bangga pada seni bela diri Indonesia sejak dalam
    pikiran. Jika dalam film saja sekeren itu, bagaimana di kenyataan? Artinya, bukan
    pasar yang kecil juga kalau perhatian netizen Indonesia (sebagai salah satu
    pengguna media sosial terbanyak sedunia) disedot dengan menghadirkan Bang Yayan
    dan Cecep Arif Rahman.

    Well calculated, isn’t
    it?

  • Mengasing via Film Asing

    author = Muhammad Husein Heikal

    Pada akhir tahun lalu saya menonton empat film asing, yaitu Roma, Parasite, Never Look Away, dan Portrait of a Lady on Fire. Poin utama dari keempat film tersebut berhasil mematahkan persepsi saya––dan barangkali sebagian besar penikmat film––bahwa film yang tidak diproduksi label besar tidak bisa punya kualitas mumpuni.

    Tak perlu menyangkal bila selama ini kita “disesaki” sekaligus “diracuni” film besutan Amerika lewat merek besar Hollywood. “Disesaki” dalam artian film-film Amerika merajai jadwal bioskop dan membuat kita merasa perlu ambil bagian menontonnya. Memang sebagian besar film Amerika “bagus”––tentu dalam persepsi yang berbeda-beda: barangkali dari segi tema, teknik pengambilan gambar, suara latar atau efek digital. Sementara “diracuni” pada persepsi saya ialah perihal ketidaklogisan yang lama-kelamaan terangkai menjadi hal mutlak yang seolah benar-benar nyata.

    Berangkat dari kedua alasan itu saya memutuskan untuk mengurangi konsumsi film Hollywood dan beralih kepada sesuatu yang asing dan belum saya kenal. Saya menduga tentu menyenangkan sekali mengenal suatu hal yang selama ini asing. Tapi ternyata setelah dikenali menjadi akrab dan menyenangkan. Begitu yang saya rasakan ketika menonton film asing yang saya sebutkan di atas.

    Keempat film itu berasal dari negara berbeda. Roma dari Meksiko, Never Look Away (Werk ohne Autor) dari Jerman, Portrait of a Lady on Fire (Portrait de la jeune fille en feu) dari Prancis dan Parasite (Gisaengchung) dari Korea Selatan. Walau asalnya berbeda namun keberuntungannya terlihat mirip. Roma dan Never Look Away sama-sama menjadi nominee di ajang Academy Award kategori Best Feature International Film (dulu Best Foreign International Film) 2019. Roma keluar sebagai pemenang. 

    Parasite di tahun 2020 ini mampu menggaet empat piala Oscar termasuk kategori utama Best Picture dan Best Feature. Sementara Portrait of a Lady on Fire meski tak berkecimpung dalam Academy Award berhasil meraih enam penghargaan ternama dari Eropa dan Amerika. Intinya keempat film ini merupakan film yang berdaya untuk bersaing dan mampu menggaet anugrah bergengsi.

    Roma (2018) adalah film hitam-putih besutan Alfonso Cuaron. Film ini menggambarkan kehidupan seorang pembantu rumah tangga (maid) bernama Cleo. Kisah yang dituturkan film ini sederhana sekali, tak ada yang mengejutkan dan jauh dari “ledakan”. Selama durasinya film ini mengalir perlahan dan santai. Efek suara yang digunakan juga lembut dan mengalun. Namun dibalik itu semua ada pesan kemanusiaan yang kuat dalam film ini. Yaitu tentang ketegaran manusia menghadapi berbagai terpaan dalam kehidupan. Kisah ini dilukiskan dengan cara yang amat menyentuh.

    Never Look Away (2018) adalah film original Jerman: sutradara orang Jerman, berbahasa Jerman, latar cerita, para pemain, musik segalanya serba Jerman. Film ini berdurasi sekitar tiga jam. Dari sekian banyak hal yang ingin diungkap, sang sutradara berhasil merangkum film ini dalam durasi tiga jam. Itu merupakan sesuatu yang luar biasa. Tiga jam adalah waktu yang amat banyak bagi penonton Youtube, namun tidak bagi pembuat film. Saya meminta Anda agar percaya, tiga jam yang Anda gunakan untuk menonton film ini tidak akan sia-sia.

    Film ini berlatar era Nazi. Meskipun bagi sebagian orang membahas Nazi adalah perkara membosankan, tapi bagi rakyat Jerman, periode Nazi adalah satu serpihan sejarah yang tak boleh dilupakan. Sejarah Nazi harus terus diingat, dituliskan, termasuk difilmkan. Sikap seperti ini tentu bukan sekadar menjadi pencatat peradaban, melainkan sebagai bentuk pelajaran terhadap generasi selanjutnya bahwa “darah pernah tumpah di tanah ini” dan “perjuangan bukanlah sekadar ocehan omong kosong”.

    Portrait of a Lady on Fire (2019) adalah film buatan Prancis. Sebagai penonton saya mengagumi totalitas yang ditampilkan Adèle Haenel (Héloïse) dan Noémie Merlant (Marianne) dalam film ini. Sebagai lelaki saya mengagumi kecantikan dan keanggunan wanita Prancis sebagaimana ditampilkan mereka. Sedari awal saya menduga film ini bakal berakhir tragis. Ternyata benar adanya.

    Sejak pembuka film ini sudah cukup menarik perhatian. Kalimat yang menjadi judul film ini bahkan didesahkan di menit kedua. Ini menjadi semacam intro yang berhasil memancing penasaran audiens. Asyiknya lagi, rasa penasaran itu semakin berkembang seiring pertambahan waktu film ini. Harus saya akui, saya amat menikmati film-film seperti Portrait of a Lady on Fire. Film yang tidak tergesa-gesa, menampilkan perpindahan adegan secara lembut, dialog yang sedikit tapi jelas dan bermakna, serta efek pencahayaan yang cermat.

    Durasi dua jam film ini terasa berlangsung hanya dua menit. Sangking menikmatinya, kita seolah ikut terserap dalam keteraturan cerita yang dirangkai sang sutradara. Besar harapan saya, untuk selanjutnya saya bisa menyantap film-film seperti ini.

    Terakhir, Parasite (2019). Film ini dibuat oleh Bong Joon-ho, sutradara yang kritis terhadap isu-isu sosial. Memories of Murder (2003) dan Okja (2017) adalah dua film yang tak boleh dilupakan dalam karir Joon-ho. Parasite berkisah tentang dua keluarga yang berbeda kelas sosial. Keluarga Park (Lee Sun Gyun) keluarga yang kaya, sementara Kim (Kang-Ha Song) keluarga miskin. Keluarga miskin ini satu demi satu berupaya memasuki dan “mencicipi” kekayaan keluarga Park. Berbagai trik dan motif digunakan, hingga akhirnya seluruh anggota keluarga Kim berhasil “menyantap” hidup di rumah mewah milik Park.

    Tapi rupa-rupanya nasib punya kejutan. Peristiwa yang tak disangka hadir. Ruang bawah tanah di rumah keluarga Park ternyata dihuni seorang lelaki pelarian yang terbelit utang. Istri lelaki tersebut tak lain adalah pembantu setia keluarga Park selama ini, sebelum ia didepak dengan cara halus dan digantikan salah satu keluarga Kim.

    Ending film ini mengerikan. Pisau dan darah berkelebat hingga berujung kematian. Ironi ditampilkan Parasite. Ironi yang berujung pada pertanyaan, siapakah sebenarnya yang menjadi parasit di sebuah siklus kehidupan ini? Apakah orang kaya, orang miskin, atau orang pelarian yang tersingkir dari kehidupan. Film ini tak gamblang menjawab. Namun memberi kesempatan pada audiens untuk menilai dan menjawab sendiri.

    Pada akhirnya, keempat film asing ini, bagi saya tak sekadar sebagai pelepas dahaga atas keinginan saya menjerumuskan diri dalam ranah asing. Keempat film ini memberi saya makna yang begitu mendalam perihal nasib dan takdir dalam guliran kehidupan. Ke depannya saya tak jera dan akan terus mencoba mengasingkan diri kepada hal yang benar-benar belum saya kenal sama-sekali. Semoga saya bisa kembali keluar dari segala rupa keasingan, tetap menjadi diri saya sendiri, namun dengan isi kepala yang berbeda.

  • Memaknai Hantu Lewat Film “A Ghost Story”

    author = Ikra Amesta







    A Ghost Story Book Cover



    A Ghost Story







    Drama, Fantasi






    27 Juli 2017








    92 Menit




    David Lowery




    Casey Affleck, Rooney Mara, Kesha, Will Oldham



    In this singular exploration of legacy, love, loss, and the enormity of existence, a recently deceased, white-sheeted ghost returns to his suburban home to try to reconnect with his bereft wife.

    Seringkali saya merasa heran ketika seseorang yang saya kenal dengan bakat indera keenam, menunjuk ke suatu pojok ruangan lalu menyebut ada hantu yang tinggal di sana. Atau ketika anak saya yang masih bayi kerap menatap satu sisi dinding bagian atas kamarnya karena konon katanya ada arwah nenek-nenek yang menclok. Bagian yang mengganjal bagi saya adalah tentang bagaimana hantu bisa begitu menetap di suatu tempat atau ruangan dalam waktu yang lama. Padahal dengan wujudnya yang tidak lagi berfisik seharusnya mereka bisa dengan bebas mengarungi ruang, terbang ke mana saja, mungkin menyelam ke dalam tanah, atau melanglang-buana ke luar negeri ─ setidaknya itu yang bakal saya lakukan kelak jika berubah jadi hantu.

    Sampai kemudian film “A Ghost Story” mencerahkan pemahaman saya ─baik secara ide maupun visual─ mengenai “kehidupan” yang dijalani hantu. Ini adalah film kedua karya sutradara David Lowery yang saya tonton setelah “Ain’t Them Bodies Saint?” dan juga yang kedua kalinya memainkan Casey Affleck dan Rooney Mara sebagai pasangan kekasih. Bedanya, film yang ini jauh lebih sunyi, minim dialog, dan lebih aneh terutama dengan format gambar 4:3 yang seolah menekankan bahwa audiens sedang menonton video tingkah-laku hantu yang direkam kamera. Dan sebagai film yang minim dialog, bagi saya Lowery sukses menggambarkan tahap-tahap kesunyian sebagai bagian dari eksistensi manusia ─atau hantu─ di dunia. Kesunyian yang dalam film ini saya bagi lagi ke dalam bentuk kekosongan, kesendirian, dan keterasingan.

    Kekosongan

    C (Affleck) dan M (Mara) adalah sepasang suami-istri yang menempati sebuah rumah sederhana (untuk ukuran Amerika) di pinggiran kota. Suatu hari C mengalami kecelakaan mobil beberapa meter di depan rumahnya dan meninggal dunia. Dari kamar jenazah dirinya bangkit kembali sebagai hantu, seluruh tubuhnya ditutupi kain sprei putih yang hanya menyisakan warna hitam di bagian matanya saja. Ia tak kasat mata seperti udara dan tanpa jasmani seperti bayangan. Ia pulang kembali ke rumahnya, bertemu kembali dengan istrinya tapi kali ini ia hanya bisa menontonnya (seperti kita), tidak bisa lagi menyentuhnya, mendekapnya, atau mencumbunya di atas tempat tidur seperti dulu. Bahkan, ia tidak lagi mampu bicara atau berbisik sekarang, mulutnya telah raib, yang tersisa pada eksistensinya hanya mata untuk meyaksikan sisa-sisa dunia manusia yang ia tinggalkan.

    Pertemuan pertama hantu C dengan istrinya melahirkan scene terbaik dalam film ini, di mana sebuah kondisi emosional yang intens diterjemahkan dengan brilian lewat sebuah gerakan yang sebenarnya remeh dan monoton. Kita disuguhi adegan Rooney Mara yang duduk di lantai dapur sambil memakan sepiring kue pai, sesuap demi sesuap sampai habis, seorang diri, selama 4 menit lebih tanpa ada pergerakan kamera. Bisa jadi inilah 4 menit terlama sekaligus terkosong dalam dunia sinema.

    Sisifus, dalam mitos Yunani dan analogi Albert Camus, dikisahkan mendorong batu besar ke puncak gunung lalu menggelindingkannya ke bawah hanya untuk mendorongnya lagi ke atas dan diulang terus-menerus. Setara dengan perilaku tersebut, M menyodok kue painya ke dalam perut. Di sana ada upaya mengalihkan kesedihan, seolah-olah suapan pai di mulutnya sanggup menambal lubang air mata agar tidak bocor. Ada pula upaya untuk mengenyahkan kepahitannya dengan terus mencecap rasa manis berulang-ulang, seolah-olah manisnya gula dan tepung bisa menjalar dengan awet dari lidahnya ke hati. Kekosongannya begitu kentara dan upaya mengatasinya terasa sia-sia karena kemudian ia lari ke toilet, memuntahkan isi perutnya. Maka sebuah parabel terbentuk: manusia coba menanggulagi duka dengan “mengisi” dirinya, namun harus memuntahkannya lagi karena kehilangannya tidak mungkin tergantikan.

    Kesendirian

    Si manusia mengalami kekosongan sementara si hantu mengalami kesendirian. Manusia punya kuasa untuk melanjutkan hidupnya, bergerak dari satu bentuk perasaan ke bentuk perasaan yang lain, pergi dan meninggalkan yang jasmaniah atau rohaniah. Hantu? Ternyata mereka selalu menetap, pada suatu tempat, pada suatu perasaan, pada suatu kebingungan dan kesendirian yang katakanlah, abadi. Hantu, atau bisa juga dilihat sebagai bentuk mental, adalah entitas yang “tidak bergerak”, “ketidak-beranjakkan” dari suatu kondisi sehingga kesendirian jadi sebuah kepastian. Hal tersebut terlihat dari bagaimana hantu C menjalani aktifitas kesehariannya yang monoton. Ia berdiri, mematung dalam waktu yang lama, menggeser tubuhnya dengan lamban, memandang anteng keluar jendela tanpa menoleh sedikit pun. Caranya mengawasi M kerapkali tergambar sebagai sisi lain dari kepasrahan. Apa gunanya mencintai seseorang yang tidak tahu keberadaan kita? Atau, apakah hantu C masih bisa merasakan cinta? Mungkin dia hanyalah mahluk yang menempati rumah, tanpa rasa, identitas, atau persona yang bisa mengenalinya kepada kehidupan yang sebelumnya.

    Berbeda dengan kesepian, menurut saya kesendirian lebih intens menekankan pada kondisi kesadaran manusia sebagai sang subjek, sedangkan yang satunya lagi lebih merujuk pada sebuah situasi. Kesepian dibentuk oleh variabel-variabel eksternal di luar diri yang merancang sebuah fenomena yang menihilkan beberapa aspek dari kenormalan. Kurang-lebih sama halnya dengan kegelapan sebagai kondisi nihilnya cahaya. Sedangkan kesendirian adalah sebuah kondisi emosi yang sepenuhnya berpegang pada kesadaran si pelaku untuk menyatakan kenihilan orang lain dalam ruang lingkup eksistensinya. Maka untuk mengalami kesendirian seseorang tidak selalu membutuhkan situasi kesepian, karena terkadang dalam keramaian pun kesendirian masih bisa terjadi.

    Pada kasus hantu C, kesendiriannya terbentuk dari 2 situasi. Yang pertama tentu saja dari jarak ruang yang menganga antara ia dan istrinya. Meski ia tinggal di rumah yang sama dan terus mengintai istrinya sepanjang waktu tapi ia tidak bisa mengelak dari fakta bahwa M tidak mengakui kehadirannya. Pengabaian yang konsisten itu menyadarkan si hantu tentang kesendirian yang ia miliki, terlepas dari konteks perbedaan dunia di antara keduanya.

    Situasi yang kedua adalah justru ketika ia bertemu dengan hantu sebangsanya yang muncul di jendela rumah tetangga seberang.  Percakapan singkat terjadi di mana si hantu tetangga bilang, “sedang menunggu seseorang, tapi tidak ingat siapa.” Hantu tetangga mencanangkan suatu tujuan, yang tak lain sebagai pemaknaan atas keberadaan dirinya di dunia, dan itu jadi pembeda terhadap hantu C yang eksis tanpa direksi.  Hal itu semakin menebalkan kesendiriannya lagi, atas dirinya sendiri juga atas ke-hantu-annya. Sampai ia tercerahkan untuk mengabdikan masa tugasnya di dunia dengan mengorek sebuah celah sempit di dinding rumahnya. Semua itu demi membaca tulisan pada secarik kertas yang sengaja diselipkan istrinya sesaat sebelum pindah ke tempat yang baru.

    Keterasingan

    Hantu boleh jadi tidak memiliki raga namun setidaknya mereka masih menyisakan jiwa, yang meski tidak sesempurna saat mereka berwujud manusia namun tetap menjadi baterai bagi kelangsungan “hidup” mereka di dunia. Remah-remah jiwa inilah yang mengikat hantu C di rumahnya. Berbeda dengan manusia yang selain jiwa juga mempunyai raga, mereka terikat oleh waktu bukan tempat. Dalam keterikatan ini manusia menjalani waktu secara linier, menjalani umur yang membuatnya menua, dan hidup secara konkret pada masa sekarang.  

    Sementara hantu C, ketika semakin menerima keberadaan dirinya sebagai hantu maka lepaslah ia dari ikatan ruang dan waktu. Meski tetap berada di rumahnya, suatu kali ia mendarat di masa depan di mana rumahnya sudah digusur dan diganti gedung pencakar langit. Kali lain ia melompat jauh ke masa lalu di mana rumahnya masih berupa hamparan luas padang rumput tempat kaum imigran dan pribumi saling berebut lahan. Tapi tetap ia tidak bisa pergi dari rumahnya. Menempati rumah yang kosong, sendiri, dan terasing. Terasing karena C tidak lagi jadi entitas yang relevan dengan konvensi umum.

    Dunia ini dikuasai oleh manusia, setidaknya itu yang kita pahami sejak lama, sehingga segala ketentuan atau hukum atau norma yang ada di dalamnya diproporsikan dengan hakikat manusia. C teralienasi dari hakikat itu. Transisinya sebagai zat yang baru mencerabut elemen-elemen manusia dalam dirinya. Yang hidup melanjutkan hidup, yang mati menjadi bangkai, sedangkan C terjebak di persimpangan. Ia berbeda dengan segala yang ada di sekelilingnya, bukan lagi sekedar sendiri tapi juga tidak cocok, tidak berfungsi, tidak bermakna dengan lingkungannya. Maka upaya tiada henti C meraih kertas catatan istrinya yang terselip di tembok adalah sebuah misi melampiaskan sisa-sisa ke-manusia-an dalam dirinya; manusia yang bertujuan hidup, walau seremeh apapun tujuannya, dan mengejarnya sebelum digilas waktu.

    ──

    Setelah sekian lama dan melalui beberapa penghuni baru, hantu C pun berhasil mengambil secarik kertas dari tembok. Dibukanya lembaran yang kucel itu, dibacanya, dan seketika itu dirinya lenyap, menyisakan hanya kain sprei yang membungkusnya selama ini. Penonton tidak diberi tahu tulisan apa yang tertera di sana dan memang lebih baik seperti itu. Entah itu sebait puisi, kata-kata perpisahan, atau mungkin daftar belanjaan, saya tidak terlalu peduli. Yang penting tujuan C tercapai, lalu misinya di dunia selesai, dia bisa kembali ke alam yang seharusnya. Bukan sekedar cinta yang membuatnya bertahan, tapi lebih kepada hasratnya untuk mencari makna.

    Kembali ke rumusan di awal tulisan, akhirnya saya mengerti kenapa hantu atau arwah bisa sangat terikat pada satu tempat atau ruangan atau lokasi. Tapi saya lebih suka menarik pemahaman ini ke bentuk yang lain. Hantu yang direpresentasikan dalam film Lowery ini terasa dekat dengan suatu kondisi mental. Sebuah wujud emosi yang mungkin bisa diidentifikasikan dengan diri masing-masing saat kita bingung menentukan arti/arah hidup. Dan seketika kita merasa begitu kosong dalam jati diri, begitu sendiri dengan karakter, begitu terasing di visi. Dan kita kemudian tertarik, lewat sebuah ilham, untuk mengejar satu tujuan, seabsurd apapun itu bentuknya, seperti berpuisi di atas tisu toilet misalnya. Dengan demikian bukankah kita semua pernah menjadi hantu?