Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Ikra Amesta
In this singular exploration of legacy, love, loss, and the enormity of existence, a recently deceased, white-sheeted ghost returns to his suburban home to try to reconnect with his bereft wife.
Seringkali saya merasa heran ketika seseorang yang saya kenal dengan bakat indera keenam, menunjuk ke suatu pojok ruangan lalu menyebut ada hantu yang tinggal di sana. Atau ketika anak saya yang masih bayi kerap menatap satu sisi dinding bagian atas kamarnya karena konon katanya ada arwah nenek-nenek yang menclok. Bagian yang mengganjal bagi saya adalah tentang bagaimana hantu bisa begitu menetap di suatu tempat atau ruangan dalam waktu yang lama. Padahal dengan wujudnya yang tidak lagi berfisik seharusnya mereka bisa dengan bebas mengarungi ruang, terbang ke mana saja, mungkin menyelam ke dalam tanah, atau melanglang-buana ke luar negeri ─ setidaknya itu yang bakal saya lakukan kelak jika berubah jadi hantu.
Sampai kemudian film “A Ghost Story” mencerahkan pemahaman saya ─baik secara ide maupun visual─ mengenai “kehidupan” yang dijalani hantu. Ini adalah film kedua karya sutradara David Lowery yang saya tonton setelah “Ain’t Them Bodies Saint?” dan juga yang kedua kalinya memainkan Casey Affleck dan Rooney Mara sebagai pasangan kekasih. Bedanya, film yang ini jauh lebih sunyi, minim dialog, dan lebih aneh terutama dengan format gambar 4:3 yang seolah menekankan bahwa audiens sedang menonton video tingkah-laku hantu yang direkam kamera. Dan sebagai film yang minim dialog, bagi saya Lowery sukses menggambarkan tahap-tahap kesunyian sebagai bagian dari eksistensi manusia ─atau hantu─ di dunia. Kesunyian yang dalam film ini saya bagi lagi ke dalam bentuk kekosongan, kesendirian, dan keterasingan.
C (Affleck) dan M (Mara) adalah sepasang suami-istri yang menempati sebuah rumah sederhana (untuk ukuran Amerika) di pinggiran kota. Suatu hari C mengalami kecelakaan mobil beberapa meter di depan rumahnya dan meninggal dunia. Dari kamar jenazah dirinya bangkit kembali sebagai hantu, seluruh tubuhnya ditutupi kain sprei putih yang hanya menyisakan warna hitam di bagian matanya saja. Ia tak kasat mata seperti udara dan tanpa jasmani seperti bayangan. Ia pulang kembali ke rumahnya, bertemu kembali dengan istrinya tapi kali ini ia hanya bisa menontonnya (seperti kita), tidak bisa lagi menyentuhnya, mendekapnya, atau mencumbunya di atas tempat tidur seperti dulu. Bahkan, ia tidak lagi mampu bicara atau berbisik sekarang, mulutnya telah raib, yang tersisa pada eksistensinya hanya mata untuk meyaksikan sisa-sisa dunia manusia yang ia tinggalkan.
Pertemuan pertama hantu C dengan istrinya melahirkan scene terbaik dalam film ini, di mana sebuah kondisi emosional yang intens diterjemahkan dengan brilian lewat sebuah gerakan yang sebenarnya remeh dan monoton. Kita disuguhi adegan Rooney Mara yang duduk di lantai dapur sambil memakan sepiring kue pai, sesuap demi sesuap sampai habis, seorang diri, selama 4 menit lebih tanpa ada pergerakan kamera. Bisa jadi inilah 4 menit terlama sekaligus terkosong dalam dunia sinema.
Sisifus, dalam mitos Yunani dan analogi Albert Camus, dikisahkan mendorong batu besar ke puncak gunung lalu menggelindingkannya ke bawah hanya untuk mendorongnya lagi ke atas dan diulang terus-menerus. Setara dengan perilaku tersebut, M menyodok kue painya ke dalam perut. Di sana ada upaya mengalihkan kesedihan, seolah-olah suapan pai di mulutnya sanggup menambal lubang air mata agar tidak bocor. Ada pula upaya untuk mengenyahkan kepahitannya dengan terus mencecap rasa manis berulang-ulang, seolah-olah manisnya gula dan tepung bisa menjalar dengan awet dari lidahnya ke hati. Kekosongannya begitu kentara dan upaya mengatasinya terasa sia-sia karena kemudian ia lari ke toilet, memuntahkan isi perutnya. Maka sebuah parabel terbentuk: manusia coba menanggulagi duka dengan “mengisi” dirinya, namun harus memuntahkannya lagi karena kehilangannya tidak mungkin tergantikan.
Si manusia mengalami kekosongan sementara si hantu mengalami kesendirian. Manusia punya kuasa untuk melanjutkan hidupnya, bergerak dari satu bentuk perasaan ke bentuk perasaan yang lain, pergi dan meninggalkan yang jasmaniah atau rohaniah. Hantu? Ternyata mereka selalu menetap, pada suatu tempat, pada suatu perasaan, pada suatu kebingungan dan kesendirian yang katakanlah, abadi. Hantu, atau bisa juga dilihat sebagai bentuk mental, adalah entitas yang “tidak bergerak”, “ketidak-beranjakkan” dari suatu kondisi sehingga kesendirian jadi sebuah kepastian. Hal tersebut terlihat dari bagaimana hantu C menjalani aktifitas kesehariannya yang monoton. Ia berdiri, mematung dalam waktu yang lama, menggeser tubuhnya dengan lamban, memandang anteng keluar jendela tanpa menoleh sedikit pun. Caranya mengawasi M kerapkali tergambar sebagai sisi lain dari kepasrahan. Apa gunanya mencintai seseorang yang tidak tahu keberadaan kita? Atau, apakah hantu C masih bisa merasakan cinta? Mungkin dia hanyalah mahluk yang menempati rumah, tanpa rasa, identitas, atau persona yang bisa mengenalinya kepada kehidupan yang sebelumnya.
Berbeda dengan kesepian, menurut saya kesendirian lebih intens menekankan pada kondisi kesadaran manusia sebagai sang subjek, sedangkan yang satunya lagi lebih merujuk pada sebuah situasi. Kesepian dibentuk oleh variabel-variabel eksternal di luar diri yang merancang sebuah fenomena yang menihilkan beberapa aspek dari kenormalan. Kurang-lebih sama halnya dengan kegelapan sebagai kondisi nihilnya cahaya. Sedangkan kesendirian adalah sebuah kondisi emosi yang sepenuhnya berpegang pada kesadaran si pelaku untuk menyatakan kenihilan orang lain dalam ruang lingkup eksistensinya. Maka untuk mengalami kesendirian seseorang tidak selalu membutuhkan situasi kesepian, karena terkadang dalam keramaian pun kesendirian masih bisa terjadi.
Pada kasus hantu C, kesendiriannya terbentuk dari 2 situasi. Yang pertama tentu saja dari jarak ruang yang menganga antara ia dan istrinya. Meski ia tinggal di rumah yang sama dan terus mengintai istrinya sepanjang waktu tapi ia tidak bisa mengelak dari fakta bahwa M tidak mengakui kehadirannya. Pengabaian yang konsisten itu menyadarkan si hantu tentang kesendirian yang ia miliki, terlepas dari konteks perbedaan dunia di antara keduanya.
Situasi yang kedua adalah justru ketika ia bertemu dengan hantu sebangsanya yang muncul di jendela rumah tetangga seberang. Percakapan singkat terjadi di mana si hantu tetangga bilang, “sedang menunggu seseorang, tapi tidak ingat siapa.” Hantu tetangga mencanangkan suatu tujuan, yang tak lain sebagai pemaknaan atas keberadaan dirinya di dunia, dan itu jadi pembeda terhadap hantu C yang eksis tanpa direksi. Hal itu semakin menebalkan kesendiriannya lagi, atas dirinya sendiri juga atas ke-hantu-annya. Sampai ia tercerahkan untuk mengabdikan masa tugasnya di dunia dengan mengorek sebuah celah sempit di dinding rumahnya. Semua itu demi membaca tulisan pada secarik kertas yang sengaja diselipkan istrinya sesaat sebelum pindah ke tempat yang baru.
Hantu boleh jadi tidak memiliki raga namun setidaknya mereka masih menyisakan jiwa, yang meski tidak sesempurna saat mereka berwujud manusia namun tetap menjadi baterai bagi kelangsungan “hidup” mereka di dunia. Remah-remah jiwa inilah yang mengikat hantu C di rumahnya. Berbeda dengan manusia yang selain jiwa juga mempunyai raga, mereka terikat oleh waktu bukan tempat. Dalam keterikatan ini manusia menjalani waktu secara linier, menjalani umur yang membuatnya menua, dan hidup secara konkret pada masa sekarang.
Sementara hantu C, ketika semakin menerima keberadaan dirinya sebagai hantu maka lepaslah ia dari ikatan ruang dan waktu. Meski tetap berada di rumahnya, suatu kali ia mendarat di masa depan di mana rumahnya sudah digusur dan diganti gedung pencakar langit. Kali lain ia melompat jauh ke masa lalu di mana rumahnya masih berupa hamparan luas padang rumput tempat kaum imigran dan pribumi saling berebut lahan. Tapi tetap ia tidak bisa pergi dari rumahnya. Menempati rumah yang kosong, sendiri, dan terasing. Terasing karena C tidak lagi jadi entitas yang relevan dengan konvensi umum.
Dunia ini dikuasai oleh manusia, setidaknya itu yang kita pahami sejak lama, sehingga segala ketentuan atau hukum atau norma yang ada di dalamnya diproporsikan dengan hakikat manusia. C teralienasi dari hakikat itu. Transisinya sebagai zat yang baru mencerabut elemen-elemen manusia dalam dirinya. Yang hidup melanjutkan hidup, yang mati menjadi bangkai, sedangkan C terjebak di persimpangan. Ia berbeda dengan segala yang ada di sekelilingnya, bukan lagi sekedar sendiri tapi juga tidak cocok, tidak berfungsi, tidak bermakna dengan lingkungannya. Maka upaya tiada henti C meraih kertas catatan istrinya yang terselip di tembok adalah sebuah misi melampiaskan sisa-sisa ke-manusia-an dalam dirinya; manusia yang bertujuan hidup, walau seremeh apapun tujuannya, dan mengejarnya sebelum digilas waktu.
──
Setelah sekian lama dan melalui beberapa penghuni baru, hantu C pun berhasil mengambil secarik kertas dari tembok. Dibukanya lembaran yang kucel itu, dibacanya, dan seketika itu dirinya lenyap, menyisakan hanya kain sprei yang membungkusnya selama ini. Penonton tidak diberi tahu tulisan apa yang tertera di sana dan memang lebih baik seperti itu. Entah itu sebait puisi, kata-kata perpisahan, atau mungkin daftar belanjaan, saya tidak terlalu peduli. Yang penting tujuan C tercapai, lalu misinya di dunia selesai, dia bisa kembali ke alam yang seharusnya. Bukan sekedar cinta yang membuatnya bertahan, tapi lebih kepada hasratnya untuk mencari makna.
Kembali ke rumusan di awal tulisan, akhirnya saya mengerti kenapa hantu atau arwah bisa sangat terikat pada satu tempat atau ruangan atau lokasi. Tapi saya lebih suka menarik pemahaman ini ke bentuk yang lain. Hantu yang direpresentasikan dalam film Lowery ini terasa dekat dengan suatu kondisi mental. Sebuah wujud emosi yang mungkin bisa diidentifikasikan dengan diri masing-masing saat kita bingung menentukan arti/arah hidup. Dan seketika kita merasa begitu kosong dalam jati diri, begitu sendiri dengan karakter, begitu terasing di visi. Dan kita kemudian tertarik, lewat sebuah ilham, untuk mengejar satu tujuan, seabsurd apapun itu bentuknya, seperti berpuisi di atas tisu toilet misalnya. Dengan demikian bukankah kita semua pernah menjadi hantu?