Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Sexy Killers: Bukan Film Mesum, Tapi Sangat Vulgar

author = Abidah Naqiya

Saya baru sebulan belakangan ini mendengar nama Dandhy Dwi Laksono meskipun kiprahnya di dunia jurnalistik sudah santer terdengar di mana-mana. Di saat bersamaan, saya juga untuk pertama kalinya mendengar nama Watchdoc, sebuah rumah produksi audio visual milik Dandhy yang berfokus memproduksi film-film dokumenter. Konon, Watchdoc adalah kanal dokumenter Indonesia yang cukup digemari karena keberaniannya dalam mendokumentasikan sejumlah isu yang jarang tampil di industri penyiaran, mulai dari isu lingkungan hidup, energi, kearifan budaya, dan lain sebagainya.

Saya bersyukur karena film mereka yang pertama kali saya tonton adalah Sexy Killers. Belakangan, film berdurasi kurang lebih 97 menit yang disutradarai oleh Suparta ini ramai dibicarakan di media sosial. Pemutaran filmnya ramai peminat, walau pun tidak semuanya berjalan mulus karena dipaksa batal tayang oleh pihak-pihak yang merasa terancam. Menilik dari judulnya, awalnya saya mengira bahwa pembatalan-pembatalan tersebut dikarenakan film ini mesum dan vulgar. Tapi setelah saya selesai menonton dan tahu isi filmnya, saya jadi paham: film ini tidak mesum. Tidak ada adegan panas, sensualitas perempuan pun sama sekali tidak menjadi isu utama. Tapi kalau soal vulgar atau tidaknya, Sexy Killers memang benar-benar vulgar!

Vulgar, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti kasar dan tidak sopan. Dan ya, film ini secara vulgar menampilkan kebobrokan industri-industri batu bara Indonesia; sebuah industri yang ‘seksi’ namun membunuh.

Dalam film ini, industri batu bara Indonesia dilucuti pakaian glamornya, lalu ditelanjangi habis-habisan sampai nampak betul borok-boroknya.

Industri batu bara, terutama sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), selama berdekade-dekade telah menyengsarakan penduduk dari berbagai aspek. PLTU dan segala kedigdayaannya terus dibentrokkan dengan kelangsungan hidup rakyat kecil: mulai dari masyarakat transmigran yang menggantungkan hidupnya dari kebun mentimun, nelayan yang melaut bermodalkan perahu kecil, karyawan swasta yang istrinya menderita kanker akibat debu PLTU, hingga para ibu yang menangisi mayat anak-anaknya yang tenggelam di lubang bekas galian. Sexy Killers memberikan ruang bicara yang sangat memadai bagi mereka yang selama ini tidak didengar meski sudah berteriak sampai serak.

Gelombang protes dan perlawanan dari pihak-pihak yang dizalimi oleh industri batu bara direkam dengan cermat oleh Dandhy-Suparta dan timnya. Film ini menunjukkan bagaimana industri ini telah menjadi senjata pembunuh massal yang tidak hanya membunuh manusia, namun juga sumber pendapatan dan lingkungan. Menariknya, protes dan desakan yang diteriakkan para korban tersebut kemudian ditanggapi oleh pemerintah dan pihak pertambangan dengan begitu santai. Misalnya dalam salah satu adegan, Gubernur Kaltim, Isran Noor, berkata, “Kan sudah dibilang, jangan main di situ…” ketika menanggapi seorang ibu yang berteriak histeris karena anaknya tenggelam di lobang bekas galian tambang.

Yang paling menarik perhatian saya adalah fragmen saat kedua capres yang akan berlaga di pemilu 17 April menanggapi isu lingkungan dan reklamasi dalam salah satu sesi debat capres. Prabowo terkesan menimpakan kesalahan pada perusahaan asing, sementara Jokowi memberi kesan seolah usaha reklamasi yang dilakukan selama ini sudah menjawab persoalan. Fragmen ini kemudian ditutup dengan pernyataan  Prabowo, “Saya kira cukup, ya. Untuk apa kita bertele-tele lagi?” yang kemudian ditanggapi dengan kalem oleh Jokowi, “Iyalah, saya setuju saja,”. Bagian ini membuat saya bertanya-tanya dengan gusar: wow, apakah sebegitu tidak pahamnya kedua pria ini akan masalah serius yang sedang dihadapi bangsa ini?

Film ini dengan sangat lancang juga membeberkan keterlibatan kedua pihak capres dalam industri batu bara di negeri ini. Nama-nama politisi dan pejabat negara dari kedua kubu yang memiliki perusahaan pertambangan dibocorkan tanpa tedeng aling-aling. Di kubu 01, misalnya, muncul nama Luhut Pandjaitan yang saat ini menjabat sebagai Menko Kemaritiman, Jusuf Kalla, dan Harry Tanoesoedibjo. Di kubu 02, tentu saja pasangan Prabowo-Sandi sendiri merupakan pemilik berbagai macam perusahaan tambang batu bara. Disusul pula dengan sederet nama lain, seperti Hasyim Djojokusumo dan Tommy Soeharto. Sexy Killers bahkan membuat saya punya sudut pandang baru tentang Kaesang dan Gibran, duo anak kandung Presiden Jokowi yang selama ini saya anggap bersih karena mereka bekerja keras lewat jualan pisang dan martabak. Kalau kalian juga berpikiran demikian, maka film ini akan membuat kalian menjadi lebih skeptis. Ya, Sexy Killers memang sekurang ajar itu.

Ini kemudian membuat saya berpikir bahwa tanggapan nyantai kedua capres dalam debat tempo lalu sebenarnya bukan soal paham atau tidaknya mereka pada isu lingkungan. Namun lebih ke soal ada atau tidaknya kepentingan mereka dalam isu ini.

Saya berpendapat bahwa film dokumenter bisa dikategorikan sebagai karya jurnalistik, sebab ia mengedepankan fakta, tidak boleh mengandung kebohongan, dan bersifat investigatif. Dalam bukunya yang berjudul Pers Indonesia: Berkomunikasi Dalam Masyarakat Tidak Tulus, Jakob Oetama berkali-kali mengatakan bahwa karya jurnalistik yang baik haruslah cover both sides, alias berimbang. Dalam hal inilah saya merasa Sexy Killers memiliki kekurangan. Dari perspektif jurnalistik, saya merasa film ini akan mampu memberikan gambaran yang lebih lengkap jika menyertakan narasumber berupa pelaku industri pertambangan batu bara atau PLTU. Sebab saya yakin banyak penonton lainnya yang juga bertanya-tanya; mengapa industri yang penuh cacat ini masih dipertahankan? Apa yang membuatnya dipertimbangkan sebagai solusi terbaik bagi penyediaan energi di Indonesia?

Bicara soal momentum, waktu yang dipilih Dandhy-Suparta dan timnya untuk memutar film ini sangatlah tepat, yakni pada hari-hari menjelang Pilpres. Film ini memiliki pesan yang serupa dengan artikel bernas karangan Francesco Hugo yang dimuat di Indoprogress.com berjudul “Mesias Tidak Datang Besok Pagi”. Pesan itu kira-kira berbunyi begini: politisi idolamu itu hanyalah manusia biasa. Ketimbang sibuk mempertahankannya sebagai sosok suci yang tak bercela, ada baiknya energimu itu dialihkan ke hal-hal yang lebih substansial dan krusial. Mengawal dan senantiasa kritis terhadap regulasi industri pertambangan baru bara, misalnya.

Ah, saya jadi teringat akan tulisan Goenawan Mohammad dalam salah satu Catatan Pinggirnya. Tulisan ini ia buat pada akhir 80-an, namun ternyata sangat relevan untuk menggambarkan situasi negara kita sekarang: “Dan di tengah hingar itu, juga rasa tergetar dan ngeri itu, hanya sedikit ikhtiar istimewa buat mengurus soal-soal menjemukan ini: sawah, irigasi, jalan ke pasar, kredit candak kulak, dan seterusnya, dan seterusnya…”